25.6.15

[ ROUND 1 - TEAM D ] EOPHI RASAYA - PETUALANGAN KEDUA


EOPHI RASAYA - PETUALANGAN KEDUA
Penulis: Aesop Leuvea







Prolog





Gurun Berbatu
Rumah

 



Sebuah portal berbentuk pintu kayu yang tampak usang muncul di samping maid berseragam biru pucat.

Bersamaan dengan itu, tidak terlalu jauh dari tempat maid berada, terdapat patung kura-kura raksasa yang terjatuh dalam posisi terbalik. Patung itu bercahaya, kemudian meledak tanpa suara.

Sesuatu, terlihat seperti siluet dari seseorang yang berdiri di atas sebuah benda persegi, bergerak keluar dari ledakan sinar. Melayang-layang di langit fajar.

"Mereka mati?" tanya Puppet datar. Gadis berambut hitam itu bersimpuh di depan maid sambil memeluk erat boneka pandanya dan Eve, si kucing hitam, yang pada saat ini tidak berhenti mengeong.

"Ya," jawab maid singkat sambil tersenyum.

Puppet menggigit bibir bawahnya, sebagian besar napasnya seolah terhenti di ujung tenggorokan. Mata merahnya terbuka penuh, terfokus pada tiga jasad di atas genangan darah.

Ketiga jasad itu terbaring di antara dirinya dan maid.

"Eophi?" bisik Puppet sambil pelan-pelan menengadah.

Siluet dari seseorang yang berdiri di atas benda persegi, yang kini sudah melayang tepat di atas portal, balas memperhatikan Puppet.

Dari jarak ini, sosoknya bisa lebih dikenali. Itu adalah siluet dari seorang anak berambut hijau. Eophi Rasaya. Ia berdiri di atas kasur terbangnya, menatap semua yang ada di bawahnya tanpa ekspresi.


"Eophi," ujar Puppet lagi, masih tidak lebih keras dari bisikan. Masih pula menggunakan ekspresi yang Eophi tahu, itu adalah gambaran wajah dari mereka yang terlalu kuat untuk menangis. Tapi, pada saat yang sama, juga terlalu lemah untuk menerima kenyataan. "Mereka semua mati. Aushakii ... Za ... dan, Adhy."

"... ya," kata Eophi. Selama sesaat, rahangnya mengejang dan kedua tangannya mengepal. Terbaring di depannya, nyaris bersebelahan satu sama lain, adalah seorang anak berkulit gelap, anak berjubah usang, dan pemuda berkacamata. Mereka bertiga terpejam, sangat diam. Tampak damai meski terluka berdarah-darah. Lalu Eophi, menggunakan suara yang lebih pelan dari bisikan, melanjutkan, "Maaf ...."

"Baiklah," kata maid, menoleh pada Eophi dan Puppet sambil tersenyum. "Kalian berdua siap untuk pergi?"

Kasur Eophi terbang rendah, mendarat tepat di depan portal.

Pada pintu kayu yang tampak usang itu Eophi bisa melihat banyak sekali coretan.

Tulisan dan sketsa.

Gambar paling besar terdapat di bagian tengah pintu. Bentuknya seperti roda besar, dilengkapi simbol dan garis-garis rumit yang mengelilinginya.

Lalu tertulis di bawah gambar, adalah: Janji untuk kembali ke hari itu....

"Aku siap," gumam Puppet. Ia berdiri, berjalan ke samping Eophi. "Ayo."

Maid tersenyum, dan pintu kayu besar di sampingnya seketika terbuka.

Tidak ada apa-apa selain warna putih yang bisa dilihat di dalamnya.

"Silakan masuk ke dalam portal," kata maid ramah.

Tanpa menoleh lagi ke belakang, pada tiga sosok yang mereka kenal dan harus gugur dalam pertempuran di gurun berbatu ini, Eophi bersebelahan dengan Puppet berjalan melewati garis pintu.

Mereka masuk.

Di kejauhan, masih sempat terdengar jeritan euforia dari pasukan-pasukan berjubah.

Suara-suara yang semakin mengecil dan tersamar seiring menutupnya pintu kayu. Perlahan-lahan.

Menelan kedua peserta Battle of Realms ke dalam cahaya, dan mengurungnya selama sesaat di sana.


***


Puppet setengah berlari, dan nyaris tersandung kakinya sendiri ketika bergerak ke arah Aushakii dan Adhy. Sementara Eophi hanya berjalan, sambil menggaruk dagu, sedikit menunduk, dan tersenyum.

Saat ini mereka berada di kekosongan.

Di ruang tanpa batas, di mana semuanya berwarna putih.

Satu-satunya yang memiliki warna berbeda adalah keberadaan Eophi, Puppet, Adhy, Aushakii, dan dua pintu besi.

Selama beberapa saat kelompok ini mengobrol sambil berdiri.

Hal pertama yang mereka bicarakan tentu saja, tentang, "Kalian masih hidup?" tanya Puppet pada Aushakii dan Adhy. Ada kesedihan lain di wajah gadis berambut hitam ini, yang, lagi-lagi Eophi tahu. Itu adalah gambaran wajah dari mereka yang sangat senang sampai-sampai ingin menangis.

Baik Adhy atau Aushakii juga tidak begitu mengerti tentang semua ini. Yang jelas, setelah mereka terbunuh di wilayah reruntuhan kastel, mereka langsung tiba di sini.

"Ini memang aneh." Adhy tersenyum. "Tapi jenis keanehan yang menyenangkan."

"Kita masih hidup!" seru Aushakii sambil mengangkat kucing hitam peliharaan Puppet tinggi-tinggi.

Hal kedua yang mereka bicarakan adalah, "Terima kasih," kata Aushakii pada Adhy. Di pertempuran, Adhy tewas setelah melindungi Aushakii. Lalu, "Terima kasih," kata Puppet pada Aushakii. Sama seperti Adhy, Aushakii juga tewas setelah berhasil menjadi pelindung. Di pertempuran, anak berkulit gelap itu berdiri di depan Puppet, menahan dengan tubuhnya beberapa peluru dan sihir yang ditembakkan monster-monster.

Beberapa hal yang mereka bicarakan kemudian melebar ke mana-mana. Tentang Za, si anak berjubah usang. Tentang patung kura-kura Eophi. Tentang Tamon Rah. Tentang apa saja.

"Eophi sudah memperkenalkan kalian," kata Adhy sambil menunjuk bantal, guling, selimut, kasur, dan naga merah Eophi. "Tapi aku sudah lupa lagi. Karena memang susah menghafal nama sebanyak itu. Ditambah kalian ini mirip. Ya, kan? Sama-sama alat tidur. Coba lakukan sesuatu agar mudah dikenal."

Lalu, "Berjanjilah untuk bermain ke Lembah Besar jika ada kesempatan!" seru Aushakii antusias. "Setelah sekarang aku tahu semesta bukan hanya milik tanah kelahiranku, aku tetap pastikan kalian akan senang berkunjung ke sana. Kita bisa berburu sama-sama."

Sampai tiba hal terakhir yang harus mereka bicarakan, adalah, "Sampai jumpa lagi."

Adhy memberikan bandana merahnya pada Puppet. Malu-malu tapi mau, Puppet menerima benda itu dan gantian memberikan topi mungilnya untuk Adhy.

"Untukmu." Aushakii tersenyum lebar. Ia memberikan sehelai bulu sayap unggas. Sambil setengah kebingungan, Eophi menerima benda itu.

"Ini," kata Eophi. Ia membuka botol yang menjadi bandul kalungnya, lalu mengeluarkan semacam uap dari dalamnya yang segera terbentuk menjadi bola padat berwarna perak. "Pecahkan bola ini," Eophi melanjutkan, "semua memoriku, dimulai dari halaman kastel ... sampai ke gurun berbatu. Semuanya tersimpan di sana. Benda bagus untuk dimimpikan kalau sedang bosan."

Selesai bertukar cendera mata, dan karena suatu alasan yang lagi-lagi mereka tidak ketahui, mereka berpisah. Memasuki pintu besi yang berbeda. Sama-sama tersenyum, sama-sama melambaikan tangan sampai akhirnya menghilang di pintu masing-masing. Eophi bersama Puppet, Adhy bersama Aushakii, dan janji untuk bertemu lagi.

Pada akhirnya, hal terakhir yang mereka lakukan adalah tertawa dan merasa senang. Karena mereka tahu, satu hal yang bagus dari perpisahan adalah mereka pernah bersama sebelumnya.




1





Penginapan Kayu
Dia dan Pesta Dansa

 



"Minggir sampah."

Wanita berpakaian ketat, berwarna hitam, berambut gimbal dan memiliki sepasang tanduk aneh. Lalu seekor kucing berekor panjang, warna putih pada bulu bagian mulutnya basah oleh darah.

Adalah apa yang pertama dilihat oleh Eophi ketika ia tiba di tempat tujuan.

Yu Ching. Sesuatu yang tertulis pada panel transparan di atas kepala si kucing, dan, Go Fuck Yourself, tertulis di atas kepala si wanita berambut gimbal.

"Sakit, nyaw!" jerit Yu Ching.

"Mau lebih? Kemarilah." Go Fuck Yourself bersedekap, kemudian mendelik. Senyumnya, dan hawa keberadaannya, berhasil memaksa Eophi untuk mengambil posisi siaga.

Yu Ching mendesis. Ia melesat ke depan, bergerak zig-zag. Tepat di hadapan si wanita berambut gimbal, Yu Ching seakan menghilang.

"Ho—"

Dari sisi kiri kepala si wanita berambut gimbal, bayangan dari cakar yang mengabur terayun.

Hanya beberapa senti sebelum serangan itu mencabik pipi target, sesuatu berdesing.

Sedetik kemudian, Yu Ching sudah terbaring di lantai kayu, setelah sebelumnya terempas sampai menabrak beberapa kursi dan dinding.

"—modal cepat, nekat. Tolol," kata Go Fuck Yourself malas-malasan. Ia mengangkat semacam pistol berwarna hitam di tangan kanannya ke udara, kemudian membidik ke sekeliling. "Siapa lagi?"

Baru Eophi sadari sekarang, tempat ini penuh dengan mereka-mereka yang memiliki panel transparan berisi tulisan di atas kepala.

Tempat ini cukup luas. Mengingatkan Eophi pada bagian dalam auditorium di Lillham. Di sekitar bagian tengah ruangan, terdapat semacam empat pilar tebal yang berukir dan mengilap, terbuat dari kayu. Pilar-pilar itu mengelilingi satu meja panjang indah, juga terbuat dari kayu. Satu maid berseragam biru pucat berdiri di belakang meja sambil terus tersenyum. Dua patung kayu berbentuk kesatria bersayap, berdiri di belakang maid itu sambil menyilangkan masing-masing pedang.

Beberapa rangkai lampu gantung raksasa berwarna cokelat, berkesan anggun dengan bentuk koral atau tanduk rusa jantan yang ditempeli oleh ratusan lilin, tampak terayun secara konstan di langit-langit yang tinggi.

Tangga spiral besar yang sisi-sisinya merupakan hasil rangkaian sulur, akar, dan dedaunan, terletak tepat di depan empat pilar. Lalu di setiap dahan yang menempel pada tepi tangga, menggantung lampion tranparan berisi kunang-kunang yang memancarkan cahaya pucat. Berkelip dan menghipnotis.

Air mancur dan kolam kecil di tiap sudut. Jajaran meja bulat dan kursi-kursi yang kelihatan nyaman. Patung-patung antik dan lukisan-lukisan menenangkan. Perapian mewah. Secara keseluruhan, tempat ini begitu natural, bagus, hangat, dan memiliki nilai damai.

Tapi yang terjadi pada saat ini, pada mereka yang mendiami tempat ini, justru sebaliknya.

Tidak ada tanda-tanda damai. Udara seolah dipenuhi oleh nafsu untuk saling membunuh.

"Mati ...," gumam Puppet, yang masih berdiri di samping Eophi.

Gadis berambut hitam itu menyeringai, sorot matanya memantulkan keinginan untuk menghancurkan yang sama kuat ketika si wanita berambut gimbal tersenyum.

Ada sesuatu yang sangat salah di tempat ini, pikir Eophi.

Hampir bersamaan, Puppet dan seorang pria kekar maju, menyerang, ke arah si wanita berambut gimbal.

"Maneh MINGGIR!"

Pria kekar dengan tulisan Asep Codet di atas kepalanya, mendorong Puppet ke samping. Hanya dorongan kecil bagi Asep Codet, tapi bagi Puppet, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya terlempar sampai membentur meja dan pingsan.

"Saya muak sama orang belagu!" Asep Codet berteriak, tangan kanan terkepal. Meski jaraknya dengan si wanita berambut gimbal masih cukup jauh, terlihat tinjunya sudah siap untuk menghantam sesuatu. "PAPATONG TAHU SEUHAH!"

Go Fuck Yourself, atau si wanita berambut gimbal, tersenyum mengejek. "Tapi aku bukan manusia, Tuan Otot Yang Sebentar Lagi Mati," jelasnya menggunakan nada sedih yang dibuat-buat. Pistol miliknya diarahkan ke depan dan kembali berdesing.

Kepala Asep Codet tersentak ke belakang ketika sebutir peluru menabrak dahi. Tapi itu hanya sesaat saja. Setelah pria kekar itu kembali meluruskan pandangan, menatap geram si wanita berambut gimbal, ia segera menurunkan tinjunya. Lantai kayu terhantam, berderak nyaring.

"Cih, abu-abu kurang memiliki efek padanya," Go Fuck Yourself sempat menggumam sebelum akhirnya sambungan papan kayu pada lantai yang berada tepat di bawah dagunya terangkat naik karena kekuatan pukulan dari Asep Codet.

Papan itu menghantam tepat sasaran, tapi tidak benar-benar menjatuhkan si wanita berambut gimbal.

Satu serangan jarak jauh dari sosok lain, hanya berselang sepersekian detik setelah serangan Asep Codet, menghantam telak wanita itu dan akhirnya membuatnya terjatuh.

"Ya ampun, seranganku terlambat!" seru satu sosok yang pada saat bersamaan bisa terlihat cantik dan tampan. Ia mengenakan topi fedora, dan duduk selurus tidak terlalu jauh dari si wanita berambut gimbal. Di atas kepalanya tertulis Dyna Might.

"Kalian semua ini apa-apaan? Ada sesuatu yang jahat dan tidak beres di sini. Tolong, saya minta berhenti dulu—" teriakan dari seorang wanita berbusana tertutup, menghilang begitu saja. Meski mulutnya masih bergerak, tidak ada suara yang keluar.

Dyna Might, sosok pemakai fedora, menoleh ke arah wanita berbusana tertutup yang berdiri di belakangnya. Wanita itu masih mencoba untuk berbicara. Dyna Might tersenyum padanya sambil menggerakkan telunjuk ke kanan dan ke kiri.

Kusumawardani, S.Pd. Tertulis di panel transparan di atas kepala wanita itu.

"Sebagian dari mereka yang memang terlahir sebagai penantang, dan selalu memimpikan pertempuran yang bagus, hanya butuh sedikit provokasi untuk menciptakan kekacauan. Tapi tampaknya ada beberapa yang bahkan tidak terpengaruh, seperti wanita berjilbab itu." Di antara kericuhan, satu suara familier terdengar oleh Eophi. Pelan-pelan ia menoleh ke belakang. "Menyebalkan. Mereka berhasil mengumpulkan keberadaan-keberadaan yang menarik."

Pandangan mereka bertemu.

Eophi, dan seorang gadis berambut merah yang sedang mengembuskan asap putih dari mulutnya.

Sesuatu baru saja meledak di salah satu sudut ruangan ini, dan bersamaan dengan itu, seruan, jeritan, tawa, memenuhi udara.

Kekacauan berada di puncaknya.

Tapi Eophi, sama sekali tidak menoleh untuk melihat apa-apa saja yang terjadi di belakangnya. Kedua mata birunya membulat sempurna, fokus pada gadis yang bersila di atas meja, di hadapannya.

Waktu melambat. Bagi Eophi, sekarang, dunia membisu dan kosong.

Hanya ia, dan sosok di depannya, yang ada.

Perasaan dingin yang entah berasal dari mana, terpusat di perutnya, terus menetes. Darahnya seolah membeku. Meski begitu, pikirannya bekerja cepat untuk mencari berbagai probabilitas.

Ini tidak mungkin.

Eophi menelan ludah.

Suara yang keluar dari mulutnya seolah berkhianat karena terdengar sangat tenang, hampir tanpa emosi, ketika ia mengatakan ...

"... Bidriel?"

Gadis berambut merah di hadapannya tersenyum.

"Mau rokok? Emmm, Eophi Rasaya?"


***


Salah satu pilar di tengah ruangan hancur. Dyna Might duduk bersandar pada patahan pilar itu sambil mengelap darah di sudut bibirnya menggunakan punggung tangan. Berdiri di depan Dyna Might, seorang pria yang mengenakan kemeja putih, jas hijau tersampir di pundak, dan Ronnie Staccato, adalah tulisan yang tertera di panel transparan di atas kepalanya.

Sambil bersiul pelan dan memasang ekspresi acuh tak acuh, Ronnie Staccato mengembalikan beberapa helai rambut cokelatnya yang keluar dari tatanan. Dyna Might tersenyum, bangkit, dan menyerang.

Tidak jauh dari sana, seorang wanita berambut pendek sebahu, mengenakan topeng putih dan pakaian hitam ketat, melempar seorang wanita berambut pendek lainnya sampai membentur lampu gantung di langit-langit. Rin Komori, tertulis di atas kepala si pelempar. Caitlin Alsace, tertulis di atas kepala seorang wanita berambut pendek yang mengenakan semacam zirah rumit, dan kini berdiri berpegangan pada rantai lampu.

Caitlin Alsace menembakkan beberapa peluru dari senjata api khususnya sambil meluncur turun. Di bawah, Rin Komori tampak siap untuk menyambut semuanya.

Menjauh ke satu sudut dekat perapian, terkumpul beberapa keberadaan sekaligus.

Bocah pendek, tembam, mulutnya tidak berhenti mengunyah, mengenakan tudung biru berhiaskan bintang, dan tertulis pada panel transparan di atasnya: Baldwin Ulrich Ragnavald Nikolai Ol'Dweller the IV. Di depannya, berdiri seorang pemuda bertopeng merah yang menutupi sebagian wajah. Tertulis di atas kepala: Raditya Damian. Lalu, laki-laki yang tampak liar, tertulis: Wildan Hariz, berdiri agak di belakang, di dekat perapian. Dan tepat di sampingnya, seorang perempuan berjubah ungu, Liona Lynn, memainkan semacam tirai cahaya.

Mereka berempat berhadapan dengan seorang gadis yang tampak tomboi, Relima Krukru.

Beberapa makhluk mesin serupa manusia, berdiri di sekitar gadis tomboi itu. Makhluk-makhluk yang mengenakan seragam pegawai kereta api, dan topeng dengan ekspresi menyeringai.

Beberapa ledakan kembali terdengar sedetik kemudian.

Salah satunya berasal dari benturan perisai seorang pemuda, Garrand Entrenchord, dengan serangan api dari seorang pemuda lainnya, Aharon.

Tampak cemas di belakang Aharon, Kusumawardani, S.Pd.

Dan di belakang Garand Entrenchord, berdiri sambil tersenyum menawan, seorang pemuda tampan, Mang Ujang.

Setiap keberadaan yang memiliki tulisan di atas kepala, meramaikan ruangan ini dengan caranya masing-masing. Semua jenis kekacauan terbentuk, tapi ... Eophi masih saja memilih untuk fokus pada seorang gadis.

"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Eophi.

Si gadis berambut merah mengabaikan pertanyaan itu. Saat ini ia sedang memperhatikan empat laki-laki dan tiga perempuan beradu pedang masing-masing. KII, Nobuhisa Oga, Aragon Ferden, Kazuki Tsukishiro, Frost, Izu Yavuhezid, dan Fatha A'Iir.

Percikan api dan es keluar dari gesekan serangan-serangan mereka bertujuh.

"Bidriel—"

"Mereka semua hanya main-main, tentu saja," gumam gadis berambut merah, rokok setengah habis terselip di sudut bibirnya. "Jika mereka serius, penginapan ini pasti hancur."

"... sengaja mengabaikanku?"

"Hm." Gadis itu mengangguk tanpa melihat Eophi secara langsung. Kali ini ia sedang memperhatikan, di dekat air mancur, keberadaan-keberadaan yang menurutnya paling ajaib.

Empat sosok, jenis kelamin diragukan. Khanza Mahesa Swartika, Apis, Stellene Esperance Fortrand, dan Maida York.

Keempatnya sedang tenggelam dalam perdebatan sengit.

"Kenapa?" tanya Eophi lagi.

"Alasan mengabaikanmu?" kata gadis itu. Dari empat keberadaan ajaib, pandangannya kini bergeser pada pertempuran lain. Ernesto Boreas menyerang seorang kakek, Kumirun, menggunakan aura merah pekat yang meruncing seperti ujung tombak. Seorang gadis, Neeshma Fraun, menggunakan air pada kolam di dekatnya untuk menciptakan dinding tebal dan menahan serangan itu. Kumirun selamat. "Sudah jelas."

Eophi mendesah sambil menatap langit-langit. "Tidak sama sekali ...."

Satu lagi pilar di tengah ruangan hancur.

Sanelia Nur Fiani, gadis berambut biru bersenjatakan senapan laras panjang, melompat ke belakang bersebelahan dengan Vi Talitha, gadis berambut cokelat bersenjatakan perban. Mereka berdua tampak sedang menertawakan dua sosok lain: Maria Fellas, gadis berambut pirang bersenjatakan pisau, dan Lo Dmun Faylim, anak laki-laki berambut putih bersenjatakan tali.

Mereka berempat bertarung di atas patahan pilar.

"Bidriel—"

"Baiklah ... baiklah. Eophi Rasaya." Gadis berambut merah turun dari meja. Ia tatap Eophi sekarang, langsung di mata. "Karena pertama, kau menolak penawaranku—"

"Penawaran? Ng, Bidriel ... aku memang tidak merokok." Eophi menggaruk dagunya.

"—dan kedua, karena kau seenaknya memanggilku dengan nama yang salah. Bidriel? Siapa Bidriel? Namaku Minerva."

Jeda.

Kedua mata Eophi menyipit, bibirnya mengerucut.

"Tidak," kata Eophi datar. "Namamu Bidriel ... titik."

Gadis berambut merah, Minerva, mencondongkan tubuhnya ke depan.

Mereka berdua sangat dekat sekarang, sampai-sampai ujung hidung nyaris bersentuhan.

Dari jarak ini, Eophi bisa merasakan dengan jelas hangatnya napas Minerva, dan aromanya. Madu dan apel, yang tersamar di balik tembakau.

"Terserah," kata Minerva, nada suaranya gemas dan tidak sabaran. "Tapi, demi Tuhan, apa namaku lebih penting dari semua ini? Aku memanipulasi emosi di ruangan ini, Eophi Rasaya. Aku memulai kekacauan ini! Aku—" Minerva berhenti.

Itu karena Eophi menciumnya, tepat di bibir.

Mata biru Eophi begitu tenang, sementara kedua mata merah Minerva bergerak bingung. Tatap mata penuh arti yang terjadi selama satu detik penuh mereka berciuman.

Satu detik.

Setelah itu Minerva pelan-pelan mendorong Eophi, menarik sebelah kaki ke belakang, kemudian mengayunnya ke depan dengan sangat cepat.

Lutut Minerva, bertemu dengan rusuk Eophi.

Hal selanjutnya yang diketahui oleh anak berambut hijau itu adalah terbang, terpisah dari peralatan tidur, dan naga merah kecilnya.

Eophi terus melayang, terlempar ke belakang, melesat melewati berbagai pertarungan, dan baru berhenti setelah sesuatu di tepian tangga spiral menangkapnya.

Seorang wanita.

"Tampaknya ada yang terlalu bersemangat." Wanita itu tersenyum, membantu Eophi berdiri.

"Iya ... um, terima kasih," kata Eophi setelah jeda. Ia perhatikan panel transparan di atas kepala wanita itu. Tertulis, Mima Shiki Reid. Lalu Eophi memperhatikan penampilannya. Mantel panjang, celemek motif, dan kondisi tubuh yang bugar. "Panas."

"EOPHI RASAYA!" jerit Minerva. Ia sudah berdiri tidak jauh dari tangga spiral, di antara robot yang memakai tas punggung berbentuk kubus hitam, Renggo Sina, dan seorang perempuan berambut merah pendek yang mengenakan gaun hijau, Effeth Scyceid.

