16.6.15

[ROUND 1 - TEAM G] SANELIA NUR FIANI - SAM RILME'S CHAMBER OF SECRETS

Sanelia Nur FianiSam Rillme's Chamber of Secret
Penulis: Ichsan Leonhart


Turnamen semesta mereka bilang. Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang diinginkan, begitu mereka bilang.

Bullshit—, mereka hanya menginginkan sebuah pembantaian. Demi memuaskan nafsu sadistik dalam serangkaian pembunuhan.

Wajahku terpelotot ngeri menatap tiga sosok mayat tak bernyawa. Aku sudah membunuh mereka. Lenganku kotor oleh darah mereka yang dulu pernah kuanggap teman. Kami dipaksa bertarung sama lain. Battle of Realms ini tak lebih dari ajang sambung ayam.

Andai aku tak mengikuti peraturan… Andai setahun lalu itu aku tak mengikuti apa yang mereka inginkan.



Berhari-hari sebelumnya…

Kutatap gadis bermata biru di seberang cermin, rambutnya biru sebahu serta memiliki kulit seputih salju. Pandangan matanya begitu tajam menusuk. Alis matanya tipis, di penghujungnya memiliki sudut kecil berbelok arah. Persis seperti bentuk ceklis terbalik, turunan dari ayahku.

"Yulia, aku kenal dengan Leon ayahmu." Seseorang berucap pelan memecah kesunyian. Sontak saja mengubah ekspresi dingin di wajahku. Daguku nyaris jatuh disertai pupil mata membuka lebar-lebar.

Dia memanggilku Yulia? Apa maksudnya?

Ucapan Ruu— wanita berambut pirang dengan dada membusung nyaris tumpah—begitu jelas terngiang di telinga. Kulihat senyumnya tertarik sebelah, menatapku dari balik cermin tepat di belakangku. Ucapan selanjutnya juga telah membangkitkan rasa penasaranku,

"Kau bisa bertemu dengan ayahmu kembali. Dia ada di sini," ucapnya dengan nada menggoda, "Dan cepatlah bangkit Yulia, aku tau kau ada di sana."

Tanpa mengacuhkan ucapan anehnya tentang Yulia, mulutku saat ini terbuka hendak berucap memanggil namanya. Sontak saja aku berbalik, tapi wanita itu berlalu begitu saja, keluar dari toilet wanita seraya menutup pintunya.

Langkahku bergegas cepat hendak menyusulnya, memasuki sebuah aula penginapan terbuat dari susunan kayu. Kondisi di sana begitu sesak oleh kerumunan orang-orang.  Aku gagal menemukan keberadaannya.

Orang-orang begitu riuh menyimak sang Panitia berambut ungu. Mereka memprotes akan absennya sang Tamon Ruu. Padahal sedetik tadi dia ada di sini bersamaku, di dalam toilet wanita. Dia seharusnya berada di sini.

Aku tak begitu suka dengan keramaian. Lenganku secepatnya mengambil beberapa makanan, lalu menyantapnya hanya demi menenangkan protes perutku. Tak lama kemudian aku menyelinap pergi ke luar ruangan, berharap menemukan sosok wanita tadi walau entah di mana.

Kudapati langit gelap bertabur bintang, juga gemerlap lampu penerangan. Di salah satu sudut kota Despera, kulihat segerombolan manusia tengah berjalan, digiring oleh para maid perempuan bertindak sebagai panitia.

Salah satu dari yang digiring itu adalah gadis dengan retina berwarna merah.

"Alayne," batinku memanggil namanya. Tak boleh aku bersuara, atau keberadaanku akan diketahui oleh mereka.

Pandanganku terhalang, mereka memasuki sebuah gang. Selanjutnya aku memanjat sebuah bangunan, hanya demi memuaskan rasa penasaran.

Mataku dibuat terbelalak sedetik kemudian, terkejut bukan kepalang kala menyadari pembunuhan di kejauhan. Mereka yang tak lolos sama sekali tidak dipulangkan. Tubuh mereka diumpankan pada semacam mesin pengaduk penuh dengan bilah tajam berseliweran.

Mesin itu meraung dengan asap membumbung. Suara rotor yang berputar seolah tak tahan untuk menunggu. Para korban berdiri kaku, berdiri di atas konveyor yang bergerak pelan mengantar menuju kematian.

Rasa ngeri terukir jelas di wajahku, terlebih ketika menyadari sosok temanku dibawa pelan dengan tatapan semu. Tak seorangpun dari mereka melakukan perlawanan, masing-masing terlihat begitu kosong seolah sedang dikendalikan.

"Alayne…" ucapku pilu, tak kuasa menahan pedih kala menatap tubuh gadis tengah disayat. Napasku terpekik ketika menyaksikan lima bilah tajam melayang cepat mencincangnya. Membuat gadis itu berubah wujud menjadi puluhan bagian daging berserakan. Darah kental terlihat berceceran, menciprat ke segala arah meninggalkan noda kemerahan.

Selanjutnya, potongan tubuh mereka yang telah dieksekusi digiring oleh mesin itu ke salah satu sudut terluar. Di sana sudah ada beberapa maid dengan apron menempel, begitu sigap melakukan tugasnya.  Aku menyusuri dua orang maid yang terlebih dahulu berangkat membawa seonggok daging. Mereka tengah menjadikan potongan itu sebagai bahan baku untuk hidangan di istana, juga pada kedai yang saat ini tengah ramai pengunjung.

Mendadak aku merasa mual, pantas saja steak di kedai tadi rasanya begitu aneh.

Aku harus pergi dari sini. Tidak— aku harus pergi dari tempat ini. Tak hanya dari kota ini, tapi pergi sejauh mungkin dari turnamen konyol ini. Lenganku bergetar hebat dilanda rasa takut, insting bertahan hidupku seolah aktif untuk kesekian kalinya. Aku tak akan pernah terbiasa hidup dalam dunia penuh dengan kekejaman seperti ini. Meski dunia ini hanyalah sebatas virtual reality, tapi tubuh ini nyata apa adanya dalam wujud solid, lengkap dengan kesadaran diri.

Jika aku mati di sini, aku memang benar-benar akan meninggal secara sungguhan.

"Mau ke mana nona cantik? Ada sebuah turnamen yang harus kau ikuti," ucap seseorang di belakangku. Ucapanya terasa begitu dekat dengan telingaku. Suaranya terdengar seperti suara Ruu.

Bulu kuduk sontak berdiri, belum sempat aku berbalik, pandangan gelap mengikuti. Aku dibuat tak sadarkan diri.


Sang rembulan begitu terang menerangi malam. Berbeda dengan purnama di bumi tempat asalku, bulan di tempat ini begitu besar jauh melebihi matahari.

Aku terbaring di sebuah padang rumput dipenuhi ilalang. Senapanku tergeletak tepat di samping kiri.

Di mana ini? Apa yang terjadi? Hatiku bertanya seraya menelisik sekeliling. Kudapati sebuah api unggun dengan bara merah menyala tanda kayunya habis terbakar.

Seseorang tiba di sini beberapa waktu sebelum diriku.

Tak jauh dari api unggun, terdapat sebuah papan billboard berisi iklan. Isinya bertuliskan pengumuman detail peraturan, serta ilustrasi Tamon Ruu tengah berpose erotis mengenakan kostum kapal-kapalan.

1. Bunuh semua orang hingga pada akhirnya hanya satu yang tersisa.
2. Tetap hidup hingga akhir.
3. Jika point satu dan dua belum jelas, tolong baca lagi dengan cermat.

Di sisi lainnya Kudapati sebuah kastil raksasa di dalam sebuah lembah. Terletak tepat di tengah-tengah curamnya pegunungan berbatu. Bangunan itu agak tersembunyi dihalau lebatnya hutan.

Jalan lebar berisi kerikil merupakan satu-satunya akses menuju sana. Di penghujung jalan menurun itu terdapat dua menara kembar sebagai pintu gerbang. Tepat di belakangnya, kudapati cekungan curam dengan dasar gelap tak terlihat, fungsinya kurang lebih sebagai parit penghalang mengitari sekeliling bangunan.

Haruskah aku pergi ke sana?

Di peraturan tadi tertulis bahwa salah satu syarat untuk menang adalah bertahan hingga akhir. Dengan kata lain, ronde kali ini adalah tentang sekumpulan peserta yang harus saling membunuh satu sama lain.

Aku tak ingin merepotkan diri. Cukuplah mereka saling membunuh di dalam sana, sementara aku berdiam diri menikmati udara malam.

Baru saja aku berpikir demikian, kurasakan sebuah bahaya mengintai dari kejauhan. Kuputar tubuhku, seraya mengubah posisiku dalam gerakan membidik setengah berlutut.

Jauh di sela pepohonan gelap, muncul sekumpulan makhluk aneh seperti seekor kutu. Bedanya, kutu berkaki enam ini berukuran nyaris sebesar mobil keluarga. Jumlahnya ada banyak. Derap kaki mereka begitu bergemuruh bahkan hingga menggetarkan tanah.

Kutembak salah satu dari mereka, akan tetapi kulitnya begitu keras seolah terbuat dari baja.  Peluruku tak berarti apa-apa. Aku tak akan selamat jika terus berdiam di sini.

Sontak saja aku berlari, berusaha menyelamatkan diri dengan mendekati pintu kecil di bawah menara. Kututup pintu kayunya, hanya untuk dikagetkan oleh empasan keras berupa tusukan kakinya seperti pedang tajam.

Hantaman berulang kali sukses menjebol pintu kecil itu, aku hanya terpelotot ngeri seraya mendekatkan diri pada dinding batu.

Mereka gagal memasuki pintu, ukuran tubuh mereka terlampau besar untuk itu.

Maka kumanfaatkan kesempatan yang ada untuk berlari menyusuri tangga. Begitu sempit dalam lingkaran memutar.

Tiba di atas, kulihat makhluk-makhluk itu tengah mencakar-cakar tembok dinding menara. Mereka tak sanggup untuk memanjatnya. Setidaknya aku aman untuk saat ini.

Jembatan penghubung menuju kastil ternyata putus di bagian tengahnya. Aku tak punya pilihan lain selain terperangkap di atas sini. Setidaknya aku tak harus ikut berpartisipasi dalam acara saling membunuh di dalam sana.

Atau haruskah kutolong panitia untuk mempercepat proses tersebut?

Pikiran jahat terbesit di benakku. Sebagai seorang penembak runduk, situasi seperti ini sebenarnya amat menguntungkan. Berada di ketinggian, tepat di hadapan sebuah bangunan, berisi target yang harus dilenyapkan.

Kubaringkan tubuhku, seraya mendekap popor senapan Gauss Rifle kesayanganku. Kuatur bagian scope-nya seraya mengatur fokus pada jarak yang hendak ditempuh peluru.

300 meter. Ini mudah—, sangat mudah. Rasanya seperti melempar kertas kusut pada sebuah keranjang sampah.

Belum lama aku mencari, kudapati sesosok pria dengan tubuh setengah telanjang, tengah asyik terlentang, tidur dalam kehangatan bulu seekor harimau di sebuah ruangan. Keberadaannya terlihat walau hanya sekilas di dalam sebuah celah di sela-sela jendela.

Kutarik udara perlahan, lalu sambil menahan napap kutembak kepalanya dari kejauhan.

Akan tetapi usahaku gagal, bidikanku meleset dan malah mengenai hewan peliharaannya.

Sosok itu terkaget-kaget, menyusuri pandangan ke segala sudut walau gagal menemukanku. Aku ceroboh, pisir dan pijera di bagian pembidik belum aku setel ulang dari pertempuran sebelumnya. Titik di bagian tengah belum tentu mengenai target yang seharusnya.

Tak lama setelah aku melakukan penyesuaian, kubidik kembali ruangan itu dari kejauhan.

Mulutku agak terbuka, kecewa karena gagal menemukan target. Sosok itu sudah menghilang dari sana, mungkin sadar bahwa dirinya sedang diincar oleh seorang penembak runduk.

Berikutnya, aku mendapati nyala terang dalam sudut gelap area kastil. Seseorang tengah berjalan dengan obor di tangan, di sebuah labirin terbuat dari tetumbuhan. Keberadaannya dengan cahaya dari api jelas memudahkan pencarianku. Segera saja kubidik tempat itu lewat teropong dengan empat kali pembesaran.

Berambut hitam mengenakan korset ketat nyaris membungkus seluruh tubuhnya, wajahnya disembunyikan dalam balutan topeng putih bermotif garis hitam di bagian matanya. Pikiranku berubah fokus, sama sekali tak kuhiraukan riuh para serangga raksasa di bawah sana. Pisir dan pijera sudah selaras dalam setting yang kusesuaikan. Jemariku menekan pelatuk seraya berharap sebuah keajaiban. Semoga tembakan ini tidak meleset.

Bum!

Tembakan dari senapanku sebenarnya tak menciptakan dentum ledakan layaknya senapan biasa. Suara gedebum tadi berasal dari sonic boom yang tercipta kala projektilku melesat melebihi kecepatan suara.

Lengannya terlihat putus sebelah, tadinya sudah kubidik tepat di kepala, akan tetapi keberuntungan telah menyelamatkan nyawanya. Sebuah tiupan angin acak telah membelokan peluru dari jalur semestinya. Dia terhindar dari kematian, menatapku tajam, lalu berjalan menjauh menghilang di sebuah tikungan.

Kulepaskan pandangan dari teropong senapan, semata agar daya jangkau mataku meluas mencakup seisi kastil. Perempuan tadi bisa langsung mengetahui di mana posisiku.

Tak lama berselang, kudapati kemilau cahaya lainnya dari balik pagar kastil di seberang sana. Letaknya jauh lebih dekat dari dua target sebelumnya. Mungkin sekitar 80 meter.

Seperti sebelumnya, pisir dan pijera kuselaraskan seraya menarik napas. Lalu tanpa ragu kutarik pelatuk seraya menembak sesosok wanita berambut merah yang sedang memegangi obor.

Sebuah peluru tajam melesat cepat menghampirinya. Tembakanku seharusnya berhasil menembus tubuhnya. Dan memang begitu, perut kirinya terluka diempas peluru. 

Akan tetapi serangan itu seolah tak berarti padanya. Instingnya begitu peka menelusuri lajur projektil senapan. Pandangan kami bertemu seketika. Mungkin disebabkan oleh refleksi retinaku yang bersinar memantulkan tiap cahaya, layaknya kucing di kegelapan malam.

Lewat kemampuan khususnya ia melenting pelan, lalu melesat cepat dengan melontarkan diri sendiri seperti karet gelang.

Berada di puncak kukira merupakan sebuah keuntungan. Tadinya aku kira begitu. Namun aku salah. Ada orang berkemampuan luar biasa yang mampu melesat cepat seolah jarak bukan menjadi masalah.

Tiba di hadapanku, tubuhnya diposisikan hendak menubruk sekuat tenaga. Suara gedebum keras tercipta kala dirinya menghantam keras sebongkah batu yang menjadi tempat berlindungku.

