25.6.15

[ROUND 1 - TEAM H] MARIA FELLAS - MENJADI BAIK ITU SULIT

MARIA FELLAS - MENJADI BAIK ITU SULIT
Penulis: Ummi Hinata



“Ada dua cara yang dapat kau lakukan ketika kau takut, Deokman. Marah atau lari.”

- Mishil di dalam Drama Korea The Great Queen Seon Deok -

***

Di dunia ini, terdapat aturan alam yang tak pernah tersingkirkan oleh apapun. Tak peduli seberapa besar kekuatan ilmu pengetahuan mampun mencerdaskan manusia. Tak peduli betapa serius perubahan yang telah terjadi di muka bumi ini. Aturan itu tak pernah tergantikan. Hanya berubah bentuk, namun tak menghabiskan makna yang dikandungnya.

Hukum itu adalah hukum rimba. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah. Cinta yang kuat mengalahkan kelemahan hati yang diliputi kebencian. Orang-orang yang kuat menindas orang-orang yang lemah. Si Kaya memiliki kekuatan untuk menghancurkan kehidupan si Miskin.

Hanya berubah bentuk, tak berubah arti. Hanya berubah wujud tak berubah makna. Hati yang kuat pasti menang. Hati yang lemah pasti kalah. Pada akhirnya, yang kuat pasti akan mengalahkan yang lemah.

Dan, apakah kau tahu pilihan apa yang ada padamu ketika kaulah si Lemah itu? Marah atau … lari!



***

"Jangan mau main sama Felly!" Kata yang satu.

"Iya, nanti kalau berdarah kamu mati!" Sambut yang lainnya.

Mereka berbisik. Mereka berbicara. Mereka mencercanya. Mereka berisik.

"Felly itu lintah." Kata gadis rambut biru keturunan macan.

"Ih jijik! Pasti berlendir! Licin-licin gitu!" Kata ia yang seumur hidupnya tak pernah meninggalkan daratan.

Sebagian memandang sebelah mata. Sebagian memandang remeh. Sebagian memandang jijik. Sedangkan sebagian lainnya, memandang sinis.

"Ih, ibunya Felly kan ga jelas!" Ucap yang satunya dengan lantang.

"Keturunan ga mutu!" Balas yang lainnya dengan suara tegas.

Mengapa? Mengapa mereka berkata seperti itu? Mereka sungguh membuat Felly merasa terusik. Apa salahnya? Ia hanya seorang gadis kecil yang ingin bermain dengan mereka. Kenapa mereka begitu? Aku hanya ingin ikut bersenda gurau dengan mereka. Kenapa?

"Kamu mau bermain bersama kami?"

Felly dengan ceria mengangguk mengiyakan. Siapa yang tidak ingin bermain bersama mereka? Pasti hanya orang bodoh. Lihat, mereka bermain dengan tali yeye, bermain congklak, bermain engklek, siapa yang tidak mau memainkan hal itu bersama mereka? Itu kan kegiatan yang menyenangkan.

"Tapi ada syaratnya!"

Syarat? Felly menatap satu persatu dari mereka dengan tatapan tak mengerti. Kenapa main saja butuh syarat?

"Kamu mau mengikuti syarat kami atau tidak?" ucap yang lainnya sambil tersenyum mengerikan.

Felly segera menganggukkan kepalanya kembali mengiyakan. Takut mereka berubah pikiran.

"Buang semua anti-koagulan itu dari tubuhmu."

Syarat yang aneh. Tapi tak apalah, yang penting ia punya teman. Apa salahnya mengeluarkan cairan anti-koagulan itu dari tubuhku? Toh cairan itu juga tidak berguna untukku. Begitu pikirnya. Sungguh pikiran yang salah sekali. Karena yang terjadi selanjutnya adalah, tubuhnya mengejang hebat.

***

Itu, adalah ingatan mengenai kekejaman manusia yang kembali terlintas di kepalaku. Mereka mengetahui bahwa tubuhku tak akan bisa bertahan tanpa anti-koagulan dan mereka membuatku harus mengeluarkan lebih dari setengahnya. Mengakibatkan, aku harus mendekam di Rumah Sakit lebih dari seminggu.

