12.6.15

[ROUND 1 - TEAM A] LEXIA GRADLOUIS - THE MINE OF FIRE

LEXIA GRADLOUIS - THE MINE OF FIRE
Penulis: Too much Idea



Lexia ingat bagaimana ia melompat masuk ke dalam portal. Ia mengira ia akan muncul kembali di halaman istana, tapi tentu saja perkiraannya salah. Ia menemukan dirinya berada di sebuah gedung yang terbuat dari kayu. Dilihat dari tempatnya, kelihatannya ini lobi dari sebuah losmen atau penginapan yang memiliki beberapa tingkat.
Peserta yang lain juga dikumpulkan disini, membuat ruangan lobi ini menjadi cukup sempit dan berdesak-desakan. Tidak perlu waktu lama bagi Lexia untuk menyadari bahwa jumlah orang yang ada lebih sedikit dari sebelumnya.
"Sekali lagi saya ucapkan selamat atas keberhasilan kalian dalam melewati babak penyisihan tadi," Seorang maid berambut ungu panjang, yang dari penampilannya sedikit berbeda dari pelayan yang lainnya berjalan naik ke sebuah panggung kayu kecil. "Perkenalkan, nama saya Anastasia, untuk saat ini saya bertugas menyampaikan pengumuman resmi dan menjelaskan tugas kalian pada ronde pertama turnamen."
"Ke mana wanita berdada sapi dan kakek berjenggot tipis yang sebelumnya? Bukankah mereka yang seharusnya muncul, aku punya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada mereka berdua!"

