15.6.15

[ROUND 1 - TEAM F] RENGGO SINA - BADAI SALJU DI KOTA MATAHARI "LOS SOLEIL"


RENGGO SINA - BADAI SALJU DI KOTA MATAHARI 
Penulis: Mocha_H


--0--
The Dream
Tempat apa ini?

Itulah yang kutanyakan pada diriku sendiri ketika melihat kota besi itu. Aku berdiri di atas sebuah jalan raya yang terhalang oleh sebuah bangunan pecakar yang telah roboh. Di pinggir jalan raya itu, terdapat deretan bangunan dan tiang-tiang besi di samping sebuah trotoar besi pula. Satu-satunya hal yang tidak terbuat dari besi hanyalah bebatuan aspal di bawah kakiku yang telah lapuk menjadi  gundukan tanah.

Dari mana aku tahu gundukan tanah ini pernah berupa aspal?

Kubungkukkan tubuhku untuk mengambil segengam tanah. Benar, ada beberapa pecahan aspal tercampur di dalamnya. Kalau aku tahu tanah ini pernah menjadi aspal, apa itu berarti aku pernah di sini? Di kota besi tak berpenghuni ini?

Tidak, aku salah. Meski terlihat terlantar, aku merasa janggal jika mengatakan itu, seolah sebagian diriku mengatakan kota ini berpenghuni.


Aku memutuskan untuk menjelajahi kota ini, mungkin aku akan lebih mengerti jika berkeliling. Namun ketika aku berbalik, sebuah cahaya melesat ke arahku, langsung mengenai mata kiriku. Puluhan mahluk humanoid cahaya putih berlarian dari sisi lain jalan raya sambil menembakan ratusan cahaya padaku, cahaya yang sama dengan yang mengenai mata kiriku.

Tanpa komando aku berlari ke salah satu gang di antara bangunan sisi jalan, berharap untuk menyelamatkan nyawaku. Aku keluar dari sisi lain gang itu dan memasuki jalan raya lain, tapi rentetan cahaya putih yang melesat melintasiku mengatakan bahwa nyawaku masih terancam, sehingga aku tak ragu masuk gang lain di sisi lain jalan raya di depanku.

Sayangnya, pelarianku tidak berlangsung lama. Aku terhenti di ujung sebuah dermaga yang berbatasan dengan sebuah badan air, lalu kuberbalik, menemukan deretan humanoid bercahaya tadi menembakan cahaya-cahaya padaku. Aku berusaha melindungi bagian vital dengan tanganku, tapi setiap kali tembakan itu mengenaiku aku terhuyung ke belakang hingga akhirnya tercebur.

Kukira aku akan melihat diriku tenggelam di badan air ini, semakin gelap tiap detiknya, tapi yang kulihat berbeda. Gelembung-gelembung air yang tercipta akibat benturanku dengan permukaan badan air terhenti di angkasa, air di sekitarku tak bergerak sama sekali, begitupula diriku.

Perlahan air di sekitarku mengalir turun, begitupula Dermaga dan semua pijakan di sekitarku merosot ke dalam bumi, tapi aku masih di tempat itu, tertinggal sendirian di ruang gelap tak bercahaya.

Tubuhku terjatuh, mendarat di atas sisi datar sebuah roda gerigi. Aku melihat sekelilingku, pemandangan di depanku berubah menjadi kumpulan roda gerigi yang saling menggerakan sesama, termasuk roda gigi di bawahku yang membuatku berputar-putar.

Tiba-tiba terdengar sebuah gema yang sangat keras, seperti berada di bawah sebuah lonceng raksasa. Saking kerasnya, aku segera meggerakan kedua tanganku ke lubang telingaku dan menutup mataku untuk mengurangi dengungannya.

Ketika kubuka mataku lagi, tidak tampak lagi jejak dari kumpulan roda gigi tadi. Sekarang aku berada di tengah reruntuhan kota, tapi tidak seperti kota sebelumnya, bangunan reruntuhan di sini terdiri atas beton dan kayu meski ada beberapa kawat besi di antaranya.

Suara isak tangis seorang gadis memecahkan keheningan. Secara insting aku segera berlari ke sebuah gang untuk bersembunyi. Namun bukannya tak peduli seberapa banyak langkah yang ku ambil untuk menjauhi suara itu, aku malah berlari mundur mendekatinya. Aku berhenti berlari ketika aku merasa pemilik suara itu berada tepat di belakangku.

Dengan mengumpulkan keberanianku, aku berbalik, menghadap ke sosok menangis itu. Di depanku sekarang terdapat sebuah sosok humanoid cahaya seperti sebelumnya, hanya saja ia berwarna kuning cerah. Ia duduk miring, memangku kepala sesosok cahaya putih di pangkuannya.

Ini bisa jadi sebuah pemandangan yang menghangatkan hati kalau saja tidak terdapat genangan merah di bawah keduanya. Rambut panjang kepang dua si sosok kuning seakan menjadi kuas yang menyerap sebagian genangan itu.

Apa itu... Darah?

"Apa yang telah kuperbuat? Kenapa? Kenapa aku melakukannya?" Sebuah suara menggema di dalam pikiranku. Entah mengapa, aku tidak bisa mengenal suara itu, bahkan aku tidak bisa membedakan apakah itu suara Wanita atau Laki-Laki.

Aku mencoba bicara, tapi suaraku tidak keluar sama sekali.

Kenapa suaraku tidak keluar?

Sosok itu berbalik padaku, lalu bertertiak "Siapa di sana?"

Aku tidak menjawab sama sekali. Bukannya tidak mau, tapi lebih tepatnya aku tidak bisa menjawab. Akupun tidak tahu siapa diriku.

"Tolong aku" pinta sosok itu, "Tolong hidupkanlah anak ini... anak yang telah kubunuh ini..." ujarnya seraya menyodorkan sosok cahaya putih di pangkuannya padaku.

Aku tidak bisa... tapi haruskah aku menjawab dengan itu?

"Kenapa kau tidak bisa? Kumohon... ia sudah semakin pucat"

Aku melihat lagi sosok cahaya putih itu... atau paling tidak sosok yang tadinya bercahaya putih. Sekarang warnanya sudah mulai memudar, menjadi warna keabu-abuan. Sosok kuning itu terus meminta, tapi aku terus menjawab dengan jawaban yang sama sampai akhirnya sosok abu-abu itu berubah menjadi hitam legam.

Sosok kuning itu mengangkat kepala "anak" di pangkuannya, lalu meletakannya di atas kolam berdarah itu. Isak tangisnyapun kembali terdengar. Cahaya hitam dari mayat itu menyebar ke seluruh pemandangan sekitar, menyisakan hanya aku dan si sosok kuning itu.

"Kenapa? Kenapa aku membunuhnya?"

Seiring tangisannya, beberapa sosok cahaya putih muncul berserakan di sekitarnya, tapi tidak lama pula mereka perlahan berubah menjadi keabu-abuan sampai akhirnya menghitam dan membaur dengan kegelapan tempat ini.

"Tidak... Aku tidak membunuh mereka... Kaulah yang membunuh mereka!"

Sebuah cahaya berbentuk lancip muncul di tangan kanan sosok itu. Aku tidak perlu berpikir untuk menebak apa yang akan terjadi beberapa saat setelah ini, jadi aku langsung berlari darinya. Namun tubuhku membeku, aku hanya bisa diam di tempat sambil melihat sosok kuning itu mendatangiku.

--1--
The Departure

Kegelapan di mataku segera tergantikan oleh cahaya menyilaukan. Mataku kubuka secara perlahan sampai akhirnya aku bisa menyesuaikan dengan cahaya sekitar. Kini aku berada di samping sebuah jendela kayu yang membiarkan cahaya yang menyilaukan mataku tadi masuk.

Di depanku terdapat sebuah meja kayu yang memanjang ke samping dan di sekitarnya dapat kulihat para maid dan peserta lain berjalan-jalan. Beberapa peserta duduk agak jauh di sisi lain meja kayu, menikmati hidangan yang tengah disajikan.

Sebuah pipa besi mencuat di atas meja, tepat di depan tempatku duduk, lalu memberikan sahutan hangat "Pagi, Renggo."

"Aku hampir mengadakan pesta... kalau saja kau tidak bangun dari tidurmu"

Tidak! Aku tarik perkataanku! Sahutannya sama sekali tidak hangat!

Tiba-tiba sebuah tangan menampar wajahku, tapi yang lebih mengejutkan adalah ketika aku mengetahui kalau itu adalah tanganku sendiri.

"Ingat, aku ini operatormu. Aku tahu apapun yang kau katakan... dalam pikiranmu sekalipun!" ujar Opi, "Dan dengan "Forced Comand", aku bisa menamparmu kapanpun aku mau"

"Itu curang! Memangnya aku tidak bolah punya sedikit privasi di sini!" pekikku.

"Ah, diamlah. Para peserta lain akan menganggapmu gila kalau melihatmu bicara pada sebuah pipa di atas meja makan"

Aku baru menyadarinya ketika aku melihat sekelilingku, beberapa peserta dan maid tengah melirik ke arahku, tapi ketika aku menatap mereka, mereka langsung kembali ke kegiatan mereka seolah tidak terjadi apapun. Meski tidak jelas, tapi aku masih bisa mendengar mereka berbisik dengan sesamanya, mungkin membicarakanku.

"Sial... Kau menang kali ini..." ucapku lesu.

"Aku selalu menang, Renggo" jawab Opi santai. "Ngomong-ngomong, lihatlah ini"

Dalam komando forced comand Opi, kedua tanganku bergerak ke depan dan membentuk sebuah bingkai persegi dengan dua jari pada masing-masing tangan. Ketika kedua tanganku menjauh, sebuah layar hologram terbentuk di tempat bingkai persegi tadi.

Dalam layar hologram itu tampak sebuah benteng di sebuah lembah batu berpasir. Tiga buah sosok turun menuruni dinding benteng itu menggunakan tali dan satu lagi yang ikut turun, tapi jatuh karena talinya putus. Tentu saja aku tidak merasa asing terhadap adegan itu, aku masih bahwa akulah yang jatuh dari dinding setinggi lima meter itu.

"Ini bukannya kejadian ketika ronde pertama?" tanyaku pada Opi.

"Benar sekali..."

Tiba-tiba tanganku menggengam belakang kepalaku, lalu mendorong kepalaku lebih dekat dengan layar itu. Aku tidak tahu apa yang Opi pikirkan, tapi aku tetap menonton tayangan  di depanku yang tidak lebih dari saat-saat aku bereaksi terhadap ide-ide gilanya.

Dengan nada yang lebih berat dari biasanya, Opi memulai pembicaraan, "Dua puluh tujuh..." ia berhenti, lalu melanjutkan perkataannya, "Sudah dua puluh tujuh kali kau bereaksi seperti manusia pada ronde kemarin!"

Kepalaku dihantamkan ke meja makan di depanku oleh tanganku sendiri, kemudian ditarik kembali ke posisinya sebelumnya. Vidio di layar itu kemudian mengecil, menampakan beberapa baris tulisan seperti kolom komentar.

"Bukan hanya aku, tapi semua yang melihat pertarungan ini mengomentari kepribadianmu yang terlalu manusiawi! Sebenarnya kau itu robot atau bukan,sih!" tegur Opi.

"Aku tidak tahu! Kamu mengambil ingatanku, seharusnya kamu lebih tahu,kan?" balasku.

"Ngomong-ngomong... apa kau tahu sayuran bernama jagung?" tanya Opi.

"T-Tidak..." jawabku, tapi sayangnya jawabanku hanya menghasilkan hantaman kepalaku pada meja makan lagi.

"Tapi kau pernah menggunakan kata itu di awal turnamen!" Opi membentaku sambil menyeringai dengan mata elektroniknya, lalu menekan sebuah icon berbentuk mic pada layar hologram.

"Memangnya kita mau manen jagung?! Lagi pula, dari mana juga kita bisa dapat karung?"ujar suaraku dalam rekaman suara.

"A-Aku tidak tahu! Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau ingatanku telah kamu ambil!" bantahku.

"Tsch... Ini pasti sebuah kebocoran ingatan, Memory Leak. Kurasa aku tidak sehebat yang kukira," ujar Opi, "Bicara soal ingatan, aku sudah mengembalikan sebagian ingatanmu. Bagaimana rasanya?"

"Aku ingat melihat hal-hal aneh ketika dalam mode tidur, tapi aku kurang yakin sesuatu seburam itu adalah ingatanku" jawabku.

"Apa perlu kuhantam kepalamu biar ingat lagi?" suara seorang gadis memecah percakapan kami.

Aku mengangkat kepalaku, melihat setumpuk piring berisi makanan di depanku. Seorang gadis berambut coklat yang diikat kebelakang hingga melebihi pundak, pemilik suara itu keluar dari balik tumpukan piringnya, menampakan dirinya yang mengenakan sebuah kain dari lutut hingga ke dada untuk menutupi pakaian besi di baliknya. Dia adalah Halia Ole, seorang peserta yang satu tim dengan kami di ronde sebelumnya.

"Kau benar, Halia. Hantam kepalanya sekuat tenaga!" perintah Opi.

"J-Jangan! Aku masih mau hidup!" pintaku.

"Sudahlah, Halia. Kamu tidak mau ditangkap para maid lagi,kan?"

Seorang pria berambut coklat dan mengenakan jaket hitam berlogo gear yang membentuk gambar jam di dadanya, datang menghampiri kami dengan sebuah baki yang menahan dua buah mangkok di atasnya. Dia adalah anggota lain dari tim kami di ronde preliminary, Klonoa Trunion.

"Tapi aku cuma mengajak peserta lain untuk sparing!" ujar Halia.

"Kamu sudah jelas menyerang mereka terang-terangan!" seru Klonoa.

Klonoa duduk di sisi seberang, kemudian ia mulai mencampur sup pada salah satu mangkok ke dalam mangkok lain yang berisi nasi putih. Halia ikut duduk di depan bakinya sendiri yang ia letakan sebelumnya.

"Kenapa bakimu penuh sekali?" tanya Klonoa pada Halia, "Apa kamu tidak takut membulat seperti anak di pojok sana?" ujarnya sambil menunjuk meja lain di sudut ruangan.

"Aku masih dalam masa pertumbuhan, jadi aku perlu banyak makan... lagi pula aku robot! Aku tidak akan jadi gendut meski makan banyak sekalipun!" jawab Halia.

"Seharusnya kalau kamu beneran robot, kamu tidak perlu makan sebanyak itu!" balas Klonoa.

"Ah! Sudahlah! Aku suka makan, jadi aku akan makan!" seru Halia.

"Hmm... Kulihat kalian sangat dekat sekarang, padahal di awal ronde penyisihan kalian masih suka ribut gara-gara Kamu memanggil Halia "Bocah",kan? Klonoa?" celetuk Opi.

Klonoa tidak menjawab. Ia melanjutkan persiapan makannya dan melepas ikat pada sumpit yang ia bawa. Tiba-tiba ia bertanya dengan nada tinggi, "Ngomong-ngomong soal ronde sebelum ini... Bagaimana kencanmu dengan Alicia, Renggo?"

"Kencan?" tanyaku bingung.

Klonoa mematahkan sumpit di genggamannya. Ia langsung berdiri dari kursinya dan menghantam meja dengan kedua tangannya.

"Apa kau ingat setelah kau menghancurkan Slime yang menelan para maid! Kau dan Alicia pergi begitu saja! Gara-gara kalian rencanaku kacau balau!" sentak Klonoa berapi-api.

Aku hanya bisa berteriak panik. Ya, kurasa karena aku dan Alicia bertengkar di langit lembah itu kelompok kami kehilangan setengah anggotanya. Bahkan aku tidak ingat bagaimana kami bisa memenangkan ronde kemarin.

Klonoa berusaha menenangkan dirinya dengan mengatur nafasnya kembali, lalu menegak air supnya secara perlahan.

"Oh,ya... bukannya waktu kencanmu itu Alicia menembakmu, Renggo?" ujar Opi, memberatkan nadanya pada kata "Kencan".

Perkataan Opi membuat Klonoa tersedak sampai-sampai ia memukuli dadanya untuk bisa meneguk sup di kerongkongannya. Di sebelahnya, Halia menjatuhkan sendok dan garpu yang ia pegang, masih berusaha mencerna perkataan Opi dan berharap ia salah dengar.

"K-Kau serius?" tanya Halia.

"Ya. Aku melihat dengan mata mekaniku sendiri! Alicia meluapkan semua perasannya pada Renggo saat Renggo dengan beraninya menunggang Tamon Rah!" ujar Opi.

Kurasa tidak salah juga. Sebelum Gadis robot itu menembakku dalam Hades Modenya , aku yakin dia berusaha mencincangku dengan pedang laser atau meledakanku dengan misil-misilnya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu marah, tapi apapun itu...

Aku menjatuhkan wajahku ke meja makan, lalu berkata pelan "... dia pasti membenciku sekarang..."

"H-Hei! Renggo, ini baru ronde penyisihan, tapi kenapa kamu sudah mengalami hal seperti ini!" seru Klonoa.

"Jadi kau menolaknya?" tanya Halia.

"Dari pada menolak... kurasa aku lebih ke arah menghindarinya" jawabku.

