24.6.15

[ROUND 1 - TEAM D] NOBUHISA OGA – BENTURAN PEDANG DI LANGIT

NOBUHISA OGA – BENTURAN PEDANG DI LANGIT
Penulis: Vlad Hellsing





Sebuah ruangan putih tanpa batas.

Seorang gadis berambut panjang cokelat mengenakan pakaian gaun panjang berwarna putih dengan corak garis merah melayang-layang di udara. Mata ungunya berbinar saat memandangi sebuah bola kristal  yang mengapung di atas tangannya.

Sesekali jarinya bersentuhan dengan bola kristal tersebut. Tiap kali jemarinya menempel di benda itu, seberkas cahaya plasma keluar dari inti ke titik yang disentuh gadis tersebut. Seulas senyum terpancarkan dari wajah perempuan tersebut saat peristiwa itu terjadi.

"Sudah lama tak jumpa, Nona."


Sebuah layar monitor raksasa muncul di hadapannya. Tampak Hewanurma dengan janggut lebatnya yang semakin memutih dan wajahnya yang semakin menua. Ekspresinya masih serius seperti biasanya.

Tiba-tiba wanita itu tertawa kecil. "Astaga, Tuan Hewanurma. Baru bangun, kah?"

"Oh, maaf." Hewanurma langsung mengelap bekas liurnya saat tidur dan merapikan rambut serta janggutnya yang berantakan. Ada sedikit rasa malu yang menyusup ke wajahnya yang dipenuhi keriput. Sungguh memalukan jika bertemu dengan wanita cantik dalam  keadaan berantakan.

"Sudah cukup. Bagaiamana keadaan V.P.P?" tanya Hewanurma.

"Sejauh ini masih dalam keadaan aman terkendali. Tidak ada penyusup, tidak ada gangguan, tidak ada yang terjadi di sini. Intinya membosankan." Gadis tersebut mendesah panjang.

"Tenang saja, sebentar lagi aku akan memberimu pertunjukan spektakuler di V.P.P. Bersabarlah."

Hewanurma mengetikkan keyboard dengan cepat. Tak lama kemudian, enam hologram berisi data peserta yang akan bertanding bermunculan di sekeliling gadis tersebut. Ia pun berputar-putar di udara sambil melihat-lihat profil para kompetitor tersebut.

"Tuan, apa kau tidak salah? Kenapa semua pesertanya kampungan seperti ini?"

"Ayolah. Jika aku memasukkan karakter bersenjata modern, arah pertandingannya akan mudah ditebak, kan?" ujar Hewanurma.

Kening gadis itu berkerut, mencoba mencerna perkataan Hewanurma. Kemudian ingatannya terbayang pada konsep di mana karakter bersenjata modern bertempur di medan perang yang didominasi logam seperti Transf*rmers. Sangat biasa dan menjemukan.

"Ah…aku mengerti. Kau ingin membuat culture shock pada mereka, kan? Seperti yang kuharapkan dari Sang Pengamat." Sorot matanya memperlihatkan ketertarikan pada ide Hewanurma kali ini.

"Iya, seperti itulah. Karakter dan setting pertandingan yang tidak saling berhubungan akan membuat sebuah arah baru dalam turnamen kali ini. Itulah yang kuincar. Bagaimana?"

"Menarik, sangat menarik. Dan untuk menambah keseruan pertandingan, bolehkah aku ikut memberi bonus pada si pemenang ronde, Tuan?"

"Apa itu?"

"Ra-ha-si-a." Perempuan itu berkedip nakal ke arah Hewanurma.

Hewanurma hanya bisa menghela nafas. "Haaah…kau. Untuk ukuran sebuah AI, kau memang sukar ditebak. Baiklah, kembali lakukan tugasmu. Sampai jumpa lagi, Valentiana."

Layar hologram pun menghilang, meninggalkan Valentiana berdua dengan bola kristal kesayangannya. Benda transparan tersebut kembali berpendar saat dielus jemari lentik milik perempuan tersebut.

Dan untuk alasan yang tak bisa dijelaskan, pandangan Valentiana tertuju ke salah satu hologram biodata peserta yang masih berada di situ.

"Samurai, kah?"

#####

Sekigahara, tahun 1600.

Seorang wanita muda berambut berpakaian kimono berwarna hitam dengan corak bunga mawar tengah berjalan-jalan di sebuah padang rumput. Rambut kuncir kuda berwarna cokelat muda dan haori berwarna merah darah yang dikenakannya melambai-lambai tertiup angin. Ia tak sendirian, di sampingnya ada seorang samurai yang tengah mengawalnya.

Tentu saja wanita itu tak akan bergerak sorang diri. Karena pada saat ini, mereka berdua tengah berada di medan pertempuran yang baru saja usai. Di kanan-kiri mereka, terbaring ratusan mayat prajurit yang telah gugur. Kilauan sinar mentari yang hendak kembali ke peraduannya memantul dari genangan darah yang mengotori rerumputan.

Wanita berhaori merah itu mengedarkan pandangannya ke segala arah.  Mata ungunya yang indah bergerak ke kanan dan kiri. Tidak ada secuilpun tanah yang bersih dari cipratan darah. Beberapa kepala  manusia dengan kondisi mata melotot menghiasi area tersebut.

Dalam benak perempuan itu terbayang dengan jelas, ketakutan yang menghantui para prajurit tersebut saat menemui ajalnya.

Itulah perang, harus ada yang dikorbankan untuk meraih kemenangan bahkan nyawa sekalipun.

Tiba-tiba langkah perempuan berhaori merah itu terhenti.

"Hey, Minamoto! Lihat!" Perempuan itu menunjuk ke arah timur. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

Berberapa ratus meter dari tempat kedua orang itu berdiri, terlihat seorang anak lelaki tengah duduk di atas tumpukan mayat yang cukup tinggi sambil mengenggam katana. Tubuhnya bermandikan darah segar. Pakaiannya sudah compang-camping akibat puluhan bekas sabetan katana yang mengukir di atas tubuhnya yang kurus. Bekas luka sabetan yang telah lama mengering terpatri jelas di wajah bocah kecil tersebut.

"Tsukuyo-sama, apa yang harus kita lakukan?"

Lelaki itu mulai menggenggam katananya. Kewaspadaannya meningkat saat melihat penampakan bocah tersebut. Ia takut, anak laki-laki itu akan menyerang atasannya.

Hal itu sebenarnya wajar terjadi mengingat bocah itu bisa duduk dengan begitu tenangnya di atas tumpukan mayat. Itu bukan hal yang biasa dilakukan anak-anak seusianya. Bisa dipastikan, anak lelaki itu memiliki talenta membunuh tingkat tinggi.

"Ayo kita dekati. Anak itu telah menarik minatku," Tsukuyo menyunggingkan senyum, "aku ingin mengangkatnya sebagai adik angkatku."

Mata Minamoto langsung terbelalak saat mendengar keinginan aneh tuannya itu. Ia tak habis pikir kenapa Tsukuyo langsung memiliki hasrat itu begitu melihat anak lelaki misterius tersebut.

"Anda tak boleh melakukan itu Tsukuyo-sama!!"

"Minamoto, kau memang penakut. Ayolah! Harimau saja bisa menjadi jinak dengan manusia jika ia dididik sejak kecil. Aku percaya anak ini akan menjadi pria hebat di masa depan."

"Tsukuyo-sama."

Akhirnya Minamoto harus mengalah untuk yang kesekian kalinya. Wanita memang susah menahan keinginan.

Tsukuyo langsung berlari ke arah anak lelaki itu. Ia tak peduli meski kakinya menginjak jasad-jasad yang bergelimpangan di atas tanah. Yang perempuan itu pikirkan adalah bagaimana cara agar ia bisa membawa anak lelaki itu ke rumahnya.

"Hey, kau!"

Anak lelaki tersebut langsung menoleh ke arah Tsukuyo. Tatapannya begitu dingin saat melihat ke arah gadis tersebut.

"Perkenalkan, namaku Tsukuyo. Siapa namamu?" tanya Tsukuyo.

"Nobuhisa." Bocah itu kembali memalingkan wajahnya.

"Margamu?"

"Tak punya. Aku sebatang kara di dunia ini."

Sebenarnya sangat berbahaya menyebutkan marga di depan orang asing. Hal itu dikarenakan bisa saja yang menanyakan marga adalah musuh. Di Jepang, orang bisa mengetahui dengan mudah asal kubu seorang prajurit dengan bermodal nama marga.

Namun jawaban dari Nobuhisa tidak terisi dengan kebohongan. Ia benar-benar sendirian. Tsukuyo tahu akan hal itu. Nalurinya sebagai wanita mengatakan kebenaran tersebut.

Tsukuyo pun mendaki tumpukan jasad tak bernyawa dengan hati-hati. Ia memegangi kepala para mayat tanpa rasa jijik sedikitpun meski tangan telah ternodai oleh darah. Pandangannya terus tertuju kepada Nobuhisa. Hatinya semakin mantap untuk memboyong Nobuhisa ke rumah. Tanpa pikir panjang, Tsukuyo memeluk Nobuhisa dari belakang begitu berhasil mencapai puncak gundukan mayat.

"Bagaimana kau ikut denganku? Aku juga sangat kesepian sepertimu."

Ucapan wanita itu langsung membuat Nobuhisa tersentak. Namun ia berusaha tetap menguasai pikirannya. Bocah itu sepertinya sudah tahu para wanita kerap melakukan hal tersebut untuk membuat targetnya lengah.

Di sisi lain, ia tak bisa berbuat banyak. Entah kekuatan macam apa yang membuat Nobuhisa tak bergeming. Pelukan tersebut terasa semakin erat. Sensasi empuk dan kenyal menjalar ke seluruh tubuh Nobuhisa. Ini seperti pelayanan tambahan yang sering diberikan para geisha demi kepuasan hawa nafsu pelanggannya.

Anak itu tak tahu apa ini disebut beruntung atau sial.

Namun dia juga menyadari ada perasaan lebih yang ingin disampaikan Tsukuyo.

Hal yang tak pernah dinikmati namun sering dicari oleh Nobuhisa.

Akhinya seulas senyum menghiasi wajahnya yang telah lama membeku oleh zaman. Senyum tipis yang disunggingkan tatkala menemukan sesuatu yang dicari sejak lama.

Kerinduan akan hangatnya kebersamaan keluarga.

"Mulai saat ini, kau akan menjadi bagian dari keluarga Oga." Ucap Tsukuyo.

Namun pemandangan romantis itu memudar seolah memberitahu pertunjukan drama telah usai.

"Nee-san!"

Nobuhisa tersentak dari tidur nyenyaknya di atas pembaringan. Peluh langsung membasahi seluruh tubuhnya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang terengah-engah. Tangannya memegang kepala yang berdenyut-denyut.

"Mimpi. Pertanda apa ini?"

Mata Nobuhisa tertuju ke arah bulan Alkima yang tengah bersinar dari balik jendela kamar penginapan.