 "Benar, dan lagi kenapa hanya kami yang kembali dari tempat pertarungan, apa yang terjadi dengan mereka yang tidak kembali?"
Ayo jawab!, Lexia ingin ikut berteriak. Ia penasaran, dan ia tentu harus tahu dengan apa yang akan terjadi pada dirinya jika nanti ia tersisih.
"Baiklah, saya akan mulai menjelaskan tentang misi kalian pada ronde pertama!" Wanita yang sebelumnya memperkenalkan dirinya dengan nama Anastasia menghiraukan pertanyaan-pertanyaan mereka, dan menepukkan tangannya. Layar-layar hologram bermunculan di udara, masing-masing menunjukkan sebuah lingkungan yang berbeda.
Mudah menebak bahwa itu adalah tempat mereka akan dikirim selanjutnya. Lexia menghiraukan keributan tidak penting yang terjadi di dalam bar, memperhatikan lokasi-lokasi yang ditunjukkan di gambar sambil memutar otak akan apa yang dapat ia lakukan untuk mengatasi bahaya di lokasi-lokasi tersebut.
"Kalian harus saling membunuh hingga hanya satu orang yang tersisa..." 
Kalimat itu membuat konsentrasi Lexia buyar. Seketika ia menoleh dan memandang ke makhluk kecil yang dipanggil tadi. Lexia melepaskan kacamatanya dan dengan gugup membersihkan kacanya yang kotor dengan pakaiannya.
Yah, setidaknya aku tahu apa yang akan terjadi padaku nanti, pikirnya.
"Maksudmu kami dikirim ke sana dalam tim hanya untuk saling bunuh?! Permainan macam apa ini?!" Protes salah satu peserta yang berbadan besar. Lexia berhenti sejenak, mencari asal suaranya. Rupanya Monsieur Asep juga lolos ke babak ini.
"Oke, abaikan makhluk tidak penting ini, kalian tidak perlu sampai membunuh peserta lain, jika kalian bisa membuat mereka mengaku kalah atau menghajar mereka sampai pingsan, itu sudah cukup," Anastasia kembali menjelaskan.
Oh, Lexia menarik nafas lega sambil mengenakan kembali kacamatanya. Baguslah kalau begitu.
"Untuk detail misi akan dijelaskan oleh pemandu masing-masing tim sebelum berangkat ke tempat pertarungan, kalian punya waktu sampai besok pagi, jadi beristirahatlah yang cukup," Anastasia membungkuk memberi hormat pada para peserta, kemudian melangkah keluar dari kedai. Delapan orang pelayan melangkah naik ke panggung dengan rapi, kemudian berhenti dan menepukkan tangan mereka di saat yang bersamaan. Sebuah layar tambahan muncul di bawah layar-layar hologram yang menunjukkan lokasi-lokasi tempat mereka akan bertarung.
Tim A. Lexia melihat namanya, dan lima peserta lain yang masih asing baginya. Lexia berjalan mendekat ke seorang pelayan yang membawa plat kecil bertuliskan 'Team A', muncul dari kerumunan adalah lima peserta yang lain.
"Selamat atas keberhasilan anda." Si Pelayan bertepuk tangan. "Apakah anda sekalian hendak diberangkatkan sekarang?"
"Yeee... Yang bener aje, orang tua kayak aye sepatutnye dapet istirahat." Seorang kakek tua mengomel. "Di zaman aye, waktu aye perang lawan kumpeni,  nggak sekejam ini."
"Bun lapar!" Seorang makhluk Gnome atau Dwarft ikut mengomel. Ia mengusap-usap perutnya, sambil sesekali melirik ke arah troli-troli makanan yang sedang dibawa masuk oleh pelayan-pelayan lainnya. "Bun lapar!"
"Kita semua lapar... Dan capek." Seorang wanita berkacamata yang membawa sebuah tongkat berornamen aneh membetulkan. "Saranku, kita mengambil waktu istirahat dahulu. Tidak perlu tidur dan mandi, cukup makan dan duduk. Bagaimana menurut kalian—"
Si Kurcaci sudah berlari pergi, menyerbu piring-piring makanan yang diletakkan di meja kayu bersar bertuliskan 'Tim A'. Si Kakek Tua menyusul si Kurcaci, sambil mengomel-omel. Si Kacamata mendesah kesal, melihat pertanyaannya tidak didengar. Seorang gadis cilik menatap si Kacamata, lalu Lexia, sebelum mengangguk dan berjalan pergi menuju meja makan. Si lelaki muda yang asyik mendengarkan sesuatu dari headphonenya hanya mengangkat bahunya sebelum berjalan pergi.
"Panggil aku Stella." Si perempuan memperkenalkan diri. "Uh, bagaimana menurutmu...?"
Lexia hanya mengangguk, sambil berjalan pergi.
--
Meja Tim A boleh dibilang adalah meja yang paling berisik. Si Kurcaci terlalu asyik makan hingga ia tidak memperhatikan suara yang ia buat. Disekitarnya terdapat setidaknya puluhan piring yang ditumpuk begitu saja. Perut si Kurcaci ini nampaknya terbuat entah dari karet atau dari lubang hitam, sebab ia tidak nampak gendut dan tidak nampak akan kenyang dalam waktu dekat. Si Kakek Tua mengomel-ngomel dalam logat daerahnya ke Kurcaci, yang nampaknya menganggu kenyamananannya.
Lexia sendiri memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini untuk menulis entri jurnal. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan kecil yang terselip di kantung bajunya, sambil menguyah sepotong daging panggang. Ia sudah menulis entri jurnal semenjak bertahun-tahun yang lalu, dan dalam prosesnya ia juga berganti-ganti buku. Terselip di sampul kulit buku catatannya, sebuah pensil yang ukurannya lebih kecil lagi. Lexia mulai menulis di sebuah halaman kosong.
Jurnal #808446 – Hari Pertama (?) di Turnamen Battle of Realms
Setelah disedot oleh semacam portal cahaya dan kemudian langsung dipaksa untuk mengikuti sebuah babak pre-eliminasi, aku baru sempat menulis jurnal sekarang.
Seperti namanya, Battle of Realms, aku melihat tidak hanya manusia disini. Ada begitu banyak orang dan makhluk, tidak hanya manusia biasa seperti aku. Ada juga orang-orang yang berasal dari Bumi yang sama denganku, tapi dikaruniai dengan kemampuan khusus seperti yang ada di cerita-cerita fiksi. Menarik, bukan?
Kemarin (mungkin?) mereka memintaku untuk menghancurkan dua buah kristal di atas Menara dan menyegel seekor monster berukuran besar bernama Tamon Rah. Berkat bantuan Monsieur Asep,hal yang bahkan akan membuat petualang sekaliber Indiana Jones pasti akan iri dengan hal yang berhasil aku lakukan.
"Hey, Kacamata." Seseorang memanggil, Lexia berhenti menulis. Si perempuan rambut pendek, rupanya.
"Kau juga pakai kacamata." Lexia mengembalikan pensil kecilnya ke tempat semula dan menyelipkan buku catatannya kembali ke kantung bajunya. Ia menyadari bagaimana semua orang memasang wajah yang cukup serius, kecuali si Kuraci yang mendengarkan sambil mengigit-gigit sebuah paha ayam. "... Oh."
Dan dengan begitu, mereka berenam berdiri dari meja makan mereka di saat yang nyaris bersamaan dan berjalan menghampiri pelayan yang bertanggung jawab atas kelompok mereka.
--
 "Tempat anda sekalian akan bertarung adalah Managua Gem's Cave." Layar hologram menunjukkan sebuah tambang yang nampaknya sudah terbengkalai, dengan sungai magma dan kolam lava. "Tambang ini ditinggalkan semenjak gunung terbesar di Alforea ini tiba-tiba menjadi kembali aktif. Gempa yang terjadi saat itu menyebabkan kerusakan besar, menjebak pekerja tambang yang tidak sempat menyelamatkan diri dan secara mengenaskan tewas disana."
"Para pekerja tambang ini menjadi mayat hidup yang menghantui tambang ini, mereka akan menjadi gangguan untuk pertarungan kalian dalam ronde ini." Si Pelayan tersenyum sambil menjelaskan detail-detail ronde ini. "Suhu di dalam tambang akan semakin memanas, seiring berjalannya waktu."
