25.6.15

[ROUND 1 - TEAM D] AVIUS SOLITARUS - PRIMUM, NON NOCERE

AVIUS SOLITARUS - PRIMUM, NON NOCERE
Penulis: Suihei Yugure





"Yo, Avius."

Avius tengah menikmati susu hangatnya di bar penginapan malam itu ketika ia mendengar suara yang familiar memanggil disertai tepukan pada pundaknya.

"Garrand." Penyihir muda itu menoleh dan tersenyum.

"Serigala ini salah satu hewan sihirmu juga?" Garrand menunjuk seekor serigala yang duduk di sebelah kakinya. Serigala itu menghilang begitu saja tak lama kemudian. "Aku melihatnya berputar-putar di halaman dan ia menatapku ketika kuhampiri. Jadi aku ikuti dan yah... aku di sini. Apa ada yang kau perlukan sobat?"

Avius merogoh kantung dalam jubahnya dan mengeluarkan tiga botol kristal kecil dari dalamnya. Ia mengulurkan botol-botol itu pada Garrand. "Yang merah itu penangkal kutukan sihir, yang biru penangkal racun, dan yang bening itu memiliki efek sama dengan sihir pemulihanku."

"E-eh?" Garrand terdiam menatap ketiga botol kristal di tangan Avius. Ia menunjuk botol itu lalu menunjuk dirinya sendiri berulang kali.

"Tentu saja," balas Avius. Pemuda itu menjejalkan ketiga botol kristal itu ke tangan Garrand. "Maaf karena hanya bisa membuat ramuan dengan tingkat rendah menengah. Aku tidak dapat menemukan cukup bahan di sini," lanjutnya lagi.

"Bu-bukan begitu." Garrand mengulurkan kembali botol kristal di tangannya. "Mana bisa aku menerimanya."


Avius menahan tangan pemuda itu. "Ambillah," ujarnya. "Memang sudah sengaja kupersiapkan untukmu dan Dyna juga kok," tambah Avius seraya menepuk jubahnya, menimbulkan bunyi denting kecil botol-botol kristal yang tersimpan dalam saku di baliknya.

"Ah well... terima kasih banyak," gumam Garrand pelan yang dibalas senyuman Avius. Pemuda itu menyimpan ketiga botol ramuan tersebut dalam sakunya dengan hati-hati dan duduk di sebelah Avius. "Mead," ujarnya pelan pada pelayan bar yang langsung mengangguk mengerti. Tidak lama, segelas besar minuman berwarna oranye cerah diletakkan di hadapan pemuda itu.

"Kau sudah menemui Arc?" tanya Avius.

Garrand menggeleng, "Aku belum bertemu dengannya. Tapi aku turut berduka. Si bodoh itu... bisa-bisanya dia lupa konfirmasi karena telah menyelesaikan babak penyisihan lalu dianggap gugur." Ia kemudian menyisip minumannya dan kembali beralih pada Avius, "Kau sudah bertemu dengannya?"

"Kurasa dia masih kesal. Sepanjang sore tadi ia terus menggerutu tanpa henti."

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan lukamu? Kau yang terluka paling parah diantara kita kan? Apa kau baik-baik saja? kau tahu kan? Besok pagi..."

Avius menggaruk dagunya, "Well... semenjak awal aku memang tidak mengalami luka apa-apa. Tapi-" Pemuda itu menghela nafas, "Entah bagaimana begitu tiba kembali di tempat ini keadaanku bagaikan kembali seperti semula, seakan semua pertempuran itu tidak pernah terjadi."

"Ah ya, aku juga merasa demikian. Aku ingat Dyna juga berkata bahwa rasa letihnya hilang begitu saja."

"Aku harus mempelajari sihir penyembuh itu..." gumam Avius. Pemuda itu mengangkat gelas susunya yang masih setengah penuh dan menenggaknya habis. "Dan tidak perlu mencemaskanku.  Kau sendiri bagaimana? Sudah siap? Kita akan berjuang sendiri-sendiri lho besok."

Garrand menghela nafas, "Entahlah, aku masih tidak bisa membayangkan aku harus membunuh seseorang di turnamen ini."

Syukurlah aku tidak berada satu tempat denganmu.

Aeternal Litera, kemampuan telepati Avius aktif dengan sendirinya. Dengan sendirinya pula penyihir muda itu mengetahui sosok pemuda di sebelahnya tidak ingin melawan terlebih mencelakakan dirinya.

Senyum kecil mengembang di wajah Avius. Entah mengapa ia merasa sesuatu yang hangat dan menyenangkan tengah merasuki dirinya, "Terima kasih," ujarnya pelan.

"Eh? Apa?"

Tanpa menghilangkan senyum di wajahnya, Avius menggeleng. "Bukan apa-apa," balasnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk bar. "Seharusnya Dyna tiba sebentar lagi. Hawkes sudah menemukannya. Ah, itu dia."

Avius membalas lambaian tangan seorang pria atau wanita –yang mana sampai sekarang ia belum yakin-   dengan setelan putih dan topi coklat khas yang baru memasuki bar. Seekor elang bertengger di bahu pria atau wanita itu.

***

Kalian harus saling membunuh hingga hanya satu orang yang tersisa.

Kata-kata gadis aneh yang memperkenalkan dirinya sebagai Random Number Generator itu kembali terngiang dalam kepala Avius.

"Membunuh ya..." pemuda itu menatap tato rune hitam kecil di pergelangan tangan kanannya. "Apa yang harus kulakukan? Master?" Ia menghela nafas dan memejamkan mata, menikmati semilir angin malam di halaman penginapan yang sepi menerpa wajahnya.

"Apa kau sudah menemukan apa yang kau cari?"

Sebuah suara yang tidak asing bagi Avius mengejutkan pemuda itu. Suara pelan namun terdengar damai yang mana ia ingat berbincang dengannya sebelum ia tiba di tempat ini. Avius menoleh dan mendapati sosok pria dengan jubah dan tudung hitam yang menutupi kepala pria itu berdiri beberapa meter di sebelahnya.

Pria itu membuka tudung kepalanya dan menunjukkan senyum dengan pandangan kosong. "Selamat malam Avius, bagaimana  harimu? Apa menyenangkan?"

Aeternal litera tidak bekerja. Tidak peduli seberapa keras Avius berusaha menggunakan kekuatan telepatinya itu secara manual. Dalam pikirannya sendiri berkecamuk dua kemungkinan, Pria itu memiliki sihir kuat yang dapat menangkal kemampuan telepatinya, atau memang ia tidak memiliki hasrat dan tujuan sama sekali. Ditambah ia tidak tahu bagaimana pria itu dapat mengetahui namanya.

Pada akhirnya Avius menghela nafas kembali dan membalas senyum pria itu. "Selamat malam, aku harus berterima kasih pada tuan yang telah memberikan surat istimewa itu. Berkatnya, banyak yang bisa kupelajari di tempat ini," ujar Avius seraya membungkuk kecil hormat.

