14.6.15

[ROUND 1 - TEAM F] ZHAAHIR KHAVARO III - BROKEBACK LOS SOLEIL

ZHAAHIR KHAVARO III - BROKEBACK LOS SOLEIL

Episode 1 – First Blood
Penulis: Candle Light Dinner

I

Zhaahir berjalan terseok-seok melintasi hamparan putih Los Soleil. Kedua tangannya terlipat memeluk dada. Namun bukan turunnya salju dari langit yang membuat sang pangeran menggigil kedinginan. Sepi hati karena jauh dari kekasihlah yang menyebabkan hal itu.

"Betapa Tamon Ruu lebih kejam dari ibu tiri. Belum lama kami menikmati kemenangan atas Tamon Rah, kini ujian lain telah datang mendera."

Namun ada daya keluhan itu hanya bisa ia ucapkan dalam hati. Sesungguhnya pria sejati pantang bersungut-sungut. Pria sejati haruslah jantan, berani menghadapi segalanya demi membuka tirai masa depan yang lebih bercahaya.

Pemuda itu pun melihat alat pemberian dari Anastasia sang gadis maid berambut ungu. Bentuknya berupa tato merah yang menempel di punggung tangan. Terdapat semacam simbol lingkaran unik dengan ukiran namanya di bagian tengah.

Konon alat tersebut berfungsi untuk mendeteksi keberadaan peserta lain. Dan untuk memenangkan pertarungan ronde ini, ia harus mengumpulkan segel yang dimiliki kelima lawannya : Lo Dmun Faylim, Renggo Sina, Vajra, Ernesto Boreas, dan Reviss Aspencer. Lalu dahinya mengkerut di balik topeng, kala memikirkan cara untuk merebut sesuatu yang sudah diukirkan pada kulit.


Di tengah perenungan dalam itu, tiba-tiba ia merasakan sebuah 'kehadiran yang tak diharapkan'. Bukan peserta lain, karena segel radar di tangannya sama sekali tak bereaksi. Namun apapun itu, aura keberadaannyaa amat kuat, hingga membuat bulu-bulu kuduknya merinding untuk sesaat.

Zhaahir berbalik untuk melihat, lalu ia terbelalak.

Astaga!

Pemuda itu melihat sosok rusa hitam yang berukuran dua kali lebih besar dari kuda! Kedua matanya membelalak seputih salju! Tanduknya yang bercabang seperti dilapisi padatan es abadi! Namun semua tampilan fisik itu tak ada apa-apanya dibandingkan aura busuk yang terus disebarkannya!

Binatang yang harusnya tidak mungkin menginjakkan kaki di bumi. Sekalipun ada, pastilah penciptaannya tak direstui oleh Yang Maha Kuasa. Makhluk yang tak diragukan lagi telah dilaknat hingga hari kiamat.

Insting bertahan hidup sang pangeran membuatnya lekas mengaktifkan sebuah Fantasma Mulia yang memungkinkannya mencipta sebuah tombak dari ketiadaan. Ia memutar benda itu sekali, lalu memegang erat dengan kedua telapak tangan, bersiap dalam posisi mengacungkan ujung bilah.

Air liur menetes dari sela rahang sang rusa hitam, seolah menunjukkan bahwa dirinya sudah sangat kelaparan sehingga akan menelan siapa saja tanpa pandang bulu. Makhluk itu menggeram, lebih buas dari geraman binatang buas. Kemudian ia menerjang maju. Kaki-kakinya yang besar menghantam permukaan salju hingga meninggalkan bekas dalam.

Zhaahir memadatkan posisi tempurnya, bersiap untuk hantaman. Tapi semakin rusa itu mendekat, semakin ia bimbang, gundah gulana. Nampaknya tombaknya akan patah kalau harus berhadapan dengan tanduk kokoh milik makhluk itu. Maka pada saat-saat terakhir ia memutuskan cara yang lebih baik.

Sang pangeran melompat berguling ke samping, membuat tandukan rusa hanya mengenai salju kosong. Lalu ia segera mengganti tombaknya dengan busur, untuk bisa menembakkan anak panah dari posisi setengah berlutut. Tapi meleset. Tembakan yang terburu-buru itu tidak melukai siapapun.

"Astaga," gumamnya mengumpati diri sendiri.

Rusa hitam yang marah kembali menerjang. Tak punya waktu untuk membidikkan anak panah berikutnya, sang pangeran langsung mengganti busur dengan perisai hitam berlafadzkan 'Kekaisaran Khavaro'. Ketika tandukan rusa menghantam pertahanan perisai dari atas, ia langsung tertekan ke bawah hingga lututnya nyaris tenggelam dalam permukaan salju.

Untuk beberapa saat keduanya saling dorong, tak ada yang mau mengalah. Namun selalu ada kesempatan dalam kesempitan, itulah yang telah digariskan takdir sedari dulu. Sambil bertahan dengan tangan kiri, Zhaahir mematerialisasi sebilah pedang melengkung di tangan kanan, lalu menikam leher sang rusa.

Makhluk itu langsung berjingkrak mundur. Darah segar memancar deras dari luka tusukan di lehernya, membuat sang pangeran dan hamparan putih di sekitarnya bermandikan cairan merah. Binatang laknat itu mengamuk untuk beberapa saat, hingga cairan mulai terkuras habis dari dalam tubuhnya. Pada beberapa hitungan kemudian, keempat kakinya tak lagi sanggup menopang tubuh. Akhirnya ia ambruk, mengotori dunia dengan jasadnya.

"Astaga, menegangkan sekali," gumam Zhaahir sambil menghela nafas lega, lalu menjatuhkan dirinya di atas salju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menenangkan jantung yang berdebar kencang. Sayangnya ini belum apa-apa, melainkan hanya awal dari drama kelam yang penuh kepedihan.

II

Vajra merasakan punggung tangan kirinya berdenyut panas. Tak salah lagi, ada peserta lain yang berada dalam radius seratus meter dari tempatnya berdiri sekarang. Namun meski ia sudah menempatkan diri pada sebuah puncak tinggi di antara pegunungan salju, ia masih tak melihat siapapun. Kelihatannya seseorang tengah mengendap-endap di sekitar, berkamuflase di antara hujan salju yang mulai turun.

Pria itu berdecak, memikirkan betapa menyedihkan orang yang saat ini tengah mengincar nyawanya. Dia pastilah pengecut yang malu menampilkan hidungnya secara langsung. Tapi tidak masalah. Pada akhirnya si pengecut tetap akan menunjukkan diri jika ingin menyerang, sekali pun dari belakang. Ketika itu terjadi, sang dalang hanya perlu bergerak lebih cepat untuk melumpuhkan si pengecut.

Maka ia menunggu di sana sambil bersedekap. Matanya begitu awas memperhatikan sekeliling. Tubuhnya bergeming seakan tertancap kaku ke bumi. Bahkan tiupan angin dingin tak membuatnya menggigil, meski yang ia kenakan hanyalah selapis zirah pelindung dada.

Tapi rupanya ia tak sendirian. Beberapa sosok hitam yang berjalan dengan empat kaki mulai nampak di bawah sana, mungkin ingin menemani. Awalnya hanya dua ekor, lama kelamaan terus bertambah menjadi empat... delapan... dua belas... dua puluh. Ada dua puluh rusa hitam yang saat ini bergerak mengepung Vajra.

Pria itu menghela nafas, lalu bersuara lantang. "Namaku Vajra, yang mewarisi tiga pusaka sakti dari epos Mahabarata! Pergilah kalian semua wahai angkara mungkar, jika tidak ingin merasakan betapa sesungguhnya pusaka-pusaka ini bukan hiasan semata!"

Sayangnya jelas itu adalah suatu bentuk kesia-siaan, dengan berbicara kepada makhluk yang hidup hanya mengandalkan insting. Rusa-rusa lapar itu mulai menggeram. Walau langkah mereka sekilas tampak seperti tak beraturan, sebenarnya binatang-binatang itu bergerak dalam formasi perburuan yang sempurna. Mereka membuat jarak satu sama lain, hingga dari atas akan terlihat bagaikan pukat yang hidup. Rasanya mustahil membayangkan ada mangsa yang bisa lolos begitu mereka beraksi.

Hanya saja, Vajra terlalu tinggi bila dikategorikan hanya sebagai mangsa. Rasa takut sama sekali tak terbersit di matanya. Malah, ia menatap kasihan pada makhluk-makhluk yang saat ini tengah mengincar nyawanya.

"Apa boleh buat jika itu mau kalian."

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya ke depan. Cahaya kebiruan langsung bersinar dari batu akik yang tersemat di gelangnya, Gelang Gandiwa. Dalam sekejap tekanan prana yang luar biasa terpancar dari sana. Tekanan energi yang harusnya membuat siapa pun yang memiliki akal akan terperanjat ngeri.

Tapi para rusa hitam tak memiliki akal. Mereka yang membentuk formasi berdasarkan insting semata, langsung menerjang secara bersamaan. Sebuah gerakan yang sayangnya merupakan pelatuk dari proses kematian mereka sendiri.

Panah-panah petir Pasopati pun melesat dari gelang Vajra. Tembakan yang tanpa jeda, menyengat tanpa penghambat, dan membunuh tanpa ampun. Seperti pilar-pilar cahaya yang jatuh dari langit, memberi penghakiman pada orang-orang berdosa. Kemegahan yang dalam hitungan detik membuat rusa-rusa di bawah sana terhujam, hingga berubah menjadi tumpukan bangkai menjijikkan. Bahkan suara kesakitan pun tak terdengar, membuat pembantaian begitu mudah. Tak ada bedanya dengan seseorang yang menekan dua puluh ekor semut di hadapannya tanpa kesulitan berarti.

Ketika tidak ada lagi rusa yang bergerak, Sang Vajra menghela nafas. Masalah sudah disingkirkan. Kini ia harus kembali bersiaga. Namun tidak lama kemudian ia sadar, jika orang yang tadi mengincarnya kini sudah tak terasa di mana pun. Ia ditinggal seorang diri.

"Ke mana perginya orang itu?"

III

Ernest berlari tunggang langgang menuruni badan gunung. Berkali-kali ia nyaris terperosok dalam kubangan salju, namun insting bertahan hidup tak pernah membiarkan tubuhnya benar-benar jatuh. Wajahnya pucat pasi, dengan sepasang mata yang terbelalak lebar diselimuti teror. Dari rahangnya yang menggigil, terdengar gumaman sumpah serapah.

"Margarita sialan... Margarita sialan... Margarita sialan..."

Kengerian macam apakah yang telah menyihir seorang Ernesto Miguel Boreas hingga menjadi seperti anak kucing yang ketakutan?

Semua dimulai dari satu jam yang lalu, ketika ia dan lima peserta lain ditempatkan secara acak di alam pegunungan salju Los Soleil. Misi mereka adalah untuk saling tikam dari belakang dengan kamuflase badai – setidaknya itu yang ia pahami. Dalam keadaan di mana hanya ada satu pemenang yang diperbolehkan keluar sebagai juara, maka hanya ada satu peraturan yang berlaku : membunuh atau dibunuh.

Ia mulai bergerak mengendap dalam kesunyian, memanfaatkan keahlian yang telah ditempa selama bertahun-tahun sebagai Assassin. Seakan dewi fortuna berpihak padanya, ia segera berhasil menemukan target. Seorang pemuda berambut hijau dengan pecahan topeng yang menutupi setengah bagian wajah – Vajra.

Ernest belum begitu tahu seperti apa dan seberapa hebat kekuatan Vajra, namun ia mengetahui satu fakta dari pengalamannya melakukan misi eliminasi selama ini. Bahkan orang terkuat pun akan mati jika ditikam dari belakang. Walaupun itu seperti trik seorang pengecut, harus diakui bila unsur kejutan memiliki efektivitas yang tinggi dalam melumpuhkan lawan.

Perlu waktu cukup lama Ernest menguntit Vajra sembari mengaburkan eksistensi dirinya sendiri di balik kamuflase salju. Lalu tibalah momen yang telah ia nanti-nanti. Segerombolan rusa hitam datang mengepung targetnya. Apabila ia bisa memanfaatkan celah di antara kekacauan ketika Vajra berhadapan dengan para rusa, maka misi ini akan berakhir dengan cantik.

Pemuda itu pun mulai bersiaga. Seringainya hampir lebar ketika melihat rusa-rusa hitam menyerang. Ia nyaris melesat dengan kombinasi trik Shadow Stalk dan Swift Shift demi memastikan kemenangan sempurna. Hanya saja, pemandangan yang ia saksikan berikutnya langsung melunturkan segala keyakinan yang sempat ia miliki.

Tubuhnya menjadi kaku seketika kala melihat sosok dewa yang tengah menurunkan penghakiman. Hanya tiga detik lebih sedikit, dan gerombolan rusa hitam sudah terkapar tak berdaya seluruhnya. Sekelebat bayangan pun melintas dalam benaknya, mengimajinasikan nasibnya apabila menampakkan diri di hadapan sang manusia berajian dewa petir. Cukup tiga detik, dan seluruh hidunya akan berubah menjadi kesia-siaan.

Pemuda itu pun berlari. Ia khawatir jika sampai persembunyiannya terbongkar. Ia belum mau menemui akhir hayat di tempat seperti ini, di tangan orang asing.

Untuk pertama kali sepanjang sejarah, seorang Ernesto Miguel Boreas melarikan diri. Bukan untuk mengatur ulang strategi, tapi murni karena dirinya dikuasai ketakutan primal.

"Margarita sialan!" Ia melangkah terlalu di tepi hingga salju yang ia injak longsor.

Pemuda itu terperosok jatuh dari tebing, menghantam tumpukan salju lainnya, lalu terguling hingga terus ke bawah. Saat lajunya berhenti, ia tak tahu lagi tengah berada di mana. Yang ia tahu, segel radarnya tak lagi berdenyut yang berarti ia sudah berada cukup jauh dari Vajra.

"O Margarita, apa yang harus kulakukan," ia berdecak seraya berusaha bangkit dari tumpukan salju. Langkahnya terhuyung, lalu tubuhnya disandarkan pada sebuah batu besar dekat tebing. Ia termenung memandang butiran salju yang turun, dan berkata entah pada siapa, "Apa intrik dan muslihat masih memiliki arti di depan kekuatan absolut?"

Angin tidak menjawabnya, meski kemudian ia mendengar bisikan sayup-sayup dari kejauhan. Ia yakin itu bukan suara hujan salju maupun rusa hitam. Ditambah dengan segel radar yang mulai berdenyut pada dua titik, membuatnya segera tahu jika ada peserta lain yang mendekat ke arahnya.

"Apa itu Vajra?"

Pemuda itu lekas berdiri lalu mencari tempat persembunyian aman di balik bebatuan, sementara berusaha mengamati keadaan sekeliling. Dadanya mulai berdebar keras. Rahangnya terkatup erat.

"Aku tidak boleh takut," ucapnya dalam hati. "Vajra atau siapapun, akan kuhabisi."

Tampak dua sosok manusia yang tengah berlari dari kejauhan. Yang pertama adalah anak remaja berjubah coklat, Lo Dmun Faylim. Agak jauh di belakangnya adalah seorang pria dengan pakaian hitam, Reviss Aspencer.

"Apa yang mereka lakukan? Apa mereka sedang bekerja sama?"