#####

"Ah, sudah ramai rupanya."

Nobuhisa mendapati kondisi aula penginapan para peserta sangat ramai meskipun matahari baru naik setinggi tombak. Tua-muda, lelaki-perempuan, serta berbagai makhluk dengan wujud yang sangat aneh berkumpul membentuk kelompok masing-masing. Sementara para maid tengah bekerja mengabsen para peserta yang telah hadir.

Kemudian ia menyempatkan berjalan-jalan mencari kawan baru yang bisa ia ajak bicara. Syukur-syukur, ia bisa bertemu dengan lelaki besar berpakaian hitam-hitam yang pernah membantunya menaklukan kuda api pada saat babak penyisihan. Sayang, memori Nobuhisa tentang pria tersebut agak samar-samar. Ia ingat betul, lelaki itu pernah memperkenalkan namanya. Hanya saja….

Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Nobuhisa merasa tengah diawasi oleh sesuatu dari sudut ruangan. Matanya menjelajah ke segala sudut ruangan. Satu pertanyaan yang mengusik hatinya, makhluk macam apa yang tengah menguntitnya saat ini?

Kemudian pandanganya tertuju ke salah satu pojokan, berharap menemukan apa yang ia cari. Namun objek yang tengah menguntit Nobuhisa telah lenyap. Samurai itu kecewa karena merasa tertipu oleh instingnya sendiri.

"Cuma perasaanku saja." Nobuhisa mendengus dan kembali mengayunkan langkahnya.

Sebenarnya nalurinya sebagai samurai tidak pernah salah.

Sesosok wanita muda berambut biru tua tengah mengintipnya dari balik tubuh para peserta yang berkerumunan. Retina mata hijaunya berpendar berulang kali seolah menggambarkan ekspresi gadis tersebut. Ia terpesona oleh penampilan Nobuhisa yang cukup khas, kimono abu-abu serta hakama.

Kemudian ia kembali ke sudut aula, kembali menikmati keripik kentangnya sembari memandang Nobuhisa dari jauh. Raut mukanya memerah saat menatap rambut samurai yang gondrong itu melambai tertiup angin seiring langkahnya berayun.

"Hei, Nobu!"

Terdengar suara berat dari salah satu meja yang berada di dekat jendela penginapan. Nobuhisa langsung berhenti dan menoleh, mencoba mengidentifikasi suara tersebut. Ia merasa tidak asing dengan suara ini. Suara lelaki perkasa yang pernah menghancurkan kuda berapi raksasa hanya dengan sebuah pukulan tenaga dalam.

Meskipun ritualnya sedikit konyol, bernyanyi setelah menggosokkan beberapa biji kopi ke ketiak.

Nobuhisa langsung menghampirinya, "Ah, bolehkah aku duduk?"

Lelaki itu hanya menggerakkan kepalanya ke arah kursi yang kosong, mempersilahkan samurai itu untuk duduk bersama. Nobuhisa pun langsung mengambil kursi yang berhadapan dengan pria tersebut. Ia tak salah, orang yang tengah berada di depannya saat ini adalah Asep, ya Asep. Untung namanya mudah diingat.

"Ngomong-ngomong, kau tidak bersama gadis berambut biru itu?" tanya Nobuhusa mencairkan suasana.

"Maksudmu Maida? Dia baru saja pergi dari sini," Asep kembali menghirup kopi, "lalu bagaimana dengan Golden?"

"Si tentara pirang itu?"

Nobuhisa terkesiap. Ia baru sadar, gadis berambut pirang sebahu tersebut tak menampakkan diri sejak kemarin. Bahkan perempuan tersebut seperti lenyap ditelan bumi sejak akhir dari penyisihan itu. Nobuhisa menduga, bahwa Golden termasuk peserta yang gagal menuju ke turnamen resmi.

"Tidak, aku tidak melihatnya," Nobuhisa membuang pandangannya ke langit, "mungkin kita tak akan bertemu dengann perempuan itu untuk selama-lamanya."

"Ah, aku mengerti. Jumlah peserta usai babak penyisihan berkurang drastis," ujar Asep.

"Padahal aku masih belum berkenalan dengan semua wanita di sini. Kau tahu? Kemarin aku melihat gadis cantik bertelinga panjang dengan rambut birunya yang menggoda. Pakaian hijaunya itu loh. Ah, sayangnya dia juga sepertinya tak lolos," ujar Nobu seraya memutar-mutar ninjatonya.

"Hahaha! Masih banyak gadis cantik, Nobu."

"Iya juga. Ngomong-ngomong, untuk bantuannya pada saat itu," Nobuhisa menundukkan kepalanya, "terima kasih banyak!"

"Sudah-sudah, jangan terlalu dipikirkan itu mah," Asep mengangkat kedua tangannya, tak merasa enak hati dengan ucapan terima kasih ala orang Jepang, "masalah traktirannya bisa ditunda. Ngomong-ngomong kita bener-bener apes, bocah kecil itu emang tega pisan. Masa cuma dikasih jatah istirahat satu malam?"

Kepala samurai tersebut kembali terangkat. "Mau bagaiamana lagi, pertandingan tetap pertandingan. Untuk saat ini kita cuma bisa menurut."

"Yah, yang terpenting mah kita harus menetapkan tujuan untuk meme-"

Belum sempat Asep hendak melanjutkan obrolannya, tiba-tiba seberkas cahaya lagi-lagi menyelimuti tubuhnya dan Nobuhisa. Kedua lelaki itu lenyap meninggalkan cangkir yang hanya tinggal ampas kopi di atas meja.

Mereka belum tahu bahwa ronde pertama baru saja dimulai.

#####

"Di mana ini? Jangan bilang turnamennya baru saja dimulai!"

Saat ini si samurai tengah berada di tepi utara pulau buatan yang melayang di langit utara Alforea. Hujan deras mengguyur pulau terbang itu diiringi sebuah fenomena aneh di mana lautan cahaya putih kebiruan yang disebut plasma melanda semua bangunan yang ada seperti badai.

Meskipun demikian, samurai tersebut beruntung karena sebuah kubah transparan melindunginya dari guyuran hujan. Dari balik bangunan tersebut, Nobuhisa melihat sebuah menara raksasa berdiri kokoh di tengah pulau tersebut.

Lelaki itu langsung terpana. Baru kali ini ia melihat fenomena cuaca abnormal di atas langit. Samurai dari Tanah Matahari Terbit tengah menikmati pemandangan jilatan badai plasma yang sesekali menyambar beberapa bangunan kecil di sekitarnya seperti anak kecil yang tengah menonton kembang api.

Tiba-tiba sesosok maid muncul di belakang Nobuhisa secara mendadak, membuyarkan kesenangan si samurai yang tengah asyik dihibur pemandangan tak biasa tersebut. Rambut pirangnya yang panjang menjuntai ke bawah. Mata birunya yang indah berpadu sangat kontras dengan pemandangan cuaca abnormal sebagai latar belakangnya.

"Selamat datang di Verdana Power Plant, Tuan. Maafkan saya karena belum sempat memperkenalkan diri saat penyisihan. Nama saya Holly."

Dia adalah maid yang pernah menteleport kelompok Nobuhisa ke padang gurun pada saat babak penyisihan.

Nobuhisa menoleh ke maid tersebut, merasa sedikit terusik sekaligus penasaran.

"Oy, Nona! Tolong jelaskan tempat ini! Aku ingin cepat-cepat menyelesaikan ronde ini dan kembali ngobrol dengan bersama Asep!"

"Baiklah, pada mulanya tempat ini adalah pulau buatan yang awalnya direncanakan untuk dibangun menjadi pusat pembangkit energi pertama di server Alforea. Namun, badai plasma yang secara tiba-tiba muncul di daerah ini memaksa pembangunan dibatalkan dan kini hanya bangunan dan generator terbengkalai yang tersisa di pulau ini," jawab maid tersebut.

Nobuhisa hanya mengangguk-angguk mengerti. "Lalu untuk apa kau membawaku ke sini?"

Holly melanjutkan. "Tidak hanya anda, keenam peserta termasuk Tuan akan bertarung di pulau yang tidak lebih luas dari 3 kilometer ini, di tengah hujan dan badai plasma yang berbahaya. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini kecuali mengalahkan peserta lain dan menjadi pemenang."
Mulut sang samurai menyeringai, indikasi bahwa adreanlin dalam tubuhnya mulai terpompa.  "Menarik. Bagaimana aturan permainan ini?"

"Setiap peserta akan diberikan sebuah tabung generator energi kecil yang akan menjadi nyawa kalian selama pertarungan. Tabung generator ini akan kehilangan energi secara perlahan seiring berjalannya pertarungan, apabila tabung kalian kehabisan energi maka kalian dianggap kalah."

Tabung? Nobuhisa merasakan ada sesuatu yang aneh yang menggantung di balik pingganya. Tangannya meraba-raba sebuah benda keras. Tabung tersebut berdiameter tak lebih dari setengah jengkal tangannya dan panjangnya hanya dua pertiga dari musket miliknya. Tidak terlalu berat, benda itu juga menggantung secara horisontal sehingga tidak mengganggu pergerakan Nobuhisa. Pada tabung tersebut terdapat lima buah lampu kecil yang merupakan indikator energi benda tersebut.

Yang jadi pertanyaan adalah sejak kapan benda itu berada di tubuhnya? Jika tak salah ingat, Nobuhisa hanya membawa perlengkapan yang ia miliki saat memasuki portal yang muncul di ruangan tempat para peserta bersantap malam. Namun lelaki  gondrong tersebut tak ambil pusing soal hal itu. Dia yakin, sistem di negeri ini mampu melakukannya tanpa ia sadari.

"Ini, kan? Lalu bagaimana cara agar benda di pinggangku ini tidak kehabisan energi?" tanya Nobuhisa.

"Satu-satunya cara untuk mengisi ulang energi tabung adalah dengan menyambungkannya pada power generator yang ada di tengah pulau, tapi kalian tidak dapat bergerak selama mengisi energi. Jadi berhati-hatilah dengan serangan mendadak dari peserta lain, Tuan."

"Oh, apa aku boleh memotong kepala musuhku?" tanya Nobuhisa. Tangannya mencengkeram gagang katananya dengan erat.

"Diperbolehkan. Anda diijinkan melakukan upaya apapun untuk mengeliminasi lawan termasuk dengan pembunuhan. Namun, jika tak ingin membuang tenaga, cukup hancurkan saja tabung yang dibawa oleh musuh. Anda punya waktu lima puluh menit sebelum kehabisan energi."

Nobuhisa terdiam sejenak. Lelaki itu teringat saat pertama kali berada di sini, ia diharuskan bekerja sama dengan peserta lain untuk menyegel kembali kuda api yang mengamuk. Dan sekarang samurai itu diwajibkan untuk membunuh para pesaingnya demi menggapai kemenangan. Dia tak habis pikir dengan jalan pikiran pihak penyelenggara turnamen ini.

