10.6.15

[ROUND 1 - TEAM G] LADY STEELE - UNYIELDING

Lady Steele - Unyielding
Penulis: Fachrul R.U.N

0
Semua ini terasa seperti mimpi. Baru satu jam lalu Steele mengalahkan gelombang monster tak terbatas untuk menyegel kuda api mengerikan. Seharusnya Steele tak mampu bertarung lagi setelah itu. Bagaimana tidak? Staminanya terkuras habis, satu kakinya patah, dan ia luka-luka. Dengan peralatan medis modern pun itu jenis cidera yang butuh satu tahun lebih untuk ditangani.
Namun saat Nessa membawanya kembali ke Alforea, tak ada bekas pertempuran di tubuhnya. Debu dan pasir yang melekat di kulitnya? Hilang. Lubang dan bekas sobekan di pakaian spandeksnya? Sirna. Kaki patahnya? Kembali seperti sedia kala. Bukannya lelah, ia malah merasa lebih segar dibanding saat ia baru datang, seakan ia baru saja memulai hari dengan diperkuat kafein. Yang tersisa dari pertempuran itu hanya kenangan.

Kemudian, hanya selang seperempat jam dari saat ia meninggalkan gurun, Nessa menanyakan apakah dia sudah siap untuk ronde berikut. Sangat mendadak, tentu. Tapi untuk apa berlama-lama? Kalau tak ada cidera dan kelelahan yang menghambat, Steele akan terus bertarung.
Kini Steele berdiri di halaman depan sebuah benteng. Bulan raksasa Alforea masih menguasai langit malam, memberikan sedikit penerangan. Di belakangnya berdiri tembok besar penuh lumut; beberapa bagiannya telah retak, membangkitkan kesan kalau struktur pelindung itu dapat rubuh dengan mudah. Tepat di depannya berdiri bangunan utama.
Seperti tembok pelindungnya, bangunan itu didirikan dengan bata berwarna hitam, membangkitkan kesan kelam. Bentuknya seperti balok raksasa, yang Steele perkirakan terdiri dari setidaknya empat lantai. Kondisi bangunan ini masih bagus, tak terlihat bekas hancur di manapun. Namun tidak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam.
“Ini adalah benteng Sammeriil…” Nessa, yang sekali lagi menjadi pengantar Steele, berbicara. Dia berdiri di belakang juara dunia IFWL itu, sabuk kejuaraan Steele bersandar di pundaknya. “Ketimbang sebagai pos militer, Yang Mulia Tamon Ruu membangun ini untuk seleksi.”
“Apa yang dia seleksi?”
“Kesatria Ratu. Kelompok elit yang senantiasa melindunginya, baik di depan umum maupun di balik bayangan,” Nessa menerangkan. “Karenanya kami sengaja membangun benteng ini penuh perangkap, monster, dan halusinogen.”
Di balik topeng putihnya, Steele mengernyit. “Halusinogen?”
“Ya, ada lumut khusus yang tumbuh di dalam dinding benteng. Didukung oleh minimnya penerangan dan tingginya ancaman, bau khas dari lumut ini berpotensi membuat kandidat dihantui halusinasi. Lagi pula, Yang Mulia Tamon Ruu menghendaki kesatrianya kuat secara fisik dan mental. Begitu pula Sammeriil.”
“Pendiri benteng ini?”
“Ya.”
Halusinasi. Rasanya langsung ada sekumpulan kurcaci menari di atas lambung Steele. Ia pastikan untuk mengingat info itu baik-baik. Ia tidak takut menghadapi musuh yang hanya bisa membahayakannya secara fisik, tapi halusinasi? Itu berarti antara dia disuguhi imaji-imaji dari persepsi Sammeriil, yang lebih mudah dihadapi, atau ia harus menghadapi gambaran yang diciptakan otaknya sendiri. Ia tidak menyukai kemungkinan kedua.
“Misimu di benteng ini sederhana: singkirkan peserta lain. Pertarungan bersifat free for all tanpa waktu. Dalam pertarungan, kamu hanya bisa membunuh atau membuat lawanmu tak sadarkan diri untuk dinyatakan menang. Tapi, kontestan bisa membunyikan lonceng menyerah yang ditaruh di sepanjang benteng ini untuk langsung pulang. Tentunya, poin untuk tindakan pengecut seperti itu akan sangat rendah.”
“Cukup sederhana.” Steele meremas-remas tinjunya. “Terima kasih atas infonya.”
“Sudah kewajiban saya menyampaikan,” kata Nessa, menjura.
“Kalau tidak merepotkan, tolong jaga lagi gelar juaraku. Jangan sampai hilang.” Kaki telanjang Steele pun mulai membawa perempuan perkasa itu maju, menuju pintu depan benteng yang terbuka lebar.
Steele mendengar Nessa menjawab, “Baik. Saya akan di sini untuk memastikan tak ada anomali seperti sebelumnya.”
Merasa tak perlu menoleh, Steele hanya mengangkat jempol kanannya, ingin menunjukkan apresiasinya terhadap bantuan Nessa. Ia dengar bisik-bisik tadi kalau seharusnya musuh yang ia hadapi di babak penyisihan lebih lemah dan sedikit. Kemunculan kultis monster penyembah Tamon Rah itu di luar dugaan, membuat Nessa beranggapan ada seseorang yang mencoba mengacaukan turnamen antar dimensi ini.
Kalau pihak misterius itu mencoba merecoki ronde pertama ini juga, gangguan macam apa yang bisa mereka berikan?
Dengan langkah yakin Steele melewati pintu, menantang isi benteng itu tanpa rasa takut.
1
Selain enam pilar yang berdiri kokoh, Steele tak menemukan apa-apa di ruangan pertama. Tak ada perabotan, tak ada orang selain dirinya, bahkan tak ada hewan. Suara yang bisa ia dengar hanya sayup-sayup sesuatu terayun, sementara yang ditangkap hidungnya hanyalah bau apak. 
            Namun, sudah diperingatkan Nessa tentang apa yang akan ia hadapi, Steele tetap waspada. Matanya terus tertuju ke bawah, dibantu oleh cahaya yang masuk dari pintu benteng. Dengan teliti ia mencari apakah ada permukaan lantai yang ganjil, atau tali terjulur yang bisa menjatuhkannya atau meluncurkan sesuatu. Ternyata tidak ada, jadi ia terus melangkah.
            Suara ayunan terdengar semakin kuat di ruangan kedua. Bau apak kini tertindih oleh aroma yang lebih manis, mengingatkan Steele pada peppermint. Namun, karena sudah jauh dari sumber cahaya yang terbatas ia tak bisa melihat apa sumber suara dan bau itu.
            Ada sesuatu menantinya di lantai: lentera listrik bertenaga baterai. Seharusnya ia tidak heran, toh ia bertarung di alam lain yang tampaknya telah menguasai penyembuhan instan. Tapi karena sebelumnya ia bertarung dengan pasukan berpedang, dan kini ia sedang menjelajahi benteng medieval, benda “sederhana” seperti itu agak mengejutkannya juga.
            Sudah mulai jauh dari cahaya luar, Steele kesulitan melihat. Karenanya ia langsung menyalakan lentera listriknya, tak keberatan kalau kontestan lain menemukannya. Ia bukan orang yang lari dari pertarungan, tak peduli seburuk apa kondisinya.
            Warna biru cahaya lentera mulai menyinari sekeliling, memungkinkan Steele melihat. Di kanannya, tergantung di dinding, ada sebuah lonceng. Mungkin itu lonceng menyerah, mungkin juga bukan, tapi Steele tak mau menyentuhnya.
Steele juga melihat dinding itu, juga yang di kirinya, dipenuhi oleh lumut berwarna ungu. Ia mengendus, menyadari dari sanalah bau wangi yang ia hirup berasal. Mengingat wanti-wanti Nessa, Steele langsung tersenyum getir. Oh, pikirnya, ini toh sumber baunya.
            Selanjutnya Steele beralih menatap ke depan. Pemandangan yang menantinya cukup mencekam… dan itu bukan halusinasi. Untuk mencapai ruangan selanjutnya, Steele harus melintasi jembatan batu sempit. Kalau ia berjalan dengan normal, mungkin hanya ada sisa lima senti saja antara kakinya dengan sisi struktur itu. Kalau ia diizinkan melangkah santai sih tidak apa, namun sudah pasti akan ada sesuatu yang menantinya.
            Suara terayun yang sudah Steele dengar sejak di ruangan pertama berasal dari pendulum pedang, yang terus terayun. Ia perhatikan ada empat pendulum menantinya. Pendulum pertama dan ketiga bergerak dari kiri ke kanan, sementara pendulum kedua dan keempat bergerak sebaliknya. Tapi gerakan pendulum ini lambat, dan ada jarak yang cukup antara satu sama lain, hingga ia pasti bisa melewatinya kalau hati-hati.
            Seorang anak tertawa di belakang Steele.
           
            Juara dunia IFWL itu langsung balik badan, memastikan tak ada monster atau peserta yang menantinya di sana. Tapi tak ada siapa-siapa. Ia mendecak, sadar kalau efek lumut sudah bekerja. Sebaiknya ia bergegas.
            Steele mulai menapaki jembatan. Derai tawa terdengar dari belakang, namun kali ini ia tak menoleh. Ia amati pergerakan pendulum pedang dengan hati-hati. Saat rintangannya itu sedang terangkat, ia melewatinya dan berhenti sebelum pendulum kedua menebasnya.  
            Jembatan batu sempit sirna, digantikan lantai keramik. Bau apak dan wangi lumut juga hilang. Yang menguasai hidung Steele sekarang adalah aroma obat-obatan khas rumah sakit… karena sepertinya ia memang berpindah ke rumah sakit modern. Ia bahkan dapat mendengar rangkaian bunyi “bip” dari elektrokardiogram.
            “Ah bangsat!” umpat Steele.
            Di depannya ada ranjang dorong rumah sakit. Sesosok tubuh kecil terbaring di atasnya. Lengan kiri dan kedua kakinya hilang, dan sisi kiri wajahnya tergores oleh aspal. Tak ada selimut menutupi tubuhnya, memperlihatkan anak itu tak lagi memiliki kaki.
            Di kiri ranjang dorong, berdiri seorang dokter tua. Di kanan ranjang, Steele melihat Rin Komori, sosoknya sendiri yang berdiri tanpa topeng.
            “Kami berhasil menyelamatkan nyawanya, tapi jujur kami tidak tahu apakah dia bisa kembali sadar,” ujar sang dokter dengan nada pilu. “Polisi bilang dia tergilas mobil saat bermain di jalan? Apa yang Anda lakukan saat itu?”
            Rinko Walters, anak Steele satu-satunya, tidak pernah tergilas mobil. Ia juga tidak pernah ditendang dan dianiaya oleh pengasuh anak. Kejadian-kejadian seperti itu murni hanya ketakutan Steele, terutama setelah anaknya lompat dari lantai dua hanya agar bisa lebih lama bersama ibunya.
            Steele benar-benar takut itu akan terjadi. Namun ia lebih takut lagi pada satu fakta: bahkan saat anaknya harus dirawat karena patah kaki, ia lebih memilih bertanding ketimbang menemaninya. Saat akhirnya ia memutuskan bercerai, ia pun tak ragu menyerahkan putrinya itu ke suaminya, yang jauh lebih pantas mengasuh anak. Bahkan hakim dan pengacaranya pun terkejut dengan keputusannya.
            Ini tidak nyata. Steele memfokuskan indera-inderanya, terutama pengelihatan, pendengaran, dan penciuman. Bau lumut masih ada di sekelilingnya. Pendulum masih bergerak dengan pasti di hadapannya. Jadi ia melangkah, mempercayakan diri ke persepsinya sendiri…
           
            Bilah pendulum nyaris menebas punggungnya, namun ia berhasil lolos. Tinggal sisa dua lagi sekarang. Ia hanya harus fokus…
            Namun kini ia melihat seorang wanita tua di atas kursi roda. Wanita itu duduk sendirian menatap ke luar, sementara di belakangnya dua gadis berpakaian suster mengobrol.
            “Nggak ada yang menjenguk ya?”
            “Yah, dulu dia memang terkenal. Tapi ternyata dia nggak benar-benar punya sahabat. Keluarganya pun nggak suka sama dia, jadi gitu deh.”
            “Kasihan banget…”
            “Mau gimana lagi? Pegulat kaya dia mah, habis cidera permanen begitu nggak bisa ngapa-ngapain lagi.”
           