"Untuk memenangkan pertarungan ini, anda harus menjadi the last man standing. Entah dengan membunuh peserta yang lain atau membuat mereka pingsan, tidak ada kata menyerah."
"Tapi Bun tidak mau sejahat itu..." Keluh si Bun si Kurcaci, sambil mengenggam setali sosis yang ia bawa sebagai bekal.
"Saling bunuh?" Si gadis cilik mendengus. "Tidak ada yang abadi."
"Kenapa kita tidak bekerja sama saja?" Lexia menawarkan idenya. "Hawa panas yang ada di tambang itu membahayakan, dan aku tidak yakin kita semua bisa selamat jika kita tidak bekerja sama untuk mengeliminasi gangguan mayat hidup. Kita bisa mati karena dehidrasi atau panas terlebih dahulu."
"Ditempat aye ada pepatah," Si kakek tua tiba-tiba membuka suara. "Bersatu kita padu, bercerai kita runtuh."
"Jadi? Kita gencatan senjata sampai semua mayat hidup dihabisi " Si lelaki muda melepaskan headphonenya, yang digantungkan di lehernya. Lexia mengangguk. Si lelaki muda mengangguk setuju, kembali mendengarkan musik melalui headphonenya. "Aku setuju."
"Baik. Demikian penjelasan dari saya." Sebuah cahaya biru muncul di tanah. "Dalam waktu satu menit, portal akan terbuka dan anda sekalian akan terkirim ke lokasi. Anda sekalian akan dikirim ke berbagai titik yang berbeda."
Lexia memeriksa kembali perlengkapannya satu per satu. Sebuah parang, pistol Luger P08 berkapasitas delapan peluru serta dua buah magazine (Lexia menyadari bahwa jumlah pelurunya kembali seperti semula, meski sebelumnya ia sudah menghabiskan satu magazine), dan sebuah cambuk.
Cambuknya terbuat dari kulit dan pegangan parangnya adalah kayu. Yang ia khawatirkan adalah pistolnya. Meski pegangannya terbuat dari plastik, bagian yang lain masih terbuat dari besi. Ada kemungkinan jika nanti pistolnya akan menjadi terlalu panas untuk dipegang dan tidak menutup kemungkinan plastik dan atau besinya malah akan meleleh.
Peluru-pelurunya juga memiliki bahaya sendiri, apa yang akan terjadi jika bubuk mesiunya terpicu panas?
Setelah memikirkannya dengan baik, Lexia memutuskan untuk mengeluarkan enam belas peluru dari dua magazinenya, lalu memasukkannya ke kantung kanan celananya tepat ketika portal dibawah kakinya menjadi bertambah terang dan menelan dia.
--
Hal pertama yang Lexia rasakan ada panas.
Tentu saja, Lexia mungkin akan syok kalau ternyata tambang di dekat jantung gunung berapi ini ternyata malah dingin. Tidak perlu waktu lama bagi Lexia untuk berkeringat, sampai ia merasakan rambut dan bajunya basah karena keringat. Sembari berjalan menyusuri lorong gua, Lexia melepaskan kacamatanya dan sesekali mengusap uap dan tetesan air keringat dengan bajunya. Rasanya seperti berada di sauna.
Lexia berhenti ketika ia menemukan sebuah peta tambang yang dikaitkan di dinding tambang. Tempat ini rumit, mengingatkan Lexia pada sarang semut. Lexia melihat bagaimana ada sebuah ruangan kosong yang cukup luas yang letaknya di dekat pintu keluar gua, mungkin pusat aktivitas dari tambang ini. Mencari peserta yang lain akan memakan banyak waktu, akan lebih baik jika Lexia mampu menarik perhatian mereka dan mengumpulkan mereka semua di suatu tempat... Lexia memutuskan untuk berjalan ke arah pusat tambang, mulai menyusuri rel kereta tambang.
Suara besi berdenting terdengar dari arah depan. Berdenting lagi dan lagi, seolah para pekerja tambang masih bekerja disini. Memukulkan apalah itu nama alatnya ke bebatuan lagi dan lagi. Tapi suara itu tidak diam di satu tempat, tapi mendekat... mendekat... mendekat... Lexia pernah menghadapi mumi di sebuah piramida kuno, tapi ini pertama kalinya ia menghadapi sesuatu yang seperti ini. Bau dagingnya seperti daging busuk yang dibakar, dibanding berjalan mayat-mayat hidup itu lebih nampak seolah mereka menyeret tubuh mereka sendiri.
Lexia meraih pistol Lugernya dan mulai membidik, tangannya bergetar karena panik dan kaget. Lexia menarik nafas, lalu menarik pelatuknya, menembak jatuh mayat hidup yang paling dekat dengannya. Seperti yang ada di film-film, zombie itu terjatuh dengan sebuah tembakan fatal di kepala. Tidak seperti yang ada di dalam media manapun, zombie-zombie yang lain tiba-tiba saja berubah dari menyeret tubuhnya menjadi berlari. Mata mereka menyala merah dan mulut mereka terbuka lebar seolah siap mengigit kapan saja.
Survival Instinct Lexia mengambil alih, sebelum ia tahu ia sudah mulai berlari menyusuri rel kereta ke arah sebaliknya.
Lexia tahu bahwa si pelayan tidak berbohong. Semakin lama ia berlari menyusuri jalur kereta tambang ini, rasanya semakin panas hingga sol sepatunya seolah sudah melengket ke rel (Tentu saja Lexia berharap itu hanya pikirannya saja). Ia berhenti sejenak, menarik nafas, dan menyadari kehadiran sebuah kereta tambang yang diisi dengan apa yang nampak seperti peledak.
Bergerak dengan cepat, Lexia meraih beberapa butir peluru di kantung kanan celananya dan melemparkannya ke atas batang-batang peledak. Ia menembak dua roda depan kereta tambang, sebelum menendangnya keras-keras supaya berjalan. Lexia membidik, kemudian menghabiskan peluru pistolnya mencoba untuk memicu butiran peluru yang ia letakkan sebelumnya.
Dieu Merci, kereta itu meledak.
Ledakannya begitu kencang hingga rasanya seluruh tambang bergetar, dan suaranya membuat telinga Lexia berdering. Melihat bagaimana dinding dan lorong tambang mulai runtuh, Lexia menyarungkan pistolnya dan kembali berlari. Sebuah bunyi yang terdengar seperti lonceng gereja tiba-tiba terdengar di kepalanya, diikuti dengan munculnya sebuah layar hologram di udara setinggi dada Lexia. [KUMIRUN have DIED – outrunned by the zombies]
Lexia begitu fokus membaca notifikasi tersebut hingga ia hampir saja terjatuh. Ia melompat ke belakang, berhenti berlari. Di hadapannya adalah apa yang nampak seperti pusat daerah pertambangan ini. Tempatnya besar dan luas dan Lexia dapat melihat puluhan pintu masuk gua yang lainnya. Rel-rel kereta tambang mengarah keluar masuk gua. Lexia menoleh ke atas dan melihat beberapa lubang di langit-langit gua yang berfungsi sebagai semacam ventilasi udara, yang memberinya udara dan sedikit hembusan angin yang menyejukkan meski tidak begitu membantu.
Masalahnya, lorong yang sedari tadi ia susuri rupanya jalan buntu. Tidak ada jalan menuju ke bawah, seperti tangga atau semacamnya. Ia melihat ke bawah dan menatap sungai magma yang bersinar merah keoranyean, seolah menatap ke dalam matahari itu sendiri. Mungkin karena sungai itu lorong ini tidak bisa dihubungkan dengan pusat pertambangan di depannya itu.
Di belakangnya, dinding dan langit-langit roboh dengan cepat. Lexia mengumpat, memikirkan cara untuk melarikan diri mengingat tidak ada jalan putar balik. Ia meraba dinding, terlalu tajam dan licin untuk di daki. Kalaupun ia bisa daki, ia mau pergi kemana? Melompat terlalu berbahaya, terlalu tinggi dan daratan aman terlalu jauh.
