15.6.15

[ROUND 1 - TEAM E] MANG UJANG - GARIS LENGKUNG


MANG UJANG - GARIS LENGKUNG
Penulis: Uji Tuan Muda




Part 0 : Prolog

DESPERA BACK ALLEY
04:00 Pagi

Jika manusia dihadapkan pada kematian, apa hal terakhir yang akan dia ingat?

Mang Ujang, pria dengan wajah sendu itu tidak mengerti tentang kematian yang sebentar lagi akan menjemputnya. Tubuhnya tergeletak di atas tumpukan besi berkarat yang tersebar di antara gang-gang sempit Despera Back Alley, sementara kedua telapak tangannya mencengkram kuat bilah pisau yang beberapa sentimeter lagi menghantam jantungnya. Tentu saja darah segar sangat jelas mengalir deras membanjiri lengan Mang Ujang akibat robeknya kulit telapak tangannya.

"Si-siapa kamu sebenarnya?"

Sesosok pria dengan topi fedora menduduki tubuh bagian atas Mang Ujang. sorot matanya kosong sementara tubuhnya berguncang hebat. Tangannya yang menempel erat kepada gagang pisau belati itu gemetar tak karuan. Membuat sobekan pada telapak tangan Mang Ujang membesar.

"DIAM!" Teriak pria itu, sorot matanya kosong, namun kemarahan yang ditampilkan gurat wajahnya tampak jelas terlihat oleh Mang Ujang. "Jika membunuhmu adalah cara satu-satunya agar aku menang, maka aku tak akan segan untuk melakukannya!"

Mang Ujang hanya tergeletak lemas, darahnya sudah mengucur sangat deras. Bukan hanya keluar dari telapak tangannya, darahnya juga keluar dari sekujur tubuhnya; tangan, kaki, mulut dan yang paling parah adalah bagian belakang kepalanya. Ia tak bisa melawan,  tak bisa pula ia menahan terus-menerus bilah pisau belati itu. ia tahu apa yang dirasakan oleh orang di hadapannya. Membunuh, adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri kegilaan ini.


ah, umurku sudah dekat!

Mang Ujang mengangkat tangan kanannya, memutar salah satu koin yang ia miliki. Koin tersebut berwarna emas, memiliki lambang teratai yang sangat indah di salah satu sisinya, sementara sisi sebelahnya tercetak wajah seseorang yang tak ia kenali. untuk sejenak, ukiran pada koin tersebut berkilauan memantulkan cahaya bulan Alkima.

Indah sekali, inikah cahaya menuju surga?

Mang Ujang sadar bahwa cahaya itu adalah cahaya terakhir yang ia lihat.



Part 1 : G.O.A

DESPERA
21:00

"Kemana perginya teman-teman, ya?" Frana menengok ke segala arah yang bisa ia jangkau kala tubuhnya melewati jalanan kota Despera yang saat itu terlihat lengang.

Walaupun kota Despera adalah kota terbesar di Alforea yang sekaligus menyandang kota dengan penduduk terpadat di sana, sesungguhnya pada malam hari Alforea bagaikan sebuah kota kecil yang berpenduduk tidak lebih dari seratus orang. Ini bukan sesuatu yang aneh bagi Frana, gadis berumur 23 tahun dengan rambut putih kebiruan itu tahu betul tentang kebiasaan penduduk kota ini, Tidur lebih awal adalah budaya yang sudah turun-temurun di kota ini. awalnya ini karena mitos pada zaman dahulu tentang sebuah naga yang sering keluyuran tiap malam, naga tersebut tak segan menculik atau memakan hidup-hidup siapa saja yang keluar pada malam hari. Tentu saja mitos hanyalah mitos, tapi anehnya budaya tidur lebih awal itu menjadi kebiasaan bagi sebagian besar penduduk Alforea.

Namun tidak untuk Frana, ia sadar ia sudah merasa cukup dewasa untuk bisa menelan mentah-mentah mitos aneh itu. naga? Yang benar saja. Kota ini adalah kota paling aman dan damai seantero jagad. Bahkan seekor kucing asing yang masuk ke dalam kota pun akan segera terdeteksi oleh para prajurit penjaga Alforea. Kejahatan sudah menjadi hal tabu di sini. Namun belakangan ini ia merasa keamanan yang ketat itu justru bagai pisau bermata dua, di satu sisi membuat kota ini damai, tapi di sisi lainnya membuat kota ini semakin lama semakin membosankan.

Dan untuk menghilangkan kebosanan itu pula saat ini Frana berada di tengah jalan kota Despera, dia sempat mendegar tentang puluhan pendatang baru yang diundang oleh Tamon Ruu di tengah istana. Tentu saja itu menarik perhatian Frana dan teman-temannya, jarang sekali Ruu-sama mengundang tamu ke istana, dan ini jumlahnya tidak hanya satu tapi puluhan. Ia curiga ada sesuatu tentang ini. apa yang sedang dilakukan oleh Tamon Ruu-sama?  Aku harus menyelidikinya.

Frana melintasi sebuah jalan yang cukup gelap, penerangan di jalan itu rupanya sudah tidak terawat. Lampu cempor dengan api yang sesekali berkedip membuat pemandangan di sana sedikit mencekam. Ia tahu sedang ada penghematan anggaran untuk fasilitas-fasilitas umum di kota Despera karena sedang dalam krisis ekonomi, tapi sepertinya ini sudah keterlaluan. Mau dibawa kemana harga diri kota yang dikenal cantik ini jika lampu jalan saja dipasang seadanya. Memalukan.

Sesaat perasaan Frana tidak nyaman melihat keadaan jalan tersebut, segera ia berniat untuk meninggalkan jalan itu dan memilih jalan yang lebih terang walaupun mesti memutar, namun belum sempat ia melangkah, ia melihat sesosok asing sedang terduduk di bangku pinggir jalan itu. ia seorang pria muda, tubuhnya bersandar di bangku taman sementara kepala mendongak ke atas, ke arah langit Alforea yang saat itu ditaburi oleh bintang-bintang terang. Tangannya ia bentangkan di atas bahu bangku taman seperti sedang merasakan dinginnya besi bangku itu.

Apa dia salah satu tamu dari Tamon Ruu-sama? Sepertinya aku baru melihatnya. Pikir Frana, ia merasa asing dengan pakaian pria tersebut, ia sadar, memang tidak mungkin mengenal semua penduduk kota Despera yang berjumlah ratusan ribu itu, namun ia sangat yakin jika sosok tersebut bukan berasal dari kota ini, atau bahkan mungkin bukan berasal dari kota manapun di Alforea. Pakaiannya yang aneh dan juga senjata yang melingkar di pinggang pria itu, ia benar-benar baru melihatnya.

Aku harus pastikan! Dengan sigap ia melawan rasa takutnya dan menghampiri pria tersebut, lagipula pria tersebut tidak terlihat berbahaya meskipun ada sebuah senjata menempel di pingggangnya. Seharusnya ia bisa mengatasinya dengan mudah, namun untuk berjaga-jaga ia sudah siapkan sebuah pisau lipat di saku celananya.

"Apa yang kau lihat disana, Tuan?" tanya Frana tiba-tiba, yang jelas sekali membuat pria di hadapannya terkejut. Pria tersebut segera membenarkan posisi tubuhnya begitu melihat Frana. Lalu ia tatap mata gadis tersebut.

"Ah, Nona. Kau mengagetkanku saja," tukas pria tersebut sambil mengedipkan matanya.

Sekejap, pikiran Frana teralihkan.

Pria tampan dari mana ini? rangkakian bunga tetiba mengitari pria tersebut.
Matanya yang berkedip membuat luluh hatiku.
Aku tak mengerti. Ini cinta? Kekaguman? Atau ini nikmat surga dari tuhan?
Sungguh batas antara dunianya nyata dan surga itu tipis jika melihat wajahnya.
Pangeran istana? Menyingkir saja. Di sini ada malaikat dengan wajah yang sempurna.

Melihat Frana diam mematung seribu bahasa, dengan cekatan pria tersebut mengelilingi tubuh Frana, ia perhatikan setiap inci tubuh gadis tersebut. baju berwarna biru berenda dengan celana berwarna sama. Penampilan gadis itu tidak berbeda jauh dengan penduduk Alforea lainnya yang pernah ia temui. tidak ada yang ia curigai sebelumnya, hingga ia menemukan sebuah pisau lipat yang terletak di saku celana gadis itu.

"Kamu berbahaya juga ya," ucap Pria tersebut sambil melempar pisau lipat tersebut ke jalan, bunyi pantulan dari pisau itu menyadarkan Frana dari lamunan anehnya.

"K-kau, A-apa yang kau lakukan padaku, HAH?!" butuh jeda beberapa detik untuk Frana mengatakan ini meskipun kesadarannya sudah pulih. Ini diakibatkan karena jarak dia dengan pria tampan di hadapannya hanya dua langkah kecil saja. Ia merasa grogi. Walaupun ia jarang sekali berkontak langsung dengan pria selain teman di organisasinya, tapi ia bisa jamin jika pria ini adalah pria paling tampan yang pernah ia lihat. Ini membuatnya semakin yakin jika pria ini memang benar bukan berasal dari Despera.

"Perkenalkan, namaku Mang Ujang," ucap pria tersebut sambil menyerahkan tangannya. Namun kembali ia menarik tangannya begitu melihat ekspresi Frana yang kebingungan. "Ah, punten. Aku lupa di sini tidak ada budaya bersalaman."

"Hei, jangan pura-pura bego, Aku tahu kamu melakukan sesuatu padaku!" teriak Frana.

"Tenang dulu, Nona. Aku tak melakukan apapun padamu. Aku hanya mengambil pisau lipatmu itu," jawab Mang Ujang, "hanya itu saja."

Bagaimana kamu melakukannya? tadinya Frana ingin menanyakan hal ini kepada Mang Ujang, namun ia urungkan niatnya begitu ia tersadar jika pria di hadapannya adalah orang asing yang diundang oleh Tamon Ruu.

Memang jarang sekali Tamon Ruu mengundang orang masuk ke dalam istananya. Namun dari data yang ia dapatkan bersama kelompoknya. Ia mengetahui jika semua tamu dari Tamon Ruu bukanlah orang sembarangan. Selain tamu dari kerajaan-kerajaan sekutu, Beberapa yang lainnya adalah orang-orang paling berbahaya dan berpengaruh di Alforea. Tentu saja ia tak berani apa-apa dengan data yang ia dapatkan. Cukup tahu saja.

"Oke, aku percaya." Frana berusaha tenang dan mengontol emosinya. Ia hirup dalam-dalam udara dingin kota Alforea malam itu. lalu menghembuskannya kembali. "Namaku Frana, bolehkan aku berbincang sebentar denganmu?"

"Tidak masalah," terima Mang Ujang atas tawaran yang diberikan gadis dengan logo bertuliskan G.O.A menempel di bajunya. Mang Ujang tidak berbohong, awalnya ia ragu untuk menjawab karena sebentar lagi memang akan diadakan perkumpulan untuk membahas misi selanjutnya dari Tamon Ruu. Tetapi itu masih 30 menit lagi. Ada lebih dari cukup waktu jika benar hanya untuk berbincang saja.

"Tenang, Hanya sebentar saja," Basa-basi Frana mencoba mencairkan suasana. "Silahkan duduk."

15 menit berlalu, Frana akhirnya tahu jika dugaannya benar. Pria di hadapannya adalah orang asing yang tinggal di pulau bernama Jawa, Indonesia. Tentu saja ia tidak penah mendengar nama tempat itu, yang pasti pulau itu tak pernah ada di peta Alforea. Ia juga benar soal Mang Ujang yang tamu undangan dari Tamon Ruu-sama. dia terbawa ke Alforea karena surat peninggalan kakeknya yang awalnya ia kira sebagai surat petunjuk kepada kedua orang tuanya. Tapi ternyata surat tersebut adalah surat undangan dari Tamon Ruu.

Namun ada hal baru baginya, Battle of Realms, sebuah pertandingan untuk mendapatkan hadiah yang belum diketahui bentuknya. Jujur ia baru mengetahui ada yang seperti ini di Alforea, dan uniknya adalah para peserta bukan berasal dari Alforea, mereka adalah mahluk yang datang dari segala macam dunia dan dimensi. Mang Ujang bercerita jika bukan hanya manusia seperti dirinya saja yang datang, melainkan ada juga mahluk aneh di luar nalar yang membuat bulu kuduk Frana sedikit merinding. Frana merasa beruntung yang ia temui adalah manusia normal (walaupun ketampanan orang itu di atas wajar). Tak bisa dibayangkan jika yang ia temui adalah robot, manusia setengah tumbuhan, atau kotak perhiasan yang melompat-lompat seperti yang diceritakan oleh Mang Ujang.

"... dan juga Risa," ucap Mang Ujang melanjutkan ceritanya. "aku tak mengerti ia pergi kemana, yang aku tahu kita lolos bersama. Tapi setibanya kita di Despera, dia tidak ada sama sekali."

Risa adalah tim Mang Ujang saat babak penyisihan Battle of Realms ini. di babak itu ia bersama temannya diberi misi oleh Tamon Ruu untuk menghancurkan dua buah menara di istana gurun Sohr'n. Frana tahu tentang gurun itu, namun ia tidak menyadari jika di sana ada sebuah istana.

"Lalu, apa kamu menyelidiki kemana Risa pergi?"

"Tidak, aku tak sempat melakukannya," kata Mang Ujang dengan Nada lirih, di sinilah Frana mulai menghentikan sesi wawancaranya. ia tak sepantasnya mengulik tentang hal pribadi seseorang. Tapi ia sedikit mengerti tentang tanggung jawab dan rasa bersalah yang Mang Ujang rasakan atas kehilangkan salah satu anggota kelompoknya.

"Apakah sudah selesai?" Mang Ujang tersenyum ramah kepada Frana.

"Eh, i-iya. Sepertinya begitu," jawab Frana kembali grogi.

"Baiklah kalo gitu, pertemuan dengan Tamon Ruu sepertinya akan segera dimulai." Mang Ujang berdiri, meregangkan otok-otot tubuhnya yang kaku akibat terlalu lama duduk di bangku taman. "Sampai jumpa lagi, Frona."

Frana! kau salah menyebutkan namaku. Frana merengek di dalam hatinya namun lagi-lagi tak ingin ia keluarkan. Ia memaksakan senyumnya sambil melihat Mang Ujang berjalan menjauh darinya.

"Tidak masalah, yang penting data sudah didapat," gumamnya.


Part 02 : Pertemuan

Langkah kaki Mang Ujang berhenti di antara pintu masuk berbahan besi baja sebuah cafe bergaya klasik itu. tepat di bawahnya, ada dua orang gadis pirang dengan pakaian maid sedang duduk menunggu para tamu undangan.

"Tolong identitas anda, Tuan," ucap salah satu dari mereka kepada Mang Ujang setelah Mang Ujang menghampirinya. ini adalah prosedur keamanan dari penyelenggara untuk mengidentifikasi para peserta. Sebagai formalitas saja sebenarnya.

"Terima kasih, Mang Ujang. silahkan masuk," seru Maid dengan poni tipis di keningnya itu.

"Sama-sama, teteh," kata Mang Ujang sambil berlalu.

Kedua Maid yang menjaga gerbang mengagumi Mang Ujang saat Mang Ujang melintas di atas karpet merah. Salah satu darinya memperhatikan sorot bola mata Mang Ujang yang saat itu sedang terlihat... sedih. Maid itu tidak mengerti, beberapa undangan yang datang ke sana berwajah ceria, berwarna dan tampak bersemangat, beberapa karena senang akan ada pertempuran baru, misi baru, dan pengalaman baru, beberapa lagi ada juga yang pergi ke sana karena terdapat makanan enak di dalamnya. Tapi sungguh ia baru melihat orang yang sedih dengan keadaan ini. apa Tamon Ruu salah sudah mengundangnya ke dalam kompetisi ini, atau mungkin dia masih tidak siap untuk pertempuran yang sudah menantinya di depan. Tapi, dua minggu sudah berlalu sejak babak penyisihan, seharusnya itu cukup untuk memulihkan mental dan fisiknya.

***

"Sekali lagi saya ucapkan selamat kepada kalian yang sudah melewati babak penyisihan tadi."

Seorang maid yang memperkenalkan dirinya dengan nama Anastasia berdiri di sebuah panggung di tengah para peserta BoR yang saat ini sedang berkumpul di dalam bar.

"Saat ini, saya yang bertugas menyampaikan pengumuman resmi dan menjelaskan tugas kalian pada ronde pertama Battle of Realms." Anastasia terus mengoceh, sementara para peserta tampak tidak memperdulikannya, mereka tampak kecewa dengan pembawa acara pada malam hari ini. Alih-alih mereka melihat sosok wanita bohai dengan dada berbobot, mereka malah mendapakan seorang maid berambut kusam dengan dada rata yang tidak menarik sama sekali.

Salah satu di antara mereka yang paling vokal adalah Dyna, teman pertama dan orang yang paling dekat dengan Mang Ujang di Alforea ini, terus menggerutu sepanjang acara ini mulai dibawakan oleh Anastasia. Mang Ujang mengerti sekali kekecewaan yang dirasakan oleh Dyna. Dyna, semenjak awal keluar dari penginapan sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Tamon Ruu, orang dibalik permainan BoR ini. namun sayangnya, orang yang ia nantikan tak kunjung datang.

"Panitia sialan, kenapa mereka menyembunyikannya, hah?" Dyna terus menggerutu namun tidak kencang, hanya terdengar oleh Mang Ujang dan Asep yang saat itu duduk bersama dengannya.

"Hati-Hati, lho. Bisa jadi si bahenol itu udah jadi santapan aki-aki tua berjanggut putih kemarin. Ehehe," ejek Asep.

"Diam kau, Asep. urus saja codet jelekmu itu!"

Tampak lucu sekali jika melihat wajah Dyna yang sedang marah. Kedua alisnya ia kerutkan seperti orang marah pada umumnya, namun sorotan matanya malah terlihat seperti sorot mata bayi yang baru lahir, termasuk bibirnya yang ia majukan beberapa milimeter ke depan. Dyna adalah manusia penuh ekspresi, dia tidak segan mengeluarkan emosinya di depan orang, tidak segan mengeluarkan unek-unek yang ada di kepalanya tanpa beban sama sekali. Inilah yang membuat Mang Ujang nyaman dekat dengannya. Tidak munafik dan melakukan apapun yang menurutnya benar.

"Lihat, Nna. Apa tuh?" Mang Ujang mengarahkan telunjuknya kepada Anastasia.

Di depan Anastasia, terdapat layar hologram berbentuk cukup besar hingga menutupi seisi panggung, terhitung ada 8 buah panel di dalam layar tersebut. Dan masing-masing  panel layar itu memunculkan berbagai macam tempat yang asing secara acak. Ada sebuah gurun, ada hutan, dan ada reruntuhan kota kuno di dalam laut dan-lain-lain.

"Seperti yang kalian lihat di layar, Untuk pertempuran kali ini, kalian akan dikirim ke berbagai tempat yang berbeda. Dan tempat-tempat ini memiliki keunikannya masing-masing. Tapi aku bisa yakinkan jika semua tempat ini sangat berbahaya." Anastasia melanjutkan ocehannya, namun kali ini ocehannya mendapatkan perhatian penuh dari para peserta.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya salah seorang peserta berambut hijau.

"Kalian harus saling membunuh hingga hanya ada satu orang yang tersisa," jawab seorang anak kecil yang kemudian memunculkan aura hitam di sekujur tubuhnya.

"Eh, siapa itu, Nna?" Mang Ujang baru menyadari kehadiran sosok gadis kecil itu.

"kamu gak tau, ya? Dia adalah RNG-sama. dia adalah orang yang menggantikan si pria berjenggot dan wanita berdada kuda," jelas Dyna, wajahnya yang tadi marah kini berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sangat ceria dan bergairah. Mang Ujang baru menyadari jika Dyna juga ternyata memiliki ketertarikan pada anak kecil.

Ah, sungguh Mang Ujang tak ingin mempermasalahkannya. Yang ia pikirkan adalah ucapan dari gadis kecil tersebut. jika benar apa yang gadis itu bicarakan, maka berarti di sana, di tempat yang tidak ia ketahui. Ia harus membunuh orang, temannya sendiri.

Hal gila apa lagi ini? benar-benar sangat bertentangan dengan prinsip Mang Ujang. ia lebih baik membunuh kembali kuda terbang dan ribuan monster di gurun pasir daripada harus membunuh temannya sendiri. Anjing, kalian!

Seolah memiliki prinsip yang sama dengan Mang Ujang, beberapa peserta langsung melayangkan protes kepada panitia.

"Apa kalian sudah gila!?"

"Hal bodoh macam apa lagi ini, HAH!?"

"Bajingan kamu, bocah! Lebih baik aku menghajar kamu saja!"

Seorang peserta seketika melompat ke arah depan, melewati (atau lebih tepatnya menginjak) beberapa peserta yang ada di depannya tanpa permisi kemudian segera mempersiapkan tinju untuk ia hantamkan kepada RNG-sama.

"LE TERRA VIOLENTO!"  teriak peserta tersebut. tampak sekali dari raut wajahya, gumpalan amarah yang sudah lama ia pendam, ia pecahkan karena tidak kuat dengan keadaan seperti ini. ini sudah melampaui batas kesabarannya. Ia tak bisa membiarkan ini terjadi. Sayangnya nasib berkata lain. Sebelum dia sempat mendaratkan pukulannya, tubuhnya sudah menghilang terkena sebuah sihir hebat dari RNG-sama.

"Fiuh... jangan macam-macam denganku," ucap gadis kecil bertopi baret tersebut. "Ronnie Staccato, peserta dari Grup E. jangan kaget, ya. aku tidak membunuhnya, kok. Aku... hanya mengirimkannya ke tempatnya bertarung. Yaitu Despera Back Alley," lanjutnya.

Para peserta melotot melihat kejadian tadi, peserta lainnya yang tadi protes seketika diam seribu bahasa. Bagaimana dia melakukannya? namun mereka tak bisa protes, alih-alih protesnya didengar, mereka malah bakal dilenyapkan seperti pria tadi.

"Berhubung tadi ada orang ceroboh dari Grup E. Maka dengan terpaksa akan aku kirim grup E terlebih dahulu. Tunggu Sebentar." RNG-sama mengeluarkan sebuah kertas kecil yang ia selipkan di bawah sarung tangannya. "Ananda, Fatha Lir, Mima Reid, Dyna Might dan Mang Ujang."

Sial, ternyata ada anak itu. gerutu RNG-sama dalam hati. Ya sutralah.

"Aku undang kalian semua masuk ke dalam Arena pertempuran bernama Despera Back Alley!" Teriak RNG-sama.

Tak lama, aura hitam yang mengelilingi RNG-sama menghampiri para peserta yang ia sebutkan tadi. Aura tersebut bagaikan awan hitam, berjalan sangat cepat sekali dan tampak mengerikan. Bukan karena warnanya yang hitam, namun karena sebuah mulut besar yang berada di bagian depan bayangan tersebut menganga lebar. Mulut tersebut dengan sekejap melahap orang di hadapannya, lalu menghilang bersama kelima peserta tadi.

Part 03 : Anomali

Setelah melintasi lorong-lorong istana Alforea, John Nigga, seorang teknisi di Alforea memasuki sebuah ruangan yang berisikan 16 buah layar komputer bertebaran di dindingnya. Dia bermakud untuk mampir sebentar saja hanya untuk memeriksa keadaan ruangan dan komputer dalam keadaan baik-baik saja. John mulai melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dengan dominasi warna biru gelap itu. melihat apakah ada kabel yang putus, virus terdeteksi, atau sesuatu yang membuat pekerjaannya bertambah malam itu.

"Sepertinya baik-baik saja," gumamnya pelan.


Sejenak ia berniat untuk pergi sebentar namun sepertinya ada yang terlihat janggal di ruangan ini.

Sepanjang dia bertugas di sana, ada satu hal yang John tahu dengan pasti, yaitu peraturan tentang harus adanya minimal satu orang yang berjaga disana. Itu adalah ruangan sistem server yang harus dijaga selama 24 jam penuh. Tanpa terkecuali. Tapi saat ini, ruangan tersebut kosong tanpa seorang pun di dalam. Bukan apa-apa, ia hanya khawatir karena ini adalah ruangan untuk mengontol pertandingan Battle of Relams yang sedang berjalan saat ini.

John melangkahkan kakinya sekali lagi mengelilingi ruangan tersebut. namun benar-benar tak ada siapa pun di sana.

Jika Pak Nurma mengetahuinya. Bisa jadi dia akan marah besar. John segera ingin melangkahkan kakinya mencari seorang penjaga. mungkin mereka sedang istirahat di kantin atau pergi menghirup udara segar di luar. Satu langkah menuju pintu keluar namun matanya memelototi sebuah layar monitor yang sekarang sudah terfokus di depannya. Sebelumnya, monitor ini luput dari pengawasannya. Ia bukannya lalai, tapi memang monitor ini adalah monitor yang hanya menampilkan perintah program dasar. Siapa yang akan peduli dengannya? pikir dia sebelumnya tapi ternyata ada kejanggalan. Mulut John menganga berbarengan dengan langkah kakinya yang terhenti.

Apa sebenarnya ini?

Sekilas memang layar tersebut tampak biasa saja, hanya berisi runtutan perintah komputerisasi yang tidak menarik sama sekali. Tapi ada satu hal yang membuatnya terkejut. Ada sebuah baris perintah yang tertulis di luar rencana.

Word.Object.Time Set : Everytime

"setiap waktu?" John Tersedak. "Ini gawat."

John menggulir pointer dan membolak-balik seluruh perintah tersebut, berharap agar itu hanya kesalahan kecil. Tetapi perintah-perintah di atas dan di bawah baris tersebut tidak ada kesalahan sama sekali.

John merasa panik, ingin ia ubah kode program ini, namun butuh waktu lama untuk melakukannya. lagipula hanya dia dan Pak Nurma yang mengetahui keseluruhan kode program ini belum lagi pertandingan sudah berlangsung selama dua minggu. tidak ada cara apapun untuk mengatasinya. Di pikirannya hanya ada satu hal, anomali waktu, multiverse dan benturan garis waktu sedang terjadi saat ini di Alforea.

"Siapa yang melakukan ini semua?"

***

Despera Back Alley
Sisi Utara
11.30 Malam


Mang Ujang untuk sekali lagi menatap langit, bintang-bintang yang berkelip malu-malu, Bulan Alkima yang masih terlihat besar menyilaukan dan langit yang berwarna hitam pekat itu masih sama seperti langit yang ia lihat 30 menit yang lalu. Semuanya masih terlihat sama. bahkan  dinginnya udara yang menerpa kulit wajahnya (yang tampan) masih membuat pipinya terasa beku. yang berbeda hanya pemandangan bangunan yang ada di sekitarnya. Bangunan yang sebelumnya terlihat bergaya eropa kuno, kini berubah menjadi pemukiman kumuh. Jalan-jalan yang besar nan lengang kini berubah menjadi jalan-jalan gang yang sempit.

Mang Ujang mengerjapkan matanya untuk mengingat tentang kejadian sebelumnya. Beberapa menit yang lalu, tubuhnya dimakan oleh bayangan mulut yang diciptakan oleh bocah kecil bernama RNG-sama itu. ia tidak ingat pastinya, yang ia tahu hanyalah saat ini, dia berada di tempat pertempuran ronde pertama BoR.

"Ini adalah Despera Back Alley," ucap seorang maid yang tetiba muncul di samping Mang Ujang. ia tersenyum pada Mang Ujang. "Perkenalkan, namaku Nyssa. Senang bertemu denganmu, Mang Ujang."

Mang Ujang membalas senyuman nyssa dengan Senyuman ilahiah miliknya.

"jadi, di sinikah tempat aku harus membunuh temanku sendiri?" tanya Mang Ujang.

"benar, tapi Sebenarnya tidak harus seperti itu," jawab Nyssa. Ia mengerti apa yang dipikirkan lawan bicaranya. "Tolong dengarkan penjelasanku."

Mang Ujang mengangguk.

"Pada Ronde pertama ini, kalian para peserta memang diharuskan untuk mengalahkan satu sama lain, tapi membunuh bukan satu-satunya cara untuk menang," Jelas Nyssa. "masih ada cara lainnya."

"Wah, benarkah?" wajah Mang Ujang berubah semringah. Jika memang benar ada cara lain untuk menang, maka ia lebih memilih cara itu dibandingkan harus membunuh. Sungguh, dalam hidupnya, tidak pernah sekalipun ia membunuh seseorang (dengan sengaja). Apalagi jika itu adalah temannya sendiri. Mang Ujang tersenyum. "Terus, bagaimana caranya?"

"Lihat ini," Nyssa mengeluarkan lima keping uang logam berukuran satu genggaman tangan. Bentuknya bundar tentu saja, berwarna emas dengan ukiran cantik pada masing-masing sisinya.

"Masing-masing peserta mendapatkan lima keping koin logam ini. Dengan koin ini, kamu bisa membeli apa saja seperti membeli makanan, membeli senjata, membeli pakaian. Apa saja. Termasuk menyewa tukang pukul jika kamu mau," lanjut Nyssa.

Mang Ujang mengerutkan dahinya. "Terus apa hubungannya dengan pertandingan ini?"

"Begini, sebelumnya sudah kubilang ada cara lain selain membunuh. Nah ini caranya. Kamu harus merebut uang logam milik lawanmu. Segala cara boleh dilakukan; Berjudi, mencuri, memeras. Apa saja. Yang penting jangan sampai jumlah koin lawanmu lebih banyak dibanding jumlah koin kamu."  Nyssa menelisik mata lawan bicaranya yang tadi kebingungan. "Apa sekarang kamu sudah mengerti?"

"Sepertinya begitu."

Mang Ujang sebenaranya tidak pernah betul-betul mengerti apa yang dibicarakan oleh Nyssa. Tapi setidaknya ia tahu apa yang harus dia lakukan.

"Baiklah jika kamu sudah paham, aku akan kembali. Selamat berjuang, Mang Ujang. aku mendukungmu," teriak Nyssa.  Nyssa mulai bersiap membacakan sebuah mantra teleportasi tapi Mang Ujang menghentikannya.

"Eh, tunggu dulu, Teteh. Masa main kabur gitu aja. Ini lawanku pada kemana?" tanya Mang Ujang.

"Ah, iya. Aku lupa. tehe," ucap Nyssa sambil menjulurkan lidahnya yang tidak imut sama sekali itu. "Di Despera Back Alley ini, kalian di teleportasi secara acak. Jadi tugas pertama kamu adalah untuk mencari lawan kamu."

"Tapi, jangan salah, lho. Tempat ini dikenal dengan jalan dan gang-gangnya yang berjumlah ribuan, berbelit, melingkar, berkelok dan lain sebagainya. Yah, Seperti labirin dengan ukuran raksasa." Lanjut Nyssa,"dengar-dengar, sih, Tidak ada yang pernah bisa keluar dari tempat ini."

Mang Ujang tidak menanggapi, hanya saja ia sedikit ketakutan. Bukan, bukan karena cerita dari Nyssa yang mengatakan tidak ada yang bisa keluar dengan selamat dari sini, tapi karena membayangkan tempat ini sebagai labirin. Sungguh, Mang Ujang punya masalah dengan yang namanya... Navigasi.

"Satu lagi," Nyssa melangkah maju ke depan, mendekat ke arah Mang Ujang dan mulai berbisik. "Hati-hati dengan warga sekitar sini. Mereka mungkin tampak ramah, tapi mereka bisa membuatmu terlena. Akibatnya, kamu akan melupakan dunia luarmu dan mengaggap tempat ini adalah tempat tinggalmu."

Mang Ujang menelan ludahnya.

"Tidak ada pertanyaan lagi, kan?" tanya Nyssa namun tidak ditanggapi oleh Mang Ujang.

"Sepertinya tidak ada."

"Aku pergi sekarang." Nyssa mulai merapalkan mantranya yang tadi sempat terputus. Mulutnya terus berkomat-kamit sementara tangannya mulai ia ayunkan ke atas. Tak lama, sebuah portal berwarna ungu muncul di atasnya dan menarik dirinya ke dalam.

PART 04 : Labirin dan Manusia

Despera Back Alley
Sisi Barat
11.30 Malam

FATA' LIR atau yang akrab disapa dengan nama kecil Tata ini berbaring telanjang di sebuah meja pijat dengan hanya ditutup kain sarung berwarna coklat. Pakaiannya; berbentuk tunik putih dengan tudung hijau yang ia sebut dengan nama Cuirus itu ia gantungkan tiga puluh menit yang lalu begitu ia tiba di salah satu panti pijat di Despera Back Alley ini.

"Ah, Ena cekali, Mba," desahnya pelan menikmati setiap inci sentuhan yang diberikan si tukang pijit pada tubuhnya.

Orang yang memijatnya, gadis muda berumur sekitar 17 tahun itu mencoba menghilangkan kepenatan di bagian leher Tata, ia memutar bagian pundak tata sambil menekannya perlahan namun cukup kuat pada bagian tekuk tulang belikat gadis yang berasal dari kesultanan Atuktar itu.

Tata hanya diam menikmati pijatan sementara si tukang pijat menjalar lebih jauh ke arah bagian bokong Tata. wanita itu menyelipkan tangannya lebih bawah lagi ke bagian bawah sarung coklat itu.

"Ouch.." Tata berteriak, membuat si tukang pijit menghentikan aktifitasnya dan menarik tangannya. "Ta apha, Mba. Lanjoet."

Tak ambil pusing, gadis belia tukang pijit itu memasukan kembali tangannya ke sela-sela antara tubuh Tata dan kain sarung coklat, melanjutkan pekerjaannya yang terjeda tadi.

"Enak, kan, Nona?" Tanya si tukang pijat, namun tidak mendapat jawaban atau sekedar anggukan dari Tata. Jujur, itu membuatnya sedikit kesal.

"Syukur kalo begitu." Lanjutnya, meskipun ia lagi-lagi tidak mendapatkan respon dari Tata, tapi itu tidak masalah baginya. ia masih bisa tersenyum, bagaimanapun juga gadis asing yang ia pijat sudah menambahkan satu buah koin berharga ke dalam mesin kasir panti pijatnya.

***

Despera Back Alley
Sisi Selatan
00:10 Malam


Ronnie Stacato, dengan pandangan kabur berdiri di atas sebuah tangga, atau lebih tepatnya hanya sebuah papan panjang yang digunakan sebagai penghubung antara atap bangunan satu dengan atap bangunan sebelahnya. Wajahnya pucat dan tubuhnya terasa mual sekali.

"Sial sekali, efek teleportasi dari si bocah tengil itu masih terasa," geramnya di ketinggian, "kubalas kau nanti sekembalinya aku ke Despera."

Sudah 40 menit ia mengamati orang-orang yang berlalu-lalang di bawah.  ia adalah tipe orang yang berhati-hati. Ia lebih memilih mengamati dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang lawan-lawannya sebelum ia mulai bergerak. tubuhnya ia jongkokan sedemikian rupa agar tidak ada seorang pun yang melihatnya meskipun posisinya dalam jarak yang mustahil untuk dijangkau.

"hah, kemana pula mereka?" Ronnie mulai menguap, pikirannya berputar mencoba menimbang-nimbang apakah cara yang ia gunakan itu efektif atau hanya cara konyol. Ah, ia tidak peduli. Memang dari awal pertandingan ini sudah konyol. Ia awalnya sudah tidak berniat untuk meneruskan pertandingan ini lagi begitu mendengar jika ia harus membunuh teman sesama peserta, tapi ia mulai kembali semangat begitu mendengar jika ada cara lain selain membunuh.

"Mencuri, dan jangan membunuh," ucapnya dalam hati.

Sekembalinya ia mengamati jalanan sempit Despera Back Alley, ia menemukan seorang sedang berjalan celangak-celinguk ke segala arah. Tubuhnya ramping memakai kemeja berwarna putih. Dan yang paling mencolok adalah topi fedoranya.

"Dyna Might, tidak aku sangka kau adalah mangsa pertamaku!" Ronnie tersenyum bangga. Empat puluh menit lebih sedikit tidak ia buang dengan sia-sia.

Ronnie mulai menuruni tangga yang tadi ia pakai untuk naik ke atas atap. Satu, dua, tiga buah anak tangga ia injak dengan semangat sementara matanya masih memperhatikan Dyna, tidak sabar ingin menerkam orang yang pernah satu tim dengannya. Ia tadinya hanya berniat untuk mencuri uangnya saja, namun ia membuat pengecualian untuk Dyna. Sungguh ia tidak puas saat bertarungan satu lawan satu dengan Dyna di padang pasir pada babak penyisihan sebelumnya. Beruntung tuhan berbuat baik padanya kali ini, ia akan menyelesaikan semuanya di sini.

"Oit!" panggil Ronnie kepada Dyna ketika jarak mereka sudah tidak jauh lagi.

Namun Dyna sepertinya tidak mendengar (atau mungkin tidak peduli), ia malah sibuk melihat barang-barang yang dijajakan oleh pedagang pinggir jalan Despera Back Alley.

"HOII! DYNA MIIIIGHT!" teriak Ronnie.

Dyna mulai memperhatikan Ronnie, ia tatap pria bertopi loper koran itu dengan tajam.

"Sesungguhnya, Tuan... tidak perlu anda memanggilku sambil teriak. Sungguh pendengaranku ini tajam. suara tikus yang menjerit di saluran air bawahmu saja aku bisa mendengarnya." Dyna mendekat ke arah Ronnie.

"Pfftt.... 'Tuan'? kamu panggil aku 'Tuan'? ahahaha..." Ronnie tertawa lepas, namun ia hentikan tawanya begitu melihat orang di hadapanya tidak ikut tertawa. "Eh, ada apa denganmu?"

Dyna hanya mengernyitkan dahinya. "Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, Tuan."

"Tu-tunggu sebentar, ini aku yang lingling  atau kamu yang bego, ya?" pikiran Ronnie berusaha mengingat kejadian saat babak penyisihan di padang pasir dulu saat bersama dengan nona Aria, Fappi si gendut dan juga tentu saja si rambut ungu ini, Dyna Might. Saat itu ia benar-benar dekat dan sempat beradu fisik dengan Dyna. Mana mungkin Dyna melupakannya secepat ini. "Kamu Dyna Might si penjaga pintu kasino yang mesum, kan?"

"Tepat, tapi bagaimana anda bisa tahu jika aku bekerja di kasino? Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun tentang latar belakangku." Ini benar adanya, Dyna tidak pernah sekalipun menceritakan latar belakangnya pada siapa pun di Alforea ini, termasuk pada Mang Ujang teman dekatnya. "Ah, sekarang aku tahu, Tuan. kamu peserta sama sepertiku, benar? Pasti kamu telah mencari biodataku."

Ronnie semakin bingung, orang di hadapannya benar-benar tidak ingat sama sekali tentang dirinya. Apa mungkin Dyna mempunyai ingatan seperti ikan Koki yang satu hari bisa hilang begitu saja atau ada yang salah dengan dunia ini? ah, pikirannya hampir meledak.

"Arrgghht.... aku tidak peduli. Mau kau ingat aku, mau kau lupa denganku. Aku benar-benar sudah tidak peduli. Sekarang yang aku inginkan hanya uang koin milikmu." Ronnie mengepalkan tinjunya. "Apa kamu bersedia memberikannya padaku?"


***
Despera Back Alley
Sisi Selatan
00:20

"Aduh gimana dong ini. kamu beneran gak bisa gerak?"

[benar, Kakak.
Aku tidak bisa bergerak sama sekali.
Aku adalah manusia yang menyerap sinar matahari seperti Superman.
Ketika matahari itu tidak ada.
maka kekuatankupun juga menghilang.]

[jadi,
maukah kakak mengabulkan permintaanku?]

Seorang maid tampak kebingungan. Sudah 50 menit ia berbicara dengan...entah lah, dikatakan manusia bukan, tapi dikatakan pohon juga ia sebenarnya mempunyai setengah fisik manusia. Belum lagi ia dikagetkan dengan kenyataan bahwa manusia pohon itu berbicara menggunakan... teks subtitel seperti yang sering ia lihat pada film-film box office di bioskop.

"Hmm.." Maid tersebut menimbang-nimbang permintaan Ananda si manusia pohon. Sebelumnya, Ananda meminta dirinya untuk membelikan sebuah bahan-bahan kimia yang akan ia gunakan untuk membuat matahari! Benar, matahari yang terang benderang itu. bintang terbesar di jagad raya. Awalnya ia mengira Ini ide gila, matahari bisa dibuat? Mana mungkin. Tapi begitu mendengar penjelasan yang terlihat sangat masuk akal dari Ananda. Logikanya mulai goyah.

"Baiklah,"

[wah, makasih.]

Subtitel dari Ananda untuk sekali lagi melintas di hadapan Maid itu.

[oke,
Ini bahannya :
1 gram Uranium
35 gram Helium
45 gram Hidrogen
3 buah balon karet. Yang belum di tiup ya.
Terus satu lagi,
1 buah wadah yang terbuat dari kaca bening.]

"Oke, lalu?"

[caranya simpel,
kamu masukan ke dalam balon semua bahan itu.
Tutup dengan wadah kaca,
lalu kamu goyang-goyang wadah kacanya hingga semua balon pecah.
Setelah pecah maka reaksi kimia akan terjadi.
Dan tebak apa yang terjadi,
Matahari berukuran kecil tercipta dan bisa membuatkan berdiri.]

"Hanya itu saja? Kamu yakin?"

[yap, Cuma itu.]
[Ini, ambil satu koin. Aku pikir cukup.]

"Baiklah," si maid berambut merah itu mengambil sebuah koin yang entah mengapa sudah menggelinding di dekat tangan kiri Ananda, sementara koin lainnya masih ada pada genggamannya.

Maid tersebut tersenyum pada Ananda lalu pergi menghilang.


Part 05 : Pukulan

Despera Back Alley
Sisi Utara
01.00 Dini Hari


"Aih, pusing banget jalannya ini teh,"

Mang Ujang yang tampan menaruh tubuhnya di atas sebuah tembok reruntuhan bangunan yang telah hancur. Golok yang ia bawa masih menempel di pinggangnya, tak pernah keluarkan barang sekalipun, padahal sudah satu jam lebih ia berada dalam pertarungan ronde pertama ini.

"Dimana sih orang-orang," keluh Mang Ujang, kepalanya celingak-celinguk ke berbagai arah yang bisa ia lihat, namun tak ada satu pun batang hidung lawannya yang tampak.

"Gawat ini mah, lama-lama aku bisa kejebak di sini," Mang Ujang ingat betul peringatan dari Nyssa si maid yang meperingatinya tentang bahaya jika terlalu lama berada di sini. memang setelah berkeliling di sini (tersesat lebih tepatnya) Mang Ujang bisa tahu jika orang-orang di sini selalu mencoba untuk menggodanya, entah itu dengan makanan, dengan sebuah layanan pijat plus-plus atau dengan wanita-wanita malam yang menjajakan tubuhnya di sepanjang jalan. Tapi pendirian Mang Ujang teguh, tak mau ia habiskan uangnya hanya untuk main-main. Ia ingin menang di pertandingan ini.

"Aku harus cepat."

Mang Ujang berdiri lalu melanjutkan perjalanannya kembali, mengangkat tubuhnya yang sudah letih sambil mencari jalan yang paling tepat. Ia awalnya kebingungan namun pengalaman mengajarkannya sesuatu, jalan mana pun yang ia pilih itu tidak masalah, semuanya akan sama saja. Setiap jalan mempunyai takdirnya masing-masing. Dan jalan yang Mang Ujang pilih kali ini membuatnya ditakdirkan untuk bertemu dengan lawan pertamanya. Si Manusia Pohon, Ananda.

"Ketemu juga, sukur lah,"

Mang Ujang menghampiri tubuh Ananda namun ia tampak kebingungan begitu melihat kondisi Ananda. Ia tak mengerti. Tubuh Ananda kaku mirip seperti pohon yang sudah ditebang. Mang ujang mengira Ananda sudah mati, untuk pertama ia mengira jika Ananda sudah dikalahkan oleh orang lain. Tapi ternyata tidak, uang koinnya masih ada di tangannya. Terlihat samar namun Mang Ujang bisa melihatnya.

Mang Ujang mendekat, memastikan apa benar Ananda sudah mati. ia goyang-goyangkan tubuh Ananda, tubuhnya dingin dan benar-benar kaku.

ini kesempatan. Mang Ujang mengarahkan tangannya ke arah tangan kiri Ananda, mencoba untuk merebut koin yang Ananda pegang. Namun sesuatu yang aneh terjadi.

[Hei, kamu ngapain pegang-pegang tangan aku, huh?]

Mang Ujang kaget bukan kepalang, di hadapannya tiba-tiba muncul sebuah teks yang berjalan, menunjukkan sebuah tulisan yang bisa dibaca.

"ini kamu yang melakukannya?" Mang Ujang langsung menunduh Ananda, ia yakin ini perbuatannnya. Mang Ujang akhirnya mengetahui sesuatu, rupanya begini cara manusia pohon berbicara pada dunia. "Keren, Euy."

Mang Ujang memang belum pernah berbicara langsung dengan Ananda, ia hanya pernah melihatnya sepintas di istana Tamon Ruu. Awalnya ia mengira jika Ananda berbicara melalui telepati. Namun rupanya ia salah.

[Jangan ambil Uangku!]

"Aduh gimana, ya? Aku, kan, butuh uang ini untuk bisa menang," ucap Mang Ujang. "jika aku tidak ambil, mungkin nanti akan ada lawan lain yang datang ke sini, dan akhirnya sama aja, benar, kan?"

Mang Ujang membuka paksa genggaman tangan Ananda. Sangat keras, mirip seperti merobek sabut kelapa muda. Keras dan licin hingga Mang Ujang harus mengeluarkan seluruh tenaganya. Tapi itu tidak sia-sia, genggaman tangan Ananda akhirnya bisa terbuka juga, meskipun membuat  jari tangan Mang Ujang lecet dan sedikit berdarah.

"Hanya empat koin? Aku pikir kita semua masing-masing dibagi lima koin," protes Mang Ujang, "Ah, terserahlah."

[Awas kau, sialan!]

"terima kasih ya, Teteh manusia pohon."

Mang Ujang hendak berjalan meninggalkan Ananda, namun belum selangkah ia berjalan, sebuah pukulan telak menghampiri pipi kirinya.

"Mang Ujang, peserta BoR yang terlalu santai. Aku benci itu."

Tubuh Mang Ujang dengan sangat ringannya terhempas begitu saja, menabrak pagar-pagar kayu dan akhirnya terhenti setelah membentuk tembok.

"Arrgh..." Erangan Mang Ujang. darah mengucur dari mulutnya, sementara tubuhnya dipenuhi luka goresan dari kayu-kayu tajam di bawahnya.

"Eeh, terlalu keras ya. Maaf, aku memang tidak bisa lembut  jika berhadapan dengan pria," ucap sosok yang tiba-tiba memukulnya itu.

Beberapa meter di depan Mang Ujang, berdirilah seorang wanita berwajah oval dengan rambut hitam seleher. Di tangannya tergenggam sebuah Knuckle tumpul yang tadi sempat ia hantamkan pada Mang Ujang.

"Namaku Mima, seorang ibu rumah tangga, aku, tidak menyukai orang yang sok ganteng sepertimu," ucap wanita berambut hitam sebahu itu.

Mang Ujang berdiri dengan susuah payah, tangan kanannya ia silangkan ke arah kiri dan mengambil golok hitam miliknya.

"Aku sebenarnya tak bermaksud untuk melukai orang di pertandingan ini, Teh Mima, tapi jika itu yang Teteh mau, aku tidak akan keberatan." Dengan amarah yang membara, sebuah energi hitam mengepul di sekeliling tubuh Mang Ujang begitu Mang Ujang mengeluarkan Goloknya.

Bagus. Mima berlari ke arah Mang Ujang dengan dua buah knucle yang terpasang pada masing-masing masing tangannya.

"HYAAATT!"

Satu pukulan menghantam lagi kepada Mang Ujang namun kali ini dengan gesit Mang Ujang menahannya dengan goloknya. Bunyi nyaring dari besi yang beradu antara golok dan knucle Mima terngiang di sepanjang gang sempit itu membuat suasana malam yang damai menjadi gaduh.

"Hebat, kamu punya skill bertarung juga, aku pikir kamu hanya bermodalkan wajah tampanmu itu untuk ikut pertandingan ini." Mima yang sering berlatih bela diri cukup terkesan dengan kemampuan bertarung senjatanya Mang ujang, berkali-kali Mima melemparkan tinjunya pada Mang Ujang, namun pria berambut hitam itu selalu bisa menangkisnya. Tapi sayang, bagaimanapun juga kemampuan bela diri Mima lebih unggul dari Mang Ujang.

Mima Mengangkat tangannya ke atas, membuat tangan Mang Ujang (yang saat itu menahan Knuckle Mima) mau tidak mau ikut terangkat juga. Mima menekan ke atas knuckle miliknya dan berhasil melempar golok Mang Ujang beberapa meter ke belakangnya.

Selepasnya golok tersebut dari tangan Mang Ujang, aura hitam yang tadi sempat mengelilingi Mang Ujang hilang dengan sendirinya.

"Ternyata tebakanku benar jika golok tersebut sumber kekuatanmu, lucky." Seolah tidak mau melewatkan kesempatan, Mima buru-buru memutar tubuhnya ke arah belakang Mang Ujang, menendang lutut Mang Ujang lalu menghantam punggung Mang Ujang dengan tinju mautnya.

Mang Ujang tersungkur dan terseret cukup jauh. Tidak terhitung berapa jumlah luka fisik yang ia miliki, yang pasti tubuhnya kini lemas dan sulit sekali untuk digerakan.  Ia mencoba meraba-raba sekitarnya mencari golok miliknya namun tidak ia temukan, yang ia gapai hanya sebuah... tali.

Ah, rupanya aku masih mempunyai kesempatan. Sambil tubuhnya terbaring, Mang ujang menarik tali itu, cukup keras tapi ia berhasil mendapatkannya.

[Aw, sakit!]

Terlihat subtitel dari Ananda melintas di mata Mang Ujang, tapi Mang Ujang tidak memperdulikannya.

BUKKK!

Mang Ujang lengah, sebuah tendangan keras mengenai tulang rusuk Mang Ujang.

satu, dua tendangan terus menghantam tubuhnya. ia hanya bisa menahannya sementara tangannya sibuk menggengam dan mengutak-atik tali yang baru saja ia dapatkan.

"Cuma segini ternyata kemampuanmu," ejek Mima penuh kemenangan. "Cepat berikan koin yang kamu punya!"

"Uhokh... Uhokh..." Mang Ujang terbatuk, ia mencoba dengan susah payah membalikan badannya menghadap ke arah Mima dan menatap mata Mima.

"maaf, Teteh. Tapi itu tak akan aku -Uhokh-  biarkan," ucap Mang ujang sambil mengedipkan matanya.

Tubuh Mima membeku seketika dan pikirannya melayang entah kemana.

6 detik, harus cepat, Ujang. Mang Ujang buru-buru berdiri. Ia tendang tubuh Mima hingga Mima terjatuh. Dan mulai mengikat kaki dan tangan Mima dengan tali yang sudah ia siapkan sedemikian rupa.

Satu detik, dua detik, tiga detik, dan... selesai. tangan dan kaki Mima sudah terikat dengan sempurna.

"Sial! Aku terhipnotis oleh... tidak-tidak ini tidak mungkin!" teriak Mima begitu tersadar dari lamunan indahnya bersama bayangan Mang Ujang.

"Maaf ya, Teh. Tapi aku yang akan mengambil uang teteh," ejek Mang Ujang.

Mang Ujang rogohkan tangannya ke arah saku mantel Mima, dan mengambil semua koin yang Mima miliki.

"Cuma empat juga ya? Ah, pasti karena dibelikan senjata itu. cukup sakit juga terkena senjata seperti itu, lho. Bahaya," kata Mang Ujang sambil mencopot knuckle milik Mima.

"Aku Tinggal dulu ya, kalian."

***

Despera back Alley
Sisi Selatan
Pukul 02.00 subuh.

Di suatu tempat puluhan mil jauhnya dari posisi Mang Ujang sekarang, dua orang sedang melakukan pertarungan yang sengit, terlihat pada tubuh masing-masing dari mereka terdapat luka yang sama parahnya, pria dengan topi loper koran terluka berat di bagian kepala belakang, tangan bagian kanan dan beberapa luka sabetan pisau di bagian punggungnya.

Tak bernasib lebih baik dari lawannya, Dyna, pria bertopi fedora itu juga memiliki luka fatal di bagian tangan kanannya yang terlihat tidak bisa digerakan. Sementara pipi bagian kiri dan kanan sudah memar dan membiru. Wajar saja, mereka bertarung sudah hampir 2 jam tanpa ada satupun yang mengaku kalah. Keduanya masih saling hantam bagaikan binatang buas yang kelaparan mencari mangsa.

"Mata kiri kau sudah buta, tapi kau masih saja bisa bertahan. Kenapa kau tak mengaku kalah saja, huh?" kata Ronnie sambil terus menghajar tubuh Dyna dengan tinjunya.

"Ughh.."

"Aku bukan tipe orang yang mudah mengaku kalah, apalagi kepadamu. Aku jarang sekali menemukan lawan yang sepadan,  jadi mati karena bertarung denganmu adalah kehormatan bagiku," ucap Dyna dengan tubuh yang sudah tak bisa dibilang baik-baik saja itu.

"Kau! Kalimat itu sudah pernah aku dengar darimu!" nada bicara Ronnie naik. "Dan kau masih saja tidak mengenalku? Bajingan! Sebenarnya apa yang terjadi dengan isi kepalamu itu, hah?"

emosinya Ronnie Staccato dalam keadaan tak terkontrol lagi, "Sadarlah bodoh!" ucapnya seraya tinjunya ia hantamkan pada kepala Dyna bertubi-tubi, berharap agar ingatan Dyna kembali.

tapi, Dyna bukanlah hilang ingatan, Dyna sama sekali tidak pernah bertemu dengan Ronnie, Dyna justru kaget pria lawannya ini menyebut-nyebut jika ia pernah satu regu dengannya pada saat misi di gurun pasir Sohr'n. Ini tidak masuk akal, logika mereka saling berbenturan.
Dyna jelas-jelas saat babak penyisihan satu tim dengan Mang ujang, Risa, dan Asep. Tidak sekalipun bertemu atau bahkan meilhat Ronnie di sana. Jujur ini lucu namun membuatnya sedikit bingung.

"ARRGGH!" teriak Ronnie, "Aku habisi kau di sini sekarang juga!" Ronnie menggenggam kerah leher kemeja putih Dyna, lalu ia angkat tubuh Dyna setinggi mungkin.

Ronnie bersiap dengan dengan tinjunya, "TERIMA INI!" teriak Ronnie sambil menghantamkan tinjunya pada perut Dyna, sangat keras, hingga Dyna memuncratkan darah segar dari mulutnya. Dan seketika Dyna hilang kesadarannya.

"Cih," Ronnie menatap tubuh Dyna yang sudah tidak bergerak lagi, mata Dyna yang terluka akibat serangannya kini tertutup rapat, tapi Ronnie masih bisa mendengar detak jantung Dyna. Sungguh, walaupun Dyna yang di hadapannya ini berbeda dari yang ia kenal, namun nyawa manusia adalah yang paling utama baginya. dari awal pun juga ia tak ada niatan sedikit untuk membunuh lawan-lawannya.

"Maaf, tapi aku harus segera mengakhiri pertandingan ini!" ucap Ronnie, ia rogohkan tangannya pada saku celana Dyna, lalu mengambil 5 keping koin yang Dyna miliki sambil menaruh tubuh Dyna.

Tapi, belum sempat Ronnie menurunkan tubuh Dyna, mata Ronnie menangkap sebuah cahaya sangat menyilaukan di hadapannya. Cahaya itu cukup besar namun ia bisa melihat sesosok wanita berseragam maid ada di balik cahaya tersebut.

"KYAAAAA!!! KENAPA INI?!" teriak maid tersebut, tangannya bergetar sangat kencang di atas sebuah bola besar berbentuk seperti cahaya lampu neon.

Cahaya itu semakin lama semakin membesar, menutup tubuh si maid, membakar segala macam yang ada di sekitarnya; mobil-mobil bekas, toko bahan kimia di belakangnya, lapak-lapak pedagang yang berjejer di depannya hingga akhirnya merambat ke arah Ronnie dan Dyna, Ronnie tak bisa menghindari, secepat apapun ia berlari, ia tak akan bisa menandingi kecepatan rambatan cahaya tersebut, tubuhnya lama-kelamaan merasakan sebuah panas dan seketika membakarnya hidup-hidup.


PART 06 : Dunia Ketiga


Fatha A'lir, seorang komandan Korps Elit kesultanan Atuktar sedang menikmati malamnya di sebuah pemandian air hangat, ia berfikir jika sudah terlalu lama membuang-buang uang dan waktunya di tempat ini. uang koin yang tersisa padanya hanya tinggal tersisa satu koin lagi, sementara empat koin lainnya sudah ia pakai untuk pijat refleksi, menyewa seorang pemandu, makan di sea food pinggir jalan, dan terakhir ia pakai untuk mandi di tempat ini.

"Wang ku tinggal satoe sen, tagh cukup toek jalan-jalan... huffft," ucapnya dengan suara kecil di pemandian air panas yang sepi ini. "Que harus cari wang,"

Tata dengan malasnya keluar dari kolam pemandian, tubuhnya yang mungil namun tampak berisi itu tak malu ia perlihatkan. Ia tidak peduli, lagipula tidak ada siapa siapa di sini.

Gadis berambut merah itu pergi menuju ke tempat penyimpanan pakaian lalu dengan santainya ia kenakan pakaiannya; sebuah Cuirus yang berupa tunik putih dengan jubah hijau dan sebuah peci yang ia sebut ketche yang ia pasangkan pada kepalanya.

'Inah! Cepat kemari," serunya memangil seorang pemandu yang telah ia sewa.

"Ia, Non," ucap Inah, dengan sigap ia berlari menghampiri Tata.

"Temani Que cari Wang," kata Tata. "Ayo Cepat," lanjutnya.

Tata dan Inah akhirnya pergi meninggalkan pemandian air panas. Satu langkah dari pintu keluar, mereka disambut oleh dinginnya malam itu, terlihat di jam dinding yang tergantung pada tembok sebuah toko menunjukan pukul tiga dini hari. Pantas saja.

Tak lama berselang, seorang nenek tua renta menghadang langkah Tata dan Inah. Nenek tua tersebut adalah seorang pedagang asongan yang sering berkeliaran di Despera back Alley, menjajakan jualannya yang hanya beberapa itu pada setiap orang yang ia lewati.

"Neng, Gorengan, Neng. Kacang rebusnya, masih hangat," ucapnya pada Tata dan Inah.

Tata tak bergeming, ia tak mengerti sama sekali apa yang ia lihat, tengah malam begini, saat orang-orang sedang terlelap di mimpinya, seorang nenek tua yang jika ia tebak berumur sekitar lebih dari 90 tahun tengah mengais sebuah bakul berisi makanan yang masih terlihat penuh.

"Gorengannya, Neng," tawar nenek tersebut sekali lagi, ia mengira dua orang gadis di hadapannya tidak mendengar apa yang ia ucapkan.

"Bu..." Tata mulai berbicara dengan nada suara sedikit gemetar, hatinya tak kuasa melihat pemandangan di depannya. Tata merasa iba sekaligus merasa marah. Tega sekali orang yang membiarkan seorang tua berdagang tengah malam begini, kemana anak-anaknya? Dunia ini sudah gila.

Tata menarik nafasnya, mencoba untuk tidak mengeluarkan emosinya di depan nenek tua tersebut.  lalu menundukan kepalanya searah dengan kepala si nenek penjual gorengan.

"Bu, Ini ada sebuah koin emas. Memang bukan seperti uang pada umumnya di sini, tapi uang ini cukup untuk membeli keperluan ibu selama satu bulan. Tapi, ibu janji selama satu bulan itu juga ibu beristirahat untuk sementara dari berjualan," ucap Tata sambil menyerahkan koin emas miliknya.

"Nona, tapi itu uang terakhir yang anda punya!" seru Inah.

"Sstt.. sudah. Ibu ini lebih membutuhkannya daripada aku."

Sungguh logika apa yang dipakai oleh orang yang menyewanya sebagai pemandu ini. sebenarnya Inah tidak peduli tentang pertandingan apa yang sedang dilakukan oleh majikannya, tapi ia mengerti jika saat ini majikannya telah dinyatakan gugur dalam pertandingan ini.

"Terima kasih, Nona."

***

Mang Ujang berjalan dengan susah payah menyebrangi gang berukuran dua orang di  Despera Back Alley menuju sebuah tempat seperti saung beberapa meter di hadapannya, tubuhnya sudah lelah, luka di sekujur tubuhnya sudah dalam tahap berat, 5 buah memar di wajah, kaki, perut dan lehernya, sementara tangan kanannya sudah tidak bisa di gerakan lagi.

Clak!

Mang Ujang berbalik, menatap samar-samar gang sempit di belakangnya, ia seperti mendengar sebuah langkah kaki seseorang, namun tak ada sesuatu yang terlihat.  Ah, mungkin halusinasiku saja. Pikir Mang Ujang, yang lalu melanjutkan perjalannya kembali.

Tak berapa langkah ia berjalan, tiba-tiba dengan sangat kerasnya, sebuah tendangan tepat menghampiri tubuhnya, ia tidak bisa mengelak, tubuhnya menerima begitu saja tendangan itu yang membuat tubuh mang ujang untuk sekali lagi terhempas. Sial, mengapa senang sekali orang-orang menghajarku dari belakang!

Mang Ujang menatap sosok di hadapannya, tidak asing, dia adalah orang yang paling dekat dengannya di Alforea, seorang wanita dengan senyum melebar di pipinya, namun senyumnya kali ini bukan senyum yang sering ia lihat, ini seperti senyum sebuah psikopat gila yang hendak memutilasi mangsanya.

"Dy-Dyna?"

Mang Ujang tidak mengerti mengapa Dyna menyerangnya begitu saja, jika ini alasannya untuk memenangkan pertandingan, ia rasa Dyna tidak akan sekejam ini menyerang temannya sendiri.

"Hallo, mmm... eh nama kamu siapa ya?" Dyna bertingkah aneh. "Yah aku tidak peduli, aku butuh koinmu, cepat berikan."

Mang Ujang tidak menjawab pertanyaan Dyna, ia benar-benar yakin sosok di hadapannya ini adalah Dyna, ingin ia pastikan namun sesuatu menyadarkannya. Dyna dihadapannya ini berpakaian layaknya seorang gelandangan, rambutnya memang ungu, bertopi fedora juga hanya sedikit lebih lusuh, berbeda sekali dengan Dyna yang ia tahu, rapih dan bersih.

"Kamu... siapa kamu?" tanya Mang Ujang.

"Lho, bukannya tadi kamu sudah tahu?Aku Dyna, Dyna Might." Ucap Dyna kembali dengan senyum psikopatnya. "Cepat berikan uang itu."

Sebuah tinju diterima oleh Mang Ujang, bisa Mang Ujang tahan namun ternyata tidak hanya itu yang Dyna serangkan padanya, Secara samar sebuah sikutan dari tangan kiri Dyna sukses mendarat di dada Mang Ujang. Nafas Mang Ujang sesak. Ia terseok ke belakang dan mengahatam tumpukan besi berkarat.

"ARRGGHH!!" tak ia ketahui sebuah besi tajam menghantam bagian kepala belakangnya, darah seketika mengalir deras.

Mengambil kesempatan ini, Dyna segera mengeluarkan pisau belati dari saku belakangnya dan dengan cepat ia hantamkan pada dada kiri Mang Ujang, berniat untuk menusuk Mang Ujang secara langsung namun gagal, tangan Mang Ujang berhasil menahannya meskipun harus rela telapak tangannya teriris.

"Si-siapa kamu sebenarnya?"

Mang Ujang dengan susah payah menahan pisau itu, namun keadaannya tak memungkinkan untuknya terus bertahan. Ini sudah di luar kemampuannya. Ia pasrah, ia mungkin akan mati sebentar lagi di tangan seorang manusia yang beberapa jam yang lalu masih menjadi sahabat terdekatnya.

"Diam! Jika kematian adalah yang kamu mau, maka akan aku berikan padamu sekarang juga!" teriak Dyna di keheningan.

Tak bisa menahannya lagi terlalu lama, Mang Ujang hanya bisa pasrah selagi tangan Dyna dengan kuatnya menekan pisau yang ia pegang. Ia angkat salah satu dari 12 koin yang ia punya ke atas dengan tangan kanannya, melihat setiap sisi dari koin tersebut. pantulan cahaya bulan alkima sangat jelas terlihat, tapi secara samar, Mang Ujang melihat pantulan bayangan sebuah peluru sedang melesat menuju ke arahnya, tidak, maksudnya menuju tubuh Dyna.

Mata Mang Ujang terbelalak, ingin ia menyingkirkan tubuh Dyna agar tidak terkena peluru tersebut, namun tak bisa, peluru tersebut dengan cepat menghujam tubuh Dyna, dan secara Singkat membuat tubuh Dyna terkapar seketika.


Beberapa saat sebelumnya.


"Apa kamu sudah menemukannya?"

Sudah kesekian kalinya orang dibalik saluran wireless ini berbicara menanyakan apakah aku sudah melihat seseorang yang aku sama sekali tidak kenal. dia adalah Frana, pemimpin pasukan undergrund  buatan yang bernama Guardian of Alforea. ingin sekali aku mencopot sambungan ini dengannya namun aku tahu aku tidak bisa memutuskannya begitu saja, apalagi aku saat ini sedang dalam sebuah misi.

"Hei! Aku tanya, Apa kamu sudah menemukannya?!" suara Frana semakin lama semakin besar.

"Ah, sori sori, aku hampir sampai. Sebentar lagi."

Aku sebenarnya tidak mengerti misi apa yang sedang aku lakukan saat ini, dan apa yang direncanakan oleh teman-temannya, yang aku tahu adalah saat ini aku harus mencari seseorang. Dengan ciri-ciri yang bahkan aku sendiri tidak tahu, Frana hanya menjelaskan padaku jika pria itu masih muda, berumur sekitar 25 tahun, memakai baju putih dan... Ah itu dia.

"Frana, sepertinya aku sudah menemukannya. Dia membawa senjata tajam berwarna hitam legam, kan?"

"Mungkin, aku tidak yakin. Tapi lebih baik kamu hampiri saja dia." Suara Frana keluar melalui Walkie Talkie miliku.

"Hmm... Anu... sebenarnya aku tidak yakin bisa menghampirinya,"

"Maksudmu?" bentak Frana.

"Kamu bilang dia sedang berada dalam pertandingan, kan? Apa itu..."

"BoR, Battle of Realms," seru Frana.

"Nah, orang yang sedang kita cari ini sepertinya sedang dalam keadaan gawat,"

"JELASKAN PADAKU!"

"Haduh, begini, aku percepat karena keadaannya benar-benar gawat," ucapku dengan tidak henti-hentinya menatap orang yang selama dua jam lalu aku cari-cari ke segala penjuru Despera Back Alley. "Dia sedang bertarung dengan sesosok pria berpakaian lusuh, berkemeja dekil dan memakai topi yang mirip seperti yang sering Dio pakai. Dan orang yang kita cari ini sedang dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Begini, dia dihajar babak belur oleh pria bertopi tadi."

Frana berdiam sejenak, sepertinya sedang berfikir atau menimbang-nimbang rencana apa yang akan kita lakukan selanjutnya. aku tebak Frana tidak akan berani mengacau pertandingan ini, karena pertandingan ini di bawah naungan Tamon Ruu langsung, berani apa dia dengan Tamon Ruu?

"Rambut, jelaskan warna Rambut pria itu!" perintah Frana padaku.

"ungu? Violet? entahlah aku tida-"

"BUNUH DIA!" Teriak Frana menggema di gang sempir Despera Back Alley timur yang sepi ini.

"Eeeh?"

"Cepat tembak dia! Dia adalah kesalahan sistem, dia tak seharusnya ada di sini!"

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang ada dipikiran Frana, benar, deh, dia seenaknya menyuruhku membunuh orang yang lain? Sudah sejauh mana otaknya bergeser?

"Kamu gila? Mana sudi aku membunuh orang yang aku sama sekali tidak kenal?"

"SUDAH CEPAT LAKUKAN!" teriak Frana sekali lagi.

"Oke, akan kulakukan, tapi kamu berhutang penjesan padaku!" ancamku. Aku tidak main-main, memang ini bukan kali pertamanya aku membunuh, namun aku juga tidak bisa dengan entengnya membunuh orang begitu saja.  

Aku mengambil sebuah pistol Ludger yang kugantung pada ikat pinggangku. Selongsong perluru pistol ini masih terisi penus semenjak aku mengisinya 2 bulan yang lalu, aku tidak menyangka jika peluru pertama yang dikeluarkan adalah untuk membunuh manusia.

Targetku saat ini sedang menunduk sambil menggenggam sebuah pisau belati, posisinya mirip seperti harimau yang sudah mengunci mangsanya.

"Aku siap!" ucapku, tidak pada siapapun, aku hanya sedang menyemangati diriku sendiri.

Aku kunci targetnya, dan satu buah peluru terhempas, berlari di kediaman gang sempit pada pukul empat pagi ini dan dengan sukses menghujam jantung pria berambut ungu itu.

"Cepat, Uji. selamatkan target kita!"

16 comments:

  1. Ohalo, ada author ikut terjun jadi POV-1! Wkwkwk.
    Dialah anomali sistem yang mencegah "kesalahan sistem" lainnya membuat si Ujang kalah.
    But hey, anggap aja mungkin ada si tudung hitam yang macam-macam nge-hack R1 ini lagi, jadi terpaksa tim "antivirus" panitia jadi turun tangan :p

    Soal battlenya cukup oke, tapi yang mengganggu itu si Tata - manajemen uangnya dibikin parah banget ya? Yah, bisa jadi dia sudah "kalah" dengan "monster-monster comfort" di tempat ini. Dan Dyna - dia jadi monster :p

    Cukup salut dengan trik-triknya, dan skornya adalah 7/10. OC: Vajra

    ReplyDelete
    Replies
    1. Soalnya aku gak tau cara ngalahin Dyna dalam mode liar.
      Makanya aku bikin authornya sendiri yg langsung turun tangan XD

      Makasih banyak udah komen & kasih nilai, Bang Andry ;)

      Delete
  2. Akhirnya ada yang angkat tema multiverse dan benturan dimensi. Rasanya tema kayak gini emang uda ga bisa dipisahin dari BoR, dan emang bakalan selalu ada selama sistem BoR adalah turnamen antar dimensi. Nilai plus deh buat Mang Ujang sebagai OC pertama yang ngangkat tema ini.

    Untuk pertarungan dan intrik-intriknya sebenarnya dah cukup menarik, cuman kayak masih ada potensi yang kurang dikeluarin. Kayak Tata kalahnya lempeng amat, kalau saranku meski Tata kalahnya karena dia baik, bisa juga kan ternyata dia dijebak ma peserta lain. Trus Ananda juga kasihan amat, kurang didramatisir, haha. Aku juga kurang nangkep kenapa Dyna jadi monster.

    Btw tulisan ini belum sempat diproofread kah? Typo dan kesalahan kapital cukup banyak bertebaran. Padahal kalau lebih rapi, narasinya uda enak diikuti.

    Terakhir... Ada Uji berperan sebagai Uji? Yang ini bener-bener bikin penasaran, bakal ngapain peran Uji ke depannya... :3

    Nilai : 7

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di BoR udah ada yg pakai kek gini ya?
      Sial, orang selalu saja mencuri ide ideku #plak

      Salahkan aku yg belakangan ini mulai sering baca komik2 superhero.

      Masalah typo sama huruf besar, sebenernya udah aku baca2 ulang per kalimat, beberapa kali padahal, tapi ternyata masih ada aja. Hufft

      Makasih banyak cadel komen & nilainya ;)

      Delete
    2. Heuheuheuheuheu, tapi ga masalah lah, malah aneh klo dalam 1 sisen BoR ga ada yang nyinggung-nyinggung hal ini. Uh, baca ulang perlahan aja mas, santay supaya lebi meresap.

      Delete
  3. Err ... ini banyak banget typonya. Terutama penggunaan kapital. Terus ada penuh jd penus. Sama psikopat kata depannya sebuah. Jd senyum sebuah psikopat (?)

    Secara narasi dah lumayan. Ini termasuk entry yg gampang diikuti cara bertuturnya.

    Tp battle berasa ada yg kurang. Deskripsinya kurang detail. Jadi susah dibayangin di kepala.

    Ananda kalahnya gitu doang? Terus apa maksudnya bola cahaya neon itu? Kok Ronnie nasibnya gak jelas? Terus apa keanehan Dyna sampe dibilang kesalahan teknis? Keknya dia biasa aja. Harusnya bagian Dyna ini dijelasin lebih rinci.

    Tata baik sekali. Saya jadi simpati XD

    Jujur masih kurang dramatis ini. Terus berasa cepet bgt. Dan interaksi antar OC-nya masih belum optimal.

    Terus apa hubungan judul sama ceritanya? Apakah garis lengkung itu? Atau saya yg kurang mudeng dan ada miss-nya? #plak

    Ah, tapi karena saya enjoy aja bacanya, saya titip nilai 8 buat entry ini.

    N. Alfian
    OC: Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Typo emang tak bisa dipisahkan dariku. Hiks..

      Untuk masalah Ananda, dia emang gak bisa gerak di malam hari. Makanya dia nyuruh si maid buat bikin matahari.

      Untuk cahaya neon itu, itu adalah matahari buatan yg gagal. Keknya aku kurang jelas masih detailnya. Gomen >.<

      Terus Dyna,Dyna yg kita kenal adalah Dyna yg dikalahkan Ronnie, sementara Dyna yg melawan Mang Ujang adalah Dyna dari dimensi waktu lain (saat masih di jalanan). Mungkin aku bakal jelasin di R2. Kalo ada kesempatan XD

      Garis lengkung itu cuma peggambaran dari aku dari canon Mang Ujang yg pake tema benturan waktu.

      Makasih banyak Ahran komen & nilainya :)

      Delete
  4. Pasti dapat kesempatan kok, kan ga ada eliminasi sampe R3

    ReplyDelete
  5. >sesosok pria dengan topi fedora
    Tuh kan, Dyna dianggap cowok di versi Ujang.

    Kebalikan dari setting Despera di saya di mana orang" pada ga tidur, di sini justru penduduknya pada tidur lebih cepet ya. Saya masih ga ngerti sih pentingnya ngelibatin orang luar sampe jadi named character kayak Frana. Awalnya agak ngingetin sama Arion di entri Vi, tapi di sini Ujang sama Frana interkasinya banyakan tell pake narasi dan bukan dialog, jadi ga engaging

    Saya jadi conflicted juga baca interpretasimu ke Dyna di sini. Satu sisi dia emang orangnya vokal dan ga berusaha nutupin apa"...tapi kalo dibilang ga munafik, kayanya beda 180 derajat sama yang ada di bayangan saya wwww

    Koreksi sebelum Nyasu : Ronnie itu ga ada neriakin nama jurus. Sama kayak Dyna yang meski setiap kemampuannya punya nama tapi bukan berarti diteriakin pas dipake, toh ini bukan sihir yang perlu baca mantra

    John Nigga, Nyssa... Ternyata karakter NPCnya lumayan juga ya, bukan cuma Frana

    Eh, saya jadi bingung. Kenapa Ronnie ingatannya malah versi prelim Dyna, tapi dianya sendiri malah ga inget? Bukan versi masing" aja?

    Encounter Mang Ujang sama Ananda-Mima kayaknya masih bisa digali lagi sebenernya. Di sini masih agak terlalu gampang imo

    Sampai akhir mungkin ada dua poin lagi yang pengen saya kritisin : pertama Tata, beneran kayak ga ada relevansinya di cerita ini dan kalopun ga diceritain kayanya gapapa, malah mendingan disebut mati offscreen mungkin. Yang kedua soal akhir Dyna, entah kenapa saya gagal paham apa yang sebenernya terjadi di sini.

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku jawab bagian Dyna dulu :
      Dyna di entri aku ini ada 2,

      satu Dyna yg dari universe lain (yg ketarik kesini gara2 kesalahan sistem) berantem sama Mang Ujang. Dyna yg ini adalah Dyna saat dia masih di jalanan (dandanannya kek cowok). Makanya aku tulis "pria" karena Mang Ujang nya liat dia kek cowok.

      Dyna yang kedua adalah Dyna ngelawan Ronnie, Dyna yang kita kenal :3

      Terus masalah ingatan Ronnie ini diakibatkan benturan dimensi. Ronnie yg ada disini aku ambil dari universe (canon)nya entri Dyna. Dan Dyna tentu saja dari Canon Mang Ujang. Makanya waktu mereka ketemu gak saling kenal, soalnya mereka berasal dari dunia (canon) yg berbeda xD

      Yah terlepas dari itu, keknya emang aku yg kurang ngasih point2nya sehingga yg Baca jadi pada miss, semoga bisa lebih baik lagi nanti di R2,

      Makasih banyak Komen & nilai nya Om Sam (y)

      Delete
    2. Oh, I see I see

      Jadi yang satu Dyna versi berandal gitu ya. Iya nih, hintnya rada ga kentara. Poin bagus sebenernya padahal, tapi sayanya aja yang gagal nangkep maksudmu

      Delete
  6. *horeee akhirnya berhasil login via gmail

    ada hal baru yang saya dapet disini, semacam campuran antara breaking the 3rd wall dengan self-inserted, nama "Uji" itu kamu, yah? dan kamu muncul di sini membantu mang Ujang. Itu twist yang bagus lho, cuma pemaparannya serasa kurang dramatis, kurang penuh emosi (terutama di battle), kurang sensasional... jadi gregetnya kurang terasa. Tapi itu juga sesuatu yang masih saya pelajari, hehehe

    ada beberapa typos, juga deskripsi panjang lebar tentang scene yang terlalu panjang, masih bisa diringkas. Tapi, saya juga punya kelemahan itu, kok.

    lalu untuk ending, kalau memang ending dibikin nggantung, rasanya kurang gereget juga. Semisal endingnya emmperlihatkan Dyna berdarah tergeletak tak bernyawa, mungkin lebih terasa. Tapi, ini saran aja untuk penulisan selanjutnya.

    okey, so far its a well-written piece, saya kasih 8/10 untuk ini.

    OC: Mima Shiki Reid.

    ReplyDelete
  7. Fatanir - Po

    deskripsi settingnya cukup bagus, pertarungannya sbnrnya juga bagus. Cuna emosi para pesertanya agak sedikit berlebihan, bisa marah krn hal2 yg kyknya sepele dsb.

    Pertarungannya terkesan agak bertele2 entah kenapa, dan banyak poin2 yg kurang menjelaskan. misal kenapa ada cahaya yg membakar Ronnie, utk apa Dyna dibunuh dan apa itu kesalahan sistem, apa tujuan pasukan underground.

    Memang mungkin ada sebagian poin yg ditujukan utk cliffhanger atau teaser spy ngikutin babak selanjutnya dr Mang Ujang, tapi banyak jg yg jadi bikin kurang jelas interaksinya.

    Nilai dariku 7 /10

    ReplyDelete
  8. Err.. Ta, iya Tata yang disini, gak apa kamu nggak main manajemen gitu?


    Entrynya asik, deskripsinya bagus, cuma ya gitu, hint nya kurang kentara sehingga endingnya yang seharusnya direncanain bakal breaking tembok keempat malah kebaca aneh.

    Tapi sial, kenapa Tata disini dermawati sekali.. :'>

    Fatha a` Lir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uugh itu anak lupa ngasih nilai..

      Mana komennya juga gitu aja..

      8/10

      Delete
  9. Skor 8/10
    OC : Tan Ying Go

    Entri Mang Ujang ini menerapkan multiverse. Bagus. Cukup beda, kira-kira sama dengan entrinya Mima.

    Meski Mima di sini jadi agak OOC :v
    Entrinya pendek, ada beberapa typo tapi cukup baik dalam deskripsi pertarungan dan setting tempat.

    Hanya ada beberapa masalah seperti :
    1. Penjual gorengannya kok panggil Tata "Nona?" Kayaknya lebih afdol kalau 'Non' deh :v
    2. Ending nasibnya Dyna kurang greget ah. :v

    Semoga abang petani ikkemen bisa ketemu Ying Go nanti :v


    ReplyDelete