22.6.15

[ROUND 1 - TEAM A] STELLENE FORTRAND - LOVE THY TREASURE

STELLENE FORTRAND - LOVE THY TREASURE

Penulis: Clairine Cao



Panas.

Tapi surga.

TAPI PANAS.

Bahkan sejak menit-menit pertama tiba di sini, Stellene sudah bisa merasakan keringat membasahi tengkuknya. Positifnya, dia masih bisa berkeringat di tambang yang panasnya keterlaluan, namun tetap saja dia tidak mau terlalu lama berada di sini...

....not.

 Biarpun panas, tapi gua Managua itu penuh, penuh dengan batu-batuan berharga berkualitas tinggi. Di sana! Di sana ada satu rumpun batuan yang penuh dengan batu delima yang indah! Lalu di situ! Tidak sampai sekian ratus meter jauhnya dari gugusan ruby tadi, Stellene melihat jelas kilauan putih yang hanya bisa dimiliki keluarga intan. Lalu di sana juga! Di situ! Dimana-mana! Ini—

Surga.

Surga panas, sih, dengan magma yang saking menyalanya sampai membuat gua ini terang benderang, tapi tetap surga di bumi. Panasnya tidak seberapa kalau sudah ada cara penanganannya, sih. Setidaknya, Stellene masih bisa menggunakan safir-safirnya. Siraman air dingin yang bisa dikeluarkannya setiap saat cukup menyelamatkannya. Dinginnya pun juga membantu kepalanya untuk kembali fokus dengan pikirannya, selain menjaganya dari dehidrasi.


Dalam dua hari terakhir — tiga, malah, kalau dihitung sejak kedatangan pertamanya di Alkima — Stellene banyak dirundung kebingungan. Bingung tentang turnamen ini sendiri, bingung tentang apa yang sedang terjadi, bingung tentang apa yang perlu dilakukannya. Kemarin pun, di penginapan di tengah hutan tropis itu, dia masih bingung. Arah turnamen ini masih tidak terlihat, identitas si gadis cebol aneh bernama RNG-sama itu masih patut dipertanyakan, dan satu lagi.

Bunuh-membunuh.

Kemarin, kata 'bunuh' sempat disebut. Bukannya Stellene asing dengan konsep bunuh-membunuh, namun tidak disangkanya di turnamen yang dikiranya berkonsep 'permainan' ini bakal muncul topik itu. Memang sih, Anastasia, si pelayan yang menjadi pembawa acara utama kemarin, dengan segera meralatnya dengan 'membuat pingsan', namun berarti korban jiwa di 'permainan' ini bukanlah sesuatu yang mustahil, bukan? Apakah itu yang terjadi kepada sisa lima puluh lebih orang yang kemarin sudah tidak dilihatnya di penginapan? Mati terbunuh? Tapi tim pertamanya kemarin—

Sudahlah.

Mungkin mereka hanya lupa masuk ke ruangan kemarin.

Terlepas dari soal bunuh-membunuh itu, sebenarnya tugas mereka kali ini cukup mudah. Seperti yang dijelaskan oleh suruhan-suruhan Anastasia lagi sebelum mereka berangkat tadi, yang perlu dilakukan untuk memenangkan ronde ini hanyalah menjadi orang terakhir yang masih sadar pada akhirnya. Mereka dibagi secara acak menjadi beberapa kelompok. Di malam hari mereka makan bersama.

...bayangkan, coba. Makan bersama dengan orang-orang yang bisa jadi keesokan harinya akan menghadapimu dalam pertarungan sengit antara hidup dan mati.

Hahahahahahaha.

***

"Ara, permisi." Dengan santai Stellene berjalan melewati beberapa pekerja tambang yang tengah sibuk menggali batuan. Untung penambang-penambang undead yang hanya nyaris tinggal tulang-belulang itu tidak agresif, dia jadi tidak perlu kepikiran tentang mereka. Dia sempat khawatir, soalnya; mas dia harus berjuang kabur dari mereka sekaligus mencoba menghajar kelima orang lainnya dalam kelompoknya? Bukannya tidak mungkin, sih, tapi itu merepotkan sekali. Dan bicara soal merepotkan...

...kira-kira kalau dia pinjam beberapa batu dari tambang ini, undead-nya bakal marah tidak, ya?

Pemuda berambut gelap kebiruan itu mengusap keringat yang menuruni wajahnya. Kacamatanya beberapa kali dilepasnya, digosoknya dengan ujung pakaiannya karena kena keringat. Stellene tidak akan sepenuhnya keberatan berada di gua ini lama-lama, apalagi kalau dia diperbolehkan panen batu mumpung di sini. Tapi dia juga tidak boleh lupa dengan keberadaan lima orang lainnya. Mana dia tahu seberapa jauh mereka ingin memenangkan ronde ini, kan? Jangan-jangan mereka menseriusi pembicaraan bunuh-membunuh itu!

Prak! Prak! BRAK!

Baru juga dipikirkan.

Stellene membuka sebuah pintu, mencari sumber suara yang baru didengarnya. Baru saja dia membuka pintu, dia sudah disambut pemandangan seseorang berpakaian tentara menghantam para penambang undead ke dinding gua. "Elu, elu, elu, pada beraninye! Kalo udah mati ya mati aje terus kenape!" Didengarnya pemuda tentara itu berteriak, sambil memukul jatuh tiga undead terakhir sekaligus ke tanah.

Lalu hening.

Hening.

Stellene dan pemuda yang tidak dikenalinya itu bertatapan beberapa saat.

Hening—

"Oooooh—" Pemuda yang tadi menghajari para undead itu, setelah berdiri diam sambil terengah, tiba-tiba oleng. Stellene terkejut melihatnya, tentu, namun untungnya dia masih cukup sigap untuk melompat kedepan dan menangkap orang itu sebelum dia menghantam tanah.

"H-hei, kamu tidak apa? Hei—eh?"

Keanehan terjadi. Dikiranya tadi dia menangkap seorang pemuda dengan kekuatan Rambo yang mungkin kelelahan menghajar zombie, namun ketika dia merebahkan tubuh lemah itu, yang dilihatnya malah kakek-kakek yang sebelum berangkat tadi dilihatnya. Ah—

Aaaaaaaaah.

"Er, pak...? Pak Kumirun?"

Tidak ada jawaban, selain batuk-batuk kering yang ditemani tetesan keringat dan erangan lemah. Baru beberapa detik kemudian Stellene menyadari kalau kakek itu pasti sama kepanasannya dengan dia, kalau tidak lebih kepanasan karena baru selesai berantem dengan tulang. Ah, harus apa dia sekarang?

Oh ya!