"Ups. Seseorang dalam masalah," sindir pria bertopeng, Zhaahir Khavaro III, yang sedang memangku seorang gadis manis. Mereka duduk menyendiri di anak tangga bagian atas.

Sejelas materi gelapnya Fritz Zwicky, dan pertanyaan apa benar bukan cuma gravitasi yang mempertahankan semesta ini, ya, anak ini sekarang dalam bahaya. Tapi, masih pakai analogi sama, ini jenis momentum yang bergairah, kok.

Entah menggunakan cara apa, Eophi tadi membaca tulisan miring di pikirannya dan merasa itu adalah upaya dari sesuatu yang mencoba untuk berkomunikasi.

Eophi mencurigai sosok aneh yang duduk diam tidak jauh darinya. Sosok itu berkepala pohon, dan bertubuh wanita telanjang. Tertulis di atas cabang-cabang pohon serupa pembuluh darah, Ananda.

"Aku mengerti dari ekspresimu yang mesum dan bingung. Jawabannya, ya. Memang wanita pohon itu yang tadi menulis di pikiranmu," jelas seorang laki-laki gemuk, Pitta N. Jr. Ia berwajah baik, dan mengenakan topi yang bagian depannya sengaja diputar ke belakang. "Sekarang cepatlah turun dan temui kekasihmu. Minta maaf padanya, lalu kembalilah ke sini supaya kita bisa makan piza cinta sama-sama."

"Entre deux coeurs qui s'aiment, nul besoin de paroles. Tapi, bicara jujur tetap penting. Mungkin dengan begitu dia juga bisa berhenti berteriak. Seakan ruangan ini kurang berisik saja," gadis berkacamata yang duduk di bawah tangga, Lexia Gradlouis, menimpali.

Meski tidak terlalu mengerti ucapan-ucapan yang ditujukan padanya tadi, Eophi tetap mengatakan, "Oh, iya. Terima kasih ... para penghuni tangga yang bersinar."

Eophi turun. Berjalan menghampiri Minerva. Ledakan dan keributan mengelilingi mereka, (seorang pria berkemeja merah, Tan Ying Go, berlari di udara menghindari lemparan pisau dari Alshain Kairos, pria misterius bermantel tebal) mereka tidak peduli.

Mereka saling tatap lagi.

"Tadi apa-apaan?" tanya Minerva dingin.

Eophi tidak langsung menjawab. Ia mengangkat sebelah tangannya, kemudian menunggu.

"Tadi ... apa-apaan ...?" Minerva mengulang.

"... yang mana?" Eophi balik tanya dengan polosnya.

Minerva menunduk. Wajahnya yang merah padam tertutup sebagian oleh poni. Kedua tangannya rapat ke badan, mengepal.

Laki-laki berambut kribo, Fatanir, berlari di antara Eophi dan Minerva. Lalu menyusul setelahnya, Reviss Arspencer, laki-laki lain yang memiliki banyak senjata terpasang di pinggang.

Di saat yang sama, beberapa peralatan tidur dan seekor naga merah mungil menghampiri Eophi.

"Maaf, Bidriel," kata Eophi. Anak berambut hijau ini duduk di atas kasur. Memegang bantal di tangan kiri yang masih terangkat, dan guling di tangan kanan. Selimutnya terpasang di punggung seperti jubah. "Aku nggak peduli sama apa yang terjadi di sini. Tapi aku peduli sama kamu."

Minerva menelan ludah. Tanpa mengatakan apa-apa lagi sebagai balasan, ia maju menyerang Eophi.


***


Selangan dali kili, Phi. Tendangan telbang.

Sebentuk suara cadel yang terdengar langsung di kepala Eophi menginformasikan secara akurat pergerakan Minerva, sepersekian detik lebih cepat dari eksekusinya sendiri.

Oh ... kerja bagus, Hel.

Eophi merespons, lalu menyiapkan guling di tangan kanannya dalam posisi horizontal untuk menahan serangan, dan sejurus kemudian, kaki Minerva menghantam pertahanan itu.

Dentuman halus tercipta.

Suatu energi yang sangat berat, tersalur dari tendangan Minerva, melempar Eophi dari atas kasurnya.

Anak berambut hijau itu terseret sampai menabrak tumpukan patahan kursi dan meja.

Minerva naik ke atas kasur Eophi, menyalakan sebatang rokok, kemudian mengatakan, "Kalian jangan coba-coba melawan, mengerti? Bagus. Sekarang, cepat terbang, ikuti dia."

Mereka terbang ke tengah ruangan, menghampiri Eophi yang sudah berdiri di antara pertempuran lain sambil memberikan pandangan dasar-kalian-pengkhianat pada kasur dan naga merahnya.

Kasur Eophi menggerakkan kedua sisi bagian depan, seolah mengangkat kedua bahu. Sementara Hel, naga merah Eophi, cepat-cepat menutupi wajah menggunakan kedua tangannya yang mungil.

Minerva melompat dari atas kasur, kedua kakinya menekuk. Panel transparan tercipta di bawahnya. Memanfaatkan itu sebagai pijakan, ia lalu melesat lurus ke depan.

Tinjuan maut, Phi. Dali alah jam dua belas.

Iya, Hel, aku juga lihat itu

Dentuman kembali tercipta. Kali ini dihasilkan oleh benturan tinju Minerva dengan bantal Eophi.

Sekali lagi, energi yang sangat berat berhasil membuat Eophi terpental jauh ke belakang, ke ujung ruangan, menghancurkan satu perapian.

"Oke. Ikuti dia lagi," kata Minerva setelah naik ke kasur.

"Baik. Tapi, kalian mau sampai kapan seperti ini?" kasur Eophi buka suara, sopan dan tenang. "Sejauh yang kusaksikan, ini hanya salah paham. Kalian bisa membicarakannya baik-baik."

"Wah!" seru Minerva berlebihan. "Kasur ini bisa bicara. Bagus. Sekarang tutup mulut dan terbang saja."

Penasaran, Hel terbang mengitari Minerva sambil memiringkan kepala.

"Apa? Yang ini juga bisa bicara?" Minerva menatap galak naga merah itu dari balik asap rokok.

Buru-buru Hel menggeleng kemudian diam.

Mereka terbang ke arah Eophi.

Di depan perapian yang hancur, Eophi bangun, meregangkan tubuh. Darah segar mengalir dari pelipisnya. "Ini merepotkan," ia menggumam lelah.

Setelah beberapa detik berlalu, Minerva tiba di ujung ruangan.

Gadis berambut merah itu turun dari kasur, berjalan santai ke depan Eophi.

"Ini yang terakhir, Eophi Rasaya."

Jeda tiga detik.

"Oh ... masa? Akhirnya." Pelan-pelan Eophi menggeleng. "Syukurlah, selesai."

"Grrr ... diam saja! Kuperintahkan kau, Eophi Rasaya, untuk diam!" Minerva menarik napas dalam-dalam, terlihat jelas upayanya untuk berusaha tetap tenang.

Pelan-pelan, Eophi menggerakkan tangannya di depan mulut. Seolah sedang mengunci sesuatu, kemudian membuang kuncinya. Selesai, ia tatap Minerva dengan pandangan begini-sudah-cukup?

"Lumayan bagus," respons Minerva, mengangguk sebal. "Sekarang katakan, ini kesempatan terakhirmu ... tadi itu, a-apa maksudmu menciumku? Kenapa melakukan itu secara tiba-tiba, dan ... dan tanpa menutup mata?" Lagi, wajah Minerva memerah.

Sepuluh detik berlalu, Eophi tidak menjawab atau bersuara, ekspresinya datar.

"JAWAB!"

"Maaf," kata kasur Eophi. "Mungkin Phi tidak bisa menjawab karena kau memberinya perintah untuk diam?"

Sebelum Minerva bisa meneriakkan caci maki atau menguasai diri, muncul begitu saja, hawa dingin yang menusuk tulang dan suara lonceng yang menulikan pendengaran.

Perasaan membeku itu mampu menghentikan semua pergerakan, dan suara bising itu mampu menelan semua keributan lain di ruangan ini.

Lonceng berdentang tanpa jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya berhenti tiba-tiba. Sementara hawa dingin tetap tinggal.

Kegaduhan berubah senyap hampir seketika.

Lalu seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat, Eophi, bersama yang lainnya, menoleh ke satu arah yang sama.

Tangga spiral.

Di sana, berjalan turun dari anak tangga teratas, dua maid berseragam biru pucat, masing-masing membawa lonceng kecil di tangan mereka.

Seorang wanita berambut ungu gelap, berdiri di antara kedua maid itu.

Pandangan matanya yang tajam menyapu seisi ruangan.

Empat pilar patah dan hancur. Beberapa lampu gantung jatuh atau sekadar rusak. Interior lain tersebar acak. Lantai kayu berlubang di beberapa titik.

Semuanya kacau.

Satu maid berjalan mendekat dari tengah ruangan. Ia menyerahkan semacam kepingan perak pada wanita berambut ungu kemudian berjalan kembali ke posisinya semula.

"Hmmm. Ini parah." Wanita itu menekan bagian belakang rok merah berenda miliknya sebelum duduk di samping Ananda.

Fokusnya tertuju pada kepingan perak yang melayang beberapa senti dari telapak tangannya.

Eophi melihat, semua keberadaan yang tadi duduk atau berada di tangga spiral, kini terdiam, memperhatikan, dan menunggu.

"Baiklah." Wanita berambut ungu itu berdiri, balik badan.

Kalimat selanjutnya yang ia ucapkan sambil berjalan naik, seolah menggema dan mengisi penuh ruangan gila ini.

"Waktu bermain sudah selesai. Semuanya, ikuti aku."

Hawa dingin menghilang.

Begitu pun Minerva, yang baru Eophi sadari sudah tidak berdiri di depannya lagi.






Penginapan Kayu
Misi

 



Pada ujung tangga spiral, berdiri di kedua sisi pintu kayu besar, empat maid berseragam biru pucat. Mereka membentangkan dua garis cahaya, hijau dan merah.

Siapa saja yang telah melewati cahaya hijau, semua luka di tubuhnya pulih. Dan ketika melewati cahaya merah, semua senjata yang masih terhunus atau dalam posisi bertempur, berubah pasif. Eophi juga melihat tulisan di panel transaran si wanita berambut gimbal berubah sebelum menghilang. Dari Go Fuck Yourself menjadi Meredy Forgone.

Mmm ... pembersihan dan pemeriksaan, pikir Eophi.

Anak berambut hijau ini tidur tengkurap di atas kasurnya, menunggu giliran untuk dibersihkan dan diperiksa. Puppet, yang masih pingsan, terbaring di sebelahnya.

"Selamat datang di lantai dua Penginapan Kayu, para peserta Battle of Realms," kata empat maid ramah setelah Eophi selesai.

Detik itu juga Puppet sadar.

Setelah dipaksa, Eophi akhirnya menjelaskan secara pelan, malas, dan singkat, tentang apa saja yang terjadi di lantai satu ketika Puppet pingsan.

"... pokoknya begitu. Hampir semua peserta jadi rusuh. Terus, mereka berantem. Dan, yaaah, intinya kacau. Tapi terus damai. Nah, sebelum naik tangga ... aku dengar suara kucing. Ternyata itu Eve. Aku samperin. Terus, aku melihatmu masih pingsan. Jadi aku bawa." Eophi tersenyum singkat kemudian memejamkan mata, membenamkan wajahnya pada bantal, mendengkur.

Puppet berusaha mencerna penjelasan aneh dan tidak jelas dari Eophi sambil memperhatikan sekeliling.

Ruangan di lantai dua ini memiliki luas yang sama dengan ruangan di lantai satu, semua interior juga terbuat dari kayu.

Tapi jika lantai satu di Penginapan Kayu ini memberikan kesan damai, maka ruangan di lantai dua ini memiliki kesan yang berwarna, dan bernada.

Tiga sisi dinding dipenuhi oleh berbagai macam jenis gambar. Dan pada satu sisi, tidak ada dinding sama sekali, tapi kaca. Tampak jelas dan sangat indah dari sana, pemandangan luar dari ketinggian.

Di tiap sudut ruangan, terdapat bola besar transparan, dan di dalamnya berbaris-baris cahaya hijau menembak secara acak ke segala arah.

Konter panjang, membentuk huruf X apabila terlihat dari atas, mengambil tempat tepat di tengah ruangan. Beberapa gadis dan pemuda berkemeja hitam, mengenakan dasi kuning, berdiri di bagian dalam. Sementara gadis dengan tatapan menggoda, berpakaian sangat minim, tampak meliuk-liuk di tiap sudutnya, di atas konter, dikurung di dalam kurungan ranting.

Mengapit konter X, adalah empat podium yang terbuat dari potongan pohon. Masing-masing diisi oleh makhluk bersayap yang tengah memainkan alat musik.

Sofa-sofa dan meja bundar yang tersebar acak. Penerangan ruangan yang hanya berasal dari satu bola kristal besar di langit-langit. Menara jam antik. Ruang-ruang kecil yang bersekat dan menebarkan aroma relaksasi.

"Aku harus ke toilet," kata Puppet sambil menepuk kepala Eophi.

Gadis berambut hitam itu turun dari kasur, kucing peliharaannya mengikuti dari belakang.

Pelan-pelan, Eophi mengubah posisi tidurnya. Telentang. "Aku ... harus melihat ulang kejadian tadi, ke mana Bidriel," ia bergumam.

"Idiot!" seru gulingnya. "Jangan tidur dulu! Sebentar lagi pasti ada pengumuman atau semacamnya!"

"Eg, tampaknya dia sudah tertidur," bantal Eophi menimpali.

Sementara Eophi tidur, wanita berambut ungu yang sudah berdiri di depan konter X meminta para peserta untuk duduk.

Musik di ruangan ini berhenti, lalu seperti tadi, suara wanita itu seolah menggema dan bisa terdengar sampai jauh.

Hal-hal yang dikatakan oleh wanita itu adalah:

Ia memperkenalkan dirinya dengan nama Anastasia.

Ia menggambarkan Penginapan Kayu ini. Lantai satu: lobi. Lantai dua: bar. Lantai tiga: kamar.

Ia meminta maaf atas kerusakan sistem yang menyebabkan terjadinya kekacauan di lantai satu, dan tereksposnya nama para peserta.

Ia menginformasikan tentang pesta tengah malam.

Ia menjelaskan perannya di R1, atau ronde pertama turnamen Battle of Realms.

Ia mengabaikan beberapa pertanyaan seputar ketidakhadiran dua penanggung jawab sebelumnya, juga misteri tentang berkurangnya jumlah peserta setelah babak penyisihan.

Ia, dibantu oleh satu sosok misterius bernama RNG-sama, menjelaskan tempat, dan apa saja, yang harus para peserta kunjungi, dan lakukan, di R1 nanti.


***


Pelan-pelan, Eophi membuka kedua matanya.

Ia menguap satu kali, meregangkan tubuh, kemudian tidur lagi.

"Bangun, IDIOT!" guling putih di sampingnya membentak.

Eophi tidak bangun.

Guling itu menggeram, kemudian salto. Sambil meluncur turun, guling itu menghantam bagian belakang kepala si anak berambut hijau.

Eophi bangun.

Ia duduk di atas kasurnya, memperhatikan sekeliling. "Masih di tempat yang sama," gumamnya, kemudian memejamkan mata.

Kembali gulingnya salto.

Tapi, sebelum terjadi hantaman lain di belakang kepala, Eophi bangun sendiri.

Ia mengendus ke berbagai arah.

"... ada aroma lezat mengambang di udara," bisiknya berlebihan. "Aku lapar."

Ia menyuruh kasurnya untuk terbang mencari sumber bau.

Selama berkeliling, Eophi melihat tidak banyak peserta yang tersisa di lantai dua ini. Ruangan tampak lengang, berkesan tenang, dan keempat pemusik di podium juga hanya memainkan lagu santai yang mendayu.

Akhirnya, pencarian berakhir. Kasur itu tiba di depan konter X.

Berbagai jenis hidangan memenuhi meja panjang.

Bocah gemuk, pendek, berpipi sangat tembam, mengenakan tudung biru dengan hiasan bintang, tampak sibuk memilih makanan apa yang harus ia kunyah selanjutnya.

Eophi turun dari kasur, berjalan ke samping bocah itu.

"Yang itu pasti enak."

"Semuanya enak, bun~"

Di satu titik meja, terdapat daging goreng yang dibentuk seperti dadu, direndam di saus kental berwarna terang. Lalu di sebelahnya, sesuatu yang terlihat seperti kepiting bakar ditaburi lada hitam. Ada juga bola-bola kecil di antara bubuk merah yang terlihat pedas. Dan masih banyak lagi.

Di lain titik, tersedia potongan-potongan segar dari sayuran dan buah, lalu macam-macam warna minuman.

"Ayo makan, bun~"

Eophi duduk, langsung mengulurkan tangannya ke sebuah piring kayu berisi daging goreng.

"Jangan. Aku mau makan yang itu, bun~"

Tangannya bergeser tanpa berhenti, dari daging goreng ke semangkuk sup beraroma keju.

"Yang itu juga jangan, bun~"

Eophi tidak menyerah. Memilih yang lain.

Sampai akhirnya, ternyata semua makanan yang sudah ada di meja tidak boleh dimakan. Eophi memesan makanan baru. Mi goreng dan sepiring nasi putih.

Mereka berdua menyantap makanan masing-masing dalam damai.

"Pestanya sebentar lagi," kata seorang gadis berkemeja hitam dari bagian dalam konter. "Kalian sudah memilih kostum yang cocok?"

"Bun mau jadi kuda, bun~"

Eophi bersendawa.

Ketika tidur dan memimpikan kekacauan di lantai satu, ia mendengar soal ini.

Anastasia, si wanita berambut ungu, menginformasikan pada peserta Battle of Realms kalau tengah malam nanti, di lantai dua Penginapan Kayu ini, akan diadakan pesta dengan tema Hewan.

"Terima kasih makanannya," gumam Eophi lalu kembali ke atas kasur dan bergerak menjauh dari konter X.

"Ke mana kita sekarang?" tanya kasurnya.

"Ng, langsung cari kamar," jawab Eophi pelan. "Aku mau tidur."

"Pestanya?"

"Nggak tertarik."

Tapi Eophi terlambat. Belum sempat kasurnya terbang ke arah pintu, jam antik di salah satu sudut ruangan berdenting indah selama dua belas kali.

Tepat tengah malam. Pesta dimulai.

Beberapa peserta dan tamu lainnya, semua berkostum binatang, masuk ke dalam ruangan nyaris bersamaan.

Pakaian Eophi berubah secara otomatis detik itu juga. Sekarang ia mengenakan kostum domba.

"Hah?"

Di keempat sudut, bola transparan berisi sinar-sinar hijau mengembang seperti balon, menelan semua keberadaan selama sesaat, lalu meledak serempak.

Berbaris-baris cahaya hijau kini memenuhi ruangan. Bergerak-gerak ke segala arah.

Satu podium baru muncul di depan konter X, dan berdiri di atasnya, adalah sesosok makhluk bersayap dengan satu set meja perak dan beberapa piringan hitam.

Diawali oleh rekaman sebuah lolongan yang menyayat, ruangan ini lalu bergetar karena musik yang menulikan pendengaran.

Puluhan gadis berkacamata dengan kostum kelinci dan rusa betina mendekati peserta atau para tamu lain yang hadir, dan mereka segera menawarkan bantuan apa saja yang bisa ditawarkan.

Bola kristal di langit-langit meledakkan asap warna-warni setiap beberapa saat. Asap-asap yang jika terhirup mampu membuat siapa saja menjadi nyaman dan merasa senang.

Semuanya bergerak dalam euforia.

Eophi, terlihat bingung dan terganggu berada di tengah keramaian yang menggila, bergerak mencari sudut yang agak tenang. Ia juga tidak bisa keluar sekarang, karena entah karena alasan apa, semua pintu menghilang.

Tidak ada akses untuk pergi dari lantai dua.

"... Eophi Rasaya ...."

Sebuah bisikan familier menghampiri telinga Eophi.

Sangat aneh untuknya, ketika mampu mendengar suara selirih itu di antara kebisingan ini.

Eophi menoleh pada keramaian di tengah ruangan. Ia melihat, sedang berdiri di sana, di sebelah pria-pria berjas hitam dan seorang laki-laki berambut panjang acak-acakan berkostum anjing, penampakan dari gadis berambut merah—Minerva.

Satu kali Eophi berkedip, yang kemudian disesalinya, penampakan itu sudah tidak tampak lagi. Minerva menghilang begitu saja.

"... apa-apaan?" gumam Eophi sambil menggaruk dagu. Cepat-cepat ia menyuruh kasurnya ke tengah ruangan. Mencari.

Terus mencari.

Sampai akhirnya ia menyerah, dan berhenti di satu sudut yang tidak terlalu ramai dan gila; di depan kaca raksasa yang memperlihatkan pemandangan menakjubkan dari Kota Despera ketika malam.

Apa maksud dari semua ini ...?

Tatapannya letih dan kosong.

Lalu, semuanya menghilang. Semua keletihan, beban pikiran, dan perasaan terganggu karena berada di ruangan ini, semuanya menghilang.

Hanya nyaman, dan ketenangan yang begitu tiba-tiba, yang kini menguasai Eophi sepenuhnya.

"Anehnya, ini semua terasa salah," kata pemuda yang juga berdiri di depan kaca. Pemuda itu tersenyum pahit. Ia mengenakan kostum kumbang tanduk. "Kita dipaksa bersenang-senang sebelum saling melukai."

Pelan-pelan Eophi mengangguk.

"Avius," kata pemuda itu lagi. "Namaku Avius Solitarus."

"Eophi Rasaya," balas Eophi setelah jeda.

Sejenak, Avius terdiam, menatap Eophi dengan ekspresi yang tidak terbaca. Lalu, seolah baru saja mengerti sesuatu, Avius tersenyum, mengangguk kecil, kemudian kembali memperhatikan pemandangan malam di luar sana.

Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi.

"Hiks. Aku, Yu Ching, tidak akan kalah, nyaw!" menjerit histeris, seekor kucing berekor panjang yang tampak mabuk. Kucing itu terlihat absurd karena mengenakan kostum jerapah. Ia, berada tidak jauh dari Eophi dan Avius, mencakar-cakar permukaan kaca.

Eophi ingat siapa Yu Ching.

Yu Ching sedang bertarung dengan si wanita berambut gimbal, Meredy Forgone, ketika Eophi baru tiba di Penginapan Kayu.

"Ahhh, sake di sini tidak buruk! Tidak buruk!" laki-laki berambut panjang dan acak-acakan, mengenakan kostum anjing, menimpali. Ia juga tampak mabuk. Sambil merangkul dua gadis berkostum kelinci, laki-laki itu berjalan ke depan kaca. "A-a-a-auuu!"

Eophi dan Avius bertukar pandang.

"Oh, ya ampun. Nobuhisa, kau ini bukan serigala. Dan Yu Ching, ayo, jangan merusak properti penginapan." Satu sosok berambut panjang, biru bergelombang, berkostum kanguru, menggendong Yu Ching kemudian memasukkannya ke dalam kantung perut. "Kalian sudah minum terlalu banyak."

"Ayolah Maidaaa ... tadi itu bukan suara serigala!" Laki-laki bernama Nobuhisa memutar kedua bola matanya secara berlebihan. "Kukuruyuuuk! Itu baru ... suara ayam."

"Nyaaaw!" Sementara itu Yu Ching memberontak di kantung perut. "Aku tenggelam, nyaw!"

"Benar-benar gawat," sosok bernama Maida mendesah lelah sambil menahan Yu Ching agar tidak melompat keluar. Pandangannya lalu bertemu dengan Eophi dan Avius. "Ah. Namaku Maida York, salam kenal. Samurai berkostum anjing itu bernama Nobuhisa Oga, dan kucing-jerapah ini bernama Yu Ching. Nggg ... mereka tidak mengganggu kalian, kan?"

Avius menggeleng lebih cepat lima detik dari Eophi.

"Syukurlah," Maida melanjutkan, tersenyum.

"Maaf, apa mereka berdua teman kamu?" tanya satu suara baru.

Semua, kecuali Nobuhisa dan Yu Ching, menoleh ke si pembicara yang berdiri di belakang Maida.

Sosok itu tersenyum. Cahaya malam yang menembus kaca, menyinari rambutnya yang putih sepinggang. Ia tampak cantik meski mengenakan kostum burung yang kebesaran.

