20.6.15

[ROUND 1 - TEAM G] NEESHMA FRAUN - ANOMALI

[Round 1 - Team G] Neeshma Fraun - Anomali
Penulis: Jester

Tetes 4

Ini suara debur ombak. Ada siulan angin yang menerpa dedaunan kelapa dan permukaan air. Oh, ya, cicitan camar yang bersahutan seperti saat setiap pagi aku bangun dan menyapa lautan.
Ini juga aroma asin tubuh Bakhara yang tak pernah bosan hidungku menyambutnya, membuat senyum mengembang selalu. Kadang amis terselip dari ikan-ikan yang berkejaran, tak apa, aku juga menyukainya.
Percikan menimpa wajahku. Ada pula yang sampai ke lengan dan betis. Serta basah genangan air di ceruk karang tempatku biasa berdiri. Angin yang sama membimbing lengan dan tungkaiku untuk mulai menari. Mengibaskan kepala. Menelisipkan jemari di antara aliran udara. Langkahku tersusun spontan dengan pola gerakan yang bahkan tak pernah kupelajari, namun kurasakan ada. Dansaku teriringi sebuah orkestra yang mendadak disediakan oleh lautan. Sebuah simfoni abstrak menggantikan kuasa otakku memerintah tubuh.
Laut sedang merasuki diriku, dan bercinta dengan jiwaku di sana.


Lalu biasanya seseorang akan memanggil namaku. Aku akan menoleh ke belakang dan mendapati Saida Aqmar tengah menatapku. Tersenyum dan menawarkan roti serta sup tuna untuk sarapan. Seperti itu setiap pagi. Jika aku tak lantas teringat bahwa Saida tewas saat itu.

Bintang mendadak muncul pagi hari. Berkelip sedemikian terang dan makin mendekat, hingga akhirnya menghujam pantai Sadid. Membuat pondok-pondok kami terbakar. Suasana begitu merah dan kabur. Aku tak tahu kenapa, entah karena asap memang mengepul tebal atau air tengah membungkus pelupuk mata. Aku mengerang, lalu melangkah mendekatinya—mayat Saida—yang terlempar ke arahku.
Dan teriakan. Jeritan. Tangis. Amarah. Suara logam beradu dan derik kayu terbakar.
Aku terpelanting. Seorang manusia Madayan mengarahkan sebuah tongkat logam dengan ujung menyala ke keningku. Aku menangis. Bercampur antara takut dan rasa inginku memeluk mayat Saida. Dia pasti kepanasan dengan semua kobaran api ini. Aku memohon, terus memohon. Meminta agar diberi waktu menghanyutkan mayat adik angkatku ke laut lepas, seperti tradisi kami. Namun manusia itu menolaknya, tak peduli seberapa keras aku menangis dan dia hantam dengan tongkat bercahaya itu.
Ia justru memanggil teman-temannya dan bertanya padaku, "Mana Lumen? Mana Lumen?"
"Aku hanya ingin melepas Saida," jawabku. Tetapi wajahnya malah mengeras, dan perutku sakit dengan tiba-tiba.

***

Kelopak mata sayu itu terbuka. Bayangan langit-langit berwarna cokelat kayu segera menubruki pandangannya. Mulutnya mengerang pelan, terdengar letih. Perlahan ia menarik tubuh untuk duduk. Tangannya memegang pelipis, kepalanya sebegitu peningnya sehingga ia pikir akan jatuh.

"Ini bukan Bakhara," komentarnya retoris. Mimpi buruk barusan membuat ia mengira sedang berada di saat-saat lalu. Beberapa kali ia perlu mengerjap hingga jelas pandang matanya. "Astaga, aku masih di turnamen itu, ya?"

Suara gemericik di luar memanggil atensinya, memaksa ia turun dari ranjang dan menghampiri jendela, lantas menyingkap tirainya. Di luar hujan. Kali kedua ia menyaksikan hujan di dunia yang ini, Neeshma jadi tertarik ingin mencicipi rasanya. Ia tersenyum tipis, ia pikir di sini dunia akan selalu kering. Sekering gurun yang menjadi kunjungan pertamanya beberapa hari lalu. Namun hujan ini menjawab dugaannya dan membuatnya sedikit terhibur.
Pintu diketuk membuyarkan lamunan.
Buru-buru Neeshma menghambur dan membukakan pintu. Sosok si gadis berseragam putih hitam menyambut.

"Selamat pagi. Oh, anda sudah bangun, nona Fraun?" sapanya. Neeshma mengangguk, memberikan senyum simpul kecil.
"Semua peserta diminta untuk berkumpul di bar di ujung jalan beberapa saat lagi. Pengumuman tentang tahap berikut akan disampaikan."

"Aku mengerti."

Gadis pelayan itu membungkukkan tubuh, "Jika begitu saya mohon diri."

Neeshma menutup pintu, lantas duduk di tepi nakas. Batinnya bergemuruh. Benarkah ia akan terlempar ke medan pertempuran lagi? Mencabut lebih banyak nyawa dan melihat temannya terluka? Mendadak ia teringat ucapan Ragga.

'Tidak ada pertemanan di sini.'

Itu benar. Para peserta di sini datang dengan motivasinya masing-masing, dan Neeshma yakin peserta lain pun takkan menyerah karena iba atau semacamnya. Begitulah fakta yang ada. Ini bukan Bakhara, makanya ia harus membiasakan diri.

Tapi itu membuat dadanya sakit, begitu sangat namun tanpa luka.

***

Tetes air menyerbu tubuh polosnya, yang Neeshma rasakan bagai ada ratusan ledakan mood di setiap inci kulit. Selalu seperti itu kala kulitnya terjamah air. Mungkin juga itu sebab ia begitu mencintainya. Ia dapat mencurahkan perasaannya bahkan tanpa perlu bicara. Air akan selalu menerimanya, semua amarah, kesedihan, segalanya. Kelopak pucat itu terbuka, menampakkan bola mata berhias iris biru cerah. Neeshma mendesah, lalu tersenyum. Air telah membisikkan kata pelipur lara lewat sentuhan-sentuhannya. Ia siap berangkat.

Tapi tepat saat gadis itu membalutkan handuk, sesuatu mendadak melintasi matanya.
"Demi Bakhara!!!" pekiknya kaget. Ia jatuh terduduk, "A-apa yang barusan?"
Bayangan sesuatu baru saja memasuki pandangannya. Tak jelas, hanya saja ia pastikan bukan sebuah sosok, lebih seperti kilasan tentang suatu tempat. Sesuatu yang tampak seperti terowongan. Gelap, berlumut, dan berbau bacin.
Ia termangu sesaat. Mencerna apa yang barusan terjadi. Namun meski bertanya-tanya, Neeshma berusaha tak terlalu ambil pusing dan segera bersiap. Ia tak punya waktu banyak untuk memikirkan itu tadi, lagipula itu tadi lebih seperti sebuah lamunan yang tampak agak nyata. Yang jelas, hal apapun yang menimpa dirinya barusan takkan ia biarkan mengganggu konsentrasinya.

Kedai yang dikatakan gadis pelayan tadi tak terlihat terlalu ramai, padahal ketika dulu Neeshma baru sampai di tempat yang disebut Alforea ini, jumlah seluruh peserta sepertinya hampir memenuhi alun-alun. Kemana semua orang pergi?
Seorang gadis lain dengan seragam pelayan menyambut. Ia mempersilakan Neeshma masuk dan menanyakan ia ingin minum apa.

"Beri aku air tawar saja, terimakasih." Pelayan itu mengangguk sopan dan berlalu, meninggalkan Neeshma yang tengah mencari tempat duduk. Ke arah pojokan pandangannya mengarah, ia dapati Ernesto Boreas. Rekannya selama melawan monster di padang pasir itu. Sebenarnya Neeshma ingin bergabung bersamanya jika meja pria itu tidak terlebih dulu penuh dengan orang lain.
Hmmm, namun bukankah ada satu orang lagi? Pikirnya. Ia memutar kepala, menyapu seluruh ruang kedai. Bahkan melongok ke dapur sedikit, namun sosok berambut menyala itu tak ia temukan juga.