Stellene merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah serpihan batu berwarna biru gelap. "Semoga di gua ini ada stok safir yang bisa aku pinjam nanti..." Dia bergumam pelan, sambil mempererat genggamannya di batu yang kemudian berpendar lembut itu. Sebuah gelembung air muncul di atas kepala Kumirun, sebelum kemudian jatuh dan pecah di wajah keriput itu.

"Bbbpppffffffttttt—APE INI, SERANGAN BOM AER NIPPONG!?!"

Kumirum terbangun dengan sebuah lonjakan yang cukup menakjubkan untuk ukuran orang seumurnya. Stellene bahkan tidak berani bicara apa-apa sambil menonton kakek tua itu menyumpah serapah sambil mengayun-ayunkan tongkat jalannya dengan murka.

Y-yaah, setidaknya dia tidak jadi pingsan kepanasan, kan?

Kumirun tiba-tiba berhenti mencaci udara, dan ganti melotot ke arahnya. "ELU!" Stellene sampai menunjuk dirinya sendiri dengan bertanya, sementara kakek itu berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Entah bagaimana caranya dia mengerti kalau seruan 'elu' itu mengacu kepadanya. "Elu yang tadi nyiramin aer ke gue, nak!?"

"I...iya, pak?"

PLAK!

"GAH!"

Tongkat jalan yang terlihat kokoh itu sungguhan kokoh, ternyata. Bahkan dengan tenaga kakek-kakek, sakitnya masih terasa ketika Kumirun memukulkannya ke kepalanya. Untung dia sudah biasa baku hantam dengan Elze! "K-kenapa aku dipukul tongkat, pak!?"

"Elu bocah kaga ngerti tata krama, siram-siram air ke muke orang!" Stellene harus menahan tongkat itu dari memukuli kepalanya lagi — dasar opa-opa gila! Apa kakek ini tidak tahu kalau satu menit lalu dia sudah berada di ambang kematian karena kepanasan dan dehidrasi!? Untungnya tenaganya yang tidak terlalu kuat ini masih cukup bila untuk sekedar menahan tongkat seorang kakek-kakek yang sudah rapuh begini. "Lepasin tongkat aing, nying!"

"Pak, pak, pak," tangannya masih menahan tongkat itu, tentu. Dia belum mau semaput karena digebukin kakek-kakek di kepala...apa jangan-jangan memang itu niatnya kakek-kakek ini? Dia peserta turnamen juga, kan? "Kalau kau masih belum sadar, aku baru saja menyelamatkan nyawamu, ini!" Jangan malah gebukin penolongmu dengan tongkat yang minta dipatahkan begini, dong!

"Oh...elu nyelametin gue, nak? Elu yang namanya kayak ketela itu, kan ye?"

Kenapa harus ketela.

"I-iya, pak. Dan namaku bukan Ketela..."

Sepertinya kakek itu akhirnya tenang. Stellene melonggarkan genggamannya di tongkat jalan Kumirun, bahkan membantu menurunkan tangan Kumirun supaya tongkat itu kembali ke tanah.

Tapi dia malah digebuk lagi.

PLAK!

"PAK, AKU JANGAN DIGEBUK TONGKAT MELULU!"

Stellene memegangi hidungnya yang baru saja menjadi korban sabetan tongkat Kumirun, yang tampaknya akhirnya puas menghajar pemuda berkacamata ini dengan senjata multifungsinya. "Laen waktu sopanan dikit, nak Ketela."

"STELLA!"

"Hastaga cu, iyo deh nak Netella," Hastaga balik, pak Kumirun. "Makasih deh nak, gue sudah ditulungin." Kakek itu kemudian berjalan menjauh dari Stellene sambil menggosok wajahnya yang basah. Stellene bisa mendengar Kumirun mengeluh soal panasnya gua Managua, dan dia hanya tertawa pelan.

Dalam hati, Stellene ingin menampar dirinya sendiri, sebenarnya. Seharusnya, seandainya tadi dia tidak menolong Kumirun, dia sudah mengeluarkan satu orang dari ronde ini, kan? Kenapa dia harus menolong kakek itu tadi, coba? Dia juga bukan orang yang terlalu baik, sebenarnya...

"Shattering waves under the earth—"

"Hm?" Sayup-sayup terdengar suara, sedikit jauh dari tempatnya berdiri. Suara itu terdengar dari arah berdirinya Kumirun, yang tampaknya tidak mendengar apa-apa dan masih sibuk mengeluh soal panasnya magma.

"SPARK!"

Bahkan dari tempatnya berdiri, Stellene bisa melihat batuan di sekitar Kumirun tiba-tiba bergetar. Beberapa kristal yang sebelumnya menempel di retakan batuan gua terlepas dari sarangnya, dan Kumirun tua kembali oleng dan jatuh ke tanah. Kali ini, Stellene bahkan tidak berani mendekat, apalagi melihat kakek tua itu kejang-kejang dan merintih. Lalu diam.

Tidak bergerak.

Mati...?

"Ah!"

Sementara Stellene tertegun, agaknya seorang lawan lain sudah bergerak ke belakangnya. Polunocnica terambil dari tangannya, direbut oleh seorang makhluk pendek yang dikenalinya sebagai satu lagi lawan di kelompok ini. Namanya kalau tidak salah Bun — Bun sesuatu.

"Eye-opening art of the Artifice—"

"Kembalikan!" Stellene melangkah untuk merebut kembali tongkatnya, namun gnome kecil itu terlalu gesit untuknya. Dalam sekejap makhluk cebol berpakaian jingga itu telah berada beberapa puluh meter darinya, membawa tongkat kesayangannya dan menyelidikinya dari ujung ke ujung.

"DEGRADE!"

"APA MAKSUDMU DEGRADE ITU TONGKAT CUMA ADA SATU DI DUNIA MANAPUN JANGAN KAU APA-APAKAN, MALING!"

Cukup. Cukup! Kau boleh pinjam tongkat kesayangannya, tapi kalau kau berniat mengapa-apakan Polunocnica sebaiknya kau tenggelam di lautan magma, gnome maling! Stellene berlari mengejar Bun, tangannya terulur untuk mengambil kembali tongkatnya. Namun apa daya, gnome itu jauh lebih gesit daripada Stellene, dan dengan mudah Bun melompat menjauh dari pemilik tongkat yang diculiknya.

"KEMBALIKAN—!"

"Artifice mind probe~ HUNGRY!"

HUNGRY!?

"JANGAAAAAAAAAAANNN!!"