"Kenapa kau hindari! Seharusnya ketika seorang gadis cukup berani untuk menembakmu, kau harus menerimanya dengan lapang dada!" seru Halia.

Gadis itu segera turun dari kursinya, lalu berlari ke kerumunan peserta di belakang Renggo. Tidak lama, Halia menarik seorang gadis pirang berambut panjang yang dikepang dua, tapi ketika dilihat lebih dekat tampaklah kulit besi dan rambut serabut kuningannya. Gadis itu adalah Alicia, seorang gadis robot yang menjadi anggota keempat tim Renggo sebelumnya.

"Toh! Dia dari tadi sembunyi di sana sambil melihat kita! Aku yakin kalian ada masalah kemarin... tapi ayo selesaikan sekarang daripada jadi beban nanti!" seru Halia.

Tanpa ekspresi, Alicia berkata, "Halia... aku tidak punya masalah dengan Renggo. Aku hanya..."

"Ayolah! Kalau kamu tidak bermasalah, kenapa kamu harus bersembunyi di sana! Ayo, cepat selesaikan masalah kalian supaya tidak ada yang sakit hati!" seru Halia.

"Sakit... hati?" ucap Alicia pelan, "Mungkin... ada benarnya juga"

Halia menarik Klonoa meninggalkan bangkunya, lalu menghilang di antara kerumunan peserta. Entah apa alasannya, peserta dan maid lain menjauhi kami berdua, tapi aku tidak tahu kenapa aku merasa seakan diawasi. Sementara itu Opi...

"Aku harus pergi dulu menyiram kucing-kucing dan memberi makan tanaman di halamanku... bersenang-senanglah!" ujar Opi sebelum menutup mata mekaniknya, kini tidak ada lagi cahaya hijau dari mata mekanik tersebut.

Sekarang suasana menjadi lebih sepi karena tidak ada siapapun di sekitar kami. Tanpa ragu lagi, Alicia berjalan ke kursi panjang, lalu duduk di sebelahku.

"Aku... ingin minta maaf soal kejadian kemarin..." ucap Alicia pelan, "Aku tahu aku telah melakukan hal yang tidak pantas... aku tahu seharusnya tindakanmu benar secara logis, tapi karena aku masih baru mengenal emosi, aku lepas kendali..."

"T-Tidak apa-apa! Aku bahkan tidak ingat apa yang terjadi kemarin!" teriaku panik.

"Meskipun begitu... paling tidak, maukah kau menepati janjimu?" tanya gadis itu.

Aku tidak ingat pernah membuat janji apapun dengan Alicia. Kami tidak bicara banyak semenjak meninggalkan benteng di ronde penyisihan, bahkan saat bertarung di langitpun kami tidak banyak bicara. Artinya, gadis ini menagih sebuah janji yang tidak pernah kubuat. Haruskah aku mengambil resiko menanyakan janji itu? ataukah aku harus terang-terangan mengakui kalau aku tidak ingat?

Ah, aku tidak punya banyak waktu. Kurasa aku harus mengambil resiko.

"J-Janji mana yang kau maksud?" tanyaku balik dengan gemetar.

Tangan kiri Alicia meraih ke depan wajahku, lalu membentangkannya hingga telapaknya menutupi pandanganku. Tiba-tiba telapak tangan itu menempel di wajahku, diikuti dengan sebuah dorongan yang begitu kuat sampai-sampai kepalaku menghantam lantai dengan keras.

Tangan kanan Alicia dibentangkan, lalu memancarlah sebuah bilah pedang bercahaya kekuningan. Telapak kirinya berganti mencekik leherku, kemudian entah setan apa yang merasukinya, ia mengangkat tubuhku hanya dengan satu tangannya saja.

"Oh! Aku ingat janjimu, Renggo!" seru Opi yang tiba-tiba kembali, "Apa kamu masih ingat ketika aku memperkenalkan diriku pada kelompok baru kita? Alicia marah karena kamu menculiknya, jadi dia menanyakan apa boleh ia mencincangmu setelah pertarungan dan kamu menyetujuinya!"

"Kaulah yang menyetujuinya, Opi!" seruku pada bola mata di dadaku, "D-Dan Alicia T-Tolong maafkan aku! Aku hanya..."

"Sirkuit Emosi maupun logisku tidak bertentangan kali ini. Kematianmu adalah mutlak, Renggo!" seru Alicia.

Pedang Alicia menusuk ke mataku. Namun pada detik terakhir, sebuah layar hologram berwarna biru muncul di hadapanku, menghentikan hujaman itu di tempatnya. Sebuah Tulisan "Barrier" terpampang di sisi lain layar tersebut. Seakan mengikuti pergerakan sang gadis robot, layar tersebut menghilang begitu saja saat Alicia menarik kembali pedangnya.

"Aku lupa terdapat larangan bertarung di tempat ini" gumam Alicia.

"Kalian sudah selesai?" tanya Klonoa yang tengah berdiri tidak jauh dari kami, "Cepat ke tengah ruangan ini. Kalian akan ketinggalan pengumuman ronde penyisihan" ujarnya.

Aku baru menyadarinya, sekarang ruangan ini sangat sepi. Beberapa meter di belakang Klonoa tampak kerumunan peserta sedang mengitari seorang maid yang tengah berdiri di atas panggung. Atas saran Klonoa, kami bergegas menghampiri kerumunan peserta.

"K-Klonoa!" Halia berteriak sambil berlari keluar dari tengah kerumunan, "C-Coba lihat kertas ini!"

Dalam kertas berjudul "Kelompok 38" yang dibawa Halia terdapat sebuah tabel yang terdiri atas lima baris dan tiga kolom. Kolom pertama pada baris pertama tabel berisi Nama-Nama kami, kolom kedua berisi tulisan Lolos/Tidak Lolos, sedangkan kolom ketiga berisi keterangan.

Aku tercengang. Di antara empat nama yang tertera dalam tabel itu empat di antaranya berisikan tulisan "tidak lolos" berwarna merah, hanya ada satu peserta yang berisikan tulisan "lolos" berwarna hijau, aku.

"Renggo! Kau pasti dalang di balik semua ini!" seru Halia.

"Tidak, Halia. Coba baca keterangan di kolom ketiga" ujar Klonoa.

Akupun ikut melihat kembali kertas itu. Pada kolom keterangan dapat terlihat tulisan untuk mereka bertiga. Kolom keterangan Halia tertulis "Didiskualifikasi karena penyerangan terhadap 12 peserta dalam waktu larangan bertarung setelah ronde penyisihan".

Halia tertunduk lesu di lantai, "T-Tapi aku tidak..."

"Aku sudah bilang,kan? Panitia di sini sangat ketat. Pelanggaran sekecil apapun bisa membuatmu dikeluarkan" ujar Klonoa, "Punyamu juga,kan? Alicia?"

"Aku tidak menyangka menyerang robot penculik mesum ini bisa membuatku terdiskualifikasi" jawab Alicia, masih memandang kertas pengumuman, "tapi aku tidak mengerti. Kenapa pada kolom keteranganmu terisi "mengundurkan diri", Klonoa?"

"Aku ada tugas lain sebagai seorang Clockworker" ujar Klonoa sambil menunjuk logo jam di jas hitamnya, "Dan kurasa menjadi peserta cukup memberatkan untuk tugas ini"

"Karena kalian tidak maju ke ronde berikutnya, kalian tidak perlu ini,kan?" tanya Opi.

Dengan Forced Command, Tanganku meraba ke dalam tas di punggungku, lalu mengeluarkan sebuah kristal hitam dan menunjukannya pada kami. Kalau tidak salah, itu adalah benda yang dijatuhkan oleh si Orc berbaju besi di ronde penyisihan.

"Aku juga belum tahu kristal ini untuk apa, jadi simpanlah. Siapa tahu kau akan membutuhkannya" ujar Klonoa, lalu berbalik pada dua ex-peserta lainnya "Ayo, Halia, Alicia. Kita bukan lagi peserta di sini. Lebih baik kita segera keluar dari portal di tengah kota"

"Terimakasih atas bantuan kalian,ya!" seru Opi.

"Kalau kamu menang, jangan lupa menraktirku!" ujar Halia.

"Dan jangan lupa hutang janji mu" timpal Alicia.

"Aku tidak yakin bisa menepati janji itu..." kataku lesu.

***

Aku menghela nafas sambil menatap gedung yang barusan kutinggalkan. Kubuka sedikit jaket hitam berlogo gearku supaya bisa melihat jam pada sarung Katana di tanganku. Sudah kuduga, ada kejanggalan di dunia ini. Jamku masih saja bergerak tidak beraturan meski seharusnya  jam ini bisa menunjuk waktu di dimensi apapun.

Aku bersama dua peserta gugur lainnya, Halia dan Alicia mulai berjalan ke tengah kota Despera, tempat dimana gerbang antar realms saling terhubung. Paling tidak aku akan bersama mereka sampai gerbang, setelah itu aku harus melanjutkan penyelidikan.

"Aku tidak menyangka kalau kita terdiskualifikasi karena satu hal konyol itu..." ujar Halia lesu.

Alicia menepuk kepala Halia, lalu mulai mengelusnya "Aku juga membuat kesalahan fatal, tapi lihatlah sisik baiknya, Halia. Kita masih bisa kembali ke realm asal kita" ujarnya.

Kedua gadis itu mulai mengobrol topik lain mulai dari asal mula mereka ikut turnamen ini, harapan mereka seandainya mereka menang dan saling bertukar pikiran soal orang-orang yang pernah mereka temui.

Di sela pembicaraan para gadis, seorang pria yang mengenakan jubah hitam hingga menutupi seluruh tubuhnya jalan berpapasan dengan kami. Pria itu berjalan agak terhuyung-huyung, kemungkinan mabuk. Dalam jalannya itu, pria itu secara tidak sengaja membentur bahuku.

"Maaf" ujar pria berjubah hitam itu, "Apa kau mau tahu ke mana arah jam berputar?"

Mendengar perkataan itu mataku memicing. Aku menghentikan langkahku, lalu membiarkan sosok itu untuk lewat. Aku berputar ke belakang, melihat pria itu masuk ke salah satu gang di sisi jalan.

"Halia, Alicia. Aku tidak bisa menemani kalian, ada urusan yang harus kuselesaikan" ujarku, kemudian berbalik dan berjalan ke gang yang dimasuki pria tadi.

Gang tersebut gelap karena bangunan tinggi di sampingnya, tapi sedikit cahaya masih menerangi tempat itu, menampakan kondisinya yang berserakan dengan sampah dan tikus-tikus berkeliaran. Di ujung gang itu, tengah berdiri pria berjubah hitam yang membenturku tadi, tapi kali ini ia berdiri tegak. Sudah kuduga, ia hanya berpura-pura mabuk.

"Siapa kau? Kenapa kau tahu kalimat itu?" tanyaku.

"Kita bisa bicara... Setelah teman gadismu pergi" ujar pria itu, menunjuk ke sampingku.

"Halia! Kenapa kamu di sini!" seruku, kaget melihat gadis berambut coklat itu telah berdiri di sampingnya.

"Aku juga lihat pria itu. Dia sangat mencurigakan, jadi aku mengikutimu! Alicia sudah berangkat memanggil para maid, jadi jangan khawatir" ujarnya.

Kukerutkan dahiku sambil menutup wajahku dengan tangan, "Paling jangan terang-terangan... mau sembunyi atau apa. Kalau begini kamu akan ikut kena getahnya"

"Tunggu dulu" suara seorang wanita terdengar dari belakang kami.

Sebuah sosok berjubah lain turun dari atas bangunan di sebelah gang itu. Kali ini sosok itu bertubuh lebih feminim, tapi tertutup oleh jubah berwarna keperakan yang seakan terbuat dari besi.

"Kurasa gadis itu juga boleh" ujar wanita itu.

"Baiklah, mari kita mulai"

.
.
.
.

Beberapa menit telah berlalu. Alicia dan sekelompok maid datang ke gang kecil itu untuk menangkap pria misterius yang kami temui beberapa saat lalu. Namun tidak ada tanda kehadiran pria misterius tadi di dalam gang itu, begitu juga dengan tanda kehadiran diriku dan Halia.

--2--
Renggo Enter!

Los Soleil, "Sang Matahari" adalah panggilan untuk sebuah kota di sebuah pegunungan tak bernama. Kota ini di bangun pada ketinggian dua ribu meter dari permukaan laut sebagai titik tengah para pendaki yang hendak mencapai puncak gunung.  Nama itu diambil karena lokasinya yang masih bisa melihat matahari meski di gunung bersalju abadi itu.

Menurut tradisi lokal, pendaki pertama yang menginjakan kakinya pada puncak tertinggi gunung itu akan diabadikan menjadi nama gunung tersebut, sehingga ratusan penantang sering datang ke gunung ini setiap bulan, membuat kota terpencil ini berkembang pesat.

Namun karena suatu longsor saju yang sangat dasyat, sebagian besar kota ini rata dengan salju. Dalam kondisi pegunungan yang begitu ekstrim dan kekurangan makanan, penduduk yang selamatpun mati kedinginan.

Semenjak kehancurannya, tidak ada pendaki yang berani untuk memanjat gunung itu, tidak tanpa sebuah tempat untuk mengisi ulang bekal dan memperbaiki peralatan pendakian. Empat puluh tahun kemudian, tidak ada seorangpun berhasil menahlukan gunung ini, sehingga membuatnya dikenal sebagai gunung "tanpa nama".

"... dan itulah lokasi untuk pertarungan di grup kalian" jelas maid pemandu di depanku.

"Boleh aku tanya satu hal?"

"Tapi anda sudah bertanya, Peserta Renggo Sina" jawab maid itu

"Tanya saja langsung, Renggo! Nggak perlu basa-basi!" seru Opi.

"Mana peserta lain? Kenapa Cuma aku di sini?" tanyaku.

"Peserta dilarang untuk melihat atau berinteraksi dengan peserta satu grup. Kalian hanya boleh melihat daftar nama ini"

Maid itu memberikan selembaran kertas kepadaku, terdapat 6 nama di dalamnya, yaitu Lo Dmun Faylim, Renggo Sina, Vajra,  Zhaahir Kavaro III, Ernesto Boreas dan Reviss Arspencer. Setelah memberi kesempatan membaca, maid itu  membimbingku ke sebuah portal.

Maid pembimbing itu melewati portal itu duluan, lalu kuikuti di belakangnya. Maid itu keluar duluan dari sisi lain portal itu, memperlihatkan dataran salju di depannya. Sayangnya, matahari tidak bersinar di dataran itu karena lebatnya badai salju yang tengah melanda.

"Peserta Renggo Sina, silahkan keluar dari portal" ujar sang maid.

Aku menginjakan kakinya untuk pertama kali di atas gunung itu. Namun sebuah kejadian aneh terjadi ketika semua tubuhku sudah keluar, sosokku sirna dari pandangan maid pembimbing.

"Peserta Renggo Sina, dimana kau?" tanya maid itu.

Sebuah teriakan menggema dari langit. Maid itu secara refleks melihat ke atas, mencoba mencari pemilik suara itu. ia menemukan pemilik suara itu tepat waktu, sehingga ia bisa menghindar terlebih dahulu sebelum pemilik suara itu menghantam dataran salju itu seperti bola meriam.

"K-Kenapa aku jatuh dari tempat seperti itu!" seru sosok robot humanoid berplat abu-abu pemilik suara itu, diriku.

Sebuah pipa mencuat di tanganku, kemudian mengeluarkan suara, "Kamu tidak ingat, Renggo? Akukan sudah bilang cara masuk biasa itu membosankan, jadi aku membuatnya menjadi lebih menarik"

"Aku tidak mau cara masuk seperti itu!" seruku pada pipa di tanganku.

"Peserta Renggo Sina," mendengar panggilan maid pemandu, Aku berbalik menghadapnya, "Misi Ronde ini adalah mengalahkan semua peserta selain dirimu. Metode mengalahkan boleh dengan cara membunuh, membuat pingsan atau membuat lawan menyerah"

Maid itu mengeluarkan sebuah benda elektronik berbentuk balok tipis, sebuah tablet digital, kemudian menyerahkannya kepada Renggo. Dalam tablet itu tergambar sebuah lingkaran dengan sebuah garis yang mengitari titik tengahnya. Dalam titik tengah lingkaran itu juga terdapat sebuah lingkaran biru yang jauh lebih kecil.

"Ini adalah Radar peserta. Setiap kali anda menyentuh layarnya, garis ini akan berputar untuk memeriksa keberadaan peserta dalam 100 meter. Ini adalah cara lain untuk menang, dapatkan semua radar, maka anda akan dianggap menang secara otomatis"

"Bagaimana kalau radar ini hancur? Apa itu berarti kita kalah?" tanya Opi.

Tanpa menjawab maid itu melemparkan tablet di tanganku ke atas, lalu menembakainya dengan sebuah pistol kecil. Ketika tablet itu menyentuh tanah, maid itu menjatuhkan sebuah palu tepat di sisi sampingnya sekuat tenaga. Anehnya, ketika tablet itu diambil kembali, tidak ada satupun goresan tampak pada casingnya.