"Psst, sini. Kursi di sebelahku kosong," panggil seorang gadis. Rambutnya yang merah segera menarik perhatian. Amat mencolok.
"I-iya, terimakasih."
"Hai," sapa gadis itu riang seraya mengulurkan tangan hendak bersalaman, "aku Effeth. Kau?"
"Aku Neeshma Fraun." Neeshma menjawab tanpa menoleh, matanya masih asyik menelisik tiap sudut untuk mencari Ragga.
"Siapa sih yang kau cari?" celetuk Effeth. Neeshma menoleh kaget, tak sadar tengah diperhatikan. "Tidak, kok. Hanya sedang mengagumi tempat ini."

Effeth memandangnya tajam. Kedua matanya yang berkilat kehijauan penuh selidik seperti mempereteli wajah Neeshma, lalu membaca apa yang ia pikirkan langsung dari otaknya. Ia begitu-

"Oh!" jawabnya, " Kupikir kau sedang mencari targetmu." Gadis itu tertawa, lalu menyendok supnya.
Neeshma meringis, ia takut namun lega. Ia pikir gadis itu akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Namun nampaknya Effeth adalah gadis biasa yang mungkin saja tersesat sampai Alforea ini.

Tapi tunggu sebentar. Target?

"Airmu, nona." Neeshma menoleh dan mendapati sang pelayan mematung dengan nampan berisi segelas air putih.
"Kebetulan, aku mau tanya."
"Ya?"
"Aku tak melihat beberapa orang di sini," ujar gadis itu mengawali, "ke mana mereka pergi?"

Sang pelayan tersenyum simpul, lalu mengepit nampan di pelukannya. "Mereka dipulangkan, nona Fraun. Nilai yang mereka dapatkan kurang memuaskan Yang Mulia Tamon Ruu."

"Oh, begitu." Neeshma mengangguk perlahan. Jadi Ragga termasuk yang dipulangkan, barangkali.

***

Kelihatannya Neeshma melewatkan beberapa hal, tahu-tahu di hadapannya seorang berseragam pelaut telah berdiri menjelaskan. Tak tahu kapan masuknya. Sekarang ia sedang terlihat bersemangat menjelaskan hal-hal yang tak Neeshma mengerti, sesekali juga ia menunjuk layar-layar proyeksi yang melayang di antaranya.

"Seperti yang kalian lihat pada layar, untuk pertarungan kali ini kalian akan dikirim ke berbagai tempat yang berbeda, setiap tempat memiliki keunikan tersendiri, tapi aku bisa yakinkan kalau semuanya sangat berbahaya," tutur seorang pelayan berambut ungu panjang.

"Lalu apa yang harus kami lakukan di sana?" seorang peserta mengangkat tangannya.

"Kalian harus saling membunuh hingga hanya satu orang tersisa," si baju pelaut menyela cepat. Ringkas dan inosen, seolah yang barusan ia ucapkan adalah hal sesederhana menu sarapan hari ini. Senyumnya merekah lebar.

Neeshma terhenyak. Dengung menggema di lubang telinganya. Jantungnya mendadak serasa naik ke leher, hingga detaknya mampu mengguncang kepala. Wajahnya menjadi makin panas, pandangannya pun mengabur. "Upp-" Neeshma membekap mulutnya sendiri, lantas berlari ke kamar mandi.

"Hoekkk!" Neeshma muntah. Hanya air yang keluar, karena memang perutnya baru terisi itu sejak pagi. Nafas gadis itu terengah. Pelan-pelan jemari gemetarnya menyisir rambut yang berjatuhan di kening, matanya menatap tajam bayangan dirinya di cermin.

"Kau benar-benar lemah."


Kedai telah sepi. Hanya ada beberapa orang termasuk gadis rambut merah tadi. Effeth.
"Hei!" panggilnya. "Kau tadi kemana?"
"A-aku…."
"Kita masuk kelompok yang sama, lho. Dan kau tahu apa berita bagusnya, Neeshma?" ucap gadis itu berapi-api, wajahnya mendekat. Suaranya berubah menjadi berat dan lebih dingin, "Kami yang akan membunuhmu pertama kali."
Neeshma terbelalak. Tergesa ia meninggalkan Effeth begitu saja. Kalut, takut, curiga, kebingungan, semua bercampur jadi satu. Ia benar-benar butuh air.

"Hei," ucap Effeth.
"Ya?" Gadis itu berucap lagi seolah menyahut panggilannya sendiri. "Dia itu anak yang menyenangkan, lho."
"Tapi kau 'kan harusnya tahu, tak ada waktu untuk yang seperti itu." Effeth tertawa. "Iya-iya, aku cuma bercanda."

Neeshma berlari kecil dengan gontai. Mantelnya ketinggalan di kedai tadi, membuat ia harus pulang berhujan-hujan. Namun itu justru membuatnya berjalan berlama-lama, sebab air memanglah yang ia butuhkan.
Saat itu, bayangan pagi tadi kembali, namun kali ini Neeshma tak kuasa menolaknya.
Banyak hal berkelebatan. Neeshma jatuh terduduk dan mengerang, matanya terpejam kuat-kuat. Peserta yang berhamburan, jalanan, kastil utama Despera, sungai, bahkan dirinya sendiri. Kilasan-kilasan itu terus membanjiri benaknya. Matanya terbuka lebar, ia tersentak.
Tangannya menadah air hujan. Dan lekat Neeshma menatapnya.

"Apa… yang coba Engkau katakan?"

Tetes 5

Ini baru di halaman kastil yang disebut Sammeriil—lokasi pertarungan—, namun Neeshma telah merasakan hawa kematian kental membungkusnya. Tangannya mencengkeram erat sabuk yang terikat melintang di tubuh, penahan tas pembawa air untuk ia kendalikan. Tas itu sebenarnya hanyalah beberapa botol besar berisi air yang ia jalin jadi satu, yang baru ia kumpulkan tadi malam. Neeshma berpikir akan bijaksana jika ia mempersiapkan diri, belajar dari babak sebelumnya.

"Yang lain mana?" tanyanya.
Pelayan itu menoleh, ia orang yang berbeda dari kemarin. "Mereka masuk dari gerbang yang berbeda, untuk menghindari kematian di awal pertarungan."

Neeshma tersenyum pahit. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Sakit hatinya mendengar kata kematian. Ia benar-benar tak bisa terbiasa dengan itu. Namun, bagaimana jika faktanya ia mesti melewati jalan itu demi mencapai tujuannya?
Tidak. Bagaimanapun Neeshma akan selalu meyakini jalan Air. Ia adalah entitas murni, lambang kedamaian yang nyata. Ia percaya, bahwa dengan mengikuti Aliran, ia akan menemukan jalan. Jalan lain yang tak ada pertumpahan darah di sana.

Gerbang terbuka dengan berat. Ukurannya memang besar, jadi nampaknya sulit membukanya walau hanya untuk jalan masuk satu orang.
"Silakan, nona. Pertarungan telah dimulai."

Sementara sang pelayan hilang ditelan portal biru, Neeshma melangkah dengan takut-takut memasuki kastil. Dadanya sesak meski baru beberapa langkah melewati pintu itu. Ia menoleh, pintu itu berderit lagi. Menutup jalan Neeshma untuk keluar.

"B-baiklah, kita mulai." Ia berdiri dan melangkah menyusuri lorong gelap itu. Neeshma menyadari ada obor yang bisa ia bawa, tersemat di dinding lorong. Sedikit tambahan cahaya akan membuat suasana menjadi lebih baik. Semoga.