            Berisik! batin Steele marah. Apa yang memunculkan halusinasi ini mengira ia akan terpengaruh? Tidak! Ia sudah tahu konsekuensi dari gaya hidupnya. Tidak mungkin ia tiba-tiba akan menangis meraung-raung hanya karena ia diperlihatkan kemungkinan masa depan! Terutama karena ia sudah memikirkan sendiri semua kemungkinan ini!
            “Apaan…” Seseorang berkata. Dari sudut kiri matanya, Steele melihat seorang pria tua berambut gondrong. “Jangan sok kuat, Rin Walters.” Suara itu memanggil nama yang telah Rin tinggalkan sejak ia cerai. “Kamu bahkan tak dapat mengatasi kelemahanmu sendiri.”
            Abaikan, pikir Steele. Ia dapat merasakan pergerakan pendulum ketiga dan melewatinya. Halusinasi visual, audio, hingga bau yang menguasainya pun perlahan surut. Ia bisa mengatasi ini.
            Pria tua yang tadi ada di sudut matanya muncul di hadapan Steele. Jemarinya yang kering meraih topeng Steele dan merobeknya. “Kamu hanya bersembunyi di balik topeng ini!”
           
            “Wajahku!” seru Steele, refleks menjulurkan lengan untuk meraihnya, tak sadar kalau topeng putihnya masih melekat di wajah. Ia juga tidak menyadari keberadaan seorang gadis berambut biru, yang berdiri di lantai atas, mengamatinya lewat pagar pengaman tanpa penerangan lentera.
            Senapan unik si gadis berambut biru mengeluarkan suara berdengung. Baru Steele sadar ia dalam bahaya. Kepalanya mendongak bersamaan dengan saat sang gadis menarik pelatuk.
            Pendulum pedang terayun, menghalangi laju peluru. Tapi luncuran senapan tadi melaju dengan begitu kuat dan cepat hingga bilah besi pun tertembus, menyisakan lubang rapi.
Serangan itu lanjut menghantam pundak kiri Steele. Kekuatannya begitu hebat, hingga Steele sampai tersentak ke kanan, keluar dari jembatan… menuju lubang menganga di bawahnya.
2
Lentera listrik yang Steele pungut pecah jadi tiga bagian saat menyentuh lantai. Bagian lampunya pecah dan plastik penahannya retak, memastikan benda itu tak bisa digunakan lagi.
Kalau saja daya tahan fisik Steele tidak meningkat, ia pasti sudah hancur juga. Berkat kekuatan supernya, ia yang tengah terbaring tengkurap di atas permukaan berair itu masih hidup. Sekujur tubuhnya sakit dan kepalanya nyut-nyutan, tapi jantungnya masih berdetak normal, darahnya masih terpacu, aliran nafasnya bekerja, dan kesadarannya aktif.
Pundak kirinya tak seberuntung itu. Steele menyentuh bagian tubuhnya yang tertembak dan menemukan lubang seukuran ujung telunjuknya di sana. Takut-takut ia meraih bagian belakang pundaknya, ingin melihat seberapa parah kerusakan yang diciptakan peluru tadi saat menembus tubuhnya. Namun ternyata lubang keluar dan lubang masuk peluru berukuran sama. Itu bukan senjata biasa.
Peluru biasa memang tak akan mampu menembus bilah baja semudah tadi. Bahkan daya tahan super milik Steele saja jadi tak berguna. Ia melongok ke atas, menatap jembatan yang baru saja ia tinggalkan. Kabar baiknya: sang penembak jitu tampaknya tidak menyangka Steele masih hidup, sehingga Steele bisa bergerak dengan lebih hati-hati dan menyerangnya.
Kabar buruknya lebih banyak. Steele sama sekali tak bisa merasakan lengan kirinya, jadi ia harus melanjutkan ronde ini dengan lengan kanannya saja. Sudah begitu, waktunya pun mendadak jadi sangat terbatas. Ia melihat ke sekeliling, dan ia hanya menemukan genangan air serta kegelapan. Bahkan tak ada kain untuk menutup lukanya, padahal darahnya terus mengucur dari depan dan belakang lubang.
Kalau gitu ngapain diam aja?
Steele berdiri dan memutuskan memulai perburuan, walau ia tak bisa melihat jelas. Langkahnya pun terpincang, sementara lengan kirinya tergantung kaku di sisi tubuhnya. Ia tak keberatan harus bertarung dengan cacat seperti ini. Yang seperti ini justru menambah tantangan. Hanya saja, ia harus benar-benar berhati-hati mulai dari sekarang. Satu-satunya yang ia ketahui soal lawan-lawannya adalah Asep tidak ada di antara mereka. Ia bahkan baru tahu ada pengguna senjata api saat ia ditembak tadi!
Steele mulai maju. Awalnya ia masih bisa melihat pendulum dan jembatan di atas, menandakan matanya tidak ikut rusak saat terjatuh. Namun semakin ia menjelajahi area ini, semakin ia tak mampu melihat. Walau matanya sudah terbiasa sekalipun kegelapan ini begitu pekat, tak mengizinkannya menangkap apapun yang lebih jauh dua meter darinya. Ini bisa fatal, namun, tak menemukan cara lain untuk naik, Steele nekat untuk terus maju tanpa tahu arah. Ia hanya mengandalkan suara pendulum yang ia jauhi sebagai patokan.
Akhirnya, ia menemukan tembok batu di kanannya. Steele gunakan tangannya untuk menyentuh permukaan dinding yang dipenuhi lumut, sebagai penopang sekaligus penanda ia sedang berjalan lurus. Matanya tak mau bekerja sama, ia daya gunakan pendengaran dan penciumannya untuk membantu. Namun yang telinganya tangkap tetap suara pendulum di belakang, sedangkan yang diciumnya hanyalah bau gabungan dari air kotor yang ia pijak serta wangi dari sampingnya.
Lima belas langkah kemudian baru penciumannya menangkap aroma lain. Bau anyir ini langsung membuat Steele memikirkan darah. Nyatakah? Ia tak bisa yakin, karena sebelumnya halusinasi lumut sukses membuatnya mencium aroma obat-obatan.
Kaki Steele menendang sesuatu. Bau besi kuat memancar darinya. Perlahan Steele membungkuk. Ia mencoba menggerakkan tangan kirinya untuk menyentuh, namun lengannya tak bereaksi, mengingatkannya akan cideranya sendiri. Jadi ia lepaskan dulu pegangannya ke dinding untuk menyentuh penghalang jalannya…
Tiba-tiba Steele dapat melihat. Itu adalah tubuh seorang gadis muda berambut bob. Ia mengenakan wrestling bra yang terbuat dari spandeks hitam, serta celana ketat super pendek dan bot tarung panjang berwarna sama. Kulitnya pucat dan matanya membelalak. Bibirnya membuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu.
“Cukup! Cukup!”
Seseorang berteriak. Suaranya memantul-mantul di seluruh lorong.
“Belum. Kamu mau kuat, kan?” yang itu terdengar seperti suara Steele sendiri. Dan itu memang suaranya. Yang ini berasal dari sesi latihan khususnya dengan
“Tapi tidak seperti ini caranya!”
“Salah. Memang seperti inilah caranya. Kamu harus melepaskan segalanya, bahkan emosi dan kepribadianmu… agar kamu bisa menjadi mesin penghancur seperti kami.”
Steele meludah. Gadis-gadis itu mendatanginya karena ingin sekuat dirinya. Ia mengabulkan. Ilusi ini bukan jenis yang bisa mengganggunya.
Di IFWL, Steele memiliki kelompok bernama Society of Power. Ia menggunakannya untuk membina habis-habisan pegulat yang ingin bergabung hingga menjadi petarung ideal. Cara-cara yang ia gunakan ekstrim, dan sebenarnya bisa membuatnya ditangkap polisi. Namun tak ada yang berani menindaknya. Bagi manajemen IFWL, Society of Power begitu menguntungkan hingga para petinggi organisasi malah diam-diam mengizinkannya. Bagi mereka, Steele hanya memanfaatkan para pegulat payah dan menempa mereka menjadi lebih baik.
Juara dunia IFWL itu mempercayakan sentuhan tangannya. Yang tengah ia sentuh bukan salah satu anggota latihan khususnya. Ini… wujudnya humanoid, ia punya dua kaki dan dua lengan, namun ia sangat pendek. Perut Steele bergolak membayangkan kalau itu anak-anak. Namun kulit makhluk itu terlalu keras, dan kasar. Kupingnya terlalu runcing dan hidungnya terlalu mancung. Saat ia menemukan rahangnya, gigi-gigi makhluk itu pun terasa tajam.
Penyebab kematian sosok itu adalah benda tajam, yang menyayat dalam torsonya. Steele waspada, curiga kalau pelaku pembunuh masih ada di dekat sini.
“Gadis-gadis itu meminta pertolongan, tapi kau malah menghancurkan mereka…” Steele kembali melihat pria tua tadi di sudut matanya, di tengah kegelapan.
Aku hanya mengabulkan permintaan mereka, jawab Steele dalam hati. Ia tendang pelan-pelan sosok yang ia periksa tadi, agar tak menghalangi jalan, lalu ia melanjutkan melangkah. Aku menghancurkan mereka, lalu menyusun mereka lagi menjadi mesin tempur.
Mesin tempur di situ kiasan tentu. Steele hanya mengubah mereka menjadi petarung dingin yang tangguh, bukan benar-benar cyborg atau sejenisnya.
Kakek tua tadi terus berbicara. “Dan kamu berhasil.” Pria itu tiba-tiba muncul di depan Steele, memegang sebuah manekin. “Kamu menjadikan mereka robot tempur yang berbahaya dengan mencuci otak mereka.” Tangannya melepas wajah manekin itu. “Masalahnya, apakah itu adil? Padahal di balik topengnya, pemimpin mereka hanyalah wanita bongsor yang ketakutan.”
Dari depan Steele datang gerombolan pegulat wanita, semuanya mengenakan wajah manekin. Berbondong-bondong mereka menerjang Steele bersamaan. Steele dapat merasakan beban mereka menindihnya, jemari mereka meraih dan mencakar kulitnya, merobek dagingnya hingga ke tulang-tulang…
Steele terjatuh, menimbulkan suara berdebur keras. Ia kibas-kibaskan tangan kanannya untuk memastikan sosok-sosok khayali itu lenyap. Aku adalah perempuan terkuat di dunia! Beraninya kau menyebutku penakut?!
“Yah, perempuan terkuat di dunia tidak akan bersembunyi dari realita.” Tiba-tiba pria tua tadi menampakkan diri lagi, merobek topeng Steele. Steele kembali panik, tangannya meraba-raba sekeliling. Baru saat ia menyentuh wajahnya lagi ia sadar kalau, sekali lagi, topengnya masih di sana.
Kini Steele berhadapan dengan cermin besar. Ia melihat sosok seorang wanita keturunan Asia Timur, dengan wajah yang mulai dinodai keriput. Dirinya sendiri. Jika ia mengenakan topeng, ia bisa melupakan fakta kalau ia manusia. Kalau ia menindih dalam-dalam kenangan Rin Komori, ia bisa hidup sebagai mesin tempur yang hanya memikirkan hasil di ring gulat…
            Aku ini sudah 36 tahun. Kamu kira argumen ini bisa membuat pendirianku goyah?! batin Steele sambil menggeram.
           