"Kalau anda berhasil menghancurkan tablet ini, anda akan didiskualifikasi karena memiliki kekuatan terlalu besar" ujar maid itu sambil mengembalikan tablet itu kepada Renggo.

"G-Gila... M-Mungkinkah ini reinkarnasi dari dewa telefon genggam, Nokia 3310!" ujar Opi.

"Lokasi pertarungan adalah kota di arah itu" ujar maid sambil menunjuk ke arah utara, "Jika anda tidak berhasil ke lokasi dalam waktu tiga puluh menit, anda akan dianggap kalah. Anda boleh mencoba menghalang-halangi peserta atau membunuh mereka sebelum mereka sampai ke lokasi pertarungan"

Maid itu kembali ke dalam portal masuk, lalu lenyap bersama portalnya.

"Oh iya, Renggo. Ada beberapa kemampuanku yang belum dipakai saat ronde penyisihan" ujar Opi, "mau lihat?"

"Skillmu? Bukan punyaku?" tanyaku balik.

"Aku sudah memberi tahumu cukup banyak di ronde kemarin, tapi sedikitpun belum kuberitahukan kemampuanku" ujarnya, "Kamu sudah melihat Skillku yang pertama tadi pagi, "Forced Comand". Dengan ini aku bisa mengambil alih tubuhmu, sebagian maupun keseluruhan"

"Dan dengan Skill itu kamu menculik tiga peserta lain tanpa sepengetahuanku" komentarku.

"Lalu inilah skill keduaku"

Setelah deklarasi itu, ribuan kubus pixel menyelimuti seluruh tubuhku, kemudian perlahan mengubah struktur tubuhku. Aku dapat merasakan perubahan proporsi pada tubuhku, terutama abdomen atas yang terasa menyempit dan tinggiku yang agak menyusut.

Ketika kubus-kubus pixel di tubuhku menghilang, sebuah layar hologram berjari-jari satu meter muncul di depanku. Di dalam layar itu tampak sesosok robot bertubuh feminim dengan rambut pirang panjang dari campuran tembaga yang kemudian diikat menjadi sebuah Twintail.

"A-Alicia?!" teriaku panik.

Tidak salah lagi, meski ada beberapa perbedaan seperti wajahnya yang hanya memiliki sepasang mata merah, tapi aku yakin sosok itu adalah Alicia yang aku temui pagi tadi. Secara tidak sengaja aku berjalan mundur sebagai kelanjutan dari respon terkejutku, tapi aku terpeleset di atas salju dan terjatuh. Anehnya, Alicia dalam layar itupun juga ikut terjatuh.

"Itu bukan Alicia. Layar itu adalah cermin, jadi "Alicia" dalam cermin itu adalah dirimu. Nama dari Skill ini adalah Advanced C&P, Skill ini dapat membuatmu berubah menjadi salah satu peserta yang pernah kamu kalahkan" ujar Opi.

"Hebat... Berarti kalau ada kemampuan ini aku bisa menirukan banyak peserta!" ujarku, terkesima melihat perubahan tanpa perlu keberadaan model tiruan ini.

"Ya... sayangnya ini tidak sehebat yang kau kira" ujar Opi, "Untuk melakukan Skill ini, kamu harus dalam kondisi awal, dimana kamu tidak menirukan siapapun. Karena aku belum menemukan cara membatalkan perubahanmu, skill ini hanya bisa dipakai sekali, yaitu di awal pertarungan, saat dimana kamu belum menirukan siapapun," jelasnya.

Tiba-tiba Opi menyentak, "Dan Jangan meledekku! Tidak mudah membuat sistem ini bekerja!"

"A-Aku tidak meledek..." jawabku.

"Tidak! Aku yakin kamu akan mengatakan "Ah... Ternyata hanya begitu", iya kan!" sentaknya lagi, "Ah, sudahlah! Cepat pakai Tablet itu dan pergi ke medan tempur sebelum waktunya habis!" seru Opi.

"S-Siap! Laksanakan!"

Aku segera membuka mesin terbang di punggungku, lalu melebarkannya ke kedua sisi. Rasanya seperti bernostalgia, padahal aku baru memakainya di ronde kemarin. Tanpa basa-basi lagi, aku segera melompat dan menembakan mesin pendorongku. Sayangnya aku lupa dengan keberadaan badai salju di gunung ini, sehingga aku terbawa arus badai.

"Ya ampun... Kenapa aku memilih robot bodoh ini..." gumam Opi.

--3--
The Red Man And The White Boy

Selamat datang di kota Los Soleil, kota matahari gunung [                       ]

Itulah kata yang kubaca pada papan besi yang terpampang di dekat gerbang runtuh ini. Di sampingku terdapat sekumpulan kayu basah yang telah runtuh karena usia yang begitu tua, tapi papan besi di samping gerbang berukirkan tulisan "Los Soleil" masih berdiri kokoh di tempatnya.

Sepertinya benar kata maid pemandu tadi. Masih terdapat tempat untuk mengukir nama di sebelah kata "gunung", ini pasti karena tidak ada seorangpun yang bisa menahlukan gunung ini dan kembali dengan selamat.

Aku berjongkok, kemudian perlahan berjalan maju melewati celah- celah pada gerbang keropos tersebut. Untungnya tubuhku kecil, kalau saja aku lebih tua, pastinya aku tidak akan bisa melewati celah- celah kecil ini. Beberapa serpihan kayu menempel pada rambutku, jadi aku segera menyisir rambut putihku dengan tanganku.

Di balik gerbang itu terbentang beberapa meter lahan bersalju dan berakhir pada kumpulan reruntuhan rumah di depan sana. Mungkin dulunya tempat ini adalah taman indah atau deretan kios pedagang kaki lima yang akan menyambut para pendatang.

Aku menatap langit kota ini. Gelap. Badai salju yang tengah bergejolak menghadang sinar matahari ke tempat ini, hanya ada sedikit cahaya dari matahari yang mampu sampai di kota ini, sehingga pemandangan di sekitarku cenderung gelap seperti malam hari.

"Oh iya... Aku harus memeriksa radar..." pikirku.

Aku mengambil radar pemberian maid pemandu. Di kiri atas tablet itu tertera namaku dalam tulisan putih, "Lo Dmun". Menurut maid pemandu, aku tidak harus membunuh atau kalau bisa tidak melawan peserta lain, aku hanya butuh mengambil radar mereka untuk menang. Dengan satu sentuhan, garis radar segera berputar.

Jantungku berdegup kencang. Titik biru di radar menandakan keberadaan peserta. Satu titik di tengah mewakili diriku dan jika ada titik lain, itu menandakan keberadaan peserta lain. Aku tidak perlu bertanya apa artinya jika titik biru di tengah membelakangi titik biru lain.

"Sayang sekali, nak"

Aku segera berguling kala sebuah kilatan merah menyambar ke sisa gerbang kayu di belakangku tadi. Di tempatku berdiri tadi, tampak sesosok pria berambut merah yang sebagian tubuhnya hampir tersamarkan oleh "sesuatu" berwarna merah yang mengelilinginya, mengingatkanku pada hantu di film bajakan yang pernah kutonton.

"Awalnya aku kira aku hanya akan mengambil radarmu, tapi karena kamu membuatku jengkel, kurasa aku akan mengambil nyawamu juga"ujar pria itu, kemudian mulai berjalan ke arahku.

Aku segera berlari menjauhinya, tapi semakin aku menjauhinya, semakin tidak tampak pula sosok pria itu. Aku segera menaikan radarku, lalu memeriksa keberadaan peserta berambut merah itu.

"A-A-A-A... tidak perlu radar itu untuk mencariku"

Aku melompat ke kanan, menghindari kilatan merah yang menyerang tempatku berdiri. Kilatan itu ternyata adalah tangan kanan sang pria merah yang tengah memegang sebuah pedang kemerahan pula.

Dari reaksinya, aku tahu ia meremehkanku... jadi kalau aku mau selamat, paling tidak aku harus melakukan ini...

Dengan lantang, aku berteriak, "Jangan dekati aku!"

Aku mengambil segenggam salju di tanganku, lalu membentuk bola salju yang kemudian kulempar padanya, tapi salju itu tidak cukup kuat untuk membuatnya bergeming. Aku membuat salju di tanganku, lalu melemparnya lagi terus menerus. Pria merah itu hanya diam di tempatnya, menyeringai ke arahku dengan senyuman lebarnya yang seakan menikmati kepanikanku.

Pria itu tertawa pelan,"Bola salju? Kau pikir salju seperti ini bisa melukaiku? Anak kecil yang lucu"

Pria itu melanjutkan tawanya, tetap tidak menghindar sekalipun bola saljuku mengenainya. Inilah yang kutunggu, aku melempar bola salju terakhirku, lalu lari menuju bangunan perumahan. Pria itu masih tertawa pelan, tapi terhenti ketika bola salju terakhirku mengenai kepalanya. Tidak seperti bola salju yang lembek, bola salju itu padat.

"Gah! Dasar bocah! Berani juga kau melemparkan batu di dalam bola saljumu!" seru pria itu.

Pria itu segera menangkap "batu" yang kumasukan pada bola salju itu untuk dilemparkan kembali padaku. Namun ia segera membuang "batu" itu ketika ia menyadari kalau "batu" itu adalah sebuah granat. Sayangnya ia terlambat, granat itu meledak satu meter darinya, cukup untuk membuat pria itu terhempas dan mendarat di atas salju taman itu.

Meskipun ledakan itu cukup kuat, tapi aku yakin itu tidak akan cukup untuk membunuh orang itu. Aku segera berlari ke kerumunan gedung perumahan untuk mempersiapkan serangan balik untuk melawan pria merah itu.

--4--
Ernest, The Red Liar

"Cuh! Seharusnya aku tahu dia hanya pura-pura! Dia lolos babak penyisihan, jadi tidak mungkin dia anak sembarangan!" gerutuku.

Aku segera bangkit dari tempatku tersungkur akibat ledakan granat itu. Kurasa aku tidak apa-apa, tapi aku sudah membuang dua penggunaan Auroraku. Satu untuk membentuk pedang di awal tadi dan satu lagi untuk membentuk perisai untuk menghadang granat tadi.

Tablet Radarku segera kukeluarkan, tapi anehnya benda ini tidak tergores sama sekali meski menjadi bantalan untuk pendaratan tadi. Aku menekan layar tablet itu, dapat kulihat titik biru anak itu berlari dari taman ini, lalu berbelok ke kiri perempatan pertama.

Jadi dia ingin main sembunyi-sembunyian? Tidak, Ernest. Kau sudah ditipu sekali oleh anak itu! jangan anggap remeh anak kecil itu! Ingat siapa dirimu ernest... kaulah orang paling licik di Shadow Isle... anak seperti itu bukan tandinganmu!

Aku segera berdiri dan menyapu salju pada jaket penghangatku kemudian beranjak ke bangunan perumahan di ujung taman ini. Meski kusebut bangunan, tapi kebanyakan bangunan di sini tidak lebih dari reruntuhan. Angin badai salju yang berkepanjangan telah menghempaskan atap-atap bangunan kota ini dan membuat runtuhan bangunan berserakan di seluruh jalan ini.

Yah, tidak terlalu mengejutkan. Maid tadi bilang kalau kota ini terkena longsor salju dan semua penduduknya mati.

Aku berhenti di perempatan dimana anak itu terdekteksi, lalu mengeluarkan tablet radarku untuk melacak lagi. Anak itu kini diam di satu titik dan tidak bergerak sama sekali. Aku tahu persis skenario seperti ini, anak itu pasti akan memancingku masuk ke dalam suatu bangunan yang telah ia pasangi jebakan.

Heh, mana mau aku masuk ke perangkap seperti itu!

Aku melirik kanan perempatan ini. Radarku menunjukan keberadaan peserta lain di kanan perempatan ini pada pelacakan tadi. Kurasa aku harus meninggalkan anak itu dan menangani peserta lainnya terlebih dahulu.

Aku menyusuri jalan di kanan perempatan hingga sampai suatu bagian kota dimana bangunannya disusun melingkar, mengitari sebuah pancuran air. Pancuran air tidak lagi berfungsi karena air yang harusnya disemprotkan telah membeku menjadi dinding es di sekitarnya.

Di depan pancuran itu berdiri sebuah figur feminim berambut pirang yang dikepang pada sisi kiri dan kanannya. Ia hanya diam di tempatnya, memperhatikan pancuran di depannya. Dengan kegelapan seperti ini, seharusnya aku bisa membunuhnya diam-diam.

Auro merahku membungkus diriku, lalu menghalau semua cahaya yang mengarah padaku. Karena tubuhku tidak lagi memancarkan cahaya,  aku telah menjadi kasat mata bahkan untuk mataku sendiri. Shadow Stalk itulah nama dari kemampuan ini.

Dengan perlahan aku mendekati figur di depan pancuran itu, lalu ketika jarak kami di bawah satu meter, aku segera membentuk sebuah pedang Auro baru di tangan kananku. Aku berjongkok sambil memperhatikan targetku, anehnya dia tidak bergerak sama sekali.

Kurasa sudah saatnya...

Pedangku melaju dalam satu garis lurus, menuju organ vital targetku. Namun pedangku malah berdentang dengan pedang lain. Aku segera melompat mundur, lalu mengambil jarak di antara kami. Auro merahku tidak lagi menyelimutiku, sehingga aku tampak jelas di hadapannya.

"Rupanya kaulah yang datang pertama kali" ujar sebuah suara feminim.

Aku berdecak. Tidak hanya sekali, tapi sudah dua kali aku tertipu hari ini. Targetku tidak bergerak tanpa alasan, dia memang sudah sengaja menungguku.

Target di depanku berjongkok, lalu mengambil sebuah mata mekanik bercahaya kehijauan di sebelah kakinya. Ia meletakan mata mekanik itu pada sebuah lubang di dadanya yang berdiameter sama dengan mata mekanik itu, seolah mata itu adalah bagian dari dirinya. Kurasa mata mekanik itulah yang memberi informasi keberadaanku padanya.

Sang gadis berambut twintail menodongkan ujung senjatanya, sebuah pedang cahaya berbilah biru ke arahku, menantangku ke dalam pertarungan jarak dekat.

Heh... Memangnya apa yang bisa dilakukan seorang gadis?

Aku mempersiapkan kuda-kudaku, lalu dengan cepat menerjang targetku. Dentingan besi menggema di bundaran itu, gadis itu menahan pedangku dengan pedang cahayanya. Aku menyerang bertubi-tubi dengan pedang merahku, tapi lawanku lebih suka menghindar dari pada menahan atau menyerang balik.

Aku melempar pedangku, mengalihkannya ke tangan kananku. Aku mengambil beberapa langkah mundur, lalu menusuk dengan kecepatan tinggi. Gadis itu menghindar ke kanan seperti dugaanku. Aku segera membentuk pedang kedua di tangan kiriku, lalu aku membalikan tubuhku sambil menebas kaki lawanku dengan pedang kiriku.

Di luar dugaan, gadis itu melompat tinggi. Tidak, dari pada melompat, itu lebih mirip lepas landas. Sebuah mesin berbentuk sayap di belakang punggungnya mengeluarkan dorongan yang begitu kuat sampai-sampai seluruh tubuhnya terangkat, kemudian melayang di atas bundaran.

Kumpulan kotak-kotak berwarna abu-abu berkumpul pada tangan kirinya, lalu membentuk suatu senjata futuristik berlaras panjang. Apapun itu, laras panjangnya membuatku yakin itu adalah sebuah senapan jarak jauh.

Aku segera berlindung di balik pancuran air sebelum sebuah cahaya kuning melesat dari moncong senapan gadis itu, meledakan tempatku beberapa saat lalu dan meninggalkan sebuah kawah kecil. Sekarang aku tahu tembakan senapan itu tidak bisa diremehkan.

Dengan berguling keluar dari persembunyian, aku melempar pedang kiriku. Pedangku berputar seolah menjadi cincin merah ke arah gadis itu, tapi ia berhasil menembaknya duluan. Namun itu cukup untuk mengalihkan perhatiannya, aku menggunakan Shadow Stalk dan segera bersembunyi di salah satu bangunan di bundaran itu.

Lawanku mematikan mesin terbangnya, kemudian mulai menembak- nembaki bangunan di sekitarnya. Sayangnya dalam salah satu tembakannya senapannya meledak tanpa alasan yang kuketahui dan beralih kembali ke pedang cahayanya. Sekarang ia hanya berdiri di tengah bundaran itu sambil berputar-putar di tempatnya berdiri, kemungkinan untuk mencegah serangan dari titik butanya.

Aku memanfaatkan kesempatan ini dan keluar dari persembunyianku. Kali ini aku berusaha memastikan kembali, mata mekanik yang melihatku tadi masih berada di dadanya, jadi dia tidak akan bisa menggunakan cara yang sama untuk melihatku. Perlahan kuhampiri pancuran di tengah bundaran, lalu menyerangnya ketika ia membelakangiku.

Seranganku sukses, ia tidak menyadarinya dan aku berhasil menghujam tas di punggungnya. Atau setidaknya itulah yang kukira. Pedangku seakan menghujam suatu dinding tak terlihat di depan tas itu, membuatnya hancur berkeping-keping. Lawanku langsung berbalik dan menyikut pinggangku dengan siku kirinya, membuatku tersungkur di lantai.