***

"Alva," desis seseorang terdengar lirih. "Kelilingi kastil ini, dan coba petakan di mana letak peserta yang lain. Kau mengerti?"
Bunyi 'kaok' lirih menjawabnya, dan kepak sayap mengikuti. Siluet manusia itu beralih pada sosok bayangan lain yang lebih besar darinya. "Kau tetap bersamaku, Mao. Aku membutuhkan penglihatanmu."

Mereka masih melihat-lihat kondisi di ruang utama kastil itu. Belum berani mengambil langkah. Tentu saja, Wildan Hariz telah belajar betapa berbahaya jika ceroboh di tempat ini. Tombak jebakan yang barusan menggores pundaknya meyakinkan itu. Mao mendadak menggeram, harimau putih itu menatap tajam sebuah balkon di seberang tempat mereka berada. Sepasang cahaya berpendar hijau dalam kegelapan. Wildan menyeringai,

"Bagus, Mao. Aku juga melihatnya, kita akan-"

Tembok tempat lelaki itu bersandar meletup tiba-tiba. Namun refleks Wildan memaksanya meloncat menjauh dari tempatnya semula, menyelamatkan dia dari kematian. Letusan tadi membuatnya sadar, lawannya adalah seorang penembak jarak jauh, dan ia telah diserang duluan. "Sialan!"
Desingan proyektil bergesekan dengan udara memenuhi tempat itu, mengejar target seorang pemuda bertelanjang dada yang terus menghindari tembakan. Sang Tarzan memang begitu lincah, ia dan kaki petirnya. Namun sebenarnya ia begitu kewalahan dengan rentetan tembakan dari balkon itu. Jaraknya mungkin hanya sepuluh meter dari tempatnya berada tapi jangankan mendekati, pada jarak segitu saja ia sudah harus terus menari menghindari peluru yang cepat bagaikan hantu. Seakan tak ada jeda antara satu tembakan dengan tembakan berikutnya. Namun Wildan bukannya tak berpikir, matanya memperhatikan sebuah celah. Sementara Mao meloncat ke sisi ruangan mengalihkan perhatian lawan, ia menyelinap ke sudut mati. Tepat di bawah balkon itu.

Tembakan-tembakan itu berhenti sesaat. Nely menghela nafas. Ia baru sadar, ia ceroboh, harimau tadi hanyalah pengalihan. Ia kini malah kehilangan musuh utamanya. Insting bertahan hidupnya meminta ia segera menenteng Gauss dan menyingkir dari situ. Itu logis, lagipula tak ada alasan ia tetap bertahan di lokasi yang sama.
Gadis itu tetap waspada, sembari menenteng senjata ia melangkah mundur pelan-pelan. Dan begitu sampai di lorong lagi, ia berbalik.

"Aku terlalu gegabah tadi," desisnya mengintrospeksi diri.

Namun sebuah percikan di belakang tubuh gadis itu mengagetkannya, ia berbalik dengan cepat dan menodongkan Gauss dengan siaga. Wildan menyeringai. Matanya yang nampak seperti kucing berkilat-kilat itu telah menemukan mangsa.
Lidah kilat yang melilit kedua lengan dan kakinya perlahan-lahan menghilang, itu sisa kekuatan petir yang barusan membantunya melompat ke balkon. Mungkin ia memang tak berniat menggunakan sihirnya untuk pertarungan ini.

Wajah Nely mengeras, sekejap saja senapannya menyalak.  Wildan menghindar dengan gesit, dan langkahnya malah makin dekat ke arah sang lawan. Panik menguasai Nely, ia mencoba terus menembak agar lawannya menjauh. Namun sia-sia, jarak adalah senjata utama seorang sniper, dan musuhnya begitu handal dalam mereduksi jarak. Dalam kondisi ini, kematian Sanelia Nur Fiani telah dipastikan.
Wildan menerjang, kedua sabitnya membabat gadis itu layaknya sebuah capit kepiting. Lawannya berguling, beberapa helai rambut terterabas tajamnya senjata Bocah Liar itu. Nafas Nely memburu, Gauss ada di pelukannya sebab gerakan tadi, lagipula memang tak mungkin menembak dari jarak ini. Perlahan ia mulai tersudut ke dinding lorong,

"AAAHHH!!!" Nely memekik keras. Sebuah letusan terdengar.

Kejadian barusan begitu cepat. Gadis itu memegangi pahanya yang koyak sampai betis sebab terkaman seekor harimau putih, nampaknya peliharaan Wildan itu mencoba menyergap Nely dan naik melalui tangga di sisi ruangan. Tapi harimau itu sendiri telah berlubang perutnya karena tembakan jarak-amat-dekat sang sniper, terkapar berlumur darah dengan perut kembang-kempis. Denting logam terdengar nyaring, sabit Wildan terjatuh.

"Mao…," bisik lelaki itu. Gontai ia mendekati sahabatnya yang sekarat. Tak ia pedulikan Nely yang menyingkir sambil menyeret Gauss-nya. Wildan tak pernah berpikir jalan yang ia tempuh kali ini akan sampai merenggut miliknya yang berharga. Ia pikir ini hanya tantangan untuk mencobai kekuatannya. Ia pikir ini hanya permainan. Aliran-nya kacau, dan rambutnya perlahan berdiri.

"Seandainya…" Wajah Wildan makin terbenam di antara bulu-bulu Mao. "…aku membunuh gadis itu dari awal, kau tak harus mati." Petir mengaliri tubuhnya. Begitu pekat akan warna merah, seakan menyimbolkan amarahnya.

"Kau takkan mati sia-sia, Mao."

***

Neeshma masih terduduk syok di salah satu lorong. Obornya tergeletak tak jauh dari sana. Kilasan-kilasan barusan membuatnya kehilangan kata-kata, padahal ia hanya menginjakkan kaki di sebuah genangan air, dan penglihatan tentang gadis yang diterkam harimau serta kematian harimau tersebut malah melintasi otaknya.

"Apa sih yang terjadi padaku?" bisiknya frustasi. Suara benda terjatuh yang terdengar mendadak mengagetkannya. Neeshma berdiri dan mendapati gadis sniper yang diterkam harimau tadi—dalam bayangannya—tergeletak di ujung lorong. Tanpa ragu-ragu ia mengangkat tangan, dan air dari tas punggungnya mengikuti.

"Lumen Bles-"

'Bukankah kau seharusnya membunuhnya?' Neeshma terbelalak. Air di tangannya berhenti bercahaya. Sebuah suara kedengarannya barusan terdengar, memantul dari palung terdalam batok kepalanya.

"Astaga, aku mulai berdelusi. Mana mungkin membunuh? Ini Aliran-ku, dan aku akan memenangkan ini tanpa membunuh siapapun."

'Kubilang, kau harusnya membunuhnya.'

Neeshma berhenti, air jatuh dari tangannya. Bibirnya gemetar. Sesuatu yang berada dalam dirinya seperti menggelegak, mendidih, dan berdenyut di sekujur tubuhnya ketika suara itu muncul lagi. Terlalu nyata untuk dibilang delusi. Pandangannya mulai kabur. Di saat itu ia mulai merasa bahwa darah yang mengucur dari luka di tubuh sang gadis terlihat menarik untuk diamati. Tangannya terulur untuk menyentuhnya.

Itu adalah ledakan.
Sang Pendeta Ombak terbelalak. Sensasi menyentuh darah ini begitu mengagetkannya. Neeshma tersenyum dengan aneh. Emosi di dalam dirinya membuncah, dan endorfin serasa membanjiri tubuh. Ada rasa puas meledak melimpah ruah dalam dadanya hanya dari satu sentuhan barusan. Padahal hanya dari satu ujung jari, sensasinya sudah berkali lipat dibandingkan dengan menyentuh air. Bagaimana kalau sekujur tubuh? Neeshma membatin.

"TIDAK!" Neeshma menjerit tertahan. Air mata meleleh dari sudut matanya. Ia ketakutan, terhadap dirinya sendiri.