"Iya," jawab Maida. "Aku dan mereka berdua satu kelompok di babak penyisihan."

Masih sambil tersenyum, sosok itu terlebih dulu memperkenalkan dirinya dengan sopan. "Namaku Apis." Kemudian, setelah jeda canggung yang berlangsung selama beberapa detik, Apis melanjutkan, "Teman kamu menjatuhkan benda-benda ini tadi."

Apis menyerahkan bola karet dan botol sake setengah kosong pada Maida.

"Aduh. Maaf, ya, merepotkan." Maida meringis, sedikit menunduk karena malu.

"Tidak, sungguh," kata Apis. "Itu bukan apa-apa—"

"ITU DIA! ITU MEREKA! KEPARAT!"

Pria-pria berjas hitam terus berteriak sambil berjalan dengan ekspresi gusar ke arah kaca. Salah satu dari mereka mengeluarkan senjata api.

"Siapa mereka? Kenapa marah-marah?" tanya Apis.

Terkejut, sesaat Maida menutup mulut menggunakan kedua tangan, kemudian ia beralih pada Nobuhisa yang kali ini sedang meniru suara domba.

"Kita harus pergi, Nobuhisa! Mereka menemukan kita!"

"Tenang Maidaaa ... mooo ...."

Maida gagal membujuk Nobuhisa atau menariknya menjauh.

Pria-pria berjas hitam tiba, mengepung mereka.

"KALIAN TIDAK TAHU SIAPA KAMI?" pria berhidung bengkok membentak, menodongkan senjata apinya ke semua sosok yang pada saat ini berada di depan kaca.

"Aaah kalian ini kalau tidak salaaah," kata Nobuhisa sambil menyeringai, "para homo, ya?" Samurai itu tertawa terbahak-bahak.

Jeda.

"BANGSAAAT!"

Pria berhidung bengkok menarik pelatuk.

Senjata apinya memuntahkan sebutir peluru.

Tembakan yang pada awalnya tepat membidik kepala Nobuhisa itu, hanya meleset karena sebelumnya Apis secara refleks berhasil menepak tangan si penembak.

Jalur tembakan berubah.

Kaca yang menjadi sasaran pengganti, pecah seketika.

Momen itu seolah menjadi pemicu.

Sekarang semua pria berjas hitam lainnya ikut mengeluarkan senjata api. Dan tanpa menyuarakan peringatan lain, mereka menembak.

Setengah sadar, Nobuhisa mencabut pedangnya yang tersampir di pinggang. Beberapa gerakan menebas yang sangat cepat berhasil menahan sebagian peluru.

Sementara Maida balik badan, setengah membungkuk. Semua tembakan yang mengarah padanya tertahan oleh bongkahan es.

Pada saat yang sama, Eophi melempar bantalnya ke depan untuk melindungi Apis, lalu menggunakan selimut untuk melindungi Avius dan dirinya sendiri.

Sepersekian detik terlewati.

Para penembak tahu, peluru-peluru yang ditembakkan tidak ada yang berhasil melukai target. Dan para penahan tahu, mereka tidak bisa bertahan seperti ini selamanya. Ya—

"MUNDUR, BAKAR MEREKA!" pria berhidung bengkok berteriak.

"... semuanya naik ke kasur!" Eophi berseru.

—kedua pihak tahu, mereka harus melakukan sesuatu yang berbeda jika ingin memenangkan situasi ini.

Para pria berjas hitam berlari ke belakang, mengambil jarak. Kemudian mereka mengeluarkan bola metalik dari balik jas dan melemparnya secara bersamaan ke depan.

Eophi dan yang lain sudah berdiri berhimpitan di atas kasur. Tapi apa pun itu rencana si anak berambut hijau, yang jelas tidak akan pernah memiliki waktu untuk terwujud, jika saja Maida tidak melakukan sesuatu untuk menahan gelombang ledakan yang pertama.

Bola-bola metalik meledak di udara. Angin serta gelombang ledakan ditahan oleh Maida menggunakan perisai air.

Meski tidak tertahan seutuhnya, dan ledakan susulan terus merambat mendekat, aksi Maida berhasil memberikan waktu bagi kasur Eophi untuk terjun ke bawah.

Mereka berhasil menghindari ledakan, terbang ke langit malam.

Tapi ... sesuatu yang sudah menanti mereka di luar, adalah sesuatu yang benar-benar tidak terduga.

"A-apa-apaan ini ...," Maida berbisik, memperhatikan tanpa berkedip.

Puluhan mesin berwujud manusia setengah raksasa, terlihat dikendarai masing-masing oleh maid berseragam biru pucat dari kokpit di bagian dada, melayang-layang tidak jauh di perbatasan lantai satu dan lantai dua Penginapan Kayu.

Sekilas melihat saja, semua yang berada di atas kasur pasti tahu, pasukan-pasukan robot ini berada dalam posisi siaga.

Sinar biru ditembakkan oleh salah satu robot ke kasur Eophi. Sinar itu mengembang dan menjadi kubus selama sesaat. Lalu ... sesuatu yang sangat kuat, seperti gravitasi, mendorong kasur Eophi dan semua yang berada di atasnya kembali ke lantai dua.

Kekuatan dorongan membuat mereka terpental sampai ke seberang ruangan. Jauh dari sudut kaca, di mana Eophi sempat melihat setelah mereka semua masuk tadi, kaca itu kembali terbentuk. Kembali utuh seolah tidak pernah pecah sebelumnya.

"Tadi itu apa?" tanya Maida pelan.

"Keganjilan-keganjilan di tempat ini tidak pernah berhenti membuatku terkejut," Apis menggumam, memaksakan satu senyum.

Yu Ching mendengkur di kantung perut.

"... cukup aman di sini," kata Eophi sambil memejamkan mata. "Setidaknya tidak ada peluru atau bom atau pasukan robot."

Nobuhisa yang terlihat sudah semakin sadar, selama beberapa saat hanya terdiam sambil memandangi langit-langit. Pesta di ruangan ini masih berlangsung, justru semakin menggila. Bahkan, tidak banyak yang memperhatikan kejadian di sudut kaca tadi. Lalu, "Maaf sudah merepotkan kalian. Para homo berjas hitam itu menyerang kita karena aku."

Perasaan nyaman dan tenang, yang muncul begitu saja, menyebar perlahan.

Maida tersenyum. "Pertama, di lantai dansa. Nobuhisa mengambil dua gadis mereka. Kedua, dia malah meledek mereka dengan menyebutnya homo."

"Mereka memang pantas mendapatkannya." Nobuhisa mengangkat kedua bahu. "Tapi sekali lagi maaf, sudah melibatkan kalian."

"Tidak apa-apa," Avius buka suara, tersenyum. "Tadi itu cukup seru, kok."

Kali ini, kecuali Yu Ching, semuanya tersenyum. Bahkan Eophi.

Mereka mengakui, kejadian selama beberapa menit tadi memang benar-benar menyenangkan.

"Ha-ha! Baiklah, tunggu apa lagi? Lanjutkan pestanya!" seru Nobuhisa. "Oh iya, ke mana, ya, gadis-gadis tadi?"

Dan ... akhirnya mereka benar-benar melanjutkan pesta, bersama-sama, bahkan setelah saling berkenalan, Eophi, Avius, dan Apis ikut juga.

Yu Ching langsung bangun setelah mencium aroma dari sake khusus. Ia dan Nobuhisa mabuk lagi.

Beberapa kali mereka kembali berpapasan dengan pria-pria berjas hitam kemudian melarikan diri sambil tertawa.

Maida menjawab hampir semua pertanyaan Apis seputar benda dan istilah aneh yang tidak ada di dunianya.

Eophi dan Avius mencari Hel yang ternyata masuk ke dalam konter X untuk mengambil daging.

Mereka semua berkumpul, membuat keributan masing-masing, tetap bersama, makan dan minum, menggoda gadis-gadis, melarikan diri mengitari ruangan, bersenang-senang.

"Ini akan sulit jika dalam kelompok yang sama, beberapa peserta sudah menjadi akrab sebelumnya," Apis menggumam tiba-tiba. "Keakraban, atau pertemanan, yang terbentuk dari situasi semacam ini."

"Hm, apa?" tanya Maida yang berdiri di sampingnya.

Apis hanya menggeleng sambil tersenyum.

Di hadapan mereka berdua saat ini, duduk di satu meja yang sama, dan dikelilingi oleh keramaian, adalah Nobuhisa, Yu Ching, Eophi, dan Avius.

Mereka berempat akan berlomba, siapa peminum yang paling kuat.

"Siaaap, idiot-idiot? MULAI!" jerit guling Eophi.

Pertandingan dimulai.

Siapa yang bisa bertahan sampai akhir, siapa yang masih berdiri setelah semua ini selesai ... siapa yang kemudian menjadi pemenang.

Mereka berjuang untuk menjadikan diri mereka sebagai jawaban.


***


Eophi tidak pernah tahu siapa akhirnya yang menang, atau, siapa yang mengantarnya ke kamar dan mengganti kostum dombanya dengan piyama aneh.

Baginya, mabuk berat adalah definisi baru dari tidak sadarkan diri setelah pingsan dan tidur.

Ia juga bahkan tidak tahu, kenapa harus bangun sekarang.

"Ekonomi kota sedang kritis, dan mereka malah menggelar pesta meriah. Hanya untuk memancingku keluar!" kata Minerva sebal. "Bahkan, sampai menyiapkan pasukan segala!"

Gadis berambut merah itu berdiri tepat di samping tempat tidur.

Aku rasa ... sekarang aku tahu kenapa aku ingin sekali bangun, pikir Eophi.

Saat ini fajar. Semua peserta Battle of Realms pasti masih berada di kamarnya masing-masing di lantai tiga.

"Gila, kau tidur di atas kasur yang berada di atas kasur lain?" Minerva berdecak berlebihan. Lalu, setelah satu menit penuh Eophi tidak merespons, ia melanjutkan, "Apa kau selalu lambat dan tidak fokus ketika baru bangun tidur? Dasar payah."

Eophi mendesah. Sambil berbaring memunggungi Minerva, ia berkata, "Karena memang sulit ... untuk mengembalikan orientasi setelah mengingat banyak memori di dalam mimpi."

"Itu bisa jawab." Minerva tersenyum.

"Terpaksa. Ada perlu apa?"

"Dingin sekali." Minerva cemberut. "Tidak senang ada aku di sini? Padahal di pesta kau mencari hologramku seperti anak yang tersesat."

"Pada awalnya aku senang, tapi lalu aku sadar. Kau memang bukan Bidriel," kata Eophi datar.

"Memang bukan. Siapa, sih, dia?"

"Ada perlu apa?" Eophi mengalihkan, sekaligus mengembalikan, topik pembahasan. "Kalau nggak penting, sana keluar. Masih ada waktu buat tidur."

Minerva mempertahankan ekspresi sebalnya.

"Melihatmu, dan mendengarmu, entah kenapa, membuatku ingin marah-marah," si gadis berambut merah mendesis. "Oke. Sekarang, apa kau memiliki penjelasan tentang keributan di lantai satu? Kalau tidak, akan kujelaskan."

"... oh, itu. Ya. Terserah. Silakan dijelaskan."

"Grrr ... seperti yang kubilang, aku memanipulasi emosi di ruangan itu, karena aku membutuhkan keributan sebagai pengalih perhatian sistem keamanan. Lalu kenapa aku menampilkan nama para peserta? Ya jelas untuk menemukanmu, dan mengambil sesuatu. Itu juga alasan kenapa kau tidak terpengaruh oleh kekuatanku," jelas Minerva.

"Hm. Bukankah memang ada yang tidak terpengaruh?" tanya Eophi sambil mengingat si wanita berjilbab dan para penghuni tangga yang bersinar.

"Ada yang menyukai keributan, ada yang terpaksa ikut ke dalam keributan, dan ada beberapa yang mungkin tidak begitu mementingkan kekacauan. Kau tipe yang nomer dua."

"Oh, begitu." Eophi mengucek matanya. "Terus?"

"Memori," kata Minerva. "Itu yang ingin kuambil darimu. Secara tidak sadar, kau, Eophi Rasaya, sudah melihat sesuatu yang mungkin penting untuk organisasi."

Jeda beberapa saat.

"Apa?"

"Peta. Peta yang diciptakan langsung oleh Hewanurma dan Tamon Ruu di portal lama." Minerva terdengar serius sekarang. "Kau menggunakan portal berbentuk pintu kayu usang itu untuk pergi ke gurun berbatu, Shohr'n."

"Ya ... memang ada gambar dan tulisan di pintu itu," kata Eophi. "Kenapa nggak tanya Puppet saja? Dia juga pasti punya memori yang sama."

"Aku benci berbicara dengan sesama."

"Kau ini benar-benar nggak egois," sindir Eophi. "Kau berlagak dingin dan keren, padahal sensitif dan aneh."

"Ingin kuhajar lagi?"

"Nggak ... masih pagi."

"Baiklah, ayo mulai saja. Sebelum Anastasia dan Kathrine berhasil mendeteksi keberadaanku."

"Tunggu." Eophi bangun, memosisikan diri untuk duduk, berhadapan dengan Minerva. "Siapa itu Hewanurma, Tamon Ruu, dan Kathrine? Aku tahu Anastasia. Aku mendengar penjelasannya ketika tidur."

"Kathrine adalah nama maid, salah satu program yang membantu para peserta. Sedangkan Hewanurma dan Tamon Ruu, entah harus bagaimana aku mendeskripsikan mereka. Mereka itu kuat dan konyol."

"Hm ...."

Cahaya pagi masuk lewat ventilasi, dan celah pada gorden.

Cahaya itu menyinari sebagian kamar.

Kamar yang hangat, indah dengan berbagai interior kayu, dan rapi.

Setengah keberadaan Minerva tertimpa cahaya. Menjadikannya seolah terbagi.

Sisi gelap, dan terang.

Ada sengatan tersendiri di perut Eophi ketika melihat pemandangan ini.

"Lalu," kata si anak berambut hijau, "bagaimana caramu mengambil memoriku tentang peta itu? Kalau disuruh gambar ulang roda rumit yang ada di portal ... sebaiknya kau hajar saja aku sekarang."

"Tenang, bodoh, aku punya cara sendiri. Tapi ini memang akan sedikit menyakitkan." Minerva tersenyum jahat.

"Pukulan dan tendanganmu di lantai satu memang menyakitkan. Tapi tidak sesakit itu. Aku nggak selemah itu. Jadi, terserah. Coba saja. Tapi tunggu, aku mandi dan siap-siap dulu."

"Yaaah," Minerva merengut hampir seketika. "Padahal aku suka piyama itu!"

Sekarang Eophi tahu siapa yang mengganti kostumnya ketika ia tidak sadar.

"Nggak," kata Eophi datar. "Nggak ada yang suka sama gambar dinosaurus pink di piyama mereka."

"Lucu, kok. Pakai saja, ya?"

Eophi tidak merespons, ia sudah di dalam kamar mandi.

Setelah sekitar sepuluh menit berlalu, Eophi keluar, sudah mengenakan setelan hitamnya. Sepatu bot krem, dan kalung eksistensi dari Bidriel.

"Cepat juga," kata Minerva senang. "Nah. Sudah siap?"

"Ya."

Minerva menyeringai.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah ... hampir seluruh peserta Battle of Realms di lantai tiga ini keluar dari kamar. Mencari sumber jeritan yang tidak biasa, yang berasal dari kamar Eophi Rasaya.


***


Dari celah pada pintu kamar yang baru terbuka sebagian, Eophi melihat satu maid berseragam biru pucat berdiri membelakanginya.

Eophi keluar.

"Selamat pagi," kata maid itu ramah. Ia maju dua langkah ke depan, kemudian memutar tubuhnya. "Kapan pun Anda siap, ikuti kami."

Eophi mengangguk pelan.

"Lewat sini."

Perjalanan ternyata cukup jauh. Eophi menghitung telah melewati dua koridor dan tiga taman.

Sambil meringkuk di atas kasur, yang terbang mengikuti laju maid di depannya, Eophi sesekali menelan ludah dan meringis.

Entah apa yang sudah dilakukan Minerva. Yang jelas, saat ini Eophi merasa seolah ribuan jarum beku menusuk jantungnya tanpa jeda.

Kamu ga apa-apa, Phi?

... entahlah, Hel.

Naga merah itu mengitari Eophi, cemas.

"Silakan."

Maid akhirnya berhenti. Ia membuka pintu kayu besar bertuliskan: Verdana Power Plant.

Eophi masuk ke dalam.

"Oh. Klasik," satu suara familier, terdengar sebal, menyambut Eophi.

Nobuhisa.

Tentu saja, ia sudah tidak mengenakan kostum anjing. Nobuhisa yang sekarang mengenakan kimono abu-abu, sarung tangan sederhana, dan alas kaki dari anyaman.

"Kau pucat sekali, nyaw," kata Yu Ching yang duduk lalu menjilati diri di atas sofa daun.

"Pasti efek minum-minum semalam," Maida, duduk di sebelah Yu Ching, menimpali. Ia segera beralih pada maid yang berdiri sambil tersenyum di depan jendela. "Tolong, bisakah dia disembuhkan sebelum berangkat?"

Maid itu mengangguk, lantas memperhatikan Eophi.

"Maaf," katanya lalu. "Tidak ada kerusakan yang terdeteksi."

"Biar aku saja." Avius meletakkan gelas berisi susu hangat. Dari meja makan, ia berjalan ke depan Eophi. "Veritas vos liberabit."

Hampir samar, tapi cahaya biru itu tetap ada. Cahaya yang membasuh keberadaan Eophi, membawakan perasaan nyaman, dan damai, hampir seketika.

Tapi—

"... kenapa?" gumam Avius, kemudian mengulang kemampuannya. "Ini ... maaf, Eophi ... aku tidak mengerti. Tapi memang tidak ada kerusakan yang harus disembuhkan."

Eophi meringis. "Ya ... nggak apa-apa."

"Tunggu." Satu sosok yang tampak sangat cantik ketika bermandikan cahaya pagi dari jendela, berjalan ke arah Eophi. "Izinkan aku mencoba."

Apis.

Sosok cantik itu adalah Apis. Tanpa kostum burung kebesaran, ia terlihat begitu langsing. Busananya tampak indah dengan paduan warna yang hangat.

Ketika tersenyum, bulu-bulu putih di tulang pipinya merekah.

"Boleh?"

Eophi mengangguk.

Semuanya memperhatikan ketika Apis bergerak seperti menari, memutar.

Suara yang tercipta dari benda logam berongga di kaki kanannya, yang mengentak beberapa kali, hampir menghipnotis.

Beriringan dengan semua itu, garis-garis putih melingkari Eophi.

"Bagaimana?" tanya Apis.

Eophi menggeleng.

Tidak terjadi apa-apa. Rasa sakit itu tetap menyiksa jantungnya.

"Dasar kalian ini, nyaw!" Yu Ching melompat dari sofa.

Kucing berbulu dominan hitam itu menyuruh Eophi untuk turun dari kasur dan bersimpuh. Eophi menurut.

Yu Ching melompat ke pundak Eophi, kemudian melompat lagi ke puncak kepala.

"Heal ... nyaw!"

Sebuah lingkaran bersimbol khusus tercipta di bawah kaki Eophi. Lingkaran itu terus berpendar selama hampir lima detik kemudian melesat ke atas dan terpecah.

Cahaya menyebar ke sekeliling.

Semuanya menunggu.

"Sembuh, nyaw?"

Eophi meringis, dan berbohong, "Lumayan membaik ... ng, terima kasih semuanya. Aku nggak menyangka kita semua berada di tim yang sama."

Di sudut ruangan, Nobuhisa mendengus. "Kalau begitu ayo kita mulai saja! Hey, cewek yang berdiri di depan jendela. Kami siap!"

Maid mengambil alih dari sini. Ia memberikan pilihan pada keenam peserta untuk langsung mendengarkan detail ketentuan di R1 nanti, atau sarapan dulu.

Semua memilih untuk sarapan.

Selesai bagian itu, maid memulai penjelasan dengan mengatakan nama tim ini.

"Kalian adalah Tim D."

Berlanjut, ke lokasi yang akan mereka kunjungi nanti: Verdana Power Plant. Pulau kecil, terapung di langit utara Alforea. Pulau yang diciptakan untuk menjadi pusat pembangkit energi pertama, sampai, sesuatu yang sangat buruk terjadi, dan proyek itu terpaksa diberhentikan.

Berlanjut lagi, ke benda krusial yang akan diberikan pada masing-masing peserta: tabung generator yang mampu menampung energi, berkapasitas rendah. Tabung ini memiliki nilai yang sama dengan nyawa. Setiap peserta diperbolehkan untuk mengisi ulang energi tabung pada power generator yang berada di tengah pulau.

Terakhir, adalah penjelasan, atau syarat yang diajukan, untuk menjadi pemenang.

Pada saat ini ... keenam peserta seolah menghindari tatapan satu sama lain.

"Bunuh kelima peserta lainnya," kata maid di tengah ruangan sambil tersenyum. "Atau, hancurkan tabung generator mereka.
"Siapa saja, yang mampu untuk tetap berdiri ketika lima lainnya dikalahkan, bisa menjadi pemenang."

Nobuhisa menghunus pedangnya. "Semua kontradiksi di dalam tim ini tidak akan menghalangi jalanku untuk menang," samurai itu berujar dingin.

Kedua tangan Maida mengepal sebelum akhirnya mencabut setangkai ornamen bunga kuncup dari dalam tas pinggang. "Aku tidak akan kalah di sini," ia berbisik.

Apis dan Yu Ching berdiri tanpa ekspresi, pandangan mereka kosong, seolah memikirkan sesuatu yang sangat jauh.

Avius mengenakan tudung jubahnya, menunduk. Sementara Eophi masih mati-matian menahan sakit.

"Ada pertanyaan?" tanya maid.

Tidak ada jawaban.

Enam portal, dengan bentuk api biru, tercipta di belakang masing-masing peserta.

"Lewati api di balik punggung kalian, dan, selamat berjuang."

Hampir bersamaan, keenam peserta balik badan, bergerak cepat dan menghilang ke dalam api.

Menuju pulau terapung ... Verdana Power Plant.

R1 dimulai.






Verdana Power Plant – Bawah Tanah
Milk si Bantal dan Lonceng Putih

 



Ini situasi gawat, pikir Apis, sudah jelas, bertarung dengan mereka yang pernah membuat kita tertawa bahagia meski sesaat, jauh lebih sulit daripada bertarung dengan mereka yang pernah membuat kita membenci seumur hidup.

Sama seperti kesiapanku akan situasi semacam ini, yang pada kenyataannya, lebih sulit untuk diterima karena aku sendiri masih belum percaya!

Semuanya pasti di luar kebetulan. Aku tidak bisa melawan mereka dengan perasaan ini. Setibanya di tempat tujuan, aku harus bersembunyi, mencari cara terbaik. Ya. Memisahkan diri dari mereka adalah langkah pertama. Lalu

Suara tajam dari portal berbentuk api biru yang menjilat udara selama sesaat, kemudian menghilang tanpa jejak, mengalihkan pikiran Apis sepenuhnya.

Ia tiba.

Kedua kakinya memijak di tanah keras yang basah, sementara tubuhnya bergetar karena angin dingin dan gerimis.

"Sekali lagi aku harus bilang ... ini klasik."

Kedua mata Apis membelalak. Pandangannya bergerak setengah lingkaran. Gemeletuk gigi-giginya terdengar di balik senyum yang dipaksakan.

"Nobuhisa," gumam Apis. "Dan kalian semua ... selamat datang di ... Verdana Power Plant? Kita bertemu lagi. Secepat ini."

"Ya." Nobuhisa sedikit mengangkat dagu. "Perpisahan yang singkat, heh?"

Berdiri dengan pedang terhunus, tepat di depan Apis, adalah Nobuhisa.

Lalu Maida, yang berdiri empat langkah di sebelah kanan Nobuhisa, tampak menelan ludah.

Eophi, bersimpuh di sebelah kiri, memegangi dada sambil pelan-pelan menatap sekeliling.

Avius dan Yu Ching mengapit Apis, keduanya menatap satu sama lain menggunakan ekspresi yang tidak terbaca.

Sial ... sekarang apa? Berlari dulu? Mengikuti rencana semula?

Keenam peserta berdiri saling berdekatan, membentuk lingkaran. Mereka tidak mendapatkan titik awal yang berjarak di Verdana Power Plant ini.

Pertarungan langsung berada di depan mata.