"Ah syukurlah kalau begitu. Kuharap kau dapat terus berjuang sampai mendapatkan apa yang kau inginkan. Nah kalau begitu, aku harus pergi lagi. Ada yang harus kulakukan." Pria itu mengenakan kembali tudung kepalanya dan berpaling.

"Ah tunggu tuan, boleh saya tahu nama anda?" seru Avius.

Pria itu kembali berbalik dan berkata dengan suara pelan dan nyaris tidak terdengar, "Aku dikenal dengan banyak nama. Tapi, kurasa kau dapat memanggilku Dima- tch." Ia tidak menyelesaikan kata-katanya dan melemparkan sebuah botol kaleng kuning dengan label bertuliskan 'Wedang Jahe Kalengan' pada Avius.

"Maafkan aku, aku benar-benar harus pergi. Anggap itu bentuk permohonan maaf atas ketidaksopananku." Dengan cepat pria itu kembali berbalik dan berjalan sampai sosoknya hilang ditelan kegelapan rimbunnya pepohonan halaman penginapan.

Suara langkah kaki terdengar tak lama kemudian, sosok pria dengan rambut dan janggut putih panjang berjalan mendekatinya. "Hei kau, kau peserta juga kan? Apa yang kau lakukan di tempat ini semalam ini?"

Avius kembali menunduk sopan, "Selamat malam tuan Hewanurma," ujarnya.

"Jawab pertanyaanku," hardik pria itu.

"Hanya menikmati suasana malam kota ini saja. Saya menyukai saat-saat seperti ini."

"Ah sudahlah. Ngomong-ngomong, kau melihat seseorang yang mencurigakan?" tanya Pria itu lagi yang dibalas oleh gelengan kepala Avius.

Hewanurma memandang Avius selama beberapa saat. Sampai botol kaleng yang berada di tangan pemuda itu menarik perhatiannya. "Hei, darimana kau mendapatkan itu?"

"Seseorang memberikannya pada saya," balas Avius.

"Seseorang?" Hewanurma mengangkat sebelah alisnya, "Siapa?" lanjutnya lagi.

Avius kembali menggeleng, "Saya sendiri tidak tahu tuan. Ia langsung pergi sebelum menyelesaikan perkenalannya tadi."

"Kau baru pertama kali bertemu dengannya?"

"Ini kali kedua tuan, saya pertama kali bertemu dengan pria itu sebelum menerima surat undangan ke tempat ini. Apa ia salah satu anak buah tuan Hewanurma?"

Senyum mengembang di wajah Hewanurma. Ia mendengus dan berkata, "Begitu rupanya Pamungkas... Tak akan kubiarkan ini berjalan sesuai dengan apa yang kau inginkan."

Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada Avius. "Kau, beristirahatlah. Jangan sampai kau pingsan sebelum ronde pertama dimulai."

Avius kembali membungkuk hormat ketika Hewanurma berbalik dan berjalan pergi. Melalui kemampuan telepatinya, ia menangkap rasa sinis dan benci yang pria itu tujukan pada satu orang, Pamungkas. Merasa tidak mengetahui nama itu maupun pernah mendengarnya sebelum ini. Avius memutuskan untuk tidak mencari tahu lebih lanjut. Ia pun berjalan kembali ke kamarnya di penginapan.

***

"Selamat datang. Perkenalkan, saya Myra, maid yang menjadi pemandu anda pada babak ini."

Untuk kedua kalinya Avius berada dalam ruangan putih kosong ini. Hanya saja kali ini ia hanya berdua dengan sang gadis pelayan.

"Avius, Avius Solitarus. Mohon bantuannya," ujar Avius. Ia telah terbiasa  dengan ruangan putih kosong tersebut walau baru dua kali berada di tempat itu.

Gadis pelayan itu tersenyum sesaat sebelum kembali memasang wajah datar tanpa ekspresi. Ia mengangkat tangannya dan menciptakan sebuah kalung rantai perak dengan tabung kecil keperakan sebagai mata kalung dari ketiadaan dan mengulurkannya pada Avius.

"Boleh aku tahu fungsi benda ini? apa seperti alat navigasi kemarin?"

Gadis itu menggeleng, "Ini adalah tabung generator energi. Saya yakin tuan sudah mendengar RNG-sama memberitahukan lokasi dan peraturan ronde kali ini kemarin. Dan ini-" gadis itu menunjuk tabung perak di tangan Avius, "Adalah peraturan tambahan khusus untuk lokasi dimana anda, dan lawan-lawan anda akan bertarung."

"Peraturan tambahan?" Avius memperhatikan tabung perak itu dengan seksama.

"Silakan tuan tekan bagian atas tabung tersebut yang terlihat lebih menonjol."

Sebuah layar hologram kecil muncul begitu Avius melakukan instruksi tersebut. Angkat 100 tertera pada layar hologram tersebut.

"Itu adalah kondisi baterai generator tersebut pada saat ini. Khusus untuk pertarungan di Verdana, sebuah peraturan tambahan telah diberlakukan. Setiap peserta harus menjaga dan memastikan generator miliknya tidak kehabisan daya atau rusak oleh sebab apapun."

"Itu berarti..."

Gadis pelayan itu menggangguk, "Untuk pertarungan di Verdana, setiap petarung tidak diharuskan untuk menghabisi dan membunuh lawannya. Apabila generator peserta rusak, maka saat itu juga ia dinyatakan kalah."

Dengan lambaian tangannya kembali, Myra menciptakan sebuah layar hologram yang menampilkan peta besar dengan tulisan 'Verdana Power Plant Area' di atasnya. Ia kemudian menekan bagian tengah peta tersebut dan menampilkan gambar mesin aneh yang belum pernah Avius lihat sebelumnya.

"Baterai generator akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya. Apabila daya habis, maka peserta akan dinyatakan kalah. Tapi, setiap peserta dapat mengisi daya dinamo tersebut di tempat ini."

Avius menggenggam dinamonya dengan erat. "Aku mengerti, terima kasih banyak..." ujarnya.

"Anda akan dikirim ke arena pertarungan sebentar lagi. Selamat berjuang dan semoga berhasil tuan Avius." Gadis pelayan itu membungkuk hormat dan sosoknya perlahan menghilang, meninggalkan Avius sendirian dalam ruangan tersebut.

***

Hujan deras mengguyur tubuh Avius bersamaan dengan bergantinya lokasi pemuda itu berada dalam seketika. Dengan sigap pemuda itu mengenakan tudung jubahnya dan berlari menuju bangunan terdekat untuk berlindung.

Perlahan pemuda itu mengetuk pintu kayu bangunan tersebut. Setelah tiga kali fase mengetuk yang tidak membuahkan hasil apapun, Avius perlahan memutar kenop pintu.

Tidak terkunci, pikirnya.

Avius memperhatikan sekelilingnya. Walau gelap, ia dapat melihat seisi ruangan yang hanya terdiri dari tempat tidur gantung, sebuah meja kecil dan lemari yang seluruhnya tertutup debu. "Sepertinya memang sudah lama ditinggalkan seperti yang panitia katakan," gumam Avius. Ia mengusap debu di meja dengan jarinya.