"Yang barusan tadi apa? Bagaimana pikiran seperti itu ada?" ucap Neeshma, berharap apa yang pikirkan tadi diampuni Dewi Bakhara. Sebuah dosa amat besar yang barusan melintasi pikirannya membuat ia merasa begitu kotor.
"Eh?" erangnya pelan. Gadis itu menatap tangannya yang terangkat sendiri dengan kaget, air membungkus jemarinya membentuk ujung runcing yang berputar.

'Aku adalah darahmu, Neeshma Fraun, dan kau tak akan pernah bisa menolakku.' Tangan Neeshma meluncur bagai tergelincir, menghujam tenggorokan gadis sniper itu tepat saat ia baru saja sadarkan diri.

Darah muncrat. Selang, sebuah teriakan pilu memenuhi lorong itu. Teriakan Neeshma sendiri.

***

Cahaya obor berkelap-kelip terlihat di sebuah sudut di dalam ruang senjata. Bayangan seorang pria berkelebat-kelebat menimpa dinding berlumut. Sesekali punggung tangannya menyeka keringat yang berleleran di keningnya.

"Segel keenambelas," desisnya. "Cukup buat saat ini."

"Asal aku tak berhadapan dengan si pengendali air saja, sih."

Ahran mengecek kembali tabung-tabung yang telah berisi ramuan peledak di sabuk penyimpanan khususnya. Hanya ada tujuh tabung, tapi nampaknya sang Pertapa telah memanajemeninya seefisien mungkin agar cukup untuk pertarungan ini.
Ia menatap duri jebakan yang nampak timbul di lantai. Rencananya adalah: siapapun nanti yang berusaha menghindari jebakan itu dengan melompat akan berakhir dalam segelnya, dan memberinya kesempatan melancarkan serangan. Sederhana, tapi biasanya itu cukup efektif.

"Aku tak mengira akan menemukan kau sebagai lawanku." Ahran menoleh dengan kaget. Seorang gadis balas menatapnya riang, namun mengerikan. Cakar di tangannya mengetuk-ngetuk dinding di sebelah pintu masuk ruang senjata itu.

"Aku… juga tidak mengira," balas Ahran. Bibirnya tersungging dengan percaya diri.

"Tak apalah, kuanggap kau hidangan pembuka," desis gadis rambut merah itu, mencoba memprovokasi, "Namamu Ahran, 'kan? Nah, ayo Ahran. Kita-"

Effeth menjadi diam mendadak, seolah ada yang memintanya berhenti. Tapi senyum psikopat segera mengisi wajahnya. Gadis itu melenting ringan ke arah Ahran dengan mengayun cakarnya, dan di saat yang sama sang Pertapa berguling ke arah berlawanan. Seperti belum cukup, Ahran melompat lagi menuju pintu keluar.
Dengan sebuah gerakan cepat yang sukar diikuti mata, sebuah tabung berisi cairan merah terlempar ke tempat Effeth mendarat. Garis cahaya membentuk sebuah bidang bujur sangkar di lantai. Ahran membanting tubuhnya ke sisi luar dinding untuk berlindung.

"Patlamak!" desisnya.

Dinding-dinding batu itu mendadak bergetar oleh hentakan energi mahadahsyat. Api membanjir keluar dari pintu masuk ruang senjata, menyembur kuat hingga menerangi seluruh ruang bawah tanah. Ledakan kedua terjadi karena tersulutnya tong-tong mesiu, Ahran terlempar ketika hendak menjaga jarak dari situ. Batu-batu penyusun dinding itu berloncatan ke segala arah.
Ahran berusaha duduk dengan lemah. Pipinya lebam terhantam pecahan batu namun bibirnya masih mengulas senyum penuh kemenangan. Segala perhitungan, segala prediksi dan kemungkinan kejadian telah ia susun sedemikian rupa dalam sebuah strategi tanpa cacat, dan kini tereksekusi dengan sempurna!

"Lihat itu, Rustem!"

"Hei." Timbunan batu bekas dinding yang berkobar-kobar itu bergetar. Sosok manusia bangkit dari sana dengan permukaan kulit merah membara. Ahran terpana.

"Masa kau mengira pertarungan ini akan berakhir secepat itu?"

***

Wildan berlari dengan marah. Beberapa kali ia menghujam dinding brutal, serasa api dalam dadanya takkan padam meski ia melampiaskannya dengan cara apapun. Sebuah terjangan menembus tembok membawanya ke ruang mahkota, membuat batu-batu pecah dari dinding berhamburan. Di sana telah ada seorang wanita dikeroyok puluhan makhluk mirip manusia berkepala kadal. Mereka semua bersenjata tapi tampaknya begitu kewalahan melawan seorang perempuan—yang bahkan bertangan kosong. Wanita itu menoleh ke arah Wildan, namun kelihatannya ia tak terlalu peduli dan melanjutkan pertarungannya.

Wildan mengerang, merasa diremehkan. Rantai yang menghubungkan kedua sabitnya memanjang.
"RRAAHH!!!" Kepala seekor monster menggelinding begitu saja. Halilintar menyambar dari kaki-kaki Wildan, lalu melejitkan sang pengguna beberapa meter dari tanah. Ia menggenggam rantai dan memutar tubuh di udara, menjadikan ia semacam gergaji mesin manusia yang teraliri listrik.
Pertarungan itu segera berubah status menjadi pembantaian. Darah kehitaman membanjiri tempat itu dari sisa-sisa tubuh monster yang termutilasi. Wildan mendarat, terengah. Berhadapan dengan sosok terbalut lateks hitam bertopeng putih. Pemuda itu tak lagi peduli yang di hadapannya adalah monster atau salah satu peserta seperti dirinya. Ia mau darah tertumpah lagi untuk tumbal kematian Mao.

"Hebat," komentar wanita itu, suaranya terdengar tegas. Tangannya mengelap santai serpihan daging di bahunya. "Kau kuat, tapi gaya bertarungmu berantakan sekali."

"Ayo lawan aku."

Wildan menggeram. Kedua tangannya terangkat, masing-masing memancarkan petir berwarna putih. Sekuat tenaga ia mengadu telapak tangannya.
Suara seperti gelegar guntur menggema memenuhi ruangan itu disertai ledakan cahaya yang amat kuat. Wanita itu tersentak dan secara refleks menutup wajahnya. Dengung akibat bom cahaya tadi membuat ilusi suara di kepala sang pegulat, seperti memanggil-manggil namanya.

'Ini bukan apa-apa!' batinnya. Kuda-kudanya terpasang kuat, kaki-kakinya bagai tertanam di bumi dan kedua tangannya menggenggam tinju. Matanya memang kehilangan fungsi, tapi ia masih punya pendengaran. Dan itu lebih dari cukup.

Percikan listrik terdengar di antara suara tapak kaki berlari. Bermodal insting, Rin Komori menusukkan sebuah jab ke depan. Suara 'krak' tulang rusuk yang patah terdengar ngilu. Rin tersenyum bangga dalam topengnya, nalurinya masih setajam dulu. Merasa di atas angin, ia melancarkan hook keras dengan tangan kanan dan menghantam deras rahang Wildan. Jerit kesakitan terdengar membahana, disusul gedebuk tubuh yang terpelanting ke lantai batu.
Rin mengibaskan kepala, ia kira efek serangan cahaya menyilaukan tadi telah mulai memudar. Ia turunkan sedikit pertahanannya untuk memulihkan diri sebab ia mengira lawannya masih berkelojotan. Namun ternyata Wildan tak selemah yang ia pikirkan, tepat saat ia mencoba memulihkan penglihatan, sabit Bocah Liar itu mendengung. Bilah tajamnya menjajah punggung wanita itu tanpa ampun. Rin terputar karena tenaga serangan tadi, namun tak sampai jatuh. Daya tahan monsternya menjadi penolong. Tapi punggungnya robek parah, cukup untuk membuat Rin barusan memekik kesakitan karenanya.