Tidak ... aku harus mencobanya. Tampaknya memang harus seperti ini! Apis menarik kerisnya. Mereka menginginkan ini untuk selesai dengan cepat ... aku harus bertarung!

Tanpa aba-aba, secara bersamaan, lima gerakan mengganggu gerimis.

Semuanya berlangsung dengan cepat, tapi bagi Apis, anehnya, semuanya juga cukup jelas untuk diperhatikan. Adrenalin berpacu. Langkahnya mengentak.

Apis maju tiga langkah ke kiri untuk menyerang Avius. Avius, menyadari itu, mencoba mundur dan tersandung, terjatuh. Di detik yang sama, dari sudut matanya, Apis melihat Yu Ching melompat, kucing itu menyerang, meski cukup cepat, Apis berhasil menunduk dan menghindar.

Tanpa jeda, tatapannya beralih ke depan, tampak Maida melempar sesuatu pada Nobuhisa. Nobuhisa menahan apa pun itu menggunakan punggung pedangnya dan berputar untuk kemudian melakukan gerakan menebas ke sebelah kiri. Ke arah Eophi yang masih belum bergerak sama sekali.

Semuanya memperhatikan ... bilah pedang Nobuhisa yang mengabur, terayun tepat ke arah leher—

"Eophi!"

—dan berhenti.

Pedang itu berhenti tanpa memotong. Hanya menciptakan luka kecil akibat sedikit sayatan dangkal. Setitik darah keluar dari sana, kemudian menetes ke tanah basah.

"Menghindar," kata Nobuhisa datar. "Eophi, bertarunglah dengan benar."

Menunggu Eophi merespons, hanya suara angin yang mengubah arah gerimis, yang bisa terdengar.

Apis melihat anak berambut hijau itu perlahan tersenyum.

"... kau tidak berpikir, kalau aku tidak mencobanya, kan? Menghindar?" Eophi berujar pelan. "Aku tidak bisa bergerak ...."

Nobuhisa menarik pedangnya.

"Cih. Panggil aku si sombong, karena aku berani mengatakan bahwa pada saat ini, kalian semua bisa kukalahkan dengan mudah," jelas Nobuhisa. "Atau panggil aku si baik yang tolol, karena aku akan melepaskan kesempatan itu."

"Apa maksudmu?" tanya Apis.

Nobuhisa mengangkat kedua bahu, kemudian balik badan. "Aku akan pergi. Terserah jika kalian masih ingin saling bunuh di sini, dalam kondisi seperti ini. Aku akan pergi, dan baru akan kembali ketika tabung generator ini harus diisi. Setelah itu ... akan kuselesaikan semuanya.
"Ingat baik-baik, sekarang, kalian semua adalah musuhku. Aku selalu memberikan dan menginginkan dua hal dari mereka. Kehormatan, dan kematian yang pantas."

Tidak ada yang menyahut. Semuanya tampak menerima keputusan untuk menunda pertarungan ini.

Nobuhisa berjalan menjauh sambil mengetuk benda perak seukuran telapak tangan yang terpasang di sisi kiri pinggangnya.

Apis melirik ke pinggangnya sendiri, kemudian ke pinggang peserta lain (khusus untuk Yu Ching, tabung generator menempel di punggung) dan mendapati benda yang sama.

Benar-benar ceroboh, Apis mengumpat dalam hati, kenapa baru sekarang aku menyadari keberadaan benda penting ini? Apa lagi yang kulewatkan?

Pandangannya menyapu sekeliling.

Di langit, di antara gerimis, di balik garis-garis lebar yang meliuk dan bercahaya, terlihat awan hitam yang bergolak.

Terlalu dingin di sini ... tempat ini pasti tinggi sekali!

Di darat, tersamar jarak di utara, terlihat tiang dengan bentuk serupa cakar, menjulang. Tiang semacam itu juga ada dua lagi di belakangnya. Berseberangan. Jauh di sekitar barat laut, dan tenggara.

Aku pasti berada tepat di tengah pulau.

Pandangan Apis berhenti sejenak pada ruang kotak di antara dua kaca yang melembung. Ia melihat bola kecil bersinar terang di sana.

Bola itu mengeluarkan garis-garis menjalar persis petir, dan garis-garis itu tersalur kemudian menciptakan semacam lintasan rumit.

Benda besar serupa totem kaca itu pasti power generator untuk mengisi ulang energi tabung. Jika aku tidak terlalu salah, bola kecil itulah pusat kekuatannya. Ini tempat penting. Demi aman, aku tidak boleh terlalu jauh dari sini, atau terlalu dekat. Sekarang—Apis berhenti.

Naga merah Eophi menjerit tiba-tiba.

Setelah itu, dari siluet gedung-gedung di kejauhan, Apis melihat setitik cahaya berkelip beberapa kali.

"Langitnya!" seru Maida.

Semua mendongak.

Garis-garis besar yang meliuk di langit berpendar merah darah, bergetar, seolah tengah berdetak. Gelombang cahaya tampak di balik awan hitam, bergerak ke segala arah, menciptakan suara-suara berdengung yang bertabrakan dengan gemuruh.

Apis dan yang lainnya masih mendongak ketika gerimis berhenti, ketika udara seolah menghilang, dan ketika langit meledakkan suara yang begitu menulikan pendengaran.

T-terompet perang? Apis membatin, refleks menutup telinganya dan berjongkok.

Arus cahaya berwarna kemerahan turun dari atas sana, bercabang, berdesis ketika menghantam pijakan.

Meski arus-arus itu lebih lambat dari kilat, dan tidak menciptakan kerusakan yang langsung terlihat, Apis tahu, kecepatan pada jenis itu adalah kecepatan yang tidak bisa dihindari selamanya, dan kerusakan yang diakibatkan oleh kekuatan itu adalah kerusakan total dari dalam.

Semuanya, bagi Apis, kembali berlangsung dengan cepat, sekaligus sangat jelas.

Ia melompat jauh ke samping untuk menghindari salah satu arus besar, lalu berguling, berdiri, dan langsung berlari untuk menghindari serangan lain dari langit.

Sepintas, sudah tersebar atau tertutup serangan-serangan yang tak terhitung jumlahnya, Apis melihat peserta lain. Mereka saat ini antara berada di dalam kondisi yang sama dengannya, atau justru lebih buruk.

Yu Ching berlari zig-zag, cukup cepat untuk menghindari satu arus kemerahan. Tapi ia berlari ke arah yang salah, ia terjebak di antara beberapa serangan yang bercabang. Cahaya-cahaya itu saling menghantam ... dan akhirnya kucing itu menghilang dari jarak pandang.

Di titik lain yang agak jauh, susah payah Nobuhisa menghindar sambil berusaha menebas arus-arus yang menyerang, menjebaknya. Tapi tidak ada yang terjadi. Cahaya kemerahan itu tidak bisa dipotong dan dimusnahkan.

Sementara itu, Avius berlari ke arah Maida yang terkena percikan arus.

Avius tampak berusaha menyembuhkannya.

Apis, sambil menunduk untuk menghindari serangan dari empat cabang cahaya yang saling bertabrakan, melihat ekspresi kesakitan Maida. Lalu ekspresi cemas dari Avius. Dan bayangan dari arus-arus di atas mereka yang siap menghantam.

Satu detak jantung lewat ... beberapa arus sekaligus menghantam Avius dan Maida.

Mereka juga, akhirnya tidak terlihat lagi.

Apis membeku selama sesaat untuk menegaskan pandangannya, dan—

Tidak ada yang tersisa .... Apis menelan ludah. Sekujur tubuhnya bergetar karena lelah, dan perasaan lain yang tidak ia pahami.

—ia kembali bergerak setelah sempat menyunggingkan satu senyum.

Aku nyaris melupakan anak berambut hijau itu! Apis berseru dalam hati. Eophi Rasaya ....

Kembali terlihat setelah beberapa arus merah yang menghalangi jarak pandang menghilang ... adalah kelima peserta lainnya.

Mereka selamat.

Yu Ching berlindung di bawah kasur Eophi.

Nobuhisa masih bergerak menghindari serangan dibantu guling Eophi di sampingnya.

Avius selesai menyembuhkan Maida, selimut Eophi melayang-layang di atas mereka.

Eophi sendiri aman bersama naga merahnya, berdiri di dekat power generator.

Dia tidak diserang! Tampaknya ada jarak aman tertentu yang diciptakan totem kaca itu! Apis menimbang untuk berlari ke arah sana.

"Jangan melamun di tengah pertempuran, shushu!"

Bantal Eophi berhenti tepat di atas kepala Apis.

"Ah, kamu?" tanya Apis.

"Namaku Milk, atau Em, terserah mau panggil aku apa, shushu. Phi menyuruhku untuk melindungimu, shushu. Tangkap aku cepat, shushu!" bantal Eophi, Milk, bergetar ketika menahan satu arus kemerahan.

Apis menarik bantal itu, kemudian berlari menghindari arus lain.

Bertahan sekarang menjadi jauh lebih mudah karena bantuan perisai aneh di tangan kirinya.

"Senang berkenalan denganmu, Milk!" Apis tersenyum. "Tapi, apa itu 'shushu'?"

"Mengucapkan 'shushu' adalah upayaku agar mudah diingat, shushu. Nah, jangan banyak tanya dulu dan teruslah hidup, shushu. Itu prioritas kita sekarang, shushu. Blablabla, shushu—" Milk terus mencerocos tentang pentingnya bertahan hidup.

Mungkin sebaiknya kutinggalkan saja benda ini di sini, batin Apis.


***


Langit tampaknya tidak berniat untuk berhenti menyerang.

Lebih banyak lagi arus yang turun.

Cahaya-cahaya merah yang menghalangi penglihatan, dan bunyi desisan yang hampir menenggelamkan bunyi-bunyi lain.

Apis sudah kehilangan jejak kelima peserta di belakangnya, dan harus setengah berteriak agar suaranya terdengar ketika berbicara.

"Kita harus berlindung!" pekik Apis.

"Aku masih bisa menahan serangan-serangan ini, shushu. Ini, sih, tidak seberapa, shushu!" Milk menimpali.

Tiga arus besar nyaris mengubur mereka di dalam cahaya.

"Itu tadi nyaris, Milk!"

"Itu bukan apa-apa, shushu!"

Apis menambah kecepatan. Berusaha untuk tetap fokus. Ia menekan batas staminanya.

Hawa dingin dari tempat ini benar-benar membunuhku! Dadaku rasanya dipenuhi api! Apis meringis. Mengakui pertentangan nyata dari analogi yang baru saja ia pikirkan.

"Kesombongan hanya akan membawa kematian dini! Kita berlindung di sana!" Apis tidak kuat lagi. Ia berlari terus ke selatan, ke arah gedung-gedung yang tampak semati tempatnya berpijak sekarang.

"Terserah, shushu. Kalau kau memaksa, aku ikut saja, shushu."

Apis tidak mendengar perkataan terakhir Milk. Ia sudah sibuk menghindar dan menahan.

Menghindar lagi, menambah kecepatan, menahan lagi. Sampai akhirnya, satu lompatan panjang mengamankan posisinya.

Ia mendobrak salah satu gerbang gedung, kemudian menggunakan Milk si bantal untuk mendarat tanpa lecet sama sekali.

"Bagus, shushu. Gunakan saja bantal sebagai bantalan, shushu. Seakan itu tidak bikin sakit hati saja, shushu! Blablabla, shushu—" Milk terus mencerocos tentang harga dirinya sebagai bantal.

Sementara itu, Apis menggunakan masa tenang ini sebaik-baiknya. Ia bersyukur, suhu di dalam sini lebih hangat. Ia segera mengatur napas sambil membiasakan penglihatannya di dalam kegelapan.

Setelah beberapa saat, dan dibantu cahaya kemerahan yang terlihat dari beberapa jendela gedung, Apis akhirnya mengetahui keadaan sekeliling.

Tempat ini tidak mungkin dibuat untuk keberadaan seukuran manusia, pikir Apis. Terlalu kecil. Bahkan baru kusadari, gerbang yang kudobrak tadi pastilah tidak akan muat kulewati jika sambil berjalan normal.

Ia bersila di tengah ruangan.

Ketika tempat ini masih aktif, pastilah digunakan untuk memarkir semacam kendaraan-kendaraan beroda satu dengan tuas aneh dan satu tempat duduk. Karena sekarang Apis dikelilingi benda-benda itu.

Apa lagi ini? Apis mengangkat salah satu kendaraan yang sudah berkarat.

"... dan terlepas dari undang-undang perbantalan, keenam peserta sudah terpencar sekarang, shushu. Sebenarnya itu yang aku takutkan ketika kau memilih untuk melarikan diri ke sini, shushu." Milk mengambil jeda, menatap Apis yang masih kebingungan dengan kendaraan kecil beroda satu. "Hey, shushu! Kau mendengarku tidak, shushu?"

Apis menoleh, tersenyum.

"Ya, aku dengar semua, Milk," ujarnya ramah. "Menurutku tidak apa-apa terpencar sekarang. Karena, toh, nanti kita akan berkumpul di sana lagi pada akhirnya untuk bertarung. Ingat perkataan Nobuhisa, kan?"

Milk mengangguk.

"Samurai itu, ya, shushu? Dia belagu, shushu. Aku bisa saja menahan semua serangannya sambil setengah tertidur, shushu. Blablabla, shushu—" Milk terus mencerocos tentang Nobuhisa.

Sekarang, pikir Apis, mengabaikan Milk, aku sudah kembali ke rencana semula. Memisahkan diri. Pertarungan dengan mereka tadi juga membantuku untuk mengambil keputusan nantinya. Ya. Ternyata mereka juga ragu sepertiku, tapi tetap menyerang. Tetap tidak ada yang mau kalah. Tetap ingin menang. Tetap ingin hidup!

Tidak peduli jenis pertemanan dan kebersamaan apa yang telah kita lewati.

Di pertemuan berikutnya, aku harus sudah memiliki rencana yang matang.

Bagaimana caranya mengantisipasi serangan dari langit ... bagaimana caranya mengalahkan mereka semua.

Ya.

Akulah yang akan menang dan bertahan.

"... rambut gondrong berminyak, luka jelek di wajah, tampangnya yang tengil, shushu ... samurai itu jelas kalah lagi olehku di kategori ketampanan, shushu. Lalu jika dilihat dari kategori memasak, shushu. Aku—"

"Milk," Apis memotong sopan. "Boleh aku bertanya?"

"Boleh, shushu. Aku hampir bisa menjawab semua pertanyaan, shushu."

"Seperti apa Eophi Rasaya itu?" Menggunakan satu tangan, Apis menyangga dagu. "Kalau aku boleh menebak, dia pasti teman baikmu."

"Seperti apa, ya, shushu ... oh, karena hampir selalu tidur, Eophi punya rambut hijau yang acak-acakan, kayak semak, shushu. Mukanya juga bosan terus, shushu. Di Myrdial dia terhitung pendek, shushu. Kalau mandi juga—"

Apis tertawa pelan untuk memotong.

"Bukan itu, Milk. Aku mungkin lebih ingin tahu kepribadiannya. Sekuat apa ikatannya denganmu?"

"Oooh ... itu, shushu." Lalu dalam satu tarikan napas Milk menjawab, "Dia merelakan sebagian nyawa dan kemampuan sihirnya untuk menciptakanku dan tiga senjata lainnya, shushu. Dia lebih dari sekadar teman baik, shushu. Tapi aku tetap lebih jago darinya, shushu. Dalam segala hal—"

"Jadi Eophi tidak mengendalikanmu?"

"Tidak perlu, shushu. Karena pada awalnya kita ini satu, shushu. Eophi hanya perlu memberi perintah dan ta-da aku yang hebat dan tampan ini akan menjalaninya, shushu."

Sampai serangan langit di luar gedung mereda, Apis dan Milk sibuk membahas Eophi Rasaya.


***


Serangan dari langit sudah hampir berhenti.

"Terima kasih sudah mau menemaniku mengobrol, Milk," kata Apis. "Sekarang ayo kita lihat keadaan di luar."

Apis, dan bantal bawel yang melayang di belakangnya, membungkuk melewati gerbang gedung.

Keluar.

Arus kemerahan yang ditembakkan langit masih terlihat di beberapa tempat, tapi skalanya sudah jauh berubah.

Gerimis kembali bisa dirasakan. Apis memejamkan matanya sejenak untuk membulatkan tekad.

Dingin ini tidak boleh mendapat izin untuk membekukan semangatku!

Tapi ternyata suhu pulau ini tetap mengganggu.

Sial.

"... tampaknya masih ada waktu sebelum energi pada benda perak ini habis," gumam Apis, memperhatikan dua bar kuning di balik kaca tabung generatornya. "Mau menemaniku berkeliling, Milk?"

"Kalau kau memaksa, shushu. Tapi sambil bercerita lagi, shushu. Katakan lebih banyak tentang dirimu sekarang, shushu. Meski tidak mungkin kau memiliki kepribadian semegah diriku—"

Apis menyanggupi.

Berbicara dan terus bergerak akan membuatku tetap hangat, dan berpikir.

Ia menceritakan keindahan dunianya, Bentala ("Jujur, kupikir sebelumnya Alforea dan Battle of Realms ini hanya permainan mimpi." Apis tersenyum), juga mengatakan tentang kepahitan sejarah rasnya—Wadana ("Meski tidak pernah utuh lagi, kami sebagai setengah-dewa burung agung yang terasing, tidak akan pernah menyerah." Apis masih tersenyum), lalu tentang kekejaman para Naga, dan lainnya.

Mereka terus mengobrol sambil merasa menjadi setengah raksasa ketika berjalan mengitari kompleks gedung-gedung kerdil di bagian selatan pulau ini.

"Menunduk, Milk!" Apis berseru pelan tiba-tiba.

Ia, dan bantal di sampingnya, berhenti bergerak. Bersembunyi di belakang salah satu gedung.

"Tadi ada sesuatu ... di sana," bisik Apis. Kedua matanya tajam menanti setiap pergerakan. Asap putih terus keluar dari mulutnya ketika ia bernapas pendek-pendek.

Apis benar.

Beberapa meter di depannya, dua makhluk kerdil, tidak lebih tinggi dari pinggang manusia dewasa, terlihat sedang berbincang-bincang menggunakan suara pelan.

Ukuran makhluk-makhluk itu cocok untuk mendiami tempat ini, pikir Apis. Mereka pasti para pribumi.

"Mereka dalam masalah, shushu."

"Apa maksudmu?"

"Lihat di atas mereka, shushu."

Ketika Apis mendongak, satu arus kemerahan sudah dimuntahkan langit dan melesat tepat ke arah makhluk-makhluk kerdil itu. Setengah mulut Apis terbuka tidak percaya.

Mereka mati?

Jawabannya terlihat hampir seketika.

Cahaya kemerahan dari satu arus itu menghilang, dan Apis bisa melihat kalau dua makhluk itu ternyata baik-baik saja.

Salah satu dari mereka bahkan terlihat sangat santai, dan satu lagi tertawa senang.

Seharusnya arus kemerahan itu membunuh mereka! Aku lihat Maida tadi, yang meski hanya terkena cipratannya saja, sudah sangat tersiksa ....

Kenapa mereka selamat?

Berbagai kemungkinan membanjiri pikiran Apis.

Pada saat yang bersamaan, terdengar seruan tajam dari suatu tempat.

Suara pertempuran.

Kedua makhluk kerdil itu berlari ke sumber suara.

Apis dan Milk mengikutinya.

"Itu tadi suara Nobuhisa," kata Apis, bingung. "Dia sedang bertarung."

Setelah melewati beberapa gedung, akhirnya mereka tiba.

Apis masih menjaga jarak dengan kedua makhluk kerdil yang berhenti, dan bersembunyi, tepat di depan keributan.

Meski hanya bisa melihat dari interval yang jauh, dan agak terhalang, Apis sekali lagi benar.

Nobuhisa dan guling Eophi ada di sana, di halaman gedung yang memiliki empat cerobong.

Samurai dan guling itu terlihat kepayahan bertarung melawan dua sosok yang tidak bisa dideskripsikan hanya dalam sekilas pandang.

Sosok itu seolah mengenakan zirah yang terbuat dari asap hitam.

Helm bertanduk, melindungi keseluruhan bagian kepalanya.

Salah satu dari sosok kegelapan itu bersenjatakan pedang besar, sementara satunya lagi menggunakan kapak.

Wajah mereka yang kosong dan hitam, seketika mengingatkan Apis pada mimpi buruk dan semua hal jahat lainnya.

"Haruskah kita membantu, shushu?"

Apis menatap bantal di sampingnya agak lama kemudian menggeleng. "Tidak ... Milk. Nobuhisa adalah musuhku."

"Maksudku menyelamatkan Light, shushu."

"Light?" Apis mengangkat alis. "Guling itu maksudnya?"

"Ya, shushu."

"Baiklah, tapi ... Light adalah benda sihir sepertimu. Dia tidak bisa hancur, kan?"

Milk mendengus. "Tidak ada yang tidak bisa hancur, shushu. Meski sihir Myrdial termasuk ke dalam empat pertahanan terkuat yang ada di semesta, Eophi masih belum menjadi Myrd yang sempurna, shushu. Kita masih bisa dihancurkan dengan mudah—"

Suara benturan, diikuti jerit yang tertahan, mengembalikan pandangan Apis ke depan.

Dua makhluk kegelapan itu berhasil memukul mundur Nobuhisa sampai ke bagian dalam gedung.

Apa ... Nobuhisa kalah?

"Uwooo! Aku harus menyelamatkan Light, shushu! Dia membutuhkan pertahanan ilahiah dariku, shushu!"

Milk sudah terbang ke arah gedung sebelum Apis sempat menghentikannya.

Kedua makhluk kerdil yang sampai saat ini masih bersembunyi, juga ikut bergerak, tapi ke arah yang berlawanan. Mereka berlari kecil, menjauh dari gedung.

Apis menoleh satu kali ke arah Milk yang akhirnya masuk ke dalam gerbang. Lalu tanpa keraguan, Apis balik badan, kembali mengikuti kedua makhluk kerdil itu.

"Milk, semoga kita memiliki kesempatan untuk bertemu lagi," Apis berujar lirih.


***


Para pribumi tahu cara mengatasi serangan langit, pikir Apis. Aku harus terus mengikuti mereka. Aku harus mengetahui apa yang mereka tahu.

Apis melirik tabung generator di pinggang kirinya. Masih dua bar energi.

Aku masih punya waktu.

Kedua makhluk kerdil membawanya sampai ke ujung kompleks.

Sekilas Apis mendongak untuk melihat tiang hitam serupa cakar yang menjulang di belakang sebuah gedung.

Benda tinggi itu yang kulihat dari tengah pulau.

"... SALAHMU!"

"TIDAK PERLU BERTERIAK!"

Apis berhenti sejenak, mendengarkan.

Kedua makhluk kerdil di depannya bertengkar sebelum masuk ke gedung terakhir di sisi barat pulau.

Berjalan lebih pelan, berusaha tidak menimbulkan suara sama sekali, Apis mendekat ke salah satu jendela. Ia mengintip ke dalam.

Kosong.

M-mustahil! Tadi mereka masuk ke sini ....

Kebingungan Apis tidak bertahan lama. Pada satu sudut, ia melihat cahaya.

Cahaya itu berasal dari semacam gerbang besi yang tertanam di lantai batu.

Setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa tempat ini benar-benar kosong di permukaan, dan bahwa ia akan menemukan sesuatu jika pergi ke bawah sana, Apis mengendap-endap masuk ke dalam gedung.

Keputusan Apis terbukti benar beberapa saat kemudian.

Tangga spiral yang menurun cukup jauh membimbingnya ke suatu tempat baru.

Tiba di anak tangga terakhir, sosok cantik itu harus menelan ludah dan sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.

Ia melihat wujud tempat itu. Tempat yang begitu hidup.

Sebuah kota bawah tanah.

Puluhan makhluk kerdil berdiri bersebelahan, semua menatap ke arah yang sama. Ke satu ruangan di menara perak, yang terletak jauh di seberang tempat Apis berada sekarang.

[ ... jadi di sinilah kita. Sekali lagi, berjuang untuk melewati hari penentuan. ]

Suara serak dan berat itu terdengar pecah, menggema sampai ke tiap sudut kota.

Apis mendengarkan baik-baik tiap kata yang terucap.

[ Armbell akan kembali berperang. ]

Ratusan makhluk kerdil menyambut dengan seruan, bersorak penuh semangat.