Tapi tidak ada waktu untuk mencari tahu. Saat ini ia perlu fokus pada pertarungan.

"Baiklah, aku pergi." Katana milik Nobuhisa berkilauan begitu tercabut dari sarungnya seolah mengumumkan kematian bagi para musuh yang akan melawannya.

"Berhati-hatilah. Badai plasma akan melanda tempat ini setiap sepuluh menit sekali. Pastikan berlindung di dalam bangunan kosong selama bencana itu terjadi."

"Oke, oke."

Tak terasa badai plasma mulai mereda. Nobuhisa pergi sambil melambaikan tangan tanpa melihat maid tersebut. Kubah yang menaunginya lenyap saat kakinya menapak keluar. Suara guntur saling bersahutan. Tetapi pria tersebut tak mempedulikannya dan terus berjalan meski tubuhnya basah kuyup oleh guyuran air dari langit. Matanya terus menatap tajam ke arah bangunan besar yang merupakan pusat pulau tersebut.

Sementara itu, maid berambut pirang tersebut lenyap saat petir menyambar.

#####

"Uh..brengsek nyaw! Kenapa aku harus bertarung saat hujan seperti ini nyaw?!"

Seekor kucing dengan bulu yang didominasi warna hitam dan putih di bagian kaki dan tangannya  tengah bersembunyi di dalam sebuah bangunan yang mirip hangar, berlindung dari derasnya hujan dan sambaran petir yang mengancam jiwanya. Kedua matanya yang memiliki warna berbeda memandang ke arah luar.

Di dalam bangunan tersebut terdapat banyak pesawat yang telah usang termakan oleh waktu. Berjejer rapi memancarkan aura kesepian setelah ditinggal oleh penggunanya selama bertahun-tahun. Di ujung hangar, terdapat tangga yang kokoh berdiri menghubungkan lantai dasar menuju ke atas.

Sesekali kaki belakang kucing imut itu menggaruk bagian belakang telinga. Yuching, si kucing yang bisa berbicara hanya melakukan hal itu untuk mengusir rasa gatal dan juga kebosanan semenjak ia dibawa oleh maid ke tempat ini.

Seperti Nobuhisa, Yuching juga diberitahu aturan pertandingan pada ronde kali ini. Namun apa yang bisa ia lakukan untuk menghadapi para petarung yang bisa saja memiliki kekuatan jauh diatasnya? Menghancurkan tabung bukan perkara mudah baginya.

Apalagi ia berada berada di situasi yang sangat merugikan. Di atas pulau melayang yang dilanda hujan deras dan badai plasma. Ditambah sebuah tabung yang menempel di punggung. Pergerakan Yuching menjadi terbatas jika benda ini terus menempel di tubuhnya.

Kucing hitam itu berharap agar ia tidak bertemu petarung kuat pada ronde kali ini.

"Andai Izu dan Stella ada di sini nyaw."

Kepala binatang imut tersebut mendongak ke atas menatap langit. Mengenang saat-saat ia berjuang bersama si gadis petualang dan pemuda dengan kekuatan batu ajaibnya menyegel Tamon Rah, kuda abadi yang memiliki api seterang matahari.

Dan sekarang ia sendiri, tidak ada yang akan melindunginya dari bahaya. Tanpa senjata, tanpa sihir. Yu Ching memang mempunyai sihir tapi sihir untuk menolong sesama makhluk hidup, bukan untuk menyakiti. Bisakah ia mempertahankan diri dari serangan musuh?

Pertanyaan yang susah terjawab oleh makhluk sekaliber Yu Ching.

Tiba-tiba sebuah kilatan muncul dari belakang kucing hitam tersebut. Sebuah bilah pedang bergerak ke arah kucing tersebut dengan kecepatan tinggi.

Insting Yu Ching langsung bekerja, ia menghindari serangan tersebut dengan melompat ke depan.  Luput dari serangan, kucing tersebut langsung mengambil jarak. Kemudian dengan kemampuan penglihatan malamnya, Yu Ching mencoba mengidentifikasi orang yang telah menyerangnya.

Sementara itu, sosok tersebut berjalan pelan ke arah kucing itu. Derap langkahnya begitu tenang sekaligus mencekam. Perlahan tapi pasti, penampakannya mulai terlihat saat menuju ke pintu.

Akhirnya Yu Ching bisa melihat sosok tersebut dengan jelas. Seorang pria berjubah cokelat tua dengan sebuah pedang besar di tangan kanannya memancarkan sinar berwarna merah darah. Tidak hanya itu saja, ratusan kabel yang melilit lengan yang memegang tersebut mengeliat-geliat seperti cacing. Aura kelam jelas terpancar dari tubuh lelaki tersebut. Terisi kengerian dan teror yang mencengkeram kalbu.

Sosok yang jelas-jelas tak boleh diremehkan. Sejak kapan ia berada di sini? Batin Yu Ching.

Kewaspadaannya meningkat ke titik maksimal. Keempat kakinya menegang, memompa tenaga yang dipersiapkan untuk bertarung atau kabur tergantung situasi. Bulu-bulunya yang halus berdiri seolah merespon apa yang dirasakan Yu Ching.

Ia menimbang-nimbang opsi untuk kabur atau melawan. Yu Ching sangat yakin bahwa pria yang ada di hadapannya saat ini pasti tidak akan mengijinkannya bernafas setelah melihat pedang beraura jahat tersebut.

"A..apa dia benar-benar salah satu peserta turnamen ini nyaw?" gumam Yu Ching gemetar.

Keringat dingin mengucur deras dari sekujur tubuhnya. Badannya mulai terasa kaku. Asam lambungnya mulai naik memenuhi perut. Secara perlahan mata Yu Ching melirik ke arah pintu.

Satu-satunya rute penyelamatannya yang tersisa untuk melarikan diri. Namun di luar sana, hujan deras dan badai plasma siap menghabisinya kapan saja.

"Sabetan seperti ini tidak akan cukup untuk mengalahkan kami para pemburu,"

Tiba-tiba ucapan kucing hitam yang pernah memberi surat kepada Yu Ching kembali terngiang-ngiang dalam benaknya.

Si kucing hitam  mulai teringat tujuannya mengikuti turnamen multidimensi tersebut.  Ini merupakan kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa ia layak menjadi kucing pemburu. Perlahan tapi pasti, api keberanian mulai berkobar di mata Yu Ching.

Akhirnya Yu Ching berhasil mengendalikan ketakutannya. Tubuhnya tak gemetaran lagi dan nafas yang berhembus dari hidungnya mulai kembali berirama. Ia memasang posisi kuda-kuda menyerang –jika ia manusia- dan menatap ke pemegang pedang menjijikan tersebut.

Keputusan besar telah dibuatnya. Ia sadar, jalan manapun hanya akan membuahkan dua kesimpulan. Mati atau hidup. Tapi jika Yu Ching memilih bertarung, maka titel kucing pemburu layak disandangnya sampai mati. Mungkin ini akan menjadi pengalaman yang bagus untuk melewati ronde selanjutnya.

Ia melirik ke arah tangga yang menghubungkan ke lantai atas. Di sana terlihat ruangan berisi rak-rak dan ratusan ban pesawat yang tersusun rapi. Dinding yang ada di sana terhiasi oleh papan yang digunakan untuk menggantung peralatan bengkel. Puluhan lampu menggantung bergoyang terkena hembusan angin yang memasuki celah-celah bangunan.

Yu Ching tersadar, pertarungan di area terbuka akan sangat merugikan. Jika ia membawa pria itu ke lantai atas dan bertarung di sana, maka kesempatan untuk menang semakin besar. Ditambah situasi yang gelap, Yu Ching bisa berkamuflase untuk menghabisi lelaki iblis itu dari balik kegelapan.

Demikian plot cerita yang terpikirkan dalam benak si kucing hitam. Namun melakukan rencana itu tak semudah membalikkan telapak tangan.

Tapi itu lebih baik ketimbang tak bisa sama sekali.

"Baiklah, waktunya bersiap nyaw."

Yu Ching menarik napas panjang. Ia melakukannya sambil menghitung mundur dalam hati.

Kabur!

Kucing tersebut langsung berlari menuju ke tangga. Sementara itu, lelaki bertudung tersebut mulai bergerak mengejar mangsa yang di depannya. Pedang yang ada di tangannya berpendar seolah tak sabar meminum darah Yu Ching.

Di saat yang sama, kucing hitam itu berhasil memanjat tangga dan naik ke lantai dua. Matanya menjelajah segala sisi, mencari tempat persembunyian yang aman sekaligus menyiapkan jebakan. Dan pandangannya tertuju ke salah satu rak berisi suku cadang pesawat.

Kembali ke pria dengan pedang besar. Terlihat ia berhasil ke lantai atas hanya dengan sekali lompat. Namun saat ia sukses menjejakkan kakinya di tempat yang gelap tersebut, Yu Ching telah lenyap ditelan kegelapan. Hanya puluhan lemari yang berderet, terdiam membisu meskipun sang iblis telah menampakkan diri.

Lelaki itu menggeram, rahangnya menegang seolah tak sabar menyantap kucing tersebut. Kabel-kabel yang melilit lengannya menjulur seperti ular kobra yang tergoda oleh suara seruling, seolah berusaha mendeteksi keberadaan Yu Ching yang telah hilang entah ke mana.

Sementara itu Yu Ching tengah  mengintip dari balik lemari paling belakang. Ia sengaja tidak menggunakan penglihatan malam dan lebih memilih menajamkan indera penciuman dan pendengarannya. Kucing itu tahu, musuh bisa mengetahui posisinya dari pendaran cahaya dari matanya saat menggunakan kemampuan penglihatan malam.

Sekarang posisi musuh berada tepat di antara celah deretan puluhan lemari yang memiliki jarak masing-masing berkisar satu meter. Dalam benak Yu Ching, terbesit sebuah ide untuk menaklukan makhluk berbahaya tersebut. Ia pun melihat posisi benda-benda di ruang ini dan menghitung jaraknya dengan pria tersebut.

Yu Ching beruntung, celah antara tembok dan lemari yang paling ujung hanya memiliki panjang sekitar setengah badannya. Tanpa basa-basi. lemari tersebut dipanjati kucing hitam tersebut dengan tenang. Ia berusaha mencapai ke atas tanpa menimbulkan keributan.

Tak lama kemudian, Yu Ching berhasil menggapai puncak. Kedua kakinya menapak di tembok. Sementara kaki belakangnya bertumpu pada lemari, berfungsi sebagai pendorong. Setelah dalam posisi, Yu Ching kembali melirik si pria misterius tersebut. Memastikan bahwa musuhnya masuk dalam jebakan.

Saat lelaki bertudung cokelat itu berada di antara sela-sela lemari lain, dengan sekuat tenaga Yu Ching mendorong lemari tersebut dengan kedua kaki belakangnya. Sementara kedua kaki depannya menegang, memberikan gaya tolakan untuk membuat lemari tersebut jatuh.