Dilanda kepanikan, sempat kugulingkan badanku hingga tak sadar bahwa sedang berada di tepian. Sontak saja aku terjerembab jatuh menuju kedalaman. Tubuhku nyaris diraih beberapa serangga raksasa yang berkumpul di penghujung bebatuan. Senapanku tertinggal di atas sana ketika berusaha menghindar.

Mataku terpejam erat, berusaha melindungi wajah dan kepala seraya berguling-guling membentur bebatuan, jauh menyusuri celah sempit berair di bawah sana.

Tubuhku terempas jatuh pada sungai dangkal berbatu. Sesaat aku kesulitan untuk bernapas, organ dalamku terbanting dengan keras.

Kusadari sosok tadi masih berusaha memburuku. Duikuasai panik aku merayap pada bagian sungai penuh dengan rerumputan berlendir.

Di sana aku terbaring, menyatu dengan tetumbuhan liar dan dasar berbatu, menggigil dengan lengan bergetar, menahan dinginnya guyuran air dari lereng di sampingku.

Napasku begitu pelan, diatur sedemikian rupa demi menenangkan diri dari adrenalin yang memuncak.

Sesosok perempuan berambut merah tadi tiba di hadapanku, setelah sebelumnya agak kesulitan untuk menyusuri lereng, memberiku cukup waktu untuk bersembunyi. Langkah kakinya begitu pelan seraya menyapu pandangan. Matanya mendelik tajam. Raut wajah sadistik terukir jelas dalam nafsu. Agak lama ia berdiam diri di sana, memasang telinga mencari suara agar bisa mengidentifikasi keberadaanku.

Sosok itu begitu mengerikan, gerakannya cepat, lincah serta mampu berubah bentuk sesuka hati sesuai dengan keinginan. Dia bukan sosok manusia biasa, monster lebih tepatnya.

Aku menyelipkan diri pada sudut tebing berisi air berlumpur, dilindungi oleh guyuran air berselimutkan rerumputan tinggi. Pedih terasa mengikuti, kala aku menyadari tiga sobekan lebar tercipta di bagian paha kiri. Ketika itu aku jatuh membentur sekumpulan runcing bebatuan, tersayat oleh ujungnya yang tajam.

Untungnya tempat ini lumayan gelap, jadi genangan air yang kemerahan ini tak sedikitpun terlintas di pandangannya. Aku tak boleh meringis kesakitan, sosok itu akan menyadari keberadaanku. Tak letih ia mencariku. Ia mondar mandir hingga langkah kakinya kini tepat berada di hadapan wajahku. Tempat gelap ini seolah menjadi penyelamatku.

….

Lima menit telah berlalu. Sosok itu tampaknya  mulai kehilangan kesabaran. Wanita berambut merah sebahu itu akhirnya pergi meninggalkan lokasi seraya mendengus tajam.

Butuh beberapa menit bagiku untuk bisa yakin bahwa kondisi benar-benar aman. Berendam terlalu lama dalam kubangan juga jelas bukan pilihan yang bagus. Tubuhku begitu kedinginan, dan aku tak ingin terkena hypothermia.

Lambat laun aku merangkak bangkit, seraya menyapu pandangan pada kondisi di sekeliling. Senjataku jatuh tertinggal di atas sana. Aku tak bisa berbuat apa-apa tanpa benda itu. Jangankan membunuh, melukai seseorang saja aku tak mampu.

Beberapa saat aku termenung, seraya menganalisa situasi di sekitar.

Aku berada di dasar parit sebuah kastil, tebing berlumut telah menghalangi niatku untuk naik menuju balkon di tingkat paling rendah. Sosok tadi pergi dengan memanjat dari sini. Dua lengannya berubah tajam, tanpa kesulitan ia mendaki pergi dari sini.

Sementara aku terjebak di bawah sini, tak bisa pergi ke manapun selain berjalan menyusuri. Celah sempit ini merupakan sebuah parit yang mengelilingi sekitaran kastil.

Basah—, langkah kakiku senantiasa menciptakan bunyi nyaring di tiap pijakan mengenai air. Ini bukan sesuatu yang bagus.

Terbukti dengan kemunculan sesosok makhluk melata berukuran besar. Seekor kelabang dengan puluhan kakinya, merayap cepat menuju ke arahku. Sontak saja aku berbalik dilanda panik, melakukan langkah seribu berusaha menyelamatkan diri dari kejarannya.

Tapi langkahku terlalu lambat. Belum sempat aku memulihkan diri dari luka di paha kiri, kini betis kananku dilahap keras oleh mulutnya yang tajam. Aku bahkan lupa menceritakan bahwa kelabang itu sebenarnya berukuran sebesar kambing. Sangat besar, cukup untuk melahap kakiku dalam sekali telan. Dan memang itulah yang terjadi, telapak kakiku putus begitu saja dalam sekali kunyah.

Aku menjerit pilu, tak kuasa menahan siksaan dari rasa nyeri. Tubuhku jatuh terjerembab, kembali basah kuyup dalam kubangan air dingin. Aku belum bisa melepaskan diri, makhluk itu kembali menyergapku, lalu mengunyah kakiku sejengkal demi sejengkal dalam rangkaian gigi tajamnya. Aku bergidik takut kala melihat tulangku menyembul di sela-sela aliran darah dan daging yang tercabik. Jutaan impuls rasa sakit datang menyerang, aku begitu menderita.

"Nnnggggghhhh…"

Napasku begitu lemah. Aku harus melakukan sesuatu, apapun itu. Mataku terpejam erat, dalam rintihan ini aku berusaha untuk memutar otak.

Kekuatan fisikku hanya setara anak SMA biasa. Aku memang memiliki energi sihir, tapi aku tak tahu cara menggunakannya dalam situasi seperti ini. Sungguh berbeda dengan mendiang ibuku yang bahkan sanggup melempar sebuah tank hanya dengan satu pukulan.

Ilmu sihir memang hebat, seharusnya aku bisa menghapal lebih banyak. Seharusnya aku bisa memperkuat tenaga kaki dan lenganku hingga berkali lipat. Yang bisa kulakukan hanyalah melakukan induksi berupa sengatan listrik pada senapan elektromagnetik.

Listrik—, itu dia! Aku hanya sanggup mengeluarkan arus sebesar 100 volt, tapi seharusnya itu sudah cukup.

Kuarahkan lenganku pada kelabang raksasa tadi. Lalu dalam satu entakan kualirkan daya sebesar dua puluh amper. Makhluk itu tersentak beberapa saat, lalu melepasan cengkeramannya seraya berlalu dari hadapan.

Sengatan tadi bahkan tak mampu melukainya, hanya cukup untuk menakutinya. Aku begitu menyedihkan.

Air yang menggenang mulai berubah kemerahan. Batinku menjerit keras, mengutuk rasa sakit yang mendera. Ingin rasanya berteriak keras sekedar untuk meringkan derita yang ada. Namun mulut ini hanya merintih kecil dalam tangisan tak bersuara. Aku tak boleh memberitahukan posisiku pada peserta lainnya.

Aku harus bergerak lagi, tak boleh berdiam diri terlalu lama. Tak ada yang tahu kapan makhluk itu akan datang lagi. Susah payah aku berjalan, tertatih-tatih dengan kaki putus sebelah, seraya bertopang pada bebatuan licin berlumut, sekedar untuk menjaga diri agar tak kembali jatuh.

Hal pertama yang terjadi adalah menyumbat darah tepat di bagian luka yang ada. Jadi tetesan itu sebenarnya hanyalah sisa-sisa darah yang tertinggal di jaringan terluar.

Luka ini akan sembuh, aku harus percaya pada kemampuan regenerasiku. Kemampuan ini bukanlah hal pratis, karena proses penyembuhannya membutuhkan waktu begitu lama. Tidak seperti sihir instant healing macam sihir Curaga. Setidaknya aku harus menemukan tempat untuk istirahat.

Di celah sempit itu, aku berhasil menemukan sebuah lorong kecil. Alih-alih sebuah gua, aku sadar betul bahwa lubang itu merupakan akhir dari sistem saluran pembuangan. Tempat ini dulunya mungkin dipenuhi bau kotoran para penghuninya. Setidaknya aku harus bersyukur karena kastil di atas sana begitu kosong tak berpenghuni, jadi tak ada 'tahi kuning' yang akan mengambang keluar melewati jalur ini.

Diameternya begitu kecil, aku hanya bisa memasukinya dengan cara merangkak. Berbeda dengan di parit berair tadi. Tempat ini begitu gelap gulita, tak ada satu pun penerangan yang tersedia. Tak ada sinar rembulan dari langit yang akan menunjukan ke mana aku harus pergi.

Aku harus kreatif, satu-satunya kemampuanku selain menembak hanyalah mengeluarkan sengatan kecil listrik sebesar 100 volt. Jika telunjuk kananku mengeluarkan arus positif, didekatkan dengan telunjuk lengan kiri dalam sumbu negatif. Seharusnya akan tercipta sebuah percikan listrik dari sebuah sambungan yang terputus.

Bzzzt

Jariku terasa sakit, lonjakan listrik tadi terasa panas walau hanya sekejap. Pun begitu, waktu sekejap itu sudah cukup bagi ingatan visualku untuk menangkap seberapa jauh lorong ini memanjang. Tak ada hambatan berarti di sana, jadi aku kembali memaksa tubuh lelah ini untuk kembali merangkak menyusuri, seraya meraba tiap jengkal dinding sekedar untuk memastikan.

Percikan lainnya kembali kuciptakan dalam saluran pembuangan ini. Pandanganku menangkap sebuah persimpangan, beserta teralis besi penutup selokan di bagian atasnya. Sebuah jalan bagiku untuk keluar dari tempat sempit ini.

Susah payah kuangkat bongkahan besi itu, menciptakan bunyi nyaring serupa gesekan logam berkarat. Aku tak boleh berlama-lama di sini. Pada akhirnya aku berhasil keluar dari selokan menyesakkan ini.

Jemariku kembali menciptakan sebuah percikan listrik lainnya. Sekelebat kilatan cahaya yang muncul memberitahuku bahwa tempat ini merupakan satu dari serangkaian ruang eksekusi. Sesaat tadi aku melihat tiga guillotine—alat untuk memenggal kepala—lengkap dengan tengkorak yang masih tersimpan tanpa kepala.

Perlahan aku bangkit, lalu berjalan tertatih-tatih dengan satu kaki sebanyak empat lompatan. Sesuai perkiraanku, aku berhasil menggapai sebuah dinding sekedar untuk bersandar.

Sejenak aku meringis, rasa sakit di kaki yang terkoyak ini belum akan hilang dalam beberapa waktu ke depan. Tiap tetesan darah yang terciprat seakan menjadi bunyi paling nyaring dalam kesunyian.

Gelap sekali, di dalam sini tak ada satupun jendela meski hanya untuk jalan masuk cahaya. Mataku seharusnya bisa melihat lebih baik dalam gelap, akan tetapi ketika tak ada cahaya untuk dikumpulkan, dengan apalagi aku harus melihat?

Maka kuposisikan jemariku, hendak menciptakan percikan cahaya lainnya. Mataku menatap lurus ke depan, bersiap untuk mengingat segala sesuatu yang akan terlihat dalam jeda sepersekian detik saja.

Bzzzt

Sebuah tangga lusuh untuk naik menuju lantai selanjutnya, tembok kusam dari bebatuan penuh dengan sarang laba-laba, serta sesosok manusia setengah transparan berkepala kuda. Berdiri kaku tepat di sampingku.

Sontak saja aku jatuh tersungkur, melonjak kaget dengan mata terbuka lebar. Napasku tertahan, jantungku melonjak keras. Kupaksakan kembali jari yang masih terasa panas untuk menciptakan percikan listrik lainnya. Kilatan cahaya yang ada tak sama sekali tak membantuku untuk menunjukan keberadaannya. Sosok tadi menghilang begitu saja.

Aku lengah, keberadaanya sama sekali tak terdeteksi. Apa dia salah satu peserta?

Masih mengandalkan ingatan dari sekelebat cahaya tadi. Aku kembali berjalan tertatih-tatih untuk kemudian menyusuri tiap anak tangga.

Tingkat cahaya di sini tak segelap di bawah sana.

Aku tiba di sebuah koridor. Di hadapanku terdapat buku jurnal tergeletak berlumuran darah, baunya terasa anyir. Kubuka bagian sampul terluarnya.

Mission has been compromised.
Captain has been killed, the rest of team cannot survive. We are trapped. They are here, killing each one of us. Beware of the dark.
It's Klendathu… they are real.

Klendathu? Ah iya—, serangga yang menyerangku tadi memang bernama klendathu. Aku baru ingat, dulu pernah membacanya pada kisah fanfic di halaman Nyasuverse, kalau tak salah judulnya Starship Troopers : Jane Cho Awakening.

Beralih pada lorong tadi. Di penghujung sebelah kiri kudapati cahaya temaram dari balik sebuah belokan. Berwarna orange dengan fluktuasi bayangan tak tentu arah. Sumber penerangan itu pastilah datangnya dari sebuah api.

Obor—, batinku berucap seraya menganalisa.

Dengan kata lain, seseorang telah menyalakannya. Salah satu peserta dari babak pembantaian ini ada tak jauh dariku.

Sepanjang lorong kudapati rangkaian corong obor tersusun rapi. Tiap ujungnya masih terasa lembab oleh minyak. Aku bisa saja mengambil salah satu dari obor itu, lalu menyalakannya untuk membantuku menyusuri tiap sudut kastil.

Namun itu bukanlah tindakan cerdas. Menyalakan api berarti memberitahukan posisi. Dan saat ini aku sama sekali tak memiliki pertahanan diri.

Maka alih-alih berjalan mendekati, aku mengambil arah untuk bergerak menjauhi. Di penghujung lorong sebelah kanan terdapat tangga lainnya menuju lantai selanjutnya. Ke sana lah aku harus pergi.

Aku kembali dihadapkan pada rangkaian lorong bercabang lainnya. Konstruksi dindingnya terbuat dari beton keras, berwarna kusam penuh dengan retakan di berbagai tempat. Kudapati sarang laba-laba di beberapa sudutnya. Beberapa persimpangan menandakan tempat ini merupakan sebuah labirin—, atau acapkali disebut dengan julukan 'Dungeon'.

Pupil mataku terbuka amat lebar, berusaha mengumpulkan tiap cahaya yang tersedia. Salah satu persimpangan terlihat lebih temaram dari sisa kegelapan yang ada, berarti dari sanalah sumber cahaya berada.

Di sebuah persimpangan menuju sana, aku berpapasan dengan sesosok manusia tak tentu rupa. Mulutnya robek dengan tulang rahang terlepas dari sendinya. Dia mengeluarkan suara, melenguh pelan tanpa makna.

Sontak saja gerakanku terhenti seketika, berharap dirinya tak menyadari posisi di mana aku berada. Langkahnya terseok-seok, bergerak lurus tanpa merubah arah, mengabaikan keberadaanku walau tepat di sampingnya.