Ketahuilah, bagi Stellene, Polunocnica itu seperti anaknya sendiri, saking berharganya. Itu tongkat kebanggaannya, buatan tangannya sendiri dengan bantuan dari salah satu craftman terbaik yang dikenalnya di angkatannya. Batu kuarsa yang terpatri di kepala tongkat itu adalah kuarsa perfect grade yang didapatkannya dengan darah dan keringat sendiri setelah berhari-hari memburu makhluk-makhluk pemakan batu demi memanen core mereka. Belum lagi material utama penyusun badannya! Dan kau berniat menurunkan gradenya dengan degrade keparatmu itu, gnome!? Bahkan, tidak puas dengan men-degradenya, KAU BERNIAT MEMAKANNYA!? TIDAK BOLEH! TIDAK BOLEEEEEH!!

"BLITZ!"

"BUN!??"

Citrine adalah salah satu batu favorit Stellene untuk lawan berkecepatan tinggi seperti Bun. Bagaimana tidak, berbeda dengan rubi dan safir yang cenderung lambat, aktivasi citrine itu nyaris instan, mulai dari tahap inklusi Aether sampai eksekusinya. Ditemani dengan teriakan yang keluar secara refleks, batu di tangan Stellene menyala kuning, dan sebuah percikan listrik tepat mengenai gnome yang sempat berhenti bergerak sesaat itu.

Bun terjatuh, dan Polunocnica terlontar ke tanah. Cepat-cepat Stellene berlari mengambil tongkatnya, mendekapnya dengan posesif dan bahkan memastikan kalau tongkat itu tidak kenapa-kenapa. Kuarsanya? Masih sempurna walaupun sedikit lebih tergores akibat terlontar tadi. Badannya? Gradenya?

"Uuu...itu sakit, bun..."

Dekapan Stellene ke Polunocnica semakin erat ketika gnome yang baru saja tersetrum itu bangun kembali. "Salahmu sendiri, berani-beraninya makan-makan barang orang, hmph!" Pandangan awas terus tertuju ke arah Bun, yang pelan-pelan berdiri, mengibaskan debu tanah dari tubuh pendeknya.

"Makan? Bun nggak mau makan tongkat itu, kelihatannya nggak enak, bun..."

"Lalu maksudmu hungry tadi itu apa, coba, Bun?"

"Itu..."

Si Bun diam. Stellene dari tidak ingin tahu jadi penasaran lantaran Bun sudah bilang maksudnya hungry itu bukannya dia mau makan Polunocnica. Diketuk-ketukkannya kakinya di tanah, menunggu jawaban Bun yang kelihatannya galau mau membocorkan informasi kekuatannya atau tidak.

"Itu maksudnya Bun mengambil alih dan menggunakan kemampuan artifakmu, Bun."

...NGGAK NYAMBUNG!

Stellene rasanya seperti ingin menepuk dahinya sampai merah sekarang. Kemampuannya seperti skill steal begitu kenapa teriaknya harus HUNGRY, coba!? Kan orang jadi salah paham, Bun! Salah paham! "Terus coba kutebak—degrade artinya bukan menurunkan kualitas barang yang kau pegang?"

"Bukan, bun."

Stellene ketawa. Bun menatap pemuda batu akik itu dengan pandangan bertanya, namun dia tidak bergerak ketika Stellene berjalan ke arahnya dengan tongkat di tangan kirinya.

THONK!

"Gyabun!"

"Kau menakut-nakuti orang saja, Bun." Stellene menggelengkan kepalanya sambil menghela napas. Tidak sedikitpun dia merasa bersalah setelah memukul kepala Bun dengan ujung tumpul Polunocnica. Malah sebenarnya dia masih dendam si Bun sudah pegang-pegang Polunocnica sembarangan, tanpa permisi pula!

"Kamu sayang sekali dengan Polunica, ya, bun."

Stellene menunduk, menatap Bun. "N-namanya benar Polunica, kan, bun?" lanjut Gnome itu. "Banyak bahan yang Bun tidak tahu namanya, tapi kelihatannya dia berharga sekali untukmu, bun..."

Bagaimana kau tahu? Ingin Stellene menanyakannya, namun mungkin dia bisa menyimpan pertanyaan itu untuk kali berikutnya. Sekarang, Stellene hanya tersenyum tipis. Melihat Bun sekarang, waktu orangnya sedang tidak jadi maling lepas begini, sebenarnya Bun ini tidak buruk juga ya.

"Namanya Polunocnica, Bun. Po-lu-nok-ni-ka. Bukan Polunica." Ujar Stellene. Pikirannya mulai terbawa ke masa lalu, di mana dia dan rekannya yang bernama Eston berdua mengukir bongkahan yang menjadi dasar bentuk Polunocnica. "Dia...kebanggaanku. Kesayanganku. Walaupun kurasa kau sudah menyadarinya sekarang, hm?"

"Iya, bun..."

Stella tersenyum, menggelengkan kepalanya melihat Bun. Yah, Bun sebenarnya tidak jahat sama sekali, sih. Namun turnamen masih berjalan, dan walaupun Stellene masih bingung dengan keseluruhan turnamen ini, bukan berarti dia tidak ingin menang...

"Bun," panggil Stellene ke gnome itu. "Mau mengalah tidak? Biarkan aku menghajarmu sampai hilang kesadaran, gitu."

Pertanyaan bodoh.

Jawaban Bun kemudian tidak mengherankan. Gnome itu terlihat kaget, lalu menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Tidak mau, bun! Bun tidak boleh berhenti di sini!" Apakah Bun punya misi penting yang hanya bisa diselesaikannya dengan memenangkan turnamen ini? Mendengar keteguhan Bun, Stellene mau tidak mau sedikit bersimpati dengan gnome kecil itu, sebenarnya. Tapi kalah—

Kalah juga tidak menyenangkan.

"Kalau begitu kita harus bertarung, Bun. Tidak apa?" Tidak perlu menunggu jawaban apapun. Stellene mengamati Bun, dan gnome itu jelas sudah menemukan kembali semangat tempurnya. Lawannya itu menarik napas, dan kembali bergumam — sebuah pola yang diamati Stellene selalu mendahului semua tindakan Bun di pertarungan. Gumaman itu, mantra kah? Atau sebenarnya malah tidak dibutuhkan untuk eksekusinya? Terlalu banyak tanda tanya di sini.

Namun Stellene sudah cukup mendistraksi Bun dengan perbincangan mereka. Serpihan safirnya telah digenggamnya bahkan sejak dia meminta Bun mengalah. Sang gnome baru saja akan meneriakkan sesuatu ketika Stellene menggerakkan tangannya dengan cepat ke arahnya. Blub! Sebuah gumpalan air yang padat dan besar terbentuk di udara, mengurung Bun di dalamnya dan sukses menghentikan apapun yang akan dilakukannya.

"Blun!?"

"Dipukul di kepala lebih tidak sakit daripada mati tenggelam, katanya," Stellene berjalan mendekati gumpalan airnya. "Sebisa mungkin aku lebih ingin menang tanpa harus terlalu banyak menyakiti yang lain. Bagaimanapun kita semua sesama pemain di permainan tidak jelas ini, kan?"