"Nyaaa!"

Yu Ching menjerit kesakitan saat sedang berusaha mendorong benda besar tersebut, ototnya menegang hingga ke titik maksimal akibat beban yang ditolaknya terlampau berat.  Namun kucing imut tersebut terus berusaha, tak peduli meski tulangnya patah sekalipun. Yang ia pikirkan saat ini adalah mengalahkan pria bersenjata aneh tersebut.

Usaha Yu Ching tak sia-sia, lemari tersebut bergoyang dan rubuh mengenai lemari yang lain. Deretan benda besar tersebut berjatuhan seperti kartu domino. Rubuh setelah mengenai yang lain. Suara gemuruh menderu seiring jatuhnya lemari tersebut mendekat ke arah pria tersebut.

"!"

Seperti perkiraan Yu Ching, lelaki berpedang tersebut tertimpa lemari yang rubuh. Jatuhnya lemari tersebut menyebabkan debu-debu berterbangan menutupi pandangan. Mustahil bagi lelaki itu untuk lolos dari benda besar yang rangkanya terbuat dari besi dan berisi perkakas berat. Dan akhirnya, ia tak muncul lagi menebar teror setelah terjepit di antara benda berat.

Sementara itu Yu Ching berlari ke arah posisi lelaki bertudung tersebut. Ia merasa bahwa masih terlalu cepat untuk tenang. Perlahan tapi pasti, kucing tersebut mendekati tempat makhluk dengan pedang aneh itu.

Di saat bersamaan, Yu Ching seperti merasakan sesuatu yang jahat baru saja bangkit.

Tiba-tiba, lemari yang menimpa lelaki bertudung aneh itu terangkat. Sepasang mata dengan warna berlainan bersinar dari balik debu memancarkan dendam dan kebencian. Dengan enteng, ia mengangkat lemari itu dan melemparnya ke salah satu sudut ruangan.

Yu Ching langsung bersiaga. Namun, kali ini tatapannya terisi oleh rasa gentar. Ia merasa tak beruntung hari ini. Rencana untuk mengalahkan pria tersebut gagal total akibat suatu hal yang tak terprediksi.

Namun untuk saat ini bukan waktunya untuk takut, pikir Yu Ching. Kucing tersebut telah bersiap menyambut serangan kapan saja.

Dan sebuah pertarungan tak seimbang pun terjadi.

Dalam sekejap, pria tersebut melesat ke arah Yu Ching dengan kecepatan ekstrim. Ia langsung mengayunkan pedang tepat ke kepala kucing tersebut. Namun Yu Ching berhasil lolos dengan melompat ke samping.  Memanfaatkan pertahanan musuh yang terbuka, keempat  kaki Yu Ching pun terlontar tinggi ke muka pria bertudung tersebut dan melancarkan serangan balasan.

"Rasakan ini nyaw!"

Dalam sekejap, cakar Yu Ching berhasil menggores wajah lelaki tersebut. Kemudian kucing itu berputar dan melancarkan tendangan kaki belakangnya. Tidak sampai di situ, Yu Ching mulai mencakar wajah pria bertudung itu tanpa henti. Ratusan luka cakaran berhasil dibuat kucing tersebut hanya dalam beberapa detik. Ia langsung melompat mundur ke belakang usai puas menyerang.

"Apa?!" Mata Yu Ching terbelalak saat luka-luka cakaran yang membekas di wajah pria itu menghilang secara instan.

Lelaki tersebut menyentakkan lehernya dan langsung berlari ke arah Yu Ching. Seperti saat pertama kali menyerang, kecepatan lari si tudung cokelat itu sungguh luar biasa. Ia langsung melompat tinggi, dengan cepat tangannya berayun tepat ke arah kucing imut yang berada di depannya. Namun, dengan lihai tebasan pedang itu berhasil dihindari Yu Ching  pada jarak setipis kertas.

Pedang yang masih menempel di tanah dipanjati Yu Ching dengan lincah menuju ke kepala musuh. Cakar kucing itu langsung menggores mata kiri lelaki bertudung tersebut dan langsung membuat tolakan ke belakang. Memanfaatkan penglihatan musuh yang memburuk, Yu Ching langsung bergerak ke sisi kiri dan tanpa berbasa-basi menggigit leher pria tersebut tanpa ampun.

Tiba-tiba leher kucing tersebut tercekik oleh lilitan kabel yang menjalar dari lengan pria bertudung. Tubuh Yu Ching terangkat ke udara oleh sejumlah kabel yang bergerak vertikal ke udara. Saat pria bertudung itu mengayunkan lengannya ke bawah, pada saat itu juga kabel yang melilit kucing hitam malang membantingnya keras-keras ke lantai.

"Uaarrgggh!" Yu Ching memuntahkan darah saat tubuhnya terpelanting ke lantai.

Yu Ching terkapar tak berdaya akibat benturan tersebut. Ia merasakan tubuhnya tak bisa digerakkan lagi. Seluruh tulangnya terasa remuk dan persendiannya rusak. Pandangannya mulai kabur dan terasa berkunang-kunang.

"Si..sial n..nya..."

Suara Yu Ching terhenti ketika ujung pedang terkutuk itu bersarang di kepalanya.

#####

Peserta Yu Ching gugur! Peserta Yu Ching gugur! 

Langkah Nobuhisa terhenti saat suara tanpa rupa itu menggema.

"Sepertinya salah satu peserta telah kalah. Aku harus bergegas."

Sang Samurai kembali mengayunkan langkahnya lebih cepat. Untuk saat ini, sudah setengah perjalanan yang ia tempuh. Derap langkahnya berpadu dengan suara gemericik air hujan dan sambaran petir. Jika ia terlambat maka tubuhnya akan dilahap habis oleh badai plasma yang baru saja mereda.

Sesekali pandangan Nobuhisa terarah ke pinggangnya. Salah satu lampu kecil yang berada tabung tersebut telah padam.

Tinggal empat puluh menit yang tersisa.  Ia berharap tidak akan bertemu musuh  untuk saat ini. Terutama Asep yang pernah bertarung bersamanya menaklukkan kuda terbang raksasa saat pertama kali datang ke negeri ini.

Sebenarnya Nobuhisa tidak takut  melawan siapapun, hanya saja ia tak merasa enak bertarung melawan orang yang pernah membantunya. Dan lelaki tersebut paling membenci jika harus mengadu nyawa dengan wanita.

Ia teringat, gurunya pernah mengatakan untuk tidak pernah menyakiti wanita lemah karena hanya akan membawa aib bagi para samurai. Dan prinsip itu masih dipegangnya hingga kini.

"Siapa itu?" Nobuhisa berhenti saat melihat penampakan di depannya, "rasanya aku pernah mengenalnya di suatu tempat."

Di depan Nobuhisa, sosok berambut panjang dengan warna sebiru langit berdiri di tengah derasnya hujan. Kepalanya tertunduk. Ia terus mematung meskipun beberapa kali petir menyambar. Di depannya, seorang anak laki-laki berambut hijau bersenjatakan bantal guling dan berjubah selimut tergeletak pingsan dengan jarum bunga Camelia yang tengah mekar menancap di lehernya.

Nobuhisa masih ingat bahwa ia pernah berkenalan dengan sosok berambut biru itu saat babak penyisihan.

Si pemuda berkepala gadis!

Dilihat dari situasinya, tampaknya pertarungan baru saja selesai. Namun , untuk saat ini pemenangnya belum bisa diputuskan. Alih-alih membunuh atau merusak tabung, sosok rambut biru langit itu malah hanya diam mematung.

"Eophi." Ucapan sosok berambut biru itu memancarkan aura kesedihan.

Tampaknya nama itu merupakan identitas dari bocah berambut hijau yang pingsan. Nobuhisa pun mendekati si rambut biru dan menepuk bahunya.

"Kau pasti telah melakukan hal yang paling kau benci."

Tebakan Nobuhisa benar. Si rambut biru itu hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Kemudian ia menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ia tersentak kaget saat wajah samurai tersebut berada tepat di hadapannya.

"Tuan Nobuhisa?!" Si lelaki berparas cantik itu ternyata masih mengingat nama samurai berambut gondrong tersebut.

"Yo, Madao," Nobuhisa memanggil gadis gadungan itu sembarangan, "hebat juga kau bisa mengalahkannya sendirian."

"Tidak! Ini bukan hal yang kuinginkan," Maida menghela nafas panjang, "dan namaku bukan Madao. Ingat, namaku Maida."

"Maaf, aku susah mengingat nama orang."

Nobuhisa mengalihkan pandangan ke tubuh anak berambut hijau tersebut. Tabung kecil yang berada di atas ulu hatinya masih utuh. Tinggal tiga lampu indikator yang masih hidup.

"Kenapa kau tidak membunuh orang ini?" tanya Nobuhisa keheranan.

"Aku tak mau bertarung lagi." Maida menempelkan kedua tangannya ke dada dan memalingkan muka.

"Kalau kau tak mau bertarung, untuk apa kau ikut turnamen ini?" Nobuhisa mendesah, "ini bukan lomba menulis kanji, tahu!"

"Aku hanya ingin bertemu dengan kedua orang tuaku. Itu saja," tegas Maida.

Nobuhisa terdiam. Dia terlalu naif untuk menghadapi realita. Tampaknya okama sialan ini harus diberi sedikit pelajaran, pikirnya. Pria itu menarik keluar ninjatonya dan melangkah ke tubuh Eophi. Ia berjongkok di dekatnya, dekat dengan bagian perut. Tanpa basa-basi, Nobuhisa menghujamkannya ke raga anak lelaki itu tanpa ragu.

Terlihat bilah ninjato menembus baju Eophi. Namun belum sepertiga bagian bilah pedang pendek itu mengoyak pakaian anak itu, Nobuhisa langsung mencabutnya dalam satu kedipan mata.

"Tuan, apa yang kau lakukan?!" teriak Maida. Sedari tadi ia menutup mata karena tak kuat menyaksikan adegan tersebut.

Lelaki gondrong itu hanya menoleh. "Jangan khawatir, aku hanya menusuk tabungnya. Apa kau tidak tahu aturan permainan ini?"

Nobuhisa tak berdusta, tak terlihat sedikit pun noda darah yang mengotori pedang miliknya. Benar saja, terdengar bunyi khas konsleting listrik pada tabung yang berada di perut Eophi . Di balik kaos anak lelaki itu, sebuah lubang bekas tusukan tercipta pada penda tersebut.

Tak lama kemudian tubuh anak itu berubah menjadi cahaya dan  lenyap tak berbekas tanpa meninggalkan jejak yang mengisyaratkan terjadinya pembunuhan.

Dan seperti yang diprediksikan Nobuhisa, suara tanpa rupa itu kembali terdengar.

Peserta Eophi telah gugur! Peserta Eophi telah gugur!