"MATILAH!!" raung Wildan. Sebuah serangan mendadak yang membabibuta ia lancarkan, tinju berselimut petir sudah beberapa inci dari kepala Rin. Wanita itu melindungi kepalanya secepat mungkin dengan tangan begitu saja, mengakibatkan ia terbanting keras ke tanah. Lantai batu itu retak sebab jatuhan bertenaga dahsyat tadi.

Keadaan berbalik, Wildan berdiri di atas Rin yang terjatuh. Kakinya menahan perempuan itu bangun, segera tinju yang sama yang menjatuhkan lawannya tadi terjun bagai meteor. Menghantamnya bertubi-tubi, Rin memekik tertahan. Wanita itu hampir mengira ia akan menemui ajalnya segera. Namun meski begitu pun, ia takkan menyerah sebelum lawannya ini benar-benar takluk. Ia adalah sang Lady Steele, wanita dari baja. Ia akan selalu seperti itu, terus bertarung dan menjadikan dunia sebagai ringnya.
Kepalan tangan Wildan ditangkapnya. Wanita itu meringis menahan sakit, rasanya seperti menghentikan roda motor yang sedang berputar.

"ARRGGH!!!" Rin menangkap siku Wildan, lalu dengan satu sentakan bertenaga ia membanting tubuh ringan pemuda itu ke sampingnya. Bocah Liar itu mengerang, tangannya yang bebas mencengkeram tangan Rin. Namun sia-sia, pertarungan submission seperti ini adalah salah satu keahlian sang Lady Steele.
Rin bangun, dengan sigap menduduki dada telanjang Wildan Hariz. Sebuah gerakan yang menyeramkan dilancarkan Rin, ia memuntir lengan lawannya sekuat tenaga. Membuat sebuah suara tulang bergeser yang menggiriskan telinga. Wildan bernasib seperti lawan-lawan Rin yang lain, sikunya menekuk ke arah sebaliknya.

Kaki Wildan terlonjak karena dorongan petir di telapak kakinya, hendak menendang sang penyerang dengan lutut. Karena pertahanan Rin jadi longgar sedikit sebab tersengat listrik dari lengan Wildan yang ia patahkan, lutut pemuda itu mampu menjajah kuat punggung Rin hingga terguling.

"RRAAHHH!!" Si Ksatria Petir Florian berdiri dengan terhuyung. Tangan kirinya yang masih sehat mengacungkan jari ke sosok lawan yang ia rasakan benar-benar tangguh. "AKU TAKKAN MATI… DEMI MAO!!!"

Rin ikut berdiri, menatapnya sejenak, "Tunggu, aku ingin setidaknya tahu namamu. Namaku adalah Lady Steele. Namamu siapa, bocah petir?"

"Wildan Hariz. Dan aku bukan bocah."

"Wildan Hariz, kau sangat kuat," balas Rin. Kulitnya hampir dipenuhi luka bakar yang mengeluarkan asap, ia barusan tersetrum cukup lama. "Untuk menghargai pertarungan ini, aku takkan menahan diri lagi."

***

Wildan tahu, kali ini sebenarnya ialah yang akan mati. Dia berada di ruang tertutup, itu masalahnya. Ia takkan bisa melancarkan Amukan Badai Halilintar di sini sebab tak ada awan petir dalam ruangan. Ia tahu itu, namun ia tak bisa menyerah begitu saja. Ia harus hidup demi Alva, atau mati secara terhormat di medan perang seperti Mao.
Pemuda itu meloncat ke arah singgasana dan bertengger di sana. Rin yang sedang dalam mode Rage benar-benar gila, bahkan melebihi dirinya tadi. Mata wanita itu nyalang, serangannya yang kebablasan dan meruntuhkan sebuah pilar tadi untung sempat Wildan hindari.
Baru sedetik lalu Rin membelah sebongkah pilar batu, kini sudah melesat lagi menuju singgasana tempat Wildan menghindar. Cepat, kuat, liar. Begitulah cara bertarungnya sekarang.

Singgasana itu pun jebol, Wildan terlambat menghindar dan terlempar ke dinding. Bendera lusuh lambang kerajaan pemilik kastil itu jatuh menutupinya. Rin berlari kuat ke arah lawan dan melompat tinggi, bermaksud menghantamkan Falling Elbow Drop keras untuk mengakhiri ini. Di luar dugaan, Wildan bangkit dengan cepat dan mencuri serangan. Sebuah tendangan berputar  ia tusukkan menyambut jatuhan Rin, tepat di bahu kanan.
Tendangan yang ia gabungkan dengan Thunder Thrust itu berhasil mementalkan Rin meski membuatnya terpelanting juga. Mode Rage Lady Steele memang memberikan Rin kekuatan dan kecepatan dahsyat bagai banteng luka, namun dengan harga mahal yang harus ia bayar. Rin telah kehilangan pertahanan bajanya.

Kedua orang itu sama-sama kuat, masing-masing telah menghancurkan dan dihancurkan. Namun mereka masih berdiri lagi entah untuk yang keberapa kali. Nafas mereka terengah, pandangan mereka pun telah berkunang-kunang. Antara sadar dan tidak, mereka mendengar alunan musik yang mendamaikan. Kastil tua itu ternyata menyimpan kejutan lebih banyak dari yang mereka semua kira. Mereka berdua berhadapan dan meraung, lantas berlari menuju lawan masing-masing. Rasa sakit mereka lenyap entah bagaimana, yang mereka tahu hanyalah musik damai itu meminta mereka untuk bertarung terus hingga titik darah penghabisan.

Langkah Wildan tersaruk, lantas terjatuh. Tubuhnya tak sanggup lagi bertarung. Rin mengambil kesempatan, dengan tangan kiri ia cengkeram leher pemuda itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Kau lawan terkuat yang pernah kuhadapi," desisnya. "Selamat tinggal, Wildan Hariz."



Suara seperti dentuman gempa terdengar. Dinding yang disandari Neeshma bergetar, namun tak mampu mengalihkan tatapan kosongnya dari tangan yang berlumur darah. Wajahnya amat pucat. Bibirnya bergetar,

"A-aku membunuh seseorang…"

'Lalu kenapa?'

Suara itu lagi, Neeshma menjambak rambutnya. "Keluar dari kepalaku!!!"
Kelebat bayangan kembali lewat dalam kepalanya. Ia menyerah mencoba memikirkan apa artinya, dan hanya mampu pasrah menyaksikan gambaran-gambaran tidak jelas berputar dengan liar. Neeshma mendongak, kali ini ganti kenangan yang menghampiri.

Ia bangun di sebuah sore. Sore indah dengan langit cerah, matahari masih setengah menyelam ke cakrawala. Sebuah suasana yang membuat siapapun yang menyaksikannya mengulas senyum bahagia. Tapi kala itu, Neeshma tak tahu harus berekspresi apa.
Pemandangan itu terlalu mengerikan untuk ia gambarkan. Sahabat, tetangga, dan banyak lagi mayat yang tak sanggup ia kenali bergelimpangan di sepanjang pantai. Hari itu adalah hari di mana kaum Maan memutuskan untuk melawan. Hari di mana ia, Neeshma Fraun, diangkat menjadi Pendeta Ombak. Menjadi pemimpin kaumnya memerangi teror manusia-manusia Madayan.

'Hari itu aku lahir, Neeshma. Di dalam dirimu.'

Neeshma mendadak ingat kembali sensasi itu. Dorongan yang membawanya menembus portal cahaya biru yang membawanya ke turnamen ini, dorongan yang membuatnya menyusul Ragga kembali ke Alkima, serta nafsu aneh yang memberinya kekuatan menumbangkan Tamon Rah kala itu. Kini, 'sesuatu' yang ada dalam dirinya itu memperkenalkan diri padanya secara langsung.

'Aku adalah wahyu Dewi Bakhara.'