Namun tabir misteri dari pertanyaan Ernest lekas tersibak kala ia melihat Reviss mengacungkan kedua pistol pada Lo Dmun. Pelatuk sudah hampir ditarik ketika tiba-tiba ia mengubah arah lari dengan melontarkan diri ke samping. Kemudian sebuah ledakan tercipta pada titik yang seharusnya ia lewati jika tak menghindar tadi.

Setelah mengembalikan mempertahankan kecepatan dan keseimbangan, Reviss kembali membidik. Lalu pelatuk benar-benar ditarik. Suara letusannya menggelegar, menggetarkan seluruh lembah bersalju.  Sekilas kemudian Lo Dmun jatuh terjerembab.

Ernest memicingkan mata untuk memfokuskan penglihatan. Firasatnya berkata, sebentar lagi proses eliminasi akan terjadi. Ia merasa tak boleh melewatkan hal itu.

IV

Reviss merasa beruntung karena menggunakan Forecast tepat waktu, hingga ia bisa melihat ledakan dinamit lima detik lebih awal pada jalur yang akan ia lalui. Entah bagaimana Lo Dmun sempat menanamkannya di balik permukaan salju. Tapi yang penting sekarang adalah, ia berhasil membuat anak itu terjerembab dengan tembakannya.

Pria itu terus berlari mendekat agar bisa melakukan eksekusi secara sempurna. Ia sama sekali tak ada niat untuk mengulur pertarungan barang sedetik pun. Namun Forecastnya yang masih bekerja mendadak memperlihatkan visi, yang mana dalam lima detik Lo Dmun akan membuat lubang untuk melarikan diri.

Reviss berdecak. Pria itu tak akan bisa mencapai posisi target dalam lima detik. Maka begitu jarak di antara mereka tinggal sepuluh meter tersisa, ia mengaktifkan jurus andalan yang membuatnya mendapat julukan The Jumper. Ia menggunakan Reposition hingga tubuhnya mampu bergerak cepat seperti kilat. Dalam satu kedipan mata, ia sudah berada nyaris di atas Lo Dmun.

Si anak laki-laki targetnya itu pun terbelalak, tapi bukan tanpa daya. Lo Dmun berguling ke belakang tepat ketika dua timah panas melesat dari sepasang pistol Reviss. Rupanya luka tembak di kaki tak mengurangi refleks dan kelincahan sang anak hilang.

Namun kengerian Reposition belum selesai sampai di situ. Seperti petasan cabai yang terus merentet begitu dinyalakan, kombinasi gerak Reposition tak akan berhenti hanya karena satu serangan meleset. Dalam kedipan kedua, Reviss sudah berada di sisi kiri Lo Dmun.

Suara dua letusan peluru kembali terdengat. Tapi lagi-lagi Lo Dmun berhasil menghindar. Menyaksikan itu, Reviss mempercepat gerak berpindahnya. Namun Lo Dmun tetap mengimbangi, hingga alunan Reposition berakhir.

Kini giliran Reviss yang terbelalak. Dua kemampuannya, Reposition dan Foresight, harusnya merupakan satu kesatuan yang tak terkalahkan. Tapi nyatanya di hadapan refleks super, kemampuan melihat masa depan itu jadi sia-sia. Ia tak bisa menebak pergerakan lawannya hingga detik terakhir.

"Sekarang giliranku!" Lo Dmun melompat satu langkah ke belakang lalu menekuk setengah lutut. Ia menyentuh permukaan salju dengan satu telapak tangan. "Apertis!"

Tiba-tiba lubang yang cukup lebar tercipta di bawah kaki Reviss. Pria itu sama sekali tak memperkirakannya. Bukan ia tak memperkirakan kemunculan lubang, tapi ia tak memperkirakan efek kemampuan Forecastnya baru saja berakhir. Tanpa sempat berbuat apa-apa, ia jatuh terperosok.

"Solvo!" seru Lo Dmun dihiasi ekspresi penuh kemenangan. Yang baru saja ia ucapkan adalah mantra untuk menutup kembali lubang yang ia ciptakan. Tak pelak, Reviss terjebak di dalamnya dengan hanya menyisakan kepala yang menyembul keluar.

"Sialan!" decak sang pelompat kesal. "Lepaskan aku!"

Lo Dmun mengerutkan dahi. "Susah payah aku menangkapmu, kenapa aku harus melepasmu?"

Memang benar. Mendadak Reviss merasa konyol telah mengucapkan kalimat barusan. Tapi memangnya apa lagi yang harus ia katakan dalam situasi seperti ini.

"Kalau begitu," Lo Dmun mendekati Reviss sambil menahan perih luka di betisnya. "Kita buat perjanjian. Kau berikan radarmu, dan aku akan melepasmu."

"Yang benar saja?!" seru Reviss spontan.

Pria itu geram mengeratkan rahang. Anak laki-laki di hadapannya pasti terlalu polos hingga berpikir bisa membuat penawaran semudah itu. Apa gunanya lepas dari jebakan tapi harus menderita kekalahan setelah menyerahkan radar. Lagipula segel radar dalam ronde ini terukir di kulit, maka pasti sakit sekali jika harus melepaskannya.

"Jika kau berkeras kepala," Lo Dmun tampak ragu sesaat sebelum melanjutkan, "aku terpaksa menggunakan jalan kekerasan."

Tiba-tiba Reviss tersenyum masam mendengarnya. Lalu ia terkekeh. Awalnya pelan, hingga lama-kelamaan menjadi tawa keras yang mengecilkan hati. Matanya menatap lebar seolah sedang menyaksikan pertunjukkan di hadapannya.

"Apa yang lucu?" tanya Lo Dmun semakin ragu.

"Sejak kecil aku sudah hidup di dunia yang keras, dan sampai akhir aku selalu menapaki jalan yang penuh dengan kekerasan," ucap Reviss di sela tawanya. "Beritahu aku, kenapa sekarang aku harus takluk pada ancaman kekerasan darimu?!"

Lagipula jika pria itu menyerah, maka perjalanannya dalam turnamen ini akan sia-sia. Kesempatan kedua yang ia cari akan sirna. Ia tak mau hal itu terjadi begitu saja. Jika harus kalah sekali pun, setidaknya ia akan melakukannya setelah titik darah penghabisan.

Maka Lo Dmun mengeluarkan sebuah alat yang Reviss tahu jelas apa itu. Peledak yang dikenal sebagai dinamit.

Kemudian anak itu menatap Reviss dengan tatapan yang sendu. Semacam tatap kasihan pada anak anjing yang tergeletak di tepi jalan. Tatapan yang membuat sang pria muak.

"Maaf," kata Lo Dmun.

"Tidak," balas Reviss dengan rahang tererat. "Akulah yang harusnya minta maaf."

Tiba-tiba permukaan salju di bawah kaki Lo Dmun meledak. Anak itu terpental jauh, sementara salju yang mengurung Reviss membuyar.

"Apa... yang terjadi?" rintih Lo Dmun. Tubuhnya masih tergeletak lemah.

"Tidak ada... hanya saja kekalahan sudah datang menjemputmu."

Reviss malas menjelaskan bahwasanya selama terjebak tadi, ia menggunakan kekuatan Augment pada sarung tangannya untuk menggali lubang. Beruntung yang perlu ia gali hanyalah salju, bukan tumpukan tanah. Lalu ia memasang sebuah granat, tepat di bawah tempat yang telah ia prediksi akan dipijak oleh Lo Dmun dengan memanfaatkan Forecast.

Tentu saja, dalam jarak sedekat itu mau tidak mau ia juga menerima efek ledakan. Karena itulah saat ini ia tengah terhuyung, mencoba bangkit dari tumpukan salju dengan susah payah.

"Sekarang aku akan mengambil radarmu."

Reviss mengacungkan kedua pistolnya pada anak laki-laki yang tak berdaya. Hal yang mengingatkannya pada hari kematiannya sendiri, tapi memang begitulah hidup. Kau harus menjadi keras agar tak mejadi pihak yang menjadi korban kekerasan.

Namun saat pelatuk ditarik, ternyata sudah tidak ada peluru tersisa di magasin. Pria itu berdecak kesal, lalu membuang pistolnya. Ada saja halangan yang datang. Sebagai ganti, ia mengeluarkan dua batang besi yang berujung tajam.

"Sorry, nothing personal," Reviss membisikkan sesuatu dalam bahasa negeri asalnya sebelum mengangkat kedua besinya tinggi-tinggi. "See you in hell."

Tapi tiba-tiba ia merasakan sesuatu menembus tubuhnya. Muncul sensasi familiar ketika jantungnya merasakan pedih yang menyakitkan. Tubuhnya menjadi kaku sekaligus lemas seketika. Saat ia melihat ke bawah, tampak bilah merah yang mencuat keluar dari dadanya.

Mencoba memahami keadaan, Lo Dmun berusaha keras untuk berdiri di atas kedua kakinya seperti anak kuda yang sedang belajar berjalan. Dan anak itu juga tebelalak, sama kaget dengan Reviss, yang berarti anak itu belum melakukan apa-apa.

Seseorang telah menikam sang pelompat dari belakang.

"Sial..."

Saat bilah merah itu dicabut dari dadamua, darah mengalir deras. Kedua lututnya lemas, hingga ia jatuh tengkurap di atas salju. Untuk kedua kalinya ia merasakan kematian saat penglihatan, pendengaran, juga indra-indra lainnya berhenti berfungsi.

Tapi tetap, ia tidak menyesal. Setidaknya ia sudah berjuang hingga titik darah penghabisan, menempuh pertarungan yang baik.

V

Ernest berdiri mengatur nafas di hadapan mayat seorang pria yang ia kenal sebagai Reviss Aspencer. Sebilah pedang merah yang ia ciptakan dari Auro tergenggam penuh darah di telapak tangannya. Tatapan pemuda itu menjalar, mengamati dalam kalau-kalau korban yang ia tikam masih bernafas. Namun sepertinya sang pelompat sudah mati, benar-benar mati. Ya, karena orang akan mati jika dibunuh.

Sekarang ia perlu membunuh satu peserta lagi – Lo Dmun – dan rencananya akan berjalan mulus. Sejak dulu menyelinap di antara pertarungan dan mengeliminasi kedua belah pihak memang merupakan keahliannya. Pertama, habisi pihak yang sepertinya akan menang. Baru kemudian habisi pihak yang sudah terluka parah hingga tak bisa melawan lagi. Memang licik, tapi salahkanlah mereka yang telah mendidiknya sebagai seorang Assassin.

Pemuda itu pun menatap ke arah si anak laki-laki yang... mulai sesenggukan. Mata Lo Dmun sudah berkaca-kaca, dan anak laki-laki itu mengusapnya menggunakan lengan baju.

"Terima kasih kak – " isaknya. "Hik, hik – "

Ernest terperangah. Anak laki-laki di hadapannya pasti tidak mengira jika akan menjadi korban keganasan pedang Auro yang berikutnya.

"Ya... sama-sama."

Akhirnya pemuda itu memutuskan untuk sedikit terlibat dalam permainan ini. Ia membentuk senyuman paling indah yang telah dilatih dalam penyamaran-penyamarannya sebagai Assassin. Lalu ia berjalan mendekat dengan gestur bersahabat, guna menyembunyikan nafsu membunuh hingga saat-saat terakhir.

"Tapi, kenapa kakak menolongku?'

Langkah Ernest terhenti. Bukan untuk memikirkan jawaban dari pertanyaan Lo Dmun, melainkan karena pertanyaan itu baru saja memancing sebuah ide dalam benaknya. Strategi yang mungkin bisa membawanya keluar dari pegunungan es Los Soleil ini sebagai pemenang... mengalahkan Vajra.

"Dia terlihat jahat," ujarnya. "Aku bisa merasakan nafsu membunuh bahkan dari jauh. Aku tak bisa membayangkan, apa jadiya jika orang semacam itu memenangkan hadiah berupa pengabulan permintaan oleh Tamon Ruu. Bisa saja itu akan melahirkan kejahatan di dunia ini."

Rasanya Ernest ingin terbahak dalam hati setelah mengucapkan segala omong kosong barusan.

"Aku tidak suka kejahatan," ucap Lo Dmun setelah mulai tenang. "Kalau kakak sendiri, apa yang kau inginkan?"

Ernest mengerutkan kening, lalu melipat tangan di dada. Ia membuat ekspresi orang yang tengah berpikir keras. "Entah," jawabnya kemudian. "Aku tidak terpikir apapun. Yang jelas untuk saat ini aku ingin menjauhkan orang-orang jahat dari kursi juara."

Lo Dmun mengangguk-angguk. Mungkin anak itu menelan mentah semua ucapan Ernest.

"Oh ya, di pegunungan ini ada satu petarung yang sangat kuat... dan jahat," lanjut Ernest. "Ia adalah Vajra, manusia setengah dewa yang bermandikan petir." Pemuda itu membuat jeda sejenak, mengolah keraguan. "Kalau bisa aku tidak ingin melibatkan orang lain untuk menghentikannya. Aku tidak mau ada orang lain yang terluka. Hanya saja... sepertinya aku sendiri tidak memiliki cukup kekuatan."

Lo Dmun tetap diam, mendengarkan dengan seksama.

"Ya, aku tahu ini sangat egois. Harusnya aku tidak meminta ini pada orang yang terluka. Tapi... maukah kau membantuku menghadapi Vajra?"

Keheningan merebak. Ernest terus menunggu jawaban Lo Dmun dengan sedikit harap-harap cemas. Jika anak itu menolak, maka ia harus memenggal kepalanya saat itu juga untuk menghindari ancaman di masa depan.

"Baiklah kak."

Ernest nyaris tidak percaya, "Apa?"

"Aku akan membantumu," tegas Lo Dmun mantap. "Meski aku tinggal di dunia yang penuh kejahatan, ayah selalu mengatakan agar aku tetap berdiri melawan kejahatan itu. Tak peduli meski karenanya aku menjadi musuh dari seluruh dunia, karena suatu saat nanti harapan pasti akan datang."

Harapan? Kedamaian? Ernest sepertinya pernah mengenal dua kata itu. Ya, itu adalah kemewahan yang hanya dimiliki para penguasa, setidaknya sebelum ia datang untuk mencabut nyawa mereka. Tapi untuk sekarang ia harus memainkan perannya sebaik mungkin.

"Ayahmu orang yang hebat, seperti besi yang menolak untuk bengkok meski terus dipanaskan hingga ribuan derajat."

Pujian Ernest membuat Lo Dmun tampak tersipu malu sekaligus bangga.

"Kalau begitu sebaiknya kau istirahat dulu," Ernest mengakhiri pembicaraan lalu menatap mayat Reviss. "Oh ya, menurutmu bagaimana cara melepas segel radar dari punggung tangannya? Ah, bukannya aku ingin merebut darimu, aku justru ingin memberikannya padamu. Mungkin kau akan membutuhkannya untuk berjaga-jaga."

Lo Dmun berpikir sejenak, lalu memperhatikan pedang yang dibawa Ernest. "Potong saja... sepertinya tidak ada cara lain."

Episode 2 – Night Of The Living Men

VI

Renggo menatap langit yang semakin gelap. Temperatur udara sudah menurun drastis. Salju yang turun tidak selebat siang tadi, namun kabel-kabel di tubuhnya sudah terlanjur agak konslet. Pergerakan mekanisnya mulai kaku, ditambah langkahnya yang berat seringkali terperosok dalam permukaan salju lembut.