Bun menggelengkan kepalanya dengan panik. Stellene tidak bisa membedakan gestur Bun, sejujurnya. Apakah gelengan kepala itu berarti Bun tidak akan menyerah — ataukah gelengan itu karena Bun sudah kehabisan napas di dalam air itu? Yang manapun, jawabannya bukan jawaban yang diharapkannya akan diterimanya, sih.

"...baiklah, Bun. Maafkan aku."

Hanya ditatapnya gelembung yang mengurung Bun selama satu menit lebih. Dia yakin, tidak banyak orang bisa menahan napas lebih dari satu menit di dalam air, apalagi di dalam air dengan tekanan tinggi seperti gelembung airnya. Merasa bersalah? Sedikit, namun Stellene sudah meyakinkan dirinya kalau ini perlu.

Toh, kalau kecurigaannya tentang turnamen ini benar, nantinya juga mereka semua akan keluar dari tempat ini dengan tanpa terluka sedikitpun.

Ya, yang pertama disadarinya ketika dia keluar dari gerbang teleportasi padang pasir Shoh'r adalah penampilan semua orang. Tidak satupun dari mereka yang terlihat seperti baru saja menghadapi pertarungan, termasuk dirinya. Batunya sih tetap terpakai, seperti seharusnya, yang mana tidak membuatnya terkejut. Tapi luka-lukanya? Hilang. Lenyap. Seperti pertarungan melawan sang kuda api tidak pernah terjadi.

Dia masih tidak bisa menjelaskan perginya lebih dari separuh populasi turnamen itu, sih. Apakah mereka mati dan tidak kembali lagi? Tidak, seharusnya — dia sempat mendengar komentar soal beberapa orang yang konon seharusnya sudah mati, namun ternyata malah berdiri dengan segar bugar di situ. Sementara, dari yang menghilang, ada juga yang katanya seharusnya kembali bersama yang lain...dan tidak muncul lagi. Sangat patut dicurigai, bukan?

Blub, blub! Perhatian Stellene kembali tertuju ke gelembung airnya — Bun baru saja melepas napasnya, dan gnome itu akhirnya tenggelam di dalam gelembungnya. Dihelanya napasnya, sambil melihat tubuh lemas Bun yang mengambang di dalam air tanpa bergerak lagi. Sudah tidak sadarkan diri, kan, seharusnya? Dengan satu jentikan jari Stellene, gelembung itu pecah, menjatuhkan Bun dan air di dalamnya ke tanah.

Maafkan aku, Bun...

Sebuah pekik pelan tiba-tiba terdengar dari belakangnya, dan Stella memutar badannya. Sosok seorang gadis berpakaian hitam-ungu, dengan gaya mirip-mirip pakaian kesayangan Ana — pendek selutut namun berenda-renda dan memiliki desain yang rumit. Ya, gadis kecil ini pun adalah salah satu peserta turnamen. Eumenides, namanya, kalau tidak salah?

Dan datangnya harus pas setelah dia mengurung makhluk semungil Bun di dalam air dengan tidak berhatinya. Haah.

"Halo," disapanya gadis kecil itu sambil tersenyum canggung. Matanya bergerak dari Eumenides, ke kucing yang mengikutinya. "Kalau tidak salah, namamu Eumenides?" Pandangannya kembali ke wajah gadis itu, yang tidak terlalu terlihat berekspresi.

"...panggil aku Puppet."

Dingin banget, dek.

"Baiklah, Puppet. Hai. Hai juga, Kazuki." Sapaan ditujukannya juga ke pemuda yang berjalan di belakang Puppet. Mata Stellene bergerak ke pedang tipis yang dipegang anak itu di tangannya. Pengguna pedang—bukan musuh yang ideal untuknya, kalau lawannya cukup mahir menggunakan senjatanya.

"Gua ini lumayan kecil ya," Komentar Stellene kemudian sambil tertawa. "Masa belum apa-apa aku sudah ketemu kalian semua. Kurang satu orang lagi sudah lengkap dong kelompok kita, haha." Ini bukan hal yang perlu ditertawakan, sebenarnya. Di satu sisi, dengan bertemu anggota kelompok lainnya secepat ini, dia bisa lebih cepat keluar juga dari gua panas ini kalau semuanya berjalan lancar. Tapi di sisi lain...

"A-a-a-a-ah. Berhenti di situ." Satu tangannya naik sebagai gesturnya meminta Kazuki untuk tidak melangkah maju lagi ketika pemuda itu bergerak. "Tidak usah buru-buru menghunuskan pedang, Kazuki. Aku juga tidak berniat buru-buru menyerang, kok." Begitu ujarnya, sebelum mengerlingkan pandangannya ke Puppet juga.

Gawat kalau sampai Kazuki dan Puppet kemudian memutuskan untuk menyerangnya bersamaan. Satu per satu, Stellene cukup yakin bisa menghadapi mereka, walaupun Kazuki mungkin bukan musuh yang paling ingin dihadapinya sekarang ini. Tapi bersamaan? Kalau strategi mereka solid, pertarungannya bakal jadi cukup merepotkan.

"Kau mungkin nggak, bu," Bu? Stellene sempat mengangkat alisnya, namun untuk kali ini tidak terlalu dianggapnya panggilan itu. "Tapi aku nggak mau berlama-lama di sini. Nggak nyaman banget di sini."

Oh, ya.

Setelah diamatinya kembali kedua orang itu, barulah Stellene ingat betapa tidak bersahabatnya panas Gua Managua sebenarnya. Yang membuatnya masih merasa cukup nyaman hingga sekarang hanyalah siraman air dingin di kepalanya yang dilakukannya beberapa kali tadi.

Kazuki maju, menerjang ke arahnya, namun sepertinya kepanasan membuat gerakannya menjadi lambat, hingga Stellene bisa menghindari gerakannya yang tidak sepenuhnya terfokus dengan cukup mudah. Dia bahkan tidak perlu balas menyerang Kazuki — hawa panas ini akan memukul jatuh lawannya dengan sendirinya, hah!

Dipikir-pikir, Bun kok kuat ya di tengah panas tadi?

Ah sudahlah.

Stellene mengayunkan tongkatnya ke arah tanah, menyandung Kazuki dan membuat pengguna pedang itu tersungkur. "Menyerang sendiri-sendiri? Kalian bukannya jadi malas berpikir karena kepanasan, kan?"

Pertanyaannya itu separuh tulus separuh tidak. Sesungguhnya Stellene tidak bisa tidak kepikiran dengan kondisi mereka, apalagi di sini seingatnya setelah Kumirun dia yang kedua paling tua. Tapi sudah berkali-kali, sepanjang malam sebelum mereka dikirim ke sini, dia meyakinkan dirinya kalau turnamen ini bukan tempatnya khawatir dengan orang. Y-yaa, dia sempat lupa dengan Kumirun tadi sih, tapi...