Lexia menyadari adanya sebuah kabel hitam yang nampak kuat. Dari kait berkarat yang menggantung di dekatnya, nampaknya ini dahulu digunakan untuk para penambang mengirimkan barang-barang hasil tambang dengan kantung atau semacamnya, sebagai pengganti kereta. Tanpa pikir panjang, Lexia mengaitkan cambuknya ke kait itu dan melompat ke depan. Menggunakan gaya loncatannya sebagai dorongan dan ledakan dibelakangnya sebagai momentum, Lexia dengan cepat mengayun turun ke bawah, menuju ke sebuah menara kayu kecil yang berada di sisi lain tambang.
Ia mengeryit kesakitan ketika menghentikan lajunya dengan kedua kakinya, yang menghantam sebuah papan kayu. Ia menjatuhkan dirinya dan mengayunkan lepas cambuknya. Lexia tahu bahwa ledakan yang secara tidak sengaja ia mulai itu akan menarik perhatian, baik peserta yang lain maupun mayat-mayat hidup lainnya, meski Lexia berharap bahwa zombie yang ia kubur hidup-hidup itu adalah kumpulan yang terakhir.
Tidak perlu waktu lama bagi Lexia, yang baru saja menuruni pijakan kayu untuk mendengar suara tapak kaki dari sebuah lorong yang letaknya tidak jauh darinya. Si wanita berambut pendek, Stella, berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Ia melihat ke kiri, lalu ke kanan dan langsung berseri-seri melihat Lexia sembari melambaikan tangannya.
Lexia tersenyum balik dengan sopan, kemudian menyapa. "Halo Madame, bagaimana bisa kau tetap bugar—"
"Tunggu." Stella menghentikannya. "Aku bukan wanita."
"Eh?"
"Iya."
"Panggilanmu Stella, bukan?"
"Benar."
"Nah—"
"Aku bukan wanita!" Stella menepuk dadanya keras-keras. "Lihat! Lihat! Tidak mungkin ada wanita yang punya dada serata ini, bukan?"
Kalau dipikir-pikir, benar juga.
"Sekarang, menjawab pertanyaan anda." Stella menarik nafas, sembari membenarkan letak kacamatanya. "Aku penyihir elemental, dan air adalah salah satu sihir yang aku kuasai."
"Nyamannya."
"Begitulah." Stella meraih sebutir kristal berwarna biru dari dalam tasnya. Sebuah bola air kecil muncul begitu saja dari udara... Dan menghantam Lexia tepat di kepala.
"Zut!" Umpat Lexia, yang terpelanting ke belakang. Ia basah dari ujung rambut ke ujung kaki, hidungnya perih karena air juga masuk melalui lubang hidungnya. Tapi ia tidak sepusing sebelumnya dan terasa lebih segar. Tidak heran. "Ah... Merci."
"Sama-sama, Petualang." Stella mengangguk. "Tidak ada waktu untuk beristirahat, aku mendengar suara ledakan?"
"Aku dikejar sekelompok mayat hidup. Mereka rupanya akan bertambah cepat kalau mendengar suara atau melihat temannya mati." Lexia menggaruk-garuk matanya, yang gatal karena kelilipan debu. Dari sudut matanya, ia memperhatikan bagaimana Stella membuat sebuah bola air lainnya dan kemudian membasahi dirinya sendiri. "Bagaimana dengan kau? Bertemu dengan mayat hidup? Apa kau menyerang mereka."
"Tidak, aku harus hemat—" Stella berhenti, menepuk tasnya. "Uh- Kemampuanku terbatas."
Kristal sihirnya jumlahnya terbatas dan semua disimpan di dalam tasnya. Mudah ditebak.
"Disini anda rupanya." Si gadis cilik yang mengenakan pakaian lolita yang Lexia yakin membuatnya tiga kali lipat merasa lebih panas mengibaskan rambut panjangnya. Dengan penuh percaya diri, ia memandang Lexia dan Stella. Kucing hitamnya mengeong, seolah mengingatkan bahwa ia juga ada disitu. "Perkenalkan. Namaku Eumenides. Dan anda sekalian akan kalah disini."
"Pelan-pelan. Kita belum mulai sama seka—"
Sebuah pukulan keras dari Stella, yang mengayunkan tongkatnya dan memukulkannya ke kepala Lexia. Lexia mengumpat sembari terjatuh ke samping, ia mengusap-ngusap sisi kepalanya yang dihantam keras-keras.
"— Itu bukan aku, Demi Bintang Kejora!" Stella mengangkat kedua tangannya, seolah menunjukkan bahwa itu memang bukan dia. Dilihat dari ekspresi terkejut-bingung yang ada di wajahnya, nampaknya itu memang bukan dia.
"Kau," Lexia melirik ke Eumenides. "Dia kau apakan?"
"Lucu sekali. Aliran darahnya menjadi cepat ketika kau mengumpat marah ke arahnya." Eumenides terkikik geli, sebuah jawaban untuk pertanyaan Lexia. Ia memeluk boneka pandanya. "Kalau ya, memangnya kenapa?"
"Hah?" Stella melongo. Ia menepuk-nepuk kepalanya, lalu badannya. "Tapi kapan?"
"Sebelum kita dikirim ke sini, tentu saja." Lexia berdiri. "C'était plutôt astucieux, je dois le reconnaître."
Eumenides membungkukkan badannya sembari mengangkat roknya kecil sambil tersenyum manis, seolah ia adalah seorang aktris yang berterima kasih atas sebuah pujian. Boneka pandanya masih tergenggam dengan erat. Untuk sesaat, Eumenides nampak seperti gadis cilik yang manis. Sayang ia kembali nampak dingin ketika melongokkan kepalanya. "Tanpa membuang waktu lebih lagi, bisa kita mulai?"
"Apa rencananya?" Stella berbisik. Ia mengenggam tongkatnya erat-erat. "Aku hanya bisa menyihir—"
Tongkat Stella terayun lagi, tapi kali ini Lexia siap. Dengan sigap ia menunduk menghindar, kemudian dengan gesit mengayunkan kakinya dan menjatuhkan Stella yang kehilangan keseimbangan. Sementara Stella mengaduh kesakitan, Lexia dengan cepat menerjang ke arah Eumenides.
Boneka Pandanya.
Lexia tidak tahu apa fungsinya dan seberapa pentingnya, tapi dari cara Eumenides memegangnya nampaknya boneka itu memegang peranan yang cukup penting.
Sebelum Lexia dapat melaksanakan rencananya, kucing hitam Eumenides melompat ke depan sambil mendesis ke arahnya... Dan dalam satu kedipan mata, entah bagaimana, Lexia kembali ke samping Stella yang masih terduduk sambil meringis kesakitan.
"Eh?" Lexia dan Stella berbisik di saat yang bersamaan.
"Kok?" Stella menunjuk ke Lexia, lalu ke Eumenides yang mengangkat kucingnya lalu buru-buru menjauh untuk mengambil jarak. "Huh?"
"Magie." Desis Lexia, ketika Stella meraih sebuah batu berwarna kuning dari dalam tasnya.
"Petualang, mungkin kau ingin lari sekarang." Stella tertawa gugup. "Gadis Kecil itu mengontrolku lagi... Awas petir!"
Lexia terdiam karena bingung. Tapi ketika ia merasa statis dan seluruh tubuhnya terasa geli, dengan cepat ia melompat ke samping. Petir menyambar keluar dari langit-langit, menyambar tempat Lexia berdiri sebelumnya. Jika ia terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi dengannya.
"Lexia Gradlouis," Eumenides memangil. Ia menyeringai. "Asal kau tahu saja, yang itu bukan aku."
--
Di tengah pusat tambang yang luas dan banyak dengan tempat bersembunyi seperti kotak kayu, kereta tambang, dan berbagai macam lubang dan lorong ini, tiga orang saling berhadapan di sebuah ruang terbuka.
Mendengar pengakuan dari Eumenides, Lexia langsung tahu apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Ia membuka mulut, hendak melontarkan kalimat pedas ke Stella ketika ia melihat sesuatu yang bergerak dengan cepat ke arahnya. Ia melemparkan tubuhnya ke samping, jatuh di atas rel kereta tambang yang panas. Ia melompat berdiri, sebelum Stella dapat menyerangnya kembali dengan tongkatnya.
"Pikirku, tidak ada gunanya berkerja sama denganmu kalau aku dapat dikendalikan kapanpun." Stella berdiri. Ia menepuk-nepuk bajunya, mencoba membersihkan debu yang menempel. Ia nampak tidak senang, ketika menyadari bahwa noda ini sulit hilang. "Sayang sekali. Kau nampak lebih menjajikan, Petualang."