"Sudah hampir malam," ucapnya. Visor merah di wajahnya menyala kala ia berbicara.

"Ya, memangnya kenapa?" balas Operator, yang bersuara melalui sensor bola berbentuk mata di dada Renggo. "Kalau kau tidur, bisa-bisa besok pagi mesinmu tak mau menyala karena membeku!"

"Bukan itu maksudku..." Renggo terdengar merasa bersalah setelah dimarahi. "Padahal hari hampir malam tapi kita belum menemukan peserta lain." Ia mengangkat segel radarnya di hadapan sensor bola mata untuk menunjukkan. "Apa benda ini tak berfungsi?'

"Ya, mungkin kau sudah ditipu. Dasar bodoh."

Tapi sesungguhnya Renggo tidaklah ditipu. Ia hanya tidak tahu jika segel radar berfungsi dengan cara memberi rasa panas, denyut, atau pun sakit. Karena tubuh besinya tak memiliki syaraf penerima rangsangan semacam itu, ia jadi tak tahu ketika radar sebenarnya sedang bekerja.

"Apa aku harus berjalan sepanjang malam?" tanya Renggo lagi.

"Ya, kau harus berjalan supaya tidak diam!"

Renggo pun berjalan dengan patuh, melintasi medan terjal. Ia mencari dan terus mencari, meski tak tahu apakah pada akhirnya akan bisa menemukan sesuatu. Sampai akhirnya ia tegelincir di permukaan bukit yang curam. Ia jatuh terguling-guling hingga tertimbun tumpukan salju.

"Renggo! Dasar bodoh! Cepat bangun!" seru Operator panik.

"I – ya," susah payah robot itu menggapai-gapaikan tangan untuk menarik tiga perempat tubuhnya yang terkubur salju. Namun sendinya semakin kaku. Kabel-kabel yang mencuat dari sendinya juga kerap memercikkan arus pendek.

Lalu, sebilah pedang tiba-tiba memotong pergelangan tangannya dengan sekali jagal.

"UAAAAAAAHHH!!!" teriak Renggo dan Operator secara bersamaan. Bukan sakit yang mereka rasa, tapi terkejut karena tangan yang dipotong adalah tangan yang mana segel radar terukir di atasnya.

"UAAAAAAAHHH!!!" Siapapun pelaku pemotongan itu, ia juga ikut terkejut lalu melompat mundur ke belakang.

Renggo melihatnya, sosok bertopeng perunggu yang ia yakin merupakan peserta turnamen ini.

"Zhaahir!" seru Operator sengit. "Berani-beraninya kau menggunakan cara licik seperti ini!"

"Ma – maaf!" Tak disangka-sangka, pemuda itu tidak langsung melarikan diri. Nada suaranya juga terdengar mengisyaratkan rasa bersalah. "Kupikir kau sudah mati, jadi langsung kupotong saja tanganmu..." Ia segera berjongkok, lalu meletakkan potongan di dekat Renggo yang sebagian besar tubuhnya masih tertimbun salju. "Ini, kukembalikan."

"Untung saja Renggo ini robot! Bagaimana kalau dia manusia? Memangnya tangan yang putus bisa dilas hingga tersambung lagi? Kau ini jangan sembarangan ya!" Operator terus mengomel.

"Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja!" Selepas menyerukan itu, Zhaahir mendekati Renggo, lalu ikut berusaha menarik keluar tubuhnya. "Aku akan membantumu sebagai permintaan maaf!"

Akhirnya mereka bahu membahu berusaha mengalahkan jebakan salju. Renggo menarik, sementara Zhaahir mendorong. Sesekali sang pangeran juga menggali untuk membebaskan bagian tubuh yang tenggelam terlalu dalam. Setengah jam kemudian, misi berhasil.

"Akhirnya..." Zhaahir menghela nafas sambil duduk santai.

"Terima kasih,' kata Renggo seraya mengambil potongan tangannya.

"Tidak, itu sudah kewajibanku," balas Zhaahir.

"Hei," tiba-tiba Operator berbisik pada Renggo. "Ini kesempatanmu, habisi orang itu selagi ia lengah!"

"Eh? Tapi kita hutang budi padanya!" Si robot balas berbisik sambil bergerak perlahan menjauhi Zhaahir.

"Tapi dia memotong tanganmu!" seru Operator. "Lagipula sudah sewajarnya dalam turnamen ini kalian saling menghabisi!"

Renggo jadi bimbang. Apalagi saat ia menoleh, ia melihat Zhaahir melambai padanya dengan sangat bersahabat. Rasanya ia tak tega jika harus melakukan perintah Operator.

"Bukankah kau menginginkan ingatanmu?" tanya Operator dengan nada menggoda.

"Baik, baik, tapi kita lakukan dengan caraku!" seru Renggo.

"Eh?"

Renggo berbalik, lalu berteriak, "Zhaahir, ayo kita bertarung!"

"Akhirnya!" jawab pria itu seraya bangkit berdiri. "Ini yang kutunggu-tunggu, pertarungan selayaknya ksatria!"

Tapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Refleks Renggo menoleh. Kalau saja visornya memiliki fungsi untuk membelalak, benda itu pasti sudah terbelalak sekarang. Di sana, dari balik puncak-puncak bukit, tampak gelombang badai salju yang luar biasa, bergerak dengan kecepatan dahsyat.

"Lari! Lari!" seru Operator. "Mesinmu bnar-benar tidak akan bisa menyala lagi besok pagi!"

"Setuju!"

Renggo baru saja hendak lari, ketika ia menyadari Zhaahir menyerbu ke arahnya.

"Hei, apa yang mau kau lakukan?" seru sang robot. "Sekarang bukan saatnya untuk bertarung!"

Namun pemuda itu tak menggubris. Ia menerjang dengan telapak tangan membuka. Terpaksa Renggo menyilangkan kedua tangannya untuk menahan.

"Makan Malam Romantis Di Hisaria!!!"

*

*

*

*

*

Renggo bingung. Ia tidak mengerti. Sesaat yang lalu badai salju nyaris menghempasnya, tapi kini ia sudah duduk di hadapan sebuah meja besar yang dipenuhi berbagai santapan lezat. Di seberangnya, tampak Zhaahir yang juga sedang duduk.

"Apa? Di mana ini?"

"Hisaria," jawab Zhaahir lalu bangkit dari duduknya. Ia mulai jalan perlahan mengitari ruangan megah dengan arsitektur yang amat eksotis. Tangannya mengembang terbuka. "Sebuah realitas buatan, benteng sakral yang sebenarnya kuciptakan hanya untukku dan Eri seorang."

"Lalu kenapa kau memasukkanku ke dalamnya?" sela Renggo penasaran.

"Karena," Zhaahir berhenti di depan pintu kaca besar, lalu membukanya. Alunan musik padang pasir pun masuk terbawa tiupan angin. "Karena jika tidak, kita akan terjebak di sana, di antara badai salju. Di sini kita akan aman. Kita bisa kembali saat fajar tiba di dunia sebelah sana."

Renggo terenyuh, lalu berbisik pada Operator, "Orang ini... Aku tak ingin melawannya!"

"Bodoh! Kalau kau tak menghabisinya bagaimana kau akan memenangkan turnamen ini?!"

"Ya?" Mendadak Zhaahir berbalik. "Kau mengatakan sesuatu?"

"Ti – "

"Renggo akan menghabisimu!" Operator langsung berseru menyela sang robot. "Di sini, sekarang juga!"

"Tidak! Tidak sekarang! Kita berhutang budi pada orang ini!" balas Renggo.

"Apa kau tidak sadar, mungkin saja tempat ini adalah jebakan!" Operator mulai naik pitam.

"Tapi jika kita tidak dibawa ke tempat ini, pasti sudah tamat riwayat kita!"

Keduanya terus berdebat sengit. Mereka begitu terfokus antara satu sama lain, sehingga tidak menyadari Zhaahir mendekat dengan sebuah perisai yang diambil dari hiasan dinding. Kemudian...

CRAK

Zhaahir menghantam sensor bola di dada Renggo hingga remuk. Butuh beberapa detik bagi si robot untuk memahami yang terjadi sebelum menjerit histeris.

"UAAAAAAAHHH!!!" Renggo melompat satu langkah, lalu melepaskan bogem mentah. "Apa yang kau lakukan?!"

Zhaahir menangkisnya dengan perisai. Namun kekuatan tinju yang begitu dahsyat tetap membuatnya terlontar ke belakang hingga menabrak dinding.

"Operator! Operator! Kau bisa dengar aku?!" teriak Renggo panik tapi tak ada jawaban.

"Aku hanya ingin kau mendengarkan suara hatimu saja," ucap Zhaahir sembari mengembalikan keseimbangan. "Terserah jika kau mau melawanku sekarang atau nanti, asalkan keputusan itu datangnya dari dirimu sendiri, bukannya paksaan sebuah bola mata aneh."

"Tapi aku ini robot, aku tidak memiliki hati!"

"Kau bisa bicara. Kau bisa berpikir. Tak mungkin kau tak memiliki hati."

"Memangnya suara hati itu seperti apa?"

"Kemarilah," ucap Zhaahir sembari berjalan melewati pintu, menuju balkon.

Renggo mengikuti sambil menambahkan, "Suara Operator jauh lebih jelas, bahkan kau bisa mendengarnya, mengapa kau tak menyebut itu sebagai suara hatiku?"

"Karena suara hati seseorang tak seharusnya bisa didengar orang lain," jawab Zhaahr. Ia bertumpu pada pagar hitam dengan satu tangan, sedang tangan satunya mempersembahkan dunia. "Lihatlah!"

Sebuah selat hitam membentang luas, sama hitamnya dengan langit bertabur bintang di atas sana. Kapal-kapal layar yang bergerak menyalakan cahaya redup nan indah, seolah tengah membawa butir-butir kenangan yang menghangatkan hati. Hal yang tanpa sadar membuat Renggo menyentuh dadanya sendiri.

"Bagaimana?" tanya Zhaahir dari balik topeng.

"Hangat..."

"Di situlah hatimu berada."

"Tapi..." Masih ada keraguan dalam suara Renggo. "Tanpa Operator aku tak bisa mendapatkan ingatanku kembali."

"Mengapa kau membutuhkan ingatan?"

"Karena dengan mengetahui masa lalu, baru kita bisa mengatur ke mana arah masa depan kita."

"Kau benar," ucap Zhaahir. "Namun jika kau justru menjadikan masa lalu itu sebagai tujuan, yang mengarahkan perbuatanmu di masa kini, masihkah masa lalu pantas disebut landasan menuju masa depan?"

Renggo tak bisa menjawabnya. Ada syntax error yang terjadi dalam algoritma kepalanya ketika mengartikan kalimat Zhaahir barusan.

"Mungkin hanya ada satu cara untuk mengenang masa lalu," lanjut Zhaahir. "Tapi ketika kau melihat masa depan, ada banyak cara untuk meraihnya. Tapakilah caramu sendiri."

Setelah pemrosesan panjang, akhirnya Renggo menemukan sebuah kesimpulan dari pembicaraan ini. Alternatif lain yang tak mengharuskannya terus terkekang oleh Operator. Makhluk itu menjanjikan ingatan sebagai pertukaran atas kemenangan pada turnamen ini. Tapi bukankah bila ia menang, ia bisa meminta ingatan pada Tamon Ruu sebagai hadiah? Jadi, mengapa harus menjadi boneka milik Operator untuk hadiah yang sebenarnya bisa ia raih dengan tangannya sendiri?

"Aku mengerti." Suara Renggo terdengar begitu lega, seperti seorang filsuf yang baru menemukan arti hidup. "Terima kasih," tambahnya penuh suka cita.

"Terima kasih kembali.," jawab Zhaahir dari balik topeng.

Kini tanpa ada Operator yang membebani, yang perlu dilakukan Renggo adalah menanti fajar, sambil menikmati keindahan makan malam di Hisaria. Pertarungan akan menyusul di keesokan hari.

VII

Ernest menggosok-gosok telapak tangannya supaya hangat. Sungguh ia amat bersyukur sudah bekerja sama dengan Lo Dmun. Ketika badai salju datang, anak laki-laki itu menggunakan kemampuannya untuk membuat lubang di dalam batuan gunung. Dengan begitu mereka bisa selamat dari ganasnya dingin.

Namun pemuda itu tak bisa berantai sepenuhnya. Dalam posisi seperti ini, jika Lo Dmun menjebaknya dalam gunung, maka ia akan mati.

Untuk memastikan keselamatannya, ia berkata pada Lo Dmun agar tak membuat lubang terlalu dalam. Setidaknya lubang itu harus masih terhubung dengan dunia luar seperti goa, dengan dalih agar mereka tidak kehabisan udara. Lalu untuk menutup pintu lubang, dilakukan menggunakan kulit dari bangkai rusa hitam yang kebetulan mereka temukan.

Ernest juga memutuskan untuk tak memejamkan mata. Ia ingin terus mengawasi Lo Dmun.

"Tidurlah, aku akan berjaga," dalihnya.

"Tidak bisa. Kalau aku tidur, aku tak bisa mempertahankan lubang ini," jawab Lo Dmun.

Ernest mengangguk paham. Ia juga tak mau jika tempat perlindungannya sampai hilang. "Kalau begitu kita jaga berdua."

"Kalau kakak mau tidur silakan saja, biar aku yang berjaga."

"Haha, bagaimana kalau kau ketiduran? Anak kecil itu harusnya tidak boleh begadang! Biar aku menemanimu!" kata Ernest sembari mengacak-acak rambut Lo Dmun. Senyumnya sangat lebar hingga deretan giginya terlihat.

"Uh, uh, baiklah," anak laki-laki itu menjauhkan tangan Ernest dengan wajah agak bersemu.

Lalu keduanya diam, hingga hanya suara gemuruh dari luar yang terdengar. Waktu pun terasa begitu lambat dalam situasi seperti ini. Tak ada hiburan, kecuali seorang teman bicara.

"Apa yang kau inginkan jika memenangkan turnamen ini?" tanya Ernest untuk mengusir sepi.

"Keinginanku..." anak laki-laki itu memberi jeda.

Apapun jawaban yang akan keluar nanti, Ernest harus menunjukkan sandiwara terbaiknya. Untuk menunjukkan bahwa ia adalah pembela kebenaran, maka ia harus membenci Lo Dmun apabila anak laki-laki itu mengutarakan sebuah keinginan yang egois. Walau, sebenarnya ia tidak peduli apapun harapan peserta lain asalkan harapannya sendiri bisa terwujud.

"Aku ingin menghapus kejahatan dari Arva."

Ernest nyaris terbahak. Apa untungnya menghapus kejahatan? Tanpa kejahatan di dunia, maka tak akan ada yang menyewanya sebagai Assassin. Tapi saat ini ia tak boleh tersenyum mengejek. Senyumnya haruslah senyum yang hangat penuh pengertian.

"Kau memang anak baik," Ernest kembali mengacak-acak rambut Lo Dmun hingga anak laki-laki itu salah tingkah. "Tapi itu tidak mudah."

"Aku tahu," ucap Lo Dmun agak menundukkan kepala. "Tapi aku akan tetap menjadi pahlawan keadilan... Hidup sebagaimana yang diharapkan ayah... Apapun caranya."

"Kalau begitu aku akan membantumu."

Lo Dmun langsung mengangkat wajah dengan mata lebar, seolah tidak percaya.