Zombie? Batinku berusaha menebak. Bau amis mengikuti tak lama kemudian, tanda bahwa mayatnya masih segar dengan darah menggenang. Aku memfokuskan pandanganku pada ujung lorong tempatnya berasal. Kudapati setumpuk mayat tergeletak di dalam sana. Masing-masing mengenakan pakaian tempur lengkap dengan pelindung tubuh terbuat dari baja. Helm dari bahan Kevlar, elbow pad, knee pad, serta sepatu boots militer jaman sekarang. Mereka ini bukanlah orang-orang dari abad pertengahan, lebih ke arah pasukan modern dengan persenjataan otomatis.

Aku tertarik untuk memeriksa mereka. Mungkin saja ada persenjataan yang bisa kugunakan di sana, terbukti dengan berserakannya selongsong peluru, tanda selesai digunakan.

Mayat-mayat itu terlihat gelisah, menggeliat tak karuan sekedar berusaha untuk bergerak. Tubuh mereka terpotong-potong sebagian. Lengan dan kaki bergeletakan di hadapan. Beberapa ada yang mendekat dengan cara mengesot pelan, menarik lantai dengan kedua lengan, meninggalkan jejak darah terseret di lantai.

Aku harus mengurungkan niatku. Bulu romaku bergidik tanda bahwa bahaya lainnya datang mengintai. Kurapatkan tubuhku pada tembok, seraya menjatuhkan diri berpura-pura menjadi seonggok mayat, berharap agar tak ketahuan. Apapun itu, sesuatu tengah berjalan mendekat dengan napas berembus pelan.

Klendathu—serangga raksasa setinggi tiga meter, dengan moncong berbentuk gunting  siap menyayat—berjalan pelan melewatiku. Serangga itu tinggi, begitu gumpal memenuhi seisi koridor. Tiga pasang kakinya yang meruncing menderap langkah tepat di hadapan wajahku. Napasku tertahan, aku memejamkan mata erat seraya berusaha agar tetap tenang.

Tubuh besarnya berbelok pada sebuah persimpangan, menghampiri sekumpulan mayat tadi lalu memulai proses mencincang, mengkonsumsi mangsanya dengan pelan-pelan. Mataku terbuka lebar seraya mengumpulkan kesadaran. Dengup jantungku seolah berlarian, nyaris saja aku pingsan. Pandanganku tanpa sengaja menatap salah satu bagian dinding, di sana terdapat sebuah tulisan.

Fear no Evil
Embrace the Darkness
Befriend with Silence

Berwarna kemerahan, tercipta lewat guratan darah. Aku paham maksud tulisan itu. Pesan kematian dari salah satu korban, berusaha mengingatkan akan bahaya dalam kegelapan. Aku sadar, tempat ini mungkin dipenuhi oleh para serangga raksasa tadi.

Aku harus pergi dari sini.
Aku harus cepat.
Aku tak ingin mati.

Tertatih-tatih kutelusuri tiap lorong yang memiliki intensitas cahaya. Kutemukan sebuah tangga untuk naik menuju lantai selanjutnya.

Tiba di sini, aku bisa sedikit bernapas lega. Tempat ini setidaknya terlihat lebih 'beradab', mungkin karena keberadaan dinding kayu, serta berbagai ornamen lainnya yang mengingatkan pada keberadaan manusia normal pada umumnya. Kudapati meja dengan hiasan piring serta pigura di atasnya, juga potret lukisan terpaku rapi di sepanjang koridor.

Sebuah pesan tertulis di salah satu bagian dinding begitu kontras menarik perhatianku. Coretan itu dibuat lewat media semprotan airbrush.

Only creatures with logical sense may proceed to the chamber.

Di bawahnya terdapat coretan lainnya, sebuah deretan angka bertuliskan;

"41151"

Batinku dibuat penasaran akan maksud dari nomor itu. Pandanganku kemudian menyapu ke segala sisi demi menemukan semacam petunjuk.

Agak jauh ke sebelah kanan, kudapati keberadaan tangga lainnya, lengkap dengan seonggok mayat dengan perut robek dan usus terburai keluar. Jasar prajurit itu tergeletak di bagian bawah anak tangga, lengannya seolah berusaha menggapai ke penghujung atas sana. Posisinya seolah menuntunku untuk pergi menuju lantai selanjutnya.

Tiba di atas, intensitas cahaya terasa semakin menyegarkan mata. Sejauh kumemandang, sepanjang lorong terdapat banyak jendela. Orang biasa mungkin tetap merasa buta, akan tetapi mataku bisa menangkap jelas tiap sudut ruangan yang ada. Aku berada di koridor lantai dua, di dalam sebuah aula dengan lampu hias raksasa menggantung di tengah ruangan.

Dedaunan terlihat melambai di luar jendela, berpendar temaram memantulkan cahaya rembulan. Angin dingin bertiup pelan menggerakkan kain gorden berwarna putih, di sela-sela pintu rusak tanpa kaca.

Di antara untaian kain, kudapati sesosok perempuan termenung sendirian. Pandangan matanya begitu gamang, dengan retina berwarna biru serta kulit pucat seputih rembulan. Rambutnya pendek sebahu, juga sama-sama berwarna biru. Sekilas penampilannya terlihat mirip denganku.

Kemben berwarna putih membalut tubuhnya, begitu kontras dengan sekelilingnya yang gelap tak bercahaya.

Aku heran. Lima menit kusempatkan waktuku untuk memantaunya dari kejauhan. Akan tetapi dia tak beranjak sedikitpun dari sana.  Kulihat wajahnya sedang tersenyum, akan tetapi tarikan mulutnya begitu dipaksakan. Alisnya mengkerut tajam dalam ekspresi ketakutan, keringat dingin juga mengucur di keningnya.

Cahaya kecil mengkilat terlihat memantul dari pijakan kakinya. Berbentuk seutas benang kecil, tersambung dengan granat aktif, tempat di bawah pagar pembatas balkon tempatnya bersandar.

Ah—, dia rupanya sedang tersangkut oleh sebuah jebakan. Jika bergerak sedikit saja, tubuhnya mungkin akan pecah diempas serpihan ledakan.

Di lantai dua ini, aku kembali bergerak menjauhi peserta lainnya. Alih-alih menyusuri koridor penuh dengan tirai bercahaya, aku berjalan tertatih-tatih menuju bagian dalam kastil. Samar kudapati keberadaan ornament hiasan berbentuk panahan di salah satu lemari. Sontak saja aku bergegas untuk menghampiri. Lenganku berpegang erat pada kayu pembatas, sementara pandanganku menyapu bersih isi aula di lantai satu sana.

Di bawah sana, kudapati sosok lainnya tengah berjalan kebingungan dengan obor di tangan. Berambut merah mengenakan dress hijau berbalut rok mini. Dia orang yang memburuku tadi. Matanya begitu siaga mengawasi lingkungan sekitar. Kakinya melangkah melewati beberapa bongkahan batu, serpihan dari reruntuhan bagian langit-langit ruangan. Lantainya juga terlihat retak walau terbuat dari marmer.

Di depannya, kudapati sosok lainnya tengah duduk dengan mata terpejam, berada sekitar sepuluh meter dalam kegelapan. Cahaya obor tak cukup terang untuk memberitahukan posisinya. Aku mampu mendeteksi keberadaan lainnya karena kontur mataku mampu melihat lebih baik dalam kegelapan.

Andai saja aku memiliki senapanku. Sekarang ini mungkin kesempatan bagus untuk meledakkan kepala dua orang di bawah sana. Jika saja perempuan berambut merah itu tidak mengganggu posisiku di awal tadi, tentu aku sudah menghabisi semuanya dalam kesunyian.

Gara-gara perempuan berambut merah itu aku kehilangan senjataku, jatuh ke dalam parit, lalu menderita dan tak berdaya.

Jadi alih-alih menghindar seperti biasanya, aku kini dibuat penasaran. Serangan macam apa yang sedang dipersiapkan pria yang hendak menerkam? Kudapati sosok itu merupakan pria dengan harimau putih di awal tadi. Semoga saja dia bisa menghabisi perempuan sialan itu.

Jarak mereka dua semakin mendekat, cahaya obor akhirnya mengenai tubuh sang pemuda.

Detik berikutnya, cahaya putih terpancar tanpa disangka, begitu terang bederang, membutakan pandangan. Asalnya dari sang pemuda.

Aku sontak menutup kedua mataku, seraya menjatuhkan diri, demi berlindung di balik pagar solid di balkon lantai dua.

Suara percikan listrik terdengar nyaring sejurus kemudian. Baku hantam mengikuti disertai teriakan.

Aku terbelalak kala menyadari riuhnya bagian langit-langit ruangan. Di sana terdapat ratusan makhluk melata tak tentu rupa. Masing-masing merayap pelan menyusuri dinding beserta tiang penyangga. Segerombolan klendathu lainnya juga muncul ditiap persimpangan. Jumlah mereka ada banyak sekali.

Aku sadar ini merupakan situasi yang genting. Hidup mati merupakan sebuah pertaruhan, namun meski memegang senjata pun belum tentu aku bisa menang.

Jadi yang kulakukan sekarang adalah berlari tertatih-tatih, lalu meraih busur beserta anak panah yang menempel di dinding.

Perhatianku kemudian teralihkan pada pintu besar di ujung pertengahan aula. Warnanya begitu berbeda dengan kontur kayu di dinding sekitarnya. Kudapati bahannya terbuat dari logam baja, lengkap dengan semacam mekanisme khusus di bagian kanannya.

Kastil ini tidak se-kuno yang kuperkirakan. Banyak bagian di dalamnya yang sudah mendapatkan sentuhan teknologi canggih. Terbukti dengan keberadaan sensor biometrik berupa pemindai retina, juga keberadaan keypad untuk memasukan password berupa digit angka.

Meski tak yakin, tapi aku mencoba mendekatkan retina mataku pada sensor pemindai yang ada. Laser kecil berwarna hijau menyembul sebentar, diikuti dengan perubahan tombol keypad yang kini berpendar temaram.

Mungkin ini tujuan dari nomor sebelumnya. Segera saja kumasukan kode yang kudapatkan di lantai bawah sana.

41151

Bunyi pergerakan mekanis terdengar sedetik kemudian, diikuti dengan pergerakan pintu yang terbelah menjadi dua bagian. Gerakannnya amat lamban. Sementara itu gerombolan klendathu tengah merayap menaiki tangga lebar di belakangku. Lebih jauh lagi kudapati sosok perempuan berambut merah, dengan pemuda bertelanjang dada tengah menghentikan pertarungannya. Mereka berusaha bertahan hidup seraya memberikan perlawanan sekuat tenaga pada ratusan serangga raksasa.

Salah satu klendathu menderapkan langkahnya menghampiriku. Sontak saja kuangkat busur panah seraya membidiknya dalam napas yang tertahan. Kutarik bagian talinya, lalu kulontarkan anak panah hingga melesat mengenai bagian matanya.

Serangga berukuran dua meter itu terlihat mengerang, tubuhnya bergerak tak beraturan lalu jatuh mundur terguling, tersandung menuruni anak tangga.

Di penghujung lantai dua, dekat jendela menghadap pada riuh pepohonan, kudapati sosok perempuan berambut biru pendek masih saja berdiri kaku memegangi pagar pembatas. Dia masih belum terbebas dari jeratan granat aktif di kakinya. Salah satu klendathu melesat cepat menuju arahnya, melayangkan lengannya yang tajam hendak mencabiknya.

Aku tak ingin ia mati dengan menderita, dimakan serangga jauh lebih menyakitkan dari pada mati diempas ledakan. Jadi lewat busur panah ini kubidik bagian granatnya, lalu melontarkan anak panah hingga tepat mengenai sumbu pematik di kakinya.

Benda itu meledak, tepat bersamaan ketika sang monster menyergap tubuh gadis itu. Secara tak langsung hal itu melindunginya dari serpihan ledakan.

Gadis itu terluka, salah satu ayunan berhasil menyabiknya di bagian lengan. Namun kini ia bebas, setidaknya sekarang ia memiliki kesempatan untuk bertahan hidup. Aku entah kenapa berbaik hati pada musuh yang seharusnya kubunuh. Mungkin ini hanya ego, aku tak sanggup kembali menyaksikan perempuan sepertiku dicincang layaknya makanan.

Sementara itu entakan kuat terasa dari belakangku, diikuti dengan terbantingnya tubuhku hingga jatuh terjerembab. Kurasakan cairan hangat merembes pada baju yang kukenakan, diikuti dengan rasa nyeri tak tertahankan.

Aku lengah—, gagal kusadari keberadaan klendathu lainnya di sebelah kiri. Kulihat tiga kakinya terangkat tinggi, bersiap menusukku dengan tapalnya yang meruncing.

Apa aku akan berakhir mengenaskan oleh kaki setajam pedang ini? Ditusuk, lalu dirobek tubuhku dengan menariknya ke sisi berlawanan?

Batinku bergidik ngeri. Aku tak ingin mati. Hatiku tak menginginkan ini, seseorang tolong selamatkan aku!

Ayunan monster itu terhenti, ditahan oleh sosok pemuda setengah telanjang. Tubuhnya tengah dibalut sengatan petir menyala, menari-nari mengelilingi kedua tangannya.

Mataku terbelalak, seakan tak percaya akan kemunculan sang penyelamat.

"Hey… terima kasih karena telah menemukan pintu baja itu," ucapnya cepat. Tubuhnya sanggup mendorong balik serangga raksasa di hadapannya. Ia lalu mengayunkan sabit kembar yang sedari tadi terpaut di punggung. Lewat satu ayunan saja monster itu terbelah menjadi dua bagian. "Sekarang cepat masuk sebelum kita semua mati sama gerombolan ini," ucapnya santai dengan pose yang keren.

Aku mengangguk. Tubuhku terasa lemas, tapi itu bukanlah alasan untuk berhenti bergerak. Dan aku tak mau memikirkan hal lainnya. Seperti kenapa dia menolongku yang merupakan musuhnya.

Kewajiban moral mungkin? Karena aku membukakan pintu menuju tempat aman, dan dia berkewajiban untuk menolongku selaku penemu ruangan. Atau mungkin ini karma baik karena telah menyelamatkan gadis berambut biru pendek sepertiku tadi? Entahlah, apapun itu, otakku sudah terlampau lelah untuk memikirkan hal-hal detail seperti itu.

Sosok gadis berambut merah melesat melewati pemuda tadi, tanpa memberikan sedikitpun perhatian ia masuk bersamaan dengan pergerakan pintu yang mulai menutup.

Susah payah aku merangkak penuju bagian dalam. Bersamaan dengan kedatangan gadis yang kuselamatkan tadi. Secara ajaib ia bisa tiba di sini, tepat waktu sebelum pintu tertutup dengan seutuhnya.

Gelap— tempat ini gelap sekali. Napasku masih memburu cepat.