Suara dari dalam dirinya sendiri barusan bagaikan petir di siang bolong. Ia makin syok. Memang ia telah menyadari sang Dewi yang membimbingnya hingga sampai di sini, tapi ia tak mengira dorongan membunuh tadi justru datang dari entitas yang sama. Apa itu berarti Bakhara, sang Kebenaran dan Kemurnian tengah memintanya mencabut nyawa orang lain?

'Apa menurutmu kau tengah membunuh? Tidak, Neeshma. Kau menyelamatkan jutaan nyawa, manusia dan kaum Maan. Dengan cara mengembalikan Lumen Margarita.'

Neeshma menatap tangannya termangu-mangu. Inikah Alirannya? Demi tujuan mulia, mengizinkan pembunuhan? Tapi jika Bakhara yang mem-firmankan itu, maka bukankah mutlak kebenarannya? Ia harusnya tidak ragu. Lagipula ia telah bersumpah untuk yakin.

'Untuk keselamatan jutaan nyawa, diperlukan hilangnya beberapa nyawa yang lain.'

"K-kenapa begitu?" tanya Neeshma bermonolog. Ia menatap sedih wajah kosong Nely yang terbaring di hadapannya. Gadis itu masih begitu muda, dan mesti menemui ajalnya secepat ini. Dan adalah fakta mengerikan mengetahui ialah pelakunya.

'Karena kau harus,' suara bisikan itu mulai terdengar bijak di kepalanya. 'Karena jika tidak, kejadian yang terjadi pada Saida akan terulang lagi… kepada semuanya.'

Neeshma menggeretakkan giginya. Keluarganya terlalu berharga. Karena jika memang ini jalan takdirnya untuk menyelamatkan Maan, biarlah kepribadiannya menjadi tumbal atas itu. Ia terima dirinya sebagai pembunuh, dan seorang berlumur darah. Ia berdiri perlahan, namun penuh keyakinan. Air tenang itu kini tengah menuju badai.

Tetes 6

Ahran mencabut Ra'ash, pedangnya yang kelam dan terrajah segel alkemia itu kala Effeth melompat menyerang dari reruntuhan dinding. Percik api terbit dari pedang beradu cakar. Ahran terdorong ke belakang, lompatan sang Shapeshifter barusan kuat sekali. Pemuda itu membanting pedang ke samping untuk mengalihkan energi dorong Effeth dari dirinya.
Effeth berguling ke belakang Ahran, jemarinya memanjang dan meruncing. Melaju deras menembus paha pria itu. Ahran menjerit dan jatuh terduduk. Effeth mengambil kesempatan, cakarnya berkelebatan di dalam kegelapan. Namun pria itu menggeser tubuhnya, berkelit dari sabetan cakar yang tajam. Ia ingat pula ada sebuah segel di sana. Sebuah tabung mengelinding ke tempat Effeth berdiri, dan dentuman kembali mengguncang tempat itu.
Ledakan melempar kedua orang itu ke sisi ruangan.

"Kenapa kau tak diam dan mati dengan tenang, sih?! Merepotkan!" teriak Effeth. Gadis itu bangun, luka bakar di lengannya sirna. Tapi wajahnya masih menunjukkan kesakitan.

"Apa kau sedang mengatakan bahwa aku terlalu kuat untuk kau kalahkan?" pancing Ahran. Lelaki itu sendiri tengah meringis menahan sakit karena ledakan barusan juga membakar sedikit lengannya.

Effeth mendesis. Ia menyerang lagi, "Aku akan menyelesaikannya sekarang juga!"

Ahran menyeringai. Menyadari provokasinya berhasil, di saat yang tepat ia kembali melompat. Sebuah semburan api yang sembarangan ia lemparkan ke arah lawan, yang dengan mudah ditahan Effeth dengan memadatkan diri.

"Tidakkah kau mengira pertarungan kita ini mulai terasa menjemukan?" ucap Ahran.

Effeth tak menjawab. Ia hanya merasakan agak panas di tenggorokan. Gadis itu terbatuk, bara api ikut keluar dari mulutnya. Ahran tersenyum puas.
"Jadi kau tak keberatan 'kan jika ini kuselesaikan sekarang?" Sang Pertapa mengucap lagi.

"Sialan!" umpat Effeth serak. Gadis itu melesat dengan tiba-tiba. Ahran kaget, seharusnya Nafas Api miliknya sudah membakar habis paru-paru gadis itu saat ini. Ia sudah tak punya cukup stamina lagi untuk melawan. Effeth meraung. Tangannya mengeras, dan ia dengan cepat mencegat lelaki itu. Ahran tak yakin bisa menahan serangannya kali ini. Denting logam beradu memekakkan telinga, pedang Ahran terlempar jauh. Sabetan cakar setajam pisau pun melaju deras tanpa tertahankan.

Ahran menjerit dan terpelanting oleh serangan Effeth. Perutnya berlubang. Sakitnya bagai ditebas dengan ujung bayonet. Lelaki itu bisa merasakan ususnya keluar dalam genggamannya. Effeth mendekat, abu dan bara masih berseliweran ketika ia berbicara,

"Kau ini seperti kecoa yang merepotkan, tahu? Matilah sekarang!"

Mendadak selarik sinar menembus perut gadis berambut merah itu. Effeth terhuyung ke samping, ekspresinya nampak kaget.
"Astaga," desisnya lemah. Gadis itu bersandar ke dinding dengan lemah.

Ahran terpana, ia masih belum memahami apa yang terjadi kala guyuran air memenuhi lantai ruang bawah tanah. Neeshma mendarat anggun, air melayang di sisi-sisi tubuhnya.

Menyadari siapa yang menyerang, Effeth berteriak marah. Ia masih berusaha menyerang balik meski perutnya telah tertembus Plasma Beam dari Neeshma. Namun Sang Pendeta Ombak mengangkat tangannya—kali ini tanpa ragu—, dan empat bola air terbentuk sekaligus di atas kepalanya. Cahaya terbersit dari sana. Dengan mantap, tangan Neeshma terayun ke depan. Empat Plasma Beam terlepas sekaligus dan mengoyak rongga dada Effeth tanpa sempat gadis itu hindari. Membuat nyawa lolos dari tubuhnya yang setengah jebol.

Neeshma menyentuh darah yang terciprat di pipinya. Getaran adiktif itu kembali hadir mengunjungi tubuh, membuatnya kejang dalam kenikmatan. Gadis itu mendesah perlahan. "Ini mulai terasa lebih baik daripada air…."
Ia menoleh pada Ahran, lalu menghampirinya.

"Mendekatlah selangkah lagi dan akan kuledakkan kita berdua berkeping-keping," ancam Ahran, meski dengan wajah mulai memucat. Neeshma acuh, ia berjalan seolah tak mendengar apapun.
Tabung peledak itu benar-benar terlempar, namun air segera membalutnya di udara. Menghentikan geraknya sebelum sempat memberikan ancaman.

"Aku cuma ingin menyembuhkanmu," ucap Neeshma seraya duduk di sebelah Ahran.

"HAH?!"

"Aku tahu kau pasti kaget. Tapi, yah, sebelum ini aku pernah punya rekan pengendali api. Kau mengingatkanku padanya. Lagipula, jika niatku memang menghabisimu bukankah dari tadi sudah kulakukan?"

Ahran terdiam. Ia memang tak punya banyak pilihan saat ini. Setidaknya ia tahu gadis ini bukan jenis gadis seperti yang ia lawan barusan. Mungkin ia bisa mempercayai gadis Pendeta Ombak ini.
"Bagaimana kau tahu aku pengendali api?"

"Aku sudah mengamati pertarunganmu dengan gadis bercakar itu sejak tadi," aku Neeshma. Ia meletakkan tangan berselimut airnya di perut Ahran. Lumen Blessing tak butuh waktu lama jika hanya untuk menutup sebuah luka sobek saja. Neeshma mengendalikan air lagi, dan menuangkannya ke telapak tangan. Ia menyodorkannya ke mulut Ahran,

"Minumlah," tegasnya. Ahran menatapnya penuh selidik.