"Aku akan membantumu," ulang Ernest penuh omong kosong. "Dan ketika Arva sudah dipenuhi kebaikan, aku ingin mengunjunginya."

Lo Dmun tampak kehabisan kata-kata. Ia seperti bocah yang seumur hidupnya selalu sendiri, tapi kemudian datang seorang yang bersedia untuk menemaninya.

"Kenapa diam?" pancing Ernest.

Lo Dmun menarik nafas dalam-dalam, lalu berkata dengan mata yang berkaca, "Terima kasih kak! Aku pasti, akan mengajakmu ke sana nanti! Janji!"

Kini giliran Ernest yang terenyak. Mengapa anak laki-laki di hadapannya mudah sekali meneluarkan air mata? Memang apa untungnya menangis? Namun ia juga tak bisa menjelaskan, mengapa hatinya terasa lucu kala melihat air mata jujur yang tumpah di hadapannya.

"Ah, ngomong-ngomong kita harus menyimpan tenaga," ujarnya untuk mengalihkan pembicaraan. "Kelihatannya pertempuran besok akan lebih brutal daripada hari ini."

Pemuda itu tak mau bicara lagi. Entah mengapa ada ketakutan yang muncul. Ia takut bila terseret lebih dalam memasuki lautan perasaan.

VIII

Vajra menghela nafas. Meski badai salju sedang berlangsung, hal itu tak menghentikan gerombolan rusa hitam yang terus mengejarnya. Mungkin mereka ingin balas dendam.

"Pergilah, aku tak ingin berurusan dengan kalian!" seru pria itu pada setidaknya dua ratus ekor rusa hitam di sekitarnya. Lalu ia mengepalkan tinju hingga cahaya listrik berkilatan dari sana.

"Hahahahaha, jadi kau yang menghabisi rusa-rusaku yang cantik!" Tiba-tiba terdengar suara membahana di antara deru badai.

Vajra agak kaget, karena segel radar di tangannya tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Lalu ia memusatkan pandangan pada asal suara barusan. Ia bisa melihat sesosok rusa yang berukuran lebh besar dari yang lain, berjalan dengan gagahnya. Rusa-rusa yang lebih kecil menyingkir kala makhluk itu melintas. Di atasnya, menunggang seorang manusia yang tak kedinginan meski cuma mengenakan cawat.

"Siapa kau, manusia bercawat?!" Seingat Vajra orang itu bukanlah peserta turnamen.

"Aku adalah Akihot Sasangat, penguasa rusa hitam!" seru si cawat. "Aku akan memberi hukuman untukmu karena telah membuat rusa-rusa ini meragukan kekuatanku!"

"Aku tidak mengerti."

"Rusa hitam adalah makhluk yang aneh. Mereka mematuhi manusia yang mereka anggap kuat. Bertahun-tahun yang lalu aku berhasil membunuh banyak dari mereka, dan mereka malah memujaku. Tapi hari ini kau telah membantai mereka, sehingga mereka mulai berpikir untuk memujamu. Karena itu aku akan memberimu pelajaran!"

"Cih," Vajra berdecak. "Apa untungnya dipuja rusa hitam."

"Diam kau, jangan berlagak tidak suka dipuja!"

Akihot Sasangat lompat salto dari rusa hitamnya, lalu berlari menerjang. Sementara Vajra tetap bergeming, seraya mengumpulkan prana di tinju tangan kanannya. Mereka saling fokus dengan niat membunuh, lalu tubrukan yang menentukan itu terjadi.

"Tinju Riajuus!!!"
"Tinju Petir Brajamusti!!!"

Semua berlangsung begitu cepat. Hanya dua seruan jurus yang terdengar bersamaan, kini kedua petarung sudah berdiri saling membelakangi. Semua rusa diam, menyaksikan sambil menahan nafas.

"Ba... bagaimana mungkin..." Akhirnya terdengar rintihan Akihot Sasangat.

"Cih," Vajra berdecak lagi, mengusap dadanya yang dibalut zirah. "Geli-geli."

"Ah... Ah... Ah..." Aliran-aliran listrik mulai menglir di tubuh si manusia cawat. Ia gemetaran seperti sedang disetrum. Suara teriakannya terdistorsi kacau. "Tiiidaaaaakkk!!!"

Lalu manusia cawat itu meledagh, hancur berkeping-keping. Potongan daging bermandikan darahnya berhamburan ke mana-mana, mengotori salju yang putih, membentuk pola hati sempurna. Tapi Vajra tak menoleh sedikit pun, seolah sudah tahu jika itulah nasib yang akan menimpa Akihot Sasangat. Tidak salah lagi, ia memanglah manusia setengah dewa.

Melihat kedahsyatan itu, para rusah hitam menundukkan kepala. Namun sayangnya Vajra tak menginginkan pemujaan dari makhluk-makhluk rendah.

"Yang kucari adalah kekuatan, bukan pasukan rusa. Sekarang kalian pergilah, jalani hidup dengan baik. Jadilah herbivora karena itu adalah kodrat binatang bertanduk."

Mendengar titah sang manusia setengah dewa yang bahkan tak kedinginan di tengah badai salju itu, para rusa hitam berlomba-lomba menyingkir. Tujuannya jelas, untuk turun gunung karena di Los Soleil tidak ada tanaman hijau yang mendukung kehidupan makhluk herbivora.

Vajra menghela nafas dengan enigmatisnya, seperti makhluk makhluk ilahiah yang mulai bosan dengan perseteruan kelas rendah. Ia harap fajar baginya segera datang, sehingga pertarungan yang sesungguhnya segera tiba.

"Paman Bima, Paman Arjuna, Paman Gatot Kaca, lihatlah hasil latihanku nanti."

Ya, bagi manusia setengah dewa, ajang kejam Battle of Realms ini tak lebih dari sarana menempa diri. Bahkan hadiah yang ditawarkan Tamon Ruu tidak memiliki arti signifikan di hadapannya.

Lalu, fajar benar-benar datang...

Episode 3 – Kill Vajra Volume 1

IX

Zhaahir menghirup udara pagi yang menyegarkan sukma. Cahaya mentari bersinar cerah hingga permukaan salju di puncak-puncak pegunungan tampak menguap ringan. Badai sudah berlalu, dan kini hari baru telah tiba.

"Renggo," ucapnya pada robot di sampingnya. "Sekarang ayo kita bertarung."

"Mari."

Keduanya saling berhadapan, membuat jarak setidaknya sepuluh langkah. Kali ini Zhaahir mengeluarkan perisai dan pedangnya, sementara Renggo memasang kuda-kuda seperti petinju. Sayangnya sebelah tangan si robot belum bisa diperbaiki sehingga ia tampak tidak lengkap.

Pada hitungan ketiga dalam hati, mereka maju secara bersamaan. Tapi baru melesat beberapa langkah, Zhaahir segera mengerem. "Tunggu! Tunggu!"

"Apa?" Renggo juga mengerem, tapi keduanya terlanjur bertubrukan hingga jatuh terjengkang ke belakang. Sangat komikal.

"Ada peserta lain mendekat! Aku bisa merasakannya!" seru Zhaahir sambil menunjukkan segel radarnya yang berkedut-kedut.

"Berapa orang?"

"Dua."

Renggo mengangguk. Tampaknya ia mengerti apa yang menjadi kekhawatiran Zhaahir. Jika dua peserta yang baru datang itu saling bekerja sama, mereka akan jadi mangsa empuk apabila saling hantam sekarang.

"Bagaimana kalau kita lihat keadaan dulu?" ajak Zhaahir.

"Boleh," jawab Renggo.

X

Ernest mencengkram punggung tangan kirinya yang berdenyut hangat. Ia berdecak.

"Ada dua peserta di balik sana," pemuda itu mengangkat dagu ke arah sebuah bukit landai. Di belakangnya, Lo Dmun mengikuti.

"Apa yang harus kita lakukan kak?"

"Mau tidak mau kita harus mengalahkan mereka," ucap Ernest, "jika kita ingin mengabulkan harapanmu, Arva yang terbebas dari kejahatan."

Lo Dmun mengangguk, lalu keduanya berjalan mantap mendaki bukit. Walau sebenarnya Ernest ingin sembunyi agar bisa menyerang tiba-tiba seperti sebelumnya. Tapi ia tak memiliki alasan yang bagus untuk itu. Apalagi setelah ia bersikap begitu hebat seperti pria sejati. Lagipula jika lawan mereka sedang waspada, harusnya keberadaannya saat ini juga sudah tertangkap di radar.

XI

Zhaahir dapat melihat dua sosok yang muncul dari balik bukit. Ia lekas meghadang Renggo dengan tangannya, sebagai isyarat berhenti. Kedua sosok di depan sana juga berhenti setelah menuruni bukit beberapa jarak.

"Sepertinya mereka memang bekerja sama," ucap Zhaahir. "Apa yang akan kita lakukan?"

"Aku berhutang pertarungan yang adil denganmu, setelah kau menyelamatkanku tadi malam," jawab Renggo. "Ayo kita bekerja sama untuk mengalahkan mereka terlebih dahulu, baru kemudian kita bertarung satu lawan satu."

Tiba-tiba Zhaahir jadi tidak enak hati. Sebenarnya satu-satunya alasan ia mengajak Renggo ke Benteng Hisaria adalah, karena untuk mengaktifkan realitas buatan tersebut ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu ia harus membawa satu orang ke dalam. Kalau saja tidak ada Renggo, semalam pasti ia sudah membeku dalam tumpukan salju. Tapi biarlah, sekarang bukan saatnya mengungkap hal yang tidak penting.

"Baik, persiapkan dirimu," kata sang pangeran dengan pedang dan perisai siap di tangan.

XII

Ernest menjilat bibirnya, "Lihat orang bertopeng culas itu, ia sudah mengangkat senjata. Jelas ini adalah deklarasi perang. Siapkan dirimu, Lo Dmun."

Tanpa berkata apa-apa, Lo Dmun mengeluarkan sebilah pisau kecil.

Ernest menyuggingkan senyum tidak simetris saat melihat kesiapan anak laki-laki itu. Kemudian ia mulai menyelimuti dirinya dengan Auro – aura berwarna merah. Dari aliran Auro tersebut ia membentuk sebilah pedang.

Kini pertarungan bisa dimulai kapan saja, tergantung pihak mana yang akan mengambil inisiatif lebih dulu.

"Jadi kalian semua berkumpul di sini, ya?!"

Mendadak tubuh Ernest terasa kaku. Suara barusan – hanya satu kalimat itu – sukses membangkitkan ketakutan paling primal dari dalam dirinya. Pemuda itu menelan ludah, lalu perlahan menoleh ke sana, ke atas sebuah puncak curam dekat tempatnya berada.

Tampaklah sesosok pria yang setengah wajahnya tertutup topeng, seolah itu adalah simbolisasi dari statusnya yang setengah manusia dan setengah dewa. Wibawanya terpancar jelas seperti cahaya-cahaya surgawi, menelanjangi para pendosa. Eksistensi yang keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat alam meringkuk hina.

Ernest mengeratkan rahang. Ia tak pernah menyangka jika semua akan jadi seperti ini. Kelima peserta tersisa berkumpul dalam satu tempat. Satu di antaranya adalah lawan yang mustahil bisa ia hadapi seorang diri.

"Aku yakin kalian semua sudah mengenalku. Jadi, kita mulai saja pertarungannya?" ucap Vajra dari ketinggian, seakan bumi berputar atas kehendaknya, dan apa yang terjadi di dalamnya baru boleh terjadi ketika ia memerintahkan demikian.

XIII

Vajra membuka kedua telapak tangannya, lalu dihadapkan ke langit. Prana dalam tubuhnya langsung mengalir deras, sehingga ia bisa melancarkan sebuah ajian mematikan.

"Jaring Petir Dalangsukma!"

Darinya langsung mencuat jaring-jaring magis yang sepenuhnya tersusun dari aliran petir. Ajian itu menyebar secepat kilat ke segala arah, melingkupi jarak hingga radius seratus meter dari tempatnya berdiri. Empat petarung di bawah sana pun tak memiliki kesempatan untuk bereaksi. Mereka semua tertangkap oleh sengat dahsyat jutaan volt.

Zhaahir, Ernest, Renggo apa lagi, tubuh mereka bergetar kacau kala petir menyinggahinya. Kecuali Lo Dmun. Anak laki-laki itu sempat membuat lubang saat petir menyambar, lalu menyembunyikan diri di bawah tumpukan salju. Sebuah keputusan tepat karena dalam wujud solid, salju harusnya memiliki konduktivitas listrik yang lebih buruk daripada air.

Tetapi Vajra tak menerima kegagalan. Ia melompat anggun dari puncak tebing, lalu berputar-putar indah di udara. Sementara itu ia mengumpulkan prana dalam kepalan tinju. Saat gravitasi menarik tubuhnya, ia menghantamkan tinju ke ttik di mana Lo Dmun mengubur dirinya sendiri.

"Tinju Petir Brajamusti!!!"

Bumi langsung terasa gonjang-ganjing ketika serangannya menyentuh permukaan. Berton-ton salju tersibak ke berbagai arah, membentuk lubang di tempat pendaratan Vajra. Beruntung bagi Lo Dmun, ia sudah melarikan diri dari sana.

"Bersembunyi seperti tikus tanah," desis Vajra. "Dasar pecundang cilik."

Pria itu mengamati sekeliling. Agaknya ia kesal dengan teknik bertarung yang penuh kesembunyi-sembunyian. Kekesalan itu membuatnya terlambat menyadari ketika sebuah anak panah melesat ke arahnya. Namun refleks yang dibantu aliran partikel elektron memuatnya tetap dapat berkelit tepat waktu. Selanjutnya dengan satu lompatan, ia menerjang ke arah si penembak barusan.

"Renggo, ia datang!" seru Zhaahir, sang pangeran bertopeng perunggu. Robot di sebelahnya ikut bersiap.

Vajra tak menyangka jika kedua peserta itu bisa memulihkan diri dari efek jaring petirnya secepat ini. Tapi itu bukan masalah, karena ia hanya perlu melancarkan dua atau tiga serangan lagi untuk membuat mereka bungkam selamanya.

"Heyaaa!" Vajra melepaskan tinju bertegangan tinggi pada Zhaahir. Awalnya ia mengira orang itu akan menangkis dengan perisai, yang tentunya akan sia-sia. Tapi ternyata sang pangeran menghindar di saat terakhir hingga ia hanya mengenai udara kosong.

"Renggo!!!"

Tinju besi datang dari arah berlawanan. Seharusnya Vajra kena telak, jika bukan karena refleks bermuatan elektron yang ia miliki. Dengan luwesnya pria itu menepis serangan tangan Renggo, lalu membalas dengan gerak tinju yang mengalir bagaikan air. Tubuh logam itu pun terpental dengan mudahnya seolah terbuat dari plastik.

Lalu serangan kembali datang, kali ini dari Zhaahir. Vajra sudah bersiap, tapi ternyata serangan berikutnya amat jauh dari yang ia perkirakan. Sang pangeran bertopeng perunggu malah mengacungkan selembar surat bertanda tangan kaisar.

"Tolong izinkan aku... untuk meminjam celanamu!"

Vajra terdiam keheranan mendengar permintaan itu. Dan yang membuatnya lebih heran adalah, muncul semacam dorongan yang membuatnya ingin memenuhi permintaan tersebut. Bukannya meninju, tangannya malah bergerak untuk membuka celana.