Petir menggelegar keras dari luar, Avius masih menelusuri bangunan kecil tersebut. Pemuda itu mendekati lemari tua di sudut ruangan dan menatap pintu lemari tersebut.

"Aku ingin tahu apa isinya. Tapi bukankah ini melanggar privasi? Tapi apa mengecek barang yang telah ditinggalkan termasuk melanggar privasi? Tapi tetap saja ini barang milik orang lain. AAAAAAAHHHH aku penasaran..."

SEKARANG SAATNYAW!

"He?" Sudah terlalu terlambat bagi Avius untuk sadar begitu kemampuan telepatinya aktif. Pintu lemari itu terbuka lebar secara tiba-tiba dan seekor makhluk melompat dari dalam. Makhluk itu menabrak Avius hingga jatuh dan berdiri di atas pemuda itu dengan keempat kakinya.

"Ada perhonan terakhir nyaw? Sebelum aku mengakhiri nyaw wamu nyaw!"

Avius menatap makhluk itu dengan seksama. Makhluk yang menabraknya itu sekarang tengah duduk di atas tubuh Avius dan menjilati kaki depannya. "Kucing? Dan bisa berbicara?"

"Kenapa nyaw? Belum pernah melihat kucing ngomong nyaw?" Kucing itu mengangkat kaki depannya dan memamerkan cakarnya yang tajam. "Bersiaplah menemui ajalmu nyaw!"

Dengan sigap, Avius bangkit secara tiba-tiba dan membuat makhluk itu kehilangan keseimbangan. Pemuda itu dengan cepat menyambar sela kaki depan kucing itu dengan kedua tangannya dan mengangkatnya lembut. "Wah... bulumu lembut sekali. Sayang sedikit basah. Pasti karena hujan di luar."

"Hei nyaw! Turunkan aku! Ini pelecehan terhadap bangsa kucing nyaw!"

"Hmm... kau terasa sedikit berat. Sepertinya kau terlalu gemuk..."

"Tidak sopan nyaw!" Kucing itu meronta dan berhasil melepaskan diri dari pegangan Avius. Ia menatap pemuda itu galak dan mengeluarkan suara desis marah.

"Ahahaha, maafkan ketidak sopananku. Aku belum pernah melihat hewan yang dapat berbicara sebelumnya. Selama ini aku selalu berinteraksi dengan mereka menggunakan telepati." Avius berjongkok dan menatap mata kucing itu.

"Telepati nyaw?"

Pemuda itu mengangguk mantap. "Yup! Tidak seperti berkomunikasi sih. Lebih kearah aku dapat mengetahui apa yang mereka inginkan. Kau tertarik?"

"Kalau begitu nyaw, apa yang aku inginkan saat ini nyaw?"                 

"Hmmm..." Avius menggaruk dagunya, "Handuk tebal, susu hangat, tempat tidur besar dan hangat."

"Luar biasa nyaw!"

"Tepat? Padahal aku belum menggunakan kekuatanku."

"NYAW!"

Avius tertawa ia mengulurkan tangannya dan berujar, "Avius Solitarus senang bertemu denganmu."

Kucing itu menatap Avius dengan curiga. Sebelum akhirnya membalas uluran tangan pemuda itu dengan kaki depannya. "Yu Ching nyaw," balasnya.

"Yu Ching? Berarti kau?" Perhatian Avius tertuju pada benda kecil keperakan yang menempel pada kalung di leher kucing itu. "Peserta turnamen?" lanjut Avius lagi.

"Memangnyaw kau kira aku ini apa nyaw!" protes Yu Ching. "Apa kau tidak pernah melihatku di bar atau penginapan nyaw?"

"Aku kira peliharaan pemilik penginapan."

"NYAW!"

"Ahahaha maaf... maaf..." Avius kembali berdiri dan merenggangkan tubuhnya. "Jadi, tuan Yu Ching. Apa yang akan kita lakukan berikutnya? Bertarung?"

"Tentu saja nyaw! Hadapi aku Nyawius!" Yu Ching memasang posisi siap bertarung. Sementara Avius tersenyum dan kembali berjongkok.

"Apa tidak sebaiknya kita saling membantu saja untuk saat ini? Aku tidak ingin melawanmu. Kita dapat saling bertarung dengan cara lain nanti. Suit batu gunting kertas misalnya."

"Hmm... ide bagus nyaw." Kucing itu mengangguk setuju. Ia merenggangkan tubuhnya dan kemudian menggaruk belakang telinganya menggunakan kaki belakang. "Kita punya kesempatan jadi pemenang apabila bekerja sama."

Kucing... pikir Avius.

"Baiklah nyaw... kita akan selesaikan semuanya dengan suit nanti." Yu ching terdiam sesaat sebelum ia menyadari sesuatu. "Nyaw! Kau tahu aku cuma bisa mengeluarkan kertas kan!"

Dan Avius kembali tertawa.

***

"ANJING NYAW!" Yu Ching memekik kaget ketika Avius memunculkan seekor serigala besar di sisinya.

"Serigala," koreksi Avius.

"SAMA NYAW!" Kucing itu memasang posisi siaga dan memamerkan taring serta cakarnya yang tajam begitu serigala ciptaan Avius menoleh ke arahnya.

"Tidak perlu takut," ujar Avius. Pemuda itu membuka pintu sedikit dan membiarkan serigala itu pergi ke luar menembus hujan.

"Fenrir adalah makhluk sihir ciptaanku. Ia tidak berbahaya tapi," Avius duduk bersila di lantai dan memejamkan mata, "Amat sangat berguna."

"Nyaw? Apa yang kau lakukan Nyawius?"

"Observasi lokasi pertarungan dan mencari peserta lain, aku dapat melihat melalui mata Fenrir," terang Avius. "Oh ya, boleh aku minta tolong mengawasi tempat ini? agar aku dapat fokus melakukan observasi."

Yu Ching melompat ke pangkuan Avius dan berseru, "Serahkan padaku nyaw! Jangan cemas. Apabila ada yang mendekat, aku dapat mendengar langkah kaki mereka walau tertutup hujan nyaw!"

Jarak pandang Fenrir agak terganggu dikarenakan hujan. Dan Avius tidak dapat menggunakan Hawke –elang familiarnya- untuk melakukan observasi dikarenakan hujan yang terlalu lebat dan angin yang bertiup kencang. Pemuda itu terpaksa bersabar dan memperhatikan setiap lokasi yang dapat serigala itu jangkau.

Di beberapa tempat, Avius tertarik pada bola-bola cahaya dengan kilatan listrik di dalamnya. Bola-bola itu terbentuk begitu saja sebelum menghilang, atau lebih tepat disebut meledak, walau tidak menimbulkan efek fisik yang terlihat.

"Nyaw?" Telinga Yu Ching bergerak-gerak, "Nyawius, ada yang mendekat."

Avius sontak membuka mata, "Sembunyi," bisiknya.