"Makan roti makan paha... Hahahahaha"
"Jeruk purutnya di dahi... Hihihihihi"
"Beli ta... Hu"
"Susu ja... He"
"Donat, lolipop, ya... Ho!"
"Perut Bun masih lapar..."
"Hahihuheho...." 
Suara nyanyian yang menggema cukup keras menghentikan konfrontasi tiga arah yang baru saja hendak terjadi.
"Ditenggaklah botol biru, isinya susu."
"Didapat dari papa Bun, dicampur madu."
"Satu tenggak."
"Langsung habis."
"Padahal masih haus."
"Bekal Bun sudah habis dan masih jauh~"
"Si Kurcaci?" Lexia memanggil sosok pendek gendut yang berjalan keluar dari lorong tambang yang letaknya tidak jauh di belakang Eumenides.
"Bun bukan Kurcaci! Bun itu Gnome!" Bun si Gnome mengomel, tapi raut wajah marahnya dengan cepat digantikan oleh sebuah senyum. Ia nampak sangat puas, entah kenapa. "Bun lihat banyak orang aneh tadi. Jalannya seperti orang yang terlalu banyak minum anggur, bun."
"Dimana?" Eumenides bertanya. Meskipun mereka saat ini sedang saling bertarung, tidak ada yang mau diganggu oleh serangan mayat hidup. Seketika, semuanya menjadi siaga.
"Di kantung, bun." Bun menjawab.
"Kantung magma?" Stella bertanya.
"Kantung perut, bun!" Bun mengelus-elus perutnya.
"Aih!" Eumenides menjerit, menutupi matinya. "Ini tidak adil, kenapa semesta bisa tidak adil begini?"
"Kenapa, bun?" Bun berjalan mendekat ke Eumenides, nampak perduli dan bingung kenapa orang yang sama sekali tidak diserang tiba-tiba bisa menjerit seperti itu.
"Tidak! Jangan mendekat!" Eumenides melangkah mundur, kucingnya melompat sembari mendesis lagi dan tiba-tiba saja Bun terkirim kembali ke lorong tempatnya keluar tadi. Sementara Bun kebingungan, Eumenides mengangkat kucingnya. "Tidak! Bukan begitu, Eve!"
Mungkin yang bisa meramal sihir bukan dia, tapi si kucing? Dengan informasi itu, Lexia memutuskan untuk berlari menerjang maju lagi.  Entah apa yang menyebabkan Eumenides seolah kehilangan ketenangannya ketika Bun mendekat, tapi hal itu adalah pengalih perhatian yang baik karena Eumenides terlambat menyadari apa yang terjadi.
"O natura zenbait, eman..."  Eumenides berseru, suaranya yang bergetar karena panik menggema ke segala arah. "Denbora!"
Apa yang terjadi selanjutnya berjalan dengan cepat.
Lexia berhenti berlari, takut dengan entah apa yang akan terjadi. Ia tidak berkedip sama sekali, tapi ia menyaksikan bagaimana Eumenides bergerak begitu cepat hingga nyaris seperti meluncur. Apapun yang hendak ia lakukan, rencananya digagalkan oleh sebuah sambaran petir yang menyambar tepat di depan hidung Lexia.
Eumenides terkapar ke tanah, menjatuhkan boneka panda dan si kucing hitam yang nampaknya sama-sama ikut pingsan. Lexia menoleh ke Stella, yang menggaruk-garuk kepalanya bingung.
"Sebenarnya itu serangan untukmu." Stella berkata dengan jujur. "Entah apa yang terjadi?"
"C'est folle." Seru Lexia, menyadari seberapa beruntung dirinya.
Tidak lama kemudian tubuh Eumenides dan kucing hitamnya yang pingsan karena tersengat listrik berpedar biru, lalu pecah menjadi kepingan-kepingan kecil yang menghilang ke udara. Sebuah suara bel kembali terdengar, bersamaan dengan sebuah layar hologram di udara. [EUMENIDES is DEFEATED by Stellene Fortrand]
"Tiga orang lagi." Stella meraih sebutir kristal lainnya dari dalam tasnya. Kristal yang ia keluarkan berkilau merah.
"Bun!" Lexia berlari, berusaha membuat jarak dari Stella. "Tolong aku!"
Diberi perintah dengan tiba-tiba seperti itu, Bun menurut saja.
"Nexus!" Bun memanggil. Petir yang nampaknya bukan petir dari Stella menyambarnya, dan entah dari  mana sesosok gnome bertudung ungu muncul dan melayang di samping Bun.
"Panas sekali, mon~!" Seru si gnome yang baru saja muncul, dengan wajah merengut. "Aku tidak suka tempat ini, mon~!"
"Monica tolong bantu Bun!" Bun berseru, sambil berlari-lari kecil menuju Stella. "Tolong, bun~"
"Aku mau kue tart ungu kali ini, mon~"
"Oke, bun~"
Stella nampak tidak terganggu dengan kehadiran salah satu teman Bun. Ia menggunakan sihir api, melemparkan bola api yang diarahkan tidak ke arah Lexia tapi ke tanah di antara dia dan Bun. Bola itu jatuh ke tanah dan menciptakan sebuah ledakan besar yang teramat sangat panas, apinya menyebar secara horisontal dan cukup untuk memisahkan Lexia dan Bun.
Stella berlari mundur ke belakang, mungkin untuk mengulur waktu. Tapi Lexia tidak akan memperbolehkannya. Lexia berlari secepat yang ia bisa, menelan ludah untuk menahan haus. Dengan cepat diraihnya pistolnya yang tidak lagi berguna— dan panas sekali ketika disentuh— kemudian dengan cepat melemparkannya ke arah Stella yang dengan gesit menghindar kesamping sembari mengangkat batu yang berkilau kuning dan Lexia kembali merasakan statis di udara.
Lexia melemparkan tubuhnya ke depan, berguling menghindar, dan kemudian sembari berlutut meraih cambuknya, dan begitu kedua kaki menapak dengan kuat ke tanah ia memecut cambuknya dan mengkaitkannya ke tongkat ala penyihir yang Stella bawa sebelum kemudian menariknya keras-keras hingga lepas dari pegangan tangannya.
"Ah—" Stella mengerutkan kening, sembari membenarkan letak kacamatanya. "Keparat."
Perhitungan Lexia lagi-lagi salah. Ia mulanya mengira bahwa tongkat ini adalah tongkat sihirnya, yang berarti Stella tidak akan dapat mengeluarkan sihirnya tanpa tongkat ini. Mungkin Lexia terlalu terkurung oleh fantasi fiksi dari dunianya. Ia berdiri melihat Stella mengeluarkan kristal merahnya, dan cukup pasrah ketika melihat bola api terbang ke arahnya.
"Graycakes!" "Spark!"
Bun dan temannya menjerit, sesuatu melesat terbang melewatinya dan mengenai bola api yang sedang terbang bebas ke udara dan membekukannya kemudian di saat yang sama entah bagaimana Lexia merasa lebih ringan dan lebih kuat.
Dengan cepat Lexia melemparkan butiran-butiran pelurunya ke dalam bola api yang masih melayang di tengah udara. Panas dari bola api menyebabkan bubuk peluru yang masih terbungkus di dalam peluru meledak, menciptakan ledakan 'pop' seperti kembang api disusul dengan bola api Stella yang meledak karena terpicu ledakan peluru.
Itu sudah lebih dari cukup untuk Lexia.
Ia meraih tongkat sihir Stella sebelum berlari menerjang ledakan api seperti yang biasa terlihat di film-film Holywood. Dikejarnya Stella yang berlari seperti seorang pelari olimpiade untuk membuat jarak dan melarikan diri.
"Purplepie!"