"Eh? Eh? Apa ini?"

Terjadi pergolakan hati. Tangannya terus bergerak meski keinginannya menolak. Lalu sebuah tinju datang di tengah-tengah kebimbangan tersebut, menghantam dagunya keras sekali.

Tubuh Vajra pun jatuh terjerembab di atas salju. Sebenarnya tidak seberapa sakit, tapi harga diri pria itu yang tergucang. Untuk pertama kalinya sejak dikirim ke Los Soleil, baru kali ini ia mendapat serangan telak. Dan itu akibat sebuah jurus aneh yang sulit dimengerti. Pelakunya, adalah pangeran yang mungkin saking jeleknya harus menyembunyikan wajah di balik topeng.

"Kurang ajar," geram Vajra. Perlahan-lahan ia bangkit berdiri. Saat itu Zhaahir sudah melancarkan serangan lagi berupa tusukan tombak, tapi ia menepisya dengan satu sapuan tangan kosong. "Makan ini!"

Vajra meninju Zhaahir tepat di topeng hingga pangeran itu terpental. Ia bisa mendengar suara berderak, tapi tak yakin apa berhasil membelah topengnya menjadi dua.

"Serangan apa itu tadi?" tanya Vajra setelah lawannya tumbang. "Cara licik apa yang kau gunakan, sehingga kau bisa memukulku?!"

"Itu bukan cara licik, uhuk!" Zhaahir bangkit sambil memegangi topengnya. Tapi ketika pegangannya dilepas, ternyata topeng itu masih utuh. Dengan penuh percaya diri, ia kembali bicara, "Hatimu saja yang terlalu lemah, hingga mudah dipengaruhi oleh Surat Izin Dari Kaisar!"

Vajra terbelalak tidak percaya. Selama bertahun-tahun ia melatih kekuatan fisik dan ajian, tapi ternyata melupakan hal penting lainnya. Sebuah variabel yang membuatnya bisa sampai dipermalukan begini.

Sang manusia setengah dewa tertawa geli. Lalu ia melompat tinggi, berputar indah, dan mendarat di atas sebongkahan batu hitam.

"Terima kasih!" serunya lantang. "Aku telah mendapat pengalaman berharga yang lupa kupelajari dari Paman Bima, Paman Arjuna, dan Paman Gatotkaca! Sebagai rasa terima kasih, akan kukalahkan kalian dengan bermodalkan pengalaman ini!"

Zhaahir dan Renggo bergerak mendekati satu sama lain, lalu menatap waspada ke arah Vajra.

"Apa yang ia bicarakan?"
"Tidak tahu."

Prana dahsyat pun menyembur-nyembur keluar dari tubuh Sang Vajra, pertanda bahwa kengerian yang sesungguhnya akan segera datang. Topeng yang ia kenakan mulai bercahaya terang kebiruan.

"Naga Petir Pancanaka!"

XIV

Ernest tak bisa melepas pandangan dari sosok manusia setengah dewa yang membuat tubuhnya menggigil ketakutan. Ia terbelalak, menyaksikan Vajra mengeluarkan ajian dengan tingkatan yang tak kalah ilahiah dengan ajian-ajian sebelumnya. Orang itu menciptakan naga petir yang meliuk-liuk hidup. Betapa mempesona sekaligus mematikan, begiu mudahnya makhluk itu melelehkan permukaan salju yang dilalui.

"Apa keduanya bisa selamat dari Naga Petir Pancanaka?"

Ernest melihat Lo Dmun sudah kembali berdiri di sampingnya. Tampak luka bakar di sebagian kulit lenggannya... yang mana harusnya mustahil. Berbeda dengan fluida air yang bisa mengalirkan ion-ion penghantar listrik, salju yang padat semestinya lebih sulit menghantar listrik. Namun fakta bahwa sengatan Tinju Petir Brajamusti masih bisa mengenai Lo Dmun yang bersembunyi, seakan mengatakan bahwa ajian-ajian Sang Vajra telah melampaui batas-batas hukum alam.

"Entahlah," ucap Ernest dengan rahang bergetar. "Setidaknya mereka masih bisa bergerak, sementara aku hanya bisa merinding seperti anak kucing."

Lo Dmun mengerutkan dahi untuk beberapa saat. Ia mengamati naga petir yang mulai menari di seberang sana, mengincar Zhaahir dan Renggo. Lalu ia mendesah ringan.

"Kalau begitu kita tunggu sampai mereka saling melukai."

"Apa?" Cukup terkejut Ernest mendengar frasa hidupnya diucapkan oleh anak laki-laki polos yang menginginkan kedamaian.

"Mau bagaimana lagi?" Senyum getir tersungging di bibir Lo Dmun.

Ernest baru menyadari kilat ketakutan di mata anak itu. Jadi pada akhirnya ketakutan akan membawa manusia kembali ke kodratnya – makhluk yang hidup mengandalkan intrik dan muslihat.

"Apa boleh buat," Ernest pun tersenyum getir.

XV

Zhaahir menjerit ngeri ketika hantaman Naga Petir Pancanaka nyaris mengenainya. Ia berguling ke sampig tepat waktu, lalu langsung melompat sambil mematerialisasi kudanya, "Qorrum!"

Ia segera meraih makhluk perang yang di setiap surai hitamnya mengalun wibawa itu. Dengan sekali pacu, kudanya melaju bagaikan komet hitam di angkasa putih.

"Renggo!" Zhaahir berseru pada sang robot yang saat ini mengambil wujud sama persis dengan Vajra, setelah menggunakan skill Copy & Paste System.

Keduanya menerjang ke arah Vajra asli – sang manusia setengah dewa – dari arah berlawanan. Pria itu sudah siap dengan tinjunya, lalu meraung, "Percuma!"

Zhaahir menusukkan tombaknya, tapi Vajra menghindari hanya dengan sedikit membengkokkan tubuh ke belakang. Renggo menyusul dengan tinjuan petir, namun kali ini Vajra tak menghindar, malah dengan sengaja mengadu tinjunya. Ledakan petir tercipta hingga mementalkan Zhaahir dan kudanya beberapa meter ke belakang.

"Tinju Petir Brajamusti tiruan seperti milikmu tak akan bisa mengalahkan milikku!" seru Vajra dengan tinju yang masih menempel pada tinju Renggo.

"Bisa saja, karena memang meniru adalah kemampuanku! Yang asli memang lebih kuat, tapii belum tentu yang palsu itu lebih lemah!""

"Percuma!" Vajra menarik tinjunya, lalu melancarkan tinju-tinju silih berganti seperti rentetan peluru. "Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma!"

Renggo tidak mau kalah, ia juga melancarkan tinjunya dengan kecepatan mendekati kecepatan suara. "Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja! Bisa saja!"

Zhaahir mengerutkan kening menyaksikan adu tinju petir yang seolah tidak ada habisnya. Tapi jelas ia tak bisa menonton dengan santai, karena Naga Petir Pancanaka ternyata masih bisa bergerak bebas meski tuannya tengah fokus dengan hal lain. Makhluk itu menyerang sang pangeran disertai raungan memekakkan telinga.

"Eaaaaa!" Zhaahir memacu Qorrum agar menghindar. Namun ia masih bisa merasakan sengatan ringan akibat sirkuit-sirkuit pendek yang memercik dari tubuh sang naga petir. "Lari!"

Sang pangeran membuat kuda hitamnya berhembus seolah tidak akan ada hari esok. Tapal-tapalnya menderap ganas, berusaha selamat dari serangan demi hujaman yang terus datang tanpa jeda. Berkali-kali Naga Petir Pancanaka menghantam dengan menubrukkan tubuhnya sendiri, hingga membuat lubang-lubang kawah besar pada permukaan salju.

Tidak ada jalan keluar, kecuali menjatuhkan tuan dari sang naga. Karenanya Zhaahir mengubah haluan, lalu memacu Qorrum lurus ke arah Vajra yang baru saja berhasil menyarangkan tinju dewa pada Renggo.

"Hantam!!!"

Vajra yang perhatiannya masih fokus, tidak menyangka dua tapal besi datang dari arah samping. Ia tak sempat menghindar, hingga tendangan Qorrum membuatnya terhempas. Zhaahir bermaksud melemparkan tombaknya sebagai serangan penghabisan, namun ia tak pernah sempat melakukan itu.

"Zhaahir, awas!"

Naga Petir Pancanaka menghantamnya dahsyat dari belakang. Tubuh sang pangeran tersengat, sedangkan kudanya terdematerialisasi. Renggo yang sudah kepayahan segera berlari mendekatinya.

"Kau tak apa?" tanya Renggo sembari membantu Zhaahir berdiri.

"I... i..." jawab sang pangeran tergagap karena aliran listrik masih membuatnya sedikit kejang.

"Ini kedua kalinya aku terkena serangan..." terdengar suara dari Vajra yang bangkit. Begitu berat, dalam, penuh dendam. Naga Petir Pancanaka yang tubuhnya terburai setelah menghantam Zhaahir, kini mewujud jadi aliran naga kecil yang terbang menyelimuti tuannya. "Dan keduanya... hanya tinju dan tendangan sederhana, yang dilancarkan pada saat aku lengah! Serangan yang membuatku lebih ingin muntah karena jijik daripada kesakitan!"

Manusia setengah dewa itu melangkah maju, "Aku Vajra! Bersumpah akan menghabisi kalian berdua dengan tangan ini!"

Sampai detik ini sepertinya Zhaahir sudah mendengar ancaman itu lebih daru satu kali.

"Terimalah ini!"

"Tidak mau!"

Tapi ketika pertarungan berlangsung, mau tidak mau kedua belah pihak harus saling menerima serangan lawan. Zhaahir pun menciptakan perisainya untuk menangkis tinju Vajra. Sekejap ketika logam itu berdentang, tubuh sang pangeran mengejang dialiri sengat listrik yang menusuk.

"Jangan lupa, logam bisa mengalirkan listrik!" seru Vajra.

Renggo memanfaatkan kesempatan untuk menghantamkan tinju. Namun Vajra dengan sigap menepis, lalu membalas dengan menyikut hidung Renggo.

"Aku tidak akan jatuh pada kesalahan yang sama!"

Zhaahir mengerutkan dahi, lalu mengeluarkan pedangnya. Ia mengayun dari atas ke bawah seperti bilah jagal. Dengan langkah presisi, Vajra berputar ke samping untuk menghindar, dilanjutkan dengan tinju ke dada sang pangeran. "Gerakanmu terbaca!"

Astaga!

Geraham Zhaahir bergemeretak. Tidak salah lagi, petarung di hadapannya memang manusa setengah dewa. Bisa-bisanya ia terus bicara sambil menyerang dan menghindar.

"Tinju Petir Brajamusti!!!" Lagi-lagi Vajra meneriakkan nama ajiannya, sambil menghantam Zhaahir dan Renggo, masing-masing dengan tangan kanan dan kiri.

Keduanya pun terpental jauh hingga tubuh remk tak berdaya. Untunglah mereka jatuhnya di atas permukaan salju jadi tidak begitu sakit.

"Bagaimana cara kita mengalahkannya?" tanya Zhaahir sembari mengaduh. "Dia kuat, cepat, dan memiliki elemen petir. Seperti ksatria yang sempurna," tambahnya selagi mengamati Vajra melakukan pelemasan otot.

"Sebenarnya aku masih punya satu trik terakhir," jawab Renggo di sampingnya.

Melihat Renggo yang masih meniru wujud Vajra, mendadak membuat Zhaahir kesal. Kalau tak bisa meninju wajah Vajra yang asli, mungkin tak buruk melampiaskannya pada Vajra yang palsu. Tapi sekarang bukan saatnya untuk perang saudara.

"Trik apa?" respon Zhaahir setelah berpikir yang tidak-tidak.

"Dengan Duel Punch, realita buatan seperti Benteng Hisaria milikmu. Di dalam sana aku bisa melakukan pertaruhan dengan kemungkinan menang lima puluh persen," Renggo berhenti sebentar sebelum menambahkan, "Meski jika lawannya Vajra, kemungkinan menangku mungkin cuma lima persen."

"Astaga, itu rendah sekali! Terlalu rendah! Aku tidak setuju!"

"Tapi dengan keadaan sekarang, kemungkinan menang kita mungkin cuma satu persen." Kemudian Renggo menepuk bahu Zhaahir. "Meski aku kalah nanti, akan kuusahakan setidaknya bisa melukai Vajra, agar kemungkinan menangmu meningkat."

Hampir Zhaahir menangis haru berurai air mata menyaksikan itikad luhur Renggo. Bagaimana tidak, orang itu bersedia mengorbankan nyawanya sendiri agar sang pangeran bisa menang. Sulit dipercaya, mengingat mereka sama-sama memiliki keinginan untuk diraih dalam turnamen ini.

"Tapi kau akan kalah bila kau mati. Dan kau tidak akan mendapatkan ingatanmu kembali."

"Yang kukejar adalah ingatan masa lalu sementara yang kau cari adalah kehidupan di masa depan. Siapapun tahu mana yang lebih penting." Sebelum Zhaahir menjawab, Renggo bicara lagi. "Sekarang kau harus membantuku, karena untuk mengaktifkan Duel Punch aku harus mendekati Vajra."

Renggo langsung menyerbu maju ke arah Vajra yang semenjak tadi sedang diam mengisi prana setelah bertarung habis-habisan. Tak punya pilihan, Zhaahir ikut maju di belakangnya.

Namun aneh, Vajra malah tersenyum. Ia mengangkat tangan kanannya ke depan, lalu batu akik pada Gelang Gandiwa menyala terang. Sebuah busur biru transparan pun tercipta di sana, dengan petir yang mengalir-alir.

"Terimalah serangan kombinasi dari dua pusakaku! Panah Naga Petir Pasopati Pancanaka!!!"

Dari busur itu melesat panah-panah petir yang melesat seperti naga kecil. Ketika menghantam Renggo atau apapun, panah petir itu langsung meledak dahsyat.

"Renggo!!!"

"Maju terus!" seru Renggo yang berusaha mati-matian untuk tak tumbang, lalu lanjut menerjang.

Keduanya berkelit sekuat tenaga. Sesekali Zhaahir melempar pedang, tombak, atau perisainya untuk meledakkan anak panah yang melesat ke arah mereka.

Tapi celaka, ledakan demi ledakan itu telah membangkitkan kemarahan Los Soleil. Pertarungan yang berlangsung telah menggetarkan jutaan ton salju abadi yang bersemayam pada puncak-puncak pegunungan. Hingga pada satu titik, salju itu longsor menjadi seperti tsunami raksasa yang siap menelan siapapun tanpa pandang bulu.

Namun konsentrasi para petarung sama sekali tak terganggu, meski kematian lain tengah mendekat. Vajra terus menembak tanpa henti, sedangkan Zhaahir dan Renggo berlari sambil menghindar tanpa jeda.

"Mati kalian!!!" teriak Vajra seraya melepaskan prana dalam tingkatan satu digit lebih tinggi. Puluhan panah petir melesat secara bersamaan seperti misil.

Zhaahir tak gentar. Ia berhenti, bukan untuk menyerah. Ia mengeluarkan busur, membidik, lalu melepaskan anak panah. Semua itu dilakukan dalam waktu sepersekian detik. Tidak lupa ia membalas seruan sang manusia setengah dewa. "Kau yang akan mati!!!"