            “Usia bukan pertanda kedewasaan. Orang yang dewasa akan menghadapi realita, bukannya melarikan diri hanya untuk mengejar hobi kekanakannya.”
“Berisik! Berisik! Berisik!” seru Steele marah, sisi tinjunya meretakkan dinding. Kakek khayal itu berhasil membuatnya buang-buang tenaga percuma. “Keluar sini keparat! Keluar!” ia tak lagi peduli apa sosok itu ilusi atau salah satu lawannya. Ia harus mencekik orang itu karena telah mengganggunya sampai sedemikian rupa.
“Orang dewasa juga tidak akan menyelesaikan persoalan dengan adu jotos. Untungnya, ada anak-anak yang bisa mewakiliku untuk menghajar sosokmu yang menyedihkan, Rin Walters.”
Datang suara kecipak dari depan. Ada yang bergerak. Steele meremas lumut, berniat menggunakan orang itu sebagai sasaran kemarahannya.
Untuk sekejap, lorong berair itu menjadi benderang. Sosok di depan Steele menggunakan kemampuannya untuk membangkitkan listrik, membuat Steele dapat melihat sekilas kalau ia tengah berhadapan dengan laki-laki bertelanjang dada yang memegang sepasang sabit. Steele sempat mengangkat kakinya, mengira ia akan tersetrum. Namun orang itu mampu mengendalikan kekuatannya, hingga itu tak terjadi.
“Hei, memastikan aja: yang di depanku ini manusia?” tanya orang itu. Suaranya terdengar muda. Seperti anak laki-laki yang baru saja pecah pita suaranya. “Tadi keliatan kaya babi hutan sih!”
“Ya, aku manusia…” Steele mengerang. “Aku… adalah Lady Steele, juara dunia International Female Wrestling League,” ia memperkenalkan diri secara lengkap. Kode kehormatan pribadinya mengharuskan begitu. “Salah satu peserta Battle of Realms. Kamu?”
Sosok muda itu tertawa. “Nggak enak gak ngebalas perkenalan lengkap itu. Wildan Hariz, pejuang Florian. Peserta turnamen nggak jelas ini, sama kaya kamu.”
“Bagus.” Steele memasang kuda-kuda. “Kamu yang menghabisi semua monster ini?”
Wildan terkekeh. “Ya. Beberapa kali kukira mereka orang beneran sih. Ternyata bukan.” Ada bunyi ayunan benda tajam terayun.
Steele memegangi lukanya. Benar-benar nasib buruk, menghadapi pengguna petir di lorong berair. Tapi misinya adalah mengalahkan semua musuh di sini, jadi apa boleh buat.
“Baik, Wildan. Mari kita bertarung.”
“Yakin?” Wildan mengendus. “Kamu terluka kan? Kamu bau darah tuh. Memang aku disuruh menghabisi seluruh kontestan lain sih, tapi melawan wanita yang sedang terluka itu…”
Steele menggoyang-goyangkan kepalanya untuk melemaskan leher. “Segini saja tidak cukup untuk menghentikan seorang pejuang sejati, Bocah. Kalau kau mau cepat pulang, ayo maju.”
“...apa kamu bilang?”
Tanpa ragu Steele mengulanginya lagi, “Segini saja tidak cukup untuk menghentikan seorang pejuang sejati, Bocah. Apa kau tidak paham?”
Steele memanggil bocah hanya karena itu kata pertama yang terlintas di benaknya. Lagi pula, suara lawan bicaranya memang terkesan muda, dan Steele sudah hampir 40 tahun. Kebanyakan orang terlihat seperti bocah di hadapannya. Namun itu membuat Wildan tersinggung. “Bocah?! Jangan seenaknya sendiri cewek sialan!”
Terdengar rentetan kecipak cepat dari depan Steele. Steele siaga, dapat merasakan ada yang melompat di hadapannya… dan pertarungan berselimut kegelapan pun dimulai.
3
Karena lawannya tak menggunakan kekuatan listrik, Steele tak dapat melihat pergerakan anak itu. Tapi, sebagai veteran pertarungan, ia dapat menggunakan suara untuk membayangkan lawannya. Ia dapat menyusun dengan cepat sosok anak itu tengah melayang di udara, kedua tangannya siap mengayunkan sabit…
Saat Steele menunduk, ia merasakan desir angin melewati tengkuknya. Debur di belakang menandakan Wildan telah kembali mendarat tanpa berhasil mengenai sasaran. Suara nafas dan geraman pemuda itu menunjukkan posisinya sekarang, yang tak sampai 30 sentimeter dari kaki kanan Steele.
Steele menubrukkan bahunya ke pinggang Wildan. Tak mengantisipasi serangan balik itu, Wildan terdorong lima senti dan terjatuh wajah duluan ke genangan.
Steele melompat, mencoba menindih lawannya. Namun ia kurang cepat. Wildan dapat terlebih dahulu mengantisipasi gerakannya dengan berguling ke samping, membiarkan Steele mencium genangan air kotor. Sabitnya lalu bergerak untuk menebas perempuan itu.
Saat Steele menanyakan pada Nessa tentang kekuatannya, gadis pelayan itu menyampaikan, “Bayangkan seluruh bagian tubuhmu dialiri oleh kekuatan. Kekuatan ini memberikan perlindungan total untukmu, dari ujung kaki hingga ujung kepala.”
Steele memutar badan dan mengangkat lengan kanan, membiarkan organnya ditusuk oleh sabit kembar Wildan. Dalam sekejap itu ia membayangkan tubuhnya benar-benar dialiri oleh kekuatan super... dan ia memfokuskannya ke lengannya.
“Sepertinya dalam keadaan standar, kekuatan ini melindungimu dengan merata. Namun kalau kamu memfokuskannya ke satu titik... daya tahanmu di satu titik itu akan menguat drastis, namun di saat bersamaan melemah di titik-titik lain.”
Bagi Steele, lengannya masih terasa normal. Namun, meski ia dapat merasakan sengatan dari ujung dua sabit, lengannya tidak putus. Bahkan goresan pun tidak ada! Cukup bagus mengingat Nessa menambahkan,
“Tapi ini cuma kesimpulan sementara dari ceritamu. Butuh check-up penuh untuk memeriksa kekuatan seseorang yang didapat dari transisi dimensi.
Sepertinya Steele cukup beruntung kekuatannya begitu sederhana.
Steele menyentak lengannya, mengalihkan laju sabit. “Hah?” ia dapat mendengar suara Wildan, yang tak mengantisipasi itu. Steele lalu membiarkan energinya lepas, kembali melindungi merata sekujur tubuhnya, sementara kepalanya menanduk wajah Wildan. Darah dari hidung pemuda itu menempeli rambutnya.
Menurut bayangan Steele, tandukannya tadi membuat Wildan jatuh terduduk, hanya beberapa senti di hadapannya. Debur yang ia dengar dan cipratan air mendukung dugaannya. Jadi ia menerjang ke depan, menubruk sosok tak terlihat di hadapannya. Tubuh jangkung Steele menindih Wildan. Tangan kanannya meraba, awalnya menyentuh dada bidang Wildan, sebelum akhirnya menemukan leher pemuda itu... dan mencekiknya.
           
            Kalau saja aku masih punya dua tangan, pikir Steele. Ada lebih banyak variasi yang bisa ia gunakan untuk melumpuhkan anak itu, termasuk Two-Handed Chokebomb, gerakan pamungkasnya. Namun sekarang ia terpaksa mengandalkan kekuatan fisiknya untuk mencekik, sementara kemampuan supernya melindunginya dari rontaan dan tebasan sabit. Ia tak merasakan sabit Wildan mengiris lengan kirinya yang tak terlindung, menumpahkan lebih banyak darahnya sendiri di lorong.
             Wildan berusaha habis-habisan. Saat ia sadar sabitnya tak mampu menggeser tubuh yang menindihnya, ia mulai memegangi lengan Steele, mencoba melepaskan paksa cengkeraman perempuan itu. Ia bahkan mencoba menggigit jari Steele, namun upayanya tak membuahkan apa-apa. Steele dapat merasakan perlawanan lawannya terus berkurang...
            Saat itulah Wildan, masih memegangi tangan Steele, mengeluarkan serangan listriknya.
            Tubuh Steele yang basah kuyup tak membantunya menghadapi serangan itu. Kekuatan Steele langsung hilang. Wildan dapat dengan mudah mendorong tubuh raksasanya ke samping, hingga mendarat di atas air.
            “Sial. Padahal aku sudah menahan diri...” keluh Wildan sambil terbatuk, tangan kanannya memegangi lehernya yang sakit. Ia kembali memanfaatkan kemampuan listriknya untuk menerangi sekeliling. Tubuhnya juga merasakan sengatan akibat penggunaan kekuatan itu, namun ia mampu menahannya.
            Tidak demikian dengan Steele. Karena matanya dapat beradaptasi terhadap cahaya silau yang ia ciptakan sendiri, Wildan dapat melihat perempuan jangkung itu mengerang dan kejang-kejang karena kembali tersengat... lalu terbaring diam dalam posisi menyamping.
            Perut Wildan berbunyi keras. Ia mulai lapar. Halusinasi yang ia derita sepanjang penjelajahannya di benteng terkutuk ini telah memancing emosinya berkali-kali, membuatnya menghamburkan tenaga percuma untuk menghabisi monster yang kini tak ia yakini betulan ada atau tidak. Nafasnya sesak karena kepala Steele baru saja meremukkan tulang hidungnya. Ia mengangkat sabit untuk menebas wanita itu; sekedar memastikan.
            Lengan Steele kembali terjulur, meraih leher Wildan. Ia tak cukup kuat untuk mencekik lagi, jadi pegangannya itu hanya ia gunakan sebagai tumpuan untuk bangkit dengan cepat... dan menanduk wajah Wildan lagi. Hidung pemuda itu kembali terkena, memperparah kondisinya dan memastikan pemuda itu harus bernafas lewat mulut untuk sementara.
            Tak berhenti sampai di situ, Steele menanduk dua kali lagi, dengan kekuatan yang semakin menurun. Itu tetap cukup untuk membuat Wildan terjatuh.
            “Sialan!” seru Wildan parau. Tangannya menyentuh permukaan air, kembali menyengat Steele dengan listrik.
            Tidak, Steele tidak baik-baik saja. Ia dapat mencium bau hangus dari dirinya sendiri. Sekujur tubuhnya kesemutan. Sengatan kedua ini semakin membuatnya lemah. Namun ia masih mampu meraih kepala Wildan dan membenturkannya ke dinding, menggunakan bantuan batu untuk mencoba membuat lawannya tak sadarkan diri. Ia hantamkan kepala Wildan dua kali lagi, hingga tubuh pemuda itu lemas.
           