Ketika aku, Aushakii, Kak Tono dan Kak Halia tersedot ke dalam pintu, kami terpisah. Ketika tiba kembali di Alforea, aku … tidak melihat satupun dari mereka yang tiba. Apakah mereka sudah sampai atau mereka tak akan kembali. Aku tak tahu.

“Nona Fellas, kau terlambat untuk mendengarkan penjelasan mengenai ronde selanjutnya dari RNG-sama,” salah satu Gadis Kloningan itu mendatangiku.

“Mana teman se-timku?” Aku menatapnya dengan tajam. Aku yakin sekali seharusnya mereka sudah sampai di sini. Ke mana mereka?

“Kau tahu, Nona Fellas? Bukan saatnya kau menanyakan keadaan mereka. Kau sudah telat untuk tiba di pertarungan berikutnya. Mari ikuti aku, aku akan mengantarkanmu.”

Sebongkah cahaya muncul di hadapan kami. Cahaya ini … ini portal! Kami akan ke mana?

“Hei! Kau mau membawaku ke mana?” Aku menahan lengannya yang sudah akan membuka pintu cahaya di hadapan kami.

“Bauhaus frontierland, Gurun pasir yang akan menjadi tempat pertarunganmu berikutnya!”

Yang benar saja? Gurun? Lagi!? Kalian bercanda bukan!?


***


1.              Gurun Bauhaus, Belajar



Sampai di tempat ini tak membuatku langsung mengerti apa yang harus kulakukan. Si Maid itu tidak menjelaskan secara detail apa yang harus kulakukan di sini kecuali satu kata kunci. SURVIVE.  Atau bertahan hidup.

Pelayan tadi hanya memberikanku satu kata itu sebelum meluruh menjadi pasir yangmemang  cukup banyak. Aku tidak terlalu peduli apakah dia menghilang di sini dengan cara meluruh, terbunuh atau menghilang seperti sebelumnya. Hanya saja, tak bisakah dia menjelaskan dengan lebih baik lagi?

Mereka ini seenaknya saja.

Sekarang bukan waktunya untukku ngedumel. Tadi dia sempat mengatakan nama dari tempat ini. Bauhaus Frontier. Sebuah tempat dengan keanehan yang hanya dapat dirasakan oleh para pengunjungnya. Sebuah tempat yang mampu membuat siapapun saling membunuh.

Aku, Fatanir, benci mengatakan ini. Tapi, selain enam buah lampu kedap-kedip yang memberikan sinyal SOS dari enam titik yang berbeda-beda, tidak ada satupun benda yang berbau militer di sini.

***

Hai, aku Izu. Ini narasi bagianku. Aku akan menjelaskan sedikit saja yang aku tahu tentang tempat ini. Sebagiannya sudah dijelaskan oleh kak Fatanir.

Ya, di kepalaku juga terdapat sebuah lampu yang terus menerus berkedap-kedip. Aku sempat bercermin dan aku tahu kode yang diberikan oleh lampu itu. Sinyal SOS. Mungkin untuk menarik perhatian apapun yang lewat.

Oh iya, ada yang aneh dengan tempat ini. Sudah hampir satu jam sejak aku ditinggal oleh Gadis berbaju pelayan itu. Aku yakin sekali tadi saat penjelasan oleh RNG-sama, aku sempat meminum sebotol air mineral sebelum ditransportasi ke sini.

Rasanya sangat tidak masuk akal aku merasakan tenggorokanku sangat kering. Aku haus. Aku juga lapar. Perutku keroncongan. Sialnya, ini gurun. Satu-satunya makhluk hidup yang kulihat ada di sini hanya kalajengking raksasa dan monster.

Tidak mungkin aku memakan mereka, kan?

***

Kriukkk~~

“Aih~~ ieu si Perut, kok ya ga bisa sabar. Saya juga udah cari makan, dari tadi atuh. Tapi, enggak nemu.”

Sudah satu jam di sini dan saya belum makan. Ini yang mulia Tamon teh bagaimana, atuh? Badan teh boleh bohai, tapi kok ya ndak pengertian pisanNyang kemaren eta, saya dikirim ke gurun. Yang sekarang juga dikirim ke gurun. Eh ya maunya apa, atuh?

Ini lagi ada suara dengung. Ganggu pisan. “Eta suara apa?”

Eh … ada pesawat terbang. Mau apa itu pesawat datang kemari? Mana pesawatnya besar lagi. Itu kenapa tutup bawahnya kebuka? Eh ada kotak jatuh!?