Belum sempat keduanya beranjak, pintu kayu yang tidak memiliki mekanisme kunci tersebut terbuka. Seorang gadis dengan rambut perak sepinggang berdiri di depan pintu masuk dengan wajah terkejut.

Avius berdiri dengan cepat dan Yu Ching memasang posisi siap bertarung. Sementara gadis itu mengeluarkan sebuah belati berlekuk-lekuk yang belum pernah Avius lihat sebelumnya.

"Se-senjata itu..."

Gadis itu tampak kebingungan dan memperhatikan senjata yang ia pegang. Dalam sekejap mata Avius sudah mendekati gadis itu, atau mungkin lebih tepat disebut mendekati senjata di tangan gadis itu.

"A-aku belum pernah lihat yang seperti ini... Beli di mana? Atau anda membuatnya sendiri?"

Semakin kebingungan oleh tingkah Avius, gadis itu hanya menggumamkan kata-kata tidak jelas, "Eh.. anu.. itu... keris, apa..."

Sadar atas apa yang ia lakukan, Avius langsung melompat mundur. "A-ah maafkan saya non-"

Aku laki-laki

"Eh?" Avius tahu telepatinya tidak pernah salah. Ia memperhatikan kembali gadis di hadapannya dengan seksama. "Tuan?"

Senyum lebar mengembang di wajah gadis itu. Ia langsung menjabat tangan Avius dengan bersemangat, "Ka-kau bisa tahu? Sudah kuduga pasti hanya beberapa orang saja yang mengira aku wanita. Ya ya ya... sepertinya memang begitu."

"Nyaw mengenalnya Nyawius?" tanya Yu Ching yang heran memperhatikan gadis itu mengangguk dan berbicara sendiri selama beberapa saat.

Avius menggeleng, pemuda itu kemudian kembali menjulurkan tangannya yang langsung disambut oleh gadis itu. "Avius, Avius Solitarus. Dan anda tuan...?"

"Apis," balas gadis itu mantap. "Panggil Apis saja, tidak perlu tambahan apa-apa," lanjutnya lagi.

"Ah ya, ini Yu Ching." Avius menunjuk kucing hitam yang sekarang tengah menaiki bahunya.

"Eh dia peserta?" Apis tampak sedikit terkejut. Ia memperhatikan kucing itu dengan teliti dan langsung mengangguk setuju begitu Avius menunjuk mata kalung berbentuk tabung perak kecil di leher kucing itu.

Ketiganya duduk di dalam bangunan tersebut selama beberapa saat sampai Avius berseru, "Oke, aku sudah menemukan peserta-peserta lainnya!"

***

"Bagaimana kau bisa menemukan peserta-peserta lain Avius?" Apis bertanya penasaran ketika ia dan Apis berlari menembus hujan. Sementara Yu Ching berada dalam gendongan Avius di dalam jubahnya, berlindung dari hujan.

"Hewan sihir, aku dapat melihat melalui mata mereka. Dan well... mereka sulit dideteksi. Seandainya terlihat mungkin hanya akan dikira hewan liar."

"He-he..." Apis hanya membalas dengan anggukan. Mereka  menyusuri jalan berkelok-kelok di antara puluhan bangunan tidak berpenghuni dan berhenti ketika mendapati sosok anak laki-laki dengan rambut hijau tengah berjongkok memperhatikan bola cahaya dengan kilatan listrik di dalamnya. Sehelai kain putih besar melindunginya dari hujan.

"BOLA CAHAYA NYAW!!!" Yu Ching melompat keluar dari dalam jubah Avius dan berlari menghampinya.

"YU CHING! AWAS! JANGAN MENDEKAT!" teriakan Avius tidak dihiraukan. Begitu Yu Ching mencapai bola cahaya tersebut dan hendak berusaha untuk menyentuhnya, bola itu meledak. Menciptakan efek cahaya yang menyilaukan sesaat dan mengejutkan mereka yang berada di tempat itu.

Keterkejutan Avius tidak berhenti sampai di sana, cahaya menyelimuti tubuh Yu Ching dan anak berambut hijau itu. Tak lama kemudian, keduanya lenyap.

"A-apa yang terjadi?" Apis terbelalak.

Avius menggelengkan kepala, "Entahlah, yang jelas bola cahaya itu berbahaya.

"Lalu? Apa yang kita lakukan sekarang?"

"Generator pengisi daya berada tidak jauh dari tempat ini. Sebaiknya kita menuju ke sana," balas Avius.

***

"Sepertinya, bukan hanya kita yang membentuk kelompok. Bukan begitu sayang?"

Raut wajah Avius berubah serius. Seorang pria dengan rambut hitam panjang dan pakaian kain longgar berdiri di sebelah seorang gadis  berambut biru panjang telah berdiri di depan generator pengisi daya sebelum mereka.

"Bagaimana kalau kau meninggalkan teman priamu itu dan bergabung dengan kami cantik?" seru pria gondrong itu lagi.

"Dia mengajak siapa?" bisik Apis pada Avius yang masih waspada.

"Menurutmu? Siapa lagi yang masuk kategori cantik di antara kita?"

Apis merengut. Sementara Avius menghela nafas, "Ah sepertinya ada sedikit kesalah-pahaman. Perkenalkan, Aku Avius Solitarus. Dan rekanku Apis. Dia laki-laki."

Tatapan pria gondrong itu berubah sinis, "Sebenarnya aku tidak ingin menyebutkan namaku pada makhluk menjijikkan sepertimu. Tapi, Aku Nobuhisa, Nobuhisa Oga. Dan ini Maida, Maida York."

"Dan sekarang..."

Nobuhisa berlari menerjang dan menendang Avius. Mementalkan pemuda itu jatuh. Ia kemudian mencekik Apis sebelum pemuda itu sempat bereaksi. Dengan kekuatan luar biasa, Nobuhisa membanting Apis ke tanah. Ia kemudian mencabut pedangnya dan menusuk dinamo beserta tubuh pemuda itu sekaligus.

Terlalu terlambat bagi Avius ketika ia bangkit kembali dan berusaha menyelamatkan Apis. Cahaya telah menyelimuti tubuh pemuda itu dan tak lama kemudian Apis menghilang.

"Makhluk menjijikkan seperti mereka memang harus mendapat bayaran."

Avius terbelalak, "A-apa yang kau lakukan..."

Nobuhisa memandang pemuda itu sinis, "Berpenampilan seperti wanita, apa-apaan mereka... apa mereka tidak memiliki harga diri sebagai seorang laki-laki?"

Sementara itu, Aeternal Litera telah memberikan informasi lain pada Avius. Dan ia pun mengungkapkannya, "Mengapa kau mengatakan hal seperti itu padahal rekanmu sendiri pun demikian."

Nobuhisa menoleh pada Maida. Sementara Maida melangkah mundur perlahan.

Dengan kasar, Nobuhisa menarik baju gadis itu hingga robek dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bentuk tubuh seorang laki-laki pada rekannya.