Sial... Kenapa aku bisa jatuh hanya karena satu serangan sikut seperti itu!

Lawanku menghunuskan pedangnya ke hadapanku. Kini aku mengerti kenapa serangannya lebih sakit dari serangan siku biasa. Tangannya terbuat dari besi, tidak bahkan seluruh badannya terbuat dari besi. Wajahnyapun hanya terdiri dari dua soket mata bercahaya kemerahan. Lawanku adalah sebuah robot.

Aku bisa saja membentuk tombak untuk menghabisinya. Namun aku tidak bisa, paling tidak untuk sekarang. Dari tujuh penggunaan Auro aku sudah menggunakan empat dan masih ada sekitar empat puluh menit sampai batas itu terisi kembali. Aku bisa saja menang, tapi menurut perkiraanku, aku hanya akan memiliki satu atau dua penggunaan tersisa. Jika ada peserta lain menyerangku setelah itu, maka tamatlah riwayatku. Untuk sekarang, kurasa aku harus mengulur waktu.

"Tunggu dulu! Jangan bunuh aku!" seruku, "Dalam kondisimu sekarang, apa kau pikir kau bisa menang melawan empat peserta lain?" tanyaku.

"Apa maksudmu?" tanya balik robot itu dengan suara feminimnya.

"Aku sudah hampir kalah, kan? Bukankah kau kira kemenanganmu akan menjadi sia-sia kalau kau hanya mengambil radarku?"

"Paling tidak aku akan menyingkirkan satu pengganggu" jawab robot itu dingin.

"T-Tunggu dulu! Aku punya ide lain!" seruku panik sambil mengeluarkan radarku, "Aku akan menolongmu dalam ronde ini... dan kau boleh memiliki radarku sebagai gantinya!"

"Tapi kalau kau masih mau hidup... itu berarti kau masih memiliki keinginan untuk menang dan itu bisa menjadi masalah nanti"

"A-Aku hanya tidak ingin mati pertama kali! Sesuatu seperti itu akan melukai nama keluarga Boreas!"

Bah... Keluarga Boreas? Aku benci memakai nama keluargaku, tapi aku harus membuat alasan supaya dia melepaskanku...

"Ho... tipe orang dari keluarga berwibawa?" gumam robot gadis itu.

Heh... Kena juga...

"Baiklah, akan kuampuni kalau kau memberitahuku informasi soal peserta lain dan menghabisi mereka" ujarnya.

Sebelum pertukaran di mulai, kami bertukar nama. Sekarang akau tahu namanya adalah "Renggo Sina", seperti yang tertulis pada radarnya, kemudian aku menunjukan namaku pada radar.

Aku menyerahkan radarku kepada gadis itu, lalu dia memasukannya ke dalam tas punggungnya. Aku mulai menceritakan ketika aku bersembunyi di balik gerbang untuk menunggu mangsa dan bagaimana anak berambut putih itu mempermainkanku. Dia tampaknya tertarik dengan tawaranku, jadi aku juga mengantarkannya ke tempat anak itu bersembunyi.

"Hm... Informasimu cukup berguna" gumam robot itu, "Kalau begitu putarilah rumah ini, tapi jangan sampai terdeteksi oleh radar anak itu, lalu serang jika dia hendak kabur"

"Siap, akan segera kulaksanakan, nona!" ujarku sebelum aku berjalan menjauh dari robot itu.

Tidak apa, Ernest... kali ini robot bernama Renggo Sina itu menang... tapi tidak akan lama... begitu dia kelelahan, itulah kemenanganmu, Ernest!

***

"Heh... sekarang aku mendapatkan satu bidak dan satu radar, bisa kubilang ini pertukaran yang cukup bagus" ujar Opi.

Aku mengetok mata mekanik Opi sambil menunjuk ke arah mulutku.

"Oh, kamu mau bicara?" tanyanya.

Sebuah dering peringatan menandakan bahwa fitur bicaraku telah dinyalakan kembali, jadi aku bisa kembali berbicara. Aku segera memprotes Opi, "Kenapa kamu mematikan suaraku! Di tambah lagi... kenapa suaramu tadi seperti wanita?! Bukannya kamu sendiri laki-laki?"

"Oh? Benarkah? Aku bisa jadi seorang lelaki yang memakai suaraku sendiri" ujarnya dengan suara maskulin,
"seorang lelaki yang memakai suara seorang wanita," ujarnya dengan suara feminim,
"wanita yang memakai suara lelaki", ujarnya dengan suara maskulin lagi,
 "atau malah wanita yang memakai suaranya sendiri," ujarnya dengan suara feminim lagi,
"Menurutmu mana suaraku yang asli?" tanyanya dengan suara netral yang tidak maskulin maupun feminim.

"AGH! Aku sudah tahu, ada yang rusak di kepalamu!" seruku.

"Ah, sudahlah. Bukannya si Ernest tadi malah akan curiga kalau kamu yang bicara dengan suaramu? Mungkin dia akan berpikir kamu adalah robot mesum yang suka memakai baju wanita..."

"HENTIKAN! Penampilan fisiku berubah karena sistem buatanmu sendiri,kan!" seruku

"Tapi akhirnya tidak terjadi masalah,bukan?" ujar Opi dengan santai.

"Kurasa..." kataku sambil mendesis.

Tiba-tiba sebuah layar hologram muncul di depanku bertuliskan "Selamat Skillmu telah naik level!", lalu di bawahnya tertulis "Skill CrossDressing telah menjadi Lv 2. Anda mendapatkan Achievement Banci Jalanan"

Aku terdiam sesaat, lalu jatuh dengan ditopang kedua tanganku,"Kenapa aku dapat Skill macam itu... Dapat Achievement lagi... Bunuh saja aku, Opi..."

"Ah, jangan dipikirkan. Itu hanya lelucon yang dibuat oleh sistem" ujar Opi.

"Benarkah?"

"Tidak, Skill itu benar-benar masuk ke dalam daftar skillmu..." kata Opi.

"Mungkin aku harus menyerah di sini..."

"H-Hei! Aku Cuma bercanda!" ujar Opi, lalu membuka layar statusku di menu peserta, "Lihat, nggak ada,kan? Ayo cepat ke rumah itu dan kalahkan bocah kecil itu!"

Aku kembali berdiri, "Syukurlah..."

"Tapi ingat, Railgunmu sudah meledak karena malfungsi tadi, jadi senjatamu hanya pedang itu" ujarnya.

--5--
The House Raid

"Dia datang lagi?"

Aku menyadari keberadaan titik biru di arah timur pada layar tabletku. Tadinya titik biru ini meninggalkan tempatnya ke suatu tempat di luar radiusku. Aku melirik ke luar jendela kaca kamar di lantai kedua reruntuhan rumah yang kutempati ini dan menyadari sebuah bayangan tengah bergerak dari perempatan.

Melihat mimik pria merah yang begitu marah tadi, aku kira dia akan langsung mengejarku, tapi ia malah berjalan menjauh. Aku sudah menyiapkan rencana jika dia menyerang dari belakang, tapi aku tidak mengira dia akan kembali dari arah yang sama.

Aku menggengam erat tombol untuk peledak yang telah kusiapkan di pintu masuk rumah ini. Dengan satu sentuhan, langit-langit di atas pintu depan akan runtuh dan menjebaknya di bawah reruntuhan.

Tunggu... Kalau dia terjebak di bawah reruntuhan... B-Bukannya dia akan mati?

Keringat dingin mengucur dari dahiku. Aku tergidik. Kalau ada reruntuhan yang menghujam organ vital, bukannya itu termasuk pembunuhan? Kalaupun tidak, ia masih bisa mati karena kehabisan darah, itupun termasuk pembunuhan.

Aku mengintip lagi dari jendela. Tidak, kali ini bukan si peserta merah, tapi seorang gadis dengan pedang berbilah biru di tangannya. Ia berdiri beberapa meter dari pintu masuk, lalu membuka tablet radarnya. Ia tampak mengangguk, lalu masuk ke dalam rumah persembunyianku.

Haruskah aku menekan tombol ini?

Tanganku seakan membeku. Jari jempolku tidak bisa kugerakan dengan tangan gemetaran ini. Suara langkah kaki mulai terdengar di ruangan utama, lalu naik ke lantai kedua. Aku semakin ketakutan, yang bisa kulakukan hanya bersembunyi di balik dinding pintu masuk ruangan ini, berharap ia tidak menemukanku.

"Ketemu" suara tinggi gadis itu terdengar tepat di samping telingaku.

Aku tergidik, lalu membalikan wajahku ke pintu masuk. Peserta itu menyeringai dari balik pintu masuk, lalu menodongkan pedang birunya padaku. Aku segera menjauh, tapi aku hanya bisa berlari ke ujung ruangan. Aku mengutuk diriku yang memilih ruangan tak berjalan keluar ini sebagai tempat persembunyian.

"Ernest mengatakan kau telah menyiapkan jebakan, tapi kau belum mengaktifkannya,kan?"

Sosok itu melemparkan sebuah kantong plastik berisi benda seperti plastisin. Aku mengenalinya, itu adalah sekumpulan peledak yang kuletakan di pintu masuk dan beberapa tempat lain di rumah ini. Tunggu dulu, karena semua peledak itu di tangannya, bukannya ini kesempatan bagus untuk menekan tombol ini?

Sial! Seharusnya aku menekan tombol ini, tapi kenapa jariku menjadi kaku?

"Baiklah,nak. Akan kuberi kau dua pilihan; satu, serahkan radarmu dan menyerah atau dua, harus kugunakan cara kasar" ujar gadis itu.

"Tidak!" teriaku, "Kalau aku kalah di sini... aku hanya akan kembali ke tempat itu lagi... aku tidak mau bertemu anak-anak kasar itu lagi!"

"Kalau begitu takdirmu sudah terkunci" ujarnya.

Aku melempar sebuah granat langsung pada lawanku, tapi dengan mudahnya ia menggapai granat itu dan melemparnya keluar jendela sebelum akhirnya granat itu meledak di luar.

"Seharusnya kau tidak melempar langsung,nak. Kalau kau pantulkan, mungkin granat itu akan datang dari sudut yang tidak bisa kutangkap" ujar gadis itu, "Sekarang giliranku"

Dengan satu gerakan gadis itu telah berada di depanku selagi tangan pedang di tangan kanan gadis itu melesat ke arah leherku. Aku tahu akhir ronde untuku akan datang cepat, tapi paling tidak aku tidak mau ronde ini berakhir seperti ini. Pisau di tangan kananku kunaikan setinggi leher meski aku tahu pisau itu hanya akan terbelah seperti mentega.

Dentangan besi terdengar nyaring, tapi aku tak berani membuka mataku.

"Jangan... bunuh... dia..." sebuah rintihan pelan terdengar di sebelah telingaku.

Ketika aku membuka mataku, aku masih bisa melihat bilah biru gadis itu menyala di kanan leherku, tapi yang membuatku terkejut adalah keberadaan sebuah lengan besi yang menahan laju pedang itu, tangan kiri dari sosok yang sama pula.

"Renggo! Apa maksudnya ini?" tanya suara laki-laki dari pipa di tangan kanan sosok itu.

"A-Aku tidak tahu! Bukan aku yang menggerakannya!" balas suara lain, tapi sepertinya lebih muda dari suara pertama.

"Tolong... Jangan..." sebuah suara ketiga, suara seorang wanita terdengar samar.

Aku memanfaatkan kesempatan ini dan segera melewati sosok di depanku. Sekilas aku melihat kembali ke sosok itu, sama seperti sebelumnya, wajah tak bermulut dan mata merahnya memberi kesan dingin. Akantetapi, aku tidak bisa mengusir perasaan yang mengatakan ia tengah tersenyum saat ini.

"Tsch... Kurasa harus kuselesaikan sendiri" ujar suara pria pertama.

Mata merah gadis robot itu berubah menjadi hijau. Tubuhnya kembali bergerak, tapi gerakannya cenderung kaku seperti sebuah boneka besi.

"Tidak... Jangan..." rintih pelan suara wanita itu lagi.

Aku mengabaikan keanehan yang tengah terjadi, lalu berlari ke tangga dan menurninya. Namun bagai macan yang tak ingin kehilangan magsanya, dengan gerakan yang kaku itu, robot itu meninju lantai kayu di bawahnya, membuat lantai itu hancur dan menjatuhkannya jatuh ke lantai pertama. Ketika aku hendak keluar melalui pintu depan, robot itu tiba-tiba keluar dari ruangan di kanan lalu bergerak kaku ke arahku.

Tiba-tiba terdengarlah sebuah dentingan besi yang begitu keras. Sebuah potongan besi menembus betis kiri robot itu hingga menancap di lantai tanah rumah ini. Robot itu berbalik, lalu disambut oleh sebuah hantaman potongan besi tepat di wajahnya sebelum besi itu dihujamkan hingga menembus perutnya.

Seorang pria berjas hitam berdiri di belakang pintu itu. Aku bisa melihat beberapa granat dan sepasang pistol tergantung di sabuk pinggangnya. Pria itu menjulurkan tangannya kepadaku seolah-olah hendak menolongku dari robot ini.

"Nak, cepat ke sini!" ujar pria itu.

Tanpa pikir panjang aku berjalan menuju pintu keluar, tapi kakiku terperanjat oleh sesuatu ketika hendak melewati robot itu. Ketika aku menoleh, kakiku tengah dipegang oleh robot itu yang kini menyeringai dengan mata hijaunya.

"Lepaskan dia!" seru pria itu.

Pria itu menahan kepala robot itu selagi tangan satunya mengeluarkan besi lain, lalu menghujamkannya pada lengan kanan robot itu, membuatnya melepas genggaman pada kakiku. Tangan kiri robot itu masih bergerak bebas seakan masih berusaha menangkapku. Pria berambut coklat itu mengalami kesulitan menusuk tangan kiri robot itu karena terus bergerak, tapi pada akhirnya ia berhasil menghentikan tangan kiri robot itu.

Begitu selesai dengan robot itu, pria itu langsung menariku keluar dari rumah ini, tapi sebuah ledakan besar menghentikan langkah kami di depan pintu.

Tidak, itu bukan sebuah ledakan. Ketika debu "ledakan" itu menghilang, tampaklah sebuah tangan berbulu yang lebarnya saja sebesar pintu di depan kami. Pria misterius berambut ikal pendek itu menarik lenganku ke arah lain dan membawaku keluar melalui pintu belakang.

Kami berlari di sebuah jalan lebar beralaskan tanah, sedangkan di samping kami terjejer beragam bangunan yang telah runtuh.

"Siapa bapak?" tanyaku.

"Reviss Arspencer. Sama sepertimu, aku adalah seorang peserta" jawab pria itu.

"Kalau bapak memang peserta, kenapa bapak menolongku?" tanyaku.

"Apa aku butuh alasan menolong anak kecil yang sedang diserang oleh robot jahat?" jawab pak Reviss, cukup mencurigakan.

"Dari mana juga bapak tahu aku diserang robot itu..." tanyaku untuk ketiga kalinya.

"Ah... Tadi bapak lagi dikejar-kejar sama rusa bertubuh kekar karena bermain sama anaknya, terus waktu lihat robot itu dalam rumah, saya mau minta tolong, eh... malah seperti ini kejadiannya" ujar bapak itu.

"Pak, paling tidak kalau berbohong kasih alasan yang lebih masuk akal. Anak kecilpun tahu kalau nggak ada namanya rusa bertubuh kekar" kataku dengan nada kecewa.

"Saya tidak berbohong, nak. Kalau kamu tidak percaya, toh lihat kebelakang"

Bulu kudukku berdiri saat sebuah jeritan bergema lepas dari mulutku. Di belakang kami tengah berlari sebuah monster humanoid raksasa setinggi delapan meter. Bulu-bulu hitam tumbuh di seluruh tubuhnya dan kepalanya menyerupai sebuah rusa lengkap dengan tanduknya. Monster itu mengejar kami dengan menggunakan tangan raksasanya seolah-olah berfungsi seperti sebuah kaki.

"M-Monster apa itu,pak?! Nggak mungkin itu rusa! Yang mirip seperti rusa hanya kepalanya saja!"

"Sudahlah, panggil saja rusa dari pada repot memikirkan nama" ujar pria itu, "Jadi apa kekuatanmu, nak?" tanya pria itu.

Kekuatan? Oh iya... Aku baru ingat kalau aku punya kemampuan Aspertis. Kurasa aku terlalu panik tadi sampai aku lupa dengan kekuatanku sendiri.

"Aku bisa membuat lubang dimanapun dalam radius lima meter" jawabku.

"Bagus, coba buat lubang untuk memperlambat jalannya rusa itu!" seru pak Reviss.

Aku berbalik dan menyentuh tanah di bawahku, lalu menunggu kedatangan "Rusa" itu. Ketika ia berada pada jarak kemampuanku, aku meneriakan manteraku, "Aspertis!"

Sebuah lubang terbentuk tepat dimana tangan raksasa rusa itu hendak berpijak, sehingga tangannya jatuh ke dalam lubang itu. Aku segera merapalkan mantera kedua, Solvo untuk menutup kembali lubang itu. Kini tangan raksasa itu terjebak di bawah tanah dan tak bisa ditarik keluar.