***





Sam Rilme's chamber of Secret : Part two




Nyala api unggun menerangi sekitar, menyibak keberadaan empat orang tengah duduk saling menghadap. Ruangan ini merupakan awal dari serangkaian lorong berukuran besar,terbuat dari susunan batu tak terawat, amat berbeda dengan aula tadi yang dipenuhi dengan bekas perabotan.

"Jadi… kita melakukan gencatan senjata?" ucap pemuda bertelanjang dada.

Gadis berambut merah mengangguk, "Iya kaka. Singa aja bisa kok tidak memakan mangsanya ketika sedang ada bencana," ucapnya memberi penjelasan. Auranya entah kenapa amat berbeda dengan sosok berwajah sadis yang selama ini kukira, "Kau tau kan? Ketika banjir saja kodok bahkan menumpang di atas ular yang merupakan pemangsanya.

Aku gagal mencerna logikanya.

"Aku sebenarnya tak suka dengan acara saling bantai ini," komentar gadis berambut biru pendek.

"Lalu bagaimana denganmu… eeuh.." ucap sang pemuda seraya memandangiku.

Aku yang sedang menuangkan segelas teh menoleh sebentar, "… Nely, panggil aku Nely," balasku singkat, "Aku juga tidak suka dengan acara sambung ayam seperti ini."

"Hahahaha… I- iya sih kita diadu-adu gini kayak ayam." Pemuda itu tertawa garing, "By the way, aku Wildan, dia Effeth, tapi lebih senang dipanggil F." Dia memperkenalkan masing-masing dengan santai. Padahal tak seharusnya mereka mengakrabkan diri.

"Namaku Neeshma," ucap gadis berambut biru singkat.

"Oh iya, ka-kalian nyaris sama ya, hahahaha." Wildan seolah berusaha memecah suasana, ia menunjukku dan Neeshma yang kurang lebih berpenampilan sama.

Rambut birunya dipotong pendek sebahu. Kami juga sama-sama memiliki mata dingin menusuk, hanya saja dia berwarna biru lembut, sementara aku hijau bercahaya. Tinggi kami secara mengejutkan juga kurang lebih sama.

Selesai mengamankan segelas minuman, aku kemudian berusaha bangkit. Tak nyaman aku berada terlalu dekat dengan mereka yang harus kubunuh.

Akan tetapi aku gagal menyeimbangkan diriku. Telapak kaki kanan yang seharusnya menjadi pijakan malah hilang teramputasi. Lukanya sudah tak terasa sakit. Tadinya kukira kemampuan regenerasi ini bisa menyembuhkan bagian tubuh yang hilang. Nyatanya tidak.

Luka itu memang sembuh, tapi kini aku menjadi seorang cacat tanpa telapak kaki kanan.

Kuperiksa bagian paha kiriku. Tiga jalur goresan di awal tadi kini sudah mulai mongering, menyisakan jalur kecil. Sementara itu nyeri di punggung akibat sayatan masih terasa. Kudapati pendarahan sudah terhenti dan hanya menyisakan proses regenerasi berupa lapisan keras, pelindung sementara.

"Jangan bergerak dulu, kau belum sembuh dengan seutuhnya," ucap Neeshma memegangiku. Tubuhnya entah kenapa terlihat basah. Apa metabolismenya begitu hebat hingga dia selalu berkeringat?

Gadis itu terlihat memejamkan mata, memfokuskan energi dalam tubuhnya hendak melakukan sesuatu.

Kurasakan semilir angin sejuk berputar di sekitar api unggun. Effeth terlihat bersiaga, lengkap dengan tatapan bengisnya. Namun Wildan menghalangi niatnya dengan mengangkat lengannya. Rasanya Neeshma tidak akan berbuat hal apapun yang akan merugikan mereka.

Air teh dalam poci di hadapanku mendadak terbang bak melawan tarikan gravitasi. Cairan itu mengalir di udara, terbawa arus angin hingga akhirnya membasahi semua orang.

"Aduuh." Wildan berusaha mengucek matanya. Air tadi tempat membasuh wajahnya.

"Kaau!" geram Effeth tak sabar, ia mengubah lengannya menjadi runcing layaknya pedang.

"Tunggu dulu," cegah Wildan, "Kau merasakan ini? Letih dan pegal-pegal di tubuhku hilang!"

Menyadari efek yang dimaksud, Effeth buru-buru menarik sikap permusuhannya. Sejenak ia memerika perut kirinya, mungkin merasakan proses penyembuhan dari peluruku yang sempat menghantamnya di sana.

"Proses healing selesai, semoga kalian bisa merasa lebih baik." Neeshma berucap pelan seraya duduk bersimpuh dengan wajah yang teduh.

Aku terkesima, buru-buru kulihat kaki kananku penuh dengan pengharapan.

Tak ada perubahan, telapak kakiku tetap putus seperti sebelumnya. Hanya saja luka di paha dan punggung kini sembuh dengan seutuhnya.

"Kenapa kau melakukan ini pada musuhmu?" ucap Effeth dingin.

Neeshma menggelengkan kepalanya, "Aku tak ingin ada aura kebencian, meskipun kita semua musuh, setidaknya tak boleh ada rasa dendam."

Dia malah membuat segalanya menjadi rumit. Batinku berkomentar.

Nyala api unggun mulai padam seiring dengan menipisnya cadangan kayu yang tersedia. Wildan hendak memasukkan gelondongan kayu lainnya. Mendadak saja tubuhnya terjatuh, pria itu dikagetkan dengan kemunculan layar hologram setengah transparan. Di dalamnya ada sosok pria dengan topeng berbentuk kepala kuda.

"Selamat malam para peserta. Nama saya Sam Rillme, pemilik dari kastil reot ini."

Semua orang sontak memposisikan diri menghadap layar. Masing-masing  berjongkok penasaran, persis ketika hendak menonton layar tancap.

"Seperti yang diketahui, kastil saya telah terkena wabah virus, lengkap dengan serangan bio organic weapon bernama Klendathu." Sam berucap seraya menganggukkan kepalanya berulang kali, "Saya membutuhkan bantuan kalian untuk pergi menuju bagian paling atas kastil, posisinya terletak tepat di tengah bangunan."

Semua orang saling melayangkan pandang, kebingungan. Bukannya peraturan ronde ini adalah saling membunuh hingga satu yang tersisa?

"Nyalakan kembali generator utama, lalu datang ke tempatku di atas sini. Satu-satunya jalan menuju Panic Room—bunker perlindungan tempatku berada saat ini—adalah dengan melewati labirin bawah tanah yang mengelilingi kastil. Tak ada jalan lain."

"Lalu bagaimana dengan peraturan round ini? Apakah kita masih harus saling membunuh?" ucap Neeshma penuh harap.

"Peraturan dasar masih tetap sama, hanya satu orang yang diperbolehkan masuk menuju sini."

Hologram itu menghilang, menyisakan sejuta tanda tanya.

"Jadi gimana?" ucap Wildan seraya menggaruk kepala.

Neeshma menoleh padaku, "Kau mau berteman denganku?"

Aku tentu saja bingung, jika teman yang dimaksud adalah sebuah aliansi. Sepertinya itu bukan hal yang buruk. Aku kemudian menjawabnya dengan sebuah anggukan.

"Ka-kayaknya gak ada salahnya kalo kita aliansi dulu sampe tiba di atas sana," ucap Wildan santai tanpa beban, "Te-terus kalo misalnya cuma satu yang diperbolehkan buat masuk, baru kita duel by one."

Aku setuju, Neeshma juga meresponnya dengan sebuah anggukan. Sementara itu Effeth terlihat diam tanpa memberikan jawaban.

"Sebelum kita pergi, i-ini ada sesuatu untukmu." Wildan memanggilku, lalu memberikan sebuah tongkat pendek, tersambung pada sebuah wadah cekung sebagai penyangga, "I-ini untuk menyangga kakimu, seenggaknya kamu keliatan keren kayak bajak laut, hahahaha!"

Aku memandangi sejenak benda itu, tertegun akan kebaikannya mengukir salah satu kayu. Ukurannya pas di kakiku, setidaknya kini aku bisa berlari normal walau harus menggunakan tumpu. Lewat sabuk beserta robekan kain kukencangkan benda itu, agar tak terjatuh kala aku bergerak bebas.

"Terima kasih," ucapku lembut.

Kulihat ekspresinya begitu terperangah. Cepat-cepat ia menyembunyikan rasa malu dengan memalingkan wajahnya.

Kami berempat kemudian beranjak pergi, melangkahkan kaki menuruni tangga gelap nan sepi. Aku sebenarnya kurang nyaman dengan obor di tangan masing-masing, batinku selalu was-was akan kemunculan monster lainnya. Tapi bersama dengan mereka, setidaknya aku bisa merasa aman walau hanya sementara.


Ya—, hanya sementara. Karena sepuluh meter setelah tiba di dasar tangga, Effeth membisikan sesuatu pada Neeshma, "Kolam berisi air sudah tidak ada, sang predator kini bebas memangsa."

Detik berikutnya, kudapati wajah Neeshma terlihat shock dengan mata terbuka lebar. Sebuah bilah tajam menyeruak keluar dari dadanya. Darah merah mengucur membasahi kemben putihnya. Air matanya berurai berjatuhan, tak kuasa disiksa nyeri yang mendera.

Bilah tajam itu ada dua, masing-masing ditarik menuju arah berlawanan dengan sisi datarnya yang tumpul. Tak ayal, paru-paru gadis itu kini terlihat berongga, menyeruak terbuka dengan organ dalam terburai keluar.

Tak sampai di sana, bilah tajam perubahan dari lengan Effeth itu diempas keras menuju bagian atas. Membelah tubuh Neeshma menjadi dua bagian dalam potongan Vertikal.

Darah mengucur deras terciprat ke segala penjuru. Meninggalkan ekspresi ngeri di wajahku. Pun begitu, Wildan di sampingku sudah bereaksi lebih cepat dengan wajah dipenuhi urat.

"Kurang ajaaaar, dasar kau pengecut!" Pria itu melesat cepat disertai letupan hebat dari tirai listrik di kakinya. Lewat satu hantaman saja ia merobohkan Effeth yang belum sempat menarik lengan tajamnya. Perempuan itu bergetar hebat, tersengat listrik hingga tak sanggup bergerak.

Entah karena refleks atau apa, kulihat Effeth malah mendekap Wildan erat-erat. Lalu dalam satu entakan sisa tenaganya, ia menciptakan ratusan duri tajam di sekujur tubuhnya. Menusuk tiap senti dari Wildan hingga pria itu menjerit kesakitan.

Napasku tertahan, menyaksikan kejatuhan Wildan ambruk dengan tubuh penuh lubang. Langkahku berubah mundur, berusaha menjauh. Keringat dingin mengucur deras, aku begitu ketakutan.

Pandangannya tajam menyayat, seolah tak sabar untuk mengulitiku hidup-hidup. Wajahnya melotot tajam disertai seringai menyeramkan.

Tolong aku—, kusadari nyawaku berada di ujung tanduk.

Lengan Wildan bergerak pelan, mencengram kaki Effeth dengan erat. Lewat segenap kekuatan terakhir ia menjerit keras, mengalirkan sengatan listrik jauh lebih mematikan dari yang bisa kulakukan.

Effeth kembali tersentak hebat, tubuhnya bergetar keras seraya mematung kaku. Segera saja kumanfaatkan kesempatan ini untuk mengarahkan busur panah di tangan, membidik bagian kepalanya seraya bersikap tenang.

Kulepaskan anak panah, melesat cepat hingga menancap tepat di bagian keningnya.

Sosok itu berhenti bergerak, berubah diam lalu tumbang.

Aku termenung  dalam kegelapan. Obor yang kupegang tadi jatuh dari tangan. Kudengar rintihan sekarat dari Wildan, ia berusaha merayap dalam kegelapan.

"Wildan," ucapku lirih, seraya berjongkok di hadapannya.

"Nely…" Ia mendongkakkan kepalanya. Wajahnya berubah gegap gempita seolah sedang terkesima, "Ce-celana dalammu kelihatan…"

Agak menunduk aku memeriksa, baru sadar seketika itu juga. Wajahku berubah kemerahan, malu luar biasa.

Kepalanya terkulai jatuh, wajahnya mencium lantai. Pemuda itu meninggal, lengannya terjulur sedikit seraya mengacungkan jempol ke atas.

Aku masih terdiam seraya jatuh menutupi rok yang terbuka, "… Dasar mesum…"


Kini hanya aku yang tersisa. Seharusnya aku menjadi pemenangnya. Namun di lorong bercabang gelap seperti ini, bagimana caranya panita bisa menjemputku?

Ada dua kemungkinan. Satu, aku memang sudah menjadi pemenangnya, namun hanya bisa dijemput di ruang tempat Sam berada.

Dua, masih ada peserta lainnya di luar sana. Atau mungkin saja mereka ada di dalam lorong yang sama? Dan bagaimana caranya aku bisa tahu jumlah mereka? Toh panitia saja tidak memberi tahu.

Lamunanku terbuyar kala telingaku sayup mendengar, suara lenguhan pilu sosok mayat yang tengah berjalan tertatih-tatih.

Kusambar kembali obor yang masih tergeletak di tanah. Kuarahkan tiap cahaya yang ada pada ujung lorong di kejauhan sana. Mataku memang bisa melihat lebih bagus dalam gelap, dan sejauh aku melihat tak ada apapun di kejauhan sana.

Suaranya terdengar menggema, jumlahnya ada banyak, saling bersahutan dalam kegelapan. Bulu kudukku merinding seketika.

Pelan-pelan aku berjalan, berusaha melangkah tanpa suara, menyusuri tiap persimpangan ada. Sempat kukutuki tongkat kayu ini karena acapkali menciptakan suara nyaring jika kurang hati-hati.

Kudapati suara langkah kaki merangsek dari belakangku, sontak saja aku berbalik untuk mengantisipasi. Aku terpekik ketakutan, menatap sosok mayat hidup dengan tubuh membusuk. Posisinya sudah terlampau dekat, lengannya menyergap pundakku lalu mencakar bahuku. Kukunya tajam menggores. Kudapati tatapannya melotot tajam dengan darah menetes, bola mata itu berwarna merah seutuhnya.

Sekuat tenaga kudorong mayat itu, lalu meraih anak panah yang tersemat di betis kananku. Tumpuan pengganti telapak kaki ini juga berfungsi untuk menyimpan amunisi.

Kutarik busur panahku, lalu kutancapkan anak panah tepat di kepalanya. Mayat itu akhirnya berhenti bergerak.

Obor ini benar-benar ide yang buruk. Maka kubuang saja benda itu, seraya berlari kecil menyusuri tiap belokan labirin.

Tempat ini gelap, aku hanya mengandalkan strategi seperti di awal ini sekedar untuk bergerak. Kuciptakan percikan listrik di tangan hanya untuk mengingat topografi labirin di hadapan. Aku harus kembali ke tempat awal, menyusun strategi seraya memulihkan tenaga.

Tapi kemana pun aku pergi, tempat ini selalu terlihat sama. Batu kotor dengan untaian sarang laba-laba di tiap sudutnya.