"K-kau.... BERANI-BERANINYA!" Dengan marah, Nobuhisa melayangkan pedangnya untuk menebas Maida. Beruntung Avius menarik Maida tepat waktu dan membawanya lari.

"VIS, PRAESIDIUM!" pekik Avius. Dinding sihir tak kasat mata terbentuk dan menahan Nobuhisa selama beberapa saat.

Keduanya berlari dan berbelok memasuki jalan area bangunan yang sudah tidak berpenghuni. Beberapa bola cahaya kecil mulai terbentuk di depan jalan mereka.

"LEWATI SAJA!" pekik Maida. "Kalau kita melewatinya sebelum meledak tidak akan terjadi apa-apa!" lanjutnya lagi.

"Tch, sial!" Nobuhisa memilih untuk tidak mengambil resiko dan membiarkan Avius  dan Maida pergi sementara ia berbalik dan berlari menjauhi bola-bola yang mulai meledak tersebut.

***

Setelah memastikan aman, keduanya berhenti berlari dan memasuki salah satu bangunan yang telah ditinggalkan.

"Maafkan aku..." Avius menunduk di hadapan Maida. "Seharusnya aku tidak berkata yang macam-macam..."

"Bukan salahmu, justru aku berterima kasih karena kau menyelamatkanku darinya," balas Maida.

"Tapi, tetap saja ini semua karena salahku," ratap Avius.

Maida menepuk pundak Avius, "Dengar, kau menyelamatkanku juga kan? Dengan begitu kita impas. Mengerti? Sudah, tidak perlu dibahas lagi..."

Keheningan menyelimuti keduanya. Sampai Maida kembali berkata pada Avius dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar, "Kau tidak bertanya?"

Avius menggeleng, "Kau pasti memiliki alasan khusus. Tapi aku akan selalu senang mendengar ceritamu," ujarnya.

Maida tersenyum, "Terima kasih..." ujarnya lirih. "Akan kuceritakan padamu, tapi tidak saat ini," lanjutnya lagi.

"Akan kutunggu," balas Avius. Pemuda itu berbohong. Ia telah mengetahui alasan mengapa Maida berpenampilan seperti itu. Selama melarikan diri, emosi kuat berkecamuk dalam diri gadis itu. Memunculkan rangkaian memori yang tertangkap oleh Aeternal Litera Avius.

"Dan lagi, bola cahaya aneh apa itu... tapi syukurlah kita bisa lari untuk sementara waktu berkatnya."

"EMP, Electromagnetic Pulse. Gelombang listrik yang terjadi akibat ledakan bola cahaya itu lebih dari cukup untuk membuat tabung dinamo kita kelebihan daya dan merusak sirkuit utamanya."

"Ah begitu, pantas tempat ini ditutup..."

Keduanya kembali duduk dalam diam di kegelapan selama beberapa saat. Sampai Avius menekan tonjolan pada tabung dinamonya dan memunculkan sebuah layar hologram dengan angka 21 tertera di sana.

Maida melakukan hal yang sama, angka 21 juga muncul dari layar hologram tabung dinamonya.                

"Harus segera diisi, waktu kita tidak banyak," gumam Avius yang diikuti anggukan Maida. "Hanya saja..."

Avius memejamkan mata. Fenrir masih berada di dekat generator pengisi daya. Dan di depan generator itu, sosok Nobuhisa berdiri tegak di tengah hujan.

"Nobuhisa masih ada di sana," gumam Avius.

Maida menghela nafasnya dan berujar pelan, "Aku punya ide."

***

Avius berdiri menatap Nobuhisa dari jarak yang cukup jauh namun dapat pria itu lihat. Hatinya terus bergumam agar rencananya ini berhasil.

Maida dan Avius terlibat debat hebat selama beberapa waktu menentukan peran dalam rencana kali ini. pada akhirnya, Avius berhasil membuat Maida menurut dan memastikan ia bersembunyi. Menunggu saat yang tepat untuk mengisi daya dinamonya ketika pemuda itu mengalihkan perhatian Nobuhisa.

Jantung Avius berdetak kencang. Nobuhisa berjalan mendekatinya. Namun setelah beberapa meter pria itu berjalan, seringai muncul di wajahnya dan Nobuhisa langsung mengubah arah dan berlari kencang menuju tempat di mana Maida bersembunyi.

Nobuhisa mencabut pedangnya dan mengayunkannya dengan ganas, menghancurkan perisai es maida dengan mudah dan membuat pemuda itu terjatuh.

Sial, terlalu jauh untuk menggunakan Vis Praesidium... pikirnya. Avius berlari sekuat tenaga menuju Maida yang tengah mengulurkan tabung dinamo miliknya pada Nobuhisa.

Penyihir muda itu membelalakkan  mata menyaksikan hal yang berikutnya terjadi. Alih-alih mengambil generator yang Maida ulurkan padanya, Nobuhisa menebas pemuda itu, membuatnya roboh tertelungkup di tanah tak lama kemudian.

"BERHENTI KAU BRENGSEK!" Dengan cepat Avius bangkit dan langsung berlari menuju Maida. Sementara Nobuhisa kembali mengangkat pedangnya dan menyeringai.

"Manusia menjijikkan sepertimu tak pantas untuk bertarung denganku. Matilah, dan bawa kepalsuanmu itu sampai ke dasar neraka."

Dengan cepat Avius mengangkat tangannya ke arah Maida, "VIS... P-"

Gerakan tangan Nobuhisa lebih cepat dari munculnya sihir Avius. Nobuhisa menusuk punggung Maida dengan pedangnya. Sementara Avius menghentikan langkahnya dan menatap putus asa bagaimana Nobuhisa menginjak hancur generator Maida yang jatuh tergeletak tidak jauh dari kakinya.

Cahaya menyelimuti tubuh maida dan tak lama kemudian tubuh itu menghilang menyisakan genangan kemerahan yang semakin pudar ditimpa hujan yang terus turun.

"Dan sekarang tinggal kita berdua." Nobuhisa menoleh ke arah Avius. Tatapan sinis kembali menghiasi wajah pria itu menggantikan seringainya. Ia berjalan dengan santai menuju Avius yang masih berdiri diam dengan wajah tertunduk.

" Menyedihkan sekali. Harus membuang-buang waktu dengan makhluk-makhluk menjijikkan seperti mereka itu. Bagaimana denganmu hah? Kalau mau menyerah dengan menghancurkan generatormu sendiri, aku tidak keberatan."

Nobuhisa berhenti di hadapan Avius dengan pedang tertumpu di pundaknya. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan merendakan. "Bagaimana? Atau kau lebih memilih membuang nyawamu sama seperti mereka? Aku sudah berbaik hati langsung menghancurkan generator temanmu itu. Kalau ia beruntung, panitia akan menyembuhkannya sebelum makhluk memuakkan itu tewas."

"Kubunuh kau..."

"He? Apa kau bilang? Aku tidak dengar." Ia mendekatkan wajahnya pada Avius.

"Kubunuh kau..."

Tawa Nobuhisa meledak, "Kau? Membunuhku? Jangan bercanda!" serunya.