Aduh, sepertinya saya harus kesana. Mana tahu isinya ada makanan. Kan saya bisa sekalian makan!

***

Aku menatap ke arah sebuah benda besar yang melayang di udara. Pesawat. Begitulah mereka menamai benda besar itu. Benda itu kini terbang tepat di atas kepalaku, menjatuhkan dua buah kotak besar. Sebagai ‘pedang’ aku tahu apa isi dari kedua kotak itu.

Kotak-kotak perbekalan. Begitulah kami menyebutnya. Kotak yang berisi makanan dan minuman selama perang berlangsung. Dari kejauhan aku melihat sebuah cahaya kedip-kedip mendekatiku. Tubuhku siaga.

Apapun itu yang mendatangiku, aku tahu, itu bukan sekedar ‘cahaya’. Siluet hitam yang mendekatiku itu jelas sekali adalah manusia. Perwujudan otot-otot kekarnya dan pola berlarinya yang konsisten, membuatku yakin, ia bukan orang sembarangan.

Perlahan kukeluarkan pedang yang tersimpan di punggungku dengan perlahan menggunakan tangan kanan. Hingga terdengar jelas di telingaku bunyi gesekan antara pedangku dan sarungnya.

Terlihat olehku sesuatu itu berdiri tegak. Diam dengan jarak sepuluh meter jauhnya dariku. Ia bergerak mengambil sesuatu dari bucklesabuknya. Mengusap-usapkan tangannya dan … aku mengernyitkan alisku.

Apa yang dia lakukan? Memakai deodoran?

“Apapun yang akan kau lakukan, aku, Kii si Pemecah Pedang, tidak akan takut!” kalimatku keluar begitu saja sejenak setelah dia meneriakkan kopiluwak dan mengarahkan kedua tangannya kepadaku.

Segelombang besar angin besar, mengarah kepadaku. Sedetik aku mampu menahan serangan itu sebelum akhirnya aku … terlontar.

***

“Selamat siang para peserta. Pengumuman, peserta yang harus dibunuh sisa empat orang. Kii sang Pemecah Pedang, telah tewas menggenaskan di tengah padang pasir Bauhaus oleh Ballista Armpits jenis Kopiluwak milik Asep Codet si Abah. Asep kini memegang perbekalan yang pertama. Sisa peserta yang masih bertahan adalah lima orang. Terima kasih.”

Terdengar suara besar memekakkan telinga dari atas langit.

Sudah terbunuh satu katanya. Sisa empat, ya?

Jadi begini permainan yang diciptakan oleh wanita bertubuh semok itu. Permainan yang memaksa orang lain untuk saling membunuh. Lucu sekali. Setelah menjanjikan hadiah yang sebegitu indahnya. Memancing orang-orang untuk mengikuti permainannya. Lalu, boomhancurkan satu persatu. Biarkan mereka saling membunuh. Cih, licik sekali perek satu itu.

Lihat saja, aku akan menambah ‘seru’ permainanmu, Nona Tamon! Aku Meredy, akan membuatmu merasa di atas awan dan menjatuhkanmu turun langsung ke bumi.

***

Jadi, pada pertarungan kali ini, aku hanya harus bertahan hidup dan membiarkan yang lainnya mati. Hanya ada dua kotak perbekalan yang akan dikirimkan melalui pesawat setiap satu jam sekali. Perbekalan tersebut, hanya cukup untuk satu orang.

Lampu yang berkedap-kedip ini, adalah lampu yang menjadi penanda keberadaan kami oleh musuh. Jadi empat titik di ujung sana adalah empat musuh yang tersisa.

Arrghhh tapi aku sekarang lelah! Aku haus. Aku lapar. Tubuhku melemah. Aku butuh air. Aku butuh udara lembab. Aku butuh makanan. Aku ... butuh ... suplemen.

Felly, inget kata mama. Jangan pernah mencoba untuk membaui darah lebih dari yang seharusnya. Ingat! Gunakan kemampuanmu hanya untuk melindungi diri sendiri. Jangan berlebihan!

Ingatan itu. Itu kata-kata mama dahulu. Tapi kenapa mama mengatakannya? Dahulu ... seperti ada yang terjadi. Tapi apa? Kenapa?

"Tuh si Ryan jadi korbannnya. Dia keturunan lintah. Makannya darah."