[ Badai pertama telah turun. Tim Pemantau melaporkan ... tiga Anathema berhasil tercipta. Ketiganya berada di kompleks pembangunan, Nyctonum. ]

Perlahan, suasana kota berubah senyap.

[ Aku merasakan ketakutan kalian, aku pastikan aku berada di dalamnya. Kita bersama, memiliki satu pertanyaan yang sama. Tiga Anathema di awal? Berapa banyak Anathema yang akhirnya tercipta pada puncak badai? Pada tahun ini, saudara-saudaraku, kita akan menghadapi kegelapan terbesar.

[ Tapi lalu ... apa kita, Armbell, bisa mengingat wujud benda langit? Tidak. Tidak ada yang terlihat dari bawah sini. Awan hitam, badai, dan kegelapan, sudah lama membina kita untuk tetap kuat.

[ Kita adalah kegelapan yang akan melarikan diri.

[ Mereka tidak pernah tahu itu.

[ Oooh, sungguh terlalu banyak keinginan yang ingin diwujudkan oleh pemimpi tua sepertiku, jadi, maafkan aku ....

[ Maaf, karena nanti aku akan menyambut kegelapan terbesar di luar sana, dengan dua tangan yang memegang senjata.

[ Dan aku selalu berharap, saudara-saudaraku ... aku tidak pernah sendirian.

[ Tidak, karena dari semua hal, kesendirian adalah pembunuh yang paling kutakuti.

[ Ini bukan perintah, tapi naiklah bersamaku nanti. Bertarung tanpa ragu. Kita lewati hari ini. ]

Seisi kota kembali berseru dan bersorak.

Apis juga, meski tidak mengerti sebagian besar isi pidatonya, bisa merasakan karisma yang begitu kuat dari si pembicara. Siapa pun itu.

[ Bagi mereka prajurit gelombang pertama silakan menghadap ke markas utama untuk pemasangan zirah khusus dan penjelasan strategi. ]

Suara lain, terdengar lebih muda dan mendesak, mengambil alih tadi.

Zirah khusus, pikir Apis. Mungkin itu cara mereka bertahan dari serangan langit. Aku harus ke sana, ke markas utama.

Parit yang mengelilingi kota bawah tanah ini, dimanfaatkan Apis untuk merayap tanpa diketahui.

Pencariannya dimulai.






Verdana Power Plant
Light si Guling dan Anjing Gila

​ 

Samurai berambut panjang itu berputar di antara tebasan pedang dan kapak.

Sambil menghindar, ia menebas salah satu pinggang makhluk kegelapan, membuatnya bersimpuh.

"Seranganmu kurang dalam, IDIOT!" Light, guling Eophi, membentak Nobuhisa dari samping sambil menahan hantaman dari makhluk kegelapan satunya.

"Oh, berhentilah berteriak, guling!" Nobuhisa menggeram. Ia melakukan gerakan empat langkah yang sangat cepat ke samping, tiba di hadapan makhluk kegelapan yang masih berdiri, kemudian menebas secara vertikal ke pundaknya.

Bilah pedang Nobuhisa memotong sebelah tangan makhluk kegelapan itu. Lalu, tanpa jeda, dan menggunakan ayunan yang lebih cepat dari sebelumnya, ia menebas secara diagonal ke atas.

Kepala dari makhluk kegelapan itu melayang di udara.

"Begitulah seharusnya kau menyerang, IDIOT!" Light memasang posisi siaga untuk menyambut satu lagi makhluk kegelapan yang tersisa.

"Heh, aku tahu aku hebat!" Nobuhisa menyeringai, juga kembali memasang kuda-kuda.

Mereka berdua berdiri membelakangi kaca-kaca yang menjadi sumber penerangan di dalam gedung dengan empat cerobong ini.

Bertarung melawan dua makhluk kegelapan, yang, seingat Nobuhisa tercipta secara misterius dari arus-arus kemerahan di luar sana.

"Satu makhluk jelek lagi!"

Nobuhisa melesat. Light, tertinggal di belakang, tetap bersiap untuk menahan serangan liar.

Makhluk kegelapan yang tersisa adalah pengguna kapak. Ia memiliki postur yang lebih besar, dan zirah yang berlapis.

Memanfaatkan kecepatan, Nobuhisa melakukan tebasan tak berkesudahan pada sisi kiri makhluk itu.

Suara-suara tajam dari udara yang tersayat. Suara-suara riuh, berdenting, seperti besi yang berbenturan. Lalu percikan-percikan api yang tercipta dari berbagai gesekan.

Nobuhisa unggul.

Ia terus menyerang.

Sementara makhluk kegelapan itu kehilangan beberapa momentum untuk menciptakan kerusakan karena setiap serangan baliknya ditahan oleh sebuah guling.

"Kau menyerang seperti seorang nenek tanpa gigi palsu, IDIOT!"

Pertahanan makhluk itu memang belum tertembus, tapi Nobuhisa, melakukan sebuah trik gerakan menusuk, berhasil memancingnya untuk memusatkan perlindungan di satu titik.

Kapak makhluk itu kini terangkat hanya untuk melindungi kepala.

Memanfaatkan kesempatan, Nobuhisa mengubah jalur serangan dalam sepersekian detik. Ia membungkuk, mengentak pijakan menggunakan satu kaki dan melesat sambil berputar.

Satu tebasan telak setelahnya, menghancurkan bagian perut zirah makhluk itu.

"Grrrhhhaaarnnn!"

Diiringi jeritan binatang terbuas dari makhluk kegelapan yang terluka, cahaya hitam keluar dari retakan di sekitar lubang yang diciptakan Nobuhisa.

Cahaya hitam itu menembak ke berbagai arah. Menciptakan suara berdesis yang sama ketika arus kemerahan dari langit menyerang permukaan.

Dan yang terparah, cahaya-cahaya itu tidak berhenti atau menghilang begitu saja. Serangan-serangan itu memantul ketika bertabrakan dengan roda-roda besar di dalam gedung, atau materi padat lainnya.

Serangan itu tetap ada, justru semakin banyak dan tidak tertebak arah datangnya.

"Sempurna! Kau membuat segalanya lebih sulit sekarang, IDIOT!" bentak Light setelah terdorong ke belakang oleh satu tembakan cahaya.

Nobuhisa menunduk, mengubah jalur tembakan dengan menahannya menggunakan punggung pedang. Samurai itu merespons, "Yah, aku tidak mengira akan begitu jadinya. Kukira dia akan mati ketika perutnya berlubang! Tapi bukankah ini akan semakin menyenangkan?" Ia tertawa terbahak-bahak.

"Pahlawan kalian dataaang, shushu! Beri aku ruang dan gelar karpet merahnya, shushu!"

Milk si bantal, muncul tiba-tiba, menampar sebaris cahaya yang mengarah ke titik buta Nobuhisa.

Nobuhisa melirik benda persegi yang tampak empuk itu, kemudian mendesah putus asa.

"Satu lagi benda menyebalkan? Sempurna. Aku heran bagaimana Eophi bisa bertahan dengan kalian semua berada di sekitarnya setiap waktu."

"Jangan banyak bicara, IDIOT!"

"Awas, shushu. Jangan lengah, shushu. Arah jam dua belas, shushu!"

Satu senjata lain ditarik Nobuhisa dari pinggangnya. Kombinasi dari dua senjata, dan dua peralatan tidur banyak bicara yang ikut membantunya untuk bertahan, berhasil menghalau semua cahaya-cahaya hitam.

Tapi Nobuhisa tahu, ini semua tidak akan pernah habis. Targetnya jelas, makhluk kegelapan yang pada saat ini bersimpuh, sekarat, menembakkan cahaya-cahaya hitam dari lubang di perut. Jika saja ia bisa memotong kepalanya, semua akan selesai.

Maka Nobuhisa bertaruh pada satu gerakan menyerang.

Ia berhenti bergerak untuk menciptakan satu fokus khusus.

Untuk melihat satu jalur yang tepat.

Samurai itu tersenyum kemudian melesat.

Membiarkan beberapa tembakan menghantam tubuhnya, untuk tetap berada di lintasan kemenangan, kemudian melompat untuk menghindari tiga serangan cahaya yang saling melintang.

Ia tiba di hadapan makhluk kegelapan.

Gerakan cepat pertama adalah menusuk leher makhluk itu menggunakan kedua senjatanya.

Gerakan kedua dan final, adalah menarik ke samping kedua senjata.

Serangan yang merobek leher, dan memisahkan secara kasar kepala dari tubuh.

Cahaya-cahaya hitam menguap, menghilang, pada detik yang sama ketika makhluk kegelapan itu tumbang tepat di samping kaki Sang Samurai.


***


"Ha-ha! Coba tebak siapa yang masih memiliki kepala?" Nobuhisa tertawa sambil memperhatikan dua makhluk kegelapan yang terbaring diam. Lalu, setelah pandangannya bergerak ke arah Light si guling dan Milk si bantal, ia menambahkan, "Dan memiliki otak! Ha!"

"Apa kau mengerti kalau dia meledekmu tadi, shushu?" tanya Milk pada Light. "Samurai itu kadang benar, shushu."

"Dia meledek kita berdua, IDIOT—"

Suara berdesis yang keluar dari kedua jasad makhluk kegelapan, dan ledakan yang terjadi setelahnya, membungkam seluruh suara lain.

Kedua jasad itu seolah menciptakan kerusakan abadi, gelombang panas dan api yang terus meledak-ledak.

Semua barisan kaca pada jendela yang berada di dekatnya bergetar kemudian pecah.

Nobuhisa dan Light terlempar ke tengah ruangan, masih terbaring. Sementara Milk si bantal melayang-layang di depan mereka.

"Aduh, sial ... shushu ...."

Milk terjatuh ke lantai batu. Sebentuk ekspresi pada permukaan bantal itu perlahan meredup.

"I-IDIOT!" Light menjerit, buru-buru bangkit menghampiri Milk. "Bantal bodoh! Kau menahan semua serangan besar itu sendirian? Tidak punya otak! IDIOT!"

Nobuhisa juga bangkit. Ia memegangi kepalanya yang sempat terbentur. "Keparat ... apa lagi ini? Kenapa yang mati tidak bisa tetap mati? Mereka benar-benar tidak menyenangkan."

"Milk, jangan menghilang di sini, IDIOT!" Light terus menumbuk bantal yang masih terbaring, yang kini sudah tidak memiliki ekspresi sama sekali. "Bangun, IDIOT!"

"Untuk ukuran guling yang gemar menyuarakan kata 'idiot' keras-keras, ternyata kau cengeng juga," kata Nobuhisa. Tapi tidak menggunakan nada mengejek. "Apa dia mati?"

"Tentu saja tidak, IDIOT!" Light menjerit. "Milk hanya menghilang. Energi pertahanannya dihabiskan untuk melindungi kita tadi. Tapi tanpa Eophi, dia akan terus seperti ini."

"Kau melupakan satu 'idiot' di kalimat terakhir. Tapi, yah, jadi hanya si rambut hijau itu yang bisa membuatnya cerewet lagi? Tenang saja kalau begitu." Nobuhisa menyimpan kedua senjatanya di tempat masing-masing. Lalu ia angkat sedikit tabung generator di pinggangnya untuk melihat energi yang tersisa. Dua bar, tapi satu bar di sebelah kanan sudah berkedip. "Yap. Sebentar lagi kita semua akan berkumpul di tempat pertama. Untuk mengisi energi, dan bertarung sampai mati. Jangan khawatir dan jangan menangis."

"Siapa yang menangis, IDIOT—"

Gelombang panas dan api dari kedua jasad makhluk itu mengeluarkan gabungan dari satu suara melengking dan satu suara berkumur. Karenanya, sekali lagi tercipta keributan yang mampu memotong suara-suara lain.

Nobuhisa dan Light kembali bersiaga.

Mereka melihat ... makhluk kegelapan ketiga, kali ini bersayap, melayang di luar jendela tanpa kaca. Ia memegang pedang di tangan kiri dan perisai di tangan kanan.

"Tampaknya, masih ada makhluk jelek yang harus kupenggal," kata Nobuhisa. "Oi, guling. Dia cuma sendiri. Jangan repot-repot membantuku untuk bermain-main."

Api ledakan dan gelombang panas di hadapan mereka tiba-tiba berputar, seolah dikendalikan. Kekuatan itu menjadi satu dan dalam sekejap berubah menjadi arus kemerahan.

Arus itu terhisap seluruhnya oleh makhluk kegelapan di luar jendela.

Beberapa anggota tubuh beserta senjata, tumbuh begitu saja setelahnya.

Makhluk bersayap itu kini memiliki delapan tangan. Empat bersenjatakan pedang, empat sisanya memegang perisai.

Kedelapan sayapnya masing-masing memiliki ujung setajam pisau.

Zirah makhluk itu juga membentuk pola dan lapisan baru.

"Ew, jelas sekali lawanmu sekarang berkali lipat lebih kuat, tapi silakan kalau mau sendirian, IDIOT!"

Nobuhisa mendengus.

"Perhatikan ini, guling, dan pelajari."

Makhluk kegelapan itu menebas dinding dan jendela, menerobos masuk ke dalam.

Nobuhisa juga maju.

Empat pedang melawan satu pedang.

Serangan mereka bertemu.

Memasukkan bilah pedangnya di antara dua pedang lawan yang menebas secara horizontal, dan dua pedang lain yang menusuk ke depan, merupakan langkah terbaik yang diambil Nobuhisa.

Semangat dan fokus seolah memperlambat, menjadikan krusial, setiap gerakan yang akan terjadi selanjutnya. Nobuhisa berseru seperti maniak ketika satu momentum kemenangan tiba.

Ia mengerahkan semua kekuatan pada pinggang, melakukan rotasi, kemudian mengayun pedangnya ke atas ke bawah sekuat putaran.

Keempat pedang makhluk kegelapan itu berhasil dilucuti.

Nobuhisa menyeimbangkan pijakan. Kembali menyerang.

Satu gerakan menusuk, mengarah ke wajah lawan, ke segaris hitam pada celah di helm makhluk itu.

Serangan Nobuhisa ditahan satu perisai.

Sementara di saat yang sama, ketiga perisai lain bergerak untuk menghantam perutnya.

Nobuhisa bergeser ke samping.

Ketika ia sudah sangat yakin kalau hantaman tiga perisai itu berhasil dihindari, ia terpental ke belakang.

Tiga perisai menghantamnya dengan cepat, dari arah yang seharusnya bisa ia antisipasi.

Suara berderak dari beberapa rusuk yang patah jelas terdengar. Darah segar merembes keluar dari gigi yang terkatup rapat.

"Ha! Bajingan!" Nobuhisa berdiri, meludah, maju lagi.

Ia menambah kecepatan.

Dua tebasan menyilang, tertahan oleh satu perisai. Lagi, tiga perisai lain bergerak untuk melakukan serangan balik.

Kali ini Nobuhisa memperhatikan sambil menghindar, ketiga perisai mengabur karena terdorong oleh kecepatan yang hampir tidak bisa diikuti oleh kedua matanya.

Samurai itu kembali terhantam, terpental, terjatuh, dan terluka lebih parah.

Tapi ia berdiri lagi hampir seketika.

Sambil menarik satu pedang tambahan di pinggangnya, Nobuhisa melesat.

Kedua kakinya seolah tidak berpijak.

Ia menebas secara bersamaan, sisi kiri dan kanan makhluk kegelapan itu.

Kali ini serangan yang tertahan masuk ke dalam perhitungannya. Juga serangan balik dari dua perisai yang tersisa.

Nobuhisa menerima dua hantaman tepat di perut.

Memanfaatkan dorongan ke belakang yang mengangkat tubuhnya, Nobuhisa mengubah pegangan kedua pedang.

Bilah di bawah.

Hanya pengalaman dari ribuan pertarungan yang mampu menciptakan keberhasilan pada gerakan selanjutnya.

Nobuhisa menyerang, menekan gagang pedang ke bawah. Dua serangan menusuk, menembus kedua pergelangan makhluk itu.

Hal itu juga yang memungkinkan Nobuhisa untuk bertahan dari dorongan perisai, karena alih-alih terpental, ia berputar di udara, mencabut satu pedang yang lebih pendek dari pergelangan lawan, kemudian mendarat di pundaknya.

"Kepalamu butuh jalan-jalan." Nobuhisa menyeringai, menjatuhkan diri ke depan, berputar setengah lingkaran sambil melakukan gerakan menebas.

Tapi serangannya gagal.

Bilah pedang itu dipukul sampai terlepas oleh satu ujung sayap.

Sampai saat ini, Nobuhisa sama sekali tidak mengira kedelapan sayap makhluk kegelapan itu bisa dengan bebas digerakkan, digunakan sebagai bagian dari senjata.

Samurai itu benar-benar salah langkah.

Ketujuh sayap yang tersisa mengambil ancang-ancang untuk menukik, menusuk target yang tak berdaya di tengah udara.

Waktu dan pergerakan dalam pandangan Nobuhisa kembali pada semestinya.

Semuanya begitu cepat terjadi ketika ia berpasrah karena tidak memiliki jalan lain.

Serangan-serangan itu turun—

"Tidak perlu berterima kasih, aku memang selalu bahagia ketika melindungi mereka-mereka yang ... IDIOT!"

Light pasang badan melindungi Nobuhisa.

Guling itu terdorong ke bawah setelah berhasil mengubah jalur dari tujuh tusukan.

"Heh! Terima kasih!"

"IDIOT! Sudah kubilang—"

Seketika kedua kaki Nobuhisa kembali menapak, pertarungan kembali dimulai.

Samurai itu meraih Light di udara, menunduk menghindari empat hantaman punggung tangan, bergerak mencabut pedang utamanya dari salah satu tangan itu, kemudian menggeser tubuh dengan sangat cepat seolah menghilang.

Beberapa luka tebasan di sepanjang pinggang lawan, baru terlihat ketika Nobuhisa berhenti bergerak.

Ia berhenti tepat di depan makhluk kegelapan itu.

"Bersiaplah, ini serangan terakhir," Nobuhisa berbisik pada Light.

"Lakukan dengan cepat, IDIOT!"

Satu gerakan langsung, menusuk ke jantung, diperagakan Nobuhisa.

Keempat perisai berusaha menutup jalur serangan. Dan Nobuhisa, yang sudah menantikan respons itu, menggerakkan tangan kirinya yang memegang Light sekuat tenaga, memukul keempat pergelangan yang menyilang di depan dada, menghancurkan keseimbangan makhluk itu.

Satu momen berikutnya terisi penuh oleh hawa pembunuh dari Sang Samurai. Pergerakan pedangnya seolah menciptakan jejak dan bayangan.

Dua langkah tanpa suara maju ke depan, sementara sebelah tangan kanan terayun secara diagonal di atas sana. Menebas kepala makhluk kegelapan yang kekurangan banyak waktu untuk menyiapkan pertahanan.

Nobuhisa dan Light sudah bergerak menjauh ke tengah ruangan ketika makhluk kegelapan yang telah kalah itu meledakkan api abadi.

Mereka menang.

"Tidak buruk, kan, guling?" Nobuhisa terengah, kemudian terjatuh, tak sadarkan diri. Luka dalamnya cukup parah. Ia terbaring bersebelahan dengan Milk si bantal.

Dua sosok baru, yang sampai saat ini tidak disadari keberadaannya, bergerak mendekat dari gerbang gedung yang rusak menuju Nobuhisa dan dua peralatan tidur di tengah ruangan.


***


"Aku melihatnya. Beberapa arus kemerahan yang membentuk makhluk-makhluk itu sebelum menyerang kalian." Avius, sambil menyembuhkan luka dalam Nobuhisa, tak bisa mengalihkan pandangannya dari ledakan abadi di ujung ruangan. "Aku juga memperhatikan kalian dari jauh. Pertarungan kalian. Makhluk-makhluk itu akan kembali menjadi arus kemerahan ketika dikalahkan, mereka akan terus meledak sampai makhluk sejenis lainnya datang dan menyerap akumulasi kekuatan yang ada."

"Fokus saja pada penyembuhannya, kau terlalu sok tahu, IDIOT!" Light membentak.

Avius mengangguk tanpa mengatakan apa-apa lagi.

"J-jangan begitu, Light. A-avius ini anak yang baik," satu sosok lain yang tiba bersama Avius, selimut Eophi, menimpali. "D-dia b-bahkan berhasil mengetahui keberadaan Eophi s-sekarang."

Light melayang ke depan selimut itu, lalu menumbuknya.

"Tentu saja anak ini mencari tahu keberadaan Eophi, Cloud! Mereka itu, kan, musuh, dasar IDIOT!"

"A-a-auw! Iya m-maaf, Light!" selimut Eophi, bernama Cloud, melayang menghindar. "L-lalu, apa Milk baik-baik s-saja?"

"Dia kehabisan energi, IDIOT!"

"D-duh, Milk yang m-malang ...."

"Aku sudah selesai, Cloud," kata Avius. Lalu ia beralih ke Light. "Tolong katakan pada Tuan Samurai ini untuk beristirahat. Sihir Pemulih yang kuaplikasikan padanya akan bekerja lebih cepat jika dia tidak terlalu banyak bergerak. Dan tolong jangan katakan apa pun tentang kedatanganku."

Light, meski tidak bisa, melakukan gerakan meludah ke samping.

"Kau membuatku muak! Untuk apa sebenarnya berbaik hati pada calon musuhmu! Kalian akan saling bunuh tidak lama lagi, IDIOT!"

Avius tersenyum.

"Karena, seperti yang dia bilang. Bahkan ada kehormatan, dan kesempatan untuk mendapatkan akhir yang sesuai, yang bisa diberikan oleh musuh. Itu saja."

"Lalu kenapa tidak kau saja yang mengatakan padanya untuk beristirahat? Seenaknya menyuruhku, IDIOT!"

"Bukankah sudah jelas?" Avius mengenakan tudung jubahnya. "Karena aku baru saja menyembuhkan musuhku atas keinginanku sendiri. Aku tidak membutuhkan alasan lain darinya agar bersimpati padaku di pertarungan nanti." Avius beralih pada Cloud. "Cloud, mungkin sebaiknya kau bersama mereka saja di sini."

"T-tidak, Avius! Eophi m-menyuruhku untuk melindungimu sampai w-waktu pertemuan tiba," kata Cloud. "Aku t-tetap bersamamu."

"Baiklah."

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Avius dan Cloud meninggalkan gedung.

"Datang seenaknya ... pergi begitu saja," gumam Nobuhisa. Kedua matanya terbuka. "Avius."

"Hanya pura-pura pingsan rupanya? Dasar IDIOT!"

"Oi, oi, Light. Tidak perlu berteriak. Aku sedang sakit." Nobuhisa menyeringai, mengejek. Ia bangkit, menghunus pedangnya.

"Apa lagi? Ingin mengejar Avius, IDIOT?"

Nobuhisa menggeleng malas.

"Tentu saja bukan. Untuk apa aku mengejarnya? Kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat."

Samurai itu berjalan sambil bersiul, ke ujung ruangan. Ia berhenti tidak terlalu jauh dari ledakan abadi.

"Benar-benar, IDIOT!"

"Masa?" Nobuhisa menoleh setengah wajah, lalu kembali fokus pada ledakan di depannya. "Ucapan Avius tentang hubungan antar arus cahaya dan tiga makhluk jelek yang kita kalahkan tadi membuatku berpikir. Intinya, jika aku tidak salah ingat, mereka bisa menyimpan tenaga dengan cara berubah menjadi ledakan ini setelah mati, kan? Daaan, bukankah itu menjadikan ledakan ini stok kekuatan atau semacamnya?"

Light tertawa sinis.

"Jadi kau mengira bisa memakai kekuatan mereka? Hebat. Itu murni penilaian dari seorang IDIOT!"

"Aw, ayolah, Light. Usia perkenalan kita memang belum lama, tapi kita sudah bertarung bersama. Seharusnya kau mengerti kalau aku pasti bisa menggunakan kekuatan mereka."

"Terserah. Tidak ada gunanya meyakinkan sesuatu yang memang menginginkan kebodohan, tidak ada obat untuk seorang IDIOT!"

"Wah ... kau menyakiti perasaanku, Light." Nobuhisa melangkah lebih dekat ke arah ledakan.

"Tunggu, IDIOT!"

"Ya?"

"Akan menyenangkan melihatmu terbakar, tapi, Eophi tidak akan senang kalau aku gagal melindungimu sampai waktu yang ditentukan. Jadi, aku akan pergi dari sini. Karena bukan salahku kau meninggal lebih cepat. Mengerti, IDIOT!"