"Kau dengar? Sekarang sudah dua peserta yang telah gugur. Kita bisa menghadapi yang tersisa bersama-sama seperti waktu penyisihan. Tendang pantat mereka dan hancurkan tabungnya. Apa kau mengerti? Kau tidak boleh setengah-setengah melawan musuh atau Izanami akan senang menyambutmu di neraka." Nobuhisa kembali memasukkan ninjato kembali ke sarungnya dan menatap Maida.

Si penyihir air tersebut tak bisa berkata apa-apa. Dalam hatinya, ia mengakui bahwa mentalnya masih belum cukup kuat untuk menghadapi pertarungan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Maida terlanjur mengikuti turnamen aneh ini hanya karena iming-iming bisa bertemu dengan orang tuanya.

Dan sebagai konsekuensinya, ia terpaksa mengorbankan prinsip hidupnya untuk melewati babak penyisihan. Mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika yang dilawan adalah eksistensi jahat seperti para monster di padang gurun sewaktu babak penyisihan.

Tapi lain ceritanya jika aturan pertandingannya menjadi seperti ini.

Maida sudah tak kuat lagi untuk menyakiti makhluk hidup lagi, itu yang terpikir oleh lelaki berambut seindah langit. Tapi peraturan di dunia ini sudah berbicara demikian. Bunuh atau dibunuh, hancurkan atau dihancurkan.  Tidak ada jalan alternatif selain mengikuti ajakan Nobuhisa.

"Aku paham tapi.." Ucapan Maida terputus ketika batinnya berada di persimpangan yang disebut kebimbangan.

Dengan cepat Nobuhisa mencabut katananya. Dalam sekejap mata, pedang tersebut langsung menempel di leher Maida. Sebuah lapisan es terbentuk secara otomatis begitu bilah benda tajam itu bersentuhan dengan kulit lembut laki-laki jelita tersebut.

"Obrolannya nanti saja setelah tinggal kita berdua yang hidup. Mengerti?" potong Nobuhisa.

"Me..mengerti." Maida tampak gemetaran saat pedang ninjato teracung tepat ke wajahnya..

"Ayo, kita cari mereka. Waktu kita tinggal sedikit. Kuatkan hatimu, Maida. Untuk saat ini kita perlu mencari tempat perlindungan dulu sebelum badai plasma itu datang." Nobuhisa kembali menyarungkan katananya.

Tabung milik samurai tersebut menunjukkan tinggal tiga lampu yang tersisa. Isyarat bahwa kedua peserta tersebut hanya punya waktu setengah jam untuk mencapai generator. Tanpa buang waktu, kedua lelaki dari dimensi yang berbeda mengayunkan langkah menuju ke pusat Verdana meskipun hujan turun semakin deras.

Dan kedua lelaki itu tak sadar, sepasang mata dwiwarna tengah mengawasi mereka dari kejauhan dan kembali mundur ke kegelapan diiringi suara guntur yang semakin memekakkan telinga.

#####

Seorang manusia dengan bulu putih di sekitar pipi dan rahang berlari tunggang langgang. Sesekali ia melompati bangunan-bangunan tinggi hanya dengan sekali hentakan kaki. Entah kekuatan macam apa yang dimiliki makhluk ini sehingga mampu melewati gedung yang tingginya mustahil dengan sebuah lompatan manusia biasa.

Yang jelas terlihat dari raut mukanya bahwa ia sedang dikejar sesuatu yang mengerikan. Wajahnya pucat pasi, nyaris seperti orang mati.

Sementara itu jauh di belakang, puluhan pesawat mini  terbang dengan kecepatan tinggi. Rudal-rudal meluncur dari mereka, mengejar makhluk yang menyerupai siluman burung. Terlihat beberapa lubang besar akibat serangan menghiasi sebagian besar bangunan-bangunan di bekas pembangkit energi tersebut.

Kill Apis! Kill Apis!

Suara khas perangkat digital bergema mengomandoi para burung besi untuk terus mengejar manusia burung tersebut.

"Sial! Sial! Sial! Harusnya aku tidak menekan benda itu! Dan kenapa mereka tahu namaku?!" umpat Apis, si makhluk dengan aksesoris bulu burung di wajahnya.

Di dalam lubuk hati yang paling dalam, ia mengutuk dirinya yang secara tak sengaja menekan tombol saat sedang berlindung di bawah gudang penyimpanan senjata dari badai plasma yang baru saja mereda beberapa menit yang lalu. Akibat perbuatannya itu, sekelompok pesawat mini kembali bangkit dari tidur panjangnya dan mengejar Apis. Menembaki eksistensi jelita tersebut dengan serangan beruntun tanpa ampun.

Tak terhitung berapa jumlah amunisi yang hampir saja mampir di raga Apis yang seindah patung Yunani. Beberapa dari mereka telah melubangi lantai pulau buatan tersebut. sebagian besar dari mereka telah menghancurkan tembok-tembok yang telah rapuh selama beberapa tahun. Terus menyerbu sampai sukma Apis keluar dari tubuh.

Ia terus berlari dan melompat. Bangunan demi bangunan dilompatinya demi mempertahankan jiwa tetap di tempatnya. Sementara itu, rudal, peluru dan laser terus meluncur, menghancurkan area sekelilingnya tanpa pandang bulu. Seolah-olah benda berbahaya itu tak sudi membiarkan Apis menarik oksigen meskipun dalam jumlah yang sedikit.

"Haah..hah..hah."

Nafas Apis menderu tak beraturan. Ia memutuskan untuk berhenti sebentar membuang lelah. Kondisi cuaca buruk ditambah medan yang asing membuat staminanya cepat merosot. Ia benar-benar tak beruntung hari ini. .

Namun keputusan untuk berhenti sejenak merupakan langkah fatal.

Saat Apis menoleh ke belakang, pesawat-pesawat tersebut meluncurkan beberapa rudal menuju ke arahnya. Tanpa membuang waktu, ia langsung melompat jauh ke depan dengan satu tolakan, menjauhi benda-benda laknat itu.

DUUAAARRR!!! DUAAARRR!!!

Rudal-rudal tersebut meledak dahsyat, membuat kumpulan asap yang langsung tersebar ke segala penjuru menutupi pandangan.  Kesempatan itu dimanfaatkan Apis dengan mencari salah satu gudang yang tak terpakai. Berlindung sementara dari kejaran burung besi yang terus menyerang tanpa jeda.

Apis beruntung. Terlihat salah satu gudang dengan pintu terbuka seolah siap menampung dan memberi perlindungan untuk makhluk malang itu. Ia pun masuk dan langsung menutup pintu sebelum gerombolan pesawat mini itu memasukinya.

"Akhirnya…haah..haah. Aku berhasil lolos dari benda brengsek tersebut." Apis langsung duduk di lantai bangunan tersebut. Ia bersandar pada tembok yang dingin untuk memulihkan tenaganya. Dan juga untuk bersyukur nyawanya masih berada di dalam raga setelah beberapa menit nyaris lepas dari berondongan amunisi.

Namun ujian untuk Apis belum berhenti sampai di sini.

Saat mata lelaki cantik itu hampir terpejam, telinganya mendengar suara langkah kaki.

Bunyi derap langkah tersebut seolah menyatakan bahwa wedana yang tak beruntung itu bahwa ia tak sendiri.  Memberitahu Apis bahwa kemungkinan ancaman kematian sering datang dari tempat yang dikira akan memberi perlindungan.

Benar, langkah kaki tersebut benar-benar ingin mengumumkan bahwa jatah nyawa Si Lonceng Putih telah habis.

Sesosok makhluk misterius dengan tudung cokelat berdiri di hadapan Apis dengan pedang merah darah terhunus. Kabel-kabel yang melilit kabelnya menggeliat seperti cacing yang hidup di usus manusia. Meminta darah Apis untuk kembali mengisi perut mereka yang baru saja telah terpuaskan oleh darah Yu Ching.

"K…Kau!"

Sebelum wedana itu menyelesaikan perkataan, tenggorokannya langsung ditembus pedang besar tersebut dalam satu kedipan mata. Darah bermuncratan membasahi lantai. Dalam cairan merah yang menggenangi lantai, terlihat bayangan Apis dengan kondisi mata melotot dan mulutnya ternganga.

Tak lama kemudian, sebuah badai plasma kembali melanda sebagai ungkapan belasungkawa dari Jagad Alforea.

#####

Peserta Apis telah gugur! Peserta Apis telah gugur!

Langkah Maida dan Nobuisa terhenti saat suara itu bergema. Mereka baru saja keluar dari dalam bunker setelah badai plasma mereda.

"Tinggal satu orang lagi," ucap Maida.

Nobuhisa menoleh ke arah salah satu gudang yang terletak di sebelah kiri, sekitar dua meter dari posisi ia dan Maida berdiri. Insting samurainya merasakan ada sesuatu yang aneh yang berada di dalam bangunan tersebut.

 "Yah, tampaknya musuh  telah menghabisi dua peserta. Firasatku mengatakan bahwa ia akan menjadi lawan sulit bagi kita."

Maida terdiam, dalam hatinya ia membenarkan apa yang terucap dari mulut samurai tersebut. Sebenarnya ia juga mendeteksi adanya aura aneh dari gudang tersebut.

"Ayo, Maida! Generator pusat ada di depan mata! Jika si pembunuh itu adalah satu peserta, mungkin saat ini dia sudah berada di sana menanti kita."

Tinggal dua lampu di tabung Nobuhisa dan Maida. Mereka memiliki waktu dua puluh menit untuk mengisi ulang atau menghabisi musuh dan kawan secara bersamaan dan keluar sebagai pemenang.

Namun kedua lelaki itu tidak mau melakukan opsi kedua dengan alasan berbeda. Nobuhisa dengan bushidonya dan Maida dengan prinsipnya.

Jadi target mereka cuma satu.

Kalahkan musuh yang tersisa dan memasrahkan hidup pada takdir di tangan rekan.

Tujuan yang sama membuat mereka terlihat serasi satu sama lain. Seperti dua insan yang tengah membangun ikatan jakudo* di antara mereka.

Sayangnya Nobuhisa tidak memiliki pemikiran seperti itu karena sudah mengetahui jati diri penyihir air tersebut. Mungkin ia baru mau melakukannya andaikan Maida adalah perempuan tulen.

Mereka pun kembali berlari. Derap langkah kedua insan dari dimensi yang berbeda berpacu dengan waktu menembus kejamnya alam.

Tinggal seratus meter lagi jarak yang membatasi antara generator dan Nobuhisa. Intensitas hujan pun semakin menurun seolah mempersilahkan Nobuhisa dan Maida bergerak dengan leluasa meniti jalan ke tujuan akhir mereka.

Namun dua lampu yang masih menyala memaksa mereka berpacu dengan waktu. Dengan sekuat tenaga para lelaki itu kembali berlari. Kilat menyambar diiringi suara guntur yang memekakkan telinga seolah menyoraki si samurai dan penyihir air berlomba-lomba memasuki garis finish.