Aku … bisa memakan darah? Senyum terkembang dari kedua sudut bibirku. Benar. Aku bisa memakan darah. Biar saja perbekalan sekarang ada di mereka. Selama aku bisa menemukan satu saja ‘bekal’ hidup, aku akan baik-baik saja.


***


2. Puncak Dari Segala Keyakinan



Aku berjalan menyusuri gurun ini. Mendekati salah satu cahaya yang berkedap-kedip di ujung sana. Itu adalah cahaya berwarna merah muda. Sepertiku. Mungkin dia wanita. Atau gadis? Yang jelas, dia adalah korban terdekat yang dapat kuraih dengan kondisi tubuhku yang mulai melemah ini.

“Hai, aku Izu, aku lapar sekali, dan aku sedang mencari Asep Codet. Bekal terakhir ada di dia soalnya. Apakah kamu tahu di mana dia?”

Tanya gadis itu tanpaa basa basi. Sesuatu yang aneh, mengingat aku dan dia baru saja berjumpa di sini. Apakah dia tidak curiga padaku?

“Tidak! Aku belum bertemu siapapun. Sejak tiba di sini, kakak adalah orang pertama yang kutemui.”

Aku berusaha menjawab dengan nada setenang mungkin. Aku memang bocah, namun, ketenangan dalam situasi apapun adalah keahlianku.

“Nama kamu siapa?” tanyanya padaku. Senyumnya membuatku tak tega. Terlalu ceria. Terlalu bersemangat walaupun aku tahu, dia pasti juga sedang kelaparan.

“Selamat siang para peserta. Pengumuman, peserta yang harus dibunuh sisa tiga orang. Telah meninggal dunia, Fatanir sang Tekhnopath di tengah padang pasir Bauhaus oleh Meredy Forgone sang Greedy Ally. Pemegang perbekalan pertama masih Asep Codet. Sisa peserta yang masih bertahan adalah empat orang. Terima kasih.”

Aku dan Izu saling tatap. Yah, pengumuman itu berarti dua hal untuk kami, hal baik dan hal buruk. Baik karena musuh kembali berkurang satu orang. Buruk, karena sudah ada dua orang yang berbahaya bagi kami, Asep dan Meredy.

“Kakak akan membunuhku?” tanyaku padanya. Kuberikan wajah sepolos mungkin.

“Tidak,” jawabnya sambil tersenyum manis. Terlalu polos. Terlalu lugu dan naif.

“Wah, sayang sekali,” kuberikan jeda pada suaraku, lalu kulanjutkan dengan, “kalau begitu aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu!”

Aku melompat tepat sebelum dia bersikap siaga. Mengarahkan pisau kecilku tepat ke arah jantung Izu. Lompatanku membuatnya terhuyung. Jatuh terjerembab ke belakang. Aku duduk di atas perutnya dengan tangan masih memegang pisau kecil yang menancap di dada kirinya.

“Ka-kau …” ucapnya terbata, “ wajahmu menipu!”

“Aku tidak menipu kakak. Kan kakak yang seenaknya menilaiku orang baik.” Kucabut pisauku dari dada kirinya, “makanya kakak, aku beri nasihat ya, jangan mudah percaya sama orang.”

Kuarahkan kembali pisauku ke arah perutnya sebelah kiri. Ketika sudah menancap dalam, kugerakkan ke kanan dan ke kiri, seperti adegan Harakiri (bunuh diri ala prajurit Jepang) yang pernah kulihat dari salah satu Dorama yang kutonton bersama papa.

Terdengar jelas di telingaku teriakan putus asa yang tersendat-sendat dari mulutnya yang kini mulai mengeluarkan darah sebagai reaksi atas pendarahan dalam yang ia terima.

“Selamat siang para peserta. Pengumuman, peserta yang harus dibunuh sisa dua orang. Telah meninggal dunia, Izu Yavuhezid di tengah padang pasir Bauhaus oleh Maria Fellas sang Lintah Darat. Perbekalan pertama telah habis dimakan Asep Codet. Sisa peserta yang masih bertahan adalah tiga orang. Terima kasih.”

“Nah, kakak, ijinkan aku minum darahmu ya!” ucapku tidak mempedulikan pengumuman yang terdengar di seantero Bauhaus.