            Tak selesai sampai di situ, Steele mengangkat tinggi tubuh Wildan yang lemas. Ia banting kuat-kuat pemuda itu ke lantai, mendaratkan punggung lawannya ke air dengan teknik Chokeslam satu tangan.
            Lalu Steele berlutut, menggunakan waktu ini untuk mengatur nafas dulu. Kalau saja lawannya tidak menahan diri, ia mungkin sudah musnah. Sepertinya pemuda itu bahkan tak menduga daya tahan super yang Steele miliki, gara-gara Steele datang ke sini sambil meneteskan darah.  
            Tetap Steele mengagumi jiwa kesatria pemuda itu. Sayangnya, seharusnya itu bukan alasan untuk menahan diri. Kalau Wildan ingin menghormati lawannya, seharusnya ia mengerahkan seluruh kemampuannya dari awal, persetan musuhnya sehat atau terluka.
            Tanpa Steele sadari, ada lawan yang diam-diam mencoba melakukan itu.
            Air dari seluruh lorong berkumpul di posisi Steele. Steele tak menyadarinya hingga cairan itu menyelubungi seluruh tubuhnya dan membuatnya terangkat. Ia gelagapan, benar-benar dibuat terkejut.
            Ia menyadari kalau ada seorang pengendali air di sini. Tampaknya orang itu menanti dulu hingga ia berhasil membereskan Wildan, yang pengguna petir. Luar biasa cerdik.
            Sesuatu datang. Steele memfokuskan kekuatannya ke torso, sambil berharap bukan kepalanya yang diserang. Harapannya terkabul; hantaman plasma kuat itu mengenai dadanya, mementalkannya hingga keluar dari cengkeraman air. Tapi ia masih bisa bertahan.
            Insting pertama Steele? Lari ke arah serangan tadi. Ia bergerak cepat, secepat yang tubuh kebasnya mampu untuk menemukan sang penyerang. Menurut logikanya, saat ini ia dikelilingi air. Ke manapun ia pergi, musuhnya bisa menyerangnya. Jadi kenapa tidak nekat saja sekalian.
4
Neeshma Fraum menyadari ia telah melakukan kesalahan. Ia menembak targetnya yang telah terkurung air untuk menamatkan pertarungan ini secepatnya, dan lanjut memburu target lain. Ia tak menyangka targetnya bisa kembali bangkit dan kini malah mendekatinya.
            Tak masalah. Air di sekelilingnya memberinya regenerasi tak terbatas, dan suara kecipak yang lawannya ciptakan memberinya gambaran akan posisi sang mangsa. Mungkin ia tak punya waktu untuk membuat sihir seperti tadi lagi, namun masih banyak yang bisa ia lakukan. Ia memperhitungkan dengan hati-hati di mana sosok itu berdiri sekarang, lalu memanipulasi air untuk menjerat sosok itu.
            Ia berhasil. Dapat ia dengar sasarannya terjatuh, kakinya mendadak disandung oleh air yang ia pijak. Sekarang ia hanya tinggal...
            Sekumpulan manusia mendekat. Mata mereka menyorotnya nanar. Tangan mereka menggenggam obor membara. Deretan salib berdiri di pantai, masing-masing ditempeli ras Maan seperti Neeshma. Sebagian besar sudah mati, namun masih ada di antara mereka yang bernafas, dikelilingi oleh lalat dan diincar gagak.
            Neeshma mengibaskan kepala. Gangguan dari ilusi tadi membuat sasarannya terus mendekat, padahal tak ada ruang untuk bersembunyi di dekat sini. Bukan masalah besar. Semakin dekat lawannya dengan dia, semakin mudah pula ia menanganinya.
            Kedua tangan Neeshma terangkat. Seketika itu juga air di sekeliling Steele terkumpul dan bangkit, mendorong pegulat perkasa itu hingga menghantam langit-langit lorong. Kumpulan air itu tetap bersikeras melanggar hukum fisika dengan bertahan dalam wujud pilar, memerangkap Steele di sana.
            Kalau ia bisa, Neeshma akan menghindari pertarungan. Ia sudah cukup muak, terutama setelah melihat salah satu rekannya, Ragga Bang, terurai lenyap di ronde sebelumnya. Pelayan yang memandunya meyakinkannya kalau sang pegulat hanya dipulangkan ke asalnya, dan ia baik-baik saja. Namun sulit baginya untuk mempercayai itu sementara ia melihat Ragga terluka parah dan, sebelum dapat disembuhkan, sirna bersama angin.
            Lawannya mulai tercekik oleh air. Neeshma merasakan godaan untuk menghentikan kekuatannya sekarang juga. Tapi ia tidak bisa. Pemandunya telah menyampaikan satu-satunya cara agar ia bisa mendapatkan kembali Lumen Margarita, mutiara yang keberadaannya sangat penting untuk kaumnya... sekaligus vital untuk mencegah konflik manusia-dan kaum Maan yang merasa terancam. Tamon Ruu dapat mengetahui siapa pencuri mutiara itu. Bahkan penguasa Alforea pun dikatakan sang pelayan bisa menangkap dan menyeret sang pencuri ke hadapan Neeshma kalau dia mau.
Neeshma hanya tinggal membuktikan dirinya pantas memperoleh perhatian Tamon Ruu dengan menyingkirkan seluruh kontestan lain. Ini tidak akan mudah. Dan Neeshma tahu setelah ini kepribadiannya mungkin akan membusuk, menyerupai manusia-manusia yang dibenci kaumnya. Namun ia sudah sampai sejauh ini. Jika ia harus mengorbankan jiwanya demi keselamatan seluruh Maan, maka itulah yang akan ia lakukan...
            “Pembunuh! Pembunuh!”
            Neeshma melihat dirinya pulang membawa Lumen Margarita. Ia telah membunuh puluhan kontestan lain dengan kekuatan pengendalian airnya. Kini ia bahkan dapat merasakan air membencinya, namun setidaknya tujuannya tercapai.
            Sayang dia terlambat.
            Saat ia kembali, sudah tak ada yang tersisa di kampung halamannya. Maan dan manusia, semuanya mati dalam peperangan hebat. Lautan yang jernih menjadi merah oleh darah. Semua pembunuhan yang ia lakukan tak ada gunanya...
           
            Tidak...
            Bukan saatnya kehilangan fokus. Ia akan terus mempertahankan pilar airnya hingga lawannya lenyap, seperti yang terjadi pada Ragga...
            Namun pilar itu tertembus.
           
***
            “Aku juga ada dugaan untuk peningkatan kekuatan yang kamu alami,” Steele terngiang kata-kata Nessa saat ia berlari liar memburu mangsa. Tubuhnya masih basah kuyup dan kesakitan, tapi belum cukup untuk menghentikannya.
            “Intinya, dalam keadaan normal kekuatan di tubuhmu bersifat melindungi. Tapi kalau kamu marah, atau terlalu bersemangat, kekuatan pelindung ini ganti fungsi menjadi kekuatan penghancur.”
            Air di kakinya mencoba menjerat Steele lagi, namun ia dapat melenting ke depan, meloloskan diri dari bekapan mereka. Pengguna kekuatan ini punya batas, ia tak bisa serta Erta mengerahkan seluruh genangan untuk menahannya.
           
            “Tapi, sepertinya kamu belum bisa mengendalikannya. Mengaktifkan kekuatan penghancur berarti daya tahanmu kembali ke normal. Kamu... mungkin hanya akan dilindungi oleh adrenalinmu sendiri dalam kondisi ini.”
           
            Suara langkah. Mangsa Steele memutuskan mundur, merasa terancam dengan kecepatannya bergerak. Sayang sosok itu kurang cepat. Steele mulai dapat mendengar suara nafasnya...
            Sinar plasma meluncur, hampir mengenai tubuhnya. Namun lawannya menembak dengan buta. Serangan itu meleset jauh sekali, memungkinkan Steele untuk meluncur dan menerjang, dapat merasakan lawannya sudah begitu dekat.
            Pilar air berdiri di posisi Steele. Steele membiarkan kemarahannya meledak lebih hebat, menyaingi yang ia tunjukkan saat menghadapi raksasa di penyisihan. Itu cukup untuk membuatnya merobek bekapan air dan mencoba meraih lawannya. 
           
           
            Saat itulah pancaran energi listrik luar biasa memenuhi lorong, menyambar Steele dan Neeshma bersamaan.
5
Momentum pergerakan membawa Steele menghantam Neeshma. Juara dunia IFWL itu pun menindih gadis penyerangnya. Ia dapat merasakan saat tubuh Neeshma mulai terurai dan lenyap, tak meninggalkan bekas.
            Apa lawannya telah mati? Sepertinya begitu.
            Lalu kenapa dia masih bisa bertahan? Apakah hanya adrenalin saja yang menyokong tubuhnya sekarang?
            Tidak juga. Ia hanya terlalu keras kepala untuk menyerah.
            Seseorang berjalan terseok-seok mendekat. Sesekali tubuhnya memancarkan percikan listrik, yang efeknya tak cukup untuk memberi Steele sengatan mematikan. Nafas mulutnya terdengar keras.
             Ketegangan suasana ini diganggu oleh bunyi berisik dari perut Wildan. Namun Steele tak tertawa. Percikan-percikan acak yang diciptakan Wildan memperlihatkan wajah pucat pemuda itu, yang dibanjiri keringat.
           
            “Kamu… si cewek jangkung tadi ya?” Wildan bertanya.
            “Ya.”
            “Sekedar memastikan: kamu memang manusia kan.”
            “Ya,” sahut Steele. Sengatan tidak tepat waktu tadi membuat amarahnya terhenti. Sekarang ia tidak yakin ia bisa kembali menggunakan kekuatannya, baik sebagai pertahanan maupun sebagai serangan.Tubuhnya lemas.
            “Heh. Kukira petir tadi sudah bikin kamu keok. Sebagai pejuang...” Wildan menjatuhkan sabitnya. “Jadi penasaran pingin menguji kemampuan kamu dengan lebih adil.”
            “Lalu?”
            “Ini adalah tindakan terbodoh yang akan kulakukan, tapi... hadapi aku, Lady Steele dari IFWL. Kau tidak menggunakan senjata, juga tidak menggunakan sihir. Jadi aku akan mengikuti.”
            Di balik topengnya, Steele malah cemberut. “Sebaiknya kamu ambil senjatamu. Pertarungan ini tidak akan seimbang kalau begitu,” 
            “Heh.” Percikan kilat Wildan tak kunjung berhenti, walau ia terlihat kesakitan karenanya. “Mari kita lihat saja.”
            Wildan berlari maju. Sesekali petirnya memancar, memenuhi lorong dengan cahaya sekaligus memberi Steele sengatan ringan.
            Petirnya tak lagi memancar saat ia sudah di dekat Steele. Tinjunya terayun, hendak mengenai wajah lawannya namun justru tertuju ke daerah dada karena perbedaan tinggi badan.
            Steele menghindari pukulan itu. Tangannya mencekik leher Wildan kuat-kuat dan mengangkatnya ke atas.
            Wildan mencengkeram lengan Steele lagi. Petir memancar dari tubuhnya, menyengat Steele habis-habisan. Kekuatan Steele semakin terkuras. Tubuh dan organ dalamnya terasa terbakar. Ia pun hampir melepaskan cengkeramannya ke Wildan… namun ia masih mampu membanting pemuda itu dengan teknik Chokeslam lagi, menghentikan sengatan listrik.
            Steele lalu melompat. Kedua kakinya mendarat bersamaan ke wajah Wildan, memastikan pemuda itu menderita hantaman serius ke otaknya. Barulah Steele membiarkan dirinya terjatuh, didera sakit dan kelelahan, tak ambil pusing apa lawannya masih hidup atau tidak.
            “Breng... sek...” maki Wildan kesal.
            “Penipu. Kamu bilang pertarungannya tanpa sihir...” desis Steele pelan.
            “Aku terlalu lapar untuk ngendaliin kekuatanku...” sahut Wildan. Kemudian ia terkekeh. “Nggak sih, tadi aku memang agak kesal. Lain kali... aku akan menghadapimu dengan seluruh kekuatanku dari awal. Kalau aku nggak dibuat capek duluan sama ilusi, aku nggak akan kalah.”
            “Memang ada lain kali?” tanya Steele.
            “Mungkin... ada...”
            Steele mencoba meraih tubuh Wildan. Ia sempat menyentuh lengan pemuda itu, namun kemudian ia merasakan organ itu mulai terurai, tak meninggalkan apa-apa. Persis seperti yang terjadi kepada sosok yang ia tabrak tadi.
            Saat ia kehilangan kesadaran, Steele bertanya-tanya apa tubuhnya akan ikut terurai seperti mereka.
            Lorong kembali sunyi. Pertarungan panjang yang berlangsung sejak tadi telah berakhir, membiarkan kegelapan kembali berkuasa di sana. Namun tidak, tubuh Steele tidak ikut terurai.
6
Dengan sengaja, Ahran menginjak permukaan lantai yang menyembul. Seketika itu juga, cahaya biru lenteranya membantunya melihat tiga lubang dari dinding di hadapannya melontarkan panah. Pemuda berompi hitam itu menempel menyamping ke dinding, membiarkan semua melewatinya. Sisi ransel yang dijingnya sobek, namun ia sendiri tak apa-apa. Padahal, seharusnya ia sudah mati karena panah-panah itu.
            Bukan, yang ia maksud bukanlah sekedar kiasan karena ia mampu mengelak tepat waktu. Ia memang seharusnya sudah mati. Saat ia menapaki lorong sempit dan gelap ini tadi, ia terlalu sibuk memikirkan persoalannya hingga ia tak melihat pijakan jebakan. Sontak tubuhnya berlubang, diterjang oleh lima dari sembilan luncuran anak panah.
            Namun ia bangkit kembali, dengan kondisi seperti sedia kala. Tubuhnya tersusun ulang di samping perapian otomatis, yang ia nyalakan hanya sebagai pembantu penerangan. Rupanya pelayan yang memandunya benar: rangkaian perangkap di tempat ini hanya berguna untuk menyiksanya, tidak cukup untuk membunuhnya. Kalau ia mau menyerah, ia tidak boleh melakukannya saat diserang musuh. Ia harus membunyikan lonceng latihan, yang kini tertempel di dinding, tepat di sampingnya.
            Bagaimana sebenarnya Tamon Ruu, atau pihak Alforea manapun yang bertanggung jawab atas pendirian benteng, bisa melakukan ini? Bagaimana pula mereka dapat membawanya pulang dari ronde penyisihan, dengan kondisi yang secara ajaib pulih? Bahkan Neeshma yang seharusnya telah terbunuh di ronde penyisihannya saja telah kembali bangkit untuk bertarung di ronde ini.
Kalau saja Ahran bisa membawa teknologi penyebab keajaiban ini kembali ke alamnya, lalu mempublikasikan temuannya, ia bisa dalam sekejap meraih kekayaan dan respek yang ia dambakan. Namun orang-orang Alforea malah memanfaatkan teknologi maju mereka untuk mengadu penghuni dimensi lain dalam pertarungan gladiator!
            Pemuda berambut hitam itu pun semakin jengkel dengan situasinya. Kini tak sulit baginya untuk mempercayai Tamon Ruu memang bisa mengabulkan permintaannya. Masalahnya, kini ia bingung untuk memilih: apakah ia ingin mencekik Hewanurma? Menampar Tamon Ruu? Atau melanjutkan membalas dendam kesumatnya kepada Rüstem? Karena sekarang ia begitu kesal, ia menginginkan ketiganya sekaligus!
           