Anak panah kecil Zhaahir bertumbukkan dengan anak panah petir yang baru saja ditembakkan, sehingga tercipta ledakan tepat di depan hidung Vajra. Keseimbangannya pun terganggu kala ia harus melompat mundur untuk bertahan. Lalu Renggo memanfaatkan kesempatannya, dengan melompat melewati sisa listrik-listrik statis di udara. Tinjunya yang terkepal telah meluncur tak terhentikan.

"Duel Punch!!!"

Kemudian jutaan ton salju yang longsor menghantam, melarutkan semua dalam kebinasaan. Zhaahir tak bisa melihat lagi apa yang terjadi dengan Renggo, mau pun Vajra. Tubuhnya terbawa oleh energi yang sangat dahsyat, hingga kebebasannya untuk bergerak terenggut sepenuhnya.

Episode 4 – Vertical Limit

XVI

Renggo menatap lawan yang terjebak bersamanya di dalam sebuah kubus raksasa berukuran dahsyat. Realita buatan yang bekerja secara magis.

"Jadi kau benar-benar kuat?" tanya Renggo. "Tapi kau kuat karena memiliki petir itu."

Vajra tampak terhina mendengar penuturan si robot yang tubuhnya kembali ke kondisi sedia kala. Memang sudah merupakan ketentuan dari realita Duel Punch, di mana dua petarung yang masuk ke dalamnya akan kembali ke kondisi prima.

"Kekuatan yang sebenarnya dari datang dari adu tinju mentah, lebih greget, ini pertarungan yang aku suka," Renggo mengangkat dua kepalannya seperti seorang petinju profesional. Tangan kiri yang sebelumnya dipotong Zhaahir sudah tersambung di sana. "Kali ini aku akan menang. Atau... kau takut jika bertarung secara adil?"

Mendadak kedua mata Vajra terbelalak. Ekspresinya seperti orang yang baru saja mendengar lelucon tidak lucu. "Takut? Aku... takut..?" Lalu tawanya meledak membahana. "Aku takut padamu? Huahahahahaha! Coba saja! Perlihatkan tinjumu! Meski tinjumu sekarang ada dua, tetap percuma!"

Benarkah akan percuma? Kalau begitu sia-sia saja Renggo memancing Vajra dengan trik murahan. Apakah memang kekuatan mentah sang manusia setengah dewa sebanding dengan harga dirinya?

Tapi saat ini sudah tidak ada kata mundur. Dua petarung pun maju saling berhadap-hadapan. Sebuah layar hologram yang menunjukkan angka dua puluh muncul di atas kepala mereka.

"Kita mulai?"

"Ya."

Secara bersamaan keduanya membuat kuda-kuda terbaik, lalu saling melancarkan tinju yang begitu cepatnya hingga rasanya mustahil ditangkap oleh mata manusia biasa.

"Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma! Percuma!"

"Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan! Tidak akan!"

Tapi seiring dengan adu tinju yang terjadi, Renggo dipaksa menyadari jika usahanya memang akan berakhir percuma, seperti yang terus diserukan Vajra. Bahkan kekuatan mentah sang manusia setengah dewa tak bisa dipandang sebelah mata. Perlahan poin sang robot berkurang tiap kali hantaman mengenai tubuhnya.

Delapan belas... Enam belas... Empat belas...

Renggo bisa melihat kematiannya sudah dekat. Sirna sudah semua harapan. Namun akankah ia mati sia-sia? Tidak, ia sudah berjanji akan mengusahakan sesuatu.

Delapan... Enam... Empat...

Sedikit lagi ia akan kalah. Renggo pun berhenti meninju, lalu membuka kedua tangannya lebar seraya menerjang maju.

Dua...

Vajra menghantamkan tinju terakhirnya, di saat bersamaan Renggo memeluk erat tubuh pria itu.

Nol...

Tiba-tiba muncul rantai-rantai besar yang mengikat tubuh Renggo ke lantai. Sebuah bom juga muncul, menempel di punggung robot itu.

"Apa-apaan kau?!" teriak Vajra sambil meronta.

"Aku akan meledakkan diri bersamamu... Sekuat apapun kau... pasti akan meledak kalau diledakkan!"

Mendengar itu, Vajra malah terdiam. Ia tak lagi meronta. Suaranya menjadi tenang seperti sedia kala. "Kau pikir bom kecil itu sanggup untuk membunuhku?"

Dan pada saat itulah, Renggo kembali menyadari jika semuanya berakhir percuma. Sayangnya, setelah ini ia tak akan hidup untuk merasakan kesia-siaan untuk yang ketiga kalinya.

XVII

Zhaahir mendengar suara ledakan dari kejauhan, namun tubuhnya yang tergeletak di antara salju terlalu berat untuk digerakkan. Mati-matian ia menjaga kesadaran, karena sebelumnya Anastasia berkata bahwa peserta yang pingsan akan terhitung kalah. Tapi semua terasa berat. Matanya, badannya, semangatnya...

Rasanya ingin menyerah saja.

Mungkin tidak apa-apa kalau ia dikembalikan ke dunia asalnya. Mungkin tidak apa-apa jika ia harus memimpin kekaisaran melewati perang dan penderitaan. Asal ada Eri di sampingnya... ya, itu tidak apa-apa.

Butiran salju mulai turun dari gumpalan awan di atas sana. Terasa hangat ketika menyentuh kulit tangan Zhaahir.

Kenapa salju hangat? Ah, itu pasti karena saat ini ia bisa melihat sesosok bidadari, yang mata birunya tengah memandangnya penuh kehangatan. Setitik air mata menetes dari keindahan itu.

Kenapa ia ada di sini? Semua pasti cuma mimpi, yang membuat pemuda itu semakin ingin pergi dari pegunungan bersalju ini.

"Eri... aku menye – "

Namun sosok itu membuka topeng sang pangeran sebagian, lalu mengecup bibirnya dengan kelembutan. Dada zhaahir langsung berdebar keras. Darahnya mengalir deras, seakan membakar tiap jengkal tubuhnya. Detik-detik yang penuh cinta, yang mengingatkanya pada apa yang tengah ia perjuangkan.

Seusai sosok itu melepas kecupannya, ia mendekapkan pipinya di dada sang pangeran, lalu berbisik.

"Jangan pernah kau menyerah. Karena ketika kau menyerah, kau sama sekali tidak seperti pria yang kucintai."

"Tentu saja."

Zhaahir segera membangkitkan tubuhnya. Kini sosok itu sudah tak terlihat di mana pun. Tapi ia yakin betul jika ciuman tadi nyata.

Ia membenarkan posisinya topengnya, lalu menatap ke puncak di sebelah sana. Tinjunya terkepal. Meski ada jutaan ton longsoran salju yang menghalangi jalan, hal itu tak akan bisa menghentikannya sekarang!

XVIII

Ernest melihat sebuah ledakan yang terjadi di bawah sana. "Terkena longsorang salju, lalu meledak," ucapnya, "apa menurutmu mereka semua sudah gugur?"

"Kurasa begitu kak," jawab Lo Dmun dari belakangnya.

Pria itu berdiri hati-hati di tepi jurang. Ia benar-benar merasa beruntung menyelamatkan diri tepat waktu sebelum salju longsor. Dan ia juga merasa beruntung karena memutuskan untuk menonton saja, karena pada akhirnya tiga peserta yang tadi bertarung, semuanya menemui nasib yang malang.

"Untuk memastikan, sebaiknya kita turun ke bawah sana. Kalaupun ada yang masih hidup, mereka pasti sudah terluka parah. Akan mudah menyelesaikannya."

"Tentu saja kak," jawab Lo Dmun. "Tapi apa maksudmu dengan 'kita'?"

Untuk sesaat Ernest bisa mendengar penekanan nada yang dipenuhi hawa pembunuh. Namun sebelum ia membalikkan badan, sesuatu menusuk pinggangnya dari belakang. Sensasi perih yang teramat sangat membuat tubuhnya kaku. Ia hanya bisa menolehkan kepala, hanya untuk mendapati anak laki-laki polos yang kini ekspresinya amat abstrak – antara puas, kaget, licik, dan takut.

"Lod... mengapa..?"

"Pertama habisi pihak yang sepertinya akan menang, baru kemudian habisi pihak yang sudah terluka parah."

Terdengar familiar di telinga Ernest. Tentu saja, karena itu adalah prinsip hidupnya sendiri. "Dari mana... anak sepertimu... mempelajari hal itu..?"

"Aku tinggal di dunia yang jahat. Hal seperti ini adalah hal yang biasa dilakukan para bedebah di duniaku."

Ernest mengeratkan geliginya, merasa bodoh. Bukan karena ia jatuh ke dalam intrik orang jahat, tapi karena ia sempat percaya jika anak baik yang sepolos Lo Dmun benar-benar ada. Rencananya kini menjadi blunder, malah digunakan untuk menyerang dirinya sendiri.

Pemuda itu mengangkat tangan kanannya, lalu mengumpulkan Auro tersisa. Dengan satu jentikan jari, ia membuat tombak yang bilahnya meluncur langsung ke bagian belakang tubuhnya, tempat Lo Dmun berdiri. Refleks anak laki-laki itu menghindar ke belakang.

"Agh..." Ernest berbalik. Pisau masih menancap di pinggangnya. "Kurang ajar..."

"Ini demi mengusir kejahatan di Arva, sudah kubilang akan kulakukan apapun caranya," jawab Lo Dmun singkat, antara tidak menyesali perbuatannya atau sedang menutupi penyesalan. "Pengorbanan itu dibutuhkan. Bukankah kakak mau membantuku? Pada akhirnya kakak harus berkorban jika ingin membantuku."

Ernest menyunggingkan senyum. Ternyata anak laki-laki itu memang polos, mengira jika ia sungguh-sungguh bersedia untuk berkorban.

"Anak setan..." Pemuda itu langsung melesat maju mengacungkan tombaknya. Lo Dmun melemparkan sesuatu, yang secara refleks ia tusuk. Ternyata benda itu adalah granat.

Granat meledak, menghancurkan tombak Auro sekaligus melempar tubuh Ernest. Pisau yang sengaja tak dicabut dari pinggangnya agar tidak terjadi pendarahan kini malah merobek dagingnya makin parah.

"Uhuk!" Pemuda itu membatukkan darah segar. Umurnya tak akan lama lagi. "Sepanjang ronde ini aku belum banyak beraksi... Aku hanya berlari, menikam dari belakang, dan merinding ketakutan. Dan sekarang... aku akan mati di tangan bocah... Margarita sialan!"

Lo Dmun hanya diam tak menanggapi serapah Ernest.

"Anjing," Pemuda itu mencabut pisau dari pinggangnya hingga darah mengalir. Ia bersumpah, jika harus mati, setidaknya ia akan mati menelan korban. "Hei anak anjing, bersiaplah."

Tekad Ernest sudah bulat. Anak laki-laki di hadapannya memang tak melubangi tubuhnya dengan Apertis, tapi telah melubangi hatinya. Maka dari itu ia akan mengerahkan sisa kekuatannya untuk menyula Lo Dmun hingga berkeping-keping menggunakan Agony's Embrace.

"Hah... hah..." Diawali dengan langkah terhuyung, Ernest pun bergerak maju. Lo Dmun sudah siaga di sana dalam posisi tempur. Namun pemuda itu tak perlu benar-benar mendekat, karena jurus mematikannya itu bisa diaktifkan dari jarak radius lima meter.

Ia mulai mengumpulkan segenap Auro tersisa, memindahkannya ke telapak tangan, hingga siap ditekan ke bumi. Hanya saja kemudian sudut matanya menangkap sosok mengerikan yang sepanjang ronde ini telah membuat nyalinya ciut hingga ke batas lebih rendah dari ubur-ubur.

Vajra masih hidup, meski dengan tubuh penuh luka bakar dan bersimbah darah! Dari kejauhan ia tengah membidik dengan paduan kombinasi ajian Panah Pasopati dan Naga Pancanaka!

"Lo Dmun, awas!!!" Entah mengapa pemuda itu berteriak.

Tidak tahu kenapa, tubuhnya bergerak sendiri. Mendekati Lo Dmun yang kebingungan, lalu mendekapnya segenap tenaga.

"Agony's Embrace!"

Sula-sula merah raksasa yang terbuat dari Auro menyembul keluar dari permukaan salju. Meski begitu tak ada satu pun yang mengenai Lo Dmun, karena anak laki-laki itu terlindung dalam dekapan Ernest. Ketika panah-panah petir Vajra datang menghujam, sula-sula itu justru menjadi dinding yang mempertahankan kedua insan.

"Kak Ernest?!" seru Lo Dmun makin bingung.

Ernest tak menjawab, hanya mendekap anak laki-laki itu semakin dalam. Ia memang sudah dikhianati. Ia memang marah. Tapi entah dorongan apa, ada sesuatu yang membuatnya ingin coba untuk percaya. Ia ingin tahu, dunia damai seperti apa yang akan tercipta dengan pengorbanannya ini.

Sedikit demi sedikit sula Agony's Embrace mulai terkikis oleh ledakan-ledakan petir. Hingga tak ada yang yang bisa melindungi Lo Dmun selain dekapan Ernest.

"Bocah..." bisik pemuda itu. "Teruslah hidup..."

Kemudian sebuah panah petir menghujam, menyegel takdir Ernest. Dalam satu ledakan maha dahsyat, seluruh sula merah pun pecah berkping-keping, rata dengan permukaan seperti tuannya yang baru saja rubuh untuk selamanya.

XIX

Lo Dmun terkesiap. Tubuhnya terbaring di atas permukaan salju, masih merinding karena sebuan petir barusan. Di atasnya adalah Ernest yang kini sudah tak bernyawa.

Air mata mengalir dari pelupuknya, tapi ia tak tahu lagi kenapa.

Apa karena sebentar lagi ajal akan menjemputnya?

Apa karena ia tidak akan bisa mewujudkan harapannya?

Apa karena ia telah menotori tangannya dengan kejahatan, untuk melenyapkan kejahatan itu sendiri?

Ataukah karena... ia telah kehilangan seseorang yang entah sejak kapan jadi berharga untuknya... yang rela mati demi dirinya...

Padahal sudah berkali-kali Lo Dmun meyakinkan diri untuk menikam Ernest bila saatnya tiba. Tapi sekarang... malah hatinya yang terasa tertikam, melihat sosok pemuda itu tak akan lagi membuka mata.

"Oh, kau masih hidup?"

Lo Dmun bisa mendengar suara Vajra mendekat. Pasrahlah ia. Tubuhnya sudah terluka dan tenaganya telah habis.

"Akan segera kuakhiri penderitaanmu."

Lo Dmun tak bisa melihat Vajra – dan ia memang tak mau melihatnya. Biarlah wajah yang terakhir kali terekam di ingatannya sebelum kegelapan datang adalah wajah Ernest...

"Aku harus terus hidup," tanpa sadar ia membisikkan itu.

"Apa?" tanya Vajra. "Kau bilang apa?"

Lo Dmun juga tidak tahu mengapa ia mengucapkannya, pesan terakhir Ernest. Tapi pelan-pelan hal itu membangkitkan sesuatu di dalam dirinya.

Ia merasa... Ia harus hidup.

Anak laki-laki itu segera menyentuh permukaan salju menggunakan telapak tangannya. Dengan begitu ia bisa mengaktifkan Videre untuk merasakan apa yang ada di sekitarnya, di mana Vajra berdiri saat ini. Pria itu berdiri hanya sedikit di luar radius jangkauan Apertis.