Agak lama aku menyadarinya, malu aku untuk mengakuinya.

Aku tersesat.

Batinku memaksaku untuk tetap berlari, di tiap kali belokan aku selalu mengindari percabangan dengan suara mengumam seram.

Kakiku melangkah menginjak sesuatu, lantai berbatu itu tertekan sedikit hingga terdengar bunyi mekanis mengaktifkan sesuatu.

Sebilah pedang berkarat melesat cepat menghampiriku, memotong leherku hingga pandanganku bingung melayang jatuh membentur batu.

Kulihat tubuhku berdiri kaku, lenganku bergerak-gerak mencari kepalaku yang tak lagi ada di sana. Leherku terputus memancarkan cairan merah layaknya pancuran di taman. Aku merasa amat mengantuk, pikiranku terhenti saat itu juga.


Aku terbangun, menatap api unggun. Pikiranku serasa membeku. Mataku terbuka lebar-lebar, menelan ludah sejenak, lalu bergerak pelan meraba leher yang tadi sempat terpenggal.

Apa tadi itu mimpi?

Tapi sakitnya terasa nyata sekali.

Kuperiksa kaki kananku. Bagian telapaknya sudah hilang tergantikan oleh sebuah tumpuan tongkat pendek. Itu berarti adegan Wildan memberikan benda ini padaku nyata adanya.

Tadi aku mati, lalu kembali ke sini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Wildan, Neeshma, dan Effeth juga kembali dihidupkan di sini? Tapi aku tak melihat sedikitpun jejak-jejak mereka. Apa mereka sudah pergi?

Dikuasai rasa penasaran, aku berjalan menusuri tangga menuju labirin di bawah sana. Dengan obor di tangan aku memeriksa tempat terakhir mereka meninggal.

Semuanya masih utuh seperti sedia kala. Mayat mereka masih tergeletak di sini. Lalu kenapa hanya aku yang kembali ke perapian?

Ini semua terasa janggal. Kakiku melangkah pelan, menyusuri sebuah belokan di sebelah kiri.

Jalur itu buntu, hanya ada sebuah tombol kecil dengan warna merah mencolok. Aku seolah tak berpikir panjang, kupencet saja benda itu, berharap akan sesuatu. Mungkin saja sebuah pintu rahasia akan terbuka.

Namun aku salah, puluhan tombak menghujam dari bawah di saat bersamaan. Satu menusuk kakiku dari telapak hingga merangsek masuk memasuki tulang betis, menyusuri tulang hingga keluar di bagian lutut. Satunya lagi menghujam tepat di bagian selangkanganku, merobek rahimku, menembus organ dalamku, hingga menyeruak tepat di samping leherku. Tubuhku terangkat setengah meter diudara, tak ubahnya seperti seonggok sate siap dipanggang.

Aaaah….

Sakit..

Sakiit….

SAKIT!!

RASANYA SAKIT SEKALI!



YA TUHAN, TOLONG AKU!

Tubuhku bergetar merenggang nyawa. Mulutku menjerit tanpa suara. Wajahku berlinang air mata. Pedihnya begitu luar biasa. Rasa kantuk menyerang seketika.


Kelopak mataku terbuka, lagi-lagi menatap api unggun di hadapan.

Wajahku berubah ngeri, mengingat kembali rasa sakit yang tadi mendera. Bagaimana seisi perutku hancur diterobos sebatang logam tajam. Rasanya begitu mengerikan, aku begitu tersiksa oleh rasa sakit yang luar biasa.

Perutku terasa mual, aku memuntahkan apapun yang ada di perut, meski hanya sebatas cairan. Berikutnya aku menjambak kepalaku sendiri dalam gerakan frustasi seraya menangis ketakutan.

Pintu besar penghubung lorong terbuka, seseorang muncul dari sana. Tubuhku tersentak kaget seraya bersiaga.

Sesosok wanita mengenakan topeng putih muncul dengan langkahnya yang tegap. Mengenakan korset hitam ketat nyaris menutupi seluruh tubuhnya. Kulihat lengan kanannya terputus sebelah. Raut wajahku berubah seketika, sadar bahwa aku pernah menembaknya. Aku yang telah memutus lengannya.

Topeng itu telah menutupi seluruh wajahnya, menyembunyikan berbagai macam ekspresi di sana. Tapi meski begitu, satu hal yang kutahu, dia marah. Benar-benar marah. Terlihat dari langkah kakinya yang berubah cepat. Tak sabar untuk melukaiku.

"Bocah tengik, kau pengecut yang sudah menembakku sembunyi-sembunyi ya?"

Aku merangkak mundur, berusaha bangkit walau terantuk jatuh.

"Namaku Rin Komori, aku tantang kau untuk berduel denganku!" ucapnya lantang seraya memasang kuda-kuda siap menyerang.

Aku tak peduli, tubuh lemahku jelas tak akan punya kesempatan jika harus beradu fisik dalam jarak yang dekat. Kulihat sembulan otot di tubuhnya terasa kekar layaknya seorang pria. Jelas sudah aku tak akan menang melawannya.

Langkahku semakin tergesa-gesa untuk mundur. Merasa panik, kugenggam busur panah yang tergeletak di lantai. Aku kemudian berbalik berusaha menyelamatkan diri, berlari menuruni tangga gelap lalu menghilang dalam bayangan. Kudapati sosok tadi mengejar di belakangku, mulutnya meracau kesal memanggilku,

"Hey tunggu dasar pengecut!"

Tiba di perempatan pertama, aku jelas tak ingin berbelok ke sebelah kiri. Di sana ada jebakan berupa tombak menancap. Jadi kuambil tikungan ke kanan, untuk kemudian bersembunyi di tikungan lainnya dalam kegelapan.

Nyala api dari obor datang mengikuti di tikungan pertama tadi. Aku mengintip sedikit menyaksikan langkahnya yang pelan dengan mata siaga. Tentu saja dia tak akan bisa melihatku dalam pandangan manusia normal miliknya.

Dia berjalan lurus, tak berbelok menuju tempatku, maupun pada jebakan di lorong sebelah kiri.

Kuangkat busur panah, lalu melontarkan sebatang anak panah pada lorong di sebelah kirinya. Dia tak sadar karena projektil yang kulemparkan melesat tepat di belakang tubuhnya. Tembakanku meleset.

Tapi bunyi anak panah membentur tembok rupanya terdengar nyaring di dekatnya. Jadi sosok itu berbalik kembali seraya memeriksanya. Dia berjalan lurus menuju lorong berisi jebakan tombak.

Zrrassh!

Jebakan itu aktif, dia sepertinya menekan tombol yang ada di sana. Tak kusangka ia begitu ceroboh persis seperti sepertiku.

Kuhampiri tempat itu saat itu juga, hanya untuk mendapati tubuhnya yang lunglai. Sama sepertiku, dirinya terlihat tak berdaya terangkat tinggi, persis sate. Setelah sejenak meregang nyawa, kesadarannya hilang lalu tewas begitu saja.

Tubuhnya mendadak larut menjadi cairan cokelat mirip lumpur. Puluhan tombak yang mengacung tinggi, perlahan turun dengan sendiri. Kuperiksa sisa-sisa lumpur yang ada, hanya untuk mendapati benda itu telah sirna.

Jangan-jangan—,

Batinku berubah panik, teringat akan sesuatu.

Sontak saja aku berbalik, berniat untuk mencari sosok tadi yang mungkin saja kembali dihidupkan ulang di tempat perapian.

Tapi aku salah. Aku tak perlu datang ke sana, karena wanita bertopeng tadi kini sudah berdiri tepat di hadapanku. Jelas sudah, siapapun yang mati karena perangkap maka dia akan hidup kembali di dekat perapian.

"Mau ke mana gadis kecil?" ucapnya dingin.

Aku tersentak kaget, tak bisa aku berlari ke manapun karena belakang lorong ini adalah jalan buntu. Masih dikuasai rasa panik, aku sontak berlari menerobos ke sebelah kanannya, berharap bisa mengagetkannya. Lagi pula, lengan di bagian itu sudah putus sejak awal. Jadi dia akan kesulitan jika hendak menangkapku.

Tapi aku salah. Dia yang seorang petarung jarak dekat, tentu memiliki refleks yang jauh melebihiku. Tubuhnya berputar cepat, lalu melayangkan tendangan horizontal tepat mengenai ulu hatiku.

Aku tersungkur balik, dadaku terasa sesak sekali. Rasanya seperti habis ditabrak kendaraan roda empat. Terbatuk-batuk aku berusaha bangkit, hanya untuk terjerembab lagi oleh tendangan lainnya.

"Segitu saja hah?" ucapnya merendahkan. Ia lanjut menampar pipiku dengan ujung kakinya.

Aku terbatuk mengeluarkan cairan merah, kurasakan benda putih jatuh di tengah-tengah gumpalan darah. Gusiku copot oleh tendangan barusan, rahangku juga terasa ngilu. Bagian kanan daguku agak bergeser dari tempat semestinya. Sosok itu sama sekali tak memberikanku ampun. Ia lanjut menduduki diriku, lalu melayangkan berbagai tinju.

Air mataku jatuh bercucuran. Tulang rusukku seolah terhenti tak bisa digerakkan. Sesak sekali, ia mencekik leherku, lalu mengangkatku tinggi-tinggi dengan tangan kiri tanpa kesulitan. Aku tak bisa berbuat apapun selain memegangi lengannya yang kokoh tak tergoyahkan. Kakiku berayun-ayun berusaha mencari pijakan.

Jika aku mati oleh peserta lainnya, aku tak akan hidup kembali. Batinku terasa sedih kala menyadarinya, aku tak ingin berakhir begini. Aku harus bisa melewati ini.

Kuciptakan aliran listrik dari kedua lenganku, menyengat keras tubuhnya hingga membuat cengkeremannya terlepas. Ia terkejut.

Tiba di pijakan lantai, sontak kugulingkan tubuhku seraya meraih busur yang tergeletak. Posisiku kini ada  di luar area jebakan.

Kubidik tombol merah di kejauhan, lalu kulepaskan anak panah hingga bagian itu mundur tertekan.

Wanita pegulat itu sadar apa yang sedang kulakukan. Buru-buru ia bergegas, berusaha keluar dari sana.  Namun sayang gerakannya kurang cepat. Puluhan tombak menghujam bersamaan dari lantai tempat berpijak, menusuk tubuhnya yang sedang dalam posisi lurus sedang melompat.

"Ah…," kaki, perut, hingga dua bahunya tembus tertusuk logam panjang, "…aaah?" suaranya berubah lemah, bersamaan dengan terkulainya lengan yang masih berusaha untuk menggapaiku. Kulihat darah mengucur deras, salah satunya menetes dari balik topeng yang ia kenakan.

Tubuh itu tidak berubah larut, hanya terpaku begitu saja. Itu tandanya dia tak akan kembali dihidupkan di dekat perapian. Sosok itu dianggap mati terbunuh oleh tindakanku yang mengaktifkan jebakan.

Aku jatuh terduduk lemas, lalu menangis dengan keras. Napasku terisak, tersengguk seraya membuka topeng yang menutupi wajahnya. Parasnya rupawan, terlihat seperti berumur tiga puluh tahunan, tapi dia tetap cantik. Kulihat matanya tertutup penuh kedamaian.

"Maafkan aku…" ucapku pelan.






Sam Rilme's chamber of Secret : Part Three



Aku lapar, sangat lapar. Pandanganku menyapu bersih lorong sekitar, berusaha mencari makanan.

Entah berapa jam telah berlalu, luka yang kudapatkan di pertarungan sebelumnya kini sembuh dengan seutuhnya. Langkahku berjalan lunglai menaiki anak tangga. Aku hendak kembali ke tempat awal, semoga saja ada sesuatu di sana.

Api perapian itu tetap menyala walau tak ada kayu di sana. Di tembok sebelah kiri, kulihat ada tiga berkas cahaya kecil letaknya agak tersembunyi. Beberapa serpihan batu kecil terlihat menghalanginya. Kuperiksa salah satunya dengan hati-hati. Tak ingin aku kembali mengaktifkan jebakan lainnya.

Aku kenal benda itu. Sensor biometrik pemindai retina mata, persis seperti mekanis kecil untuk membuka pintu utama di awal lorong ini.

Kutempelkan wajahku, cahaya laser kecil muncul untuk memeriksa mataku. Berikutnya, muncul keypad kecil berisikan angka, sesuai dengan perkiraanku.

"41151" kumasukan kembali angka itu. Angka yang kudapatkan ketika masih ada di bagian terluar sana.

Di sampingnya, dinding batu itu bergerak pelan mundur ke dalam, lalu bergeser membukakan pintu menuju sebuah ruangan.

Aku terperangah, berbeda dengan lorong di luar. Ruangan ini begitu terang bercahaya layaknya laboratorium. Di sana terdapat kulkas dengan setumpuk makanan, juga air galon beserta toilet dan shower berisi air panas. Ranjang kecilnya juga berisikan kasur lengkap dengan bantal guling empuk. Ruangan ini adalah sebuah surga.

Kutekan panel kecil di sebelah pintu masuk, pintu itu tertutup dengan sendirinya.


Guyuran air hangat terasa amat menyegarkan, membasuh keringat yang terasa lengket di tubuhku. Kubilas bagian dadaku, meremas-remasnya sejenak seraya membersihkan daki yang menempel. Lima menit aku berdiam di sana, hanya untuk termenung menutup mata berusaha mengosongkan pikiran. Batinku begitu berkecamuk.

Keluar dari kamar mandi, sontak saja aku memeluk guling di ranjang. Tak lama bagiku untuk segera tidur menyapa mimpi.


Enam jam berlalu begitu saja. Kulihat penunjuk waktu digital terpampang di atas pintu masuk, digit angka di dalamnya menunjukan pukul 08.16 AM. Berarti sekarang pukul delapan pagi.

Kubuka pintu keluar dari ruangan, hanya untuk disambut oleh kegelapan lainnya. Tak ada cahaya mentari di sini. Siang malam rasanya sama saja.

Kuukir sebuah garis di dinding dekat pintu kamarku, mendandakan bahwa ini adalah hari pertama. Entah berapa lama hingga aku bisa menemukan bagian tengahnya di serangkaian kompleks labirin ini.

Kutapaki tangga menuju bawah sana. Kubawa obor kali ini walau kutahu ini ide yang buruk. Para mayat hidup mungkin saja bisa tertarik pada cahaya.

Namun aku tak boleh melewatkan tiap detail lorong  yang hendak kulewati. Aku tak ingin lagi mati konyol hanya karena salah menginjak tumpuan.

Ctas!

Pemicu jebakan bukan hanya tumpuan saja. Seutas benang yang terputus tanpa sengaja telah menjatuhkan gelundungan batu dari sebelah kanan. Aku menjerit ketakutan. Tubuhku dihantam bebatuan, tergencet hingga mengalami pendarahan.