Tanpa menoleh, Nobuhisa melambaikan sebelah tangannya yang bebas. "Sampai jumpa lagi di pertempuran kalau begitu, guling menyebalkan."

Light hanya mendengus.

Guling itu mengangkat Milk si bantal, kemudian keluar dari gedung.

Meninggalkan Nobuhisa sendirian.

"Heh."

Hanya beberapa langkah lagi bagi samurai itu untuk mencapai ledakan yang terus mengeluarkan gelombang panas dan api yang meletup-letup.

"Halo, kekuatan."

Sambil tersenyum, Nobuhisa berlari ke depan.






Verdana Power Plant
Cloud si Selimut dan Penyihir Hutan


​ 


Avius bersandar pada kaca yang bergetar, di dalam salah satu gedung yang dipenuhi oleh silinder dan kubus-kubus berkarat.

Di luar sana, langit kembali mengamuk. Cahaya kemerahan yang terus menyala menciptakan sepetak terang di tiap jendela. Menjadikan bayangan anak berambut cepak itu memanjang.

Cloud, selimut Eophi, melayang-layang seperti hantu di kegelapan. Sama sekali tak tersentuh cahaya dari luar.

"Ada tiga bar energi pada tabung generator," Avius menggumam. Ia cabut benda perak di pinggangnya, kemudian mengangkatnya melebihi kepala. "Kuhitung dari pertama kali tiba di pulau ini. Satu bar pertama menghilang setelah sekitar lima menit.

"Lima menit itu adalah ketika kita menciptakan keributan sesaat di tengah pulau, lalu berpencar melarikan diri dari badai arus kemerahan, dan tiba di tempat persembunyian ini.

"Kemudian ... bar kedua pada tabung generator, yang, baru saja menghilang tadi. Terhitung dari waktu pertama kugunakan Visus Finis untuk mengetahui keadaan pulau dan mencari keberadaan lima peserta lainnya, lalu keluar untuk membantu Nobuhisa, sampai akhirnya kembali lagi ke tempat ini ... kurang lebih memakan waktu sekitar sepuluh menit.

"Jadi, kesimpulannya, lima menit energi untuk bar pertama, sepuluh menit energi untuk bar kedua, dan ... lima belas atau dua puluh menit energi untuk bar terakhir? Hmmm ...."

Cloud terbang rendah ke samping Avius.

"Avius, a-aku, kok, tidak m-mengerti, ya?" tanya selimut itu. "Maksudmu a-apa, y-ya?"

"Oh, aku hanya sedang mengira-ngira berapa banyak lagi waktu yang tersisa sampai energi pada tabung generator ini harus diisi ulang," jelas Avius.

"Begitu y-ya?"

"Ya. Masih ada waktu lima belas sampai dua puluh menit lagi. Kalau hitunganku benar itu juga." Avius menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"B-berarti, kalian berenam akan s-saling bunuh dalam d-dua puluh menit lagi, ya?"

Untuk pertanyaan ini, Avius tidak langsung menjawab.

Cloud, yang menyadari perubahan sikap Avius, mengalihkan topik dengan sangat canggung.

"Wa-wa-wa, A-avius! Langitnya menurunkan l-lebih banyak arus merah kali i-ini!"

Mereka sama-sama melihat keluar jendela.

Cahaya merah terang, lalu suara-suara berdesis yang teredam dinding gedung, memenuhi pikiran mereka selama sesaat.

"Mungkin ini hanya firasat," Avius memulai. "Tapi, seaneh apa pun fenomena alam, kreasi mereka tetap natural. Dan yang terjadi di sini, di pulau ini ... pastilah sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat. Sesuatu yang tidak memiliki hukum."

Cloud seolah menangis ketika mengatakan, "A-avius ... aku t-tidak mengerti l-lagi. Alam jahat apa?"

"Arus kemerahan dari langit. Awan hitam. Aurora sebelumnya ... benar-benar terasa tidak normal. Cloud, kau mengingat penjelasan maid di Penginapan Kayu sebelum kita berangkat, kan? Pulau ini, Verdana Power Plant, diciptakan untuk menjadi sumber energi. Tapi sebuah bencana menghentikan niat itu."

"W-wogh, y-ya, aku tahu. Jadi a-arus merah itu adalah bencana y-yang dimaksud oleh maid?" kali ini Cloud  terdengar lebih percaya diri.

Avius mengangguk, kemudian terlihat ragu.

"K-kenapa? A-aku salah, y-ya?"

"Bukan," kata Avius, tersenyum. "Hanya saja, masih ada kemungkinan kalau arus kemerahan dan badai di langit bukan bencana yang dimaksud."

Satu kerutan bertambah pada ekspresi Cloud, lalu, setengah berteriak ia mengatakan, "M-maksudmu, ada bencana yang l-lebih parah dari a-arus dan badai i-itu di pulau ini? A-apa?"

Avius mengangguk lagi. Ekspresinya menggelap.

"Ketiga makhluk yang menyerang Nobuhisa. Mungkin ... merekalah bencana yang dimaksud."

Keributan ganjil yang terdengar setelahnya berhasil menghentikan perbincangan Avius dan Cloud sampai di situ saja.

Satu bayangan berbentuk aneh, terlihat dari arah gerbang gedung.

Avius dan Cloud memasang posisi siaga.

"Apa ada kebodohan di dalam sini? Jawab aku, IDIOT!"


***


Sebuah guling, yang sedang menggendong bantal di bagian belakangnya, melayang-layang di ambang gerbang.

Avius dan Cloud menghampiri mereka.

"L-light? Bukankah kau seharusnya b-bersama Nobuhisa?"

"Bagus, dua makhluk tanpa otak berhasil ditemukan! Sekarang dengarkan aku dulu, idiot-IDIOT!" Light membentak, mengabaikan pertanyaan Cloud. "Di perjalanan menuju tempat ini, aku melihat seekor kucing, dan kasur, bergerak dari atap ke atap. Mereka seperti itu karena dikejar oleh arus-arus merah. Sekian. Cukup jelas, kan, IDIOT?"

Cloud menggeleng cepat-cepat, tapi kemudian menggumam, "Kasur itu p-pasti White."

"Memangnya ada kasur lain di pulau ini? IDIOT!" Light menyahut.

Sementara Avius merespons dengan mengatakan, "Kucing itu pasti Yu Ching. Dia dalam bahaya—"

Light si guling menggerakkan mulutnya seolah  sedang mengikuti ucapan Avius.

"—kita harus menolongnya!"

"Sudah kuduga, IDIOT!"

"Apa ada petunjuk yang lebih spesifik tentang posisi Yu Ching dan kasur itu?" tanya Avius.

"Mereka terus bergerak," kata Light. "Jadi mungkin sekarang, mereka sudah keluar pulau, atau berada di sekitar wilayah kiri dari gedung ini. Masih ingin menolong mereka, IDIOT?"

Avius langsung berlari keluar gedung, tapi segera mundur untuk menghindari beberapa arus kemerahan yang menghantam permukaan tepat di depan gerbang.

"Sial ... badai dan arus-arus itu—"

"A-ayo, ini misi p-penyelamatan!" Cloud melayang ke atas kepala Avius. "A-aku ikut!"

"Cloud ... baiklah! Ayo, bersama-sama!"

Mendengar itu, Light hanya memutar kedua bola matanya kemudian mengikuti mereka dari belakang.

Arus-arus kemerahan turun dari langit hampir tanpa jeda. Menghantam Cloud yang melindungi Avius, atau Light yang sedang menggendong Milk.

Avius berlari mengitari wilayah kiri sambil mendongak ke atap-atap gedung. Dan akhirnya, "Di sana!" seru pemuda itu, menunjuk satu gedung serupa menara.

Semakin mendekati tempat yang ia tuju, semakin ia tidak memercayai kedua matanya. Karena apa yang tengah disaksikan olehnya sekarang adalah puluhan arus kemerahan berkumpul di sekitar menara tempat Yu Ching berada. Arus-arus itu seolah bekerja sama untuk menjatuhkan Yu Ching dari sana.

"Mereka bisa berpikir?" gumam Avius.

Terlihat juga sebuah kasur yang mati-matian menahan gempuran serangan, membantu Yu Ching, memberinya lebih banyak ruang untuk menghindar.

"Kita harus ke atas sana!" Avius berteriak di antara suara-suara yang berdesis.

"Kenapa semua yang berada di sini ingin sekali mati lebih cepat?" Light mencibir. "Aku memberikan kalian informasi itu bukan untuk bunuh diri, tapi supaya kalian memikirkan cara yang lebih tepat dan aman, IDIOT!"

"Seandainya aku hidup di dalam keabadian, tentu aku akan memikirkan cara yang berbeda untuk menyelamatkan Yu Ching sekarang." Avius menatap Light menggunakan ekspresi yang tidak terbaca. "Tapi aku tidak abadi! Aku tidak memiliki waktu! Ini satu-satunya cara!"

"A-aku akan membawamu k-ke atas sana!" meski bergetar, seruan dari Cloud cukup jelas terdengar. "A-aku mengagumi keberanianmu A-avius, dan keyakinanmu u-untuk menolong yang l-lain. Aku akan m-menolongmu untuk t-terbang!"

Avius mengangguk, tersenyum.

"Terima kasih, Cloud!"

Selimut itu segera mencari kesempatan di mana arus kemerahan sedang tidak jatuh ke arahnya, kemudian ia terbang rendah ke samping Avius.

Avius naik ke atas selimut itu.

"Grrr! Apa kalian terlalu sulit untuk mengerti? Cloud, kau juga! Kecepatan terbangmu menyedihkan, kau hanya akan mengantarkan pemuda ini pada kematian! Baiklah, aku menyesal sudah memberikan informasi ini! Kalian semua IDIOT!"

"S-setidaknya kita mencoba, Light."

Cloud sudah terbang membawa Avius beberapa meter di udara ketika Light di bawah sana bersumpah serapah.

Satu ledakan besar terdengar di puncak menara.

Avius memandangi dengan kedua mata terbuka lebar, tangan mengepal, dan rahang yang mengejang, ketika seekor kucing terjatuh dari atas sana.

Satu seruan untuk menangkap Yu Ching di udara diteriakkan Avius. Tapi Cloud, meski sudah berusaha sekuat tenaga, tidak memiliki kecepatan yang cukup.

Yu Ching menghantam tanah keras di pelataran menara.


***


Entah harus dengan ekspresi apa Avius merespons ketika mendarat di pelataran menara dan melihat Yu Ching berdiri menggunakan dua kaki belakang, tanpa menderita luka luar sama sekali.

Kucing itu berdiri seperti beruang, dan terus mendongak.

Lingkaran asap hitam berputar di atas kepalanya.

"Yu Ching? Kau tidak apa-apa?" Avius mengeluarkan cahaya biru yang samar dari telapak tangan. Cahaya itu bergerak tenang, menyelimuti seekor kucing di hadapannya. "Nil desperandum—"

Avius terhenti.

Sesuatu, hanya tampak seperti bayangan yang mengabur, mencabik kaki kiri pemuda itu.

Cloud mengambil inisiatif untuk melindungi punggung Avius ketika pemuda itu mengerang kesakitan sambil bersimpuh.

"A-avius!"

"Aku tidak apa-apa, Cloud ...." Avius melirik luka di kaki kirinya dan terkejut.

Luka cakaran, dan asap hitam yang mendesis di sekitarnya, terpampang.

Avius menelan ludah, ia tatap Yu Ching yang masih berdiri diam di depannya.

"Yu Ching ...?"

Kucing itu perlahan menurunkan kepala. Membuka kedua mata.

Mata yang mati, putih pucat tanpa pupil.

Yu Ching menyeringai.

"Kau—"

Satu lagi gerakan yang sangat cepat, menyerang Avius. Kali ini pundak kirinya tercabik. Dan kali ini, Avius tahu, ia melihat.

Tadi Yu Ching menyerangnya sebelum kembali berdiri di posisi semula.

"K-kenapa dia menyerangmu?" tanya Cloud. Selimut itu bergerak ke depan Avius.

"Dia ... bukan Yu Ching," susah payah Avius berbisik. Pada saat ini, luka cakar di pundak dan kakinya seolah menyalurkan panas yang menyengat ke sekujur tubuh. Avius memejamkan mata. "Aut viam inveniam aut faciam."

Tubuhnya berpendar hijau. Sekilas cahaya spiral melewati keberadaannya, dan ketika cahaya itu menghilang, Avius seolah menumpahkan energi kehidupan yang sangat menenangkan ke sekeliling.

Cahaya hijau menciptakan rerumputan. Dan satu wujud samar dari seorang wanita pohon berambut biru, berdiri dalam posisi berdoa di belakang pemuda itu.

Pada saat yang bersamaan, Yu Ching kembali bergerak. Kali ini kucing itu benar-benar terlihat bergerak, mengitari Avius dan Cloud.

"A-apa maksudnya dia b-bukan Yu C-ching? Dan k-kenapa dia bisa bergerak secepat ini?" Cloud memutar pandangannya mengikuti bayangan-bayangan Yu Ching yang mengabur.

Avius bangkit di belakangnya, menarik napas dalam-dalam. Luka cakar di pundak dan kakinya belum pulih, tapi cahaya hitam yang berdesis di sekitarnya sudah menghilang.

"Sesuatu pasti terjadi di atas sana." Avius mendongak ke puncak menara. "Beberapa arus cahaya yang menyerang Yu Ching menghilang begitu saja setelah ledakan. Bahkan, wilayah menara tidak lagi diserang oleh arus-arus itu sekarang. Mungkinkah ...."

"A-awas!" Cloud terlambat bereaksi untuk melindungi Avius.

Dua cakar Yu Ching pasti sudah menyobek wajah pemuda itu jika sebuah kasur putih terlambat menjatuhkan diri ke jalur serangan.

"W-white! Pas s-sekali waktunya!" Cloud berseru.

Kasur putih Eophi, bernama White, melayang di depan Avius dalam kondisi yang tidak bisa dibilang baik.

Kasur itu tampak hangus di beberapa tempat, dan cakaran Yu Ching tadi berhasil menggores bagian di mana ekspresi wajahnya berada.

"Ed? Maaf ... maksudku, Cloud? Dan kau ... Avius," kasur bernama White itu berujar tenang dan sopan. "Kalian datang ... dengarkan aku, beberapa arus kemerahan di puncak menara menyerang Yu Ching dan mengubahnya."

"Sudah kuduga," kata Avius. "Kalau begitu tidak ada cara lain. Cloud, dan kau ... White? Tolong beri aku sedikit waktu. Aku akan mencoba untuk mengembalikan Yu Ching—"

Dua cakar, sangat cepat, mengincar tubuh Avius. Tapi lagi, benturan penyelamatan terjadi.

Kali ini Light si guling yang bergerak ke jalur serangan.

Yu Ching mendesis, kemudian kembali bergerak cepat mengitari targetnya. Mencari celah.

"Kau juga datang, Light," kata White.

"Aku memang selalu datang di saat-saat yang dibutuhkan! Dunia membutuhkanku untuk mengatur mereka! Para IDIOT!"

"Kalau begitu sekarang waktunya untuk bekerja sama!" seru Avius. "Tahan serangannya."

Ketiga peralatan tidur membuat formasi segitiga, Avius berada di titik tengah.

Yu Ching menyerang beberapa kali, ke berbagai sudut, semuanya tertahan.

"... vis praesidium."

Apa pun persiapan Avius, itu telah selesai.

"Sekarang buka pertahanan kalian ketika Yu Ching menyerang," Avius berbisik.

"T-tapi!"

"Tidak apa-apa, Cloud. Aku harus menerima serangan itu untuk menyelamatkannya."

Hampir seketika, bayangan mengabur dari Yu Ching yang menyerang, menerobos formasi segitiga.

Cakar itu hanya berada beberapa senti dari sebelah mata Avius ketika sebuah perisai tak kasat mata menahannya. Membuat Yu Ching terpental beberapa meter ke belakang.

Avius mencengkeram dada kuat-kuat sebelum bersimpuh. "Semoga itu berhasil," ia berujar lirih lalu terjatuh, tak sadarkan diri.

Beberapa hal setelahnya, terjadi dengan sangat cepat dan bersamaan.

Seketika Yu Ching dijatuhkan oleh Avius tadi, langit kembali menyerang wilayah menara. Arus-arus kemerahan segera menghantam pelataran tanpa jeda.

White si kasur mengangkat Yu Ching, membawanya menjauh.

"Light! Ayo k-kita ikuti White!" seru Cloud panik.

"Tidak!" jerit Light sambil terbang ke arah yang berlawan. "Aku menaruh Milk di gedung itu. Pergi saja sana, IDIOT!"

Cloud, masih menahan arus kemerahan di pelataran sambil melindungi Avius, akhirnya memilih untuk mengikuti Light untuk masuk ke salah satu gedung terdekat.






Verdana Power Plant
White si Kasur dan Empus

 



"Selamat datang, Empus."

Makhluk kerdil, berperawakan gadis kurus berdada rata, berambut pirang, mengenakan semacam seragam mekanik berwarna oranye dan topeng oksigen, bersimpuh di samping Yu Ching.

"Nggg ... apa yang terjadi? Aku ada di mana, nyaaaw?"

Pelan-pelan, Yu Ching bangun, meregangkan tubuhnya. Lalu ia menoleh ke kanan dan ke kiri.

Ia berada di dalam ruangan.

"Kamu ada di Gedung Pendingin, Empus. Kalau kamu lupa sama Binar, tidak apa-apa," gadis kerdil bernama Binar itu menjelaskan. "Kamu yang menolong Binar, dan teman-teman Binar, dari serangan Anathema. Kata Tuan Kasur, kamu pingsan setelah bertarung di menara."

Mendengar penjelasan itu, Yu Ching bingung harus cemberut atau senang.

Di satu sisi, ia senang karena gadis kerdil itu mengaku telah diselamatkan olehnya. Di satu sisi yang lain, ia kesal sampai ingin cemberut karena sama sekali tidak mengingat apa pun yang telah terjadi.

Tapi kucing itu mencoba.

Ia mencoba sekuat tenaga mengingat semua kejadian.

Dimulai dari masa kecilnya ... Yu Ching seketika berhenti setelah mengingat beberapa tikus yang mencoba memakan telinganya ketika ia masih bayi.

"Itu terlalu jauh dan mengerikan, nyaw."

"Ada apa, Empus?" tanya Binar.

"Tidak ada apa-apa, aku cuma lagi coba mengingat semuanya, nyaw."

Binar mengangkat sebelah kaki depan Yu Ching. "Selamat berjuang, Empus. Ayo ingat semuanya!"

Yu Ching mengangguk, kembali mencoba.

Sekarang ia mengingat tidak terlalu jauh. Tentang surat undangan Battle of Realms yang diberikan kucing hitam. Tentang perjuangannya mencari teman di babak penyisihan. Tentang perkelahian dan insiden mabuk-mabuk di Penginapan Kayu. Tentang R1, dan pulau terapung Verdana Power Plant. Tentang gerimis di pulau itu yang membuatnya merinding dan grogi. Tentang langit dan fenomena aneh lainnya seperti arus kemerahan. Tentang White, kasur Eophi, yang menemaninya dan melindunginya. Tentang ... pertarungan itu.

Pertarungan antara makhluk-makhluk kerdil, melawan makhluk aneh yang mengenakan zirah hitam, di sekitar menara.

Setelah itu ... sekuat apa pun Yu Ching mencoba, ia tidak bisa mengingat apa-apa.

"Sudah selesai mengingatnya, Empus?" Binar membelai puncak kepala Yu Ching.

Yu Ching, sambil terpejam menikmati belaian itu, menjawab, "Sebagian saja, nyaw."

"Boleh Binar bantu?"

"Boleh, nyaw."

"Tapi bantu Binar supaya tahu cerita Empus dari awal, ya? Ceritakan juga pada Binar kenapa Empus bisa ada di pulau ini."

"Siap, nyaw."

Setelah Yu Ching bercerita tentang kenapa ia bisa ada di sini, juga beberapa kejadian di bagian awal, Binar menceritakan pada Yu Ching, tentang kegagahan seekor kucing dan sebuah kasur, ketika menyelamatkan gadis kerdil dan beberapa temannya dari tangan kematian.

Dimulai dari momen setelah keenam peserta harus berpencar karena serangan langit. Yu Ching, ditemani White, melarikan diri ke wilayah barat kompleks pembangunan.

Yu Ching dan White bersembunyi di salah satu gedung, dan baru keluar dari sana ketika merasa serangan langit sudah mereda.

Mereka yang setelahnya berniat untuk mengelilingi kompleks, ternyata malah tersesat sampai ke wilayah menara, dan harus menyaksikan suatu kejadian penting.

"... kamu ada di sana, Empus. Di saat yang tepat." Binar mencium sebelah mata Yu Ching. "Ketika Pasukan Khusus terdesak dan kalah jumlah oleh Anathema, kamu dan Tuan Kasur datang untuk menolong."

Kejadian yang penting itu adalah sebuah pertempuran.

Pertempuran berat sebelah, menurut Yu Ching, antara empat makhluk kerdil melawan dua makhluk aneh berzirah hitam.

Yu Ching dan White segera bergerak ke tengah keributan untuk ikut serta.

Kucing itu mencakar, menggigit, makhluk-makhluk berzirah itu. Sementara kasur temannya terus menciptakan perlindungan dari semua serangan balik.

Tapi di tengah pertempuran, langit kembali menyerang.

Arus-arus kemerahan mencampuri keributan, dan, yang paling membuat Yu Ching terkejut, adalah fakta bahwa arus-arus kemerahan itu mendukung para makhluk berzirah hitam.

"... setelah badai datang. Kita tahu kita harus mundur dulu. Karena Anathema mendapatkan kekuatan tambahan dari badai plasma. Jadi ...."

Yu Ching, yang dengan cepat membaca tanda-tanda kekalahan, meminta dua makhluk kerdil pertama, termasuk Binar, untuk naik ke atas White lalu mencari perlindungan. Sementara dirinya dan dua makhluk kerdil lain akan tinggal untuk memberi waktu.

"... Empus keren sekali waktu itu!"


***


Kasur putih masuk ke dalam ruangan, sebentuk ekspresi pada bagian depan permukaannya menggambarkan ketenangan.

"Itu Tuan Kasur!" seru Binar. "Tuan Kasur, Tuan Kasur, Binar sama Empus sedang mencoba mengingat semua kejadian keren di menara."

White si kasur, tersenyum, kemudian melayang ke samping Yu Ching.

"Di luar, langit masih menyerang," jelas White. "Tapi tidak ada tanda-tanda dari makhluk aneh berzirah hitam—"

"Namanya Anathema," Binar memotong. "Makhluk itu bernama Anathema. Setiap tahun di Verdana Power Plant, mereka akan terlahir dari tiga gelombang badai plasma. Badai plasma," Binar menekankan, "bukan serangan dari langit."

White berterima kasih pada Binar atas pembenaran dan penjelasan itu. Kemudian ia melanjutkan. "Ya. Tadi aku melihat keluar. Meski badai plasma belum reda, tidak ada tanda-tanda kemunculan Anathema di sekitar gedung ini."

"Itu kabar bagus, Tuan Kasur! Bagaimana dengan teman-teman Binar?"

"Mereka berpencar. Mereka bilang itu cara terbaik untuk kembali ke bawah tanah. Aku yakin mereka pasti sudah tiba sekarang."

"Yey!" Binar memeluk White erat-erat.
"Terus, nyaw?" Yu Ching buka suara. "Apa yang terjadi pada cerita pertama ... aku penasaran, apa yang terjadi setelah aku menjadi keren, nyaw."

"Oh iya! Biar Binar lanjutkan lagi sampai Empus ingat, ya? Tuan Kasur juga dengarkan, ya?"

Yu Ching dan White mengangguk.

"Sampai mana tadi?"

"Aku menyuruhmu untuk berlindung, sementara aku bertarung untuk memberikan sedikit waktu, nyaw."

"Ya. Jadi di sana, Empus bertarung ... eh?" Binar berhenti.

"Kenapa, nyaw?"

"He-he, Binar tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya, karena Binar, kan, pergi berlindung. Jadi biar Tuan Kasur yang menceritakan apa yang terjadi, karena Tuan Kasur kembali untuk menjemput dua teman Binar yang tersisa."

Yu Ching menoleh ke arah White.

"Ceritakan, nyaw."

"Tentu," kata kasur itu sopan. "Hal selanjutnya yang terjadi, setelah aku kembali, adalah ...."