Akhirnya, kuhirup darah, yang selama ini hanya bisa kubaui, dari tengkuknya. Bau besi dan amis bercampur jadi satu dihidungku. Menciptakan aroma lezat yang membuatku merasa ketagihan. Tak ingin berhenti.

Sayang, kenikmatan itu harus kuhentikan ketika akhirnya darah Kak Izu mulai berhenti mengalir. Sepertinya target selanjutnya aku akan mencari yang masih hidup untuk dihisap. Yang mati terlalu cepat membeku.

Tunggu! Ini apa? Euuhh … tubuhku lengket! Jari-jariku malah mengeluarkan cairan aneh. Ini… lendir? Apa-apaan ini!? Kenapa banyak sekali?

Felly, kamu jangan meminum darah manusia. Darah manusia itu akan memancing tubuhmu untuk mengeluarkan lendir dari tubuhmu sendiri. Kau masih keturunan lintah. Selain itu, rasa kenyang yang kau dapatkan juga hanya sementara. Setelahnya, kau akan lebih kelaparan lagi.

Ingatan itu … itu suara mama. Aku … ah sial! Akhirnya aku ingat kenapa aku tidak boleh memakan darah manusia.

Kriuuukk~~

Sial! Aku lapar!

Suara dengung itu … pesawat! Aku harus segera berlari ke arah pesawat itu sebelum keduluan oleh dua orang lainnya!

***


3. Terkadang, Menjadi Baik itu Sulit




Kini, aku, wanita yang kuyakini bernama Meredy dan Asep Codet (beneran ada codet loh di wajahnya) saling berhadapan satu sama lain. Posisi kami berdiri tepaat di sudut-sudut segitiga sama sisi.

Kau ingin tahu di mana letak kedua kotak perbekalan? Pernah belajar tentang titik berat bukan? Jika jawabanmu tidak, kuminta kau untuk segera buka buku matematikamu sebelum lanjut membaca. Jika ya, kini kedua kotak itu berada tepat di titik berat kami bertiga.

Sejenak tidak ada yang bergerak di antara kami bertiga. Hanya saling tatap. Terdiam.

“Kalian sungguh hebat sekali. Yang satu membunuh rebutan makanan. Yang satu, sepertinya terhina oleh kata-kata Sang Tekhnopath,” ucapku memecah keheningan yang disambut tatapan sinis mereka berdua.

“Saya mah lapar, Neng. Kalau lapar, banyak orang menghalalkan segala cara!” ucap Asep yang dibarengi dengan bunyi kriukk nyaring dari ketiga perut kami.

“Ah … persetan dengan kalian berdua!”

Tanpa aba-aba, Meredy bergerak mendekati kotak persediaan. Melihat Meredy bergerak, Asep dengan sigap mengejar dan langsung menendang Meredy mundur dengan jurus papatong cendol kiwari.

Aku harus ambil kesempatan ini untuk mendekati kotak perbekalan. Aku berlari kencang menuju kotak. Namun tiba-tiba …

“Shockwave Bullet!!” Meredy meneriakkan sesuatu dan kami (aku dan Asep) terlempar menjauh.

Asep menyerang Meredy dengan jurus Papatong sesuatu yang aku tidak terlalu mendengarnya. Yang benar saja, masa harus menyebutkan nama jurus ketika ingin menyerang musuh? Ini kan bukan film kartun Dragon Ball? Ini dunia nyata!

Lebih baik aku fokus untuk mendapatkan perbekalan!

Aku berlari kembali mendekati perbekalan dan …

... “Nullifying Bullet!” langsung di tembak oleh Meredy yang membuatku tidak dapat bergerak.

Di saat itulah, saat Meredy tidak fokus pada Asep. Asep melayangkan jurus sodokan Papatong Getuk Lindri pada tengkuk belakang Meredy yang sedang melihat ke arahku. Meredy tersungkur seketika.

“Selamat sore para peserta. Pengumuman, peserta yang harus dibunuh sisa satu orang. Telah meninggal dunia, Meredy Forgone di tengah padang pasir Bauhaus oleh Asep Codet Si Abah. Perbekalan kedua masih gratis dan belum ada yang mengambil. Sisa peserta yang masih bertahan adalah dua orang. Terima kasih.”

Tinggallah aku dan Asep di atas gurun luas Bauhaus ini.