Ah—, aku juga baru sadar bahwa tubuhku putus sebagian. Batu tadi menyeret perut ke bawah hingga di remuk tak bersisa, meninggalkan uraian usus beserta potongan daging tak tentu rupa.

Lengan dan leherku bergetar hebat. Aku berusaha bergerak mundur, namun batu lainnya muncul dan meremukkan kepalaku. Kesadaranku hilang seketika itu juga.


Mataku terbelalak, aku kembali lagi di tempat awal seraya menatap api menyala.

Kuraba sejenak tiap jengkal tubuhku, semuanya masih utuh kecuali telapak kaki kanan yang masih saja terputus. Rasa mual kembali menyerang sedetik kemudian, aku berlari masuk menuju kamar hanya untuk menangis sesenggukan.


Hari ke dua.

Cukup sudah dengan istirahatnya, aku harus menemukan akhir dari labirin ini. Kuingat kembali jalur yang kemarin aku lewati. Kali ini aku berhasil menghindari jeratan tali tak kasat mata itu, lalu berjalan melanjutkan perjalanan.

Nyanyian kematian lagi-lagi terdengar, berupa lenguhan lesu dari para mayat yang berjalan tertatih-tatih tanpa tujuan. Suara mereka datang dari berbagai sudut percabangan, aku tak tahu ke mana harus mengambil arah.

Kujatuhkan obor yang kupegang, seraya menyiagakan busur panah siap menyerang.

Sesosok mayat membusuk muncul dari balik kegelapan, berjalan lunglai tanpa busana. Kutembak saja bagian kepalanya, sukses membuatnya jatuh tergeletak tak bernyawa.

Dua mayat lainnya muncul di belakangnya, kutembak kembali tanpa kesulitan yang berarti. Jalur di sana sepertinya dipenuhi oleh para zombie. Maka aku berjalan mundur seraya mengambil arah di percabangan lainnya.

Tempat itu tampak tak jauh berbeda. Kedatanganku disambut dengan segerombol mayat hidup lainnya.

Dipenuhi wajah ngeri aku kembali berbalik mencari arah, berusaha menghindar dengan berbelok pada percabangan sebelah kiri.

Dan lagi-lagi, tempat ini memang dipenuhi oleh hal serupa. Aku mulai tak tahan, jadi kutembaki saja mereka yang datang menghalangi jalan. Jumlahnya ada banyak, tak sebanding dengan amunisi yang kubawa. Tak ada pilihan lain, aku harus berlari menyelamatkan diri.

Mendadak punggungku terantuk pada sesuatu, sebuah cengkeraman tangan telah merobek bajuku, hingga menyibak bebas kedua buah dadaku. Detik berikutnya, wajahku berubah ngilu, kala menatap leherku dilahap penuh napsu.

Desiran darah memancar dari urat arteri yang terputus. Tubuhku sontak terkulai lemas, tapi kesadaranku masih ada di sana. Aku hanya tersengguk berlinang air mata, ketika menyadari tubuhku sedang disantap beramai-ramai. Mereka mengerumuni dari segala arah, masing-masing begitu bersemangat membelah bagian perutku, lalu mengeluarkan isinya hingga terburai berceceran. Kulihat liver berwarna kehitaman ditarik keras bersamaan dengan salah satu paru-paruku. Juga batu ginjal dan usus dua belas jariku begitu nikmat disantap dalam kegiatan prasmanan.

Mulutku hanya terbuka, menangis tanpa suara. Kedua kakiku ditarik ke arah berlawanan hingga terputus di bagian sendinya. Lenganku dikunyah hingga tak bersisa, leherku ditarik hingga terpisah. Pandanganku berubah gelap kala cengkeraman salah satu zombie mencungkil mataku hingga copot dari tempatnya. Ya tuhan, cepatkanlah ajalku saat ini juga.


Mataku kembali terbuka, menatap nyala api yang masih saja sama.

Aku menjerit seketika itu juga, meratap pilu seraya memuntahkan seisi perutku. Lenganku mencakar tiap bagian wajahku, tubuhku bergetar hebat dirundung rasa takut. Tadi itu rasanya begitu menyiksa. Aku tak ingin lagi kembali ke sana. Di sini aman—, jauh lebih aman dari pada di bawah sana.

Hari ke sepuluh…

Aku masih mengurung diri di ruangan. Rasa bosan bukan lah penghalang jika dibandingkan dengan berbagai ancaman di luar sana.

Sampai kapan ronde satu ini akan berakhir? Apa masih ada peserta yang tersisa? Apa mungkin hanya aku satu-satunya? Lalu kenapa mereka tak menghentikannya? Apa karena aku harus diwajibkan untuk tiba di tempat Sam Rillme berada?

Mataku melotot kosong, rambutku acak-acakan, aku menjambaknya erat seraya berguling-guling di tempat tidur.

Kutatap bayangan seorang gadis menyedihkan di balik cermin sana. Bertanya pada dirinya akan hal selanjutnya.

Tidak, ronde ini tidak akan berakhir dengan sendirinya. Aku harus melakukan sesuatu, apapun itu.

Kutatap bagian tajam salah satu anak panah di tangan. Bagian ujungnya terlihat begitu tajam.

Terakhir kali aku mati rasanya begitu menyakitkan. Mungkin karena aku berakhir dengan cara yang amat mengenaskan. Jika aku mengakhiri hidup dengan cepat, seharusnya rasa sakit bisa datang terlambat ketika aku sudah mati kehilangan kesadaran.

Maka kumantapkan diri ini, untuk memulai kembali ekspedisi. Labirin ini pasti memiliki ujung keluar, di mana pun itu berada.

Tiba di tempat sebelumnya, aku kembali menghabisi tiap zombie yang datang mengepung. Ketika anak panah tinggal tersisa satu, tanpa ragu kutancapkan sekuat tenaga ujung tajamnya pada samping kepalaku.

Segalanya mendadak gelap.


Aku kembali bangun di depan perapian. Kali ini tanpa siksaan yang mendera, hanya saja ngilunya masih tersisa.

Aku bisa melakukan ini, aku bisa menelusuri tiap sudut labirin tanpa kesulitan berarti.


Hari ke Sembilan puluh…

Aku salah—, labirin ini jauh lebih rumit dari yang kukira. Ratusan kali aku berkelana di dalamnya, namun tak kunjung tiba di bagian penghujungnya.

Aku bingung, bosan, frustasi. Berbulan-bulan dalam kesendirian, di tengah kegelapan. Aku tak sanggup menyelesaikan ini seorang diri.

Kugenggam busur panah dengan erat, seraya memantapkan hati, berusaha menguatkan diri. Habis gelap terbitlah terang. Kuulangi ucapan itu berulang kali berusaha menenangkan diri.







365 hari kemudian…

Rambutku tumbuh hingga panjang sebahu, menandakan waktu yang sudah lama terlewati.


Kutatap sosok pucat yang termenung di cermin sana. Hari ini genap satu tahun aku terjebak di dalam sini. Aku sudah lupa bagaimana rasanya siang dan malam. Aku juga sudah lupa akan turnamen yang sedang berjalan. Aku tak ingat akan alasan kenapa aku ada di sini.

Aku hanya ingin keluar dari sini.

Kakiku melangkah berjalan terkatung-katung tanpa arah, tak sanggup menemukan pintu keluar. Sudah kutelusuri tiap labirin yang ada. Entah berapa kali aku sudah mati di tengah prosesnya.

Tapi semua ini sia-sia. Labirin ini akan berubah bentuk tepat di jam dua belas malam di tiap harinya. Aku gagal memetakan tiap perubahannya.

Perapian unggun di tempat awal ternyata memiliki api yang tak pernah sirna. Pun begitu, suplai makanan beserta minuman di kulkas juga sama-sama selalu tersedia. Seseorang masih mengawasiku entah di mana.

"Sam…" ucapku pilu. Air mata mengucur untuk yang ke sekian kalinya. Aku tahu dia sedang mengawasiku, "Sam… tolong aku, keluarkan aku," bisikku lirih, penuh harap.

Tak ada jawaban.

Aku meratap, mencakar tembok hingga jemariku berlumuran darah, "Seseorang, tolong aku!" jeritku putus asa. Aku tak kuat, aku tah tahan lagi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. Berulang kali aku melakukan bunuh diri, hanya untuk terbangun kembali mengulang hari-hari.


Mendadak pintu utama terbuka dengan sendirinya, menghentikanku yang sedang meratap putus asa. Di sana muncul sesosok pria berambut ikal, mengenakan rompi berwarna hitam. Tubuhnya agak kurus, sepadan dengan bentuk mukanya yang tirus.

Dia manusia, sama sepertiku. Seorang pria, rambutnya gondrong berwarna hitam.

Wajahku sontak berubah gegap gempita, batinku terasa amat bahagia, begitu lega luar biasa. Kupeluk dia seketika itu juga, kuciumi wajahnya, kulumat bibirnya seraya membelai rambutnya.

Agak lama dia terdiam mematung, untuk kemudian mendorong tubuhku seraya terbelalak kaget. Wajahnya terlihat kacau dengan ekspresi tak tentu rupa, "Si-siapa kamu!?" ucapnya kikuk, seraya menunjuk-nunjuk dengan lengan bergetar.

Tubuhku terjatuh, lalu berubah dalam posisi duduk. Kakiku terlipat agak mengangkang. Kupegang bibirku dengan jari telunjuk seraya berpikir sejenak, "Nely… namaku Nely."

Pria itu mengambil napas dalam, lalu kembali berucap setelah berhasil menenangkan diri, "Namaku Ahran, apa kau salah satu peserta?"

Aku bingung, "Peserta?"

"Battle of Realms," ucapnya seraya menggaruk-garuk kepala, "…uhhm… Salah satu musuh yang harus kubunuh?"

"Bunuh?" ucapku bingung. Battle of Realms?

Mataku melotot seketika, mendadak aku ingat kembali segala sesuatu yang berkaitan dengan kematian. Setahun lalu aku terjebak di sini setelah sebelumnya membunuh empat peserta lainnya. Aku sontak memegangi kepalaku, wajahku terlihat ketakutan seraya dirundung panik.

Ahran terdiam sejenak, memandangiku yang mulai hilang kewarasannya, "Kau… selama ini di sini sendirian?" ucapnya iba.

Aku menoleh, lalu menjawabnya dengan sebuah anggukan, "Kau sendiri tinggal di mana?"

"Aku? Selama ini aku pergi melarikan diri. Berkelana menyusuri padang rumput, hingga tiba di berbagai


kota," ucapnya menjelaskan, "Persetan dengan ajang turnamen ini. Tujuanku hanya satu, menikmati hidup, sambil meneliti senjata canggih yang dulu kutemukan."

Kulihat GaussRifle milikku tersemat rapih di punggungnya, "Itu… senjataku."

Raut wajahnya berubah seketika, "Ini milikmu?" ucapnya tak percaya, ia mengerjapkan matanya berulang kali, "Bisa kau coba peragakan mekanisme penggunaannya? Salah satu alasanku ke sini adalah untuk menemukan pemiliknya. Jika aku mengerti cara kerjanya, mungkin aku bisa membuat hal serupa… lalu aku bisa membuat paten darinya."

Aku terdiam sejenak, pria itu terihat sangat bersemangat, "Boleh, tapi ditembakkannya tepat ke kepalamu ya," ucapku seraya mengukir senyum.

Ahran berubah serius, "Kamu bercanda?"

"Iya," jawabku singkat.

Pria itu kembali menggaruk-garuk kepalanya yang tak terasa gatal.

Wajahku berubah sayu, sejenak kuembuskan napas yang dalam, "Apa benar hanya satu orang saja yang boleh kembali ke Alforea?"

Ahran menjawabnya dengan sebuah kebisuan, "Kau tahu berapa orang peserta Round satu ini?" ucapnya mengalihkan topik.

Aku menggeleng pelan,

"Andai salah satu dari kita mati saat ini juga, belum tentu ini akan menjadi akhir dari segalanya. Bisa saja di luar sana ada peserta lain yang juga sama-sama memilih jalan berkelana," ucapnya tak bersemangat, "Sama sepertiku yang memilih mengawali hidup, ketimbang mengacuhkan ajang kekonyolan ini.

Aku termenung mencerna logika darinya, "Kenapa balik ke sini lagi?"

"Panggilan hati," jawabnya dengan gaya sok keren dibuat-buat.

Aku terkesima, bisa-bisanya dia melontarkan sebuah candaan. Tapi hal itu cukup untuk mencairkan kegundahan hatiku, terbukti dengan terlepasnya gelak tawaku, "Segitu inginnya kah kau mati dengan cepat?"

Ahran memandangiku sejenak, "Well—, setidaknya kita bisa sama-sama mencari jalan keluar dari sini. Aku tahu kau terjebak di sini selama satu tahun penuh, itu berarti posisiku juga sekarang sama 'stuck'-nya denganmu," ucapnya seraya menoleh ke belakang, menatap pintu utama yang tertutup rapat.

Aku mengangguk. Hal selanjutnya yang kulakukan adalah berbagi tiap detail pengetahuan akan isi labirin yang pernah kujelajahi.


Di dalam lorong gelap itu aku berjalan berduaan. Ahran banyak bertanya mengenai diriku, tentang penampilanku yang mirip dengan seorang bajak laut. Mungkin penyangga di telapak kakiku yang terpotong ini terlihat keren di matanya.

"Maaf jika aku lancang," ucapnya mengawali pembicaraan.

Aku menoleh.

"Kau bisa menggunakan sihir?"

Gelengan kecil kuberikan sebagai sebuah jawaban.

"Tapi aku bisa merasakan pancaran energi yang kuat dari tubuhmu. Di tempatku, hal itu biasa disebut dengan energi kehidupan."

"Namanya Manna," ucapku memotong.

"Jadi kau sebenarnya paham soal konsep sihir dan sejenisnya?"

Aku mengangguk pelan, "Tapi aku tak hapal jenis-jenis mantra untuk mengaktifkannya."

Pria itu terdiam sejenak, "Aku ada beberapa koleksi mantra dari duniaku." Ia mengambil sesuatu dari saku baju, lalu memberikannya padaku.

Sebuah buku jurnal, berisi berbagai macam rapalan inkantasi. Kubaca isinya dengan suara pelan, seraya mengangkat lengan, "Ignis et iras."

Mendadak lenganku terbakar dengan hebat, nyala api berputar cepat, membalut sekujur jemariku. Aku terpekik. Namun anehnya, tangan ini tak merasakan apapun, hanya tekanan kecil tak kasat mata, seperti sedang memegangi sesuatu.

Kulemparkan nyala api itu. Tanpa disangka lontarannya begitu cepat melesat membelah udara, bergerak lurus tak tertarik gravitasi. Aku terkejut terlambat mengantisipasi. Ayunan lenganku tadi sebenarnya tak begitu bertenaga, tapi efek yang dihasilkan terlihat luar biasa. Terbukti dengan munculnya ledakan besar di penghujung lorong sana.