            “Heh-heh-heh-heh,” Ahran dapat melihat Rüstem berdiri di depannya, menyeringai. “Memangnya kamu bisa? Pada akhirnya, orang menyedihkan penuh kegagalan seperti kamu ya sudah ditakdirkan untuk kecewa. Kamu bukan apa-apa, Ahran.”
           
            Ahran tetap tenang. Sekarang ia telah akrab dengan itu. Ingin rasanya ia menggunakan sihir untuk membakar sosok itu, lalu tersenyum sadis melihatnya terbakar. Namun itu tak menghasilkan apa-apa. Tak ada untungnya mendebat maupun memukuli ilusi. Jadi ia melanjutkan mengabaikannya.
           
            Yang manapun pilihannya nanti, ia masih ingin bertahan di Alforea untuk meneliti lebih lanjut fenomena-fenomena temuannya di alam ini. Karenanya ia melanjutkan menjelajah lorong itu. Sementara tangan kanannya memegang lentera, tangan kirinya menepuk-nepuk lima tabung merah di sabuknya. Sebenarnya ia memakai beberapa di penyisihan, namun semuanya sudah otomatis terisi lagi saat ia kembali ke Alforea. Itu membuatnya tak ragu untuk menggunakannya lebih leluasa di ronde ini.
            Tentu, ia masih harus hati-hati agar tak menghabiskan seluruh tabungnya sebelum semua lawannya teratasi. Tapi setidaknya ia tabung di sabuk dan ranselnya akan pulih kembali saat ronde berakhir… kalau dia masih hidup.
            Ada suara datang dari depan. Ahran berjalan pelan-pelan, tetap mengamati sekeliling untuk memastikan ia tak menginjak perangkap dengan bodoh. Sumber bunyi itu datang dari ruangan tak berpintu, yang menantinya di kiri depan lorong. Melihat pancaran cahaya biru dari dalam ruangan, Ahran mematikan dulu lenteranya. Bau darah segar memancar dari sana, membuatnya waspada.
            Pemuda cendekiawan itu mengintip dari sisi pintu. Lentera biru di dalam menunjukkan dari mana sumber bau yang ia cium: monster. Ada sejumlah mayat monster cebol, berkulit kelabu, dengan hidung panjang dan perut buncit, yang tergeletak penuh darah di lantai. Ada yang kepalanya terpenggal, tubuhnya tertusuk…
            Pelakunya mungkin adalah gadis berambut merah pendek, yang kini tengah berjongkok di depan sebuah peti harta. “Menurut kamu ini isinya apa?” Ahran terkejut mendengar pertanyaan ceria tadi, mengira ialah yang ditanyai. Namun gadis itu tertawa sendiri dan melanjutkan bicara, seakan ada yang sudah menjawabnya, “Tetap menggoda buat dibuka nggak sih?”
            Ahran mengambil satu tabung alkimianya. Matanya terus menatap gadis berambut merah itu lekat-lekat. Mayat-mayat monster yang ia lihat menunjukkan gadis itu menggunakan palu dan benda tajam dalam menangani mereka. Tapi ia tak membawa apa-apa. Bahkan pakaiannya pun hanya gaun hijau, yang bisa dengan mudah terbakar.
            “Oke, mari kita coba buka.” Sepertinya tak punya kunci, gadis itu mencoba langsung mengangkat peti. Di luar dugaan, peti itu dapat terbuka. Namun alih-alih harta, yang menantinya adalah lidah panjang dan deretan gigi tajam.
            Gadis berambut merah itu melompat ke samping, membiarkan peti jebakan tadi menerkam udara kosong. Torso, kaki, dan lengan panjang tumbuh dari bagian bawah peti, memudahkan benda itu untuk bergerak.
            “Sudah kubilang ini pasti jebakan juga…” gadis itu bicara lagi, namun nada suaranya lebih dingin dan dewasa ketimbang sebelumnya. Tubuhnya menjadi lebih… pendek? Ahran juga keheranan melihat kulit tangan gadis itu seperti mengeras.
            Peti harta tadi menerjang, mencoba menerkam si gadis. Namun gadis itu malah melompat, meninju keras peti tadi hingga bagian bawahnya retak.
            Pukulan tadi membuat peti tadi terlempar… namun belum cukup untuk menghentikannya. “Hehehehe…” dengan suara yang seperti tawa, makhluk itu merangkak mendekati si gadis berambut merah, yang memasang kuda-kuda, siap menyambutnya.
            Ahran beraksi cepat. Ia mencabut pedangnya, menorehkan sigil ke lantai, membuka satu tabung alkimianya, dan mulai berkonsentrasi merapal mantera.
            Tubuh Ahran diselimuti api, menunjukkan posisinya kepada peti dan gadis berambut merah yang sedang bertarung. Si gadis, terutama, sempat melirik ke arahnya, menyadari ia dalam bahaya…
            Api di sekeliling Ahran berubah bentuk menjadi bola. Si rambut merah berganti arah, memutuskan berhenti bermain-main dengan peti tadi untuk mencegah Ahran. Namun ia terlambat. Ahran mengarahkan pedangnya ke gadis tadi. Seketika, apinya memanjang, bagai menjadi tombak kesatria Eropa Barat, lalu menghajar si rambut merah dan peti hidup tadi sekaligus.
            Ledakan akibat sihirnya ikut menerjang koridor. Ahran buru-buru berguling, lalu menepuk-nepuk pundak dan rambutnya yang ikut terbakar.
Semberono mungkin, menggunakan sihir level menengah seperti itu sekarang. Tapi tindakan pragmatis seperti itu lebih aman ketimbang bermain-main dengan sihir level rendah. Sekarang, sudah satu musuhnya beres. Ia hanya tinggal memburu empat sisanya, atau berharap mereka saling bunuh satu sama lain sehingga Ahran tidak perlu menghemat tenaga.
Ahran terperanjat. Ada yang menapak keluar dari ruangan yang membara. Awal-awalnya yang ia lihat hanya tubuh telanjang yang terbakar hebat, namun kulitnya lalu pulih seperti sedia kala. Kepalanya yang botak pun kembali ditumbuhi rambut merah, menunjukkan kalau ia adalah gadis tadi.
Setelah sempat telanjang, gaun hijau “tumbuh” keluar dari kulit gadis itu, kembali menyelimuti tubuhnya. Bahkan sepatu kulit pendek dan kaus kaki panjangnya pun ikut menyeruak keluar dari kulit, kembali pulih seperti sedia kala. Ahran terperangah. Sebenarnya ia sedang berhadapan dengan apa?
“Halo, orang asing…” gadis itu berbicara riang. “Namaku F, dan kamu…” suaranya menjadi lebih dalam dan penuh emosi. “Membuatku kesal.”
7
Ahran melarikan diri, tidak berminat bertarung jarak dekat dengan F. Ia masih sempat meraih dan mengaktifkan kembali lenteranya, menyinari lorong dengan cahaya. Ia tahu ini membuat dirinya dapat lebih mudah dikejar, tapi ia tahu betapa tidak bijaksananya menjelajahi lorong sempit ini sambil buta.
Namun pada dasarnya Ahran bukan atlet. Dapat ia rasakan nafas F di belakangnya, kian dekat... kian dekat...
Kurang berhati-hati, kaki F menginjak lantai yang menonjol. Gadis itu sempat melihat deretan tombak mencuat dari tembok di sampingnya. Namun terlambat untuk menghindar. Ia terdorong hingga menempel dinding, lengan dan wajahnya dilubangi oleh mata tombak yang tajam.
Begitu merasa jaraknya aman, Ahran mengambil satu lagi tabung merahnya. Ia persiapkan lagi sigil di lantai, sambil mempersiapkan pedangnya. Mungkin ini berlebihan, tapi ia baru saja melihat gadis itu selamat dari lalapan api tanpa luka. Ia harus memastikan... terutama karena ia melihat tombak-tombak itu bahkan tak mampu menembus sepenuhnya sisi tubuh si rambut merah. 
Api menghunjam gadis tadi sebelum deretan tombak dinding sepenuhnya melepas tubuhnya. Bilah baja dan serpihan kayu berterbangan, beberapa hampir mengenai Ahran. Pemuda cendekiawan itu harus memicingkan mata untuk dapat melihat di antara panas...
Ia melihat siluet.
Otak Ahran memerintahkannya untuk segera melanjutkan lari. Namun terlambat. Tangan kiri F mencengkeram rahangnya kuat-kuat, panas dari api ciptaannya kini menggerogoti kulitnya sendiri. Ahran mencoba melepaskan paksa cengkeraman itu, tapi ia tidak bisa. Tangan gadis itu keras dan kuat sekali, seperti baja.
Tangan kanan F meruncing. Tanpa basa-basi ia menghunjamkan cakarnya ke dada Ahran, tepat mengenai jantungnya. F menancapkan lengan kanannya, sekali lagi, ke jantung Ahran untuk memastikan tak ada lagi kejutan.
Dan memang tidak ada. Hanya selang beberapa detik setelah tusukan pertama, energi kehidupan Ahran mengalir keluar dari tubuhnya. Kesadarannya lenyap. Belum sempat F mencabut lengannya dari tusukan kedua, raga Ahran telah terlebih dahulu terurai, lenyap tak meninggalkan bekas.
8
Dari luar, tubuh Effeth terlihat normal. Ia masih gadis manis berambut merah, dengan gaun hijau dan kaus kaki panjang. Tak ada bekas tusukan tombak maupun terbakar. Namun itu hanya muslihat. Sebagai pengubah wujud, ia hanya mempercantik rupanya, menjadi bentuk ideal yang selama ini ia kenakan. Di balik itu, ia masih menderita semua luka yang Ahran torehkan kepadanya.
            “Kamu lengah...” Effeth ditegur oleh dirinya sendiri. “Sekarang kita luka parah, padahal masih ada empat buruan yang harus kita tangani. Gimana sih?”
           
“Iya, iya,” Effeth menjawab. “Yang berlalu biarlah berlalu, kan? Untuk luka-luka ini...”
            Effeth berhenti begitu ia menemukan dinding yang terlihat aneh. Lalu ia berbicara, “Ada ide yang ingin kucoba.”
            “Tunggu jangan bilang-“
            Effeth benar-benar menekan dinding itu. Lantai yang ia pijak terangkat dengan cepat, menindihnya dengan langit-langit. Sisi lainnya ingin memperpadat tubuhnya, atau menghindar, dari kematian konyol itu. Tapi kepribadiannya yang satu lagi tidak sepakat, sehingga gadis itu pun terlumat dan terurai...
            Lalu tersusun kembali di sisi perapian yang mereka nyalakan sebelumnya. Tak ada bekas tubuhnya baru saja menjadi daging gepeng, namun... ia masih menderita luka dari pertarungan singkatnya dengan Ahran. Dagingnya masih terbakar.
            “Oh, rupanya tidak berguna. Sialan,” keluh Effeth. “Kukira kita benar-benar akan sembuh.”
           