"Hebat sekali... dengan begini kita tidak perlu khawatir soal rusa itu" ujar pak Reviss.

"Ya, benar... kerja bagus, bocah"

"Terima..." aku tergidik. Ada suara lain selain pak Reviss dan suara itu tidak lagi asing di telingaku.

Sebuah cincin kemerahan melesat dari belakangku, tapi pak Reviss menangkisnya dengan sebuah belati. Cincin merah itu berputar kembali ke tangan pemiliknya, seorang pemuda berambut merah yang tengah berdiri di ujung jalan ini.

Pemuda berambut merah itu menangkap kembali cincin merah itu, tapi ternyata bentuk cincin itu hanya ilusi optik dari perputaran bumerang merah pemuda itu. Bumerang yang ia pegang bukanlah bumerang pada umumnya karena semua sisi ujungnya tipis dan tajam seperti bilah pedang.

"Ada apa, bocah? Sudah kangen sama mas rambut merah ini?" ujar pria merahitu.

"Nak, siapa orang itu?" tanya pak Reviss.

"Seorang peserta yang bersenjatakan pedang merah... tapi sekarang ia memakai bumerang Dia juga bisa menghilang kalau bapak terlalu jauh darinya" ujarku.

"Cukup sudah perkenalannya,ya? Aku ingin segera menghabisimu, bocah" kata pria berambut merah itu.

Pak Reviss berjalan ke depanku, lalu menyilangkan belatinya di depannya, "Kalau kau memang mau menghabisinya, lawan dulu aku"

"Hm... sekarang kelompok apa yang kau bentuk, bocah? Kelompok ayah dan anak? Kakak dan adik? Yah... kurasa kalian saling serasi, sama sama memakai peledak dan mungkin sama-sama berasal dari keluarga tak penting?" ledek pria merah itu.

"Nak... aku ada seorang teman di sini, dia juga sesama peserta, tapi kami punya kesepakatan" ujar pak Reviss padaku, "Tolong beritahukan kepada temanku itu bahwa..." pak Reviss membisikan suatu informasi padaku supaya tak terdengar oleh pria merah itu.

Namun pertarungan tidak mengenal jedah, pria merah itu menerjang dengan bumerang merahnya, mengincar kepala pak Reviss, tapi dengan satu gerakan cepat pak Reviss melompat mundur dan membalas dengan tebasan belatinya. Sayangnya pria merah itu berhasil menahan tebasan pak Reviss dengan sisi datar bumerangnya.

"Tolong jangan lupakan aku saat bergosip. Aku tidak suka dilupakan dari pembicaraan, tahu?" ujar pria merah itu.

"Cepatlah masuk ke gang di belakangku dan terus bergerak sampai ke sebuah bukit!" ujar pak Reviss.

Aku segera berlari meninggalkan mereka berdua, mengikuti perintah pak Reviss yang tengah menahan pria merah itu di belakang. Gang kecil yang disebutkan pak Reviss segera kumasuki, lalu aku keluar di sebuah jalan raya lain.

Jalan raya ini cenderung lebih luas, tapi karena badai salju yang sedang melanda aku hanya bisa melihat pemandangan bersalju hingga beberapa meter ke depan. Dapat kudengar suara petir berkecambuk di kejauhan, tapi aku harus lari, kalau tidak pria merah itu akan mengejarku.

***

"Jadi kau suka main bapak-bapakan, Pak Reviss?" ledekku pada pria berambut ikal di depanku, "Sayangnya permainan ini harus diakhiri"

"Aku melihat diriku pada anak kecil itu... Seorang anak yang menjadi pendiam karena sering dicaci karena status sosialnya" ujar pria bernama Reviss di depanku, "Namun dia masih punya masa depan, bukan seperti diriku yang telah gagal"

"Hoo... Jadi ada rasa simpati untuk sesama orang gagal?"

Sebuah tebasan belati menjadi jawaban atas ledekanku. Bumerangku menahan belati itu untuk sesaat, lalu kuangkat hingga ke atas kepala sebelum akhirnya meluncurkan sebuah tendangan berputar pada pria berambut ikal itu. Tendanganku mengenai pinggangnya, membuat pria itu lompat kecil beberapa langkah ke samping.

Reviss berseru, "Augment!". Seruan itu kristal hitam berbentuk oval di sarung tangannya menyebarkan warna hitam ke seluruh tangannya. Warna hitam yang menyelimuti tangannyapun merayap ke belatinya, membuat belati itu menjadi hitam legam.

Pria itu kembali menebas dengan belatinya, tapi sama seperti sebelumnya, aku menahan tebasannya dengan Bumerang merahku. Namun ketika senjata kami bersentuhan, senjataku terbelah dan akhirnya menguap kembali menjadi Auro merah. Akupun segera melompat mundur untuk mengantisipasi serangan tambahan.

Tsch... senjataku harusnya sekuat baja, tapi belati hitam itu mampu membelahnya. Dia merapalkan nama dari kemampuannya "Augment", jadi kurasa ini adalah kemampuan memperkuat efektifitas benda.

"Reposition!" serunya.

Pria bernama Reviss itu sirna dari hadapanku, lalu muncul secepat kilat di atasku, bersiap menikam dari atas. Aku membentuk bumerang baru dan menebas ke arahnya, tapi ia menghilang lagi ke sisi kiriku dan menendang punggungku hingga aku terlempar. Ia menghilang lagi tempatnya, lalu muncul di sisi kananku untuk menendangku kembali ke tempaku sebelumnya.

Aku mempersiapkan diriku, menunggu arah serangan yang mungkin terjadi. Sebuah bayangan muncul di depanku, aku melemparkar bumerang merahku ke depan, tapi Reviss berhasil menunduk untuk menghindarinya.

Reviss menghilang lagi. Sampai saat ini aku sudah diserang dari atas, kiri, kanan dan depan, jadi hanya ada satu arah yang belum ia serang. Aku segera merunduk, menghindari tebasan pedangnya dari belakang.

Reviss mengembalikan belatinya ke sabuk, lalu mencabut kedua pistolnya. Dari jarak di bawah lima meter seperti ini, sudah bisa dipastikan tembakannya tidak akan meleset. Untungnya, pedangku datang tepat waktu.

Sebuah bumerang merah yang berputar hingga membentuk cincin terbang ke arah Reviss. Karena memfokuskan matanya padaku yang sedang merunduk, ia tidak melihat datangnya pedang itu. Reviss mengeluarkan teriakan panik ketika pedang merah itu menghujam ke dalam rongga dadanya.

Sekarang kesempatanku!

Aku mencabut bumerang merahku dari rongga dada Reviss, lalu menghujamkannya pada organ vital lainnya. Reviss masih bernyawa dan berusaha menembakan pistolnya, tapi karena banyaknya darah yang hilang, iapun tidak bisa menarik pelatuk pistolnya.

Setelah satu hujaman terakhir ke kepala Reviss, pria berambut ikal itu meledak menjadi partikel-partikel kebiruan, meninggalkan sebuah radar dengan nama "Reviss Arspencer" di layarnya.

"Dengan ini satu peserta telah tewas" gumamku sambil memungut kembali tablet Reviss.

Aku menyentuh layar pada tablet itu, lalu menunjukan keberadaan dua buah titik berada jauh di utara. Keduanya tidak bergerak untuk beberapa saat, kemudian mulai berjalan ke utara lagi.

"Bocah itu mendapat sekutu baru? Tsch... peserta lain pasti jadi simpati hanya karea dia anak kecil" gumamku.

Aku mulai beranjak ke utara, tapi langkahku berhenti lagi sebelum masuk ke dalam gang yang anak itu masuki tadi. Aku menoleh ke rumah di belakang rusa raksasa yang tengah terjebak di lubang buatan anak kecil itu, lalu menyalakan kembali tabletku.

"Kenapa tidak ada titik biru di rumah itu? Apa Renggo sudah mati? Ah... Sudahlah"

Saat aku hendak memasuki gang itu, sebuah suara ledakan keras membuatku terhenti untuk kedua kalinya. Aku menoleh ke asal suara itu, tampaknya monster rusa raksasa itu sedang mengebas-kebaskan tangan satunya, berharap untuk keluar dari lubang buatan anak tadi.

Namun wajahku berubah pucat. Di bawah tangan monster rusa itu berkumpulah beberapa rusa bertubuh manusia menggali tanah yang menahan monster raksasa itu dengan tangan mereka. Tidak lama kemudian, tangan raksasa itupun terlepas. Tidak memakan waktu lama bagi sang monster untuk menyadari keberadaanku dan memerintahkan monster rusa lainnya untuk menyerangku.

"Sial! Kenapa aku harus berurusan dengan monster-monster ini?!"

Aku mengutuk diriku yang seolah-olah menunggu monster itu keluar dari lubangnya dulu. Shadow Stalk telah kugunakan, tapi monster-monster rusa di belakangku masih tetap mengejarku. Kemungkinan karena mereka bisa mengendus bau darah dari tablet Reviss yang sedang kubawa.

--6--
The Snow Fall

Sudah seberapa jauh aku berlari?

Hanya derap langkahku yang terdengar di jalan bersalju ini. Setiap kali aku melangkah, kakiku akan terbenam hingga mencapai lutut supaya aku bisa melangkahkan kakiku. Selama beberapa menit aku kesulitan melangkah karena tebalnya salju di tempat ini, belum lagi ditambah dinginnya tempat ini karena badai salju.

Aku menoleh kebelakang, hanya melihat jejak langkah kakiku di atas salju tebal. Bayangan pria berambut ikal itu kembali melintas di kepalaku, begitu pula rasa takutku ketika mengingat pria merah yang dia hadapi.

Aku memandang puncak bukit salju di hapanku, hanya beberapa meter lagi maka aku akan sampai di kakinya. Perkataan pak Reviss kembali kuingat, ada seorang peserta yang menjadi temannya dalam ronde ini. Namun aku tidak tahu siapa atau bahkan bagaimana wajah teman yang dikatakan pak Reviss. Tubuhku gemetar ketika membayangkan aku bertemu dengan peserta yang salah.

Langkahku terhenti karena mendengar suara gesekan besi yang terus berulang. Aku berbalik lagi, mencari asal suara itu, tapi badai salju yang tengah bergejolak membuat pandanganku terbatas hanya beberapa meter ke depan.

Meski samar, aku melihat sebuah bayangan di kejauhan, bergerak perlahan ke arah yang sedang kutuju. Aku segera mengangkat radarku dan mengaktifkannya. Benar dugaanku, ada tanda kehadiran seorang peserta dari arah asal suara itu.

Aku mengerutkan dahiku, ada empat titik biru lain selain titik biruku. Dua titik biru tampaknya sedang bertarung di arah yang hendak kutuju, satu titik biru tak jauh dariku dan satu titk terakhir berada di selatan, hampir keluar dari radarku.

Dua titik di arah utara adalah dua peserta yang belum kutemui, sedangkan aku berlari ke arah mereka, jadi tempatku dan pak Reviss berpisah adalah di selatan, tepat di titik biru paling selatan. Lalu siapa peserta yang berada di dekatku?

Aku memicingkan mataku pada bayangan di balik badai salju ini. Perlahan sosok peserta misterius itu semakin tampak, mulai dari rambut ikalnya dan pakaian jas yang tampak compang-camping. Beberapa potongan besi tampak menembus beberapa bagian tubuhnya seperti kaki, tangan dan perut, tapi ia masih sanggup melangkah di suhu seperti ini.

"Pak Reviss?"

Aku segera berlari ke bayangan yang sangat familiar itu. Tidak salah lagi, rambut ikal itu dan jas yang ia kenakan adalah ciri khas dari pak Reviss. Namun ketika aku melihat sosoknya dengan jelas, jantungku seakan terasa berhenti.

Empat buah potongan besi tampak menembus betis kiri, perut dan kedua tangannya. Jas hitamnya menjadi compang-camping seakan ia paksakan bergerak melewati badai salju ini. Namun bukan itu yang membuatku ketakutan, melainkan sepasang mata merah yang menyala pada bola matanya dan kulitnya yang tergantikan oleh lapisan besi.

Aku teringat perkataan pak Reviss...

"...Kamu masih ingat dengan robot yang kamu lawan sebelumnya? Robot itu adalah robot peniru yang mampu menirukan siapapun hanya dengan satu sentuhan saja. Kurasa cidera yang kuberikan tadi masih belum cukup untuk membunuhnya, tapi cukup membuatnya bergerak lamban. Temuilah rekanku itu dan kalahkan robot itu!"

Kalau robot itu punya kemampuan peniru hanya dengan sentuhan, berarti ia menirukan Pak Reviss ketika kepalanya ditahan oleh beliau. Meski begitu, pergerakannya tidak mulus sama sekali akibat potongan besi yang masih menancap pada tubuhnya.

Meskipun kondisinya separah itu, Apa aku bisa menang?

Aku menggelengkan kepalaku, ini bukan lagi sebuah pertarungan, tapi kemenangan mutlak. Dengan segera kuambil salah satu granat di pinggangku. Aku tidak perlu memakai taktik seperti ketika melawan pria merah itu, yang kuperlukan hanyalah melempar tepat sasaran.

Robot itu tidak tinggal diam ketika melihat granatku. Ia segera berlari ke arah utara, berusaha menjauhiku. Ketika granatku terlempar, ia bergelinding ke kanan seolah melemparkan dirinya, tapi karena ia belum terlalu jauh, iapun terlempar karena dampak ledakan granat tersebut.

Aku merabah sabuku dan menarik granat terakhirku.

Tidak akan ada kesempatan lagi selain ini, jadi lemparanku harus tepat!

Namun ketika aku hendak menarik pengaman Granatku, sebuah suara sirine menggema dari radarku. Aku segera menarik radarku keluar. Sebuah segitiga merah dengan simbol tanda seru menyala-nyala pada layar radarku.

Ketika aku menyentuh layar tablet, layar radar kembali tampak, tapi semua dataran pada pada radar berubah menjadi kuning kecuali daerah puncak bukit yang berwarna merah. Dua titik biru di puncak gunung tampak menajuh dari daerah merah.

"Peringatan kepada seluruh peserta, telah terjadi sebuah longsor salju pada daerah yang ditandai dengan warna merah pada radar. Peserta yang berada di daerah kuning harap menjauh jika tidak ingin terkena longsor," ujar suara robotik radar itu.

Aku mengerutkan dahiku. Aku punya firasat tentang asal mula longsor ini, bisa jadi longsor ini karena granat yang aku ledakan barusan. Aku berada di kaki bukit salju, jadi kalau ada satu dorongan kuat mempengaruhi fondasi bukit ini, maka akan mengakibatkan perubahan drastis pada struktur bukit sehingga terjadilah longsor ini.

Aku mulai berlari ketika suara longsor mulai terdengar. Dari kejauhan aku dapat melihat sebuah bayangan di atas kuda menuruni bukit itu, tapi langkahnya terhenti dan seketika itu terciptalah sesuatu berwarna oranye di kaki bukit itu. Semenjak terbentuknya benda itu, peserta berkuda itu tidak terlihat lagi.

--7--
The Marioneter

Aku menghela nafasku. Tidak pernah kusangka akan terjadi longsor di bukit seperti itu karena masih ada beberapa bangunan dan pertambangan di sana, tapi kenyataan berkata lain. Bukannya aku kecewa dengan kejadian ini, tapi aku tidak suka terjadi gangguan seperti ini di tengah pertarungan. Rasanya seperti melakukan peragaan di atas panggung, tapi dipaksa berhenti karena kehabisan waktu.

Tanganku berpegang erat pada kendali mesin yang kukendalikan ini. Yah, meski kusebut mesin, benda ini hanya terdiri atas kain usang yang diikatkan pada atap sebuah kerangka besi berbentuk V. Batang pengendali, begitulah aku menyebut kendali yang kupegang karena hanya berupa batang besi yang terhubung ke kerangka besi di atasnya.

Untungnya Reviss telah memperbaiki benda ini, sebuah Glider, kendaraan yang di desain untuk meluncur di udara. Kurasa Glider ini dipakai pekerja tambang untuk membawa turun mineral yang mereka ambil dari tambang ke kota dengan mudah.

"Radith," panggil guru Gatotkaca dalam bentuk baju pelindung Antakusuma yang kukenakan "Lihatlah ke bawah, ada seorang anak kecil berlari dari longsor itu"

"Oh,ya benar juga" sahut guru Arjuna dalam bentuk gelang Gandiwa yang kukenakan, "Apa yang akan kau lakukan Radith? Apakah kau akan menolong bocah malang itu ataukah kau akan membiarkan bocah itu terkena longsor?" tanyanya.

"Tentu saja aku akan menolongnya!" jawabku tegas.

"Harus kuingatkan kembali bahwa bocah itu adalah salah satu peserta, lawanmu. Kalaupun kau menyelamatkan dia sekarang, kau harus melawannya suatu saat nanti" ujar guru Bima dalam bentuk topeng Pancaka yang kukenakan.

"Aku tetap akan menolongnya! Kalaupun aku akan melawannya nanti, itu adalah akhir yang lebih bagus dari pada mati terkena longsor!" jawabku.