"Kubunuh kau... Kubunuh kau. Kubunuh kau. Kubunuh kau..."

Tawa Nobuhisa terhenti seketika. Avius mengangkat wajahnya, dan menatap kosong ke arah pria itu dengan dua bola mata hitam. Pada saat itu pula, Nobuhisa merasakan sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan.

Rasa takut.

Insting pria itu memerintahkannya untuk melarikan diri secepat mungkin. Namun Nobuhisa tetap berdiri di tempatnya dan memasang kuda-kuda.

"Ja-jangan bercanda!"

Nobuhisa mengayunkan pedangnya. Namun belum sempat pedang itu menyentuh targetnya, ia terpental mundur oleh kekuatan luar biasa.

"A-apa yang..." Pria itu segera bangkit dan menatap Avius yang sekarang berjalan perlahan ke arahnya. Tatapan kosong Avius bagai mematikan seluruh saraf tubuhnya. Rasa takut yang semakin hebat membuat Nobuhisa terpatung walau instingnya terus-menerus memerintahkannya untuk lari.

"Kubunuh kau..."

Avius berhenti di dekat Nobuhisa dan mengarahkan tangan kanannya pada pria itu. Dengan suara pelan namun jelas, ia kembali berujar, "Kubunuh kau..."

Nak, apabila kau diberikan kesempatan hidup, apa yang akan kau lakukan?

Jantung Avius berdegup keras. Kata-kata itu kembali muncul dalam pikirannya. Tato rune hitam di pergelangan tangan kanan Avius berubah kemerahan. Dan tak lama, huruf-huruf rune kemerahan menjalar di seluruh tubuh pemuda itu.

Rasa sakit yang amat sangat seketika menyerang tubuh Avius. Pemuda itu meraung kesakitan sementara Nobuhisa masih terpaku tanpa dapat melakukan apa-apa.

***

Entah sudah berapa lama Avius berjalan tanpa arah. Pandangannya semakin kabur, tapi ia tetap memaksakan diri untuk berjalan. Walau ia tidak tahu kemana harus pergi, Avius terus berjalan menyusuri hutan yang diselimuti salju.

Pada akhirnya, pemuda itu roboh di atas salju putih tebal. Ia memejamkan mata dan berharap segalanya berakhir untuknya.

"Nak, apabila kau diberikan kesempatan hidup, apa yang akan kau lakukan?"

Avius merasakan sentuhan hangat pada wajahnya. Ia membuka mata sedikit dan melihat sosok samar seorang wanita tua berjongkong di hadapannya. Ia bergumam pelan sebelum kesadarannya menghilang.

Semerbak harum teh membangunkan Avius. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya tengah berbaring di atas ranjang putih dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.

"Kau sudah sadar nak?"

Avius menoleh, sosok wanita tua yang tidak ia kenal tersenyum padanya seraya meletakkan secangkir teh hangat di meja sebelah ranjangnya. Dengan susah payah pemuda itu bangkit dan bersender pada kepala ranjang sementara si wanita tua membawakan nampan berisi sup dan roti yang kemudian ia letakkan di pangkuan Avius.

"Makanlah nak, kau pasti lapar," ujarnya. Walau demikian, Avius hanya memperhatikan makanan itu tanpa menyentuhnya.

"Apa yang anak semuda dirimu lakukan di tengah hutan sendirian ketika cuaca dingin seperti ini?" tanya wanita tua itu lagi. Namun Avius tetap diam tidak menjawab.

"Apa kau mencari sesuatu nak? Atau kau sedang menuju ke suatu tempat?"

Lagi-lagi Avius hanya diam. Namun seakan menyadari sesuatu, wanita tua itu kembali tersenyum. Ia mengelus kepala Avius dan berkata, "Rupanya begitu..."

"Nak, aku menyelamatkan nyawamu. Berarti sekarang nyawamu adalah milikku dan aku berhak melakukan apapun atas apa yang kumiliki. Terdengar kejam bukan? tentu saja, aku ini penyihir." Wanita tua itu terkekeh selama beberapa saat sebelum melanjutkan, "Mulai sekarang, aku ingin kau memberikan hidupmu sepenuhnya untuk orang lain. Kau akan mementingkan orang lain dibanding dirimu sendiri. Membantu orang lain walau itu berarti mengorbankan dirimu sendiri. Ini adalah kutukan yang kuberikan padamu selaku pemilik hidupmu. Kau mengerti nak?"

Avius memandang wanita tua yang masih tersenyum padanya itu. Perlahan, ia mengangguk.

Wanita tua itu kembali mengelus kepala Avius lembut, "Namaku Calida Solitarus. Dan mulai saat ini, aku adalah guru sihirmu."

***

Avius jatuh berlutut dengan nafas tersengal-sengal. Huruf-huruf rune di sekujur tubuhnya telah hilang, dan matanya kembali seperti sedia kala –dwiwarna-.

Hujan telah benar-benar berhenti dan langit menjadi jauh lebih cerah, walau gemuruh petir masih sesekali terdengar.

"Apa yang sebenarnya kau lakukan!"

Teriakan itu menyadarkan Avius. Nobuhisa yang berada di dekatnya langsung mengayunkan pedang di tangannya berusaha menebas Avius. Beruntung pemuda itu berhasil menghindar dengan melentingkan tubuhnya ke belakang tepat waktu.

Nobuhisa tidak berhenti, dengan segera ia mencabut pedang kedua dengan tangan kirinya yang bebas dan menghunuskannya ke arah Avius.

"VIS PRAESIDIUM!" pekik Avius.

Serangan lanjutan Nobuhisa bagai tertahan oleh dinding tak kasat mata. Sementara Avius bangkit seraya mengernyit menahan nyeri yang muncul sebagai efek penggunaan sihirnya.

"Berani-beraninya kau... berani-beraninya kau mempermalukan lawanmu seperti itu!"

Nobuhisa dengan geram mengayunkan pedang di tangan kanannya yang lagi-lagi tertahan oleh perisai sihir Avius. Namun bagai tidak mempedulikan hal tersebut, Nobuhisa menarik tangan kanannya disertai tebasan menggunakan pedang di tangan kirinya.

Serangan susulan cepat menimbulkan rasa sakit bertubi-tubi yang tidak Avius perkirakan. Pemuda itu kehilangan konsentrasi atas perisai sihirnya dan tepat pada saat itu Nobuhisa melakukan tendangan putar yang sukses bersarang di perutnya dan membuat ia terdorong mundur.

"Menyedihkan... mengetahui aku merasa takut akan musuh menyedihkan sepertimu. Memikirkannya kembali saja membuatku muak."

"Justru..." Seraya terengah-engah dan memegangi perutnya, Avius kembali bangkit. "Aku ingin menunjukkan kekuatan dan tekadku yang sesungguhnya. Dan aku tidak mau bergantung pada kekuatan itu."