"Kau tidak akan bertahan lama, Kazuki," Masih ditahannya Kazuki di tanah dengan tongkatnya. "Kalian sudah terlalu lemah untuk ini—pasti kalian tidak bawa air waktu berangkat tadi, ya kan?" Helaan napasnya bukan dimaksudkannya untuk mengejek, sungguh. Malah itu bentuk perhatiannya ke Kazuki dan Puppet, sebenarnya. Dia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kedua anak itu atau siapapun juga, sih, dipikir-pikir. Mereka juga tidak diberitahu sebelum berangkat mau ke mana mereka diberangkatkan.

...sebenarnya dia bisa dibilang agak curang, ya.

"Menyerah saja dan biarkan aku membuat kalian pingsan dengan cara paling tidak sakit yang kutahu."

Gerutuan Kazuki kemudian ditangkapnya sebagai jawaban 'tidak. Tentu saja. Bun, Kazuki...Kumirun pun seandainya sempat dia minta untuk jadi target kacang kemungkinan tidak akan menjawab 'ya', kan? Dihelanya napasnya, sedikit menyesali keengganannya untuk belajar lebih banyak tentang titik-titik tekanan di tubuh, padahal seandainya dia hafal tentang itu, membuat orang tidak sadar bakal jadi lebih mudah, kan? Akhirnya diputuskannya kalau satu sambaran listrik akan cukup untuk—

"Ah!"

Sesuatu baru menusuk lengannya. Stellene menoleh, dan dilihatnya Puppet tepat di sebelahnya. Dia lupa soal Puppet, dan disangkanya gadis itu sudah tidak bisa bergerak lagi karena kepanasan. Prasangkanya salah, agaknya.

Namun kemudian muncul pertanyaan 'apakah itu saja yang bisa kau lakukan, Puppet?'. Sebuah tusukan dengan jarum yang rasanya sekecil duri kaktus? Sungguh? Stellene tertawa, dan tidak bisa ditahannya keinginan untuk menepuk kepala gadis itu. "Hati-hatilah dengan jarum, Puppet." Ujarnya santai. Tidak ditangkapnya senyuman yang muncul di wajah Puppet kemudian.

 "Baiklah...Stella." Gadis itu membalas Stellene dengan ekspresi datar, bonekanya masih dipegangnya erat di tangannya. Puppet lalu mengangkat bonekanya menutupi wajahnya sambil berjalan mundur, dan Stellene cukup yakin dia sempat mendengar Puppet menggumamkan sesuatu.

Barulah disadarinya kalau Puppet tengah merencanakan sesuatu.

"H-hei, kau...kau berniat apa, Puppet?"

Perasaannya mengatakan kalau gadis itu sedang merencanakan sesuatu yang berbahaya. Gawat. Gawatgawatgawat—

Deg.

Polunocnica terjatuh, terlepas dari tangan kiri Stellene. Tangan kanannya yang terulur ke arah Puppet berhenti bergerak, dan demikian juga dengan kakinya, yang tiba-tiba menolak menuruti perintah pemiliknya. Senyuman di wajah Puppet melebar, dan seperti seorang anak kecil yang tengah bermain-main dengan seseorang, dia mengangkat tangan bonekanya, melambai-lambai ke Stellene.

"Hati-hati dengan tebing, Stella~"

Kakinya bergerak sendiri. Kepanikan melanda Stellene ketika akhirnya disadarinya apa yang dilakukan Puppet. Manipulasi melalui darah, tentu — tidak ada alasan untuk gadis itu menusuk-nusuk orang tanpa alasan, bukan? Bahkan tangannya pun tidak menurutinya, seberapapun inginnya dia bergerak sesuai keinginannya.

Kakinya membawanya semakin dekat ke pinggiran tebing. Bahkan dari ketinggian hampir seratus kaki pun dia bisa merasakan radiasi panas sungai lahar di bawah sana. Ditatapnya sekali lagi mata Puppet.

Dia serius.

Gadis itu serius, kawan.

Satu langkah terakhir, dan momen berikutnya Stellene bisa merasakan gravitasi menariknya ke bawah. Yang bisa dilakukannya hanya panik, panik, dan panik namun menggerakkan tangannya saja dia tidak bisa. Dia belum mau mati di sini. Kalaupun dia bakal mati di sini, sebisa mungkin dia tidak mau mati di dalam sungai lahar! Tidak! Dia tidak mau mati begini—

Dan saat itulah kontrolnya terhadap tubuhnya kembali.

***

Sungguh, keberuntungannya mulai senang bermain-main dengan Stellene sejak dia tiba di dimensi ini. Satu saat dia seperti akan menjadi satu dengan lahar, namun momen berikutnya Stellene menemukan dirinya berpegangan sekuat tenaga ke batu-batuan yang mencuat dari tebing terdekat. Tangannya gemetaran, dan satu-satunya yang menahannya dari melepaskan pegangannya sekarang hanyalah keengganannya untuk mati ditelan lahar.

Terima kasih, bintang kejora, sungguh terima kasih, di benaknya diulang-ulangnya kata-kata itu sambil menarik napasnya dalam-dalam. Dengan cukup kesulitan,  Stellene menarik dirinya sendiri naik ke permukaan yang dipeganginya, yang ternyata adalah mulut sebuah gua kecil dalam tebing itu. Dia masih beruntung!

Diperhatikannya gua kecil itu dan lentera-lentera yang tergantung sepanjang dindingnya, sebelum dia mendongak. Mustahil untuknya memanjat tebing itu untuk kembali ke tempatnya berada sebelumnya, dan kalaupun dia berhasil memanjat naik, masih ada kemungkinan kalau Puppet dan Kazuki masih ada di atas sana.

Diputuskannya untuk berjalan memasuki gua itu, akhirnya, setelah mengambil salah satu lentera yang tergantung di dinding. Dia tidak sepenuhnya yakin dengan ujung gua ini, namun Stellene juga tidak bisa tinggal diam, bukan? Setidaknya...

Setidaknya, dia harus mengambil kembali Polunocnica.

Sambil berjalan, Stellene merogoh tasnya. Lebih dari separuh batu-batunya terjatuh ke lahar waktu dia jatuh tadi. Tsk. Untung kacamatanya tidak ikut jatuh. Diambilnya satu batu safir yang untungnya masih tersisa untuk memunculkan segelembung air yang segera disiramkannya ke wajahnya dan diminumnya. Dia yakin suhu tempat ini sebenarnya tidak berubah, hanya saja dia sudah menghabiskan waktu terlalu banyak di sini.