Suatu sosok kembali terbang melewatinya, dan dilihatnya bagaimana kehadiran sosok ungu melayang itu membuat Stella melambat. Maka Lexia berhenti, membuka kakinya untuk kuda-kuda, kemudian memutar tubuhnya dan melemparkan tongkat Stella dari jarak yang lumayan dekat. Sesuai harapannya, ujung tombak itu menghantamnya tepat di kepala. Ia terjatuh ke tanah, dan terdiam. Lexia menarik nafas lega ketika suara bel terdengar di kepalanya. [STELLENE FORTRAND is DEFEATED by Lexia Gradlouis]
Sambil memperhatikan tubuh Stella yang mulai menghilang, Lexia meraih apa yang ada di kantung celananya. Beberapa butir peluru.
"Permen, bun?" Bun bertanya.
"Kau masih lapar?" Lexia bertanya, menundukkan kepalanya untuk melihat Bun yang jauh lebih pendek darinya.
"Masih, bun~!" Bun menjawab dengan ceria. Lexia akan merasa sangat bersalah ketika ia melihat Bun yang dengan berseri-seri menghampirinya. Temannya sudah hilang dengan tiba-tiba, sama seperti cara dia muncul sebelumnya. "Itu boleh buat Bun?"
"Tentu saja." Ide yang sangat jahat terlintas di benak Lexia.
 "Permen kuning berkilau, bun!" Bun menunjuk ke butiran-butiran peluru.
"Pertama-tama, kita cari tempat beristirahat yang nyaman dulu saja." Lexia tersenyum, ia mulai berjalan ke arah sungai magma yang tadi dia lewati. Ketika ia berada cukup dekat, Lexia berpura-pura tersandung dan melemparkan butiran-butiran pelurunya ke arah sungai. "Oh tidak!"
Sesuai harapannya, Bun berlari mengejar 'permen kuning berkilau' yang terlempar bahkan hingga ikut melompat ke dalam sungai magma. Sebegitu laparkah, Bun? Adalah satu-satunya hal yang dapat Lexia pikirkan sementara ia memperhatikan dengan horor. Sepersekian detik kemudian, terjadi ledakan-ledakan kecil dari sungai magma.
Lagi-lagi, sebuah laayr hologram muncul ditemani dengan suara bel yang terdengar di kepalanya. [BUN is DEAD – killed by Lexia Gradlouis]
Lexia mendesah, menggumamkan permintaan maaf ke Bun berulang-ulang kali. Tenggorokannya sekarang terasa kering, tubuhnya terasa sangat letih, dan keringatnya tidak lagi sebanyak sebelumnya. Selain tanda-tanda dehidrasi ini, Lexia juga baru menyadari keberadaan seseorang yang belum ia lihat sama sekali. Ia menghunuskan parangnya, dan berjalan menghampiri setumpuk kotak kayu. "Kumirun dan Bun tewas, Eumenides dan Stella telah kalah. Bagaimana kalau kau keluar sekarang, Mata Empat?"
"Hey hey, tidak adil. Kakak sendiri juga 'mata empat', bukan?" Si lelaki muda berkacamata muncul dari balik kotak-kotak kayu yang ada di depannya. Entah kapan ia sudah bersembunyi dan menunggu dengan sabar untuk memetik hasil akhirnya. Ia menghunuskan sebuah pedang yang lebih panjang dan dari katana biasa.
"Nodachi?"
"Kau tahu?" Lelaki muda itu nampak terkesan. Lexia juga tahu mengenali kodachi yang tersarung di pinggangnya. Ia menunduk, tanda memberi hormat. "Namaku Kazuki Tsukishiro. Persiapkan diri anda."
"Namaku Lexia Gradlouis," Lexia membungkuk hormat juga. "Memang anda sendiri sudah siap?"
Kazuki menerjang maju dengan cepat. Dilihat dari gerakan kakinya, dia terlatih dalam hal ini. Diayunkannya nodachi dengan penuh tenaga, dan Lexia melompat ke belakang untuk menghindar. Kazuki menarik pedangnya, memutarkannya ke samping sebelum menjatuhkannya dari atas ke bawah. Lexia menggeser tubuhnya ke samping, menghindar dari serangan fatal itu dan mengangkat parangnya untuk menahan nodachi yang diayunkan ke samping. Lexia terlempar ke belakang, tidak terjatuh.
Lexia mengenggam parangnya erat-erat. Kepalanya mulai pening dan semuanya terasa rabun, tarikan nafasnya menjadi berat dan jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Jika ia tidak mengalahkan Kazuki dengan cepat, hawa panas akan mengalahkan mereka berdua terlebih dahulu.
Kazuki sudah menarik pedangnya, memegangnya dengan siap. Lexia berjalan mundur, berusaha membuat jarak sementara memperhatikan lingkungan sekitarnya untuk sesuatu yang dapat digunakan. Tidak ada banyak selain rel kereta, kotak kayu lapuk, perlengkapan menambang yang tergeletak di sana-sini, dan lentera-lentera yang menggantung di langit-langit.
Lelaki muda di depannya mengambil satu langkah yang besar sambil menusukkan pedangnya ke depan, Lexia mengayunkan parangnya dan memantulkan bilah nodachi tersebut menjauh. Ayunan parang dari Lexia yang seharusnya fatal ditahan dengan kodachi yang ditarik oleh Kazuki tepat waktu, sebelum melompat menjauh.
"Capek? Panas? Pusing?" Lexia membetulkan letak kacamatanya, sebelum menghampiri kodachi yang ditinggalkan Kazuki. Hawa saat ini teramat sangat panas, seperti berada di sebuah oven. "Sama."
"Kalau begini caranya hawa panas yang akan menang." Kazuki setuju.
"Artinya kita yang harus bergerak dengan cepat." Lexia mengangkat kodachi Kazuki karena penasaran, berat sekali. Ia melirik ke atas, memposisikan diri di depan sebuah lentera yang menggantung dari langit-langit di antara mereka. Ketika Lexia merasa sudah berada di tempat yang tepat, ia tersenyum menantang. "Siap?"
Kazuki berlari, dan Lexia melemparkan kodachi Kazuki ke depan untuk mengalihkan perhatiannya. Kazuki melompat menghindar dengan mudah, dan kemudian menutup matanya. Lexia hendak menyerang, tapi bukannya menyerang Lexia malah begitu terfokus dengan lentera yang ada di depannya.
Terbuat dari kayu dengan sebuah bolham lampu yang menyala dengan redup, lentera ini menjuntai dari langit-langit yang cukup tinggi untuk memberi penerangan. Kabel bersambungan dengan kabel-kabel lentera lain yang berada di sekitarnya, dan karena kabelnya dipaku ke langit-langit Lexia yakin lentera ini cukup untuk menahan berat badannya. Lexia melecutkan cambuknya ke atas, mengaitkannya ke lentera tersebut dan melompat. Ia mengayunkan dirinya ke depan, menendang Kazuki tepat di dagu.
Lexia terlempar jatuh ke tanah, cambuknya masih menggantung di lentera yang terayun-ayun. Ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tapi beruntung lentera tersebut adalah bagian dari rencananya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang, tapi Kazuki tidak mencoba untuk menyerangnya lagi. Dikombinasikan dengan bagaimana kondisi fisik mereka sama-sama sudah menurun, mungkin tendangan itu... la touche finale.
Terdengar suara terompet di kepalanya, suara yang biasa terdengar di akhir sebuah game petualangan. Tubuh Kazuki berpedar biru, begitu pula Lexia. Sebuah layar hologram kembali muncul di udara. [KAZUKI TSUKISHIRO is DEFEATED by Lexia Gradlouis]
Sebelum cahaya biru kembali menelan Lexia, tulisan di layar tersebut berganti menjadi sesuatu yang membuatnya tersenyum puas. [WINNER Lexia Gradlouis]