"Kau itu musuhku."

"Memberi minum tak ada hubungannya dengan musuh atau teman. Cepatlah, apa menjadi pengendali api membuatmu anti juga terhadap air minum?"

Pemuda itu menatapnya ragu, namun menurut juga. Tak salah mempercayai orang yang barusan menyelamatkan jiwanya. Ditatapnya mata berkilat merah sang Pendeta Ombak, sebuah mata yang menyiratkan kematian.

"Terimak-"

Sontak Ahran memegang lehernya. Ia merasa tercekat, kerongkongannya serasa tersumpal gulungan kain. Air yang ia minum berhenti tepat di ujung leher. "Uhuk!"

Neeshma bersila dan menghadap Ahran yang mulai membiru sambil bertopang dagu. Senyum tipis terulas di bibir gadis itu. Ahran mengejang, lehernya terasa bengkak hingga tak ada sedikitpun udara melewati tenggorokan. Ia berkelojotan, sementara gadis di depannya nampak tengah menikmati apa yang barusan ia lakukan.

"Ini tradisi di kaumku," ujar Neeshma. "Melaksanakan perintah-Nya harus dilakukan dengan gembira. Jadi maaf jika senyumku ini menyinggungmu, aku hanya melakukan tradisi."

Mata Ahran terbalik. Paru-parunya hampir meledak saat ini. Neeshma pun berdiri, hendak menyelesaikan pertarungan di kastil ini dengan lawan terakhirnya. Gadis itu tersenyum kecut, lantas berbisik,

"Ngomong-ngomong, apa airnya segar?"

***

Neeshma telah menyadari apa yang akhir-akhir ini terjadi pada dirinya. Ia menyimpulkan bahwa kilasan-kilasan itu adalah apa yang air perlihatkan padanya: Ia mampu melihat melalui air. Dia sendiri tak tahu bagaimana menjelaskannya tapi itulah yang terjadi. Untung baginya, kini tak sulit melacak lawannya yang terakhir. Neeshma tahu dari bayangan barusan bahwa wanita itu telah membanting seorang pemuda hingga mati. Jika ia telah membunuh tiga orang sebelumnya, maka lawannya tinggal wanita itu.

Badai pertentangan dalam diri Neeshma soal tindakan yang ia lakukan serta sensasi yang mencandu tubuhnya itu telah berhasil memporak-porandakan bangunan jiwanya yang lama. Yang menganggap tak satupun nyawa pantas melayang, prinsip yang begitu kuat ia yakini. Namun, bertahankah itu dihantam rasa sayangnya terhadap kaum Maan dengan mendadak? Ditambah suara dalam diri yang terus memberikan pembenaran atas sikapnya yang haus darah?

Gadis itu berlari di sepanjang lorong setelah melewati tangga dari ruang bawah tanah. Melintasi sebuah jembatan sempit dan memasuki lorong lain yang lebih gelap. Neeshma baru sadar ia kehilangan obornya. Ia melihat obor lain tersemat di dinding luar sebelum masuk ke dalam lorong. Dan sesampainya di ujung yang lain ia melihat sebuah ceruk berbau menyengat. Minyak tanah.
Ia menyentuhkan nyala api ke sana hingga ceruk itu berkobar.
Neeshma melangkah lagi, namun tak menyadari telah menginjak sebuah lantai batu yang berwarna berbeda. Suara batu bergeser cepat, dan lantai tempat ia berdiri naik menghantam langit-langit. Neeshma bahkan tak sempat berteriak.

Nyala api di ceruk itu mendadak berubah warna, lalu menguraikan kobarannya membentuk sosok tubuh seseorang. Neeshma kembali berdiri di dekat ceruk itu tanpa luka, namun menatap dirinya sendiri dengan bingung.

"B-bagaimana bisa?" Ia menatap lantai jebakan itu, lalu obor, lalu ceruk yang telah kehilangan nyalanya. Gadis itu mengangguk mengerti.

***

Rin Komori melangkah terhuyung-huyung dari ruang mahkota yang telah menjadi puing-puing karena pertempurannya tadi. Ia masih lemas dan penuh luka, namun tenaganya masih sisa. Setidaknya melawan dua orang lagi ia masih sanggup, pikirnya. Ia memang ceroboh terlalu memaksakan dirinya dalam pertarungan melawan Wildan, namun ia tak menyesal. Bocah itu memberinya pelajaran tentang semangat pantang menyerah.

Melewati sebuah lorong pendek, ia menemukan ruang luas yang lain. Kali ini ada beberapa jendela di sana, serta sebuah ceruk kecil yang menyala tak niat. Rin memasang kuda-kuda. Ruangan ini mungkin saja telah dilewati orang lain, sebab ia belum pernah melihat ceruk semacam itu menyala sebelumnya.

Seberkas sinar tiba-tiba meluncur dari kegelapan, namun ia masih cukup gesit untuk menghindar. Rin sadar, ia tak sendiri.
Ia menggeram marah, "Keluar dan hadapi aku pengecut!"

Dari tempat tembakan cahaya tadi berasal muncul seseorang dengan obor di tangan. Lawan terakhirnya.

"Aku hanya berniat mengucapkan salam." Neeshma Fraun tersenyum tipis. Air di sekitarnya membentuk bola-bola air yang melayang perlahan.

Sisa efek Rage milik Rin membuatnya melesat begitu cepat sampai ke hadapan Neeshma. Sang Pendeta Ombak bereaksi dengan menyabetkan sebuah cambuk air ke kepala lawannya. Rin menunduk cepat dan dengan lincah berpindah ke sisi gadis bersurai biru itu, sejurus kemudian sebuah tinju keras menghantam rahangnya kuat-kuat. Tenaga pukulan itu membuat Neeshma terlempar.
 Gadis Maan itu mengerang, sebuah gerahamnya lepas. Pusing yang hebat mendera kepalanya. Pipinya seperti baru terbentur batu karang. Serangan lanjutan begitu cepat, Rin tahu-tahu telah menjatuhkan diri ke tempat Neeshma terbaring dengan siku mengarah ke dadanya.
Dentuman menggema. Suara benda tumpul membentur daging terdengar di antaranya. Neeshma terbelalak, darahnya muncrat dari mulut ketika sebatang rusuk patah mencuat dari dadanya. Rin berdiri, lantas membatalkan gerakan ketika menyadari sang lawan telah ia hancurkan dengan mudah dengan satu serangan.

Rin tersenyum puas, ia menang mutlak.

***

Derak tulang beradu mengagetkan Rin dari lamunannya. Ia membalikkan badan dan mendapati tubuh gadis yang rusak itu tengah beregenerasi. Rusuknya telah masuk dan jaringan ototnya yang robek tersambung kembali dengan rapi. Kemampuan khas kaum Maan meregenerasi tubuh lukanya dengan memanfaatkan air, selama jantung mereka masih berdetak. Wanita itu mendadak merasa sendi-sendi tubuhnya ngilu menyadari sang lawan seolah tak terluka sama sekali.

"Aku yang akan memenangkan pertarungan ini, nona." Gadis Pendeta Ombak itu mengangkat kedua lengannya, bagai seorang konduktor orkestra yang sedang memberi perintah untuk memadukan nada. Bola-bola air di sekitarnya menurut, dan seketika menyatu membentuk tentakel-tentakel yang menempel pada punggungnya.
Sebuah tentakel melecut tajam ke arah kaki Rin. Refleks terlatihnya membuat ia masih mampu menghindar dan melesat ke samping. Neeshma melihatnya, dan sebuah bola air terbentuk dari satu bagian tentakel. Bercahaya, lantas menjadi seberkas sinar yang menghantam bahu Lady Steele telak. Serangan dadakan itu tak mampu Rin hindari maupun tahan, nyeri langsung merajam sekujur lengan kanannya. Patah bahu dan terkena tembakan plasma barusan membuat sisi kanan tubuhnya mengalami syok dan kebas.