"Bagus, Radith. Memang seharusnya begitu" ucap guru Bima, "Kalau begitu tunggu apa lagi? Cepat laksanakan!"

"Siap, guru!" balasku.

Aku mengubah pusat gravitasiku condong ke depan, membuat Gliderku menukik tajam ke bocah itu. Bocah itu berada di jarak tangkapku, aku memakai satu tanganku untuk menarik kerah bajunya dari atas, lalu menembakan panah petir ke tanah untuk membuat ledakan yang membuat Gliderku kembali terbang.

"S-Siapa ini? K-Kenapa aku terbang?" tanya bocah itu gemetar.

"Berpeganglah pada besi di atas sini supaya tidak jatuh!" seruku.

Bocah itu segera meraih batang pengendali Glider, lalu dengan satu tembakan panah arjuna ke tanah lagi, aku terbang lebih tinggi untuk membuat kami tetap terbang rendah.

"Kakak seorang peserta?"

"Ya, benar. Tapi jangan bertarung sekarang atau kita berdua akan jatuh" ujarku, meskipunku kira anak kecil ini juga tahu akan hal itu, "Ngomong-ngomong aku harus menemukan temanku yang bernama Reviss, apa kau bertemu dengannya?"

"Pak Reviss?" tanya bocah itu, "Jadi kakak teman yang ia ceritakan?"

Teman? Yah.. bisa jadi. Aku membuat kesepakatan dengan Reviss karena ada dua cara memenangkan ronde ini, yaitu membunuh semua lawan atau mengambil semua radar mereka. Kami bersepakat untuk bekerja sama mendapatkan semua radar dan mengalahkan semua peserta selain kami.

Menurut kesempakatan, Di akhir pertarungan Reviss akan menerima semua radar, sehingga ia memenuhi kondisi kemenangan, tapi sebelum ia menghilang ia akan menyerah, sehingga aku sebagai peserta yang tersisa akan memenuhi kondisi kemenangan juga.

Awalnya aku juga ragu soal ide ini dan menganggapnya hanya sebagai tipuan belaka, tapi ketika ia mengatakan tidak ada peraturan spesifik yang mengatakan tidak boleh ada dua pemenang, maka aku menyetujuinya.

"Ya, nak. Aku teman dari Reviss. Dimana dia sekarang?"

"Dia tadi ada di daerah itu" ujar anak ini sambil menunjuk suatu lokasi, "tapi dia diserang oleh pria merah, lalu ia menyuruhku pergi untuk membawa informasi soal salah satu lawan" ujar anak itu.

"Oh, begitu. Siapa namamu, nak?" tanyaku.

"Lo Dmun Faylim, tapi panggil saja Lodun" jawabnya.

Kami berbincang sebentar soal lawan yang disebutkan oleh Reviss dan pria merah yang menyerangnya. Selagi kami berbincang, tampaknya longsor telah meredah, sehingga aku perlahan menurunkan ketinggian kami. Namun sesuatu melesat ke arah kami, menembus kain Gliderku hingga kami jatuh membentur salju.

Sayangnya masalah belum berhenti di sana, sebuah gemuru dasyat datang bersamaan dengan munculnya sebuah tangan besar mencapai panjang delapan meter di atas permukaan salju.

Gemuruh hebat kedua terasakan di atas salju, mengikuti keluarnya tangan kedua yang mengangkat tubuhnya yang cenderung lebih pendek. Sosok itu berbentuk humanoid, tapi tubuhnya lebih besar dari ukuran manusia biasa dan ditumbuhi rerambutan coklat.

Monster raksasa setinggi delapan meter itu berdiri dengan kedua tangannya yang lebih besar dari tubuhnya, lalu menggerang dengan suara yang sangat keras. Puluhan tangan mencuat dari salju di bawahnya, mengangkat belasan humanoid bertanduk rusa ke hadapan monster besar itu.

Radar kami tiba-tiba menyala, sehingga kami segera menyalakannya. Dalam radar kini terdapat sebuah titik merah besar dan beberapa titik merah lainnya, tapi satu yang membuat bulu kuduku berdiri adalah nama dari monster paling besar itu, "Field Boss : Monster Rusa Humanoid berambut coklat dengan tanduk rusa di atasnya dan bertangan super besar yang super marah".

"NAMA MACAM APA ITU?!" teriaku sontak, "Kalau mau kasih nama yang niat, dong GM! Kasih nama yang keren seperti Avalanche Deer atau Tony-Tony Chopper! Jangan nama kayak gini!"

"K-Kak Radith... eh.. maksudku kak Vajra, tolong jaga emosimu" pinta Lodun.

"Ya, benar kata bocah itu. Jagalah emosimu, Vajra" sebuah suara asing terdengar di telingaku.

Namun belum sempat aku menemukan pemilik suara itu, suatu benda tajam muncul di abdomenku, di sekitar bagian hati. Darah menciprat dari luka di abdomenku, membasahi salju di bawahku menjadi merah darah.

Sebuah tendangan di punggungku menhempaskan tubuhku keluar dari benda tajam yang telah menembus tubuhku. Kini aku terbaring lemas di atas kolam darahku sendiri, hanya sanggup melihat sepatu hitam penyerangku.

"Hehehe... sudah merindukanku, bocah?"

Pemilik suara itu kini menghampiri Lodun sambil menyodorkan ujung tombak merahnya pada anak berambut putih itu.

"K-Kau..." ucap Lodun gemetar, "Di mana pak Reviss? Apa yang terjadi dengannya?"

Pria itu mengambil sebuah tablet dari balik bajunya, lalu menunjukannya pada Lodun. Suara tawa pria itu menggema setelah melihat ekspresi wajah Lodun.

"Kenapa... Kenapa tablet itu memiliki nama pak Reviss?"

"Bukannya sudah jelas?" tanya balik pria itu, "aku membunuhnya"

Mendengar perkataan itu, Lodun tertunduk lesu, sementara si pria itu memuaskan tawanya. Aku heran kenapa ada orang yang suka tertawa sebegitu banyaknya, padahal ini bukanlah topik untuk diketawakan.

"Sudahlah, sekarang waktumu untuk tidur, nak" ujar pria itu.

"Tidak selama aku masih di sini!"

Aku berpijak pada tanganku, lalu menyapu kaki pria itu dengan satu putaran kaki, membuat pria merah itu tersungkur. Setelah putaran kakiku mencapai setengah putaran, aku memanfaatkan perputarannya untuk berdiri dan menyiapkan kuda-kuda lagi. Huh... Tidak rugi aku mempelajari Teknik bangkik dari banyak jurus Silat yang diajarkan kek Komirun.

Pria merah itu menancapkan ujung tumpul tombak merahnya ke tanah, lalu mendorong tubuhnya bangkit lagi. Ia memicingkan matanya ketika pandangan kami berpapasan, tanda akan amarahnya.

"Bagaimana mungkin..."

"Tentu saja aku tidak mati, hati itu ada di sebelah kiri, tapi kamu menusuk sebelah kanan. Bagaimana kamu melewatkan satu hal itu?" jawabku.

Si pria merah mendesis, lalu mempersiapkan tombak merahnya ke arahku. Kurasa ini sudah pertanda jelas, sebuah pertarungan akan terjadi sebentar lagi. Sebelum kami bertarung, raungan para Rusa humanoid terdengar dari jauh. Sudah kuduga, rusa-rusa itu tidak akan diam saja melihat kami bertarung.

--8--
Sang Pangeran dan Sang Pencuri

"Renggo! Kenapa kau lari?! Lawanmu hanya bocah kecil!" bentak Opi padaku.

"Tidak! Aku tidak mau! Apa kau tidak melihat tubuhku sudah serusak ini?! Melawan anak kecil itu saja aku sudah pasti kalah!" seruku.

"Awas! Granat datang!" ujar Opi.

Aku segera membanting tubuhku ke kanan, lalu mulai berguling untuk menjauhi granat itu. Namun karena kerusakanku, granat itu meledak hingga membuatku terlempar beberapa meter ke samping.

Kesialanku belum berakhir di sana, ledakan granat itu menyebabkan salju longsor yang turun dengan cepat. Anak kecil yang melemparkan granat tadi segera berlari menjauh setelah melihat pemberitahuan pada radarnya.

Gemetar melihat longsoran salju dari atas bukit, aku bertanya, "O-Opi... apa kita punya cara untuk mengatasi salju longsor?"

"Aku akan mulai mempersiapkan peti mati," jawab Opi.

"T-Tidak! Aku tidak mau mati!"pekiku.

Di saat terdesak itu, aku mendengar sebuah suara derap kaki yang begitu cepat di antara gemuruh salju. Aku segera mengangkat kepalaku, melihat seekor kuda yang tengah berlari cepat dari atas bukit. Kuda itu dikendarai oleh seorang pria bertudung putih yang tersambung ke jubah hitam yang ia kenakan, sepertinya seorang peserta.

"Renggo, gunakan Duel Punchmu!" perintah Opi.

Samar-samar aku mengingat Skill Duel Punch  yang Opi beritahu di ronde preliminary, skill yang akan menciptakan ruangan kubus yang mampu memantulkan semua benda dari luar. Skill ini mungkin bisa menyelamatkanku.

Aku segera merapalkan nama skill Duel Punch, lalu muncullah kubus-kubus oranye di pergelangan tanganku. Aku membenamkan tubuhku ke dalam tumpukan salju sampai kuda itu melewatiku, lalu melemparkan pukulan berkubus pixel itu.

Ketika tanganku mengenai penunggang kuda itu, sebuah kubus oranye memancar dari tanganku lalu membentuk ruang kubus di sekitarku. Longsor salju di luar menghantam kubus oranyeku, membenamkan kami bersama kubus oranye ini. Namun kubus oranye ini masih bertahan, menyangga tumpukan longsor di atas kami dan memberi penyinaran berupa cahaya oranye.

Peserta yang kupukul tadi telah berdiri siaga, lalu dari balik jubahnya ia menarik sebuah pedang yang bilahnya tipis dan agak melengkung ke belakang. Tentunya dia tidak tahu apapun, jadi wajar jika dia panik melihat tumpukan salju di atas belum menimpa dirinya sekarang.

Sepasang tabung kaca berisi cairan biru muncul di langit-langit kubus, membawa nama "Renggo Sina" dan "Zhaahir Kavaro III" di atas masing-masing tabung. Kedua tabung itu dihubungkan ke sebuah jam bulat yang bertuliskan angka 60.

Tiba-tiba sebuah suara menggema di kepalaku, "Pertarungan antara Renggo Sina dan Zhaahir Kavaro III akan segera di mulai!"

Suara misterius itu mulai menjelaskan peraturan pertandingan. Masing-masing peserta memiliki tabung HP sama di awal pertandingan, tapi hanya peserta dengan HP terbanyak yang dapat keluar dari kubus oranye ini, sedangkan yang kalah akan diledakan oleh sebuah bom. Apabila waktu habis, maka pemenang ditentukan dengan jumlah HP terbanyak.

Besi-besi yang menancap pada tubuhku terlepas dengan sendirinya, lalu sirna begitu saja. Lubang-lubang yang diakibatkan pria berambut Ikal itupun menutup dengan sendirinya seolah-olah waktu berputar kembali membawaku ke kondisi prima.

Aku memperhatikan lawanku. Sepertinya ia juga mengalami hal yang serupa,  darah yang tampak pada kaki dan abdomen pria itu sirna begitu saja. Bahkan kain jubahnya yang telah tercabik-cabik kembali pulih seperti baru.

"Aku harus mengingatkanmu, Renggo. Di awal pertandingan semua kerusakan pada peserta akan dipulihkan, jadi bersiaplah melawan dia sekuat tenaga!" seru Opi, "Oh, iya. Jangan lupa, sekarang kamu menirukan dia karena kamu menyentuhnya tadi"

Aku memeriksa sosokku sekarang ini. Benar kata Opi, sekarang aku diselimuti oleh jubah hitam dari leher sampai ke telapak kaki dengan kerah tangan mencapai pergelangan tanganku. Namun ada satu hal yang tidak kutemukan pada diriku, senjata.

Tanganku meraba seluruh pakaian baruku, tapi tidak ada satupun senjata terselip di dalamnya, padahal lawanku tengah memegang sebuah pedang di tangannya.

"O-Opi! Kenapa aku tidak punya senjata?" tanyaku.

"Hmm... Entahlah. Mungkin karena senjatanya saat ini tidak dalam kategori "Senjata", melainkan sebuah Skill. Tapi tenang saja, meski kamu tidak punya senjata, kamu masih bisa merebutnya dari lawanmu" ujar Opi.

Kurasa tidak ada pilihan lain selain melawannya,kan?

"Kavaleri Pejuang, munculah!" seru Zhaahir.

Pasir-pasir magis berwarna hitam yang entah muncul dari mana berkumpul di antara kaki Zarid, lalu bermaterialisasi menjadi kuda hitam yang ia tunggangi tadi. Tangan Zhaahir merenggang ke samping, lalu terbentuklah sebuah tombak dengan cara yang sama pula.

Kuda Zhaahir melesat maju, lalu saat aku berada pada jarak tusuk tombaknya, ia menusukan tombak itu padaku. Aku menepis batang tombak itu dengan punggung tanganku sambil melompat ke kiri, menghindari terjangan kuda hitam yang ia naiki. Pria berkuda itu masih berlari lurus sampai akhirnya ia menarik rantai kudanya, membuat kuda itu berbalik arah dan berhenti.

"Aku tidak tahu alasannya, tapi jangan kira kau bisa meniru pakaianku begitu saja! Kalaupun kau adalah fansku, jangan pikir aku akan menyerah begitu saja" ujar peserta itu, kurasa namanya adalah Zhaahir.

"Aku menirumu bukan karena pilihan!" seruku.

Zhaahir tercengang mendengar jawabanku, dapat kulihat matanya melebar di balik topeng temaganya, "Gah?! Bukan karena pilihan? Sial... apa dia sudah sampai ke tahap fanatik dimana ia tidak akan bisa hidup tanpa..."

"Bukan!" seruku lagi, "Ini kemampuanku, jadi jangan sembarangan ngomong!"

"Syukurlah..." Zhaahir melepas nafas lega, "aku akan lebih khawatir kalau seorang pria ngefans padaku..."

"Dugaanmu malah lebih parah!"

"Yah... dari pada kita melanjutkan pembicaraan tidak nyaman ini..." Zhaahir mengangkat tombaknya, menunjuk ke jam di tengah kubus yang tengah menampilkan angka 48, "bagaimana kalau kita menyelesaikan permainan ini?"

Aku segera menyiapkan kuda-kuda bertarung, tanda setuju. Zhaahirpun mempersiapkan kuda dan tombaknya.


***

Aku mempersiapkan kudaku untuk menerjang, ia sudah menghentak-hentakan kakinya, tanda tidak sabar lagi untuk menyerang. Namun aku harus menunggu lawanku untuk mengeluarkan senjatanya, kalau tidak ini tidak akan menjadi pertarungan yang adil.

Tangan kanan lawanku, Renggo Sina merenggang ke samping lalu munculah pasir hitam yang memematerialisasikan sebuah pedang Schimitar di tangannya. Mataku terbelalak, bentuk maupun desainnya sama dengan pedang dalam Fantasma Muliaku.

Akupun mencoba memunculkan Schimitarku, tapi hasilnya nihil. Hanya ada satu kepastian, ia telah mencuri senjataku, Schimitar dalam Fantasma Muliaku.

Aku menggeram, lalu menghentakan rantai kuda Qorrum untuk membuatnya berlari.  Tombaku melesat dengan amarah, mengincar kepala sang pencuri itu. Namun aku lengah, sesaat sebelum tombaku meluncur, ia melompat ke depan dan menebas kaki Qorrum lalu menghindar lagi ke kiri.

Aku merubah Qorrum kembali menjadi pasir hitam yang lenyap seketika untuk mencegah kerusakan lebih lanjut padanya. Aku segera berbalik dan merintangkan senjataku di depanku, menghadang tebasan dari pencuri itu.

Pencuri itu menarik pedangnya dan menebas lagi. Aku menapak ke samping seakan-akan menghindar, lalu menahan tebasannya dengan bagian batang dekat ujung tumpul tombaku. Karena terdorong oleh tebasan pencuri itu dan dengan tanganku sebagai pororsnya, tombaku berputar berlawanan dengan arah tebasan pencuri itu, membuatnya menebas ke leher lawanku hingga tertancap di dalam leher besinya.

Lawanku berusaha menarik tombak itu keluar, tapi aku segera masuk dan merebut Schimitar di tangannya. Usaha ini tentu tidak dia biarkan begitu saja, tapi ia lebih memilih melepas pedangnya supaya bisa melepas tombak di lehernya.

Aku melompat balik, kini aku memiliki kembali pedang dan tombaku, jadi dia tidak punya senjata apapun. Aku menghujamkan tombaku di tempatku berdiri, lalu berganti memakai pedang. Kalau aku mengembalikan tombakku sekarang, akan ada kemungkinan pencuri itu akan mengambilnya seperti yang ia lakukan pada pedang ini, jadi aku harus membiarkannya di sini dulu.