            “Kamu ini benar-benar bego ya?!” kepribadian lain Effeth marah. “Yah, tapi memang tak ada salahnya mencoba sih. Sayang ternyata tak berguna.”
Sebelum bertemu Ahran, Effeth mengalami kematian yang tidak menyenangkan. Ia tengah menyusuri area gelap saat tiba-tiba ada bola baja yang jatuh menimpanya. Kematian seperti itu sih sudah sulit untuk tertolong, bahkan walau ia memadatkan fisiknya sekalipun. Tapi kemudian ia tersusun kembali di depan api unggun ini, di ruangan sempit kosong yang hanya dihiasi lukisan.
“Sekarang ngapain sebaiknya?” tanya Effeth.
“Luka-luka kita ini terlalu parah. Kita harus menyelesaikan ronde ini secepatnya, supaya kita bisa dipulihkan di Alforea.”
“Lalu?”
“Yang terjadi setelah itu pikirkan nanti saja. Toh, sejauh ini turnamen ini masih jauh lebih baik dari Farschorch.”
“Bagi kamu, segalanya lebih baik dari yang ada di Farscorch maupun Alterra,” Effeth terkekeh sendiri.
“Nggak salah deh. Kalau kita di dimensi asal kita, kita sudah menderita sejak penyisihan.”
Effeth meninggalkan ruangan. Lentera birunya meledak gara-gara ulah Ahran, jadi ia terpaksa berhadapan dengan kegelapan lorong di hadapannya. Setidaknya tempat itu cukup terbuka. Dinding batu penuh lumut berdiri di kirinya. Di kanannya adalah pagar pengaman, yang memungkinkan dia melihat ke bawah.
Sekarang ia ada di lantai empat benteng. Lantai-lantai di bawahnya dihubungkan dengan jembatan sempit, yang direcoki oleh pendulum pedang. Untung kalaupun ia perlu ke bawah, ia tak wajib melewati jembatan-jembatan repot itu.
Effeth memejamkan mata. Tak banyak yang bisa ia lihat. Ada sedikit cahaya bulan yang merasuk dari celah langit-langit, namun cahaya itu hanya cukup untuk memperlihatkan jembatan beserta pendulum. Jadi ia korbankan dulu penciumannya untuk mempertajam pengelihatan dan pendengarannya. Ia korbankan juga tingginya, agar ia bisa meningkatkan kepadatan tubuhnya, jaga-jaga kalau ia diserang.
Monster-monster dari planet Farschorch mendekat dari belakang, siap menerkam dan mencabiknya hingga tak bersisa. Effeth hampir bereaksi, namun suara dewasa kepribadiannya yang lain mengingatkan,“Jangan pikirkan mereka. Mereka tidak nyata.”
Ya, mereka tidak nyata. Sialnya Effeth masih bisa mendengar geraman mereka, cakaran mereka di tubuhnya. Kalau ia tidak dilindungi oleh sisi lain kepribadiannya, ia bisa jadi sudah termakan oleh muslihat ini sejak tadi.
Effeth mendengar suara dengung dari bawah. Ada percikar listrik, satu lantai di bawahnya… dari seorang gadis berambut biru yang tengah memegang senapan besar.  
Gadis berambut biru itu menarik pelatuk. Bongkahan metal meluncur, menghancurkan pagar pelindung yang Effeth tempeli. Bahkan tubuh padat Effeth pun tak mampu sepenuhnya menghentikan laju peluru khusus Gauss Rifle itu. Kulit dan dagingnya terkoyak. Peluru lalu pecah menjadi serpihan-serpihan yang merobek-robek organ dalam Effeth. 
Effeth menggunakan kekuatan pengubah wujudnya untuk menutup luka yang ia derita. Tetap ia merasakan efeknya, terutama dari organ dalamnya yang rusak. Ia punya pilihan untuk lari, menganalisa situasi hingga ia tahu pasti apa yang ia hadapi. Namun cidera terbarunya ini membuat sisi sadisnya terlalu murka untuk menahan diri.
Gadis berambut merah itu mengurangi kepadatan tubuhnya. Sepasang sayap membentang keluar dari punggungnya, memungkinkannya untuk menukik tajam ke posisi penyerangnya. Lengan kanannya memanjang dan menajam, agar bisa ia gunakan untuk menebas. Ketajaman mata dan pendengarannya masih ia pertahankan.
Effeth sempat melihat sosok penyerangnya, namun gadis itu merunduk tepat waktu, dengan tipis menghindari wajah cantiknya terbelah.
Datang tembakan kedua. Kali ini laju peluru tak secepat sebelumnya, memungkinkan Effeth untuk merunduk, membiarkan metal kecil itu menghantam dan menghancurkan dinding di belakangnya. Telinganya mendengar nafas seseorang, pelan sekali, tak jauh di depannya. Ia pun mencoba menerjang ke sana. Sambil bergerak, tubuhnya mulai ia padatkan kembali untuk pertahanan. Sayapnya lenyap kembali ke punggung.
Penembak jitu yang dihadapi Effeth menginjakkan kakinya ke permukaan lantai yang menonjol. Deretan paku tajam menyeruak keluar, menusuki kaki Effeth yang belum sepenuhnya mengeras. Saat gadis berambut merah itu kesakitan, sang penembak jitu sudah mempersiapkan tembakan ketiga…
Effeth melompat ke arah mangsanya, tubuhnya akhirnya mencapai kepadatan yang ia inginkan. Di saat bersamaan, sang penembak jitu menarik pelatuk. Dengan akurat, tembakan itu mengenai perut Effeth lagi. Kali ini peluru itu hanya dapat masuk lima senti, sebelum pecah menjadi serpihan.
Tinju Effeth mengenai wajah sang penembak jitu, menghancurkan tulang rahang sosok itu dan merontokkan deretan giginya. Murka, ia meninju dan meninju lagi, menghancurkan organ lawannya hingga tubuh sosok itu terurai. Lalu ia terkapar. Kakinya masih berdarah. Perutnya luar biasa perih. Ia dapat membayangkan asam lambungnya mengalir keluar, menggerogoti organ-organ yang terkena. Apa itu yang terjadi? Ia tidak tahu, karenanya imajinasinya bisa begitu menggila.
“Sialan! Sialan! Sialan!” umpat sisi sadis Effeth. Tubuhnya membawa serpihan peluru kedua si penembak jitu ke permukaan, agar gadis itu bisa mencabutnya satu persatu. Ia mencoba mengeluarkan serpihan yang bersarang di organnya juga, namun itu hanya membuatnya kesakitan. Memanipulasi bagian luar tubuhnya jauh lebih mudah ketimbang organ dalam.“Ma-maaf, aku benar-benar tidak mengantisipasi serangan tadi!”
“Jangan khawatir, aku… juga…” mata Effeth hampir tertutup. Sesaat, tubuhnya kembali menjadi sosok telanjang yang hangus. Kalau ia sampai kehilangan kesadaran, entah apa ia bisa selamat atau tidak.
“Jangan tidur dulu! Ayo bangun!” tubuh Effeth kembali menyamarkan lukanya.
“Berapa… yang sisa?”
“Mungkin tiga, mungkin dua, mungkin satu. Tidak penting! Ini sama seperti di Farschorch, jangan pikirkan berapa yang sisa. Habisi mereka semua agar kita bisa selamat! Jadi ayo, bangun! Kita lebih kuat dari ini!”
Effeth terkekeh mendengar kekhawatiran kepribadiannya sendiri. “Mungkin nanti kita harus minta kemampuan regenerasi nih.”
“Ke cewek seksi yang maksa kita bertempur? Tentu! Tapi kita tidak bisa mendapatkan itu kalau mati di sini, kan?”
Tentu saja. Karenanya Effeth bangkit. Ia meringis dan mengaduh saat kakinya menapak lantai. Ya, ia memang harus meminta kemampuan regenerasi.
 “Bagus! Sekarang ayo kita buru musuh yang tersisa. Tinggal sedikit lagi, jadi bertahanlah! Tenang, aku ada di sisimu!”
“Nggak, kamu di kepalaku,” Effeth tertawa pelan. Ia memang masih ingin hidup, demi dia dan suara di kepalanya. Karenanya diam-diam ia berharap musuhnya yang tersisa kondisinya minimal lebih buruk dari dia.
Effeth mempertajam indera penciuman dan pendengarannya, mengorbankan sebentar pengelihatan dan kekuatan fisiknya. Ia dapat mencium bau api di beberapa titik. Namun hanya satu saja tempat itu yang diusik suara berisik, dan lokasinya hanya satu lantai di bawahnya…
9
Steele memandangi perapian di hadapannya. Hanya ada arang di bawah api, tak ada kayu maupun sumbu gas. Ia mendekatinya hanya untuk memeriksa apakah abu di sana masih hangat, menandakan keberadaan orang lain di sini. Namun saat ia menyentuh benda itu, kobarannya bangkit sendiri, membuat dia bingung.
            Juara dunia IFWL itu berhasil keluar dari lorong bawah tanah. Kini dia berada satu lantai di atas lorong gelap dan basah itu, di dalam ruangan yang sepertinya digunakan sebagai gudang. Ada banyak peti dan kotak yang saling ditumpuk-tumpuk di sisi ruangan. Deretan tong dibaringkan di depan tumpukan tersebut, tak cukup menarik untuk Steele cari tahu apa isinya.
            Walau berhasil mempertahankan nyawanya, kondisi Steele tidak bisa dibilang membaik. Dadanya sesak. Kepalanya sakit. Cahaya api memperlihatkan kulitnya yang kian memucat. Yang lebih gawat, kekuatannya tak kunjung kembali. Ia sempat terjatuh saat menaiki tangga, dan lututnya terasa sakit sekali. Seharusnya ia tak mengerahkan tenaganya untuk menjebol pilar air lawannya tadi.
           
            Tetap bukan alasan untuk sembunyi seperti pengecut, pikir Steele sambil beranjak keluar dari ruangan. Ia pastikan pintu kayu berat yang menghubungkan gudang dengan lorong gelap di luarnya tertutup rapat, sehingga kalau ada yang datang ia bisa mendengar derit dari belakang.
            “Tapi kamu memang pengecut,” sosok kakek asing yang sempat menghantuinya kini kembali, setelah lenyap semenjak Wildan menampakkan diri.
            Argumenmu semakin membosankan. Aku baru saja menghadapi dua pengguna sihir tanpa sekalipun mundur, walau mereka lebih kuat dariku. Apakah itu pengecut?
            Pria tua tadi tertawa. “Yang kamu tunjukkan adalah kebodohan, bukan keberanian. Keberanian adalah menerima kalau, ya, kamu semakin tua. Dan ya, hal yang paling kamu takuti adalah kesendirian.”
            Berisik.
           
            “Kau mencoba bersembunyi di balik topeng dingin, tapi itulah faktanya. Itulah kenapa kau begitu takut tua. Kau takut setelah karirmu berakhir, kamu tidak akan punya siapa-siapa lagi. Tentu saja, kamu membuang semua teman dan keluargamu.” Imaji kesendirian Steele di panti jompo kembali memenuhi benaknya. “Tapi alih-alih mengatasinya, kamu tetap bersikukuh mengejar sesuatu yang sebenarnya hanya ‘hobi.’ Benar-benar seperti gadis remaja saja.”
           
            Berisik! seru Steele. Ia tidak butuh sahabat dan keluarga. Gulat dan pertarunganlah yang ia perlukan! Setiap ia naik ke ring, menghadapi musuh-musuh tangguh, kegembiraan luar biasa mengalir di dalam dirinya. Bukankah itu panggilan hatinya? Ia sudah merasakan itu saat ia pertama kali menginjak ring, di usia 13 tahun. Dan ia masih merasakannya hingga sekarang.
            Masih saja si kakek tua berkomentar. “Ti-dak. Itu hobi. Kamu nggak jauh beda sama bapak yang tiap hari berjudi, menelantarkan keluarganya. Atau pemuda menyedihkan yang menghabiskan seluruh uangnya untuk membeli pernak-pernik idola. Kalau kamu menjadi pejuang yang lebih sempurna, kamu harus menerima siapa kamu sebenarnya, bukan berlindung di balik wajah palsu.”
            Saat ini aku sudah sempurna!
            Cukup. Tidak perlu mendebat makhluk ini lagi. Apapun yang Steele katakan, dia akan membalas dengan seenaknya. Dari kata-katanya barusan, makhluk ini juga tampaknya lebih seperti arwah benteng ketimbang personifikasi ketakutannya. Steele mempercepat langkahnya, ingin lebih cepat bertemu lawan. Kalau ia menang, bagus. Kalau ia terbunuh, setidaknya ia dapat terlepas dari celotehan si kakek.
            Kakinya menginjak permukaan lantai yang menonjol. Sebilah pedang tipis dan panjang terayun keluar dari dinding kanan, membelahnya di area pinggang.
            Eh?
            Steele masih tersadar saat torsonya menyentuh lantai.
           