Dan deru yang mengerikan pun kembali terdengar.

Sebuah lautan cahaya putih kebiruan datang dari ufuk langit mengejar samurai dan penyihir tersebut. Ia melaju melewati berbagai bangunan yang menghalangi jalannya. Terus bergerak seperti tsunami yang akan menghancurkan banyak kehidupan.

Maida yang menoleh ke belakang. Matanya terbelalak, ia tak menyangka bahwa badai itu kembali dengan intensitas yang lebih dahsyat dari sebelumnya.

Mungkin karena dia dan Nobuhisa adalah mangsa terakhir, semesta Alforea memberi mereka penghormatan sebagai santapan penutup yang harus dilumat dengan kekuatan penuh.

"Gawat! Badai plasmanya!" teriak Maida.

"Jangan menoleh!"

Hanya itu yang bisa dikatakan Nobuhisa. Ia tahu, mustahil menantang alam yang bergejolak. Satu-satunya jalan menghadapi bencana adalah dengan berlindung darinya.

Dan tempat perlindungan itu ada di depan mata, sebuah menara raksasa yang siap menyambut kedatangan mereka yang nyawanya diincar oleh bahaya.

"Masuk!"

Mereka pun berhasil masuk ke dalam menara itu. Dan badai plasma pun menyerbu ke bangunan itu tepat setelah Nobuhisa menutup pintu.

Saat ini Nobuhisa dan Maida berada di tengah sebuah ruangan yang gelap. Untuk beberapa saat kedua pria itu hanya berdiri bersandarkan sebuah tembok dingin tanpa bergerak atau berkata sedikit pun, menunggu badai plasma yang tengah menggila mereda. Hanya suara nafas yang terengah-engah yang bergaung di gelapnya menara tersebut.

Tiba-tiba secercah cahaya muncul tidak jauh dari tempat Nobuhisa dan Maida berada. Cahaya tadi mulai menyebar dan dalam waktu singkat ruangan itu mulai menampakkan interiornya.

Nobuhisa dan Maida hanya bisa terpana. Mereka pun berpandangan satu sama lain, berharap ada yang bisa menjelaskan situasi yang baru saja terjadi. Sayangnya Holly tidak hadir untuk memberikan penjelasan sehingga yang bisa dilakukan saat ini hanyalah melihat situasi dan kondisi.

Sebuah lorong terlihat oleh kabel-kabel yang semuanya berkumpul dan tersambung pada sebuah bola kristal raksasa yang berada di tengah ruangan yang luas. Bola raksasa itu memancarkan sinar ke segala arah menerangi segala sudut.

Di dekat benda besar tersebut, terlihat seseorang bertudung cokelat berdiri membelakangi Nobuhisa dan Maida. Lengan si tudung cokelat itu yang dulunya terlilit kabel sekarang tertutup sebuah armor hitam yang menyatu dengan pedang di tangannya. Sinar merah berpendar berulang kali menggambarkan bahwa senjata itu seperti memiliki detak kehidupan sendiri.

"Bersiaplah, Maida! Tunggu aba-abaku jika situasinya berubah!"

Penyihir air itu hanya mengangguk, mentaati perintah si samurai. Maida mengerti, meskipun ia memiliki sihir, pengalaman bertarungnya dengan Nobuhisa bagaikan langit dengan bumi. Mungkin dia akan turun tangan jika pendekar pedang tersebut terdesak.

Kedua lelaki tersebut mulai menapakkan kakinya, melangkah mendekati sosok yang telah menantinya di sana. Udara di ruangan generator mulai terasa pengap, terisi oleh hasrat untuk bertarung dari Nobuhisa.

Nobuhisa punya sisa waktu sekitar sepuluh menit, tidak! Lima menit jika ia ingin mengisi tabung energinya.

"Hey, Tuan!  Panggung yang keren! Apa wanita berpayudara besar tersebut telah mengatur pertemuan kita di sini?!" Seringai kegembiraan Nobuhisa terlihat jelas.

Berbalik, sosok itu akhirnya menolehkan wajahnya pada Anjing Gila dari Sekigahara dan Deadly Grace. Sebuah senyum mengerikan terlihat melekat dari pria bertudung cokelat tersebut. Auranya jauh berbeda, melebihi musuh-musuh yang pernah  di hadapi Nobuhisa selama ini. Kedua mata dwiwarnanya bersinar seolah memberikan opsi kepada Nobuhisa.

Menyerah  atau mati.

Sejauh ini hanya itu yang bisa dimengerti Nobuhisa.

Kali ini sosok tersebut membalikkan badan sambil membuka tudung kepalanya. Terlihat dengan jelas, separuh wajah lelaki tersebut yang cukup tampan dengan rambut cepak berwarna cokelat kini tertutupi sebuah topeng hitam.

"Avius Solitarus," Maida terkejut saat mengenali sosok tersebut, "tak mungkin!!"

"Kau kenal dia?" tanya Nobuhisa.

"Ya! Kami baru berkenalan saat makan malam di penginapan kemarin. Dia seorang penyihir spesialis pengobatan. Seharusnya lelaki yang berada di hadapan kita adalah orang baik yang tak punya keinginan bertarung!"

Mata samurai tersebut langsung tertuju ke arah pedang merah tersebut.

"Hanya ada satu penjelasan." Raut muka Nobuhisa menunjukan rasa iba, "pedang terkutuk itu yang membuat lelaki malang tersebut menjadi iblis yang ada di hadapan kita. Karakteristik dan tipe auranya benar-benar mirip dengan pedang Muramasa di tempatku berasal."

Maida tak bisa berkata-kata lagi mendengar penjelasan Nobuhisa.

"Tepat sekali, Samurai!!"

Kedua lelaki itu terkejut saat suara keluar dari mulut Avius. Terdengar begitu keras dan lantang. Bagi Maida, ini bukan suara yang seharusnya dimiliki oleh orang yang seperti Avius.

"Siapa sebenarnya kau? Sejak kapan kau menyusup ke tempat ini? Apa tujuanmu mengacau di tempat ini?"

Avius hanya mengusap-usap pedang merahnya, mengacuhkan pertanyaan Maida. Kemudian pandangannya beralih ke arah Maida. Saat mereka saling bertatapan, penyihir air tersebut merasa sedang dipelototi setan yang baru saja bangkit dari neraka.

"Kau tak perlu tahu, banci! Kalian cukup berdiri di sana menanti ajal. Dengan ini, tuanku yang terbaring dalam peti akan merasa senang. Langkah pertama kami, mengacaukan turnamen demi penaklukan Alforea akan segera terlaksana."

Rahang Maida menegang, memandang ke arah Avius, tidak, pedang merah itu dengan perasaan jijik. Sementara Avius hanya tersenyum sinis.

"Kau tak punya nyali untuk bertarung. Aku yakin itu, Maida." Bilah pedang merah tersebut tertuju ke arah Maida.

"Bagaimana kau tahu namaku?"

"Mudah saja. Aku telah membajak memori orang ini dan mengetahui semua yang ia lakukan sejak berada di Alforea. Hatinya begitu lugu dan polos. Aku bisa mengambil alih tubuh ini secara penuh hanya dalam waktu beberapa menit setelah ia memegangku. Benar-benar membuatku miris! Entah apa yang ada di pikiran si bajingan tua dan pelacur itu hingga mengundang orang lemah seperti dia. Mereka benar-benar ingin membuatku tertawa."

Pedang merahnya terangkat ke udara, bersiap untuk memulai serangan pertama.

"Matilah!"

Dalam sekejap, Avius telah berada di belakang Maida. Nobuhisa hanya bisa sedikit terperangah melihat kecepatan luar biasa milik lelaki berambut cepak tersebut. Ia baru pertama kali melihat gerakan yang tak sanggup diikuti pandangan mata.

Tiba-tiba tubuh Maida terbelah menjadi dua dan lenyap.

Peserta Maida York telah gugur!

Maida telah keluar dari permainan. Nobuhisa hanya diam saja. Ia pernah diberitahu salah satu maid kemarin bahwa sistem dunia ini mengatur proses kebangkitan seorang peserta turnamen sehingga ia tak akan mati dalam arti yang sebenarnya.

Oleh karena itu, tidak ada jerit histeris saat matanya menatap kematian yang terjadi. Justru ia merasa beban moralnya sedikit berkurang.

Namun permasalahannya, waktunya hanya tinggal sepuluh menit. Jika Nobuhisa tak mengalahkan pria ini maka ia akan dianggap kalah.

Kalah sama saja dengan kematian bagi samurai.

Oleh karena itu, kali ini ia tak akan setengah-setengah lagi. Katana terhunus, siap membela kehormatan tuannya.

"Kau tidak marah, Tuan Samurai?" Seringai Avius tertuju ke arah Nobuhisa.

Sementara itu, aura merah yang terpancar dari pedang merah miik Avius memancar dengan intensitas luar biasa.

"Tidak, justru aku harus berterima kasih padamu," Nobuhisa telah siap dengan pedang diposisikan secara vertikal di atas bahu kanan, "sekarang aku punya alasan untuk menatap kepala lelaki itu yang akan mengucapkan selamat tinggal pada raganya yang telah kau pakai."

Dan benturan antar pedang di langit pun terjadi.

Avius melesat dengan kecepatan tinggi dan menabrak Nobuhisa dengan pedang terhunus. Silang pedang telah terjadi, dentingan yang cukup keras terdengar di seluruh penjuru ruangan yang hanya diterangi bola kristal raksasa.

Nobuhisa melompat ke atas, dengan cepat tangannya berayun tepat ke arah Avius. Namun, dia dapat menepis dengan tangan kosong dan melancarkan sebuah serangan balasan.

Bilah tajam pedang merah tersebut menuju tepat ke arah leher samurai tersebut. Untunglah dalam detik terakhir Nobuhisa bisa mengelak, namun, tidak sepenuhnya. Leher bagian sampingnya masih sempat tergores.

Ia bergerak mundur mengambil jarak dengan Avius. Namun, lelaki berambut cokelat itu tak membiarkan samurai tersebut bebas begitu saja. Ia melompat, mengarahkan kakinya ke perut Nobuhisa.

Sebuah tendangan keras menghantam ulu hati. Akibatnya Nobuhisa terpental cukup jauh. Tubuhnya terbentur tembok cukup keras.

Nobuhisa jatuh berlutut sambul memegangi perutnya. Kemudian ia merasakan ada cairan merah kental mengalir dari dalam rongga mulutnya dan membasahi lantai.

"Sial, sepertinya salah satu rusukku ada yang patah." Nobuhisa terlihat sedikit meringis menahan sakit.

Namun tidak ada waktu untuk mengeluh.

Ia pun kembali melesat ke arah Avius dengan pedang yang terhunus. Dentingan pedang kembali terdengar.