Ahran jauh lebih terkesima. Wajahnya begitu melongo, takjub luar biasa, "He-hebat… Kau bisa merapalnya, sukses mengeluarkan sihir hanya dengan sekali coba."

"Ibuku seorang penyihir hebat," ucapku membanggakan diri.

Buru-buru ia mengambil kembali buku saku di tanganku, "Ini bisa berbahaya kalau semuanya dipraktekin," ucapnya dengan senyum yang kaku.

Aku tak berkomentar lebih lanjut. Kami berdua fokus pada langkah kaki masing-masing.

Kami tiba di sebuah jalan buntu. Kudapati sebuah busur panah tergeletak di lantai, tanda bahwa aku pernah mati di tempat ini.

Sistem respawn—proses hidup kembali—di sini tergolong aneh. Benda apapun yang kutinggalkan di tempat kematian, akan tetap berada di sana. Sementara ketika aku hidup kembali, benda yang sama tercipta bersamaan sebagai sebuah salinan.

Kami berdua berdiri saling berdampingan, lantai tempat kami berpijak mendadak amblas turun sekitar lima senti ke bawah. Aku terpekik, sebuah jebakan mungkin aktif hendak membunuh.

Tapi aku salah. Alih-alih muncul jebakan, kini dinding buntu di hadapan kami terbuka lebar-lebar, mengantarku ke sebuah ruangan luas tanpa penerangan.

"Ignis et iras," ucapku seraya mengayunkan lengan kananku. Bongkahan api melesat cepat jauh hingga terlihat mengecil, untuk kemudian meledak menciptakan nyala api terang.

Gedebum ledakan mengikuti sedetik setelah nyala api meredup. Itu berarti jarak menuju dinding di penghujung sana melebihi tiga ratus meter jauhnya. Sesaat tadi kulihat sesuatu di sana.

Ahran berdecak sesaat, "Satu rapalan saja bisa menjadi hal yang amat praktis ya. Dan tak perlu repot memikirkan sisa hawa kehidupan… maksudku, manna."

Aku seolah tak mengacuhkannya. Jemariku menunjuk jauh ke depan. Aku melihat jauh lebih baik melebihi pandangan yang bisa ditangkap orang bisa hanya dengan berbekal api obor saja.

Di mata Ahran, saat ini ia menatap kemunculan segerombol mayat hidup dengan kulit pucat kehijauan. Masing-masing berjalan pelan dengan suara melenguh— ciri khas mereka.

Kami terkepung, tapi bukan itu yang kukhawatirkan. Telingaku menangkap suara suara gedebum tepat di belakang mereka. Lantai terasa bergetar di tiap entaknya.

Rahang besar muncul di atas sana. Mengawali kemunculan dari sosok monster setinggi gedung tiga lantai, berdiri tegap dengan dua kakinya. Tiga cakar besar menderap lantai, meninggalkan bekas lekukan saking beratnya yang luar biasa. Susunan sisiknya begitu tebal namun elastis seperti kulit iguana. Rahangnya begitu lebar, memamerkan susunan rapi gigi tajamnya. Dengung suara napasnya begitu menggema dalam gelombang infrasound, persis seperti singa.

Monster itu meraung keras, membuka mulutnya lebar-lebar hendak melahap.

"Kenapa ada dinosaurus di tempat ini!?" protes Ahran keras.

"Boleh kuambil lagi senapanku?"

Ahran menjawabnya dengan melempar benda itu tepat menuju arahku.

Segera saja kuambil senjataku, seraya berguling menghindari ayunan kaki sang kadal raksasa. Detik berikutnya, kulepaskan beberapa tembakan untuk melumpuhkan beberapa zombie yang datang menyerang.

Tak seperti mayat hidup pada umumnya. Makhluk undead ini terlari berlari menyongsong langsung menuju arahku. Langkah mereka begitu cepat bak seorang pelari olimpiade. Dua dari tiga berhasil kulumpuhkan tepat di kepala, akan te tapi aku gagal menyadari keberadaan sang kadal besar yang justru berada tepat di belakangku.

Mendadak tubuhku terdorong ke samping, diempas tendangan keras, khusus untuk menghindarkanku dari terkaman makhluk buas. Rahang berisi deretan gigi tajam itu gagal menyantapku dalam sekali lahap.

"Sama-sama," ucap Ahran melontarkan sebuah sarkasme.

"Terima kasih," ucapku pelan, walau terlambat. Tak bisa sedikitpun aku bersantai ria. Sesosok zombie lainnya datang melompat dari arah samping. Kuputar tubuhku seraya menggeser posisi, membuat makhluk tadi jatuh tersungkur, gagal mengenai kala berusaha menyergapku. Sebelum dia bangkit kembali, kuinjak saja kepalanya sekuat tenaga hingga otaknya tumpah berceceran.

Punggungku kembali menerima serangan kejutan. Kali ini datang dari ekor sang dinosaurus yang melecut cepat menghantamku, membuatku jatuh terjerembab, hingga berguling-guling tak terkendali.

Posisi jatuh itu kumanfaatkan dengan masuk ke dalam posisi telungkup. Tubuh besarnya begitu mudah untuk dibidik dalam waktu sekejap saja. Kutembak dia saat itu juga.

Namun makhluk itu tetap bergeming, seolah tak merasakan apa yang barusan kuperbuat.

Kulihat Ahran mengeluarkan senjata miliknya, sebuah pedang dengan ukiran indah menyala berwarna kemerahan. Bilah tajam itu berpendar terang dalam kegelapan. Matanya menutup tenang, menunggu saat yang tepat ketika para monster itu menyerang.

Enam mayat hidup berlari hendak menyergapnya di saat bersamaan. Ahran menyambutnya dengan berputar luwes seraya menghindari tiap serangan. Di sela-sela gerakan sempit itu sempat pula ia menyabetkan senjatanya. Detik selanjutnya, ia berdiri tegap sementara para zombie bertumbangan. Tubuh mereka terburai bececeran.

Dari sampingnya, sang kadal raksasa muncul melanjutkan rangkaian serangan. Gedebum besar di tiap langkah terasa cepat kala ia berlari menerjang. Mulutnya terbuka lebar, terkaman lainnya datang hendak melumat.

Ahran hanya menghindarinya dengan menggeser posisi tubuhnya dua meter ke samping. Dalam selang waktu itu kulihat ia berputar cepat. Lengannya memposisikan diri hendak menebas secara horizontal. Di saat yang tepat, ia ayunkan kedua lengannya untuk menebas bagian kaki sang kadal.

Dinosaurus itu tumbang dengan kaki putus sebelah. Matanya mendelik tajam dengan pupil orange gelap memanjang. Raungannya terdengar amat memilukan.

Ahran memasang pose kemenangan. Posturnya terlihat gagah, membelakangi korbannya seraya membuka mata pelan-pelan. Pandangannya lurus, serius, tajam penuh fokus.

Pria itu mendadak ditubruk salah satu zombi dari samping. Ia gagal mengantisipasinya.

Padahal sesaat tadi aku begitu terkesima.

Ia menjerit-jerit, berusaha menjauhkan rahang zombie yang menimpanya.



Entah ekspresi macam apa yang saat ini terukir di wajahku. Yang jelas aku harus melakukan sesuatu. Kuposisikan tubuhku dalam gerakan merunduk, bertumpu pada satu lutut.

Kutembak kepala zombie yang sedang berusaha menggagahi Ahran.

Kusadari dinosaurus tadi belum lumpuh dengan seutuhnya. Dia merayap menggunakan rahangnya, berusaha melahap Ahran yang belum pulih dari posisinya.

Detik berikutnya kupalingkan ujung senapan ke arah monster itu. Agak lama aku menginduksi senjataku, memastikan energi listrik yang tersimpan cukup untuk menciptakan medan magnet kuat. Loncatan listrik terasa bocor keluar hingga menciptakan rangkaian tirai elektrik. Hal selanjutnya, kutekan pelatuk senjata demi melepaskan lontaran peluru melesat melebihi kecepatan suara.

Mekanisme projektil hollow melakukan tugasnya, sukses masuk dalam jaringan daging di kepala, ujung pelurunya sontak mengembang, membuat area kerusakan membesar berlipat ganda. Meningkatkan friksi, yang berujung pada terhentinya laju peluru.

Alih-alih menembus hingga ke belakang, peluru senapan itu sukses mentransfer tenaga hantaman ke seluruh tubuh korban. Kepala monster itu tersentak keras, tubuhnya lalu berhenti bergerak. Sebuah tembakan tepat mengenai otaknya.

Aku mengembuskan napas perlahan.

Ahran sekonyong-konyong berusaha bangkit, lalu berjalan menghampiriku, "Kau hebat, senjata itu sungguh hebat."

Dia hanya peduli pada senjata ini, entah kenapa aku merasa kecewa.

"Apa yang barusan itu Final Boss?" ucap Ahran, berusaha membuka percakapan. Ia sepertinya sadar bahwa aku lebih dingin dari biasanya. Dan memang begitu, aku tak ingin menaruh hati pada pria yang hanya mementingkan benda saja.

Maka aku menjawab dengan sebuah gelengan. Aku bangkit seraya melangkah untuk mengambil obor yang tergeletak di lantai. Kusadari keberadaan sebuah mesin mekanik dengan bentuk yang rumit.

"Apa ini generator yang dibicarakan Sam?" ucap Ahran berusaha memastikan.

Aku menggeleng tak yakin. Di samping benda aneh itu terdapat sebuah kontrol panel. Berbagai menu tersaji di sana, antara lain menu untuk mengaktifkan generator cadangan, "Tak ada salahnya dicoba"

Tartarus control panel :
- Reset Power
   - YES –D
   - No

Nyala lampu muncul sedetik kemudian. Begitu terang bederang, memanjang hingga jauh ke atas. Kusadari tempat ini tak memiliki atap. Rangkaian besi di atas sana terbuka pelan, menyibak keberadaan bulan raksasa berpendar menerangi malam. Ruangan besar ini merupakan tempat peluncuran, berbentuk lorong vertikal lurus menuju atas.Di bagian tengahnya, terdapat sebuah benda raksasa menggantung tinggi, posisinya kokoh disangga besi di segala sisi.

Roket? Benda itu lebih mirip dengan wahana antariksa buatan Amerika— Apollo.

"Warning," terdengar suara peringatan dari salah satu speaker di sudut ruangan. "System Failure Imminent. Biohazard presence detected, purge process initiated."

Treeet

Treeet

Treeet

Tembakan suara alarm serasa memekakkan telinga, diikuti dengan kemunculan sirine merah menyinari di tiap sudut ruangan.

"Apa maksudnya?" Ahran mulai panik.

"Sepertinya buruk," ucapku agak kebingungan, "Serasa main Resident Evil," lanjutku berkomentar tanpa suara. Tentu saja Ahran tak mendengarnya.

"Purge Process Failed, initiate Self Destruct in 60 seconds…"

"Kenapa nyambung ke mode menghancurkan diri?" protes Ahran, ia mulai kehilangan kepala dinginnya. Bumi mendadak bergetar, gemuruh keras mulai terdengar.

"59…"

"58…"

Hitung mundur pun dimulai, namun suara kehancuran sudah terdengar. Kami berdua terjebak begitu saja, bingung tak tahu harus ke mana.

Lantai di depan kontrol panel mendadak terangkat dengan sendirinya. Kami berdua sontak berlari menuju sana. Hanya untuk dibuat kecewa oleh sebuah hologram berisikan tulisan.

Warning! Only one entrant may proceed.

Hanya satu yang bisa naik ke atas pesawat antariksa. Antara aku dan dia. Kami berdua sontak saja bertatapan mata.

"55…"

Tak perlu kata-kata, hanya gestur tubuh siaga sudah memberitahu segalanya. Aku menodongkan GaussRifleku, sementara ia menempelkan pedang berukiran cahaya di leherku. Tak ada yang hendak  mengalah di antara kami berdua.

"Nely—, sayang sekali. Tapi aku harus selamat untuk ronde selanjutnya."

"53…"

Aku tak membalasnya sedikitpun. Aku seharusnya tahu hal ini bisa saja terjadi. Toh pada akhirnya harus ada yang mati.

Tapi entah kenapa muncul keraguan di relung hatiku. Mungkin karena keberadaannya, atau mungkin karena rambut jabriknya. Bisa juga karena tingkah dan perawakannya.

Lagi pula aku sudah lelah… setahun dalam siksaan ini begitu terasa menyakitkan. Haruskah kuakhiri saja semuanya? Haruskah aku menyerah?

Menyadari kebimbangan terukir di wajahku, pria itu lantas menendangku, alih-alih menebas leher untuk mengakhiri nyawaku. Itu berarti dia tega menyuruhku menderita di tempat ini, mati berulang kali, hanya untuk hidup kembali di tempat perapian di awal tadi.

"51…"

Tubuhku terjerembab mundur, akan tetapi moncong senjataku masih mengarah tepat pada dirinya. Kutekan saja pelatuk di sana, seraya menyipitkan mata berharap bidikanku kena.

"50…"

"Aaaargh…" erangnya kesakitan. Projektil dingin terlihat bersarang di dada bagian tengahnya, tembus hingga ke belakang tubuhnya. Pelurunya sempat terfragmentasi menjadi puluhan serpihan kecil. Menciptakan serangkaian lubang di kedua paru-parunya, menghancurkan liver-nya, serta mematahkan tulang belakangnya. Pria itu ambruk, tak mampu lagi mengendalikan setengah tubuhnya ke bawah.

"48…"

Aku berjalan menghampirinya, menatapnya iba, "Ahran…"

Ia mengangkat wajahnya, berusaha berucap walau terbatuk keras, "Nely… A— aku…" Ucapannya terpotong, tersendak oleh darah yang membanjiri paru-parunya.

"45…"

Aku tak kuasa menyaksikannya. Wajahku lagi-lagi berlinang air mata, namun senyum ini terukir berusaha untuk menenangkannya.

"Kau cantik sekali…" ucapnya dengan mata yang teduh. Kelopaknya menurun pelan, lalu tertutup dalam damai. Ia menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.

"42…"

"Terima kasih," ucapku pelan seraya berdiri menjauhinya.

Kuhampiri panel elevator yang tadi menolak untuk beroperasi. Lampunya kini berwarna hijau, mengirimku naik menuju pintu masuk wahana antariksa.

Pintu itu terbuka, menyibak ruangan kecil dengan kontrol tempat duduk berbentuk vertikal.

"35…"

Kudapati sebuah kapsul berisi seseorang di dalamnya. Topeng kuda tergeletak di sampingnya. Kutekan saja menu kecil pada kapsul untuk mengaktifkannya. Lalu sesuai dengan dugaanku, sosok bernama Sam Rillme bangkit dari tidur panjangnya. Setahun ini dia tak merasakan apapun selain tidur nyenyak di dalam sana.

"Ah, kau pasti satu-satunya yang selamat dari Round 1 ini… kuucapkan selamat untuk…"

Ucapannya terhenti. Dia jatuh tersungkur setelah kuhantam pipinya dengan popor senapan terbuat dari besi. Tanpa ragu kutembak dua kaki beserta lengannya. Dia hanya menjerit kesakitan.