Sebuah suara misterius menggema,"Dua puluh detik tersisa"

Tabung Hpku masih sekitar 80% penuh, sedangkan punyanya sudah mencapai 60%. Jika aku bisa mengulur waktu, maka aku akan menang.

"Kau salah kalau kau pikir lawanmu tidak bisa menyerang dari belakang," sebuah suara terdengar jelas dari belakangku.

Aku berbalik dan menebas ke belakang, tapi tidak ada siapapun di sana, hanya ada sebuah pipa di atas salju.

"Kau salah juga kalau membiarkan punggungmu terlihat oleh lawanmu," ujar pipa itu, sinis.

Aku hendak berbalik lagi, tapi terlambat. Pencuri itu telah mengambil tombakku yang kutancapkan dan menusukan ujung lancipnya. Aku hanya mampu menghadang dengan pedang Schimitarku, tapi karena aku menggunakan sisi datarnya, tombak itu membelah pedangku dan berhasil menghujam ke perutku.

Belum berhenti di sana, pencuri itu segera menarik tombaknya dan melancarkan serangan beruntun dengan menghantamkan batang tombaknya padaku tanpa henti. Aku dapat melihat tabung Hpku di tengah arena berkurang dengan cepat, sampai akhirnya sebuah pukulan dengan ujung tumpul tombak itu membuatku terjatuh. Tanpa ampun, pencuri itu menghujamkan tombaknya tepat di dadaku.

"Segera cari radarnya, Renggo!"

Pencuri itu langsung meraba masuk ke jubahku dan mengambil tablet radarku. Akupun tidak diam saja, aku menarik keluar tombak yang menghujam dadaku dan menggunakanya untuk mendorong pencuri itu menjauh. Kini akulah yang punya senjata dan dia tidak.

"Lima detik tersisa..."

Aku segera menerjang ke depan, hendak melakukan serangan yang dapat menutupi kehilanganku di serangan terakhir. Namun pencuri itu merunduk dan menghindari terjanganku, lalu mengambil salju di tangannya dan ia lemparkan pada wajahku.

"Tiga... Dua..."

Aku berusaha mengusap salju yang menutupi pandanganku, tapi karena topeng yang kukenakan hal ini menjadi tidak mudah sama sekali.

"Satu... nol..."

Sial... kurasa inilah akhirnya...

"Pertandingan telah selesai, pemenangnya adalah Renggo Sina"

***

Sebuah bola melesat keluar dari jam di tengah kubus, lalu melesat dan menghantam Zhaahir. Aku segera berlari ke dinding kubus, tapi aku teringat kalau sekelilingku tertutupi oleh salju akibat longsor tadi.

"Keluarkan kami dari kubus ini!" seru Opi.

"Mengindentifikasi peserta... Identifikasi Peserta Selesai. Peserta Renggo Sina, pemenang pertandingan ini akan dikeluarkan dari kubus dalam lima... empat..."

Tubuhku terbungkus oleh cahaya oranye yang menyilaukan mataku, lalu ketika cahaya itu pudar aku kembali ke dataran salju di atas tumpukan salju gunung. Aku segera berlari menjauh, tidak lama kemudian sebuah ledakan terdengar dari belakangku, diikuti turunnya salju di dataran tersebut.

"Hmm... Ledakan itu seharusnya tidak membunuhnya... tapi kurasa ia akan mati karena kehabisan nafas," gumam Opi, "Ngomong-ngomong, kau harus lebih hati-hati, Renggo!"

"Berhati-hati soal apa?" tanyaku.

"Apa kamu tidak ingat kejadian tadi? Ketika kamu menebas tombak orang itu, kamu malah terkena serangan balik. Kalau saja aku tidak mengalihkan perhatiannya tadi, kamu bisa saja terkubur di sana!" seru Opi.

"Soal itu... iya, kurasa kau benar. Terimakasih" ucapku.

"Jangan harap bantuan lagi dariku. Kalau saja kita tidak berada di bawah longsoran salju tadi, mata salah satu pengawas pasti akan melihat kejadian tadi. Dan kalau mereka sampai tahu, maka kita bisa saja di diskualifikasi" ujar Opi.

"Tapi... bukannya kamu selalu membantuku?" tanyaku.

"Hanya dalam navigasi dan strategi. Aku tidak diizinkan bertarung secara langsung karena aku di sini sebagai "Operator", bukan peserta" ujar Opi, "Sekarang kita sudah punya tiga radar. Dua peserta sudah kita temui, tinggal satu saja yang belum kita ketahui. Berhati-hatilah!"

"Siap!"jawabku.

--9--
The Boss Fight

Setelah longsor beberapa saat lalu, kota Los Soleil berubah menjadi dataran salju sepenuhnya. Di kejauhan masih tampak beberapa lantai kedua bangunan yang masih beruntung, tapi sisanya telah menjadi ladang putih.

Para rusa bergemuruh, mengumandangkan deklarasi perang satu persatu rusa berdatangan untuk menghabisi kami. Seharusnya kami bekerja sama untuk selamat dari serangan ini, tapi pikiran kami tidak sama.

"Panah Petir Pasopati!" teriakanku menggema di medan perang.

Percikan petir terbentuk hingga berkumpul membetuk busur di gelang Gandiwa, lalu melesat menjadi sebuah panah yang menembus kulit beberapa monster rusa. Aku langsung berbalik, menahan hantaman tombak yang diarahkan padaku oleh si pria merah yang memperkenalkan dirinya sebagai "Ernesto Boreas".

"Tajam juga instingmu" ucap Ernesto dengan nada menyindir.

"Seharusnya kita tidak bertarung sekarang! Kalaupun kau menang, tidak akan ada gunanya kalau kau dibunuh oleh monster-monster itu!" ujarku.

"Kalau begitu kau yang akan mengalahkan monster-monster itu, sedangkan aku akan mengalahkanmu!" serunya.

Kami segera melompat menjauh ketika sebuah pohon beserta akarnya melayang di antara kami. Pria merah itu langsung menjauh, lalu menghilang dengan kemampuannya.

"Tidak bisakah aku bertarung tanpa gangguan sama sekali?"

Aku segera membentuk busur listrik dengan gelang Gandiwa, lalu meluncurkannya pada monster rusa raksasa yang melemparkan pohon tadi. Namun begitu mengenai kulitnya, panah petirku menghilang begitu saja, seakan dia memiliki tubuh yang kebal listrik. Di tengah situasi susah ini, sebuah pertanyaan terlintas di kepalaku, dimanakah Lodun?

"Lodun! Dimana kau?!" teriaku.

"Tentunya bukan di sini~~~" jawab suara Ernesto dengan nada yang membuatku jengkel.

"Bukan kau, Ernesto!" bentaku.

Tsch... Dia ingin memprovokasiku supaya mengejarnya, tapi aku tahu dia akan menikamku seketika aku membalikan punggungku.

Aku mengeluarkan radarku dan memeriksa kondisi sekitar. Ada dua titik biru yang terpisah beberapa meter dan beberapa titik merah di sisi barat, kurasa itu adalah kami. Aku menyadari ada satu titik biru di antara kerumunan titik merah, yang berarti Lodun sedang dikepung.

Dengan segera aku berlari ke arah titik biru itu, tapi aku sudah terlambat. Darah merah segar terserap ke dalam salju di bawahnya dan di tengah salju merah itu berdirilah sebuah sosok anak kecil berambut putih. Di sekitarnya terdapat beberapa monster rusa yang berdiri kaku di tempatnya, masing-masing monster berpasangan dan saling menghadap.

Lodun hendak ditebas oleh dua ekor rusa yang membawa beliung tambang dari dua sisi, tapi dengan gesit ia melompat dengan memegang tanduk kedua rusa itu, membuat kaduanya saling menghantam dan menyerang sesama. Merekapun marah dengan temannya dan akhirnya malah saling bunuh. Kurasa itulah yang ia lakukan terhadap rusa-rusa lain, membuat mereka bertengkar dengan sesama.

Ya... Kurasa sudah terlambat, Lodun sudah membuat mereka saling bertengkar, jadi tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya.

Aku mengalihkan pandanganku pada monster rusa raksasa di arah lain. Ia masih saja melemparkan salju, pohon, batuan atau apapun yang ia pegang kemanapun, bahkan tidak jarang mengenai anak buahnya sendiri.

Dalam ronde ini kita tidak harus melawan boss ini, hanya perlu menyelesaikan misi kami saja. Namun akan sulit kalau monster ini mengganggu pertarungan seperti yang terjadi karena longsor tadi.

Aku membentuk busur listrik lagi, lalu menembakan panah petirku tepat ke matanya. Monster itu mengerang kesakitan sambil memegang matanya. Dugaanku tepat, sekuat apapun kulitnya, matanya hanya terbuat dari daging lembek. Dengan begini, ia tidak akan mengganggu sampai pulih kembali.

Aku segera berbalik, lalu menyalakan radarku. Ernesto berada beberapa meter di depanku, diam di tempatnya berdiri seakan menunggu reaksiku. Tanpa ragu aku segera membentuk busur petir, tapi mengetahui reaksiku ini, titik biru Ernesto bergerak zig-zag menuju ke arahku dengan arah yang agak memutar ke kanan.

Panahku melesat, tapi pergerakan Ernesto begitu cepat hingga bidikanku meleset meski memakai radar sekalipun. Jarak kami hanya sekitar lima meter lagi, tanda pertarungan beralih ke jarak dekat.

Radarku segera kumasukan ke dalam jaket berbulu yang kukenakan, sementara aku menyiapkan kuda-kuda silat yang pernah diajarkan kong Komirun. Langkah kaki Ernest pada permukaan salju terdengar jelas di antara hembusan angin, tidak lama lagi dia akan menyerang!

Dentingan besi menggema seketika gelang Gandiwa bentrok dengan pukulan batang tombak merah Ernesto. Aku menahan serangan itu dengan mengangakat lengan kananku secara vertikal dan berhasil menahan pukulan vertikal tombak itu tepat pada gelang Gandiwa.

Ernesto berada di kanan, kemungkinan karena ia mengincar titik butaku. Senyum Ernesto melebar ketika ujung lain tombaknya mengayun ke arahku, lebih tepatnya ujung tombak yang bermata tajam. Namun ini bukanlah pertama kalinya aku melihat trik ini, sehingga aku segera merunduk dan menyapu kakinya.

Pria berambut merah itu terjungkal untuk kedua kalinya, melempar senjatanya sejauh beberapa meter secara tidak sengaja. Aku segera menginjak batang tombak itu, lalu menarik dua ujungnya hingga tombak itu patah menjadi dua bagian dan menguap menjadi gas merah.

Mengetahui senjatanya telah hancur, Ernesto meraih tangannya ke samping seakan hendak menarik sesuatu, tapi tidak ada apapun yang terjadi. Sekali, dua kali ia mencoba melakukan hal yang sama, tapi tidak terjadi apapun.

"Sial! Kenapa harus habis di saat seperti ini?!" maki Ernesto, kemudian berlari menjauh dan memakai kemampuan tak terlihatnya untuk keluar dari pandanganku.

Aku melepas nafas lega. Dari perkataannya, sepertinya Ernesto telah memakai semua senjatanya sampai habis, jadi aku tidak harus menghkawatirkan soal dia lagi.

Namun pikiranku salah, sebuah ledakan luar biasa terjadi tepat di arah Ernesto lari, seakan sebuah bola meriam di tembakan ke tempat itu, salju-salju di sanapun berhamburan ke segala arah. Di tempat ledakan itu, sebuah sosok raksasa yang tak asing lagi tengah menancapkan tangannya di tanah seakan baru saja memukul salju di bawah tangannya.

Rusa raksasa yang kubutakan beberapa saat lalu telah berdiri tepat di hadapanku. Hidungnya mengendus sekitar, menandakan ia masih bisa mendeteksi keberadaanku dengan penciumannya.

Kurasa aku tidak ada pilihan lain. Aku harus mengalahkannya sekarang juga.

Aku mengumpulkan Prana pada jari-jariku, lalu berlari menuju raksasa itu. Sebuah benang petir melesat dari jariku ke pundak monster itu, lalu menariku ke arahnya. Dengan dorongan tarikan itu, tubuhku melesat dengan cepat sebelum akhirnya aku memutus jaring itu ketika aku melayang di belakang monster itu.

Dengan cepat aku menembakan benang kedua ke belakang leher raksasa itu, lalu menghimpun Prana untuk teknik terkuatku, Tinju Petir Brajamusti. Ketika tinjuku sudah siap, kubuat benangku menarikku dengan cepat ke leher monster itu sebelum kulancarkan sebuah pukulan berisikan Prana.

Ledakan tercipta dari pukulanku, membuatku terpental dari leher monster itu. Monster raksasa itu mengerang kesakitan, lalu berubah menjadi kemerahan sebelum akhirnya terpecah menjadi partikel-partikel kemerahan.

Aku tersungkur di tanah, perlahan berdiri sambil mengangkat kedua tanganku yang menggantung ke bawah. Terasa sebuah rasa sakit yang sangat amat ketika aku berusaha menggerakan sendi sikuku. Kurasa aku merusak tanganku sendiri.

"Kau terlalu gegabah, Radith" ujar guru Bima, "Bukannya sudah kubilang jurus itu tidak bisa dipakai sembarangan?"

"Maafkan aku, guru Bima, tapi paling tidak rusa raksasa itu sudah tiada. Dengan begini aku bisa bersantai sedikit,kan?"

"Kurasa kau benar" suara menjengkelkan itu terdengar lagi. Namun aku tidak bisa membalasnya karena sebuah pedang yang menembus kerongkonganku. "Aku sudah memikirkannya... menusuk organ di abdomen kurang efektif, jadi aku memutuskan untuk menusuk lehermu saja"

Tubuhku jatuh setelah kakiku melemas, terbaring di atas kolam darahku sendiri. Sebuah tangan merogoh masuk ke kantongku, lalu menarik keluar radarku. Pria itu tertawa lebar sambil menunjukan radarku tepat di depan wajahku.

Suaraku serak, tapi aku memaksa berbicara, "Ernesto... K-Kenapa kau masih bisa..."

"Oh? Jadi kau masih bisa berbicara?" tanya balik Ernesto, "Yah... tadi itu hampir saja, sayangnya karena ini sudah lebih dari satu jam, aku bisa membuat senjata lagi" ujar pria berambut merah itu.

Tanganku berusaha meraih kembali radarku, tapi apa daya, waktuku tampaknya tidak akan lama lagi. Pandanganku mulai kabur dan hal yang terakhir kulihat hanya kegelapan.

***

"Dua radar. Lumayan" gumamku sambil melihat kedua radar di tanganku.

Aku memasukan keduanya ke balik bajuku, lalu menyaksikan peserta berambut ekor kuda itu terpecah menjadi partikel kebiruan yang perlahan lenyap ke langit.

"Kak Radith?"

Oh... aku mengenal suara ini.

Aku membalikan kepalaku ke samping, melihat seorang anak berambut putih tengah berkaca-kaca melihat kepergian dari peserta tadi. Tanpa ragu aku segera menghampiri bocah itu, tapi seperti yang kuduga, bocah itu kabur.

Dahiku mengkerut ketika aku mengingat apa yang ia lakukan padaku di awal pertandingan. Sekarang aku punya enam kali penggunaan pembuatan senjata, tidak ada yang bisa menghentikanku.

Beberapa rusa monster yang datang menghampiriku meski dalam terluka parah karena pertarungan sesama teman mereka. Monster-monster ini tidak akan bisa mengejarku, tidak dengan kaki pincang dan tangan yang sudah lemas seperti itu.

Tiba-tiba tubuhku berhenti. Darah mengucur dari bajuku dan turun hingga membasahi salju di kakiku. Kornea mataku membesar seketika melihat sebuah pedang besi yang bercatkan darah tampak mencuat dari dadaku.

Sebuah suara menggetarkan terdengar,"Aku dengar kau suka menusuk orang dari belakang..."

Sebuah tangan mendorong tubuhku hingga pedang itu terlepas dan aku terkapar di atas tanah. Pemilik pedang itu tiba-tiba diselimuti oleh kotak-kotak berwarna abu-abu, lalu menyusut menjadi sosok yang sangat mirip denganku, kecuali wajah tanpa mulut yang berhiaskan mata hijau menyala.

"...Jadi aku menusukmu duluan"

"S-Siapa kau?"

"Aku? Bukannya kita sudah pernah bertemu?" tanya balik sosok itu, "Namaku Renggo Sina, sang robot peniru"

Aku tercengang mendengar nama itu. "Sang Robot Peniru" itu bisa menjelaskan wujudnya yang seperti diriku, tapi aku tidak bisa menerima kalau dia baru saja menusuku dari belakang. Tanpa ragu ia memungut radar Reviss dan peserta bernama Radith yang telah kuperoleh sia-sia.

Di saat seperti ini robot itu tiba-tiba memegang kepalaku, dapat kulihat sebuah benda merah seperti gasku merayap melalui tangannya, lalu sebuah gas berwarna hijau merayap kembali ke kepalaku. Begitu ia selesai, ia melepas tangannya dan membiarkan kepalaku jatuh ke salju.

"Tenang saja, seranganku tidak akan membunuhmu" ujar Renggo, "Tapi monster-monster itu tampaknya sedang lapar" ucapnya, kemudian berbalik dan pergi begitu saja.