Pertarungan benar-benar menjadi berat sebelah setelah kubu makhluk kerdil berkurang. Bahkan setelah White kembali, sendirian, untuk menjemput yang tersisa.

Mereka terdesak.

Yu Ching, yang sangat yakin kalau rencana pelarian kedua ini akan gagal, menyuarakan ide baru.

"... kau memiliki ide, untuk terus ada di wilayah menara, bersamaku. Sementara kedua teman Binar berlari mencari perlindungan." Secara bergantian White menatap Yu Ching dan Binar. "Setelah itu ...."

Setelah itu, Yu Ching menjadi lebih tenang.

Ia merasa sudah melakukan hal benar dengan menolong mereka yang kesusahan. Dan, pertarungan pun dilanjutkan.

Naik ke atas White, Yu Ching terbang ke puncak menara. Sementara menunggu dua Anathema yang naik lewat tangga, Yu Ching dan White harus menghadapi musuh baru.

Badai plasma, dan arus-arus kemerahan.


***


"Kita kalah," kata White menggunakan nada yang bijak. "Badai plasma dan arus kemerahan itu berhasil mengalahkan kita, dan mengubahmu."

"Mengubahku, nyaw?"

White mengangguk.

"Bersamaan dengan kekalahan kita, dua Anathema tiba di puncak menara. Sesuatu yang rumit terjadi setelahnya." White tampak berpikir lebih jauh, menerawang. "Arus kemerahan membungkus tubuhmu, juga kedua Anathema itu. Lalu ... kalian bersatu. Menjadi satu ledakan yang besar. Setelah itu kau terjatuh dari puncak menara, dan, rombongan Avius tiba."

Yu Ching terdiam sejenak untuk mencerna semua penjelasan itu.

"Avius datang, nyaw?"

"Untuk menolongmu," jelas White, tersenyum. "Pemuda itu datang bersama Cloud si selimut, dan Light si guling."

"Ke mana mereka sekarang? Dan apa yang terjadi padaku setelah terjatuh dari menara, nyaw?"

"Lepas kendali. Mungkin itu perumpamaan yang cukup tepat untuk menggambarkan kondisimu waktu itu." White mengangguk. "Kau bertarung melawan mereka, melawanku. Tapi pada akhirnya, Avius berhasil mengembalikanmu ke sedia kala. Dia anak yang baik."

Yu Ching terdiam lebih lama sekarang. Kucing itu lalu sedikit menggerakkan punggungnya untuk menurunkan benda perak yang tertempel di sana.

Tabung generator.

Tersisa satu bar energi.

"Aku berhutang padanya, pada semua yang membantuku," kata Avius. "Akan kubayar dengan satu pertarungan bagus."

White tersenyum menghormati.

"Sebentar lagi."

"Sebentar lagi, nyaw."

"Jadi, Empus dan Tuan Kasur punya keperluan lain di pulau ini, ya?"

"Iya, nyaw."

"Bolehkah Binar meminta tolong sekali lagi?"

Yu Ching berdiri menggunakan dua kaki depan sambil mengatakan, "Selama energi pada tabung generator ini belum habis, aku siap, nyaw!"

"Yey! Tolong antar Binar ke Minlet, ya?" kata Binar. "Badai puncak akan terbentuk tidak lama lagi. Perang antara Armbell dan Anathema akan segera dimulai. Binar harus sudah di rumah. Bertugas di balik meja."

"Nyaaa~ Pulau ini pasti ribut sekali sebentar lagi! Baiklah, Binar, di bagian mana tempat bernama Minlet itu? Kita berangkat sekarang, nyaw!"






Verdana Power Plant
Eophi dan Maida

 



Terbaring di atas sembilan kasur kecil yang berhimpitan, adalah seorang anak berambut hijau. Eophi Rasaya.

Oi ... jangan terbang memutar seperti itu. Kau membuatku pusing, kata Eophi melalui pikirannya.

Naga merah kecil, cadel, bernama Hel, merespons, Telus aku halus apa?

Ng ... cari tikus saja sana.

Aku bukan kucing, Phi.

Aku tahu itu, Hel. Tapi ... cobalah untuk berhenti mengepakkan sayap dan berbaring saja di sampingku. Oke?

Hel tersenyum, kemudian berhenti terbang memutari langit-langit dan mendarat di samping Eophi.

Saat ini mereka berdua berada di suatu ruangan besar, di bangunan terluas pada suatu permukiman yang terlihat sekali sudah lama ditinggalkan.

Secara geografis, saat ini mereka berada di dataran tinggi. Di wilayah paling timur pulau terapung, Verdana Power Plant.

Dan mereka tidak sendirian.

Seorang lagi, sedang duduk di lantai sambil melamun, memainkan rambut biru panjangnya dengan telunjuk, adalah Maida York.

Sesungguhnya, alasan kenapa mereka bisa sampai bersama sekarang, adalah kekacauan.

Kembali ke beberapa menit yang lalu. Ketika keenam peserta baru tiba di pulau ini. Ketika mereka harus saling menyerang pada saat itu juga. Dan ketika mereka dikejutkan oleh serangan dari langit.

Eophi, yang tidak bisa melakukan apa pun sebelumnya, berjasa besar setelah memberi perintah pada senjata-senjatanya untuk melindungi kelima peserta lain.

Bantal, untuk Apis. Sosok cantik yang hampir selalu tersenyum dan bersikap ramah.

Guling, untuk Nobuhisa. Laki-laki dengan bekas luka di wajah, tampak kuat, dan berbahaya.

Selimut, untuk Avius. Pemuda baik yang selalu mengedepankan kepentingan keberadaan lain sebelum dirinya sendiri.

Kasur, untuk Yu Ching. Kucing santai yang terlihat lemah dan tidak berdaya, tapi ternyata sama sekali tidak bisa diremehkan.

Mereka mendapat porsi pertahanan masing-masing setelah kekacauan di awal.

Dan Maida, yang terpisah dari Avius pada saat itu, mendapatkan Hel si naga merah, lalu Eophi sebagai bonusnya.

"Aku laki-laki," kata Maida tiba-tiba. "Kita semua di Tim D ini laki-laki."

Eophi hanya melirik ke arah Maida tanpa mengatakan apa-apa.

"Maksudku," Maida melanjutkan. "Tidak seharusnya kau melakukan semua itu."

"... melakukan apa?" tanya Eophi pelan sambil meringis. Jantungnya yang dilukai oleh Minerva di Penginapan Kayu, kembali memberikan rasa sakit tak tertahankan.

"Melindungi semuanya." Maida menatap Eophi. "Kita semua laki-laki. Kita bisa menjaga diri masing-masing."

"Bukan ...," Eophi menggumam.

"Bukan apa?"

Jeda.

"Ng? Oh, bukan itu maksudmu, kan?"

"Aku tidak mengerti."

"Bukan karena kita laki-laki kau melarangku untuk melindungi semuanya. Tapi ... karena kita adalah musuh, yang seharusnya saling membunuh."

Jeda lagi. Lebih lama kali ini, sebelum akhirnya Maida mengangguk.

"Apa alasanmu mengikuti semua ini? Battle of Realms ini?"

"... apa alasanmu?" Eophi balik tanya.

Tidak ada jawaban.

Mereka kembali saling diam.

Adalah Eophi yang menyudahi kebisuan itu dengan mengatakan, "Pada babak penyisihan ... dua anggota di kelompokku tewas. Sebagai pelindung, aku gagal menjaga mereka dari kematian.

"Meski ternyata mereka tidak benar-benar mati, kegagalan itu tetap terasa. Dan itu terjadi karena aku terlalu meremehkan semua ini. Karena aku ragu.

"Aku ... nggak mau hal itu terulang. Jadi, aku nggak akan pernah ragu lagi. Semua keputusan, entah itu untuk melindungi, atau terus maju dengan cara apa pun, akan kupilih tanpa penyesalan. Mengerti ... Maida?"

Maida menggeleng. "Tidak."

Hel gagal menahan tawanya setelah melihat respons itu.

Nggak perlu ketawa, Hel.

Tapi itu lucu, Phi.

Ruangan kembali sunyi.

Kali ini, gantian Maida yang menyudahi kebisuan dengan mengatakan, "Aku juga tidak akan pernah ragu. Aku ingin menang. Dan alasan kenapa aku datang ke sini, memainkan semua teka-teki ini, berteman, lalu bertempur, adalah untuk keluargaku." Ia berdiri, sedikit membungkuk ketika keluar melewati gerbang. "Tinggal satu bar energi yang tersisa. Cepatlah sembuh, supaya kita bisa saling bunuh menggunakan kekuatan penuh. Aku di luar jika kau membutuhkan sesuatu."

Sampai di luar, Maida langsung mencari dinding untuk bersandar.

Ia memandangi langit yang beberapa saat lalu masih mengamuk tapi kini tampak sangat tenang.

Ia membiarkan gerimis membasahi rambut panjangnya. Membiarkan pikirannya berperang.

"Apa sebaiknya kubunuh Eophi sekarang ...?"

Maida menunduk, mengeluarkan setangkai bunga kuncup dari tas pinggangnya.

"Haruskah?"

Akhirnya ... keputusan diambil. Maida memilih untuk menyibukkan diri dengan mengukir simbol bunga pada bagian belakang tabung generatornya.

Menyimpan bagian pembunuhan untuk saat yang tepat.


***


Aku keluar sekarang.

"Ng?"

Eophi tidak bisa melakukan apa-apa ketika jantungnya seolah meledak, tiba-tiba.

Maaf, itu pasti sakit.

"!"

 Tubuh anak berambut hijau itu terangkat seolah dibengkokkan. Terlempar dari deretan tempat tidur.

Kepingan-kepingan cahaya segi enam berhamburan dari dada kirinya.

Benda-benda itu kemudian berkumpul, dengan cepat membentuk wujud baru.

Jangan mati, Phi! Hel menjerit panik.

"Hey, hey, naga kecil, jangan berisik. Dia baik-baik saja, kok." Seorang gadis berambut merah, wujud akhir dari pembentukan kepingan-kepingan cahaya, bersila di samping Eophi. "Ya, kan?"

Eophi, masih kesulitan mengatur napas, menatap malas sosok di sampingnya.

"... Minerva."

"Yep. Itu aku." Minerva tersenyum polos. "Butuh penjelasan?"

Tanpa menunggu respons Eophi, Minerva menjelaskan, "Terima kasih sebelumnya, aku berhasil mendapatkan memori tentang peta itu darimu. Dan untuk penjelasan kenapa aku ada di sini, lalu rasa sakit di jantungmu, adalah karena aku punya misi lain, dan aku harus bersembunyi di keberadaan terdalam agar tidak terdeteksi sistem keamanan. Ini misi penting. Jangan protes, oke? Itu saja."

"Persetan," bisik Eophi.

Pada saat yang bersamaan, gerbang terbuka. Maida melongok ke dalam.

Tentu saja, ia terkejut.

"Namaku Minerva. Golongan darah B, suka sekali bermain tenis. Dan aku bisa meyakinkanmu, Maida York, kalau aku tidak akan mengganggu apa pun aktivitas kalian nantinya," Minerva mencerocos.

"Persetan," bisik Eophi lagi.

Sementara itu, Maida masih kesulitan untuk mencerna situasi.

"Um, ah, Eophi, ada Yu Ching di luar," kata Maida lalu menarik kepalanya buru-buru.

Eophi menggaruk dagu, merangkak ke arah gerbang, mengabaikan Minerva sepenuhnya.

"Duh. Apa kalian tidak terlalu akrab? Kalian, kan, harus saling bunuh nanti?" Minerva mengangkat bahu, lalu keluar mengikuti Eophi.

"Miii~ Kau kelihatan sehat! Beruntung kau menemukan tempat sedamai ini untuk beristirahat!" Yu Ching berseru setibanya Eophi di luar. "Pasti sudah siap untuk bertarung, nyaw!"

"Bagaimana keadaanmu, Phi?" White si kasur menimpali. "Tugasku untuk melindungi Yu Ching selesai di sini."

Eophi mengangguk ke arah White yang melayang mendekat, lalu memperhatikan, ada sesuatu yang lain pada penampilan Yu Ching.

Sesuatu yang menungganginya, pikir Eophi. Makhluk apa itu?

"Nama dia Binar," kata Yu Ching seolah bisa mendengar pertanyaan Eophi yang tak terucap. "Aku bertugas untuk mengantarnya ke salah satu rumah di tempat ini, nyaw."

Binar si gadis kerdil menunduk sopan.

"Halo semuanya. Empus memang baik, ya!"

Yu Ching tersipu.

"Hey, lihat ... ada yang aneh dengan langitnya," Maida menginterupsi, mendongak. "Dan gerimis berhenti lagi. Apakah langit akan kembali menyerang?"

Semuanya menatap jauh ke atas.

Mereka melihat awan-awan hitam kembali bergolak. Garis-garis cahaya yang kembali terbentuk dan meliuk, atau bergerak bergelombang di balik kegelapan, kesemuanya seolah membawa muatan listrik dan api kali ini.

Gemuruh dan desisan kembali terdengar.

Bersamaan dengan itu, pergerakan angin yang tidak stabil terasa menekan dari segala arah, atau kadang kosong sama sekali, seolah udara itu sendiri menghilang. Bernapas menjadi kesulitan baru di tempat ini.

"Sudah dimulai ... badai puncak," kata Binar nyaris berteriak. "Empus, bawa Binar pulang secepatnya. Enam rumah dari sini, ke sebelah kiri. Dan kalian semua, kalian pergilah ke Nyctonum, kompleks pembangunan di selatan pulau. Carilah tempat untuk berlindung. Beberapa gedung di sana sudah dilapisi oleh penghantar badai. Jangan keluar sampai semuanya mereda. Ayo, Empus!"

Yu Ching mengangguk ke arah Eophi dan Maida, lalu melesat menuju tempat yang telah diberitahukan Binar.

Kembali menatap langit, arus kemerahan mulai tercipta. Beberapa gelombang cahaya mulai berubah warna. Merah darah, dan semuanya seolah berdetak.

"Baiklah, Eophi, kita berpisah di sini," kata Maida.

Pelan-pelan, Eophi mengangguk.

Meski menuju tempat yang sama, sekarang Eophi dan Maida bergerak terpisah.

Maida berlari sendirian. Sementara Eophi, bersama Hel dan Minerva (yang sebenarnya tidak diinginkan) melayang menunggangi kasur.

Baru setengah jalan mereka bergerak dari tempat semula, langit sudah memulai pembukaan dari puncak kehancuran.

Arus-arus kemerahan, kali ini disertai oleh hujan petir, dan bola-bola api berukuran kecil, menghantam permukaan.

Beberapa gelombang aneh di langit turun dalam bentuk aliran tunggal, lalu meninggalkan sesosok makhluk kegelapan, Anathema, ketika cahayanya memudar.

Baik Eophi atau Maida seketika terkepung.

Mereka tidak bisa bergerak lebih jauh lagi tanpa perlawanan.


***


Ada tiga Anathema di belakang Eophi dan Maida. Ketiganya bersenjatakan pedang besar dan mengenakan zirah berlapis. Hanya bentuk helm bertanduk mereka yang membedakan satu sama lain.

Sementara di depan mereka, dua Anathema bersenjatakan busur, bersayap, berdiri dalam posisi siap menembak.

Apa pun yang teljadi, jangan belhenti belgelak, Phi! Aku melasakan banyak sekali selangan dali belbagai alah!

Hm, terima kasih infonya, Hel ....

"White ... terus maju." Eophi menepuk kasur terbangnya. "Terobos dua pemanah hitam di depan."

White mengangguk. Ia terus terbang tanpa mengurangi kecepatan.

Kedua pemanah melepaskan tembakan.

Anak panah mereka melesat, tapi tidak terarah, melayang jauh di atas kepala Eophi.

"... meleset?"

Bukan, Phi! Cepat bellindung! Hel memekik.

Minerva yang sedari tadi diam, berujar, "Lihat sekelilingmu, dong, Eophi Rasaya." Gadis itu menuding langit di atas mereka.

Eophi hanya sempat melihat sekilas saja, ketika mendongak, dua anak panah di atas sana berubah menjadi arus kemerahan yang meluncur turun dengan sangat cepat ke arahnya.

"Oh ... sial!" Eophi berpegangan pada kasurnya erat-erat.

White berputar di saat yang tepat.

Dua arus kemerahan menghantam bagian belakangnya yang kosong.

Tapi Eophi, dan Minerva, tetap terjatuh dari kasur karena guncangan.

Phi, kanan!

Satu arus kemerahan berhasil dihindari Eophi. Anak berambut hijau itu melompat ke samping.

Menyusul sepersekian detik kemudian, beberapa sambaran petir dan bola api. White, yang sudah kembali bersiaga, melindungi Eophi. Menjadi atap.

Eophi melihat, tidak jauh darinya, Minerva menghindari semua serangan dari langit dengan bergerak cepat.

Lalu agak jauh ke belakang, beberapa kali tertutup arus-arus kemerahan atau sambaran petir, Eophi melihat Maida. Laki-laki berambut biru itu berlindung di balik kubah air yang sudah retak.

"Gawat ...."

Tiga Anathema bersenjatakan pedang tiba di depan kubah air.

Lalu—

Dua pemanah tadi ada di atas kita, Phi!

Eophi memejamkan kedua matanya.

Ini benar-benar gawat ....

Semacam bunyi, seperti detakan jantung, terdengar begitu jelas di antara keributan yang berdesis dan menyambar ini.

Diiringi detakan itu, adalah tembakkan cahaya yang membutakan penglihatan.

Eophi tidak bisa melihat apa-apa selain sinar putih.

"Ayo—"

Sebelah tangan meraih kerah bajunya, menariknya ke atas sesuatu yang empuk. Lalu ia menunggu sejenak, baru kemudian merasakan sensasi familier ketika melayang di udara.

Ia tahu, saat ini ia pasti sedang terbang.

Ketika terang yang membutakan perlahan memudar, dan penglihatan Eophi kembali, apa yang dilihatnya sama sekali tidak berubah dari beberapa detik lalu.

Masih di tempat yang sama.

Arus kemerahan, hujan petir dan bola api, lima Anathema di bawah sana.

Sementara ia sendiri duduk di atas White. Bersama Hel, Minerva, dan Maida.

"Apa yang terjadi—" Eophi terhenti.

Beberapa cabang dari arus kemerahan menyerang White dan semua yang berada di atasnya.

Hanya Eophi dan Maida yang tampak terkejut ketika mengetahui, bahkan setelah menerima serangan itu secara langsung, mereka sama sekali tidak terluka.

Jangan khawatil, Phi. Aku tidak melasakan bahaya.

Eophi menoleh ke arah Minerva.

Gadis berambut merah itu memasang senyum menyebalkan.

"Tenang," katanya, "akan kujelaskan. Yaaah, singkatnya, aku menyelamatkan kalian semua dengan cara yang hebat. Begitu dulu saja, ya? Lihat, kita hampir sampai ke bagian selatan pulau."

Minerva tidak mengatakan apa-apa lagi, karena White memang bersiap untuk mendarat tidak lama kemudian.

Serangan dari langit tidak terlalu parah di wilayah ini. Tapi ... sesuatu yang lain, menyambut Eophi setibanya ia di sana.

Sejenis makhluk kerdil yang sama, yang menunggangi Yu Ching, memaksa mereka semua yang masih berdiri di atas kasur, untuk ikut ke kota bawah tanah.

"Dari awal kalian—enam pendatang asing beserta benda-benda bawaan—tiba di pulau ini, kami selalu memantau aktivitas kalian," salah satu makhluk kerdil berujar dari balik topeng oksigennya. "Dan beberapa dari kalian dinyatakan berbahaya."


***


Memasuki salah satu gedung, turun lewat gerbang di lantai batu, Eophi dan yang lainnya dibawa ke kota bawah tanah.

"... apa yang terjadi, tadi?" tanya Eophi pelan pada Minerva.

"Di mana ucapan 'terima kasih, Minerva'-nya?" Minerva tersenyum menggoda.

"Ingin kucium lagi?" kata Eophi.

Seketika semua hal keren pada diri Minerva saat ini berubah menjadi konyol. Wajahnya memerah, ekspresinya cemberut.

"Ciuman bukan permainan!" gadis berambut merah itu berteriak.

Semua yang sedang menuruni tangga melihat ke arahnya, membuatnya semakin salah tingkah.

"Ha. Jadi bagaimana?" tanya Eophi lagi. "Apa yang terjadi?"

"Grrr! E-o-p-h-i ... aku berjanji akan membuatmu sekarat suatu saat nanti—" Minerva mengucapkan itu dengan mulut yang terkatup.

"Kutunggu," sela Eophi datar.

"—lihat saja!"

"Kau benar-benar terlalu mudah untuk diganggu. Tipikal remaja," Eophi menggumam.

"Apa!"

"Bukan apa-apa. Oh iya, apa yang terjadi? Kenapa semua serangan itu tidak membuat kita terluka? Aku serius ... tolong jawab."

Sambil membuang muka, Minerva akhirnya menjawab, "Bom. Aku meledakkan bom yang mengganggu konsep dasar dari dunia ini. Itu saja! Aku tidak bisa menjelaskan lebih jauh, atau menggunakannya sering-sering."

Perlahan, Eophi mengangguk.

Tidak lama, mereka tiba di anak tangga terakhir.

Ketika melihat sekilas pemandangan dari kota bawah tanah ini, Eophi teringat oleh sebuah gua besar di daerah liar Myrdial.

Tapi lalu, setelah beberapa saat mata malasnya memperhatikan tanpa teralih, semuanya menjadi berbeda. Kota bawah tanah ini, sudah jelas, puluhan kali lebih cantik dari gua-gua yang dipenuhi makhluk buas.

Gedung-gedung, yang terlalu kecil untuk ditinggali makhluk seukuran manusia dewasa, tertata rapi di semacam pulau kecil yang dikelilingi parit.

Menara perak dan satu gedung persegi di ujung utara, merupakan dua bangunan yang diciptakan dengan arsitektur berbeda.

Batu besar, memiliki bentuk nyaris seperti bintang segi delapan, menyala terang seperti matahari. Benda itu menggantung di tengah-tengah kota.

Eophi dan yang lainnya harus berjalan satu-satu agar muat di jalanan utama. Mereka akan digiring ke menara perak terlebih dulu. Baru nanti berakhir di penjara, yang letaknya, dijelaskan secara singkat oleh salah satu makhluk kerdil, berada jauh di bawah kota ini.

"Ah, kalian tiba!" satu suara familier menyapa. Pintu kaca di lantai satu menara perak terbuka, kemudian keluar dari sana, Binar. Gadis kerdil yang diantar pulang oleh Yu Ching. "Empus baru saja pergi ke salah satu gedung di Nyctonum untuk bertemu seseorang. Maaf, Binar tidak menyangka akan seperti ini jadinya."

Berjalan di belakang Binar, dikawal oleh dua penjaga, adalah makhluk kerdil yang sudah sangat tua, mengenakan jubah indah berwarna ungu, dan memiliki wibawa yang memancar. Janggut putih tampak menjuntai keluar dari topeng oksigennya.

"Presiden Alitrem, tahanan siap untuk dikirim ke penjara," salah satu makhluk kerdil yang membawa Eophi, melapor sambil memberi hormat—menginjak bumi tiga kali.

Sosok yang dipanggil Presiden Alitrem, merespons dengan suara berat dan serak, "Lakukan demi keamanan Armbell."

"Siap!" Lalu makhluk kerdil itu balik badan, kembali menghadap rombongan Eophi. "Kejahatan kalian, para kriminal, adalah memiliki potensi sebagai penghancur di masa depan. Kalian berbahaya dan harus ditahan."

"Apa yang membuat kami berbahaya?" Maida buka suara.

Untuk menjawab itu, Presiden Alitrem meminta beberapa asistennya untuk membawakan semacam panel besar.

Panel itu dinyalakan. Kemudian, muncul sebuah gambar yang bergerak.

Tampilan dari sesuatu yang sangat salah.

Nobuhisa.

Samurai itu duduk di salah satu atap gedung.

Sekujur tubuhnya dikelilingi oleh arus kemerahan dan asap hitam.






Verdana Power Plant – Bawah Tanah
Arwah Pintar

 



Aku terlalu lama mengendap-endap dan cari aman! Apis membatin. Markas utama tempat mereka menyimpan zirah khusus untuk menahan serangan langit pasti di sebelah menara perak itu! Aku harus cepat, sebelum energi terakhir pada tabung menghilang ....