Dia berjalan memasuki gua itu lebih dalam, mengikuti jejak lentera di dinding. Dirasakannya gua itu sesekali menanjak, memberinya harapan kalau gua itu akan setidaknya membawanya kembali ke permukaan lebih tinggi. Sambil berjalan, bisa dilihatnya batu-batuan rubi dan garnet tertanam di dinding gua itu. Apakah sebaiknya dia mengambil beberapa dari batu-batu itu?

Baru saja Stellene berniat untuk melepas sebongkah rubi dari dinding gua, tiba-tiba gua itu bergetar. Getaran itu tidak terlalu lama, namun setelah gempa kecil itu reda, Stellene bisa mendengar keributan. Suara seperti batu-batuan runtuh, bongkahan permata berjatuhan, dan — raungan?

Rasa penasaran membawa Stellene berjalan lebih cepat menyusuri gua itu. Suara raungan yang terdengar semakin keras, memberitahunya kalau arah berjalannya itu tidak salah. Benar saja, gua itu berakhir di sebuah ruangan bundar yang penuh dengan perlengkapan menambang yang terbengkalai, dengan sebuah pintu kayu di salah satu sisinya.

Stellene mengintip keluar melalui jendela kecil di pintu itu. Tidak ada batu-batuan yang runtuh di depan pintu itu, namun gantinya dia bisa melihat para penambang undead berkeliaran tanpa fokus. Mereka sudah tidak lagi menggali batu-batuan dengan perlengkapan mereka. Apakah sekarang mereka akan menyerang bila melihat seseorang?

Diliriknya peta tambang yang tertempel di dinding ruangan itu. Tempatnya berdiri sekarang sepertinya tidak terlalu jauh dari tempatnya jatuh tadi. Dia tidak bisa seratus persen yakin kalau tongkatnya masih berada di situ; bisa jadi salah satu dari kedua orang itu membawanya bersama mereka, atau bahkan menjatuhkannya ke lahar...

Tidak. Tidak, Stellene, kau tidak boleh berpikir negatif! Dia berdiri cukup lama di depan mulut gua tadi, kalau mereka menjatuhkan Polunocnica ke dalam lahar, pasti dia akan tahu. Mungkin Puppet dan Kazuki meninggalkannya di tempatnya jatuh tadi, mungkin juga mereka membawanya bersama mereka. Yang jelas, tidak ada salahnya dia mencoba kembali ke tempat itu. Kalau Puppet dan Kazuki masih ada di situ, mungkin ada baiknya dia membalas keseriusan mereka dan langsung menghajarkan bola api ke mereka dari jauh.

Ya, begitu saja yang dilakukannya.

Pelan-pelan Stellene membuka pintu ruangan itu. Undead-undead di depannya masih belum menyadari keberadaannya di situ. Dengan hati-hati dia melangkah keluar, mencoba tidak membuat suara sedikitpun. Ya, dia yakin undead-undead ini gerakannya lambat, tapi tidak ada salahnya—

KLONTANG!

Oh, kepiting.

Stellene menendang buket logam yang tidak sengaja disandungnya itu sebelum dia berlari. Undead-undead di belakangnya kompak menoleh ke arahnya, dan sesuai kecurigaan Stellene, dengan segera mereka mulai mengejarnya. Yang tidak sesuai dengan perkiraannya adalah kecepatan para undead itu. Di luar dugaannya, mereka ternyata bisa berlari cukup cepat. Lebih cepat daripada dia, malah!

Para penambang undead itu semakin mendekatinya. Stellene berlari, tanpa pikir panjang mengambil sebongkah rubi dari tumpukan di dalam sebuah kereta, dan segera mengalirkan Aether melewati batu itu. Dia tidak sempat mengamati batunya, memastikan kualitasnya, apalagi mengecek efeknya — dia hanya tahu batu itu memiliki properti api dan kemungkinan besar berfungsi untuk menyerang. Tidak disangkanya efek batu itu keluar dalam bentuk puluhan bola api kecil yang kemudian terlontar bersamaan ke gerombolan tengkorak yang mengejarnya, meledakkan mereka menjadi serpihan-serpihan tulang rapuh.

Stellene tertegun.

Dipandangnya batu yang masih berpendar di tangannya. Ya, tentu itu batu kelas B, tapi apa-apaan itu tadi? Apa ini hasil dari menggunakan batu yang belum dipoles? Efeknya jadi kecil-kecil tapi berlipat ganda?

Daripada itu! Sambil mengantongi batu yang baru saja dipakainya, Stellene kembali bergerak ke tujuan awalnya. Tidak ada undead yang dilihatnya lagi selain yang sebelumnya diledakkannya itu;  mungkin mereka sudah dibersihkan terlebih dahulu oleh Kazuki atau Puppet?

Sesampainya di tebing tujuannya, dipungutnya Polunocnica yang untungnya masih tergeletak di tempat yang sama. Tidak jauh dari situ, ditemukannya juga sebilah pedang tipis yang dikenalinya sebagai pedang milik Kazuki. Pedangnya di sini, namun dia tidak bisa melihat pemiliknya di sekitar situ...

"Dia juga jatuh, kalau kau mencari pemilik pedang itu." Stellene membalikkan badan mendengar suara yang sedikit asing itu. Seorang perempuan berambut merah berdiri tidak terlalu jauh darinya. Lexia, kalau dia tidak salah ingat namanya. "Salut, Stella. Ya, aku melihat semuanya berlangsung," ujar Lexia, ketika Stellene membuka mulutnya untuk bertanya. "Karena itulah aku juga tahu kalau boneka gadis serba hitam itu cukup berbahaya."

Lexia menjatuhkan sesuatu ke tanah. Boneka. Boneka yang tadinya terus dipegang oleh Puppet. "Kau tidak perlu menanyakan kabar pemiliknya, tentu," lagi, Lexia menjawab pertanyaan Stellene bahkan sebelum pertanyaannya dilontarkan. Wanita muda itu menyilangkan tangannya sambil menatap Stellene. "Kau khawatir tentangnya?"

"Sedikit."

"Padahal kau hampir mati gara-gara dia?"

Stellene menaikkan bahunya sambil tersenyum. Khawatir ya khawatir, terlepas dari alasan-alasan kenapa dia tidak selayaknya khawatir tentang orang yang nyaris meleburnya di lautan lahar.

"Être con comme un balai."

"Maaf?"

Lexia tertawa, lalu menggelengkan kepalanya. "Oh—ce n'est rien."  Begitu ujarnya, dalam sebuah bahasa yang tidak terlalu dikenali Stellene. Aksen yang keluar mirip dengan bahasa tradisional Elvaan di dunia asalnya, sebenarnya, namun apakah arti kata-katanya juga sama? Karena kalau artinya sama, kalau dia tidak salah ingat sepertinya Lexia tadi menyebutnya sapu.

Asem.