Rin berteriak mencoba menghiraukan sakitnya. Dengan sisa tenaganya ia mencoba menyerang lagi. Dua sabetan tentakel ia hindari, dan kakinya yang lincah berhasil menusukkan lututnya ke perut Neeshma. Membuat gadis itu terpelanting ke arah jebakan tombak. Salah satu tombak terlempar menembus lehernya. Tubuh gadis itu terurai menjadi cahaya, dan tentakel-tentakel airnya jatuh mengguyur tubuh Rin.

"Tetaplah mati kali ini," desis Rin. Tak sadar api di ceruk di belakangnya mulai berubah warna dan terurai menjadi sebuah sosok manusia. "Aku akan-"

Ucapan Rin terhenti. Sosok di balik tubuhnya telah mengangkat tangan dan membuat air di tubuhnya menjadi bola yang memerangkap kepalanya. Ia tenggelam. Perlahan tapi pasti wanita itu mulai menghirup air, bukannya udara. Rin Komori terduduk lemas, masih mencoba merangkak ke arah Neeshma namun dadanya begitu sesak seperti akan meletus. Air telah membanjiri paru-parunya.

"Coba katakan itu lagi dengan air membekap mulutmu."

***

Portal cahaya berwarna biru muncul di depan sebuah bangunan. Alkima Inn, penginapan para peserta turnamen antar semesta ini. Dua orang gadis melangkah keluar darinya. Satu berbaju pelayan, dan satu lagi berbaju hitam nan basah kuyup.

"Selamat atas kemenangan anda, nona Fraun," ucap si gadis pelayan datar kepada gadis satunya. "Silahkan beristirahat."

Neeshma terlalu malas untuk menjawab. Ia memasuki penginapan lengang itu dan langsung menuju kamarnya. Sejenak ia menatap lukisan wajah pemimpin Alforea yang terpajang di dinding ketika sampai dalam ruangan.

"Tamon Ruu."

Ia melangkah ke kamar mandi dan merendam diri ke bathtub dengan kran terus mengucur. Neeshma memejamkan mata. Sesaat setelah ia membunuh wanita baja tadi, wahyu Bakhara kembali berbisik padanya. Mengilhamkan padanya sebuah informasi tentang sang Tamon Ruu, penyihir pemimpin negara penyelenggara turnamen ini. Dan Sang Topeng Merah—pencuri Lumen Margarita miliknya—tengah berada di sini, di dunia milik wanita itu. Tamon Ruu adalah kunci baginya mendapatkan Lumen sekaligus pencurinya.

Neeshma Fraun telah menemukan tujuan dirinya berada di tempat ini, sekaligus alasan ia membunuh lima orang beberapa jam lalu. Dan kini, melacak keberadaan Tamon Ruu adalah langkah berikutnya.


ROUND 1-SURVIVAL OF THE FITTEST-END

Link ke Facebook Thread

6 comments:

  1. This. is ... I am speechless o_o

    Gaya bahasanya nyastra, tapi gak terkesan sok. Sekiranya alami aja sebab OC utamanya sendiri emang tipe-tipe yang pantas dapat narasi begitu. Oh, dramatisnya. Diksinya luas. Ena sekali dibacanya XD

    Setiap OC dapet jatah POV. Naisu. Cuma Nely (lagi-lagi) agak kurang spotlight. Yha ... gpp, yang lain soalnya dapet dan saya rasa cukup menggambarkan perbedaan satu sama lainnya.

    Battlenya seru bingits, walau di beberapa bagian rasanya singkat. Dan beberapa adegan masih belum bisa terbayang di kepala. Kurang detail, barangkali? Tapi faktor otak saya lemot juga mungkin, ya~

    Wooogh, itu Ahran yang paling sesuai sm CS sejauh ini. Bahkan authornya sendiri OOC sama tokohnya. Hiikss T_T Hebat, hebat!! Seribu jempol andai saya punya XD

    Tapi kata siapa mantranya 'patlamak'? Bukan bhs Turki, lho~ #plak

    Neeshma. Kau. Ternyata. Jahat!! Harusnya saya jadiin dia mainboss di akhir nih, kalau tau begini jadinya. Ternyata ada hasrat sadisnya juga. Huhu, Aharon sahaja tyda demikian walaupun tampangnya semuram malam di pantai Sadid #digamparAhran

    Sayang Neeshma belum mengalami kesulitan berarti di ronde ini. Dan adegan tentakel bikin saya inget Tokyo Ghoul (?). Kegelapan bentengnya pun gak terlalu kerasa. Kurang suram dan kurang susah gitu yah, halangannya.

    Jadi ... Aharon aka Ahran titip nilai 8 buat Neeshma yang diam-diam menghanyutkan. Jangan kejam-kejam kalo ketemu Ahran lagi, ya. Ntar kena api amaterasu, loh XD

    *lebay mode: OFF

    -OC: Ahran

    ReplyDelete
  2. Ah, maaf deh :D saya sotoy make google translate dadakan biar pas gitu xD

    Kalo soal Nely, mungkin soalnya saya mikir itu battle in-door ya, makanya seorang sniper akan kekurangan efektivitas menurut saya.

    Kalo Neeshma yang kegampangan, itu soalnya ya itu. Dia perangnya ngelawan pikirannya sendiri. Makanya justru scene-nya Neeshma malah gak terlalu banyak berantem. Sebagai gantinya diisi berantemnya Lady Steele rage dan Wildan rage :v

    Makasih udah mampir btw~

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. >memanajemeninya
    Ini kedengeran aneh banget, mending disederhanain jadi mengaturnya aja

    Di tetes 5 entah kenapa saya ga bisa ngeliat Neeshma jadi karakter utama, soalnya berkesan malah lebih fokus ke Wildan yang banyak aksinya sementara Neeshma pergolakan batin doang

    Buat saya pribadi battlenya agak dragging dan masih kurang lancar buat diikutin, tapi poin plus di entri ini adalah face-heel turn (trope!) dari Neeshma, yang imejnya pas prelim saya kira bakal jadi karakter baik" aja

    Tapi bagus. BoR ini perlu banyak potential villain

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  5. [Laut sedang merasuki diriku, dan bercinta dengan jiwaku di sana]

    kalimat ini bikin kokoro meleleh~
    Bahasamu puitis sekali, saya harus banyak belajar dari sini.

    ..




    weh, Wildan meninggalkan Nely yang sekarat gitu aja?
    ._.

    Battle Wildan sama Mama Rin intens banget ya/..
    ._.


    Lolwut!? demi mao! wkwkwkwkwk
    XD

    Bahaya nih, Neeshma mulai kecanduan sama rasa darah, kalo kesiram darah sekujur tubuh dia bakalan multiple orgasm ya?
    #eh?


    Saya juga jadi punya impresi baru tentang Neeshma... dia itu Sadistik ya. Satu lagi OC yang pantas dijadikan Villain~
    ._.


    Point : 8
    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
  6. Wah, saya kaget tiba2 udah tetes 4. mungkin nyambung dari prelim ya? Awal pembukaan seger banget. Dan setuju sama yang di atas, penutup pembukanya (apa ini paradoks) word porn banget. Terus, pembukaannya juga nyuguhin adegan flashback yang sekelebat, ngasih hint ke masa lalu Neeshma. Pemotongan adegan rapi. Pembaca disuguhin battle di sana-sini secara terfokus. Battlenya padat juga ya. Banyak yang berkesan. Rin x Wildan yang sama2 nge-rage, paha nely yang diserang mao, obrolan delay waktu mau lawan ahran, sampai motif psikologis kekejaman neshma yang keungkap. Sayangnya di akhir rage rin keburu ngefek, jadi ga bisa ngasih perlawanan full power ke neeshma.

    8/10
    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete