24.6.15

[ROUND 1 – TEAM A] KAZUKI TSUKISHIRO – DEADLY HIDE AND SEEK

KAZUKI TSUKISHIRO – DEADLY HIDE AND SEEK
Penulis: Dee


-01-
Beginning of a Nightmare


"Kazuki…"

Kazuki menolehkan kepalanya ke segala arah. Mencari suara yang memanggil namanya.


"Kazuki…"

"Halo…" balas Kazuki sambil mencoba melangkah di kegelapan tempatnya berpijak.

Ya, tidak ada apapun di sekelilingnya yang membuatnya paham mengenai tempat ia berada. Hanya ada hitam, tanpa suara. Kazuki mendengar ada yang berbisik di sebuah tempat di dunia hitam yang ia masuki saat ini.

"Halo…" sahut Kazuki yang disambut oleh sepasang tangan dengan —yang entah muncul darimana—dan merangkul dirinya.

"Kazuki…" suara itu bergetar. Berbisik di telinga Kazuki.

Kazuki tidak berani menoleh, bahkan saat tangan itu mulai menggerayangi wajahnya. Ia merasa suara ini familiar di telinga, namun ia tidak bisa mengingat sosok wanita penuh dengan bercak ungu seperti yang berdiri di belakangnya.

"Kita…akan bernasib sama. Hihihii.."

"Akh…"


Kazuki mengerang hebat saat wanita itu menekan jari-jari tangan ke sepasang mata miliknya. Semakin ia berteriak, semakin kuat jari-jari tersebut menekan matanya.

Kazuki terus mengerang dan wanita itu memanggil terus namanya dengan tawa yang menjijikkan. Kazuki merasa ada seseorang lagi yang menekan lehernya. Ia tidak bisa berteriak. Napasnya tercekat.

Apakah dirinya akan mati di kegelapan ini?

***

Kazuki membuka mata dan segera menarik napas dalam-dalam. Butuh waktu beberapa menit untuk menyadari bahwa ia masih hidup dan baru saja terbangun dari mimpi buruk. Ya, dirinya dicekik dan dibutakan tadi hanyalah mimpi—setidaknya sampai Kazuki menyadari ada sesuatu di lehernya.

Kazuki beranjak dari tempat tidurnya dan pergi ke depan cermin yang berada di sudut ruangan. Setengah terkejut, ia menarik perban yang melilit di lehernya dengan tidak sabar.

"Apa-apaan….?" gumamnya tatkala melihat bahwa tidak ada apapun yang ditutupi oleh perban itu di lehernya.

Lalu, kenapa ia mengenakan perban?

Kazuki duduk di tempat tidur yang berada di dekatnya, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi kepada dirinya belakangan ini. Keberadaan dirinya di tempat inipun menjadi pertanyaan untuk Kazuki sendiri.

Kazuki memandang langit-langit dan daerah sekitar tempatnya berada sekarang. Dinding dan langit-langit berwarna putih, dan banyak tempat tidur yang terletak saling bersebelahan mengingatkan Kazuki pada klinik sekolahnya. Apa mungkin dirinya sedang berada di sana?

Tidak, tidak mungkin. Dirinya tidak memakai seragam, dan bukankah ia sudah lulus sejak dua—atau tiga—tahun lalu? Namun Kazuki yakin dirinya sedang berada di dalam klinik. Apa yang dilakukannya disini?

Ah.

Ya, dirinya ingat sekarang. Dirinya berada di sebuah dunia bernama Alforea. Di hari pertama ia sampai ke tempat ini, ia ditugaskan untuk menyelesaikan misi di sebuah padang pasir berbatu. Menghadapi monster dan makhluk besar yang mereka sebut Tamon Rah, serta menghancurkan menara kristal, kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.

Kazuki meraba dirinya sendiri.

Aneh.

Tidak ada bekas luka.

Tidak ada rasa sakit.

Bahkan headphone-nya juga tidak rusak.

Padahal ia ingat, benda kesayangannya tersebut sudah beberapa kali terlepas dan jatuh. Dirinya juga bergesekan dengan batu-batu kecil, dan bahkan terkena serangan Tamon Rah meski tidak fatal.

Tapi tidak ada luka yang tersisa. Semua tampak sama seperti saat ia baru tiba di Alforea. Apakah semua pertarungan kemarin hanyalah mimpi? Apakah pertemuannya dengan Nely serta Tan Ying Go—yang masih membuatnya penasaran—juga sebuah ilusi yang diciptakan tempat ini?

Lalu, bagaimana dengan kehadiran wanita yang akan membuatnya buta seperti tadi? Bukankah itu adalah mimpi?

"Hh…." Kazuki menarik napas panjang. Mimpi atau bukan, inilah kehidupan yang dijalaninya sekarang.

Lama Kazuki memandang tempatnya berbaring sebelum akhirnya beranjak pergi dan mengambil kedua pedang yang diletakkan di samping tempat tidur tersebut.

***

Kazuki melangkahkan kakinya sembari melihat-lihat kehidupan di Alforea dari balik jendela. Ia perlu mengakui bahwa Alforea merupakan sebuah kota yang indah, meski ia merasa ada yang sedikit berbeda—entahlah. Ia merasa Alforea tidak lebih dari sebuah sistem yang sudah terprogram cukup rapi, tapi hei, mungkin itu hanya perasaannya saja.

Langkah membawa Kazuki ke tempat dimana dirinya bisa mengisi perut yang sedari tadi meronta. Mengambil tempat yang tidak terlalu mencolok di sudut ruangan, dirinya menyapu pandangan sembari menunggu pesanan datang. Ada beberapa wajah yang ia kenali di dalam foodcourt ini. Gnome yang membuatnya terkejut saat pertama kali berada di sini, manusia berambut ungu yang sempat membuatnya geli, bahkan kakek-kakek yang sekilas ia lihat berada di depan kastel saat pengumuman juga berada di tempat ini.

Kazuki menyapu pandangan sekali lagi, mengecek keberadaan Tan Ying Go dan Neli. Bukan maksud apa-apa, ia hanya ingin memastikan bahwa mereka berdua bukan hanya sekedar ilusi. Namun sayang, tidak ada sosok Tan Ying Go maupun Neli di dalam tempat ini. Ah sudahlah, mungkin mereka hanya ilusi—atau hanya tidak berada di dalam foodcourt ini. Toh, pesanannya datang. Saatnya makan.

"Kamu, tidak apa-apa?" tanya seorang wanita saat Kazuki baru saja menyendokkan satu suapan ke dalam mulutnya.

Kazuki menoleh sekilas. Seorang wanita berambut merah berantakan—yang ia tidak kenal menegurnya.

"Aku melihatmu tidak sadarkan waktu kembali dari portal.Yah, tidak hanya dirimu sih, beberapa orang juga yang mengalami hal serupa, tapi hanya kamu yang baru sadar saat  ini. Apa kamu tidak apa-apa?"

Kazuki mengernyitkan alis.

"Maaf, kamu siapa?"

Kali ini wanita itu yang terkejut.

"A-ah, maaf. Tolong lupakan. Aku senang kamu tidak apa-apa." Ia bermaksud berbalik untuk pergi, namun Kazuki menahan tangannya.

Bukan tanpa alasan Kazuki menyentuh wanita itu, ia hanya ingin mengetahui apa maksud pertanyaannya, dan ia ingin tahu apakah ia mengenal wanita ini atau tidak.

"Eh?"

"Terima kasih." Kazuki melepaskan pegangannya dan kembali melanjutkan makan sementara wanita tersebut melangkahkan kaki pergi.

Jadi, pertarungan melawan monster kemarin bukan mimpi?

Masih sebuah misteri mengapa tubuhnya tidak terluka sama sekali. Dan setelah melihat ingatan wanita tadi, ia menambah beberapa pertanyaan lagi untuk dijawab lain kali. Mengapa dirinya berada bersama wanita itu saat penyerangan monster di gurun? Bukankah ia bersama Tan Ying Go dan Neli? Bahkan ia sendiri yang menarik mereka berdua untuk bergabung bersamanya.

Entahlah. Saat ini mungkin mengisi perut sampai kenyang merupakan pilihan terbaik. Ia sendiri belum tahu apa yang akan dilakukan oleh pengirim undangan kepada dirinya. Yang jelas, ia belum ingin pulang.

Ia belum bosan.

xxxxx-----xxxxx


-02-
The Call


Kazuki masih asik berkutat dengan ponsel miliknya. Meski tidak ada jaringan, seridaknya batereinya masih penuh dan dia bisa bermain game offline. Ya, pikirannya tidak sesempit saat ia masih di Jepun beberapa hari yang lalu, dimana saat internet mati, seolah kesabarannya juga ikut mati. Ia lebih berada lega di tempat ini. Tak ada lagi suara desahan centil yang ia dengar meski mengenakan headphone, tidak ada lagi ketakutan karena harus terus sembunyi dari pemerintah, belum lagi makanan gratis—tunggu, makanannya gratis kan? Kazuki ingat ia tidak memiliki uang sama sekali. Kalaupun ada, ia sangsi bisa dijadikan alat tukar di tempat ini.

"Uhm…" Kazuki mengangkat tangannya dan berhasil mendapat perhatian dari seorang pelayan wanita yang berdiri di dekan pintu. "Makanan disini… semuanya gratis kan?"

Pelayan wanita tersebut terkikik menahan geli. "Nikmati saja semua fasilitas yang ada disini, selagi bisa."

Oke, itu artinya makanan ini gratis kan? Mungkin dirinya bisa minta tambah, atau mungkin bisa lain kali. Karena kalau kali ini dirinya kekenyangan mungkin akan berakibat buruk saat ia melakukan aktifitas selanjutnya.

Puas mengutak-atik game di ponselnya, Kazuki mengalihkan perhatiannya pada Nodachi yang ia letakkan di atas meja. Pedang sepanjang kurang lebih dua meter tersebut menyita perhatian sekaligus menjadi peringatan bahwa si empunya tidak ingin ada orang lain yang duduk satu meja dengannya. Sesaat setelah ia menyentuh gagangnya, ia ingat apa yang ia lakukan terakhir kali dengan pedang itu.

Akhirnya aku bisa mengangkatnya, huh?

Kazuki memang sudah lama tidak memegang pedang itu sejak dirinya masih kecil, namun dirinya tidak pernah lupa apa yang kakeknya ajarkan padanya. Ya, selalu begitu. Ia tidak pernah lupa apa yang pernah ia lihat, pernah ia rasa, dan pernah ia alami meski waktu silih berganti dan perlahan mengikis memori. Mungkin kemampuan miliknya bisa jadi penolong atau justru membawanya ke dalam ketidakberuntungan.

Suasana agak sedikit senyap tatkala seorang pemuda berambut gelap memasuki foodcourt dengan menyesap minuman kaleng yang berada di tangannya. Bahkan gnome yang sedari tadi melahap paha babi sempat menghentikan tindakannya dan mengalihkan perhatian untuk pemuda yang langkahnya hampir tidak terdengar—walau hanya sesaat.

Siapa pemuda ini? Apa ia tidak tahu bahwa peraturan umum sebuah foodcourt adalah tidak boleh membawa makanan ataupun minuman dari luar? Kenapa ia bisa seenaknya membawa masuk kaleng kuning yang sembari menyesapnya tanpa mengalami protes dari pelayan yang berada di sini? Apa ia penduduk Alforea? Tunggu, bukankah daerah ini terbatas hanya untuk mereka yang mendapatkan undangan? Apa ia peserta?

Terlalu banyak tanya yang belum bisa Kazuki temukan jawabannya. Tapi ia yakin, dengan berada disini, jawaban itu mungkin akan terlihat.

"Halo… Halo… Ini sudah nyala, belum?"
Suara seorang wanita—berbeda dengan wanita centil yang mengumumkan babak sebelumnya—mulai terdengar di interkom.

"Oh, sudah nyala kayaknya nih. Hai semua!! Yang namanya saya panggil harap berkumpul di bar Penginapan Despera." Wanita tersebut mulai memanggil satu persatu nama—para peserta—yang mengikuti babak melawan monster kemarin, dan bersamaan dengan itu pula satu persatu pengunjung foodcourt meninggalkan ruangan—ya, tidak semua, hanya sebagian besar. Termasuk gnome tadi.

Kazuki beranjak dari duduknya ketika namanya disebut oleh wanita dari interkom. Sejujurnya ia sedikit penasaran dengan pemuda berkaleng kuning tersebut, tapi masa bodolah, mungkin ia termasuk peserta yang tidak dipanggil.

"Yak, ditunggu kedatangannya dalam tiga puluh menit, terima kasih." Suara wanita tersebut terdengar ceria sembari menutup percakapan. Kazuki terus melangkah keluar gedung, tanpa tahu bahwa pemuda berambut gelap menggerakkan bola matanya  mengikuti arah Kazuki yang menghilang di balik persimpangan.


***

Despera Inn, Despera.

"Selamat datang." Sesosok pelayan berambut ungu panjang—yang sepertinya merupakan pembawa acara kali ini—tiba dengan sumringah yang merekah di wajahnya. "Sekali lagi saya ucapkan selamat atas keberhasilan kalian melewati babak penyisihan."

Wanita cantik tersebut mengenalkan diri sebagai Anastasia, dan kehadirannya justru membuat tanya di benak peserta semakin bertambah. Ya, mereka sendiri sudah kebingungan dengan kondisi mereka yang kembali ke arena pertarungan tanpa luka—meski ada yang pingsan, belum lagi jumlah mereka yang semakin kurang dan kini ditambah dengan ketidakhadiran panitia sebelum babak penyisihan, membuat beberapa peserta ricuh meminta jawaban.

Anastasia hanya tersenyum melihat kekacauan yang terjadi, dan ia menampilkan beberapa hologram yang sukses membuat peserta yang ricuh tadi terdiam. Mereka memperhatikan tempat-tempat yang ditampilkan hologram tersebut. Seperti tempat liburan murah, namun mereka yakin bukan 'liburan' yang ditawarkan Alforea.

"Berbeda dengan ronde sebelumnya, kali ini yang akan memilih kelompok kalian adalah RNG-sama," sahut Anastasia yang justru membuat peserta saling berpandangan.

Berkelompok lagi, huh?

Kazuki menyapu pandangan ke sekeliling. Perlahan ia menemukan Tan Ying Go dan Neli yang fokus melihat ke arah layar hologram. Tidak ada yang berubah dari kedua orang itu. Ya, mereka sama seperti sebelum dirinya bertempur di dataran berbatu. Ia mengambil napas sejenak. Mungkin saja mereka berdua tidak mengenali dirinya, mengingat ia tidak mengenali perempuan berambut merah yang memiliki ingatan tentangnya.

Rasa penasaran peserta mendadak lenyap ketika manusia bernama RNG-sama menampakkan diri. Entah memang karena masih anak-anak, atau badannya yang pendek, namun sosok RNG-sama cukup membuat peserta tercengang. Bagaimana tidak, kemarin muncul sosok tante-tante bersama dengan kakek-kakek, sekarang tante-tante dengan sosok bocah yang langsung melompat ke atas meja bar.

"Perkenalkan, kalian bisa memanggilku RNG-sama, karena sementara ini Tamon Ruu dan Hewanurma sedang tidak bisa hadir, maka aku yang akan mengatur pembagian tim untuk ronde pertama," jelasnya dengan wajah datar.

Kazuki tertawa kecil, mengejek pelan. Bisa-bisanya orang ini menyatakan dirinya sebagai 'sama'. Apakah dirinya sebegitu tinggi sehingga bisa dipanggil dengan 'sama' ?

Anastasia berdehem dan mulai menjelaskan apa yang harus peserta lakukan di ronde pertama, namun selaan dari RNG-sama membuat beberapa orang tertegun. Bagaimana tidak, RNG-sama jelas menyebutkan bahwa peserta harus saling bunuh untuk menjadi satu-satunya yang bertahan di sana.

Anastasia menampik ucapan RNG-sama. Selama lawan kehilangan kesadaran, dan peserta menjadi satu-satunya orang yang berhasil sadar di arena, maka otomatis peserta akan dipulangkan ke Alforea dan dinyatakan menang.

Terlihat mudah karena tidak perlu membunuh, huh?

"Untuk detail misi akan dijelaskan oleh pemandu masing-masing tim sebelum berangkat ke tempat pertarungan, kalian punya waktu sampai besok pagi, jadi beristirahatlah yang cukup." Anastasia membungkuk memberi hormat pada para peserta, kemudian melangkah keluar dari ruangan tersebut.

Kazuki melengos pelan. Ia hanya punya waktu kurang dari 24 jam untuk mempersiapkan diri sebelum bertarung di ronde pertama. Bersamaan dengan yang lain, Kazuki meninggalkan ruangan untuk beristirahat.


***


Despera Inn, Alforea

Kazuki dan beberapa peserta yang tersisa berkumpul di tempat yang sama seperti kemaren Anastasia memanggil mereka, hanya saja, sekarang tempat itu dipenuhi oleh delapan kotak besi—seperti lift—dan delapan pemandu.

Hampir semalaman Kazuki memikirkan strategi, untuk berjaga-jaga jika dirinya diperintahkan menuntaskan misi seperti kemarin, pertarungan tiada henti, dengan kemunculan monster yang tidak ada habisnya. Tapi dirinya tidak siap jika harus meretas sebuah sistem layaknya yang ia lakukan di Jepun dulu, untuk menghapus keberadaan dirinya.

"Tim A. Bun, Kazuki Tsukishiro, Stellene, Kumirun, Puppet, Lexia. Harap segera mengikuti saya." Pemandu di depan kotak pertama perlahan masuk ke dalam kotak, diikuti oleh gnome, kakek-kakek, gadis Victoria dengan kucing hitamnya, gadis berkacamata yang berwajah muram, seorang gadis—atau pemuda berkacamata lainnya, serta Kazuki sendiri.

Orang-orang yang kemarin di tempat makan, huh?

Pintu kotak itu tertutup dan sebuah layar hologram besar muncul di dinding kotak, menampilkan sebuah wilayah berwarna merah-oranye yang disinyalir merupakan tempat mereka menjalankan ronde pertama.

"Ini adalah Managua's Gem Cave, sebuah tambang yang ditinggalkan karena telah memakan banyak korban. Lokasinya sendiri yang berada di atas magma panas membuat beberapa penambang yang terjebak akibat bencana alam meninggal dunia. Banyak yang bilang, jiwa mereka tidak tenang di akhirat, jadi mereka kembali ke dunia, bersama tubuh mereka yang sudah membusuk. Oleh karena itu, tidak ada seorangpun yang berani memasuki tambang, dan  tempat ini kemungkinan besar akan jadi kuburan kalian." Pelayan tomboy berambut biru muda yang diikat ke atas di kedua sisinya menjelaskan dengan wajah manis, kontras dengan kalimat yang diucapkannya.

Keenam peserta di dalam kotak tersebut hanya memandang sang pemandu dengan wajah datar.

"Cih. Kalian membosankan sekali. Aku hanya bercanda. Seperti yang dikatakan Anastasia-san kemarin, kalian hanya perlu membuat lawan kalian kehilangan kesadaran. Tidak hanya itu, kalian harus bertahan dari serangan mayat hidup dan cuaca panas di dalam tambang. Oh ya, jangan lupa cari jalan keluar dari tambang. Kami juga sudah menyiapkan peta agar kalian tidak tersesat."

Mereka yang semula memasang wajah datar mulai melirik satu sama lain—kecuali Kumirun—yang sedari tadi mengelus pinggangnya.

"Yah, baiklah. Selamat bertarung, semoga kalian bisa menjadi satu-satunya yang selamat."

Seberkas cahaya putih menyilaukan menyambut mereka tepat saat mereka menjejakkan kaki ke luar kotak. Detik berikutnya, mereka kehilangan kesadaran untuk sekejap.


***


"Aduh…" Kazuki mengelus kepalanya yang berdenyut pelan. Mungkin ia terbentur sesuatu. "…ini dimana?"

Kazuki memandang ke sekeliling dan mendapati dirinya berada di dalam sebuah gua yang minim penerangan. Perlu sedikit waktu bagi Kazuki untuk memahami tempatnya berada sekarang bukanlah gua biasa. Perlahan ia bisa merasakan ada sebuah rel tak terpakai, dan jika ia mengedarkan pandangan ke sekitar, ia bisa melihat kereta tua yang terguling di sisi gua serta beberapa beliung, sekop dan tali.

Benar juga, ini tambang.

Entah apa yang direncanakan RNG-sama dan Anastasia dengan mengirimkannya terpisah dengan yang lain. Bukankah lebih baik jika mengumpulkan semua peserta di tempat yang sama dan membiarkan mereka saling bunuh?

Kazuki menghela napas sejenak sebelum mulai melangkah untuk melihat peta yang berada di samping obor—yang menyala temaram—di dinding gua. Saat Kazuki asik memperhatikan peta dan terowongan, seseorang memegang bahunya.

"Ap—"


xxxxx-----xxxxx


-03-
Deadly Hide and Seek : Opening


Managua's Gem Cave

"Aduh…" gerutu kecil keluar dari bibir mungil si gnome bertutup kepala biru. Sesekali ia menoleh ke sekelilingnya untuk menemukan apakah ada seseorang—selain dirinya—yang berada di dalam gua tempatnya berada sekarang.

Nihil.

Gnome itu benar-benar sendirian, dan ia harus mencari jalan keluar—serta menumpas beberapa monster yang kemungkinan akan datang. Terkadang ia bernyanyi meluapkan kegembiraannya karena kali ini ia berada di tempat yang ia inginkan. Sesekali ia meraba dinding gua—yang memiliki penerangan minim—untuk memastikan bahwa tanah yang ia injak bukanlah pasir yang tidak solid seperti di dataran Shohr'n.

Langkah kecilnya terhenti saat ia merasakan ada seseorang atau sesuatu yang mengawasi. Ia yakin ada seseorang—atau lebih—yang bersamanya di dalam gua ini, tapi ia tidak bisa memastikan siapa.

"Visualize!"

Satu bayangan terbesit nyata bahwa di sekelilingnya ada sekitar 3-4 orang yang sebenarnya sudah mati, namun masih terus melangkah pelan.

"Kalian pasti bercanda, bun~"

Langkah patah mereka yang mendekati sang gnome menandakan bahwa mereka tidak sedang bercanda.

"Kalian tidak memberikan pilihan, bun~"

Satu serangan, dan para mayat hidup tersebut mengejang.


***


"Eve, tunggu!" Gadis berambut panjang berpenampilan ala wanita Victoria itu berlari mengejar kucing hitamnya.

Ia tidak tahu berapa lama ia berada di dalam gua yang perlahan terasa panas ini, namun ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Ada beberapa sosok yang perlahan mendekati dirinya, namun gadis itu tidak bisa memastikan apakah mereka adalah peserta ataukah manusia yang sudah mati.

Manusia yang sudah mati tidak bisa berpikir, kan?

Dengan kata lain, tak ada cara lain untuk bertahan hidup kecuali dengan benda-benda di sekitar dirinya. Gadis itu menghela napas, dan mengambil sebilah kapak yang tertancap di dinding gua kemudian memutar badan untuk menebas mayat hidup yang berdiri di belakangnya.

Tidak hanya satu, masih ada sosok lain yang ikut 'menghantui' si gadis dan berjalan patah-patah. Untung saja meski ia memakai gaun dan sepatu tinggi, dirinya masih tetap fleksibel.

Dua, tiga, empat, bahkan gadis itu sudah tidak bisa menghitung lagi berapa yang ia tebas. Ia mulai lelah, dan tempatnya berada sekarang mulai terasa panas.

"Ayo kita pergi dari sini, Eve," sahutnya sembari mengajak kucing hitamnya pergi.

Seandainya saja lawannya kali ini memiliki pikiran mungkin beberapa obat yang ia miliki bisa berguna. Sejenak ia memikirkan tentang menggunakan kutukan dan boneka voodo-nya, tapi rasanya percuma kalau lawannya tidak memiliki darah atau otak untuk dikendalikan.

Tunggu, mayat hidup sudah tidak punya darah, kan?


***


"Huh, cuma segini? Ini sih nggak ada apa-apanya."

Gadis berkacamata dengan ponytail di rambut merahnya hanya bisa mendecak sembari meluruskan cambuk yang ditangannya. Beberapa menit yang lalu, dirinya masih bergelut melawan mayat-mayat hidup yang tiba-tiba muncul di dalam gua yang temaram. Beruntung ia sudah sering melawan makhluk yang bisa jadi penghalangnya saat dirinya menjadi pemburu harta.

Tapi kali ini bukan harta yang ia buru.

Ia memburu kebebasan—dan mungkin memburu beberapa peserta lain—seperti yang diucapkan oleh pemandu sebelum dirinya keluar, ia hanya perlu bertahan hidup di tempat sepanas ini sembari mencari jalan keluar seperti yang ditunjukkan oleh peta yang—hampir—tidak terlihat saking minimnya penerangan.

Gadis itu menggerutu pelan, namun tetap melanjutkan langkah, hingga seseorang melompat ke arahnya dan membuatnya terduduk menghantam dinding gua.

"Kurang ajar!"


***


Usianya mungkin tidak lagi muda, tapi semangat juangnya masih ada. Ia tidak peduli bagaimana hawa panas perlahan bersentuhan dengan kulitnya yang sudah tidak sekencang peserta lain. Sesekali langkahnya tertatih menopang tubuhnya yang ringkih dengan dibantu oleh tongkat bantu yang ia genggam kuat.

Matanya yang sudah rabun hampir tidak bisa membedakan siapa yang berada di depannya, apakah lawannya atau kawannya. Ia sendiri tidak tahu apa yang wanita cantik katakan di dalam kotak sebelum mereka disini.

"Maap ye, perut gua kagak ada remnye.." sahutnya sembari meminta maaf pada sosok di belakangnya. Ia bahkan tidak sadar yang dibelakangnya bukanlah manusia yang akan terganggu dengan aroma gas yang baru saja dilepasnya.

Pria tua tersebut berjalan pelan dan hati-hati, mengingat kondisi gua dan kelemahan di matanya sangat memberinya ketidakberuntungan di ronde kali ini.

"Duh, panas banget ye.. Kita dimane sih? Gelap gini…"

Cengkraman di bahu kirinya membuat pria tua itu menoleh dan menyadari bahwa yang berada di belakannya bukanlah manusia.

"Bujug buneng. Gua kagak ada ganggu-ganggu kuburan lu lu pade. Kenape lu lu pade datengin aye?" Komat-kamit bibir si pria tua memohon restu dari Yang Maha Kuasa untuk dapat diberikan sesuatu demi melawan makhluk-makhluk yang seharusnya tidak berada di dunia.

Sebelum kulit rentanya tercabik, pria itu berhasil memukul mundur satu mayat hidup. Ia kembali muda, dan dengan kemampuannya, ia berhasil menghajar mayat-mayat hidup tersebut hingga tersungkur.

Pria tersebut berlari mencari jalan keluar. Hawa panas yang mengelilingi tempat tersebut sedikit membuatnya dehidrasi. Ia benar-benar harus keluar sebelum dirinya menjadi  daging panggang di dalam sana.


***



Pemuda bertubuh ramping itu hanya bisa berlari sembari mengibaskan tongkat logam miliknya. Ia benci hal-hal yang tidak menyenangkan, macam mayat hidup. Ia ingin menelaah dan mengeksplor gua ini lebih lanjut, tapi ia harus menjauhkan diri dari makhluk-makhluk yang masih belum bisa pindah dari dunia ini.

Rasa penasaran pemuda itu hanya bisa ia tahan karena kondisi suhu gua dan keberadaan para mayat hidup yang mengikutinya. Bagaimanapun, gua ini merupakan bekas tambang batu, dan siapa tahu saja ia bisa menemukan batu lain yang tidak ia temukan di daerah asalnya, Grand Earth.

Membuang-buang gemstone yang dimilikinya bukan keputusan baik mengingat ia harus melawan kelima peserta lain. Untuk saat ini, menggunakan tongkat merupakan satu-satunya pilihan sebelum ia bertemu dengan yang lain. Dalam pelariannya, tak lupa ia mengambil peta yang berada di dinding tambang.

***



"Kurang ajar! Kenapa mereka tidak ada habisnya?!" Kazuki mengerang marah sembari mengayunkan kodachi miliknya ke arah mayat-mayat hidup yang bergerak mendekatinya. Sesekali Kazuki besembunyi di balik batu untuk mengistirahatkan napasnya yang sedari tadi memburu. Ia melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk pelarian kali ini.

Kereta tambang? Bukan ide yang buruk, tetapi kalau relnya putus di tengah dan ia tidak sempat berhenti, mungkin ia akan menjadi daging mendidih di dalam magma yang berada di bawah tambang ini.

Berlari? Tidak bisa disebut aman mengingat masih ada dua misi utama yang ia harus selesaikan kali ini. Nodachi miliknya cukup berat untuk bisa dibawa berlari dengan bebas, sehingga ia harus sering bersembunyi di balik bebatuan seperti ini.

"Khh!!"

Sepasang tangan—tiba-tiba muncul—mencengkram lehernya dari belakang. Kazuki tersentak.

Realitakah?

Ilusikah?

Jika merujuk pada film sci-fi yang ia tonton, tentu sangat mustahil jika mayat hidup yang mereka sebut sebagai zombi bisa berpikir untuk mencekik mangsanya. Bukannya mereka hanya makhluk yang hidup di raga namun mati di jiwa?

Kazuki menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya menyarungkan kodachi dan mengambil beliung serta tali yang berada di sekitarnya. Cekikan itu—walau terasa nyata—hanyalah ilusi dari mimpi yang ia alami kemaren pagi, dan jika dirinya tetap tenang, bayangan mimpi itu tidak akan bisa menginterupsinya lebih jauh lagi.

Perlahan Kazuki keluar dari persembunyiannya dan naik ke kereta tambang—yang ia sendiri masih sangsi apakah berfungsi baik atau tidak. Ini adalah pertaruhan, dimakan atau melarikan diri.

"Hey, kalian, coba tangkap aku." 

Para mayat hidup yang bereaksi dengan suara perlahan mendekati Kazuki yang berada di dalam kereta, sedangkan pemuda berkacamata itu masih terus mencoba untuk membuat kereta yang ia tumpangi bergerak.

"HEYAAAA!!!"

Kazuki menghunuskan beliung yang ia bawa ke arah mayat-mayat hidup yang bergerak ke arahnya, seiring dengan bergeraknya kereta tambang melintasi rel yang sudah tua. Beberapa daging yang terkoyak masih—yang masih menempel pada ujung beliung—dibersihkan seadanya sebelum kereta terasa lebih laju karena jalan yang menurun.

Dengan sigap Kazuki mengikatkan ujung tali pada gagang beliung dan melemparkannya pada dinding gua—meski sempat terseret beberapa meter—sebelum Kazuki melompat dari kereta dan membiarkan kereta tersebut terjun bebas setelah menghantam batu.

Dirinya sadar dirinya bukan petualang yang suka mengeksplor tempat-tempat bersejarah layaknya film Hollywood yang ia tonton di televisi, namun dalam situasi seperti ini tidak ada jalan lain selain meniru apa yang dilakukan pemeran utama dalam film tersebut. Sembari menepuk-nepuk celana dan jaketnya, Kazuki meneruskan langkah menyusuri jalan menurun tempat kereta tadi terjun bebas dan hancur berantakan di tanah. Seandainya saja tadi ia tidak sempat menautkan beliung dan keluar dari dalam kereta, mungkin ia akan bernasib sama dengan kereta itu sekarang.

"Kesasar, anak mude?"

Kazuki menoleh pada sosok prajurit yang menegurnya. Sejujurnya, Kazuki sendiri lupa pada sosok yang kini berdiri, menelaah dirinya sembari mengeluarkan bau tidak sedap. Pemuda berkacamata itu mencoba mengingat lagi dimana dirinya pernah melihat sang prajurit, karena sejauh ingatannya menggali, di dalam kelompok yang dipanggil ke dalam kotak, hanya ada satu orang yang mengenakan pakaian yang sama, namun orang tersebut bukanlah sosok gagah berani, melainkan seorang kakek-kakek yang bahkan kurang sesuai untuk turnamen seperti ini.

Lalu ini siapa? Orang tersesat kah?

Prajurit itu mengambil sikap siaga setelah melihat apa yang digendong oleh Kazuki di punggungnya.

"Nippon!!" serunya sembari memasang kuda-kuda.

"Hah?"

xxxxx-----xxxxx


-04-
Deadly Hide and Seek : Found



"Eh? Apa yang adik kecil lakukan di tempat ini?" tanya gadis berpenampilan ala wanita Victoria yang melihat sesosok gnome dengan tutup kepala biru sedang beristirahat di balik bebatuan.

Gnome mungil tersebut hanya menatap gadis dengan lekat sebelum akhirnya tersenyum. "Hanya beristirahat, bun~"

Sekilas tidak ada yang aneh dengan interaksi dari kedua sosok yang baru saja bertemu, namun dibalik itu jelas sekali bahwa mereka mulai waspada atas keberadaan satu dan lainnya—kecuali mungkin saja si gadis terlalu lugu untuk menganggap bahwa gnome ini tidaklah berbahaya.

"Aku Eumenides, tapi orang-orang biasa memanggilku Puppet, dan ini kucing kesayanganku, Eve. Kamu?" tanya si gadis.

"Orang-orang memanggilku Bun, bun~"

"Apa yang kau lakukan disini, Bun?" tanya Puppet sekali lagi.

"Sama seperti yang kau lakukan. Kau berada disini karena turnamen itu kan?" Bun menggerakkan kakinya, perlahan berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya.

"Oh, ayolah, aku tidak ingin melawanmu. Kau begitu menggemaskan." Puppet terlihat santai saat menggendong Eve, namun ia tetap waspada pada gerak-gerik Bun. Meski ia tidak bisa melukai anak kecil, ia juga tidak ingin kalah di turnamen ini. "Kumohon, menyerahlah."

"Jika aku tidak mau menyerah, bagaimana?"

"Kau tidak memberiku pilihan, Bun. Aku tidak suka ini, tapi tidak ada jalan lain. Maaf, waktumu habis hari ini." Puppet berdiri sembari memegang beberapa tabung mini.

"Aku tidak berpikir seperti itu, bun~" Bun mengambil kapak yang berada di dekatnya.

*

Bun berguling untuk keempat kalinya, entah bagaimana ia tidak bisa mendekati Puppet, bahkan ketika gadis itu hanya berdiri sembari menggendong kucing hitam kesayangannya. Jika sudah begini, Bun jelas tidak bisa menghunuskan kapak itu ke tubuh Puppet dan membuatnya menyerah—setidaknya kehilangan kesadaran.

Kemampuan apa yang harus ia keluarkan?

Hungry? Spark? Nexus? Tidak, tidak, bisa dibilang Nexus cukup menguras energi.

Meski tempat kali ini menguntungkan Bun karena memiliki kontur tanah yang solid, namun hawa panas cukup membuatnya mengalihkan fokus untuk dirinya sendiri. Jika ia ceroboh mungkin saja tubuhnya tidak begitu kuat dan kesadarannya hilang sebelum membuat Puppet menyerah.

"Spark!"

"Kyaaa!!" Puppet terjerembab setelah ia merasakan aliran listrik merambat di kakinya. Dengan sigap ia melemparkan tabung berisi Gogora ke arah Bun.

"Uh? Apa?" Bun mengerjapkan matanya. Sedang apa dirinya tadi?

Sementara Bun masih berkutat dengan pikirannya, Puppet mengerahkan Eustas dan mengambil darah Bun dengan jarum Oratza.

"Uwaaaa!!!" Bun mengerang saat sesuatu seperti menusuk dirinya.

"Menyerahlah..."

Bun masih bersikeras untuk tidak mengucapkan kata 'menyerah', dan justru sebalikya ia berjuang menghilangkan perasaan aneh yang perlahan muncul

"Bun, kumohon menyerahlah."

Bun masih diam dan tidak menggubris permintaan Puppet. Pikirannya masih menolak, namun Bun merasakan ada yang salah dengan dirinya. Entah sejak kapan ia mulai mengambil beliung dan menghunuskannya ke leher sendiri.

"Ke-kenapa bisa begini, bun~?"

Puppet masih memfokuskan dirinya untuk mengendalikan tangan Bun agar beliung itu benar-benar menancap disana.

Aku tidak mau ini. Aku tidak mau mati seperti ini.

"Nexus!!"

Dua sosok lain muncul di sekeliling Bun.

"Apa?" Kali ini Puppet melangkah mundur. Fokusnya teralih dengan kehadiran dua sosok baru yang sepertinya satu ras dengan Bun.

"Si-siapa mereka?"

Bun mengambil napas dengan terengah. Jelas staminanya berkurang drastis, ditambah dehidrasi—yang mungkin diderita—akibat berada di tempat sepanas ini. Bun menarik napas panjang sebelum akhirnya berteriak, memerintahkan dua Nexus miliknya untuk menyerang Puppet.

Puppet tidak tinggal diam. Sekali lagi ia menghindar dan mengambil beberapa tabung obat miliknya kemudian melemparnya ke arah Bun.

"Aku tidak bisa membiarkan dirimu lepas begitu saja." Dengan desah napas yang hampir sama dengan Bun, Puppet menggunakan Eustas sekali lagi.


*


Lenguh napas terdengar pelan bersamaan dengan detak jantung yang semakin keras. Langkah mungil terseok melangkah di atas tanah yang panas. Matanya berkunang-kunang, dan tenaganya hampir tidak ada.

"U-uh…"

Tubuhnya ambruk setelah berjalan beberapa meter dari tempatnya meninggalkan lawan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Perlahan kedua mata mungilnya ikut menutup,

[ Eumenides – Unconcious ] [ Bun – Unconcious ]


***


Bunyi gesekan mata parang dan bilah tongkat terdengar menggema di salah satu sudut gua, diantara desah napas dan peluh yang mulai menetes. Entah sudah berapa lama waktu berlalu sejak mereka berdua bertemu dan beradu seperti ini.

"Ho, tak kusangka kau bisa juga bertahan seperti ini. Kupikir kau tak ubahnya gadis lain yang akan lari mengadu pada ayahnya karena tidak tahan dengan tempat ini." Seorang wanita berkacamata menarik salah satu sudut bibirnya untuk menyeringai, mengejek lebih tepatnya. Sesekali ia mengatur napas dan mencegah kacamatanya berembun lebih banyak.

"Aku bukan wanita!" seru seorang pemuda bertubuh ramping sembari memajukan badan dan mendorong wanita yang ada di depannya, namun sayang, wanita tersebut lebih lincah dan atletis dari yang terlihat.

Bukan salah si wanita berkacamata jika dirinya dianggap seperti 'wanita'. Selain karena tubuhnya yang ramping, rambutnya yang memiliki model bob, nama panggilannya juga mengindikasikan mereka memiliki persamaan jenis kelamin. Stellene—atau beberapa orang memanggilnya Stella—berulang kali menoleh ke arah terowongan, berjaga apabila mayat-mayat hidup itu kembali sembari menyeka kacamatanya yang juga mulai berembun. Terima kasih kepada batu safir miliknya, ia tidak perlu terlalu merasa panas walaupun lawannya kali ini bukan wanita sembarangan.

Stellene menoleh ke segala arah, seandainya hawa di dalam gua tidak seperti ini, mungkin dirinya akan lebih menikmati surga batu di dalam tambang yang tidak terjamah. Ya, kapan lagi bisa melihat berbagai macam batu yang kemungkinan tidak ada di Grand Earth. Berbeda dengan Stellene, wanita berkacamata yang biasa dipanggil Lexia menarik napas dalam-dalam dan menyarungkan parangnya. Ia mulai gerah jika harus berlama-lama di dalam gua.

"Sepertinya kau tidak mau menyerah ya?" tanyanya sembari mengeluarkan Luger 08.

Stellene terkesiap. "He-hei… Kamu pasti bercanda kan, menggunakan benda itu disini? Bagaimana kalau mayat-mayat hidup itu kembali mengejar kita karena mendengar suara dari senjatamu?"

"Bukankah lebih aik kau mengkhawatirkan dirimu sendiri?"

Stellene menatap tajam sosok Lexia yang melangkahkan kaki mendekat ke arahnya. Perlahan ia mundur sembari mengambil sebuah gemstone dari tas pinggangnya, kemudian menggenggam batu yang berpendar kuning di tangannya. Satu gerakan, dan sebuah sambaran petir mengenai Lexia. Tidak mematikan, namun cukup untuk membuat senjata Lexia terlepas dari tangannya.

"Ku..rang… a…jar… Kau!"

Sebelum wanita itu mulai bangkit, Stellene mengambil batu safir dan menembakkan beberapa bola air ke arah Lexia.

"Dinginkan dulu kepalamu, atau rambutmu bisa berwarna lebih merah dari ini. Setelah kepalamu dingin, ayo kita cari jalan keluar dari sini."

Lexia merasa terhina, berulang kali dirinya berusaha menggapai Luger 08 yang jatuh tidak terlalu jauh dari tempatnya berada sekarang. Sayang, Stellene menyadari tindakan—dan mungkin rencana—Lexia, ia mengambil citrine sekali lagi dan membuat petir menyambar tubuh Lexia yang sudah kepalang basah.

"Maaf, aku tidak bisa membiarkanmu melakukannya."

Lexia mengerang hebat dan menatap langit-langit gua. Tubuhnya sedikit sakit, namun kesadarannya masih ada. Berarti ia masih bisa lanjut kan?

"H-hei…" Lexia menggerakkan tangannya, membuat Stellene mendekatkan kepala ke arah Lexia.

"Ada apa?"

"A…ku… me…nye… Mustahil aku mengatakannya, mata empat!" Lexia dengan cepat mengambil parang yang ia sampirkan di pinggangnya dan menusuk leher Stellene. Ia akui tubuhnya masih terasa sakit dan terlalu beresiko jika ia harus menembak.

Stellene membeliak. Ia merogoh tas pinggangnya, mencari batu yang bisa menyembuhkan dirinya, namun sayang, Lexia perlahan bangkit dan memisahkan Polunocnica—tongkat milik Stellene—dari pemiliknya. Stellene mengerang, tenggorokannya sakit dan darah keluar masih mengucur deras.

Detik berikutnya, Stellene sudah tidak bernyawa.

"Huff…"

[ Stellene – Dead ] [ Lexia – Alive ]


xxxxx-----xxxxx



-05-
Deadly Hide and Seek : Madness



Kazuki tertohok. Entah sudah berapa kali dirinya dihajar habis-habisan oleh pria kekar—layaknya prajurit—yang ia tidak kenal. Sejujurnya ia tidak pernah melihat sosok ini dimanapun, bahkan saat mereka semua masuk ke kotak dan dibawa ke dalam gua. Lalu kenapa dirinya diserang tiba-tiba, hanya karena pria ini melihatnya membawa nodachi di punggungnya.

Sejujurnya, Kazuki mulai gerah dan lelah berada di tempat ini, dan semakin gerah karena dirinya sekarang berada di daerah sekitar jembatan, dan tidak perlu dijelaskan ada apa di bawah sana, bukan?

*

8 menit sebelumnya



"Nippon!!" seru prajurit berbadan tegap itu sembari memasang kuda-kuda.

"Hah?" Kini giliran Kazuki yang bingung. Tidak, ia bukan tidak paham maksud perkataan sang prajurit, tapi ia tidak bisa mengartikan tatapan marah prajurit tersebut.

Tanpa ba-bi-bu, prajurit tersebut maju dan memukul Kazuki dengan satu kepalan tinju.

Ap—

Satu ingatan masa lalu sang prajurit terpampang jelas di depan mata Kazuki. Yang membuatnya bingung dan heran, mengapa prajurit itu masih berada di latar masa lalu, berjuang dengan senjata, bersama teman-temannya.

Lalu, kenapa ia begitu terluka melihat diriku sekarang? Kenapa ia begitu marah, bahkan aku tidak ada dalam bayangan dirinya?

Masih berkutat dengan pikirannya, Kazuki kembali mendapat satu serangan dan tersungkur. Efek stun dari kemampuannya membuat dirinya kembali terhuyung. Dia tidak bisa terus seperti ini. Beruntung prajurit di hadapannya tidak mengeluarkan pistol yang sempat dilihat Kazuki. Mungkin baginya, tidak perlu mengeluarkan senjata untuk melawan bocah yang bahkan tidak sanggup mengeluarkan pedang panjang dari sarungnya.

*

"Gara-gara lu, hancur negeri gue! Mati temen-temen gue!"

Setiap pukulan yang Kazuki rasakan, satu ingatan pria itu terbesit di kepala Kazuki.

Zaman perang.

Darah.

Penjajahan.

Separah itukah kondisi pria ini di dunianya?

Tapi tunggu. Bukankah itu tidak ada hubungannya denganku? Aku memiliki perang tersendiri, dan tidak ada dalam sejarah yang kuingat bahwa negaraku menyerang negara lain dan mengambil alih. Kami saling berperang dengan negara kami sendiri.

Tak pikir panjang, sebelum kepalan tangan pria itu menghantam wajahnya, Kazuki lebih dulu menghantamkan kening ke kening pria tersebut.

Keduanya terjungkang.

"Eh? Apa? Siapa?"

Kazuki terkesiap melihat pemandangan di depannya. Sosok prajurit tadi berubah menjadi kakek tua yang ringkih. Dan kini Kazuki ingat, siapa orang tua yang tidak sadarkan diri tersebut. Ya, dia adalah peserta turnamen yang bersamanya masuk ke dalam kotak dan diterbangkan ke tempat ini.

Padahal ia mengingatkanku pada kakek. Tapi sayang aku harus membuatnya tidak sadar.

"Maaf ya, kek.."

Kazuki mendekat. Kakek itu sudah tidak sadarkan diri, tak ada gunanya melawan dia lagi, dan berbahaya membiarkan kakek itu berada di tepi jurang. Mengingat di bawah sana ada magma yang membara. Saat menarik tangan kakek itu, Kazuki teringat sesuatu.

"Ah, bodohnya aku! Bagaimana aku tidak menyadari bahwa setiap kakek ini sadar, selalu ada bau busuk seperti gas metana yang mengikutinya?! Aku kira itu sulfur, tapi sekarang baunya tidak ada. Lebih baik ia kuletakkan di tempat yang aman."

Ya, udara semakin panas ia rasa. Kazuki menarik tangan—dan tubuh—kakek ke arahnya—

—ketika sebuah pecut dirasakan oleh kakinya dan membuatnya terjatuh dari jurang.

Sementara itu, sesosok wanita dengan seringainya yang lebar memperhatikan dari tepi jurang.


***


Kazuki menarik napas meski keringatnya bercucuran. Kepalanya menengadah ke atas, melihat sosok wanita berambut merah yang berdiri di tepi jurang. Kazuki masih beruntung, dirinya masih sempat berpegangan pada bibir jurang.

"Ho, kau masih hidup rupanya. Menarik. Kita lihat apa kau masih bisa bertahan dengan pegangan lemah seperti itu?"

Lexia—sang wanita berambut merah—menginjak tangan Kazuki yang jadi tempatnya bergantung.

"Hentikan! Apa yang kau lakukan?! Hentikan!!!"

Tangannya yang berkeringat dan terasa sakit mulai mengendur. Akankah dirinya berakhir sama dengan kakek yang tidak sempat ia selamatkan saat dirinya terdorong oleh hentakan pecut dari belakang kakinya.

Tidak. Aku tidak akan berakhir disini!

Kazuki mengayunkan kakinya, mencari pijakan pada dinding tebing sebelum melakukan Relax Reflect. Namun sayang, ponsel yang ia letakkan di saku celananya terselip dan keluar, terjun bebas ke arah magma di bawah sana.

Pandangan Kazuki buram sesaat, mengulang apa saja yang baru terjadi.  Terus berulang, berulang, dan berulang dengan tempo yang sangat cepat.

"AAAAAAAA~~~!!!"

Kazuki menapakkan kakinya dan melompat ke hadapan Lexia dengan marah. Ia tidak bisa 'melihat' apa-apa. Ia biarkan tubuhnya yang mengambil kendali atas dirinya. Ia tidak peduli dirinya sangat lelah, kepanasan, dan dehidrasi.

Seandainya wanita ini tidak mendorongku.

Seandainya wanita ini tidak membuatku bergantung seperti itu.

Seandainya wanita ini tidak menggangguku.

Seandainya wanita ini yang menggantikan dia untuk terjun ke bawah sana.

Aku tidak rela.

Kazuki menghunuskan kodachi dan menyerang membabi buta.

Tanpa arah.

Hanya ada marah.

Ia tidak bisa mengingat berapa kali Lexia berusahan menghalau dan melakukan serangan balik dengan parangnya. Yang dia ingat hanya ponselnya yang terjun bebas. Ketidakmampuannya untuk menyelamatkan apa yang penting untuknya membuatnya tidak peduli betapa sakit luka yang dibuat Lexia melalui parangnya.

Kazuki terus menangis dan mengerang. Ia memajukan tangannya dan mencengkram dada Lexia sebelum menjatuhkannya. Kini giliran Lexia yang mengerang, saat Kazuki menancapkan kodachi berulang-ulang pada tubuh yang kini berbaring di atas tanah.

Lexia berkelojotan, sebelum akhirnya kehabisan tenaga dan berhenti bergerak.

"Kembalikan gadisku!! Kamu membunuhnya!! Kembalikan!! Jangan pura-pura tidur kamu!! Kembalikan dia!! Hey!! Jangan diam saja!! Hey!! Bangun!!! Hey...!!!!!!"

Tangisan Kazuki masih belum berhenti, hingga beberapa pelayan wanita menjemputnya ke Alforea.


[ Kumirun – Dead ] [ Lexia – Dead ] [ Kazuki – Alive ]

***

"Datanglah, Kazuki. Peluklah diriku.. Datanglah ke pangkuanku..."

"...Putraku."


xxxxx-----xxxxx

END


UPGRADE :
Residual Skill [Madness] – Keadaan dimana Kazuki menyerahkan pertarungan pada tubuhnya yang mengingat cara bertahan dan menyerang, sedangkan pikirannya penuh dengan rasa sakit dari hatinya. Dalam kondisi ini, sakit yang dirasakan fisik tidak akan dirasakan sebagai sesuatu yang darurat, sebelum luka hatinya sembuh.

13 comments:

  1. Ini mirip sama permasalahan saya : kesulitan mencari sinonim.

    Paragrafnya diawali dengan : Kazuki blabla; Kazuki blabla; Kazuki blabla;

    Tapi saya udah ndag sebanyak ini, mungkin karena saya bisa mengubah narasinya jadi kayak kata kerja dluan baru diikuti siapa yg melakukan. Contoh :

    Kazuki memandang langit-langit dan daerah sekitar tempatnya berada sekarang. Dinding dan langit-langit berwarna putih, dan banyak tempat tidur yang terletak saling bersebelahan mengingatkan Kazuki pada klinik sekolahnya. Apa mungkin dirinya sedang berada di sana?


    Lebih ena kalaw :


    Dipandanginya dinding dan langit-langit berwarna putih tempat Kazuki berada sekarang. Deretan tempat tidur yang terletak saling bersebelahan kemudian mengingatkan Kazuki pada klinik di sekolahnya. Apa mungkin saat ini dirinya sedang berada di sana?

    Endag tau sih lebih baik atau enda, tapi kalo saya lebih enak baca begitu biar nda berkesan monoton gitu mz.

    Disini seharusnya di sini
    Dimana seharusnya di mana

    Nah, narasi yang dipakai di sini… bagaimana say abilangnya? POV 3 nya masih terasa diceritakan oleh narrator yang kehabisan ide untuk menggunakan kata. Yup, lagi-lagi masalah diksi yah. Iyanih, sy banyakan ngomel yha, maafin sy mz hiks ;_;

    Ada kata yg hilang ._. *cari sendiri yah wkwk

    Konklusi di meja makan terasa menarik dan bikin penasaran, nice kaz (y)

    Awalan yang agak berbeda dan menarik. Dipanggil satu-satu seakan itu foodcourt ga hanya khusus peserta BoR ya. Nice nice.

    Banjir kata : “Ya” yah?

    Related thing antara RNG-sama dan bg kazuki manis banget uwu

    Hologramnya muncul di dalam atau di luar kotak? Agak rancu, tapi harusnya di dalam sih yah

    Cuaca panas dlm tambang mungkin lebih enak kalo pake “suhu panas dalam tambang” <hanya opini

    Oke, masuk tambang, potongan yang bikin penasaran sebelum ganti chapter itu nice banget, tipe yg saya suka :3

    Owowow Eve ninggalin Puppet, suatu hal yg baru banget nih

    Ih! Puppet pake kapak! Yaampun mz, kok ide kita sebelas dua belas mulu sih yah ._.

    NIPPON!! Hahaha XD. Si Kaz naik kereta jg kreatipp

    Tapi emang Puppet agak OOC ya karakternya di sini ._. dia banyak omong daripada bertindak, tapi masih ndag apa hhe.

    Hhe, Stellene kayak cewe hhe

    Lex kerasa liarnya yha. Kayaknya emang Cuma Bun sama Lex yang pribadinya gampang dimainin di entri ini.

    "Maaf ya, kek.." < anjir. Kalimat ini pun ada di entri saya ._.

    AAAAAHHHH endingnya MANTEB! PONSEL, ANJIR! WATDEHEL.

    Oke, saatnya konklusi.

    Awal-awal cerita saya bacanya agak tersendat, mungkin karena pemilihan kata yang enggak pas. Tapi sampai ke battle, ada aja ide menarik yg muncul dan beda tapi MIRIP dengan ide saya (jangan” kita kembar)

    Minus plusnya saya enggak bisa bilang, di atas udah terpapar, semoga bisa kelihatan jelas poin-poinnya. Jadi saya Cuma mau kasih nilai….

    8/10

    OC : Eumenides/Puppet

    Hh3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hh3.. makasih udah mampir.. daaaaaan yeay

      Dapat 8.

      Makasih banget sarannya. X3

      Kita emang kembar di pemikiran kayaknya

      Nippon!


      Thanks udah mampir x3
      Like i said, aku ga akan kasih alasan macam2

      Delete
  2. Kayaknya tim A ini emang udah cirinya ya, begitu masuk gua karakter yang muncul dikupasnya satu per satu berurutan pelan-pelan

    Walau ringan, entri ini berasa agak redundan. Mungkin karena pemilihan kalimatnya - dan karena kesibukanmu yang bikin entri ini keliatan sulit digarap maksimal. Karena ga bersinggungan sama yang lain, Bun sama Puppet juga kerasa agak irelevan ke plot, cuma dimunculin biar ga mati offscreen.

    Wah. Kalo Bun punya berserk button kalo lapar, Kazuki di sini ponselnya ya

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayyyy makasih ✩✩✩✩

      Saya berpacu dalam melody eh bukan. Waktu

      Kalau kata dimas suruh pilih salah satu, saya ga mau milih. Saya lupa yang dulu saya delete permanen apa ceritanya wkwkwkw

      Kalau lolos terus, saya bakal balik ke diri saya yang biasa deh.

      Wwwww... pokoknya handphone, headphone, earphone, modem, pedangnya, pc, laptop , ramen

      Semua itu istrinya kazuki


      Makasih udah mampir ya kak ●w●)★

      Delete
  3. Jadi Kazuki snap karena HP?

    Menurut saya sih Lexia bakal lari kalau lihat musuhnya tiba-tiba seperti sudah gelap mata, tapi ya sudahlah~

    Agak bingung karena penjelasan lokasi sempat beda beda. Despera Inn, Alforea - Despera Inn, Despera.

    Saya agak nggak paham ending pertarungan Bun dan Puppet. Kenapa Bun bisa pingsan, Puppet karena panaskah?

    Saya suka pertarungannya dengan Kumirun. Kasian juga, ngkong.

    7/10 dari saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo ><

      Sorry ya Lexianya OOC.. T^T

      dan too much typo

      :'

      Saya ga berhasil rewrite apa yang saya permanent delete :'

      Delete
    2. Saya sih santai aja soal OOC karena saya yakin saya juga banyak OOC di entry saya hahah

      OC: Lexia

      Delete
  4. RIP Waifunya Kazuki.

    #difentung

    Sama kayak katanya empunya Lexia, ending battlenya Bun sama Puppet gede banget holenya. Tau-tau udah KO dua-duanya gitu, bikin pembacanya harus ngarang sendiri kira-kira selama battle itu dua-duanya ngapain, tanpa ada gambaran akhirnya mereka apa kabar. Entah ini memang intended apa gimana ya .w.

    Endingnya relevan banget sama Kazuki. Jadi mixed feeling banget benernya =)) Di satu sisi setelah build-up di bagian-bagian lain yang lumayan serius, endingnya kayak 'jir hp doang mz' gitu jadinya kayak separuh guyonan =)) Tapi di sisi lain, mengingat memang hape itu waifunya Kazuki...

    Gimana....ya.

    Yha.

    #eh

    7 ya :'T

    [ Stellene ]

    ReplyDelete
    Replies
    1. intended sebenarnya, karena saya running out of time ToT

      baru mulai nulis tanggal 21 Juni. Sampai dibantu dimas buat ngetikin

      Itu bukan guyonan hiks... Gadget is love gadget is life

      Delete
  5. Umi di sini bersama Felly, xD

    Kali ini si Felly ga bakalan ikutan roleplay, udah malem, saatnya dia bobo :3

    The Fun : 4
    Umi Suka sama ceritanya, ringan gaya bahasanya kak Dee jug masih khas banget xD dari jaman Edward xD berasa baca novel terjemahan dengan translasi sederhana XD

    Karakterisasi : 3.0

    Umi agak heran dengan engkong Kumirun yang ndak konsisten gunain 'gua', 'gue' dan 'aye' di dalam dialognya.

    dan Umi suka si Kaz kayak punya jiwa monster begitu xD berasa makin horor dianya.

    yang beneran lengket di Umi ya sososk Kaz, Engkong sama Bun. Mungkin karena yang lain ndak punya ciri khas bicara jadinya, karakterisasi mereka kesannya normal di Umi xD

    Alur : 1.0,
    btw, pas ada kata 'nippon!' di Kumirun, Umi sempet ngarep bakal ada dikupas tuntas mengenai kedatangan Jepun ke Indo dulu :v


    dan last :
    Total : 8.0

    ReplyDelete
    Replies
    1. lupa

      OC : Maria Fellas

      Delete
    2. Heiho..
      Thanks ya um...
      xD

      Saya ga bisa bahasa betawi btw.
      Dan ga smpet mau kupas soal hubungan kazuki sama kumirun

      Delete