"Kalau begitu lepas perisai sialanmu itu dan hadapi aku seperti seorang lelaki, pengecut! "

"Kau memanggilku pengecut?"  Avius berhenti sesaat, menghela nafas dan melanjutkan, 'Setelah apa yang kau lakukan pada Maida? Tidakkah itu menodai kehormatanmu sebagai ahli pedang untuk menyerang musuh yang telah menyerah?"

Nobuhisa memandang sinis pada Avius, "Hoo... kau bisa berbicara mengenai kehormatan rupanya." Pria itu menoleh ke arah tempat di mana ia menghabisi Maida. "Orang itu, entah sudah berapa banyak yang ia tipu. Penampilan menjijikkannya itu membuatku semakin tak tahan dengannya."

"Kau tahu mengapa ia berpenampilan demikian? Kau tidak tahu bagaimana ia rela melakukan itu semua demi mengabulkan permohonan seseorang yang amat berharga baginya. Apa kau juga sudah melihat bagaimana bahagianya Apis ketika aku mengetahui bahwa ia laki-laki ketika kami pertama kali bertemu?"

Avius membalas tatapan Nobuhisa. Sudah lama sekali baginya tidak merasakan perasaan bercampur aduk seperti ini. "Keindahan mereka sama halnya dengan keindahan manusia-manusia lain. Bagaikan sebuah berlian, tidak semua orang dapat mengakui keindahannya. Kau tidak harus menerima, cukup menghargai pilihan yang telah mereka ambil."

"Menghargai katamu? Jadi aku harus menghargai ini?" Nobuhisa menyingkap satu sisi kimononya. Walau kecil, Avius dapat melihat dengan jelas beberapa bekas luka tusukan kecil yang tampak masih baru. "Indah bukan? kenang-kenangan dari keindahan temanmu."

Avius terbelalak. Pemuda itu menatap luka di tubuh Nobuhisa tanpa berkata sepatah katapun.

"Oh tentu saja." Dengan malas Nobuhisa menutup kimononya kembali. "Ia menusukkan senjatanya ketika aku akan mengambil generator miliknya. Pada awalnya aku tidak ingin memberitahukan ini padamu. Tapi kau mulai berceloteh mengenai mengenai kehormatan dan idealisme bodohmu itu."

"Tidak semua hal yang diungkapkan dengan kata-kata adalah kebenaran. Sebagian besar hanyalah pembungkus halus dari sebuah kebusukan. Pada dasarnya, kemunafikanlah yang mengisi sebagian besar rongga tubuh manusia," lanjut Nobuhisa lagi.

Nobuhisa mengangkat kedua pedangnya dan menatap lurus ke arah Avius yang diam tidak bergerak. Pria itu hendak melompat maju sebelum mengurungkan niat akibat merasakan hal aneh terjadi pada tubuhnya.

Sial, kenapa jadi terasa berat begini? Racunkah? Sudah tidak dapat ditahan lagi rupanya. Pikirnya

"Walau demikian... itu bukan sebuah alasan untuk menghilangkan sebuah nyawa!"

Perhatian Nobuhisa kembali teralih pada Avius, "Omong kosong apa lagi yang kau katakan hah?"

Avius menggeleng, "Tidak bisakah kau menghargai kehidupan seburuk apapun itu? manusia hanya akan mati apabila dibunuh! Tidak akan ada yang berubah. Hanya kesia-siaan dan penyesalan yang menanti atas pembalasan dendam."

"AYOLAH! BERHENTI BERSIKAP NAIF SEPERTI ITU!" Nobuhisa kehilangan kesabarannya dan berteriak. Ia menyarungkan kembali kedua pedangnya lalu berjalan mendekati Avius dan mencengkram kerah pemuda itu. "Sudah bertahun-tahun aku bertarung. Sudah bertahun-tahun aku menapaki jalan petarung, dan sudah bertahun-tahun pula aku menjalani berbagai macam kehidupan. Begitu banyak orang-orang hebat dan pemberani yang kutemui. Namun, pada akhirnya mereka semua memiliki kebusukan yang sama."

"Dan bukan berarti kau juga harus menjadi seperti mereka bukan?" Avius memandang lekat mata Nobuhisa, "Master selalu mengatakan kau akan menuai apa yang kau tanam. Apabila kau terus menanam kebencian seperti ini itulah yang akan kau dapatkan."

"Aku tidak dapat mengerti lagi sampai sejauh mana kenaifanmu itu." Nobuhisa melepaskan cengkramannya dan mendorong Avius mundur. Namun, ia tidak melepaskan pandangannya dari pemuda itu. "Kau tidak akan mengerti..."

Saat itu juga Nobuhisa kembali mencabut kedua pedangnya dan menerjang Avius yang dengan sigap menciptakan dinding sihir pelindungnya kembali dan menahan serangan Nobuhisa.

"Ukh..." Avius hanya dapat mengernyit menahan rasa sakit. Ia menghela nafas dan bersiap untuk serangan beruntun Nobuhisa yang tak kunjung terjadi.

Nobuhisa berdiri tegak  dengan wajah menatap langit. Dengan suara lirih, ia kembali berujar, "Aku pun selalu mengimpikah hal yang dapat kuhargai... suatu hal yang dapat kumiliki seutuhnya. Tanpa takut akan dikhianati, tanpa takut dipalingkan. Aku... aku... aku ingin sesuatu yang sejati."

Pada saat itu, Avius mengerti. Luapan perasaan Nobuhisa ditambah kekuatan telepatinya menciptakan sebuah pemahaman yang pemuda itu tidak pernah pikirkan. Selama ini Aeternal Litera membuatnya selalu mengetahui hasrat terdalam seseorang. Ia tidak pernah merasa dikhianati karena ia tahu apa yang mereka tuju, apa yang mereka inginkan, dan apa yang mereka harapkan. Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan ini.

Avius menatap Nobuhisa yang kembali menerjang untuk menyerangnya. Pemuda itu mengaktifkan kembali perisai sihirnya. Dalam pikirannya berkecamuk seberapa lama lagi ia mampu menahan rasa sakit dari serangan-serangan Nobuhisa. Dan dalam setiap serangan yang Nobuhisa layangkan, Avius merasakan ketakuan akan sebuah pengkhianatan. Keputus-asaan ketika ditinggalkan, dan kemarahan akan sebuah kebohongan.

"Kau..." Nobuhisa terengah-engah dan berhenti menyerang. "Perisai sihirmu itu, hanya memantulkan serangan tapi tetap menerima rasa sakit kah?"

"Semua perasaan yang kau luapkan dalam setiap serangan. Mana mungkin aku membuangnya begitu saja."

Nobuhisa memamerkan seringainya, "Avius eh? Namamu?" Pria itu kemudian menyarungkan kedua senjatanya kembali dan duduk di tanah. Seraya memejamkan mata, ia bergumam, "Tubuhku sudah terlalu berat untuk kugerakkan saat ini. Aku sudah tidak dapat menahan racun dari si keparat itu."

"Minumlah."

"Apa?" Nobuhisa membuka mata dan terkejut melihat Avius yang tengah berjongkok di sampingya sambil mengulurkan sebuah botol kristal kecil dengan cairan yang tampak kebiruan di dalamnya.