Link ke FB Thread

18 comments:

  1. Woh, dibuka dengan aksi solo dulu lawan zombie... Sama kayak aku bakalnya gini juga. >///<

    Kumirun mati offscreen. Hhe, nice choice si, memang ga harus semua karakter dilihatin, lagipula jadi mempersingkat jalannya pertarungan. Matinya bun juga nice, ga pake ba bi bu tinggal dijebak aja itu si gnome gembul. >///<

    Narasi pertarungannya dah lumayan enak diikutin. Aku cuman rada ga nangkep pas pertarungan Lexia-Stella-Eumenides, itu si Eumenides matinya kenapa si? Intrik Stella yang berubah haluannya menarik, dengan argumen logis.

    Nilai : 8

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makannya beras plastik, minumnya... PERTAMAX!!!

      Triple Kill!!! >///<

      Delete
    2. Makasih kak :D

      Idenya:
      Stella mengaktifkan sihir petirnya untuk mengalahkan Lexia yang teralih perhatiannya ke Puppet, tapi disaat yang sama Puppet mengaktifkan sihir waktunya dan menyebabkan Lexia berhenti berlari.

      Petir menyambar menjadi 'terlambat' dan seharusnya meleset. Puppet yang bergerak mendekat ke Lexia ada di tempat dan waktu yang salah, malah dia yang tersambar

      OC: Lexia

      Delete
  2. Ini battle yang sungguh banyak memanfaatkan medan sampai sedetil2nya dan monster2 di sana untuk meraih kemenangan, dan saya sungguh suka itu. Sekalian warning buat saya juga soalnya entri2 R1 ini canggih2. Selebihnya sudah dijabarkan Mas CLD jadi saya gak perlu ngulang/mengulas lebih jauh.

    Nilai: 8/10
    Author: Andry Chang
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih kak :)
      Lexia hanya manusia biasa. Until melawan para pengguna kekuatan super ia harus kreatif ><

      OC: Lexia

      Delete
  3. Ini seru... singkat juga, jadipoin plus entry ini. deskripsi cerita dan aksinyapun bisa kubayangkan. namun masih banyak typo yg bisa kutemukan, walaupun typo minor.

    Perihal isi ceritanya, ini khas lexia bgt (beruntung Lexia di entryku jadi kliatan Dikit OOCnya) terrain digunain jadi kelebihan dia. Bagus.

    Sayangnya, kumirun harus Offscreen, jadi salah satu poin negatif Entry ini.