"Jadi, sekarang yang tersisa hanya kita." Mereka berdua masih tidak bergerak dari tempat mereka berdiri. Stellene melirik ke samping, ke lorong dari mana dia datang tadi. "Kita dan beberapa tulang hidup, sih." Tangannya masuk ke dalam tasnya, menggenggam batu rubi kasar yang tadi diambilnya ketika berlari dari undead-undead sebelumnya.

"Ce n'est pas grave. Mereka lemah." Seolah untuk membuktikan kata-katanya, Lexia memecutkan cambuknya ke salah satu undead yang baru saja melompat di belakangnya, menjatuhkannya ke dalam lahar. "Voir?"

"Haha, begitulah." Ditaruhnya kembali batunya ke dalam tasnya. Ya, mereka lemah, dipukul dengan tongkatnya pun kemungkinan mereka bakal hancur, kan? Hal itu dengan segera terbukti ketika Stellene mengayunkan tongkatnya ke dua mayat hidup yang dengan mudah hancur dan tumbang ke tanah. Tidak perlu menggunakan batunya untuk lawan yang bisa dipukuli saja begini.

Sebenarnya Stellene sempat cukup terkejut dengan mayat-mayat hidup itu. Lari mereka ternyata cepat, tidak seperti impresi pertama mereka yang membuat mereka terlihat lambat. Tapi sekarang dia sudah mengerti kelincahan tak terduga mereka. Ketangguhan mereka sih, lebih bisa ditebak: nyaris nol. Yang tidak disangka Stellene di pertarungan melawan undead ini —

— adalah pecutan cambuk yang mengenai kacamatanya, membuatnya terlontar dari wajahnya dan ke tanah.

"Oh, pardon!" Terdengar sahutan Lexia, yang diikuti dengan tawa yang sama sekali tidak terdengar menyesal. Dengan terburu-buru dicobanya untuk mencari kacamatanya yang terjatuh, namun semakin banyak undead yang berkerumun di titik itu. Apakah mereka bisa mendeteksi keberadaan para pemain? Akhirnya diputuskannya untuk melupakan kacamatanya untuk sementara, dan Stellene hanya bisa berharap ke bintang di langit kalau pukulan asalnya mengenai targetnya.

Tapi dipikir-pikir, di sini siapa sih selain dirinya sendiri yang bukan targetnya?

Dengan lebih mantap disabetkannya Polunocnica, menghantam empat mayat berjalan sekaligus. Namun tiba-tiba dirasakannya sesuatu menahan tongkatnya itu, dan menariknya hingga lepas dari tangannya. Lagi!?

"Hei!" Stellene berseru ke belakangnya, arah ditariknya tongkatnya tadi. Bisa didengarnya tawa Lexia di tengah rintihan undead di sekitarnya.

"Tidak bisa melihat tanpa bifokalmu, Mademoiselle? Seharusnya kau memikirkan memakai lensa kontak!" Mereka sama-sama berkacamata—masa Lexia tidak bisa membedakan jenis lensanya dengan jenis yang dipakai orang tua yang sudah rabun! Tapi memang benar Stellene tidak bisa melihat dengan jelas tanpa kacamatanya; di matanya sekarang yang terlihat hanya garis-garis kabur dinding gua dan leburan warna yang tidak jelas. Dia menggeram sebal, sebelum menendang satu undead yang sempat mencoba menarik tasnya.

Dia berteriak sekeras yang dia bisa dari tengah kerumunan itu. "Pertama, kacamataku hanya satu jenis lensa, bukan bifokal!" Diambilnya batu safir dari tasnya, yang segera digunakannya untuk memunculkan sebuah gelombang air yang membasahinya sekaligus menerjang para undead, menjauhkan mereka darinya. "Kedua, aku bukan Mademoiselle! Ketiga—"

Dia tidak bisa melihat jelas lebih jauh dari beberapa puluh senti tanpa kacamatanya, tapi arah Lexia sudah cukup jelas. Rubi kasarnya menyala terang bersama dengan mengalirnya Aether ke dalamnya, memanggil puluhan bola-bola api kecil yang segera dilemparnya ke arah datangnya suara Lexia.

Tidak ada friendly fire di sini!

Yah, ada sih. Satu.

"—KEMBALIKAN TONGKATKU!"

***

Seandainya serangan terakhirnya itu diamplifikasinya dengan Polunocnica, mungkin sekarang permukaan datar batu tempatnya berdiri itu sudah berkobar dengan api yang tidak mati-mati. Namun tanpa tongkatnya, yang bisa dimunculkannya hanyalah bola-bola api yang meninggalkan ledakan-ledakan kecil sebelum menghilang.

Setidaknya, api-api kecil yang bisa dimunculkannya sudah cukup untuk mengejutkan Lexia dan membuatnya menjadi sasaran empuk. Mungkin wanita itu menyangka yang dimiliki Stellene hanyalah satu-dua bola api besar yang memiliki jangkauan kecil, bukannya puluhan bola api yang, ditambah dengan panas gua magma itu, akan menghujaninya seperti versi mini hujan api Tamon Rah.

Stellene berjalan mendekati Lexia yang terkapar di permukaan tanah, mengambil kembali tongkatnya dari tangan wanita itu. Luka bakar terlihat di sekujur tubuh Lexia, di bagian-bagian yang tidak tertutupi pakaiannya yang juga cukup terbakar. Apakah dia masih sadar? Disenggolnya pelan kepala Lexia dengan ujung Polunocnica, mengkonfirmasi kalau wanita berambut merah itu sudah sepenuhnya kehilangan kesadaran.

Padahal, kalau Lexia masih sadar Stellene mau-mau saja ngobrol sebentar dengannya. Tentang berapa banyak air yang dibawanya sebelum berangkat sampai dia masih sesegar tadi setelah hampir satu jam berada di situ, misalnya. Atau kalau-kalau dia tahu cara Bun bertahan tidak lemas di tengah panas.

Atau tentang turnamen ini, mungkin.

"Ah, kacamata, kacamata—" Baru Stellene akan bergerak untuk mencari kacamatanya di antara mayat-mayat hidup yang tidak lagi hidup, sebuah tangan terulur kepadanya, menyodorkan kacamatanya kepadanya. Baru setelah dipakainya kembali kacamata itu, disadarinya kalau tangan itu adalah milik maid yang mengantar keberangkatan mereka tadi. Jadi...

"Sudah selesai?" Tanyanya ke maid itu, yang menganggukkan kepalanya dan tersenyum.

"Ya, kau satu-satunya yang masih sadar. Selamat, Stellene. Sebentar lagi kau akan otomatis dikirim kembali ke kota."

Stellene memandang maid itu selama beberapa saat, terdiam. Masih ada beberapa hal yang membuatnya penasaran, sebenarnya. "Bagaimana dengan yang lainnya? Mereka—"

"Akan diurus dengan pantas. Kau tidak perlu memikirkan hal itu."