"Ke— kenapa?" ucapnya lirih dipenuhi tanda tanya.

"Kau— pantas mati," ucapku dingin. Tanpa membuangn waktu kuledakkan kepalanya.

Dia memang pantas mati, dia satu-satunya alasan kenapa hanya ada satu orang yang bisa masuk ke sini. Dia yang sudah menyiksaku selama ini.

"21…"

Kuposisikan tubuhku di sebuah kursi yang menghadap tinggi. Sabuk pengamannya kukencangkan untuk meyakinkan diri.

Instruksi di dalamnya begitu singkat, hanya ada satu tombol merah untuk menyalakan inisiasi. Roket ini memang sudah diprogram sedemikian rupa untuk terbang menggunakan serangkaian perintah otomatis, termasuk rute penerbangannya yang hendak kembali ke Alforea.

"16…"

"15…"

Roket ini terasa bergetar hebat. Semburan api di bagian bawahnya sedang meluap-luap menerjang bumi. Daya tolak baliknya mulai mengangkat benda ini tinggi ke angkasa.

"12…"

"11…"

Kastil ini mulai rubuh di tiap bagiannya. Ledakan demi ledakan tercipta di berbagai penjuru tempat, melumat sendi-sendi bangunan penyangganya. Lorong vertikal tempat roket ini berada pun tak luput dari kehancuran. Tiap susunan batanya jatuh berguguran, menyibak gemerlap malam di angkasa setelah melewati berbagai debu ledakan.

"7…"

"6…"

Aku terbang tinggi, jauh melewati pegunungan yang mengelilingi seisi kastil.

"3…"

"2…"

"1…"

Pancaran sinar terang muncul menerangi malam. Datangnya dari bawah sana, tepat di tengah kastil berada. Suara gemuruh mengikuti tak lama kemudian. Ledakan nuklir meluluhlantahkan segalanya.

Pesawat ini melesat tinggi menembus langit malam, terbang bebas bersiap menubruk gumpalan gelap berbalut cahaya di sekelilingnya.

Wormhole, sebuah jalan pintas untuk menyusuri jagat raya. Portal itu mungkin akan mengantarku tiba di Alforea..

"Tamon Ruu, tunggu aku di sana…"

Perempuan itu berhutang beberapa nyawa.







Akan tetapi mati bukanlah sebuah jawaban, hanyalah sebuah pelarian.


To Be Continue~

18 comments:

  1. entri kali ini kurang full fight, lebih ke permainan psikologi dengan tema survival..namun saya cukup enjoy mengikuti jalan ceritanya, Nely digambarkan begitu menderita di cerita kali ini membuat saya makin jatuh cinta ama karakter satu ini. namun penggambaran nely yang pintar beradaptasi dengan kondisi benteng membuat saya merasa janggal. kan dia lemot gegara efek micin?

    overall, ini entri penuh intrik yang pernah saya ikutin sampai habis

    9/10 dari Nobuhisa

    ReplyDelete
    Replies
    1. OOC bukanlah dosa, terlebih sama authornya sendiri, wakakakakaak
      :D


      Kalo soal adaptasi mah, emang skill dia ngumpet / ngendap2 kok~
      Dia tetep lemot, buktinya dia setahun di labirin gak sukses-sukses dia bikin peta buat survival :v

      Iyah, saya gak bisa bikin adegan gebuk-gebukan. Bikin komedi kayak prelim pun takut gagal (lagi), jadi coba pake style baru yang lebih suram.

      Btw, makasih udah mampiir~
      :D

      Delete
  2. Ini entry panjang banget.

    Tapi gitu juga ga bikin bosen. Dan ga murni gontok-gontokan terus. Sempet ada acara kerjasama juga. Nice ^^

    Yang paling saya suka potensi bentengnya bener-bener tergali. Ada labirin, zom-zom, beragam jebakan. Nely juga kehilangan Gauss Rifle. OC saya yg ambil pula XD

    Bentengnya futuristik sekali. Sampe ada roketnya XD

    Terus yang tereliminasi ternyata dijadiin steak ._.

    Ahran dicium >///< Dan mantranya kok latin (iya bukan)? Dia kan dr Turki. Tp buat Nely juga sih mantranya ^^

    Entry ini banting setir banget. Dari sebelumnya ngelawak+breaking 4th wall di mana-mana. Sekarang jadi serius-dramatis dan sudut pandangnya ganti XD

    Overall, ini cerita paling kompleks dr yg sejauh ini saya baca XD

    Nilai: 10

    N. Alfian
    OC: Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyah, entry paling panjang yang pernah saya buat sepanjang ikutan BoR, makanya rada pesimis juga karena takut orang malas baca :D

      (walau gak sepanjang bang Hewan sih, dia kalo bikin bisa sampe 15k)

      Aye gak pande bikin acara gebuk-gebukan... serius.
      ._.

      Itu saya udah bingung mentok ide, tempat si Sam yang bagusnya kayak gimana. Tadinya mau bikin macam Panic Room dengan semacam portal menuju Alforea di dalamnya, tapi berhubung saya baru nonton Jurrasic World, mendadak pengen nongolin Indominous-Rex di sana~ :v
      Jadinya Diubah deh~ :v

      Iyah, dijadiin makanan tanpa sepengetahuan yang lain, biar hemat anggaran katanya..
      ._.

      Nely udah mindbreak banget, jadi kedatangan Ahran dianggap sebagai Saviour~ :D


      Iyah banting setir, soalnya pengen beralih dari style komikal full shoot guyonan, ke model thriller~

      Wah, dapet nilai 10~ Makasih Alfiaaan~
      XD

      Delete
  3. What can i say XD
    9/10
    Keren abis dah..walopum entrinya agak kepanjangan n sedimit berbeda dr konsep awalnya tapi lveral dah bagus..keep it up bro
    Wait for next enty 😁😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih udah mampir~
      yay dapet nilai 9
      :D

      Delete
  4. Saya kek ngerasa liat cc Shinon itu pas mau mbedil kutu raksasa. Ahaha
    Abis liat soalnya jadi ngerasa dejavu. Dan penggambaran kastilnya bener-bener beda :D Saya juga salut sama konsistensi alurnya meski panjang banget :3 Bagus, walaupun di situ Neeshma gak sempet berantem T.T

    8 buat Nely~


    Neeshma Fraun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Base Copy Nely emang dari Shinon kok~
      itu scene "kayak ngelempar kertas ke keranjang sampah" juga quote-nya Shinon~

      Iyah, saya gak pande bikin adegan gebuk-gebukan, jadi ya cuma sebatas interaksi aja.
      maaf yaaa...
      Q_Q

      Delete

  5. Ini pasti maksudnya bukan saya, soalnya di sini yang dobel [L] bukan [I] #plak

    Begitu baca awalannya saya langsung pengen celetuk 'why so serious'? Udah sekarang dikasih BoR temanya game, malah balik jadi grimdark kayak BoR sebelumnya. Ini pasti karena nyinggung" Leon jadi belum move on. Dan kerasa banget moodnya banting setir samper pol dari komedik ke drama suram gini. Kalo lagi bawa mobil banting setirnya bisa bikin jatoh ke jurang nih.

    terpelotot? Saya baru tau bisa dijadiin begini

    pisir dan pijera itu apa ya?

    Chapter 1 entri ini agaknya melelahkan banget buat saya. Pertama karena perjuangan Nely digambarin dengan PoV1 penuh keluh kesah dan ga ada bumbu lain yang bisa diolah selain pergolakan dia sendiri. Saya jadi agak skimming bagian itu sampe Nely akhirnya ketemu OC lain

    Ng, entah kenapa meski sebenernya adegan kematian Wildan itu lucu, tapi berasa mismatch sama tone ceritanya sendiri

    Nely sama Ahran bisa tahan setahun makan apa?

    Akhir kata ini sesuatu yang beda dari yang udah" yang pernah saya baca di tulisan" bang Ichsan. Lumayan, dapet insight baru juga kalo dikau bisa mainan genre survival-psychological beginian

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyah, kan cuma catut nama Sam aja :>

      Yah, dulu kan papanya Nely di tema yang suram malah dibawa easy going, sekarang kebalikan tema yang riang jadi dibawa suram.

      Saya emang niat pengen nabrakin canon sampe ke HxH kok
      XD

      Pisir itu garis horizontal di sebuah scope, Pijera garis vertikal-nya (atau kebalik ya?)
      Kalo iron sight (tanpa scope) pisir itu bidikan di bagiain paling depan senapan, sementara pijekar itu bidikan yang ada di dekat popor, kalo mau nembak lurus kan cara ngebidiknya harus meluruskan dua "benjolan" itu.

      Kebanyakan 'keluh kesah' gitu juga ternyata gak bagus ya... noted.
      ._.

      Famous last word-nya wildan malah ngerusak tone suram yang udah dibangun yah..
      ._.


      Kan udah diceritain kalo Nely dapet bonus ruangan istirahat dengan unlimited supply. Sementara Ahran, dia malah melanglang buana ke kota lain (gak ikut gebuk-gebukan di kastil)
      Setelah setahun berkelana, baru dia balik lagi ke sana, cuma buat ketemu Nely doang. :v


      Iyah, saya masih berusaha menemukan jati diri sebagai penulis nih, wkwkwkwk
      XD


      Delete
  6. Fatanir - Po

    Entri ini punya deskripsi setting yg bagus dan niat sebagai dungeon. Kesan survivalnya juga kerasa. Palingan, kurasa fokusnya bisa diatur. Di sini masih kerasa Mas Ichsan nulus detail pas di awal2 tapi di akhir kerasa agak keburu2 flownya. Pas bagian awalnya jadi berasa plotnya gak bnyk berkembang tapi kalimat keterangannya banyak, dan di akhir2 sebaliknya, yaitu kata2nya kyk dipangkas supaya alurnya beres. Oh iya, penggunaan deskripsi organ pecah putus dsb agak kbnykn tanpa gambaran perasaan tokoh yg maksimal, jadinya gak kerasa seram, cuma berdarahnya aja yg banyak. Tapi ini idenya mantep, gak nyangka labirinnya ngetroll gitu ngerubah bentuk tiap malem. PoV 1-nya jg bagus dan pas, soalnya karakter pendiam mgkn agak susah klo pake PoV 3

    nilai 8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengaturan fokus ya om... noted.
      :D


      Iya, pas mau selesai saya nulis rush, karena gak mau jumlah kata membengkak. Ternyata bisa kebaca sama Om Po, kereen~

      Ide labirinnya ngambil dari tartarus di Persona 3
      :p

      Iyah, Nely pendiam sih~

      Delete
  7. "Psychological action married with survival instinct in a twisted dungeon crawling." -Wildan Hariz

    ^testimoni di teaser film gitu ceritanya, hahaha. Judulnya ngingetin ke film sih :p

    "serta ilustrasi Tamon Ruu tengah berpose erotis mengenakan kostum kapal-kapalan." Kan Co LLE :V

    Password 41151 ini kayak kode pos, hahaha. Dan apa-apaan itu nyasuverse starship troopers hahaha! Ini bikin saya sebagai pembaca ngebandingin setting sci-fi sama setting sederhana benteng jadul midieval. Tapi pas liat penjelasan sam, jadi lebih condong ke sci-fi karena dia sampe pake istilah organic weapon. Oh ya, ini settingnya dimodif ya, jadi sam riilme. terus, bonfirenya kemana?

    Secara keseluruhan, berbagai perasaan nely tersampaikan ke pembaca sepanjang cerita. Dari mulai takut, sakit, ngantuk, bertanya-tanya, psychological abis. Bahkan diselamatin sama Wildan pun dia masih bertanya-tanya.

    Kemunculan rombongan OC yang baru di tengah jadi keren. Terutama si F awalnya muncul sekelebat sebagai wanita berambut merah. (si Wildan juga keren sih huehehe) Soalnya pembaca udah disuguhin suspense rasa takut di nely sendiri.

    Wildan & Ahran ada romantic interest nih sama nely ya? Hihi, nely suka rambut gondrong sih ya :>

    Semua baik2 saja sampai ada bunuh2an waktu kumpul, Lumayan mengagetkan nih. Ada bumbu rasa curiga waktu mau disembuhin Neeshma. Padahal kalo pake bonfire bisa pada sembuh otomatis kan? Surprise2 banyak di sini nih. Kesadisan dimulai.

    Battle sama lady steele cukup singkat. Kerasa banget takutnya waktu nely ketauan sama dia. secara dia maen fisik. lady steele matinya sadis juga.

    Lalu, masalah timeline, my reactions:

    Hari kedua: oh
    Hari kesepuluh: okelah
    Hari kesembilan puluh: eh? okelah...
    365 hari kemudian: ANJIR LAMA BANGET

    Terus dia ketemu Ahran, sampe udah lupa gitu sama turnamen XD dan becandanya nely serem pas tau riflenya dicolong, hii /o/ Dialog di pertemuan mereka pas banget karena dua2nya pada melek sihir. Battlenya juga oke.

    Sedikit EYD thing, tanda titik dua mesti nyatu sama kata sebelumnya~

    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahahaha, sama. Baca komen darimu juga 'made my day'

      Maaf baru sadar kalo ada lg yang komen Q_Q

      Teasernya keren

      Iya, kode pos Jatiluhur
      XD

      Bonfire? tiap kali Nely mati kan dia selalu respawn di Bonfire.

      Iyah, Nely emang demen pria metroseksual berambut gondrong :'>

      Nely cuma petarung jarak jauh, kalo disamperin ya jelas kalah dia

      Setahun penuh, mindbreak banget kan dia, wkwkwkwk

      Wogh, saya baru tahu itu, makasih udah memberitahu :D

      Delete
  8. astagfirullah
    Subhanallah

    ARGH... Nelly yang disini tak seperti yang kupikirkan ternyata. Ceritanya seperti yang pernah ku bicarakan sebelumnya, jauh banget sama Prelim. INI LEBIH KEREN, lebih asik. ikutinnya juga mantaf (Walau saya baca ga langsung sekali beres soalnya ada urusan duniawiah)

    What can i say... I gave ya 9/10
    (Bun the Bubble)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Akii....

      Iya nih saya banting setir ke arah tema suram, dari sebelumya ngocol gaje
      XD

      Delete
  9. Oke permainan psikologi dan survivalnya ruwet. Saya biasanya suka yang ruwet2 tapi karena lagi banyak kewajiban jadi saya nggak terlalu menikmati entri ini. Meski begitu salut buat Bang Ichsan yang bikin entri beda kali ini.

    Satu pertanyaan saya : Fia makan apa selama 365 hari itu???

    Skor : 8/10
    OC : Tan Ying Go

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih bang udah mampir meski masih di tengah kesibukan.

      Lah, kan di tengah cerita dikasih penjelasan kalo Nely dapet ruangan khusus, lengkap dengan persediaan air dan makanan yang muncul terus menerus.

      Delete