"Penangkal racun. Efeknya magis, dapat menangkal segala racun tingkat rendah menengah dan memperlambat efek racun tingkat atas." Avius meletakkan botol itu di sisi Nobuhisa dan mengarahkan kedua telapak tangannya pada pria itu.

Seketika, perasaan hangat menjalar di tubuh Nobuhisa. Ia memejamkan matanya kembali menikmati sensasi itu. "Sihir penyembuh kah..." gumamnya.

"Pemulihan," koreksi Avius.

Nobuhisa menoleh ke arah si penyihir muda yang masih fokus menggunakan sihir pemulihan padanya. "Hei, apa tindakan tolol untuk peduli pada musuh ini juga ajaran dari Master yang kau sebutkan tadi?"

Avius tersenyum, namun ia menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu," balasnya. Tanpa mengalihkan fokus dan perhatian pada penggunaan sihirnya, ia melanjutkan, "Master yang menyelamatkan hidupku. Nyawaku adalah miliknya. Dan ia menginginkan nyawa yang ia miliki ini untuk menggunakannya demi kepentingan orang lain."

"Bahkan idealisme yang kau pegang pun pemberian orang lain dan bukan milikmu sendiri. Sungguh menyedihkan," sindir Nobuhisa.

Senyum Avius masih menetap pada wajahnya. Ia kembali menggeleng, "Jalan hidup ini adalah yang terbaik yang dapat aku lakukan. Biarpun ini bukan apa yang kutemukan sendiri, tapi ini adalah jalan hidup, idealisme, dan sebuah keinginan yang kupilih."

Nobuhisa bangkit kembali dan mencengkram kerah Avius. Dengan kekuatan luar biasa, ia melempar pemuda itu menjauh."

"Aku sangat tidak menyukai idealisme bodoh dan naif yang kau pegang. Tapi..." Nobuhisa memamerkan senyumnya pada Avius. Di balik punggung pria itu, Avius dapat melihat sebuah bola cahaya kecil dengan kilatan listrik di dalamnya yang semakin membesar. "Aku tidak mungkin membenci orang bodoh dan naif yang memegang erat jalan hidup yang ia yakini."

"E-EMP! MENYINGKIRLAH!" Avius berteriak dan hendak berlari kembali ke arah Pria itu. Namun Nobuhisa mengangkat tangan dan memberi isyarat pada Avius untuk berhenti.

"Kalau aku bertemu denganmu di jepang, mungkin kau sudah kuajak berkelana bersama."

Bola cahaya kecil itu meledak. Menciptakan area elektromagnetis kuat dalam radius kecil yang langsung merusak sirkuit generator Nobuhisa yang berada dalam radiusnya.

Cahaya menyelimuti tubuh Nobuhisa. Pria itu dengan suara lantang berteriak, "Aku dulan Avius! Ada yang harus kulakukan terlebih dahulu! Kutunggu kau di bar!"

Tak lama, tubuh Nobuhisa lenyap tanpa menimbulkan bekas.

***
Revealed Skill:

Nil Nocere:

Tato kutukan berbentuk huruf rune pada pergelangan tangan kanan Avius yang akan aktif ketika ia merasakan kebencian dan kemarahan yang amat dalam. Nil Nocere akan memberikan rasa sakit yang teramat sangat ketika aktif.



7 comments:

  1. well..sepertinya 3 orang sudah memutuskan untuk menjadikan saya sebagai tumbal terakhir.

    dan saya terharu bahwa Nobu digambarkan dengan impian untuk menemukan kebenaran sejati..dan mati secara terhormat..

    9 dari Nobuhisa Oga

    ReplyDelete
  2. Entri yang enak dan lancar dibaca. Ga gitu pendek, ga gitu panjang, tapi cukup buat satu cerita

    Seperti yang bisa diduga Avius yang cinta damai malah berteman sama semua ya, termasuk sama Nobuhisa meski sempet jadi antagonis sesaat. Cuma satu yang bikin saya bingung, entah miss atau apa - Eophi bahkan ga pernah disebut dalam entri ini ya?

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Nilai plus karena nobuhisa yg paling jahat di entri ini

    Nilai minus di Maida. Saya ada miss saat Maida punya ide. Jadi mereka berdebat siapa yg bersembunyi dan Maida jadi pihak yg nyerang Nobu sementara Avius yg bersembunyi seperti itu? jujur aja kalo seperti itu mereka g perlu mikir sebuah 'ide'

    Dan iya ini Eophi g ada ato gmn ? :?

    Nilai : 8 dari saya, douzo!
    Maida York

    ReplyDelete
  4. saya lihat eophi yey :D/\

    dia ada di satu insiden, matinya bareng yu ching

    avius ini dari awal pas baca prelim buat cari tau karakter dia, emang gitu orangnya. dia baik. dan, ternyata ada ceritanya juga di r1 ini kenapa dia bisa baik kaya gitu ya?

    ceritanya sendiri keren, enak dibaca, suka sama adegan terakhirnya, sama obrolan “kucing”-nya, sama keputusan-keputusan avius yang konsisten, nteb lha

    terus ditunggu dark side-nya

    nilai 8

    oc : eophi

    ReplyDelete
  5. Narasinya ringan dan pendek-pendek, eah ... pengen kaya gini saya. Cuman, di beberapa bagian ada banyak informasi yang berusaha dijejalkan dalam satu kalimat. Apa lah gitu istilahnya.

    Saya suka bagian Yu Ching, jadi bisa dibayangin keimutan OC ybs. Sayang dia matinya agak aneh, tertarik ama bola cahaya gitu aja. Bareng Eophi yg kayanya lg kurang kerjaan (?)

    Dan saya suka perkataan-perkataan Nobu. Avius jadi berasa kaya Naruto (?)

    Itu di awal Dim ... Pamung .... Ahahaha XD

    So, saya titip 8 buat entry ini. Typonya gak sedikit sih, padahal mau kasih 9. T_T

    OC: Ahran

    ReplyDelete
  6. Yup, begitulah seharusnya cara fight yang bernakna. Nggak cuma menyerang secara fisik, tapi juga mempengaruhi benak dan hati lawan - entah org yg mempengaruhi itu benar2 tulus atau nggak. Jangan takut dicap gaya Shonen Manga atau semacamnya.
    Itu kesan terbesar yang saya dapat. Selebihnya sudah dijabarkan komentator2 lain. Jadi, utk entri yg cukup canggih ini saya beri 8/10. OC: Vajra

    ReplyDelete
  7. langsung kasih nilai aja deh ...

    8 buat entri ini, keren pertarungan yang penuh makna yang tersampaikan di dalamnya.

    Penyihir bijaksana dan samurai bijaksini ,perkataan yang mengakhiri segalanya,haha xD..

    eophy mati barengan sama yuching gegera tertarik sama bola EMP itu yah, sian banget.hihi

    Nilainya udah diatas yee,. hehe

    Khanza

    *kalo sempet mampir kelapak Khanza yah..

    ReplyDelete