    Well... tadinya saya mau kasi 7,5 tapi karena harus digenapkan... poin untuk Lexia ini

    7/10
    Bun the Bubble, bun~

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak mampu nulis Betawinya Kong Kumirun jadi terpaksa nggak banyak munculnya :')

      Kenapa nggak pembulatan ke atas aja kak? _(:3 _ <)_

      Delete
  4. Ini gimana ceritanya tiga paragraf pertama fontnya beda"? Dan seterusnya ternyata beneran ganti" mulu... Bikin saya lebih concerned daripada ketiadaan spasi gandanya

    >menghiraukan keributan
    Bukannya tidak menghiraukan? Atau kalau mau ganti jadi mengabaikan

    >merah keoranyean
    Kayaknya kejinggaan lebih enak imo

    Wih, akhirnya ada juga entri yang ngasih notifikasi tiap ada yang mati kayak saya. Tapi apa ini Kumirun cepet bener matinya padahal baru sampe wwww

    Pengaturan plotnya cukup rapi, ga ada kesan manjang"in cerita dan semuanya lancar dibaca, dari pertarungan pas ketemu Euminedes-Stella, nyingkirin Bun, sama terakhir bareng Kazuki (wait, berarti di sini ada 3 megane ya?)

    Saya sebenernya suka entri begini, tapi secara objektif masih belum ada sesuatu yang bikin kecantol di saya

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh? Saya malah baru sadar perihal font beda beda (Dan wth iya ya kok nggak muncul spasi gandanya)

      Noted, Kumirun mati karena nyerang Zombie yang kalau ke trigger bakal jadi ganas tiba-tiba.

      Ah iya, 3 Megane.

      Makasih kak :)
      OC: Lexia

      Delete
  5. Sesungguhnya saya nggak berapa ngeh bagian waktu Puppet mendadak takut sama Bun habis Bun bilang dia makan zombie-zombienya . .) Then again, itu memang intended ya? Meramal sihir, atau merapal sihir yang bener btw #....

    Otherwise, ceritanya singkat jelas dan padat, enak bacanya .w. Battlenya pun nyaman dibacanya, walaupun, yaaaa, ada beberapa typo yang kalau buat saya lumayan noticeable (misalnya merapal sama meramal itu, sempat bikin saya bengong ehe) Penggunaan medannya pinter, nunjukin banget kalo Lexia ini memang petualang tulen hhe.

    8 yah madame :3 #ey

    [ stellene ]

    ReplyDelete
  6. Sebenernya ia bukan takut tapi nggak tahan sama keimutan Bun. Eve juga salah sangka, dikiranya Puppet takut dengan Bun karena itu Bun di teleport menjauh.

    Merapal, sebenernya .w.b

    Thank you, Madame- eh, Monsieur?

    OC: Lexia

    ReplyDelete
  7. * Yeah, Asep kesebut ^3^ di entri Lexia, hubungan Lexia-Asep mirip kayak hubungan Asep-Dominica di entri saya, cowo kuat & cewe pintar.
    * Menulis jurnal sepertinya udah menjadi gimmick ato ritual tersendiri bagi Lexia, saya suka.
    * Pistol Luger ada bagian plastiknya juga toh? Saya kira full metal, mirip senjata jaman perang dunia.
    * Sebenarnya zombie-zombie modern jaman sekarang itu terkenal larinya cepat & buas ^_^
    * Kumirun outrunned by zombies, kasian, mudah-mudahan gak ikutan jadi mayat hidup XD
    * Licik sekali cara Lexia menyingkirkan Bun, tapi bagus juga, hehe
    * Overall: Sy mendapat kesan Lexia ini superior sekali, maksudnya secara fisik dan refleks, gak masalah sih, tapi belum ada yang bisa bikin saya jadi jatuh hati dengan karakter Lexia. Gaya narasi cukup bagus, tapi mungkin dialog masih kurang alami.
    NILAI: 8

    Asep Lanjung

    ReplyDelete
  8. * Yeah, Asep kesebut ^3^ di entri Lexia, hubungan Lexia-Asep mirip kayak hubungan Asep-Dominica di entri saya, cowo kuat & cewe pintar.
    * Menulis jurnal sepertinya udah menjadi gimmick ato ritual tersendiri bagi Lexia, saya suka.
    * Pistol Luger ada bagian plastiknya juga toh? Saya kira full metal, mirip senjata jaman perang dunia.
    * Sebenarnya zombie-zombie modern jaman sekarang itu terkenal larinya cepat & buas ^_^
    * Kumirun outrunned by zombies, kasian, mudah-mudahan gak ikutan jadi mayat hidup XD
    * Licik sekali cara Lexia menyingkirkan Bun, tapi bagus juga, hehe
    * Overall: Sy mendapat kesan Lexia ini superior sekali, maksudnya secara fisik dan refleks, gak masalah sih, tapi belum ada yang bisa bikin saya jadi jatuh hati dengan karakter Lexia. Gaya narasi cukup bagus, tapi mungkin dialog masih kurang alami.
    NILAI: 8

    Asep Lanjung

    ReplyDelete
    Replies
    1. * Iya dong :3
      * Saya riset dan ternyata selain plastik, ada juga Luger yang terbuat dari kayu :O!
      * -cough-World War Z-cough-
      * Saya sebenernya juga ngerasa kalau Lexia masih kaku, semoga kalau tembus ke ronde selanjutnya bisa lebih dihidupkan lagi dia _(:'3_ <)_

      Delete
  9. Buat saya ini entri yang paling logic. Saya baca pas baru keluar dulu dan saya langsung suka. Battle lawan kazukinya asik.. x3

    Tapi sayang font di awal ga bikin nyaman.

    9 ya lex.


    OC : kazuki

    ReplyDelete
  10. Buat saya ini entri yang paling logic. Saya baca pas baru keluar dulu dan saya langsung suka. Battle lawan kazukinya asik.. x3

    Tapi sayang font di awal ga bikin nyaman.

    9 ya lex.


    OC : kazuki

    ReplyDelete
  11. Buat saya ini entri yang paling logic. Saya baca pas baru keluar dulu dan saya langsung suka. Battle lawan kazukinya asik.. x3

    Tapi sayang font di awal ga bikin nyaman.

    9 ya lex.


    OC : kazuki

    ReplyDelete
    Replies
    1. Triple post kak (O_o)

      Saya juga menyesal kenapa nggak double check mengenai yang font itu (TAT)

      Wah, makasih banget kak :D

      OC: Lexia

      Delete