Diurus. Pilihan kata yang tidak terlalu menyenangkan, namun protes sekarang pun mau apa dia? Berenang di lautan lahar untuk mencari sisa Kazuki, kalau masih ada? Stellene mengangguk, lalu kembali diam. Pemuda itu menggaruk sisi lehernya, menelengkan kepalanya seolah tengah menimbang-nimbang sesuatu lagi.

Itu...

"... kau keberatan tidak kalau aku berada di sini sedikit lebih lama lagi?"

Ehe.

***

Dua menit.

Dalam dua menit yang diberikan maid itu sebelum dia diteleportasi paksa, Stellene berhasil mengantongi beberapa batu kasar. Enam rubi kasar besar berhasil dipecahkannya menjadi beberapa puluh serpihan dengan alat tambang yang tergeletak tanpa pemilik. Jumlah itu sebenarnya masih belum cukup untuk menggantikan batu-batu miliknya yang jatuh ke lahar, tapi apa boleh buat...

Dia masih ingin berkeliaran lebih lama di tambang batu itu, sesungguhnya, namun baru dia berhasil memasukkan beberapa bongkah garnet dan sebongkah besar intan ke tasnya, dia keburu menghilang. Dia belum punya ganti untuk safir dan zamrudnya yang hilang, padahal! Satu-satunya yang bisa dilakukannya hanya berharap kalau tidak semua batunya jatuh ke lahar; sekilas dilihatnya isi tasnya tadi, sebenarnya masih tersisa sedikit safir, namun jumlah yang dilihatnya terlalu sedikit untuknya bisa tidak kepikiran.

...sepertinya dia bakal perlu sedikit berbelanja di kota nanti.

- fin -

"Être con comme un balai": "as daft as a broom"; mungkin ekuivalennya bebal atau bego, ya #...
"Ce n'est rien": "never mind, it's nothing!"; "tidak apa-apa"
"Ce n'est pas grave": "that's nothing", "'doesn't matter."; "itu bukan apa-apa"

9 comments:

  1. Mungkin karena berasa gaya bahasa terjemahan dari literatur remaja asing, ini style tulisannya agak barat ya. Yang saya pertama notice banyaknya penggunaan 'sih,' 'kan', sama kayak ngoreksi diri sendiri seolah ngobrol langaung ke pembaca, bikin entri Stellene jadi ada ciri khasnya sendiri

    Kasian ya Stellene, kayaknya lawan salah mulu sama dia. Sama Kumirun koreksi nama, sama Bun koreksi tongkat, sama Lexia koreksi kacamata. Belum lagi di entri lain tim ini kayak running joke disangka cewek karena panggilannya Stella

    Tulisan rapi, lancar dibaca, tapi plot poinnya masih lumayan standar

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  2. Narasinya asik, terus beberapa adegan bisa kugambarkan.
    Pas Bun di dalam gelembung itu, yang kupikirkan sebagai Bun sih, meminum semuanya sampai ga bersisa :v well, masih reasonable sih buat ngehentiin si Bun kaya gitu.

    Ini engga nama orangnya, nama tongkatnya pada salah sebut :v
    seperti kesengajaan yang tak disengaja supaya sengaja untuk ketidaksengajaan saja (Ngomong apa aku iniiiii)

    dariku 7/10
    [Bun The Bubble]

    ReplyDelete
  3. stella di sini kayanya serba salah hidupnya di entri ini *ngakak
    kong kumirun salah nyebut nama
    bun salah nyebut nama tongkat (susah jga sih buat diinget nmanya xD)
    terakhir si lexia, salah nyebut jenis kacamatanya. wkwk

    tulisanmu ini cukup khas,tulisannya rapih, semua karakter kebagian porsinya masing2.

    naisu...

    nilai : 7/10

    Khanza mahesa

    psst! mampir2 ke entry Khanza yah.. di tunggu :3

    ReplyDelete
  4. Saya saya saya jauh lebih menikmati tulisan ini daripada yang di R0, yang di sini kelihatan kalau author Stella engga keburu-buru jadi ada beberapa aspek yang bisa digali.

    Mungkin karena saya juga terbiasa dengan tulisan seperti ini saya bener2 enjoy bacanya. Senyum-senyum sendiri, karakter Stella kegali dengan baik. Dan jujur aja saya salut bisa gerakin mbah kumirun.

    Endingnya dapat plus dari saya. Dia butuh 2 menit untuk koleksi batu, bener-bener ending yang pas sih lol lol

    Akhir kata saya kasih nilai 10

    (harusnya sembilan, tapi saya tertawa dari tadi baca jadi saya kasih plus 1 poin) pertahanin humornya ya :D! bahasanya lebih diperumudah lagi, tapi jangan sampe lepas esensi humornya ini. #upu

    Maida York

    ReplyDelete
  5. Saya banyak ketawa baca entri ini, dan karena ketawa itu sehat saya senang senang aja.

    Semuanya serba salah untuk Stella, tapi nampaknya ia benar-benar diberkati Bintang Kejora sampai akhirnya menang ;)

    Saya agak kecewa karena semuanya berlangsung dengan sangat cepat hingga tidak banyak interaksi antara Stella dengan musuh musuhnya. Kumirun kesambar, selesai. Puppet-Kazuki offscreen.

    8/10 dari saya
    OC: Lexia

    ReplyDelete
  6. Wkwkwkwkwkwwkwkkwkw

    Komedi banget ini wkwkkw. Salah nama, maling tongkat wkwkkwkwkw

    Pace lumayan cepet dan oc saya matinya offscreen. Gapapa deh x3
    Titip 7 ya

    Kazuki

    ReplyDelete
  7. Wkwkwkwkwkwwkwkkwkw

    Komedi banget ini wkwkkw. Salah nama, maling tongkat wkwkkwkwkw

    Pace lumayan cepet dan oc saya matinya offscreen. Gapapa deh x3
    Titip 7 ya

    Kazuki

    ReplyDelete
  8. Wkwkwkwkwkwwkwkkwkw

    Komedi banget ini wkwkkw. Salah nama, maling tongkat wkwkkwkwkw

    Pace lumayan cepet dan oc saya matinya offscreen. Gapapa deh x3
    Titip 7 ya

    Kazuki

    ReplyDelete
  9. ... manis nan remaja banget narasinya orz. PoV 3 yang masih bercampur celetukan narator bisa mengganggu bagi beberapa, tapi menambah keasikan membaca juga bagi beberapa yang lainnya.

    case in point, an exciting read tapi masih "Oke bagus, tapi belum spesial." :3

    7/10

    - Adrienne Marsh, atas pesanan Ronnie Staccato.

    ReplyDelete