            Brengsek.
            Bahkan dalam kondisi seperti itu pun Steele menganggap ia masih bisa bertarung. Ia dapat melompat dan mencakar musuhnya dengan tangannya yang tersisa. Tak mau menyerah ia pun merangkak, pelan-pelan sekali… hingga ia tak sengaja memicu jebakan lain dan tertimpa beban dari langit-langit.
           
            Ia kembali di depan perapian yang ia nyalakan sebelumnya, masih dengan kondisi yang sama seperti sebelum ia terbelah. Nessa sama sekali tak menyampaikan info tentang perapian ajaib ini, jadi Steele butuh waktu beberapa detik untuk mencernanya. Yang paling ia takutkan adalah si bocah petir dan si gadis air juga tersusun kembali di suatu tempat…
            Tapi tak ada gunanya memikirkan itu terlalu lama. Steele mulai mengacak-acak gudang, ingin menemukan sesuatu yang bisa ia gunakan untuk penerangan. Salah satu kotak kayu ia hancurkan, memperlihatkan panci dan perkakas besi di dalamnya. Ia mengambil patahan panjang kayu, membebatkan kain, dan mencoba membakarnya ke perapian untuk dijadikan obor. Saat ia mengeluarkannya dari api, ujung kayu itu hanya terbakar sebentar sebelum padam.
            “Apaan sih,” gerutunya. Terpaksa ia mencari cara lain, tidak ingin menerjang lorong berbahaya tadi tanpa bantuan.
            Bilah yang baru saja membelahnya kembali terayun. Mendengar itu Steele bersiaga, mengantisipasi suara itu datang dari perangkap yang membunuhnya. Bisa saja yang memicunya terbunuh, karena ia tak mendengar suara apa-apa lagi kemudian. Tapi hingga terbukti sebaliknya, ia selalu memikirkan kemungkinan terburuk.
            Sesuatu menjebol pintu, menerbangkan potongan dan serpihan kayu ke mana-mana. Belum sempat Steele melihat wujud penyerangnya, makhluk itu sudah datang mendekatinya. Sosok pendek itu mengayunkan tangannya, mencoba menghunjam dada Steele. Namun Steele masih dapat berkelit, membiarkan serangan itu merobek permukaan kotak kayu di belakangnya dan menjatuhkan lebih banyak panci.
            Effeth bisa langsung melanjutkan serangannya, namun ia terpaksa berhenti dulu. Serpihan besi di dalam perutnya bergerak-gerak seenaknya sendiri, menyebabkan kerusakan yang lebih parah. Ia harus menyalurkan sebagian kemampuan pengubah wujudnya untuk mengurus organ dalamnya, agar minimal ia bisa bertahan hingga mangsa terbarunya ini jatuh.
            Meski begitu, bahkan Steele pun dapat merasakan lawannya itu kini meremehkannya. Dalam persepsi Steele, musuh terbarunya ini masih terlihat segar bugar, tanpa luka sedikitpun. Sementara itu gejala kurang darah yang ia derita semakin parah, dan kekuatannya tetap belum pulih. Yang ia miliki hanya teknik gulatnya dan nyawanya.
            Mungkin itu cukup.
10
Effeth masih memilih untuk bertarung jarak dekat. Itu memberi Steele sedikit harapan. Gadis itu kini bergerak cepat. Sangat cepat malah. Tapi Steele masih mampu bereaksi. Dia mundur setengah langkah, membiarkan cakaran Effeth melewatinya. Lalu siku kanannya menghantam pelipis gadis berambut merah itu.
            Steele kesakitan. Memang, kalau ia meninju seseorang ia pasti akan merasa tangannya kesakitan juga. Namun kali ini ia lebih merasakan sikunya baru saja menghantam batu ketimbang sesama manusia.
            Tak mampu sepenuhnya memadatkan tubuhnya, hantaman Steele tadi mampu mendorong kepala Effeth sedikit sekaligus mengguncang otaknya. Daging kepalanya yang terbakar masih terasa nyeri. Didorong refleks, ia mengayunkan cakar kirinya.
            Steele mundur selangkah, namun ia terlambat menghentikan cakaran dalam ke perutnya. Spandeksnya tak berguna sama sekali menghentikan cabikan itu. Ia cukup beruntung ususnya belum sampai terburai keluar.
            Tangan kanan Effeth menghunjam lurus, mencoba menembus kepala Steele. Steele masih dapat menggerakkan kepalanya ke samping. Kuping Steele pun terobek, potongannya terlempar ke lantai, hampir menyentuh perapian.
            Kaki Effeth menendang keras paha kanan Steele, membuat juara dunia IFWL itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Ada suara berderak yang membuat Steele khawatir ia kini kehilangan kakinya juga.
            Effeth menginjak, ingin menghancurkan kepala Steele. Namun Steele sudah terlebih dahulu berguling, membiarkan kaki Effeth menghancurkan lantai. Untuk sesaat, seluruh ruangan terasa terguncang. Retakan muncul dari tempat yang dipijak oleh gadis berambut merah itu.
            Steele berlutut. Ia rasakan kaki kanannya setidaknya masih dapat menapak, walau area pahanya seperti terbakar.
Oke. Itu sudah cukup baginya untuk mengambil dua langkah cepat dan menerjang, menghantam perut Effeth dengan bahu kanannya.
            Seharusnya serangan itu tak mampu menjatuhkan Effeth. Seharusnya. Namun teknik spear Steele tadi mampu mengguncang pecahan peluru di dalam perut gadis berambut merah itu, mendatangkan rasa sakit hebat yang mengoyak konsentrasi Effeth. Gadis itu pun terdorong bersama Steele, menghantam dan menghancurkan tumpukan kotak kayu. Seketika itu juga keduanya ditimbun oleh tumpukan perkakas besi.
            Benturan yang diderita kepala Steele membuat ruangan ini menjadi gelap. Tapi ia masih dapat merasakan musuhnya. Ia tahu kalau gadis berambut merah yang tadi menyerangnya kini berada dalam tindihannya. Jadi ia buru-buru meraih kotak berat di kanannya dan menjatuhkannya ke kepala lawannya, sebelum Effeth sempat melindungi diri.
            Otak Effeth terguncang. Konsentrasinya semakin buyar. “Sialan!” ia dapat mendengar suara personanya yang lain menggerutu. “Masa iya kita kalah dari makhluk lemah begini?!”
Satu lagi kotak kayu dijatuhkan Steele ke kepala Effeth. Effeth masih terjaga, walau kekuatannya terus berkurang. Kalau saja ia lebih hati-hati, hingga tombak api yang menghantamnya tidak sampai membakar dagingnya. Kalau saja ia tidak terkena tembakan pengecut di lantai bawah. Mungkin musuh yang tengah menghajarnya ini pun tak akan bisa membuatnya terdesak seperti ini.
            Tapi yang sudah berlalu tidak bisa diapa-apakan lagi. Untuk sekarang, ia masih bisa meruncingkan tangan kanannya. Perut Steele tertembus dalam. Asam lambung juara dunia IFWL itu sampai mencoba membakar pula tangan Effeth yang keras dan tajam. Itu tak menghentikan Effeth untuk mencabik dan mencabik…
            “Aaaaaaah!” melolong kesakitan, Steele menyingkirkan kotak yang masih menindih Effeth, agar ia dapat meraih kepala Effeth gadis berambut merah itu dengan tangannya. Ia benturkan kepalanya ke kepala gadis itu, hingga pelipisnya sendiri bocor. Takut musuhnya masih terjaga, Steele terus saja menanduk dan menanduk.
            Pengelihatannya hilang.
            Pendengarannya juga.
            Sementara bagian dalam topengnya dilumuri darahnya sendiri, permukaan luar “wajah”-nya itu pun dibasahi darah lawannya.
            Lambat laun, tenaga Steele pun lenyap. Ia hanya dapat duduk, menindih lawan yang tidak bisa ia lihat, dikelilingi kegelapan dan sunyi. Hanya satu sosok yang bisa ia lihat di sana, kakek tua yang sudah mengganggunya sepanjang ronde ini.
            Tak mampu berbicara, ia hanya bisa menyampaikan apa yang ingin ia katakan  dalam hati, “Bagaimana? Apakah kamu masih menganggapku lemah?”
            Kakek itu hanya geleng-geleng. “Sejak awal, aku tak pernah bilang fisikmu lemah. Apa kamu sedungu itu?” ia berbalik dan melangkah pergi. Kekecewaan terasa dalam kata-katanya. “Semoga setidaknya ada sedikit saja pelajaranku yang nyangkut di kepalamu. Karena kalau tidak, kamu hanya akan jadi sampah, bukannya pahlawan.”
            Steele ambruk menimpa tubuh Effeth. Sampah? Pahlawan? Persetan dengan semua itu. Asalkan ia bisa terus merasakan sensasi pertarungan, ia tak ambil pusing disebut apa. Ia juga tidak akan pikir panjang harus mengorbankan apa. Inilah kehidupan yang ideal untuknya, dan sudah terlambat untuk mengubah kenyataan itu.
11
Nessa berlutut, memeriksa nadi Steele. Tidak ada reaksi. Merasakan tubuhnya yang dingin, sebenarnya juara dunia IFWL itu sudah mati. Namun benteng ini menganggap dia sebagai pemenang, jadi ia dipertahankan di sana hingga ada pemandu yang menjemput.
            Sang pelayan mengamati sosok jangkung yang tengah terbaring di atas tumpukan panci itu dengan diam. Ia sengaja tidak menyampaikan soal api kehidupan kepada Steele untuk menguji kekuatan perempuan ini. Biar bagaimanapun, Steele mampu menghadapi Tamon Rah walau ada masalah yang menyebabkan kemunculan monster tak terbatas. Sepertinya, perempuan ini ditakdirkan untuk sesuatu yang istimewa. Mungkin untuk Alforea.
            Tangan Nessa melanjutkan meraba permukaan kulit Steele. Pipinya merona merah.
            “Kontestan yang datang ke benteng ini kacau-kacau.”
            Suara tadi membuat Nessa terperanjat. Buru-buru ia berdiri, menghadap asal suara tadi. Awalnya ia melihat seorang kakek tua. Nessa memejamkan matanya sebentar, mengatur kembali persepsinya. Saat ia membuka kelopaknya lagi, pria tua tadi telah digantikan melihat sosok pemuda berambut pirang dalam balutan zirah. Seperti itulah wujud Sammeriil saat masih prima.
            Jiwa Sammeriil masih bertahan di benteng ini. Saat ia mati, wasiat kesatria legendaris itu menghendaki jasadnya dipotong-potong dan dimasukkan ke seluruh penjuru benteng latihan buatannya. Lumut yang ia tanam membuatnya lebih mudah berinteraksi dengan kontestan, tanpa perlu takut mereka akan dengan bodoh mencoba mengusirnya.
            “Satu penembak jitu yang sifatnya kurang jelas, satu pemuda canggung, seorang gadis berkepribadian ganda yang nggak asyik digodain, satu cewek air yang masih naïf dan bingung-bingung…”
            “Bagaimana dengan dia?” tanya Nessa, menunjuk Steele.
            “Seperti yang lain, dia punya potensi. Tapi dia masih dihantui oleh sejumlah kelemahan… dan mungkin dia memang sudah terlalu tua untuk mengatasi kelemahan itu.” Sammeriil lalu menambahkan, “Yang jelas dia tidak akan bertahan lama. Dan ingat, kamu itu pelayan, jangan seenaknya berpihak.”
            Nessa memandangi Steele lagi. Apakah benar ia tak akan mampu bertahan lama di turnamen ini? Karena dalam hati Nessa masih berpendapat Steele dapat menimbulkan guncangan hebat di ronde-ronde berikutnya. Setidaknya, sampai tiba saatnya Tamon Ruu melanjutkan mengusir mereka yang tak pantas

Link To Facebook Thread

14 comments:

  1. Vajra sez: Nah itu baru namanya detail :p Tak ada double, single chokebombpun jadi.

    Asyik juga, kejutan dan ketegangannya berasa, didukung oleh medan yang "really dark and mind-boggling". Keteguhan mental Steele benar-benar diuji (lagi).

    Soal battle, yeah, memang nggak terlalu banyak skill yang diumbar, dan gerakan-gerakannya nggak terlalu "canggih", tapi saya benar2 dapat gambaran sejelas film dalam otak saya, termasuk apa yang dirasakan dari masing-masing OC.

    Memberi handicap pada OC sendiri, walaupun OC-OC lain kelihatannya punya skill2 yang cukup imbang? Really challenging.