“Neng, tahu ga! Di dunia saya, saya ini preman loh!” kata Asep padaku, yang aku tidak tahu maksudnya apa.

Aku menatapnya bingung, mencoba mencari tahu, ke mana arah pembicaraannya akan bergerak.

“Kamu teh tahu enggak, aku tidak menyesali diriku yang pernah menjadi preman. Kamu tahu kenapa? Karena aku jadi ditakuti oleh preman-preman lain di Bandung. Aku jadi lebih mudah mengarahkan mereka.” Aku tertawa sinis mendengar penuturannya. Yang benar saja? Dia senang karena ditakuti?

“Dan paman bangga karena telah ditakuti orang banyak? Di duniaku, orang yang ditakuti adalah orang-orang yang menyakiti orang lain.” Seperti teman-temanku dahulu.

“Ya, aku bangga! Karena seperti itulah Indonesiaku. Di Indonesia, untuk hidup, kau harus ditakuti. Neng Fellas, belum pernah kan melihat orang kecil yang tidak mendapatkan keadilan atas hukum? Belum pernah kan melihat bahwa kekuatan cinta saja tidak cukup? Kita harus punya power neng! Kekuatan. Karena, begitulah dunia ini bekerja!” jelasnya padaku dengan mata berapi-api. Orang ini orang baik. Chart-nya tidak buruk, bau darahnya juga.

“Maksud paman?” aku mengernyitkan pelipisku, tidak paham maksud dari penjelasannya.

“Dunia bekerja dengan proses evolusi, yang kuat bertahan, yang lemah akan mati. Itulah yang terjadi pada Kii yang lemah hati, Meredy yang lemah kemanusiaannya, Izu yang lemah tingkat awasnya, dan Fatanir yang lemah tingkat kepeduliaannya.”

“Mereka tidak lemah, kurasa. Mereka hanya lengah!” sanggahku. Aku tidak suka caranya menjelaskan. Benar, tapi sulit kuterima.

“Apa bedanya? Kalau mereka tinggal di Indonesia, mereka akan ditindas atau dimanfaatkan oleh para penguasa. Dan disitulah ‘rasa takut’ bekerja, Neng Fellas!”

“Paman membuatku semakin tidak mengerti.”

“Kadang kau harus memilih untuk ditakuti agar mampu membiasakan orang-orang untuk menjadi baik, Fellas.”

“… dan Tu-an A-sep,” aku menekankan kata ‘tuan’ di sana, sebelum melanjutkan kembali, “ terkadang, menjadi baik itu … sulit!”

Kulihat ia terdiam menatapku. Lalu senyum aneh itu terkembang. Senyum yang membuat perasaanku tenang, senyum yang selalu diberikan papa ketika aku merajuk karena bertengkar dengan teman-temanku. Senyum yang hanya kudapat ketika aku berinteraksi dengan Hewan. Senyum kebapakan.

“Neng, kau mengingatkanku pada seseorang di duniaku. Kang Idris. Beliau juga mengatakan hal yang sama ketika aku katakan, aku ingin pensiun menjadi preman, dulu.”

Aku terdiam mendengar jawabannya. Kang Idris. Di duniaku, Kang Idris adalah sebuah nama legenda pahlawan 100 tahun lalu. Seorang tetua bijaksana yang mendidik banyak preman. Salah satunya, bernama Codet.

“Terlalu banyak kebetulan. Tidak mungkin kau Codet yang itu!”

Aku menggelengkan kepalaku. Saat aku sedang berpikir seperti itulah, Asep berkata, “Neng, saya lebih suka bekerja dengan otot, itulah yang membuat saya menjadi preman yang paling disegani di Bandung. Saya ditakuti karena power yang saya miliki.”

Ia terdiam sejenak, kembali menatapku dalam.

“Dulu, saya teh tidak paham. Maksud kang Idris apa mengatakan hal itu kepada saya. Namun, setelah akhirnya saya menjalaninya, saya mengerti. Karena menjadi baik berarti kau tidak akan lagi ditakuti. Tidak ditakuti berarti kau tidak punya power. Tidak punya power berarti lemah.” Jelasnya panjang lebar.

Aku tidak paham mengapa ia menjelaskan itu semua padaku di tengah medan pertempuran seperti ini. Bukankah kami seharusnya baku hantam?