"Vajra," gumamnya. "Aku mau terus hidup."

"Aku tidak bisa mendengarmu!" seru Vajra yang tanpa sadar terus mendekat sambil menyiapkan prana petirnya. Sampai ia memasuki jarak serangan Lo Dmun.

"Apertis!"

Tiba-tiba lubang besar tercipta di bawah kaki Vajra. Pria itu terkejut, hingga jatuh ke dalamnya.

"Solvo!"

Seperti sihir, lubang itu menutup, menjebak Vajra.

"Naga Petir Pancanaka!"

Tiba-tiba seluruh tempat itu meledak, dan seekor naga petir meraung keuar dari dalamnya. Lo Dmun terpental sambil terus memeluk tubuh Ernest. Ketika akhirnya ia berhenti terguling, ia bisa melihat penghakimannya yang sedang terbang di langit.

"Dewa..." gumamnya.

Di hadapan dewa, segala usaha yang ia lakukan terasa tidak ada harganya.

Kemudian Sang Naga Petir Pancanaka terbang turun dengan dahsyat. Jadi kali ini waktu Lo Dmun benar-benar telah berakhir. Mungkin ini adalah karma dari perbuatannya sendiri. Anak laki-laki itu pun menutup mata, hingga hujaman jutaan volt meuluhlantakkan semua. Ia, dan pemuda dalam dekapannya.

XX

Vajra benar-benar telah sampai pada batasnya. Pertarungan demi pertarungan menguras fisik dan prana. Tapi sekarang semua sudah selesai. Langkahnya terhuyung-huyung, lalu mendekati mayat dua petarung yang baru saja dihabisi Pancanaka.

Ia mencari segel radar di tangan hangus Ernest dan Lo Dmun. Setelah itu ia memutus pergelangan tangan mereka dengan satu puntiran mantap, hingga terdengar bunyi daging dan tulang patah. Ditambah dengan tangan milik Reviss yang dibawa Lo Dmun, berarti ia telah mengumpulkan lima segel radar.

"Paman Bima, Paman Arjuna, Paman Gatot Kaca, apakah saat ini sudah kuat?" Ia bertanya pada salju yang turun. "Apakah aku sudah pantas untuk berhadapan dengan Ki Rogohjiwo?"

Satu segel radar lagi. Satu segel radar lagi dan ia akan menjadi pemenang ronde ini. Kemudian ia bisa melaju ke ronde berikutnya, lalu menang lagi, hingga memenangkan keseluruhan turnamen. Dengan begitu ia akan sanggup menghabisi guru yang amat ia benci.

Vajra menghela nafas. Ia berpikir terlalu jauh. Untuk saat ini ia hanya perlu turun ke bawah untuk mencari jasad Zhaahir –

"Mustahil!" Mendadak mata pria itu terbelalak lebar. Segel radarnya berdenyut keras, meski ia mengira sudah tidak ada lagi lawan yang tersisa.

Ia pun membalikkan badan dengan cepat. Di sebelah sana, berdiri seorang pemuda yang mengenakan topeng perunggu. Ekspresinya tidak terbaca, namun dari kedua lubang di bagian mata, Vajra bisa merasakan ancaman.

Tidak salah lagi, ini adalah ujian terakhir baginya. Sebuah pertarungan final yang menentukan.

XXI

Zhaahir bersuara lantang, "Segel radar Renggo! Mengapa aku merasakannya darimu?!"

Vajra, meski tubuhnya sudah penuh luka, masih bisa tersenyum dramatis. Ia menunjukkan sepotong tangan logam dalam genggamannya.

Sang pangeran berdecak. Hatinya tersayat. Tapi ia lekas menguasai diri. Mungkin ini lebih baik, daripada ia harus mengeksekusi Renggo dengan tangannya sendiri apabila mereka mejadi dua peserta yang berdiri paling akhir.

"Vajra!" Zhaahir menudingkan telunjuknya. "Menyerah atau mati?!"

"Mati," seru sang manusia setengah dewa. Aliran prana yang tersisa mulai terkumpul dalam dirinya. "Kau yang mati!"

Mendadak aura yang menyakitkan tersebar luas. Rasanya tidak perlu dikatakan lagi, tapi Vajra pasti akan mengeluarkan ajian rahasia yang telah disimpannya selama ini, hanya untuk saat-saat terakhir.

Zhaahir menjadi makin waspada.

"Bumi gonjag-ganjing, langit kelap-kelip." Tiba-tiba Vajra membaca sebaris mantra yang bermakna dalam. Seketika tiga pusaka yang ia kenakan – Topeng Pancanaka, Gelang Gandiwa, dan Zirah Antakusuma – menyala terang kebiruan. Ketiganya memancarkan prana yang lebih dahsyat dari Vajra itu sendiri.

Zhaahir merasakan firasat buruk. Bencana akan datang apabila mantra itu sampai selesai dirapalkan. Ia langsung mematerialisasi kudanya, "Qorrum!!!"

"Katon lir kincanging alis risang maweh gandrung." Topeng Pancanaka menjelma menjadi cahaya, meninggalkan wajah Vajra.

"Sabarang kadulu wukir moyag-mayig." Gelang Gandiwa menjelma menjadi cahaya, meninggalkan pergelangan tangan Vajra.

"Saking tyas baliwur lumaris anggandrung." Zirah Antakusuma menjelma menjadi cahaya, meninggalkan dada Vajra.

"Dhuh Sang Ri Sumitra." Ketiga pusaka itu menyatu hingga cahayanya berpendar makin menyilaukan.

Qorrum yang sedang melaju sampai tergelincir karena cahaya membutakan matanya. Zhaahir pun terjatuh, tapi tak membuang waktu. Ia segera bangkit lalu berlari sekencangnya menuju Vajra.

"Tanlyan paran reh kabeh sining wana nangsaya maringsun."

Padahal tinggal beberapa meter lagi sebelum Zhaahir bisa menebas Vajra tapi cahaya pusaka terlanjur meledak di hadapannya. Tubuh sang pangeran terpental jauh. Tapi bukan itu saja efek dari ajian rahasia milik Sang Vajra.

Di kala sudah tak memiliki prana tersisa, Vajra memiliki ajian yang disebut Bumi Beguncang, Langit Gempar. Memisahkan pusakanya sendiri dari tubuhnya, mengeluarkan prana yang tersimpan di dalam pusaka itu, dan menggabungkannya hingga tercipta keajaiban.

Langit pun kelabu. Pegunungan bergetar. Permukaan salju meleleh. Kristalisasi es di udara berubah menjadi penghantar listrik. Kemudian, sebuah petir yang luar biasa dahsyat menyambar bumi. Dentumannya membutakan mata, suaranya memekakkan telinga. Tidak hanya satu, tapi dua, lalu tiga, kemudian empat, begitu terus seperti saling bersahut-sahutan.

"Ini..." Tak percaya Zhaahir melihatnya. "Ini kiamat!"

"Ya, ini kiamat!" Vajra yang sudah tak membawa pusaka apa-apa kini berlari menerjang sang pangeran. Ia bertarung dengan tangan kosong. Lalu ia mengacungkan telapak tangannya ke depan. "Kiamat untumu!!!"

Sebuah firasat melintas di benak Zhaahir. Dalam keadaan seperti ini, bukan tidak mungkin jika Vajra mampu mengendalikan ke mana petir menyambar. Tapi jika seperti itu, maka ia adalah targetnya. Dengan begitu, ada satu cara untuk menghindari sambaran.

Sang pangeran melempar pedangnya sendiri tinggi-tinggi, menjauh dari tubuhnya. Ketika petir datang, gejala alam itu berbelok menghantam pedang logam yang lokasinya lebih dekat.

"Apa?!"

Vajra tertegun. Zhaahir memanfaatkan kesempatan itu untuk mematerialisasi tombak, lalu melemparkannya. Benda itu melesat amat cepat, hanya untuk ditangkap oleh ketepatan cengkraman presisi sang manusia setengah dewa.

"Tombak kecil tak bisa menembusku!" seru Vajra seraya memutar-mutar tombak itu dengan satu tangan, lalu kembali mengarahkan telapak tangan yang lain pada Zhaahir.

Petir akan kembali datang. Kali ini sang pangeran mematerialisasi perisainya, lalu dilemparkan sekuat tenaga. "Bagaimana dengan petir, apa tubuhmu kebal terhadap petir?!" Ya, benda itu dilempar tepat ke atas Vajra.

Petir pun berbelok menghantam perisai, lalu turun mengenai Vajra. Pria itu berteriak histeris kala tiap senti tubuhnya tersengat oleh tegangan berjuta volt. Kulitnya semakin hangus menghitam. Namun tidak sedikit pun semangat tempurnya berkurang. Matanya menyala dirasuki amarah.

"Bumi Berguncang, Langit Gempar!!!"

Petir-petir turun semakin deras seperti hujan. Menghantam permukaan melelehkan salju. Meski tidak ada satu pun yang diarahkan pada Zhaahir, tapi sekeliling pemuda itu menjadi kacau. Permukaan yang ia pijak mulai bergeser. Salju-salju yang berada di puncak semuanya longsor dalam aliran deras.

Dengan teriakan yang sudah nyaris hilang kewarasan, Vajra menerjang maju. Ia mengangkat tombak dalam genggamannya tinggi-tinggi hingga elemen petir terserap ke dalamnya. Zhaahir pun menyiapkan pedang dan perisai. Lalu kedua senjata saling berhantaman.

Tombak Vajra bertemu perisai Zhaahir, dibalas dengan ayunan pedang yang ditahan dengan memalangkan tombak. Elemen petir terus menyengat tubuh sang pangeran, namun tekadnya yang membara seolah bertindak sebagai isolator. Tak pernah sebelumnya ia bertarung seperti ini, mempertaruhkan nyawa di antara badai guntur.

"HAAA!" Pada satu kesempatan Vajra menyapukan tombak.

Zhaahir merunduk. Setelah tombaknya lewat, ia melompat berputar, lalu jejakannya menghantam dada Vajra. Pria itu terdorong ke belakang sedang sang pangeran mengejar. Ia melompat, pedangnya siap dihunuskan.

"Kau lengah!" seru Vajra seraya mengacungkan telapak tangannya ke depan.

Dalam jarak sedekat itu, petir datang menghantam keduanya. Rupanya sang manusia setengah dewa sudah tidak peduli apakah ia akan ikut terluka atau tidak, asalkan musuhnya bisa dihabisi. Namun di sisi lain Zhaahir juga sudah tak peduli. Yang ia tahu adalah menghabisi lawan bagaimana pun caranya.

Tak kenal jeda, mereka kembali bertukar bilah. Dentingan demi dentingan saling berpacu membentuk melodi yang menyayat hati. Bahkan keduanya tak peduli ketika pijakan di bawah mereka mulai luluh, mengalir seperti sungai di antara gunung dan petir.

Pertarungan tak berhenti. Sambil menjaga keseimbangan, Zhaahir dan Vajra terus mencari titik vital satu sama lain. Nadi leher, pergelangan tangan, dada, bagian dalam paha, semua sudah sempat menjadi incaran serangan. Beberapa dipentalkan, beberapa masuk menorehkan luka.

"Kenapa – kau – tidak – kunjung – KALAH?!" seru Vajra seraya menusukkan tombak. Tapi ketika senjata itu hendak ditangkis, ia membuangnya. Sebuah gerak tipu yang meyakinkan. Lalu ia melancarkan tinju dari sudut yang sama sekali tak terduga oleh sang pangeran.

"UGH!!!"

Wajah Zhaahir terhantam. Ketika tubuhnya oleng, Vajra melanjutkan tinju beruntun ke dadanya hingga ia tak sanggup lagi mengangkat pedang dan perisai. Kalau bukan karena chainmail yang melapisi tubuh, riwayatnya pasti sudah habis.

Vajra memberikan satu serangan terakhir. Tinju yang diselimuti dengan prana petir tersisa. "Terimalah ini!!!"

Tapi Zhaahir menangkapnya! Ia menangkap pergelangan tangan Vajra! Ketika pria itu terbelalak, sang pangeran berputar, lalu menggunakan teknik bantingan di mana penggunanya memanfaatkan tenaga sang lawan.

"Sudah kubilang aku tidak mau menerima tinjumu!!!"

Entah kebetulan entah sudah direncanakan, Zhaahir membalikkan tinju terkuat Vajra hingga menghasilkan bantingan dengan kekuatan maksimal. Vajra terpental jauh, hingga menghantam sebuah batu besar. Tapi Zhaahir juga belum bisa lega, karena dari atasnya gelombang longsor kembali datang.

*

*

*

*

*

Zhaahir melesak keluar dari tumpukan salju. Langit sudah cerah. Tidak ada lagi badai petir. Pemukaan salju pun sudah tenang. Tidak ada lagi aliran longsor.

Apa pertarungan sudah berakhir?

Belum.

Vajra tampak masih berdiri sekitar tiga puluh meter dari tempatnya, meski agak terhuyung. Sudah tidak terasa prana dari orang itu, namun matanya tetap mengisyaratkan pertempuran. Tinjunya pun terkepal tak mau lepas.

Dan Zhaahir merasakan jika ajalnya sudah dekat. Ia sudah tak kuat mengepalkan tinju, apalagi mengangkat senjata. Tubuhnya benar-benar sudah terasa lemas. Dingin dan sakit, semua bercampur menjadi satu, mengalir tumpah bersama genangan darah.

Bahkan untuk bicara saja tenggorokannya sudah kaku sekali.

Lalu ia melihat Vajra berjalan pelan ke arahnya. Langkah demi langkah pendek, yang lama-lama berubah menjadi lari kecil. Dalam keadaan biasa ia tak akan terlihat mengancam, tapi saat ini ketegangan Zhaahir sudah naik hingga jakun.

Tapi tidak ada jalan lari. Biar bagaimanapun ukar tinju harus terjadi sebagai penghabisan. Permasalahannya, apa ia bisa menghajar Vajra sebelum tinju orang itu mencabut rohnya dari ubun-ubun?

Sang pangeran tidak tahu. Yang ia tahu, ia akan mati jika tak melakukan apapun. Maka ia berjalan terhuyung menyongsong Vajra. Langkah demi langkah, hingga menjadi lari kecil.

"AAAAAAA!!!" teriakan Vajra membahana.

Sudah tidak kuat teriak, Zhaahir hanya mengeratkan rahangnya kuat-kuat.

Lalu pada jarak yang ditentukan, keduanya melepas tinju masing-masing.

Seketika Zhaahir menyadari jika awalannya terlambat. Ayunan tinjunya juga kurang cepat. Kalau begini tinju Vajra akan menghantamnya terlebih dahulu.

Tapi gerakan sang manusia setengah dewa terhenti untuk sesaat. Rasa sakit di rusuk yang menyebabkan hal itu. Akibat luka sederhana dari Akihot Sasangat yang ternyata membawa efek jangka panjang.

Dan perbedaan kecil membuat perubahan besar.

Tinju Zhaahir berhasil melakukan kontak untuk mengubah segalanya.

Seketika itu, denyut jantung sang manusia setengah dewa pun terhenti untuk selamanya.

Epilog : The Day After Tomorrow

XXII

"Apa kau tidak mau kembali?" tanya Anastasia sang maid sambil bertolak  pinggang.