    Hmm, jadi penggambaran karakter yang lebih lugas dari beberapa OC kontestan lewat teknik ganti POV, ya? Coba saya catat itu.

    Entri R1 Steele ini jadi memberi pencerahan juga buat saya. Sedikit demi sedikit, Steele akan tahu dia punya tugas dan takdir yang jauh lebih besar daripada sekedar ikut turnamen dadakan ecek-ecek saja. Begitu juga yang terjadi sama my dude Vajra, gak cuma buat menempa diri aja :p

    Dapatkah Steele menghadapi segala ketakutannya dan terus bertahan?
    Entahlah, Vajra sendiri juga nggak yakin, tapi kita bisa terus maju sejauh mungkin, kan?

    Skor: 9/10
    OC: Vajra

    ReplyDelete
  2. Aaaaa ga dapet komen pertamaaax >///< #plak

    Hehe, btw...

    Kirain monster-monster yang mati dibunuh wildan itu si bun??? >///< #eh

    Btw, pertarungan gelap-gelapan lawan wildannya seru banget, mengandalkan indera pendengaran dan perasaan. Si wildan sok-sokan juga ya mau beradu tangan kosong ma steel. Overall pertarungannya juga seru-seru dengan narasi yang enak diikuti. Paling si, somehow aku ngerasa ada kekuatan yang kena nerf dari lawan-lawannya steel.

    Wih, tiap karakter dieksplor masa lalunya gara-gara lumut. Nice, nice. Yang kasian cuma sanelia, sniper satu itu ga dapat jatah eksplor karakter. :'^)

    Overall good dari alur cerita dan narasinya. Cuma paling aku lum nemu faktor X aja ni.

    Nilai : 9

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete
  3. Hmmm, saya terbawa sama keseriusan entrynya, jadinya saya komen yg serius wkkwkwkwkw
    (serius ko ktawa)
    ehm, saya belum baca yg prelim, cuma baca ini saya ngerasa narasinya rapih, runtut, mudah buat menikmatinya. Masa lalu dan pengalaman buruk OC2 dibahas, memanfaatkan lokasi yang ada dalam pertarungan. Belum lagi secara cerita yang bagus dan si Sam Riilm--eh, Sameriilnya itu sebagai semacam observer/tester(?) itu.
    Iya, bagus, tapi gitu aja, nothing special, atau justru bagusnya itu?
    Yah, mengesampingkan kebagusannya, saya kok ngerasa Steele entah lebih badak dan kuat dari OC lain, atau OC lain yang tampak lebih lemah? Yah, emang perbandingan seperti ini sulit sih untuk BoR karena kita ga tahu pasti konversi kekuatan masing2 OC sama atau tidak. Jadi saya paham kesulitannya di sini.

    Skor: 8

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
  4. Yhaa ... gak jadi komen pertamax~

    Hmm, kalo pertama saya baca karya, pasti yg saya liat narasinya. Dan entry ini jelas gak perlu diragukan lagi ke-awesome-annya soal cara bertutur. Mantep. Detail, tapi gak bikin bosan. Saya kaya baca novel yang digarap dgn rapi.

    Battlenya sendiri seru, tanpa kehilangan sisi dramatisnya. Ini jenis battle yang paling saya suka. Aksi dapet, OC development-nya juga. Tapi Nely berasa dianak-tirikan. Untung dia sempet mamerin skillnya.

    Soal ilusi itu, di samping Steele saya suka penggambaran background Neeshma, apalagi pertentangan manusia-maan. Suram-suram gimana gitu.

    Sekarang ... ke OC sendiri. Wah, Ahran kebagian sudut pandang. Yey! Penggambarannya juga lebih waras daripada di cerita saya. Ditambah ada Rustem-nya. Tapi rasanya dia mati terlalu mudah. Gapapa lah, soalnya kalo dalam keadaan begitu Ahran kemungkinan besar emang tewas XD

    Ahran jg disebut pemuda. Jadi malu >///<

    Kurangnya dari entry ini mungkin, Steele rasanya agak op untuk ukuran manusia biasa. Emang sih dia dapet daya tahan super, tp ya saya sendiri ngerasa janggal aja. Dan kayanya emang saya doang yang begini XD

    Overall, buat entry ini, saya titip 10 Kak Fachrul. Bener-bener bacaan keren di sore hari ini ^_^

    Dari N. Alfian
    OC: Ahran

    ReplyDelete
  5. Haah! Akhirnya selesai juga bacanya,panjang abis. >_< tapi isi cerita ini gak mengecewakan meskipun harus terkantuk2 membacanya. Plot cerita mengalir teratur, bahkan masalah pribadi masing-masing oc juga tereksplor, mskipun g semua sih tapi ini udah lebih dari cukup untuk mengatakan cerita ini yang terbaik di beberapa entri yg sudah masuk sampai saat ini, menurut saya. Adegan battle, serangan psikologis yg dialami peserta juga smpat membuat saya merasakan tekanan yg mereka dapat. Overal this story is TOP. XD
    Nilai : 9/10.
    Khanza

    ReplyDelete
  6. Spasinya udah benar kali ini =))
    Battle-nya apik. Para attacker-nya benar-benar dipakai bertarung habis-habisan. Geografi kastil Sammeriil juga kebayang tanpa harus pakai peta. Good job.

    Ada bagian yang tertulis dua kali, di bagian halusinasi Steele tentang anaknya. Minor sih, memang.

    Nilai 9
    OC. Apis

    PS. Steele pake doping gak sih? Atau steroid? /buagh
    PSS. Apakah hubungan 'terlarang' Steele x Nessa bakal dieksplor untuk R2 nanti?

    ReplyDelete
  7. Holy shot...

    Narasinya uda jelas enak diikuti...
    Bagian2 halusinasinya yang bikin ini cerita penuh bumbu dan berbobot.

    Aksi2nya juga kebayang banget... Dan ini cerita seru... Pake banget.

    Saya kasi 10/10
    Walopun pesanan saya masi belum muncul juga :v

    (Bun The Bubble)

    ReplyDelete
  8. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  9. Wooogh, mama Rin benar-benar "tersiksa" ya...

    Scene soal ilusinya keren, apalagi penggambaran soal pertarungan mengandalkan indera pendengaran aja itu detail sekali.

    Adegan gebuk-gebuknya juga tergolong ringan, gak ada narasi belibet pergerakan char yang kesana sini, begini begitu, yang susah untuk dibayangkan.
    Mama Rin sama Wildan adu tenaga, udah gitu.
    XD

    Btw, Nely matinya ngenes sekali
    XD


    Point : 8

    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
  10. Fatanir - Po

    Perjuangannya Steele kerasa bgt susah payah. Efek halusinasi juga digambarin dgn narasi yg halus. Setiap karakternya jg tergali dgn baik sampe background storynya kerasa.

    Paling kekurangannya minor aja, di sini disinggung tentang keanehan "sepertinya ada pihak luar yg berusaha ganggu turnamen ini, makanya kmrn pas prelim monsternya gak abis2", tapi kyknya kejadian prelim itu atau pembahasan kejadiannya di R1 ini kurang berkesan aneh bagi sudut pandang Steele, sehingga kesan foreshadowingnya kerasa kurang

    Nilai 9/10

    ReplyDelete
  11. Ah, akhirnya ada juga yang jelasin semua peserta di-heal sampe full recovery sebelum masuk pertandingan selanjutnya

    Menjura itu apa ya? Kata baru nih

    Yang saya suka dari gaya tulisan ini adalah, meski ada paragraf padat dengan detil deskripsi kayak apa yang lagi dilewatin Steele atau penjelasan latar belakang benteng, saya masih tetep enak ngikutinnya. Padahal saya sendiri tipe yang nyaris ga mainan deskripsi tiap nulis cerita

    Dari segi karakter sendiri, udah dari dulu lah ya emang jagonya mainin konflik personal gini. Mendukung banget pula settingnya dikasih halusinogen segala, jadi bisa ngupas soal Steele dan masih releven sama jalannya cerita

    Di beberapa part kerasa panjang, dan yang paling kentara battlenya beneran mojokin Steele sendiri ya - gimanapun juga dia cuma manusia biasa, jadi keliatannya emang mesti struggle ekstra buat survive di sini. Masalahnya part yang panjang ini juga kerasa banget pas Effeth vs Ahran - mungkin karena fokus saya di kepala isinya Steele, baca kisah yang pindah fokus gini malah bikin sidetracked. Mungkin ada baiknya diselang-seling antara side Steele sama Effeth biar ga kagetan

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  12. Maaf baru bisa review padahal udah baca lama >_<

    Saya setuju sama mas Sam, kek "Lho, pindah?" gitu pas mendadak angle ke Effeth.
    Tapi yang bener membuat saya pribadi terkesan adalah bagaimana konflik tiap karakter dikupas abis dengan porsi yang pas. Saya bahkan ternganga melihat Neeshma di tangan mas Fachrul. Saya sebagai orang tua Neeshma merasa gagal T.T

    9 1=10~ karena entri pertama grup G. :'3 #sambilpundung

    ReplyDelete
  13. Tanpa banyak kata, aku mulai reviewnya.

    Plot : Tentunya cukup sulit merancang adegan dengan 6 karakter sekaligus dalam satu tempat. Apalagi ketika karakter2 tersebut diharuskan untuk berinteraksi (saling bunuh), dan apabila salah satu aja mati offscreen, maka rasanya agak aneh.

    Salut buat author yg udah berusaha keras ngasi spotlight ke setiap OC. Cuma sayang, Sanelia nggak kebagian, dan aku cukup maklum soal itu.

    Gelapnya benteng terasa banget. Gimana musti bertarung ditengah kegelapan dan juga halusinasi.

    ===

    Karakterisasi : Karakter Steele sangat digali disini masa lalunya. Beberapa karakter seperti Neeshma juga digali, tapi nggak cukup dalam. Tapi aku rasa itu cukup utk memberi mereka alasan buat bertarung.

    ===

    Battle : Perjuangannya Steele terasa banget, nggak cuma ngelawan halusinasi, tapi juga ngelawan luka separah itu. Musti bertarung dalam gelap, hanya bermodalkan raw power dan juga niat berani mati.

    Entah kenapa, aku ngerasa kalo gorenya agak kurang disini dibanding prelim. Aku tadinya berharap adegan gore yg cukup mendetail, atau seseorang yg terbunuh dengan sadis, something like that lah.

    Mungkin karena makin kesini makin berasa game online, jadi matinya jadi serpihan, dan ada sistem instant healing dan juga checkpoint yg mulai disadari Lady Steele.

    Krn Lady Steele adalah tipe orang yg udah membuang masa lalunya, dan ikut turnamen cuma sebagai pemuas hasrat bertarungnya, jadi nggak banyak yg bisa digali dari karakter Lady Steele. Jadi utk saat ini, yg bikin Lady Steele menarik utk diikuti adalah bagaimana dia memenangkan ronde berikutnya dengan luka2 parah yg pasti dialaminya tiap pertarungan.

    Itulah kesan 'kuat' dari entry ini. JUST DO IT. NOTHING IS IMPOSSIBLE!
    (eh..)

    Dariku 9/10

    OC : Meredy Forgone

    ReplyDelete
  14. Wah, ini lebih brutal dari prelimnya, dan saya serius bener-bener suka perjuangan Steele di sini. Perjuangannya secara fisik dan mental sangat terasa, saya jadi ikutan ngilu tiap Steele terluka...

    Saya jadi tertarik dengan karakter si kakek yang jadi lawan perang batin Steele.

    “Ti-dak. Itu hobi. Kamu nggak jauh beda sama bapak yang tiap hari berjudi, menelantarkan keluarganya. Atau pemuda menyedihkan yang menghabiskan seluruh uangnya untuk membeli pernak-pernik idola. Kalau kamu menjadi pejuang yang lebih sempurna, kamu harus menerima siapa kamu sebenarnya, bukan berlindung di balik wajah palsu.”
    Best quotes from an old man inside Steele's head XD

    Untuk penulisannya ini sudah rapi, narasinya juga bisa membuat saya terhanyut, jadi tidak ada kripik dari saya. Srsly, I enjoyed reading this piece to the point I don't even know what to say to review it... and I also to damn lazy to read it again just to point out a slight mistake (sorry).

    Poin 10

    OC: Caitlin Alsace

    ReplyDelete