“Neng Fellas, saya preman, tapi saya teh bukan preman yang ugal-ugalan. Saya tidak akan melawan gadis kecil sepertimu. Bukan karena saya meremehkanmu. Tapi karena saya menghormati harga diri saya sebagai preman yang paling disegani seantero Bandung.”

“Apa maksud, Paman?”

“Hei, Tamon, saya … Menyerah.”

Dan … detik berikutnya, Paman Asep menghilang dari hadapanku. Apa-apaan itu tadi?

“Selamat siang Nona Maria Fellas. Pengumuman, pemenangnya adalah Nona Maria Fellas. Telah kembali ke pangkuan Yang Mulia Tamon, Asep Codet si Abah. Nona Maria Fellas akan di deportase dari Gurun Bauhaus Frontier dalam 3…”

Eh? Tunggu! Apa?

”2 ...”

Yang benar saja!!!!

“1 …”

HEI!!

“0 … Maria Fellas telah berhasil di deportasi. Terima kasih.”

***

Dan gurun itu pun lengang.

***

9 comments:

  1. Err, Kak Umi. Ini pendek bgt tp gimana gitu.

    Ini aneh:

    Mengapa? Mengapa mereka berkata seperti itu? Mereka sungguh membuat Felly merasa terusik. Apa salahnya? Ia hanya seorang gadis kecil yang ingin bermain dengan mereka. Kenapa mereka begitu? Aku hanya ingin ikut bersenda gurau dengan mereka. Kenapa?

    POV3 tp ada akunya.

    OC2 sih emang dapet POV semua, walau dikit. Tp kok itu gak membantu, ya? Terus ada breaking 4th wall kecil-kecilan. Dan banyak yg matinya offscreen. Asep doang lagi yang jelas karakterisasinya (di samping Nely).

    Tp saya seneng sama pemikirannya Kang Asep di sini. Dia gentle :D

    Jadi saya titip 7 ya Kak Umi ... maap :'(

    OC: Ahran

    ReplyDelete
  2. Ini lempeng bener ya

    Mungkin faktor deadliner, saya ga ngeliat ini cerita utuh. Pindah" pov1nya kurang cantik, interaksi sama battle ya gitu aja, berkesan ala kadarnya yang penting sampai. Karakternya kayak cardboard cut - ga ada pendalaman tentang mereka meski dikasih pov1. Terus asep juga nyerah, jadi usaha felly ga gitu keliatan

    Rasanya andai ada waktu ini bisa dikembangin jadi setara entri r1 meredy atau fatanir, tapi yasudahlah

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Ee POV 3 kok ada akunya. Kayaknya bener2 dikerjakan terburu2 nih, sayang sekali.

    Review dimulai.

    Plot : Secara konsep sebenernya bagus. Aku suka filosofi dari penulis yg diselipkan di pembukaan entry atau implisit seperti scene Felly dan Asep.

    “Dunia bekerja dengan proses evolusi, yang kuat bertahan, yang lemah akan mati. Itulah yang terjadi pada Kii yang lemah hati, Meredy yang lemah kemanusiaannya, Izu yang lemah tingkat awasnya, dan Fatanir yang lemah tingkat kepeduliaannya.”

    Bener2 menyentuh banget.

    Kalau entry ini sempet digarap, tentunya bakal banyak momen2 menyentuh antar karakter. Lalu canon Felly dan Asep yg berhubungan juga menarik banget. Tentunya aku pengen denger cerita Felly tentang "codet" legenda negerinya. Dan gimana reaksinya pas ketemu sosok asli sang legenda.

    ===

    Karakterisasi : Perpindahan POVnya kurang mulus, mungkin bisa ditambahkan [POV tag] kayak yg sering aku pake, utk menghindari kebingungan pembaca.

    Karena matinya kebanyakan offscreen jadi aku nggak bisa komen banyak. Yang pasti karakter Felly disini udah kuat banget, harusnya aku dalemin juga momen pas dia nikmatin darah itu di canonku. Tapi ya sudahlah...

    ===

    Battle : Nggak ada yg bisa dikomentari krn kebanyakan matinya offscreen.

    Dariku 8/10
    Aku nunggu monolog filosofis di entry berikutnya.