"Astaga Nona, kau berisik sekali," jawab Zhaahir yang sedang duduk khidmat melantunkan ayat-ayat suci di depan lima gundukan salju. Luka-lukanya sudah disembuhkan. "Tolong tunggu sebentar. Sesungguhnya gadis penyabar adalah calon istri idaman."

"U... uwuu..." Wajah Anastasia memerah, lalu gadis maid itu membuang muka sambil menggembungkan pipi. "Ya sudah sebentar lagi. Janji ya?"

Zhaahir mengangguk.

"Tapi, untuk apa sih kau susah-susah mengubur mereka yang mati di tempat ini?" tanya Anastasia penasaran.

"Renggo, ia adalah seorang teman," ucap Zhaahir. "Vajra, ia begitu tenggelam dalam nafsu akan kekuatan. Sebenarnya aku ingin menceramahinya tapi tidak memiliki kesempatan untuk itu. Yang lainnya aku tidak kenal, tapi yang jelas masing-masing dari mereka pasti memperjuangkan apa yang mereka yakini. Aku hargai itu, karena aku juga melakukan yang sama. Maka dari itu, setidaknya aku ingin mengenang mereka dan memberikan penghormatan terakhir."

"Kau kan masih bisa menemui mereka di kastil Alforea, uwu..."

"Tapi apa mereka akan mengingat yang terjadi di tempat ini? Aku takut seperti Mang Ujang dan Apis, mereka tak bisa mengingat waktu yang kita lewati di ronde penyisihan."

Anastasia terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi.

"Nah, sudah," kata Zhaahir seraya bangkit. "Sekarang pulangkan aku menemui Eri!"

"Kau masih bisa teriak-teriak ya," protes Anastasia sembari membuka portal. Setelah mempersilakan sang pangeran masuk, ia berjalan mengikuti.

"Itulah yang namanya kekuatan cinta. Kelak jika kau menemukan sosok yang telah ditakdirkan untukmu, kau akan mengerti. Tidak akan ada halangan yang sanggup menghentikanmu. Ah, bagaimana dengan Paman Hewanurma? Apa kau punya perasaan padanya? Kau sepertinya semangat sekali mengerjakan tiap perintah darinya."

"A – a – kenap – uh – uwuu..." Tiba-tiba wajah Anastasia memerah. Ia menepuk pipinya sendiri lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, sudah sampai, uwu! Aku – aku pergi dulu ya! Daaagh!"

Anastasia meninggalkan Zhaahir di depan kastil Alforea dengan salah tingkah. Sudah ada lumayan banyak peserta yang dikembalikan ke sana, tapi hanya satu orang yang ingin dijumpai sang pangeran. Ia pun berjalan membelah kerumunan, hingga menemukan sesosok yang memiliki rambut seperti surai mentari tengah membelakanginya.

Pemuda itu mendekat dari belakang, lalu mendekapnya dengan hangat. Sosok itu terkejut lalu menoleh. Tapi saat melihat Zhaahir, tatapannya menjadi sayu.

"Apa semua baik-baik saja?"

"Ya," bisik sang pangeran. "Berkatmu. Terima kasih."

Gadis itu, Eri, lalu memberikan senyum terindah. Anugrah yang seketika menghapuskan segala pedih Los Soleil.

Link ke Facebook Thread

23 comments:

  1. Egile, gue kirain brokeback yg itu...! Heh, tarungnya seru banget ui, sampai2 my dude Vajra musti dikeroyok digilir sampai lewati limitnya :p OOC emang, tapi logikanya dapet. Catatan aja,kalo emang dia udah jadi setengah dewa, Vajra gak akan kalah dari Rogohjiwo/Gangren. Makanya juga di entri R1-ku aku tambahin, misinya di Alforea gak cuma utk menempa diri aja. So, he ain't that badass anyway. Gak ada alasan utk sombong. Malah di entriku dia menganggap Zhazha menarik kok. No, jangan sebut brokeback yg itu, bro.
    Tapi karena saya sudah bilang gpp, terserah interpretasi masing2 anggota Grup F, ya gak masalah lah.

    Skor: 8/10
    Author: Andry Chang
    OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Brokeback yang itu bukan untuk vajra kok, tapi karakter yang lain. Aku bingung aja nentuin judul utamanya jadi yasudala :3

      Haha, memang vajra ini OOC yang disengaja demi plot #plak maafkanlah m(_ _)m

      Makasi uda mampir, paman. >///<

      Delete
  2. anjir.. unsur Jojo berasa banget di entri ini..battle Zhahir vs Vajra kayak Jotaro vs Dio.. Renggo kayak kakyoin..berantem dulu, sadar terus ngorbanin diri buat zhahir.. agak ngefeel juga..semoga Renggo cepet masukin entrynya :')

    Ernest ama Lo Dmun ngingetin ane ama Hol Horse ama Tohth :v . brotherhood yang berujung tragis. buat battlenya juga lumayan bisa ngikutin.. seru lah

    9/10 by Nobuhisa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk iya aku pas pertengahan nulis jadi kepikiran Jojo akhirnya tanpa sadar terbawa suasana oraoraora >///<

      Makazi mas kunjungan dan komentarnya XD

      Delete
  3. gila, keren ceritanya.

    nggak nyangka juga bnyak intrik di sini, mulai dari ernesto yang mau memanfaatkan Lo Dmun.
    Zhaahir ke Renggo yang cuma butuh untuk ngaktifkan jurus.
    Lo Dmun yng malah nyerang Ernesto.

    menurutku ini epic pertarunganya.
    dan ada lucunya juga, lagi battle malah minta celana.

    btw, itu ada beberapa Typo yang saya lihat.

    8 dari Reviss.

    ah ya, Reviss mati duluan ya
    ckckck kasihan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heuheuheu makasi ya gan uda mampir, maap reviss nya mati pertama habis uda pas banget peran para OC nya masing-masing. >///<

      Delete
  4. Fatanir - Po

    karakterisasinya kerasa bgt utk setiap orang. Meski banyak yg main royal rumble tapi sifat2 setiap peserta tapi konsistensinya tetep kejaga.

    Setiap orang punya momen epiknya masing2, diksinya luas, penempatan ketegangannya keren. Cuma masih ada perasaan agak capek pas baca krn terus2an disuguhin battle yg dramatis.

    "Seolah bumi berputar atas kehendaknya" buangkai lah narasi2nya


    Nilai 10/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe makasi pak kemampiran dan komentarnya. ^^ Bisa dibilang ini adalah pembalasan dari prelim jadi kubikin battle abis-abisan. >///<

      Delete
  5. AnonymousJune 19, 2015

    Notes sepanjang baca:

    -Karakternya Zhaahir bener-bener terdefine. Makhluk ini jadi kerasa beda dari kontestan-kontestan lain, nice :))
    -Pertarungannya... bagus sih, tapi terlalu shonen manga for my taste.
    -Vajra dan Zhaahir harus ketemu lagi di ronde-ronde berikutnya. Entah kenapa kerasa kaya dua orang yang cocok untuk berantem satu sama lain.
    -Personal preference, tapi transisi sudut pandang karakternya agak kebanyakan. Ceritanya jadi kurang fokus tokohnya.

    Nilai: 8/10

    ReplyDelete
    Replies
    1. AnonymousJune 19, 2015

      OC: Steele.

      Delete
    2. Vajra sama Zhaahir juga cocok makan gudeg bareng2 sambil ngomongin showbiz sama Eri wkwkwkwk :p

      Delete
    3. AnonymousJune 19, 2015

      Yesss :))))

      Delete
    4. Shonen style itu wajib la bang :> Huahahaha. Oraoraoraoraoraora!

      Duh, makan gudeg tar ya kalau pas jalan-jalan ke Jogja

      Delete
  6. Jujur di entri yang banyakan isi berantem doang kayak gini, saya jadi sering skip bagian yang buat saya ga penting. Zhaahir/Vajra vs rusa misalnya, saya baca cepet aja poin"nya tiap kalimat apa, dan ternyata cuma pengantar yang kesannya nambahin jumlah kata. Walau mungkin emang perlu buat display kemampuan masing" sih ya

    >kombinasi Shadow Stalk dan Swift Shift
    Ga nyangka bakal komen gini ke kamu, tapi mendingan jangan sekedar sebut nama jurus dalam narasi tanpa jelasin ini maksudnya apa yang Ernest niat lakuin

    Yang bagus dari entri ini pembagian partnya jelas banget. Di part berapa fokusnya karakter yang mana, kejadiannya apa. Saya juga make model begini, jadi cukup ringan ngikutinnya. Selain itu sifat dan peta hubungan karakter di entri ini kegambar cukup jelas, antara Zhaahir-Renggo, Reviss-LoDmun, LoDmun- Ernest, dan Zhaahir-Vajra

    Aduh, Akihot Sasangat ini cuma comic relief biar ada komedi numpang lewat ya

    Masuk episode 3 pembagian partnya mulai cepet, ngeliatin urgensi plot yang juga mulai bergerak. Saya baru sadar kalau dialog antar karakter juga lumayan ngalir dan natural. Dan momen pas semuanya ngumpul di satu tempat itu bagus, sayang Reviss udah mati duluan

    Vajra jadi semacem boss ya di sini. Rada ngingetin saya sama Ravelt di entri prelim CC kemaren

    Akhir kata ini sebenernya ringan dan enak aja diikutin, tapi too shounen for my taste dan terus"an battle dan battle bikin saya rada lelah juga bacanya sampe akhir

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Astaga, sumpah deh yang Shadow Stalk ma Swift Shift aku beneran lupa buat masukin penjelasannya >///<

      Kalau Akihot Sasangat mah requestnya Kak Aki buat masuk sebagai cameo, tapi orangnya malah ga nongol-nongol nih di lapakku >///<

      Well, masalah style ya. Aku emang niatin full battle buat pembalasan prelim kemarin, hehe. Tapi masi kuselipin drama-drama kok, hhe

      Makasi Kak Sam uda mampir dan komen \ ^^ /

      Delete
  7. Hrm... Fantasma Mulia... Radar dalam bentuk segel di tangan... Kenapa rasanya tidak asing?
    Keluar dari pertanyaan pertama, saya suka interaksi antar peserta di sini, terutama Lo Dmun dan Ernest yang awalnya hendak saling menikam di akhir, tapi malah berakhir lebih tragis...

    Battle cukup menarik, tapi... bukannya Vajra di sini terlalu OP?!

    Nilai dari saya : 8

    OC : Renggo Sina

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uda perna nonton seri fate/ belum mba..? :>

      Iya Vajra emang sengaja aku OP in supaya heboh pertarungannya, hehe.

      Mkasi mba da mampirr~

      Delete
    2. Pantas saja rasanya nggak asing, ternyata dari situ...

      ...dan saya laki-laki....

      Delete
  8. WOAKAKKA TAIIIK ENA BANGET MBA DAPET BAHANNYA SAYA NGIRI XD
    gimana enggak? Saya musti bikin bahan sendiri yang samhaw berjalan dengan baik xD
    TERUS MAKASIH MBA UDAH BALESIN DENDAMNYA XD
    Anyway, terlepas dari itu, mungkin emang kebawa nonton jojo kali yha battlenya intens terus, tapi emang kadang battle butuh lama biar manteb dan puas bunuhnya wkwkwk.
    Secara plot udah rapi dan jelas, pemasangan dan karakterisasinya juga bisa dibedain, yah, overall bagus kok. Cuma kalau dipikir2 si Zhaahir keras jugak macam Steele, Vajra juga.
    Jadi saya galau mau kasih nilai kurang atau lebih.

    Skor: 9 deh, karena alasan awal #plak

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
  9. Pesananku tak sesuai... saya kasi 2 yha... #DIGAMPAR

    well, ini seru... flownya mantep walau mnurutku Vajra terkesan terlalu OP Illahiah...
    Battlenya mantaf coy... saya kasi kamu plus 7 karena ada Akihot Sasangat. WAKAKAKAKAKAKAKAKAKAKA.... Salah satu alasan Vajra mati kutu :v

    TOTAL 9/10
    [Bun The Bubble]

    ReplyDelete
  10. Lodun manja amat, yaoi material sama Ernest ini *plak

    dan kalimat itu, "Anak laki-laki di hadapannya memang tak melubangi tubuhnya dengan Apertis, tapi telah melubangi hatinya." ini kayak pernah denger di komen fb wkwk

    Agak geli ngeliat Lodun yang kubikin tenang, cuek, pendiam, misterius, jadi cowok cengeng, manja, dan bahkan bisa blushing diapa2in (?) sama cowok XD tapi gapapa, kuanggep ini Lodun dari semesta lain :v

    Aku demen battle-nya, makin mendekati akhir makin intens. Seru, kayak gamau lepas dari hape aku bacanya. Menyenangkan ngeliat intrik2 antar petarung yang digambarkan pake narasi2 puitis tapi ga bikin bingung. Diksinya tai abis.

    Cuma agak ga suka ketika Akihot Sasangat bener2 cuma muncul gitu doang dan ga ada manfaatnya buat cerita, kecuali untuk penyelesaian akhir yg mana sebenernya menurutku bakal lebih kena dramatisnya kalo itu efek luka dari Renggo. Shonen banget emang, tapi kalo menurutku sekali shonen ya sekalian aja XD

    Terus pas Lodun vs Ernest, aku bakal lebih demen kalo misal Lodun dbikin stay polos sampe akhir dan Ernest ngelindungin gara2 tersadar sama kepolosan dan kebaikan Lodun, bukannya ngelindungin Lodun setelah ketahuan kalo aslinya corrupted.

    Paling demen pas kemunculan Eri (iya, itu Eri kan?) dan bikin Zhaahir bangkit. The power of love. Bisa digambarin begitu apik, hampir terharu aku bacanya.

    Ngeri maksimal pas ngeliat Vajra udah kayak zombie. Satu didorong keinginan untuk bertambah kuat sementara satu didorong kekuatan cinta. Konflik yang umum di cerita Shonen tapi di sini bisa tergambar dengan sangat apik. Penggambaran kekuatan final Vajra beneran kayak udah mau kiamat. Love it.

    Last! Karakterisasinya tampak banget kontrasnya, beda antara satu dengan yang lainnya. Meski beberapa OOC tapi justru krna OOC itu konklusi ceritanya jadi superb gini.

    Dari aku 9/10 lah :D

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete
    Replies
    1. btw kak lilin mampir balik dong di entrinya Lodun :v

      Delete
  11. >manusia setengah dewa
    >akihot
    >sasangat
    >nanti kamu dipuja

    s i a l a n

    sungguh Zhahiir bangsat setan yang menawan, hatiku luluh ingin memberi catatan ini sebuah nilai jutaan.

    Berkali-kali aku dipukul oleh untaian kalimat yang merogoh hati ini dengan lembut, meremasnya dengan hangat, tanpa meremukkannya. Mata saya sakit, sakit akan insani maha lebay ini.

    Ya, saya mengharap sebuah gombalan hebat, tapi ini saya, Vajra!

    Tersisip juga gambaran dua pemuda yang beradu baik, saling berkekap, walau diapit oleh dinginnya latar dan sikap, saya terkibuli oleh munafik manis.



    SIAL, SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL SIAL, SIAL, SIAL..

    Kau tiupkan nafas hangat bagi hati yang mati ini, tentu saja karena terbunuh, wahai pangeranku.

    Untukmu, rupawan. 10/10.....


    .........uwu

    ReplyDelete