Suara derap kaki monster rusa mengerumuniku. Dengan menggunakan sisa kekuatan yang kupunya, aku membuat sebuah tombak, lalu menggunakannya sebagai alat bantu berdiri.

Aku tahu semua ini akan sia-sia... kalaupun aku berhasil, tidak akan berguna untuku. Namun aku tidak bisa membiarkan ini berakhir di sini saja!

"Namamu Renggo,kan?" tanyaku. Pertanyaanku membuat peserta itu berbalik padaku.

Sebuah tombak kedua tercipta di tanganku, lalu kulempar hingga menghujam robot keparat itu tepat di mata mekanik di dadanya. Mata mekanik sialan yang membuat kemampuan menghilangku seperti pecundang.

Robot itu melemas, matanya berubah menjadi merah dan ambruk bersamaan denganku. Namun dugaanku meleset, karena luka yang kuterima ini lemparanku tidak cukup kuat untuk menembus dadanya, hanya mata sialan itu.

Para monster telah cukup dekat... kurasa inilah akhirnya...

--10--
The Bullied Child, Lo Dmun

Pemandangan sekitarku berubah lagi tanpa sepenetahuanku. Kini aku berada di kawasan padang salju yang lebih dekat dengan reruntuhan kota dan terdapat beberapa monster rusa di sekelilingku. Para monster itu mengerubungi sebuah mayat pria berambut merah yang kutemui di awal ronde, Ernesto.

Ini pasti ulah si Opi! Kejadian ini seperti di terjadi sebelum ronde penyisihan ketika Opi memakai "Forced Comand" untuk membuatku menculik Alicia dan Halia.

"Opi? Opi? H-Hei! Opi! Apa yang terjadi?!" teriaku.

Namun tidak ada jawaban, mata mekanik di dadaku telah rusak karena sesuatu. Apa itu berarti aku harus menyelesaikan ronde ini sendirian? Aku segera meraba ke dalam tasku dan mengeluarkan beberapa radar. Lima, sudah ada lima radar termasuk punyaku, itu berarti hanya ada satu radar saja yang belum kudapatkan.

"Lo Dmun Faylim" gumamku, menyebut nama peserta yang belum ada di antara kelima radar itu.

Aku segera memakai radarku untuk mencari posisi anak itu yang ternyata tidak terlalu jauh. Tanpa membuang waktu lagi, aku meninggalkan para monster rusa dan menuju ke tempat peserta terakhir.

Setelah beberapa menit, sampailah aku pada sebuah bangunan yang setengahnya telah terbenam di bawah longsor salju sehingga hanya lantai keduanya saja yang masih tampak di atas salju. Entah mengapa, bangunan ini tidak begitu asing bagiku. Atau mungkin ini Cuma perasaanku?

Aku menepis pikiran trivial itu dan segera masuk ke dalam bangunan itu melalui salah satu jendela rusak. Aku muncul di sebuah lorong dengan sebuah tangga yang menuju ke bawah di samping jendela yang kumasuki, tapi telah tertutup oleh salju longsor.

Dengan segera aku menuju ujung lorong, lalu berbalik ke ruangan paling pojok. Seorang anak kecil berdiri di sisi lain ruangan, memegang sebuah remote dengan tangan gemetar. Aku tidak tahu kenapa, tapi terdapat sebuah lubang besar di lantai kayu ruangan ini yang berisikan salju dari lantai pertama.

"Lo Dmun Faylim" panggilku, "Tolong berikan radarmu padaku. Dengan begitu aku tidak harus melawanmu" ujarku.

"Tidak!" ujarnya sambil merentangkan tangannya padaku, "Aku tidak mau kembali ke tempat asalku! Tidak tanpa memenangkan hadiah turnamen ini! Tidak sampai keinginanku terwujud!"

"Memangnya apa keinginanmu? Kenapa kamu menginginkan hadiah turnamen ini?" tanyaku, penasaran.

"Di dunia asalku aku anak paling kecil di kalanganku, belum lagi keluargaku yang miskin. Karena dua alasan itulah aku sering diledek dan diperlakukan semena-mena!" ujar anak itu, "tapi kalau aku punya tubuh yang lebih besar dan keluarga yang lebih kaya, aku yakin semua akan berubah!"

"Kalaupun kau memiliki tubuh besar dan keluargamu menjadi kaya, aku yakin tidak ada apapun yang akan berubah" kata-kata itu terlepas dari mulutku, "Apa kau tahu penyebab seorang anak sering diperlakukan seperti dirimu? Bahkan jika anak itu bertubuh paling besar dan anak paling kaya?"

Lo dmun menggeleng atas pertanyaanku. Entah apa dorongan yang kupunya, aku membentuk sebuah pedang dari gas Auro Ernest, lalu mengacungkannya pada anak kecil itu.

"Itu karena mereka diam saja!"

Tanganku bergerak bagai kilat, menyambar sehelai rambut di samping kepala Lo Dmun. Anak itu semakin gemetar, lalu terduduk karena takutnya.

"Dalam kasusmu, dirimulah yang salah! Lihat saja dalam pertarungan tadi, apa saja yang kau lakukan? Kebanyakan kau hanya berlari saja! Kau tidak mau melawan, itulah kenapa kau selalu menjadi target empuk untuk dibully!" ujarku.

Mendengar perkataanku, Lo Dmun langsung menutup tudung dari jaket saljunya. Aku dapat mendengar samar isak tangis anak ini.

"Kalau kau tidak suka, lawanlah! Bicaralah! Jangan mau diam saja!" seruku.

"AKU TIDAK SUKA!"

Lo Dmun berdiri dari tempatnya, lalu mendorongku menjauh dengan tangan kecilnya. Tentu saja, aku hanya mundur beberapa langkah untuk membuat sedikit ruang di antara kami. Namun satu hal tidak terduga terjadi, lubang bersalju tiba-tiba mengeluarkan sebuah ledakan yang begitu kuat sampai membuatku terlempar keluar dari atap rumah itu.

Aku kembali jatuh ke bawah, menghantam tumpukan salju di bawahku hingga beberapa meter ke bawah. Tanpa basa-basi aku merayap keluar dari lubang saljuku, lalu keluar di tempat yang tidak jauh dari rumah perembunyian Lo Dmun.

"Peledak? Dari mana ia mendapatkannya?" tanyaku pada diriku sendiri.

Aku ingat jelas telah mengambil semua peledak yang ia pasang di rumah yang kumasuki saat kami bertemu pertama kali dan memasukannya ke dalam plastik besar. Tidak mungkin ia kembali ke rumah itu dan mengambil semua peledak itu,kan?

Atau jangan-jangan... Tsch... pantas saja interior rumah itu tidak asing bagiku. Rumah itu adalah rumah yang sama, rumah di mana kami pertama kali bertemu.

Rumah itupun tersulut oleh api akibat ledakan itu. Lo Dmun keluar dari rumah itu sambil menggengam sepotong kayu berapi. Namun seperti dugaanku, Lo Dmun keluar dengan sebagian tubuhnya berlumur darah karena ledakan itu.

"Akhirnya memutuskan untuk bertarung?"

Lo Dmun tidak menjawab. Matanya masih berlinang air mata, tapi dapat kulihat kobaran semangat di balik linangan air mata itu. Ia menggengam erat kayu yang ia pegang, lalu membentuk kuda-kuda seakan kayu itu adalah sebuah pedang.

Aku langsung menerjang ke arahnya. Pedangku menebas turun ke arahnya, lalu ia menahan dengan kayu di tangannya. Atau setidaknya itu yang aku pikirkan. Begitu pedangku dan kayunya bertemu, Lo Dmun melompat ke samping, lalu meraih pundakku yang harus turun saat menyerang karena perbedaan tinggi kami.

"Apertis!" serunya.

Sebuah lubang tiba-tiba tercipta di pundakku, membuatnya semakin rapuh, tapi masih cukup baginya untuk melempar dirinya melesat ke atas. Begitu ia menghempaskan tubuhnya, tangan kanankupun terputus dari pundaku.

Aku segera membuat pedang baru di tangan kiriku, lalu menoleh ke atas. Anak itu melempar dirinya secara vertikal, jadi jika ia turun, maka tempat jatuhnya adalah tepat ke arahku. Aku menyiapkan kuda-kudaku untuk membelah anak itu, tapi aku terkena tipuannya.

Api dari kayu yang ia pakai menyebar di sekitar kakiku, entah dari mana ia mendapatkannya, tapi penyebaran api ini hanya dapat terjadi kalau ada minyak tanah. Namun bukan itu yang menakutkanku, tapi karena salju di kakiku memeleh menjadi air.

Karena pijakanku tidak lagi stabil, akupun terpeleset, lalu terjatuh  tepat di tempat yang ia inginkan. Aku hendak menyingkir, tapi kakiku tidak mau merespon karena terganggu oleh air lelehan salju.

Lo Dmun turun tepat di tubuhku, lalu meletakan tanganya pada perutku sebelum mengucapkan manteranya, "Aspertis!"

Sebuah lubang tercipta di persimpangan kakiku, membuatku terputus dengan kedua kakiku. Ia mengucapkannya lagi dan lagi hingga tubuhku hanya tersisa dada dan kepalaku saja.

"Satu lagi maka semua ini akan berakhir!" seru Lo Dmun.

Seakan baru saja lepas dari pengaruh kesurupan, aku menyadari hal yang telah kulakukan semenjak beberapa menit lalu sangat bertolak belakang dengan karakterku. Entah apa yang membuatku berpikir begitu, sekarang akulah yang akan mati!

Sebuah dentingan ringan terdengar di atas besi dadaku. Ketika aku melihat benda yang ia letakan, aku terkejut setengah mati. Itu adalah radarnya sendiri. Aku malah bingung kenapa ia meletakannya di sana. Bukannya berarti dia sudah menyerah?

"Terima kasih" ujar Lo Dmun, tapi isak tangisnya terdengar jelas sekarang, "Solvo"

Setelah rapalannya, tubuhku yang hilang karena kemampuannya kembali lagi ke tempatnya semula. Yah... kecuali tangan kananku dan kedua kakiku yang terputus dari tubuhku.

"Terimakasih... karena kaulah aku bisa begini... aku tidak kabur lagi! Dan aku menang!" ujar Lo Dmun, tangisnya semakin tidak teratur, "Aku... Sekarang aku tahu aku tidak harus takut dengan siapapun... bahkan anak-anak yang sering membullyku!" ucapnya dengan senyum di wajah.

"K-Karena aku?"

"Kalau kau tidak suka, lawanlah! Bicaralah! Jangan mau diam saja!" ujar anak itu, menirukan perkataanku ketika ia terpojokan di rumah kayu itu, "Kalau saja kamu tidak mengatakan itu... mungkin aku tidak akan berani melawanmu" tambahnya.

"Tapi... bukannya kamu masih mau mendapatkan hadiah turnamen? Supaya keinginanmu terkabulkan?" tanyaku.

"Perkataanmu memberiku keinginan untuk tidak diam... keinginan untuk bangkit dan melawan! Kalau aku mendengar kalimat itu, aku merasa lebih berani dari sebelumnya! Itulah keinginanku yang sebenarnya! Supaya aku bisa berdiri tegak menghadapi anak-anak yang sering membullyku!" ujar Lo Dmun.

Tiba-tiba sebuah layar hologram muncul di depan kami, layar itu menyatakan bahwa pemenang ronde ini adalah aku, Renggo Sina. Perlahan tubuh kami mulai berpendar menjadi partikel biru. Sesaat sebelum kami menghilang, aku dapat melihat senyum lebar dari Lo Dmun.

Yah... Kurasa aku bisa berguna sekali-kali,kan?


Renggo Sina : Badai Salju di Kota Matahari, "Los Soleil"
- END -





7 comments:

  1. Ada lumayan typo dan penggunaan tanda baca yang bertebara, tapi untuk itu mungkin bisa aku wajarin karena memang entrynya 15K words, jadi pasti pusing ya ngeproofreadnya. Yang agak jadi masalah buatku adalah pembagian part dan perubahan point of viewnya. Dalam 1 part bisa ada beberapa point of view 1 yang digunakan, tapi kurang jelas pembedaannya, jadi terkadang bikin bingung, ini pov siapa, atau 'oh, uda ganti pov toh' setelah baca sekian paragraf. Yang mana hal itu mengurangi pemahamanku pada keseluruhan alur cerita.

    Mengesampingkan typo, penulisannya rapi. Adegan pertarungannya juga detil, Somehow yang paling berkesan buatku adalah pertarungan yang awal-awal antara Renggo ma Ernest. Yang aku ga sreg endingnya Lo Dmun nyerah kayak gitu, berasa kurang greget, rada-rada Deus Ex Machina.

    Nilai : 7

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya saya memberi jeda *** untuk setiap penggantian PoV, lalu saya kasih hint siapa yang sedang dipakai, jadi saya kira pembaca bisa menduga sendiri PoV, tapi dari kegagalan ini mungkin seharusnya saya ganti PoV pada pergantian Bab.

      Hrm... itu niatnya saya buat Lo Dmun itu menyerah karena tujuannya sudah terpenuhi, sehingga ia tidak punya tujuan lagi bertarung di turnamen ini.

      Terimakasih telah berkomentar!

      Delete
  2. Mungkin faktor karena pake pov1 ya, tapi saya ngerasa dari awal ada kebanyakan overabuse pake -ku.

    Begitupula >> pisah
    Ku ambil >> sambung

    Saya kira model Vajra gitu lumayan panjang preludenya, tapi ternyata di Renggo ini lebih panjang lagi ya. Terlebih karena masih ngurusin temen prelim yang kayaknya udah ga mungkin dapet jatah muncul lagi habis ini

    Aku menginjakkan kakinya >> kok janggal ya

    Wait bab 3 ini ganti pov karakter? Transisinya kurang nih, kirain bakal dari Renggo terus (dan pov1 pula). Dan ternyata seterusnya ganti" lagi.... Buat saya kalo boleh saran begini mah mending pov3 aja. Jumlah kata ngebengkak pasti karena pov1 tapi multiple, padahal pov1 biasa aja bisa ribut sendiri (kayak Vi atau Caitlin)

    Battlenya padet terus - ini bener" jadi ciri tim Los Soleil ini kayanya, semua modelnya sama - dan panjang banget, namun sayang saya kurang bisa nangkep pembagian ide utama tiap bab, mungkin kecuali bagian akhir di mana itu emang last battl

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Wah, mas Mocha biasanya pakai pov 3 tapi sekarang beralih ke pov 1 nih. Mungkin karena baru pertama kali coba makanya masih banyak kekurangan. Ada saat dimana ganti pov tapi pergantiannya kurang terasa, sempat mikir itu tetap dari pov renggo, mungkin bisa kasih tanda "Renggo's pov" atau semacamnya supaya lebih jelas. Ada beberapa typo juga. Tapi sebagian besar plot dan narasi sudah sip.

    Final answer : 8
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
  4. Aku ngebaca komen di atas, apa aku doang ya yg cepet ngeh ini POV siapa itu POV siapa .-.

    Aku demen bacanya, pergantian POV-nya enak diikutin. Cuma jadi agak kurang fokus menurutku, sempet hilang arah dan bingung tokoh utamanya sebenernya siapa pas di tengah2. Tapi tetep enak, jelas banget narasinya. Aku sih sepakat sama yg lain, pembagian POV mungkin bakal lebih enak kalo dibikin jelas per bab.

    Makin ke belakang makin banyak typo yang ke-notice sama aku, diksinya juga mulai terasa aneh. Padahal narasinya pas ceritain mimpi itu aku suka banget.

    Paling demen plot awalnya. Memori yang muncul dalam mimpi itu kebayangnya enak, gampang banget dan menarik kayak ada film keputar di kepala. Plot di mana clockworker itu punya rencana khusus juga bikin penasaran. Tim ini bakal muncul lagi di masa depan, meski bukan sebagai peserta. Plot ini sama sekali ga kepikiran di aku, jadi menarik buatku krna ini hal baru banget. 'Ketimbang ngilangin mereka gitu aja, gimana kalo dijadiin bagian dari cerita?' kind of thinking. XD

    Masa lalu Lodun yang dibully, dieksploitasi apik di sini meski bukan ini yg kumaksud pas bikin charsheet XD Apa krna aku parentsnya lodun ya, tapi aku ga ngerasa nyerahnya Lodun itu maksa atau gimana. Walau lebih pengen dia bener2 dikalahin dengan epik sih, tapi gapapa. Tetep suka.

    Aku berharap cerita berikutnya nanti bisa jelas, clockworker itu mau ngapain >_<

    8/10 dari aku :D

    ~JFudo
    ~Lo Dmun Faylim

    ReplyDelete
  5. saya bingung loh.. bneran
    perpindahan pov-nya rada bikin aku susah buat ngerti cerita.
    itu bagian tiba-tiba muncul pria misterius ;lalu renggo dan halia menghilang juga bingung.

    dialog pas renggo dan lo dmun bertarung pertama kali juga sempet nggak ngerti.


    after all, adegan pertarungan dan plotnya bagus menurutku. kekurangan POVnya bisa sedikit tertutupi

    nilai 7
    reviss

    ReplyDelete