    OC : Meredy Forgone

    ReplyDelete
  4. wiw singkat bener. apa kebanyakan entri Tim H kek gini ya?

    gw ngerasa seharusnya sih ini masih bisa digarap lagi. tapi keknya Umi dah drop mood ya? *soktahu* dan gw baru ngeuh kalo gw dah bikin Felly OOC di entry gw wkwkw



    Nilai: 7/10
    OC gw: Kii


    ReplyDelete
    Replies
    1. setidaknya 3 (Meredy, Fata, sama Asep) ga kayak gini :v

      I hate you, hino-nii, kenapa dirimu tahu Umi lagi drop mood UwU


      OOC is a must :v

      Delete
    2. Dari 5K dipotong menjadi 3K, hmm ... I wonder why?

      Delete
  5. Yey, Umi mainan breaking 4th wall :v

    Andai si Singa tidak tereliminasi yak, Um? Jadinya Felly kesepian. Lalu Aragon pergi begitu saja, nemesis pun menghilang. Mungkin Umi mesti cari motivasi baru biar tetap semangat?
    --
    Ini entri kenapa judulnya nggak pakai judul berbau dunia persilatan lagi? Kayak prelim kemaren kan ada Gerbang Naga-nya. Dan iya inih ngedrop banget intensitasnya jika dibandingkan dengan prelim yang 9K. Setidaknya dari karakterisasi banyak yang tak kebagian tempat.

    Gaya tuker-tuker POV1-nya masih dipakai, dan di R2 nanti apakah masih akan diteruskan? Kita lihat saja. Namun kayaknya untuk kali ini agak kurang mulus jika dibandingkan dengan pada prelim. Mungkin karena POV1-nya sudah berganti-ganti dengan cepat sebelum pembaca dapat feel-nya di satu tokoh.

    Adegan berantemnya/matinya kebanyakan offscreen ataupun one-hit kill. Oh, well. Dan logat Sunda si Asep agak beda antara pertama kali dia muncul dengan di bagian akhir waktu ngasih ceramah ke Felly. Di bagian awal, si Asep lebih kerasa Nyunda-nya.

    Dan secara umum, si Felly di sini cuman kebagian adegan aksi menusuk Izu dan melahap darahnya ._. Hanya itu.

    Ponten 7

    Tapi saya kasih +1 karena ada dua bagian yang saya suka, yaitu satu di sini:

    “Dunia bekerja dengan proses evolusi, yang kuat bertahan, yang lemah akan mati. Itulah yang terjadi pada Kii yang lemah hati, Meredy yang lemah kemanusiaannya, Izu yang lemah tingkat awasnya, dan Fatanir yang lemah tingkat kepeduliaannya.”

    Jadi teringat kuot dari Sir Zero Crocodile (One Piece)
    "Menjadi lemah itu adalah dosa!"

    --dan satu lagi di sini:

    Kulihat ia terdiam menatapku. Lalu senyum aneh itu terkembang. Senyum yang membuat perasaanku tenang, senyum yang selalu diberikan papa ketika aku merajuk karena bertengkar dengan teman-temanku. Senyum yang hanya kudapat ketika aku berinteraksi dengan Hewan. Senyum kebapakan. (LEL, itu kenapa Hewan-nya mesti dikasih awalan huruf kapital? I-itu bukan saya, kan? :v)

    TOTAL PONTEN 8
    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete
  6. Sebenernya sih saya baca entri ini agak bingung, kare tiap perpindahan scene itu menggunakkan PoV karakter tapi sayangnya kurang berjalan mulus setiap kali berpindahnya. kematian yg terjadi antar karakter jga rata2 offscreen, tau2 mati aja. jadi kurang gigit pertarungannya.
    saya suka dengan kalimat-kalimat abah asep. kata-kata yang berpotensial jadi quote, gugurnya abah asep pun keren. Hihi

    jadi nilai dari Khanza 8.

    Khanza:3
    *mampir-mampir ke lapak khanza yah.

    ReplyDelete
  7. Hai, Umm..

    Ini bagus loh konsep dasar ceritanya. Dan konsep ini juga diutarakan dengan baik. Sayang narasinya kurang ngehook. Perpindahan PoV agak maksa rasanya, hanya demi ngejelasin ceritanya sendiri sambil masukin sebanyak mungkin castnya. Jadinya rada berantakan.

    Untung aja pendek jadinya masih bisa dipaksain baca buat sampe ke bagian yang bagus (Part 3, terutama)

    Nilai : 7
    OCku : Alshain Kairos

    ReplyDelete