Pedang merah dan katana saling berbenturan, mendesak satu sama lain. Kedua lelaki tersebut saling menatap. Sama-sama menyeringai satu sama lain dengan motivasi berbeda. Mata Avius menganggap Nobuhisa seperti mangsa. Di sisi lain, tatapan Nobuhisa terisi kebahagiaan.

Ia merasa bangga jika bisa memisahkan kepala berambut cokelat milik begundal itu dari badannya.

Pertahanan Avius melonggar dan samurai tersebut kembali berhasil melukai tubuh lelaki bertudung cokelat itu. Katana kembali terayun, menghantam beberapa kali hingga membuat Avius sedikit terpojok walaupun dia berhasil menangkisnya.

"Kau tahu, tidak hanya katanaku saja yang ingin menari-nari." ucap Nobuhisa pelan.

CRASSSHHH!!!!

Rupanya samurai itu menggunakan senjata lain selain katana miliknya. Yang berhasil melukai Avius bukanlah senjata utama Nobuhisa, melainkan sebuah bilah ninjato. Dan bilah itu menancap di bahu kanan Avius saat sibuk menangani serangan katana milik Nobuhisa.

Pedang yang hanya dipakai para ninja itu dicabutnya kembali. Dan dilanjutkan sebuah tendangan memutar mengenai rahang Avius.

Namun Avius hanya berputar saat terkena serangan Nobuhisa. Sambil berputar, pedang merahnya mengarah ke leher Nobuhisa.

Sebuah dentingan pedang kembali terdengar. Nobuhisa berhasil menangkis dengan katananya. Entah sudah berapa kali kedua pedang itu beradu, menciptakan percikan api yang terlihat begitu terang di tengah keremangan itu. Keduanya melompat mundur, mengambil jarak dan memasang kuda-kuda untuk melakukan serangan berikutnya.

Pertarungan itu masih terus berlanjut. Dentingan pedang yang saling bersilang terdengar begitu nyaring. Tak ada orang lain yang menjadi saksi pertarungan mereka berdua. Tak ada penonton yang mengelilingi medan pertempuran mereka. Hanya suara hujan yang yang diselingi guntur dan deru angin menyemarakkan suasana.

Avius sedikit berada di atas angin. Setiap tebasan yang dia lancarkan dapat mendarat dengan sempurna, menyisakan sayatan-sayatan yang mengalirkan cairan merah di tubuh Nobuhisa. Walau begitu, Nobuhisa  juga tak kalah cepat dengan katananya. Ia  sering berhasil membuat luka di titik vital seperti leher dan kepala.

Akhirnya Nobuhisa berhasil melakukan serangan. Tebasannya berhasil mengenai lengan kanan Avius. Dan pada akhirnya tubuh lelaki itu berhasil mengeluarkan darah.  Walau tubuhnya berhasil dilukai, tapi setiap serangan yang dia lakukan tak berkurang sedikitpun.

Tebasan kembali Nobuhisa daratkan di tubuh Avius, namun sesaat luka itu langsung sembuh, dan sesaat itu pula tebasan lain dia lancarkan, berulang-ulang.

Sial, ia terus menyembuhkan setiap luka yang ada. Sementara waktuku tinggal sedikit, batin Nobuhisa.

Kemampuan penyembuhan memang merepotkan. Parasit berwujud pedang merah tersebut tengah memanfaatkan kemampuan Avius demi kepentingannya sendiri.

Namun, laki-laki berambut gondrong itu masih belum menyerah. Dia masih berdiri, dan pada akhirnya seringai di mulutnya kembali tercipta. Serangan balasan yang Nobuhisa lakukan berhasil membuah Avius kembali terpojok. Tebasan samurai tersebut berhasil melukiskan luka pada tubuh lelaki berambut cepak itu.

Cairan merah yang mengalir dari luka tebas di tubuh mereka seolah hanyalah gigitan serangga yang tak perlu dikhawatirkan lebih jauh. Kostum yang terkoyak seolah menjadi bukti tersendiri bagi keduanya telah mendapat lawan yang sepadan.

Sebuah tebasan menukik berhasil membuat luka sayat yang lebar di bawah bahu kanan Sang Penyihir dari Hutan. Darah mengalir cukup banyak dari bagian terluka itu. Walau begitu, Avius masih tetap berdiri, bahkan menapakkan kakinya lebih keras ke tanah dan tangannya berhasil dia ayunkan, mengantarkan bilah pedang iblis itu tepat ke arah wajah Nobuhisa.

Malang, Avius tak tahu jika itu merupakan kesalahan fatal.

Nobuhisa menyambutnya dengan kedua pedangnya yang bersilangan. Tusukan pedang Avius ditangkis sehingga serangan tersebut terarah ke atas.

Pertahanan Avius terbuka lebar. Celah besar tercipta mengundang serangan penghabisan. Dengan pedang di kedua tangannya,  Nobuhisa menyerang dengan kecepatan yang begitu luar biasa sampai pedangnya nyaris tak terlihat.

Katana di tangan kirinya menebas maju, diikuti oleh tikaman dengan pedang ninjato dalam pergerakan yang terkoneksi sempurna. Dua pedang menyatu bersama seiring serbuan gencar seperti hujan meteor.

Avius mode jahat tak bisa mempercayai hal yang terjadi di depan matanya. Kemampuan penyembuhannya tak bisa menyaingi kecepatan teknik pedang ganda milik Nobuhisa. Ia berusaha mengayunkan pedang merahnya tapi langsung dimentahkan oleh combo serangan lelaki gondrong tersebut.

Dengan kelincahan menakjubkan, pedang di tangan kanan Nobuhisa menikam lurus ke depan. Tepat ke tenggorokan.

Mulut Avius terbuka, berusaha berteriak namun tak bisa. Pita suaranya telah robek akibat tusukan tersebut. Tidak hanya sampai di situ, Nobuhisa menusuk leher pria bermantel cokelat itu dengan ninjato dari arah samping.

Akhirnya leher Avius tertembus oleh tusukan silang. Matanya melotot, tak terima kekalahan yang sudah di depan mata. Namun lengan kanannya telah lunglai, tak kuasa kembali mengayunkan pedang.

"Selamat tinggal kawan. Terima kasih kau telah membuatku senang hari ini," ucap Nobuhisa.

Dan tebasan ganda memisahkan kepala Avius dari badannya. Darah bermuncratan dari kepala dan badan lelaki tersebut menggenangi lantai. Tubuhnya ambruk bersamaan dengan kepala yang menggelinding entah ke mana.

Peserta Avius telah gugur! Peserta Avius telah gugur! Peserta Avius telah gugur!

Tubuh lelaki tersebut lenyap menjadi cahaya. Sementara Nobuhisa yang bermandikan darah menjatuhkan dirinya ke atas lantai. Peluh bercampur dengan darah mengotori kimono abu-abunya yang telah koyak di sana-sini. Katana dan ninjatonya tergeletak mengapit raga si pemilik.

Tinggal ia sendirian yang berada di tempat ini.

"Me..nang."

Hanya itu yang ia bisa ucapkan saat ini. Staminanya sudah terkuras habis akibat serangan barusan.
.
.
.

"Selamat, Tuan Nobuhisa! Kau telah memenangkan pertandingan!"

Terdengar suara wanita yang menggema. Nobuhisa memaksakan diri untuk bangkit dengan menggunakan pedangnya sebagai penyangga. Pandangannya beredar ke semua arah, mencari asal suara tersebut.

Akhirnya mata Nobuhisa tertuju ke arah bola kristal raksasa. Di dalam benda tersebut, segumpalan asap berputar-putar dan berubah menjadi sesosok wanita cantik. Gaun panjang berwarna putih dengan corak garis merah berkibar-kibar akibat pusaran angin yang mengelilinginya. Perlahan tapi pasti, tubuhnya menembus kaca bola besar dan mendarat tepat di hadapan samurai tersebut.

"Perkenalkan, namaku Valentiana. Aku adalah program AI yang diciptakan Hewanurma untuk mengawasi tempat ini."

Mata ungunya yang indah menatap lurus ke arah Nobuhisa. Sementara itu, lelaki tersebut hanya terpaku. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Nee-san."

Wajar jika Nobuhisa berkata demikian. Wajah, rambut dan warna mata Valentiana sangat persis dengan yang dimiliki Tsukuyo, kakak angkat Nobuhisa.

Lelaki itu pun kembali tersadar. "Oh, maaf. Kau sangat mirip dengan orang yang paling kusayangi. Dan bagaimana kau tahu namaku?"

"Aku sudah diberitahu Tuan Hewanurma soal pertandingan di tempat ini. Aku ke sini hanya untuk menepati janjiku pada sang pemenang," sahut Valentiana.

"Apa itu?"

"Pejamkan matamu sebentar, Tuan Nobuhisa."

Seperti yang diperintahkan Valentiana, mata Nobuhisa pun langsung tertutup rapat. Gadis itu meletakkan tangannya di sekitar leher Nobuhisa.

Tiba-tiba lelaki tersebut merasakan sesuatu telah mengunci mulutnya dengan lembut.

Valentiana telah menaruh bibirnya tepat di bibir Nobuhisa.

Dalam kegelapan, lelaki itu bisa merasakan sensasi hebat dari ciuman lembut ini. Bibir lembut dan wangi dari rambut cokelat Velentiana nyaris membekukan otak Nobuhisa.

Di saat bersamaan, ia merasakan ada sesuatu yang hangat keluar dari bibir wanita itu dan masuk ke dalam tubuhnya.

Valentiana pun melepaskan ciumannya dengan perlahan. "Bukalah matamu."

Mata Nobuhisa kembali terbuka secara perlahan. Wajah cantik kakak angkatnya tergambar dengan jelas saat Valentiana tersenyum dengan wajah memerah.

Dan anehnya Nobuhisa merasakan ad sesuatu yang bergejolak di dalam tubuhnya pasca ciuman tersebut. Rasanya seperti ada kekuatan aneh yang mengalir lewat nadi ke seluruh organ tubuhnya.

Ia bisa merasakan tulang rusuknya telah kembali ke kondisi sedia kala. Luka-luka sayatan pedang telah sirna tanpa meninggalkan bekas. Tenaganya kembali pulih seperti semula.

"Te..terima kasih, Nona. Aku tak tahu harus bilang apa soal ini. Ini benar-benar mengejutkan."

"Tak usah sungkan, Tuan. Itu bukanlah ciuman tanpa arti. Aku telah memberimu sesuatu yang akan membantumu selama turnamen ini, pergunakanlah dengan bijak. Selamat tinggal."

Perlahan tubuh Valentiana mulai terurai menjadi cahaya dan menghilang. Nobuhisa terus berdiri mematung dalam diam. Tak menyangka bahwa di alam lain, ia bisa bertemu dengan titisan sang kakak tercinta.

Tak berapa lama kemudian, sebuah portal muncul tiba-tiba dan menelan Nobuhisa. Menarik kembali tubuh lelaki itu kembali ke kota Despera.

#####

Note :

jakudo* = lebih dikenal dengan sebutan shudo. Hubungan sesama jenis antar samurai dengan pelayan laki- lakinya yang masih belia. Contoh pasangan shudo yang paling terkenal adalah Oda Nobunaga dan Mori Ranmaru.

15 comments:

  1. Bagus, akhirnya disinggung juga culture shock antara peserta tim D sama settingnya

    Hoo, backstory Nobuhisa udah mulai direveal dari sekarang ya

    Sebenernya ini ringan - dan kayanya penulis punya tendensi justru full nyorot seorang karakter sebelum dia disingkirin, kayak Yu Ching dan Apis. Eophi mati mudah, mungkin karena ribet ya mainin dia. Kenapa Nobuhisa mau kerjasama bareng Maida? Ngeliat sifatnya kirain dia bakal ga sreg atau malah ngalahin Maida on the spot. Apa karena sebelumnya udah setim? Btw Avius jadi main villain di sini, padahal kesan saya ke dia justru bener" tipe good guy. Dirusak sama elemen eksternal dari BoR, keliatannya bakal jadi plot point buat canon Nobuhisa ke depannya ya

    Valentiana ini kok favor ke Nobuhisa?

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha..sebelumnya makasih udah mampir ke lapak saya :D

      yeah..rencananya saya pengin membuka jati diri Nobuhisa secara perlahan dan sebenernya "sesuatu yang berasal dari Valentiana" itu merupakan bentuk bonus untuk upgrade Nobuhisa ke depannya, cuma saya berencana membukanya kalo Nobuhisa ketemu lawan yang super strong macam Asep, Vajra..Zhahir dan Aragon, sayang yang terakhir WO..(dan saya juga bingung upgradenya dalam bentuk apa makanya tak biarin benda itu tertidur dalam tubuh Nobuhisa untuk sementara ) kalau dibangunin sekarang rasanya kurang seru

      hadiah spesial dari Valentiana juga bakal berperan besar membantu Nobuhisa menghadapi musuh alami..yakni para peserta wanita jika sampai terlibat battle 1 on 1 atau mungkin Tamon Ruu

      Kenapa Nobuhisa mau kerjasama bareng Maida? ya seperti kata mas sam, ini merupakan balas jasa karena sudah membantu OC saya di prelim kemarin..

      Valentiana ini kok favor ke Nobuhisa? yah namanya juga naksirnya ke cowok #plak

      Oh ya, Valentiana itu sebenarnya reinkarnasinya Ariana Maharani, sayang authornya WO tapi dia bikin cerita prelim sendiri di wattpad dan memasukannya karakter saya dalam ceritanya, makanya saya bikin Valentiana sebagai penghormatan

      Delete
    2. yah masalahnya di tim D cuma Nobuhisa yang terkesan "paling jahat" makanya saya balik dengan menjadikan Good Guy sebagai main villain

      Delete
  2. mantap nobu... (y) ...sungguh sebuah pertarungan yg indah. seorang samurai yg lolos tanpa menyakiti lawan yg tak ingin bertarung atau cuma peserta normal.
    kirain nobu bkalan menggila, menebas semua peserta dengan pedang dan strateginya. xD
    taunya nobu jdi samurai hero di entri ini. salute xD..

    8 buat nobu xD..
    *psst gimana rasanya nyium AI? AI itu artificial inteligence kan? .

    khanza

    ReplyDelete
    Replies
    1. gak juga...anggap aja jatah nobu udah diembat ama avius :3

      yoi..cuma karena ini ranah Alforea, anggap aja valentiana bermanifestasi ke wujud fisik

      thanks udah mampir

      Delete
  3. teruntuk big boss tim d, ini rekap dari saya

    mantep itu kisah masa kecil nobuhisa: korban-korban perang, anak yang sendirian, terus satu keberadaan yang sejahtera tapi ngerasa punya beban yang sama kaya di dua poin pertama

    sosok nobuhisa di sini, well, cara kasih dia musuh setara emang keharusan, tapi ga nyangka ternyata avius yang dipilih dan ada alesannya juga

    eophi di sini cuma jadi contoh buat maida kalo dunia itu kejam ya? bisaaa

    terus ga ada fatal eror atau sejenisnya yang ketemu sama saya di cerita ini, nice story

    nilai 8

    oc : eophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. thank you...emang sih karena eophi salah satu chara yang tidak mempunyai hasrat bertarung yang tinggi jadi rasanya susah dimainkan kalau dia musti berantem, skillnya juga saya susah nangkep..maaf gan

      saya ambil avius karena dia yang pure good guy... saya pikir bakal jadi efek surprise

      thanks udah mampir

      Delete
  4. Satu yang saya khawatirkan di sini kalo Nobu bakal bunuh Maida karena tahu Maida ini cowok berpakaian cewek. Karena di entri Avius baju saya di robek2 tak manusiawi, kamu kejam Nobu #eh

    Ok ok kidding. Di mata saya Nobu tetap lelaki perkasa dengan keadilan tinggi kok :D

    Ini saya salut, tapi juga sekaligus aneh karena Avius yang jadi pihak jahat. Namun overall ceritanya bagus kok.

    Minus 1 karena salah panggil Maida jadi Madao >_> #woy

    Ini di sini akhirnya Maida harus membunuh ya ;_; tpi g dijelasin eophi mati atau enggak. Ada hint soal prinsip Maida berarti di bunuh? yg mana aaaa

    Apis di sini agak OOC, karena susah membayangkan dia mengumpat kalau dari CS-nya.

    Ah syukurlah tidak mati ;_; tidak mati ;_;

    Hal yg paling bikin shocking ini di bagian Avius, dan mas Agung berhasil bikin semuanya jadi g ketebak. Tapi entah kenapa kesannya di ending kalah seru ama pas kita masih menebak2 soal Avius yg kejam.

    Nilai dari saya 9 :"D Terimakasih tulisan yg menghibur!
    Maida York

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya sengaja nyomot avius karena semua tim D pasti menjadikan saya sebagai bahan keroyokan :v #oke-lupakan , ehem, maksudnya pengen ngasih efek kejutan dengan menjadikan good guy ke cruel villain.. rasanya tuh tahu sendiri

      dan saya akui explore bagaimana avius menjadi jahat itu emang terlupakan.. udah buntu waktu itu..

      kenapa bisa salah panggil..dia kan pelupa akut soal ngapalin nama orang :v

      sankyu Win..moga-moga bisa ketemu di R4

      Delete
  5. Hanya satu kata untuk mendeskripsikan entri ini. AWSOME!!! \(0-0)/

    Battlenya full action, narasi mengalir lancar dan mantap. Tapi untuk karakterisasi lawan sepertinya kurang, Maida dan Eophi tidak kelihatan bertarungnya, karakterisasi Avius hilang sepenuhnya karena di overwrite oleh kutukan si pedang merah terkutuk. Well, tapi mungkin itu trikmu untuk menutupi kekurangan karakterisasi, lumayan kreatif menurutku.

    Btw, backstorynya Nobuhisa kok mirip-mirip sama Gintoki ya? Inspirasi karakternya kah?

    I shall throw 9 for this awsome story.
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
    Replies
    1. yeah..faktor saya emang rada abai soal pendalaman karakter..plus ditambah style saya lebih ke shounen menjadikan saya susah nglawan chara dengan kepribadian non maniak berantem..

      kendala saya yang terbesar adalah gimana memasukan karakter yang cinta damai sebagai salah satu petarung itu yang sulit ditambah skill para OC lain yang lebih ke support defender menjadikan kesulitan itu bertambah..

      yeah..kepribadiannya emang 11-12 ama gintoki, bedanya cuma siapa pengasuhnya? #eh

      thanks udah mampir

      Delete
  6. Kalo dibandingin sama prelim, tulisan R-1 ini jauh lebih rapi dan ngalir. Dulu sering nemui kata 'tersebut' tapi sekarang udah berkurang, walau gak sedikit juga. Secara teknis udah top. Tapi istilah-istilah asing sama kalimat di pikiran ada yang lupa di-italic itu.

    Masa lalu Nobu kayanya agak lebay, kalo menurut saya. Yang bagian dia dudukin tumpukan mayat. Feelnya gimana gitu. Maklum lah, agak awam soal Jejepunan ;_;

    Dan Avius di sini nasibnya kaya Ahran di entry saya. Dia sebenernya orang yang baik tapi jadinya dikendaliin. Tapi jadi seru. Unpredictable. Soalnya Avius emg kandidat yg susah kalo dibayangin jd villain ._.

    Err, Valentiana itu ngasih semacem upgrade ya di akhir? Tapi blm dijelasin? Semoga upgradeannya jgn menjurus ke hal yg jahat, ya. Sifatnya Nobu yg kuat-kuat santai ini (apa lah saya menyebutnya), saya lumayan seneng.

    Overall, saya titip ... 9 buat entry ini.

    OC: Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih atas nilainya :3

      masalah upgrade lagi dipikirin, masih nyari-nyari yang relevan ama Nobuhisa

      mungkin ane comot sedikit dari Jojo Bizarre Adcenture part 2 dan ngeset supaya terkesan alami :v

      Delete
  7. Heiho...

    Wow.. ini entrynya bagus, dapat teman serumpun sama oc sendiri.. wkwkwk

    Battlenya apik mas, dan mungkin saya bakal tengok2 buat keperluan oc saya

    Avius villain cause he is avius.


    Titip 9 mas

    Oc ; kazuki

    ReplyDelete
  8. Akhirnya saya datang juga. Maaf telat banget, ahahaha~

    Ini kayaknya jadi lebih lancar narasinya dibandingkan sebelum-sebelumnya. Pengaturan paragrafnya juga lebih simpel, nggak berat. Meskipun masih ada sejumlah typo dan salah EYD (silakan cari sendiri), tapi itu no problemo lah.

    Kayak kata Sam, asik tuh sudut pandang OC-OC yang dipakai sebelum terbantai. Adegan pembunuhan kucing, saya paling suka bagian itu :D

    Latar belakang Nobu juga lumayan ketika dimunculkan sebagai gambaran awal dia sebagai karakter. Mungkin ke depannya bisa lebih ditampilkan lagi detail-detail masa lalunya? Kalau memang penting sih.

    Secara teknis, Nobu hanya melawan 1 OC di sini ... dan itu OC rage pula (bukan Avius sebenarnya), tapi ya nggak masalah. *lirik plot cerita sendiri* Adegan pertarungan pedangnya udah mengalir oke, tebas-tebasannya kebayang, walau mungkin belum keciri aja gaya berpedang ala samurainya. Mungkin bisa ditambahin lebih banyak lagi detail kuda-kuda berpedang, atau gaya memegang katana, atau teknik tebasan.

    Jurus penutupnya oke. Beneran balik jadi samurai gila dia :D

    PONTEN 8 + 1 = 9
    Poin plus karena adegan pembunuhan kucing~~

    OC: Kusumawardani, S.Pd

    ReplyDelete