Sampai saat ini, Apis masih belum menemukan momentum untuk keluar dari parit yang mengelilingi kota bawah tanah, lalu berjalan sedikit ke wilayah dalam di bagian utara. Ke bangunan terbesar, berbentuk persegi, di sebelah menara perak.

Ada keramaian di kota. Apa yang terjadi? Kudengar perang sudah dimulai. Apa iya? Ugh. Fokus. Semoga tidak ada yang melihatku! Ini lompatan penentuan!

Akhirnya, setelah menimbang bahwa tidak ada cara lain, Apis memutuskan untuk mempertaruhkan semuanya dalam satu lompatan.

Dari parit, rencananya Apis akan melompat sekuat tenaga, langsung masuk ke wilayah kota, tepat di depan menara perak. Lalu ia tinggal berlari sedikit, masuk ke gedung persegi di sebelahnya.

Semuanya dilakukan untuk menemukan zirah khusus, atau rahasia makhluk-makhluk kerdil itu. Tentang bagaimana mereka bisa bertahan dari serangan langit.

Sekarang!

Apis berjongkok, memusatkan kekuatan untuk melompat, melihat sekeliling sekali lagi, kemudian dengan satu entakkan, ia—alih-alih melempar diri ke udara—terperosok ke dalam tanah yang meluruh karena kekuatan ancang-ancangnya.

Sosok cantik itu terjatuh cukup dalam. Menembus beberapa lantai bebatuan, dan akhirnya tiba di suatu tempat, jauh di bawah kota bawah tanah.

Nasib sial, pikir Apis. Ia membersihkan sebagian tanah yang menempel di rambutnya, berdiri, memperhatikan sekeliling ....

Atau justru tidak!

Apis benar-benar tidak menduga ini semua, atau, bagaimana cara Sang Keberuntungan bekerja.

Ia terjatuh dari kota bawah tanah, ke suatu tempat yang jauh lebih dalam, dan mengira itu adalah nasib sial.

Ia salah.

Sosok cantik itu kini berdiri di suatu ruangan khusus yang dipenuhi oleh berbagai batuan. Semua bersinar. Lalu berjajar di dalam tabung kaca, adalah beberapa zirah dengan rancangan rumit.

"Selamat datang di inti pulau terapung, Tuan Penyusup." Satu makhluk kerdil berjubah putih, berdiri di ujung ruangan. Di depan semacam pintu geser metalik. "Penjara ada di sebelah sini."

Pintu metalik terbuka. Sekitar sepuluh makhluk kerdil, masing-masing membawa senjata yang tampak asing untuk Apis, masuk ke dalam ruangan.

Mereka membentuk formasi penyergapan.

Apis, merasa terkepung dan tidak memiliki banyak pilihan lain, menyerah tanpa melawan.

Ia tertangkap.

Tapi meski begitu, ada satu senyum tipis di wajahnya yang cantik, yang seolah mengatakan ...

Ini dia pintu yang kucari!


***


"LARI! JANGAN MENDEKAT!"

Beralih ke permukaan ....

Di salah satu sudut kompleks pembangunan, Nyctonum, perang besar antara kaum Armbell dan Anathema sudah dimulai.

Di tengah peperangan itu ... pertempuran lain berlangsung.

Avius, yang memegang Milk si bantal di tangan kirinya, adalah sosok yang tadi berteriak untuk memperingatkan Yu Ching agar berlari menjauh.

"Avius! ada apa? Kau terluka, nyaw!"

Mengabaikan peringatan Avius, Yu Ching berlari mendekat.

"NOBUHISA—" teriakan Avius terpotong oleh satu serangan dari arus hitam yang lewat di depan wajahnya, kemudian meledak.

Pemuda itu terpental cukup jauh, tampak hangus, terbaring tak berdaya meski masih bisa bergerak untuk menatap Yu Ching dan mengatakan, pelan, "Pergi ...."

Yu Ching tidak bisa mendengar itu. Keributan di sekitarnya nyaris menulikan pendengaran. Suara berdesis dari arus kemerahan, gemuruh, hujan petir, dan peperangan.

Ia terus berlari mendekat.

Ia mungkin tidak pernah menyadari keempat bagian bawah kakinya terpotong sampai akhirnya terjatuh.

Kucing itu mengerang kesakitan, tidak percaya.

"Kakiku ... nyaw."

Mendarat lalu, tepat di hadapannya, sebuah guling dan selimut dalam kondisi yang mengenaskan.

"Keparat ... idiot," Light si guling berujar lirih, seolah kehabisan energi.

Cloud si selimut, tergeletak di samping Light, tidak mengatakan apa-apa. Tapi ekspresinya kian memudar.

"Ada apa ini ... nyaw?"

Pertanyaan Yu Ching segera terjawab.

Laki-laki berambut panjang, memiliki kedua mata tanpa pupil, sekujur tubuhnya diselimuti asap hitam, berjalan keluar lewat lubang di dinding.

"Nobuhisa—" Suara Yu Cing meninggi di akhir karena satu tendangan menghantam perutnya.

Kucing itu terpental, membentur dinding.

Nobuhisa berjalan mendekat, kemudian kembali menendang, berulang kali, tanpa emosi sama sekali.

"Nobuhisa ... nyaw?" suara Yu Ching nyaris tidak terdengar, bahkan setelah tendangan itu berhenti.

"Dia bukan Nobuhisa!" Avius susah payah berdiri. "Sesuatu yang jahat menguasainya! Hey, ayo, serang aku saja!"

Nobuhisa, mengabaikan Avius, menarik satu pedang.

Ia posisikan bilah pedang itu di atas kepala Yu Ching.

"TIDAK!"

"Aku tidak apa-apa, Avius!" Yu Ching berhasil berteriak. Suaranya pecah. "Larilah, nyaw!"

Pedang itu terayun ... dan tertahan.

Sebuah guling dan selimut yang menahannya.

"Tidak akan semudah itu, IDIOT!"

Kedua benda itu bergantian menahan serangan Nobuhisa.

Melihat kesempatan, Avius memaksakan diri untuk berlari, mendekati Yu Ching.

"Kita harus mundur! Menghilangkan jejak ke dalam peperangan!"

"Kenapa Nobuhisa, nyaw?"

"Entahlah ... dia sudah begitu ketika tiba-tiba menghampiriku, dan menyerangku. Ayo."

"Aku tidak bisa berjalan ... darah yang keluar juga terlalu banyak, nyaw."

"Serahkan padaku." Avius menelan ludah, menggendong Yu Ching. "Multum in parvo—"

Kedua peralatan tidur yang menahan Nobuhisa, terpental ke belakang oleh arus hitam, menabrak Avius dan Yu Ching.

Avius bangun pertama.

"Cloud, Cloud! Kumohon terbanglah sekali lagi! Ke arah peperangan." Pemuda itu mengguncang selimut di sampingnya.

Cloud mengerjap.

"T-tentu ... semuanya, a-ayo."

Avius naik. Memegang bantal di tangan kiri, dan guling di tangan kanan.

"Yu Ching! Raih lenganku—" Avius merentangkan sebelah tangannya. "Yu Ching, ayo!"

Kucing itu tidak melakukan apa-apa—

"Pergilah, nyaw."

—karena ia melihat, apa yang pemuda itu tidak lihat.

"Hey! Ayo ...."

Yu Ching melihat ... Nobuhisa bergerak sangat cepat, bersiap menebas kepala Avius dari belakang.

"PERGILAH, NYAW!"

Yu Ching mengerahkan semua tenaga yang ada di dalam tubuhnya untuk melompat ke jalur serangan.

Kucing itu tepat waktu.

Ia berhasil menahan serangan Nobuhisa dengan menusukkan dirinya sendiri, mencengkeram sebagian bilah pedang yang belum menembus perut.

Avius, dari atas Cloud yang kini memiliki cukup waktu untuk menjauh dan menghilang ke dalam peperangan, berteriak tanpa suara.

Ia masih bisa melihat dengan jelas. Ketika Nobuhisa, dengan dinginnya, meremas kepala Yu Ching.

Ia masih bisa melihat, ketika Nobuhisa menarik bilah pedang dari perut kucing itu, kemudian melemparnya ke udara, dan menebasnya menjadi dua.


***


"Turunkan aku, Cloud. Tenang, aku tidak akan kembali ke sana," Avius terdengar sangat lelah.

Cloud mengangguk, lalu mendarat.

Saat ini, mereka sudah berada di zona aman.

Di luar segala kekacauan.

Ketika perang dimulai, langit seolah memusatkan penyerangan pada satu wilayah saja. Kompleks pembangunan, Nyctonum. Jadi, di luar wilayah itu, pulau terapung ini bisa dikatakan aman untuk sementara.

Avius turun dari atas selimut compang-camping, berjalan mendekati beberapa makhluk kerdil sekarat yang terbaring di tanah keras.

"Mungkinkah mereka para pejuang yang terluka, lalu melarikan diri dari peperangan?" gumam Avius. "Apa yang lebih penting dari seorang yang menyayangimu, lalu berdiri di sampingmu ketika pertarungan berlangsung? Kenapa, jika aku benar, kalian memilih untuk melarikan diri ...."

"A-avius," Cloud memanggil. Suaranya nyaris lebih pelan dari bisikan. "Kita h-harus cepat. Masih b-berbahaya di s-sini."

Avius mengangkat sebelah tangan.

"Biarkan aku menyembuhkan mereka dulu, Cloud ... biarkan mereka mendapatkan kesempatan kedua." Avius memejamkan kedua mata. Meski tahu seluruh staminanya akan terkuras, pemuda itu tetap memaksakan diri. "Minima maxima sunt ...."

Ia tumbang.


***


Kembali ke bawah tanah ....

"Kalian mengenalnya, kan?" Salah satu makhluk kerdil mengunjungi sel Eophi dan yang lainnya.

Ia menunjukkan sebuah panel berisi gambar Avius, yang saat ini tidak sadarkan diri, terbaring di atas selimut compang-camping. Mereka terbang pelan menuju bagian timur pulau.

"Ya," kata Maida mendahului Eophi. "Kita mengenalnya. Dia juga salah satu peserta Battle of Realms. Avius Solitarus."

Makhluk kerdil itu mengangguk, lalu mengganti gambar pada panel.

"Bagaimana dengan yang ini?"

Maida mengalihkan pandangannya. Sementara Eophi tetap memperhatikan tanpa ekspresi, gambar dari jasad seekor kucing yang terbelah dua.

"... dia juga salah satu peserta," kata Eophi. "Namanya Yu Ching."

Sekali lagi makhluk kerdil itu mengangguk.

"Presiden Alitrem yang memberi perintah langsung untuk memberitahukan semua ini."

"... buat apa?"

Makhluk kerdil itu mengangkat kedua bahu. "Mungkin agar kalian mengetahui beberapa kejadian yang sedang terjadi di permukaan."

Eophi menggeleng.

"Jelas sekali ... baiklah, tolong katakan pada presidenmu, aku menawarkan kekuatanku untuk membantunya memenangkan perang."

Makhluk kerdil menginjak bumi tiga kali. Pamit.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Maida.

Eophi tidak merespons. Anak berambut hijau itu berjalan ke sudut sel, duduk, kemudian tidur.

Beberapa saat kemudian.

Makhluk kerdil itu kembali, kali ini langsung membuka pintu.

"Kalian bebas untuk sementara," katanya. "Kenalan kalian juga sudah tiba. Saat ini dia sedang beristirahat di menara. Ikuti aku."

Dari blok penjara, mereka semua naik lagi ke kota bawah tanah (beberapa penduduk heran melihat Eophi yang menaiki kasur terbang).

Setelah berjalan sebentar di dalam kota, mereka memasuki menara perak di utara.

Makhluk kerdil itu berhenti di lantai dua, di depan sebuah kamar. Setelah mempersilakan semuanya untuk masuk, ia pergi.

"Status kita naik," kata Maida. Setengah senang, setengah lelah. "Dari tawanan, menjadi tamu."

Mereka masuk ke dalam, langsung melihat Avius yang terbaring di salah satu tempat tidur.

Pemuda itu masih tak sadarkan diri.

"Sekarang apa?" tanya Minerva. "Ada yang mau rokok?"

Tidak ada yang merespons.

Maida duduk menghadap jendela, kembali menyibukkan dirinya dengan mengukir simbol bunga pada tabung generator.

Minerva menyalakan rokok, kemudian masuk ke kamar mandi.

Eophi menghampiri peralatan tidurnya yang tergeletak di pojok ruangan.

"Maaf ...," ia bergumam sambil menyentuh mereka bergantian. Perlahan, semua kerusakan kembali pulih. "Kalian istirahat saja. Dari sini ... serahkan semuanya padaku. Hey, White?"

Kasur Eophi melayang ke samping Eophi. "Ya?"

"Selamat beristirahat juga."

White menatap Eophi lekat-lekat.

"Jangan melakukan hal yang tidak perlu dilakukan. Jangan ceroboh, oke, Phi?"

Eophi mengangguk.

"... tenang saja."

White tersenyum, kemudian sebentuk ekspresi pada kasur itu menghilang.

Kenapa bikin meleka semua pasif, Phi? Hel bertanya.

Ng ... supaya mereka bisa tidur lebih nyenyak.

"Yu Ching tewas. Nobuhisa berubah. Apis tidak diketahui keberadaannya." Maida, yang masih sibuk dengan ukirannya, buka suara. "Dan energi pada tabung generator tinggal satu bar lagi—"

Pintu terbuka.

"Kau, yang berambut hijau." Satu makhluk kerdil masuk ke dalam, menuding Eophi. "Ikuti aku."

Eophi menguap lebar-lebar.

"Ya."

Mereka tidak keluar dari menara perak. Tapi naik ke lantai puncak.

"Jaga sikapmu." Makhluk kerdil itu membukakan pintu terbesar di menara ini. "Jangan macam-macam."

Eophi sudah bisa menduga, siapa yang sudah menunggunya.

Dan ia benar.

"Beri tahu aku namamu, wahai pendatang." Suara berat dan serak itu berasal dari makhluk kerdil berwibawa, yang duduk di kursi goyang depan jendela.

"Eophi," kata Eophi setelah jeda. "Eophi Rasaya."

"Aku Alitrem. Presiden kaum Armbell."

"... yo."

Presiden Alitrem berdiri.

"Apa kau, Eophi Rasaya, menyukai janji?"

Eophi menjawab, "Apa ini ... pertanyaan jebakan? Kalau tidak, ya. Ya, aku suka janji. Terutama yang ditepati."

"Beruntung, sampai detik ini, belum pernah aku mengingkari janji," Presiden Alitrem berbicara di depan kaca. "Akan kuberikan padamu, Eophi Rasaya, kebebasan untuk kembali melihat permukaan, dengan satu syarat. Kerja sama.
"Ya ... aku menerima tawaranmu untuk membantuku memenangkan perang ini. Bagaimana?"

Pelan-pelan, Eophi mengangguk.

"Lalu apa langkah pertamamu untuk menang, kalau aku boleh tahu?"

"Ng." Eophi menggaruk dagu. "Buku. Berikan aku beberapa buku yang menjelaskan tentang posisi pulau ini. Dan ... satu ruangan yang paling nyaman?"

"Tentu."




2





Delixe Plateau
Organisasi


​ 


Sekitar seribu meter di bawah pulau terapung Verdana Power Plant.

Seorang kesatria, seorang petarung tangan kosong, seorang penyihir wanita, dan seorang bocah yang memegang busur, berhadapan dengan puluhan robot yang dikendarai oleh maid berseragam biru pucat.

"Arthera, coba sebutkan satu hal yang paling menjengkelkan ketika kita harus mengunjungi pulau terapung?" kesatria bertanya pada penyihir wanita.

"Pergi ke sana bersamamu," si penyihir bernama Arthera menjawab.

"Hey! Aku tidak bertanya tentang hal yang paling menyenangkan!"

"Verath, Arthera ... apa bisa kita sedikit mendalami situasi? Sepasukan robot akan menyerang sebentar lagi." Bocah pemegang busur mendesah kemudian menyesap kopi dari botol plastik. "Cobalah, kalian, untuk lebih serius."

"Aku minta kopi itu," kesatria bernama Verath tiba-tiba terdengar sangat memaksa. "Aku minta, atau aku akan memusuhimu, Flea."

Bocah pemegang panah, bernama Flea, menggeleng. Menjauhkan botol plastiknya.

"Oke. Kita resmi bermusuhan. Aku akan memakan semua jatah puding kejumu di barak nanti."

"Cukup, kalian semua. Mereka mulai menyerang," si petarung berujar singkat. "Habisi tanpa sisa."

"Tamon Rah jadi bos hari ini?" Verath memutar kedua bola mata lalu berlari ke depan, melompat ke udara, dan sepasang sayap keemasan tumbuh di punggung kesatria itu. Ia melesat sambil meneriakkan, "Wuhuuu!"

"Tukang pamer." Arthera mengetuk bumi menggunakan tongkat spiralnya. "Keluar, anak-anak. Kudapan metal kali ini. Habiskan."

Dari tanah di sekitar Arthera, bermunculan puluhan jenis peri dengan berbagai warna.

"Hm. Kalian terlalu banyak gaya, sementara hasilnya lama," gumam Flea. Bocah itu menaruh botol plastiknya, kemudian menyiapkan satu anak panah di busur. "Kenapa penampilan pilot robot harus manis-manis?"

Satu anak panah melesat.

Seiring jarak, anak panah itu bertambah, menyebar. Ketika berhasil menusuk target, target meledak, memuntahkan lebih banyak lagi anak panah.

Beberapa menit kemudian.

Puluhan bangkai robot, pecahan-pecahan metal, tersebar di sekitar area pertempuran.

"Hanya itu penjaganya?" tanya Verath bosan.

"Kemenangan mudah," gumam Arthera sambil berkaca di permukaan danau. "Kita langsung naik, bos Tamon Rah?"

Si petarung membuang napas lelah. "Bos? Kau? Hentikan leluconnya. Ya. Kita ke atas sekarang."

"Kudengar Minerva sudah lebih dulu ke sana," kata Flea.

"Minerva?" Verath memiringkan kepalanya. "Apa yang dilakukan anak baru itu di Verdana Power Plant?"

"Entahlah."






Bawah Tanah – Verdana Power Plant
Armbell dan Deepstone

​ 

Pada beberapa panel besar di ruangan Presiden Alitrem, Eophi melihat gambaran dari hasil sementara peperangan di permukaan.

Seketika perang terhenti, badai plasma kembali menyerang secara merata di setiap sudut pulau.

Puluhan jasad dari makhluk-makhluk kerdil, kaum Armbell, memenuhi jalan-jalan di Nyctonum.

Beberapa gedung hangus terbakar, atau sekadar rusak.

Sementara dari kubu Anathema, yang pada tahun ini tercipta sampai tiga belas keberadaan, baru satu yang berhasil dikalahkan.

[ ... kita belum kalah. ]

Begitulah Presiden Alitrem menutup pidato dukanya.

Eophi melihat kaum Armbell yang tersisa berdiri di jalan-jalan kota bawah tanah, semuanya menunduk.

"... dengarkan aku," kata Eophi, setelah akhirnya ia dan presiden memiliki privasi di satu ruangan. "Aku sudah punya rencana, dan itu gila. Hm?"

"Kegilaan, Eophi, adalah jenis situasi yang sedang melanda Alforea sekarang." Presiden Alitrem duduk di kursi goyang, kepalanya menatap langit-langit. "Melingkupi ... Deepstone di Shohr'n. Briolette di Los Soleil. Noor di Managua Gem's Cave. Raven di Rupture Underwater City. Cor Leonis di Sammeriil's Fortress. Hassaleh di Dodonge Deep Forest. Rastaban di Despera Back Alley. Armbell di Verdana Power Plant. Yed Prior di Bauhaus Frontierland ... dan banyak lagi.

"Dulu, ketika kita semua satu, ketika kita semua merasa sedikit, kita menginginkan banyak hal. Dan sekarang, ketika kita terpisah, menjadi banyak, apa yang dicari adalah untuk kembali menjadi satu. Mengagumkan Alforea ...

"Oh. Maafkan aku, Eophi. Itu tadi membosankan. Sekarang tolong katakan apa kegilaan yang bisa ditawarkan oleh pendatang sepertimu, pada pemimpin tua yang putus asa sepertiku?"

Eophi membuka kedua matanya.

"Sebelumnya, ini penting ... apa kaum Armbell memiliki semacam transportasi darurat untuk keluar pulau?" tanya Eophi. "Sesuatu yang cukup besar untuk mengangkut mereka sekali jalan?"

Presiden Alitrem mengangguk.

"Kami memiliki kapal induk."

"Bagus kalau begitu. Jadi begini. Hm ... bagaimana kalau kita pindahkan mereka yang tersisa di tempat ini, ke tempat aman di permukaan, atau langsung ke kapal induk? Kemudian, kita akan memancing beberapa Anathema ke kota bawah yang sudah kosong. Kita kurung mereka di sini, lalu kita ledakkan inti pulau."

Jeda, sampai akhirnya terdengar suara tawa.

"Aku harus mengakui, ya, Eophi, itu rencana gila," kata presiden. "Tapi jika inti pulau dihancurkan, pulau ini, atau apa pun yang tersisa setelah ledakan, akan langsung  jatuh."

"Langsung ke Cygnus Lake seribu meter di bawah sana," Eophi menambahkan. "Aku sudah mempelajari semuanya. Karena itulah aku meminta segala jenis pengetahuan tentang pulau ini tadi."

"Jika itu dilakukan, tidak akan ada yang tersisa dari hasil perjuangan kami selama ini—"

"Apa ... apa yang sebenarnya kalian perjuangkan selama ini? Pulau di langit? Ayolah ...." Eophi kembali memejamkan mata.

"Rahasia, dan keinginan untuk mengungkapnya. Ini sejarah lama, Eophi, sangat lama. Tapi jika kau menginginkan kebenaran, maka dengarkan. Ini adalah saat di mana Verdana Power Plant pertama kali mengudara. Ketika mereka para atasan, menyerahkan pekerjaan untuk menciptakan sumber energi baru pada kami kaum Armbell.

"Ketika proyek untuk memanfaatkan jiwa sebagai sumber energi baru, harus gagal. Dan justru menciptakan fenomena mengerikan yang sampai detik ini menghantui sebagian langit utara.

"Kami, Eophi, kaum Armbell, bertanggung jawab untuk membersihkan kekacauan ini. Bertanggung jawab untuk mencari rahasia yang disembunyikan para atasan. Kenapa sampai saat ini mereka tidak memberi perhatian pada perjuangan kami. Kenapa mereka tetap menganggap tempat ini hanya pulau kosong, wajah kegagalan di masa lalu. Itu semua."

"Kalau begitu jatuhkan pulau ini," Eophi menggumam datar. "Tenggelamkan. Hancurkan. Jika nama baik, dan rasa puas setelah menyelesaikan teka-teki, yang menjadi tujuan dari semua peperangan ini ... maka apalah arti dari sebuah tempat? Maaf ... tapi aku tidak mengerti."

Anak berambut hijau itu berjalan ke arah pintu.

"Rencanaku tetap hanya itu. Sekarang, tolong izinkan aku dan peserta Battle of Realms lainnya untuk pergi ke permukaan." Eophi melirik benda perak di pinggangnya. Satu bar energi yang tersisa sudah berkedip sejak beberapa saat lalu. "Aku tidak punya banyak waktu, Tuan Presiden. Karena aku juga ... memiliki pertempuran yang harus diselesaikan di tempat ini."


***


Avius akhirnya sadar.

"... sama seperti Yu Ching," pemuda itu duduk di tepi tempat tidur, menjelaskan pada Maida dan Minerva, "Nobuhisa juga, entah sengaja atau tidak, telah dikuasai oleh kutukan tempat ini. Ketika dia menemukanku, menyerangku, kemudian membunuh Yu Ching ... dia sama sekali bukan Nobuhisa yang kita kenal."

Pintu terbuka.

Eophi masuk ke dalam. Semua kepala menoleh ke arahnya.

"Nah ... jadi ceritanya, ada kabar baik."

Sambil berjalan cepat menuju lift (Eophi melayang, duduk di kasur), Eophi menjelaskan keputusan Presiden Alitrem di saat-saat terakhir pada Maida, Avius, dan (sebenarnya tidak perlu) Minerva.

Pemimpin Armbell itu menyetujui ide Eophi untuk menjebak sebanyak mungkin Anathema di kota bawah tanah, kemudian meledakkan inti pulau ini.

"... jangan buat aku mengulang," kata Eophi. "Sekarang kita akan pergi ke ruangan presiden. Di sana, detail strategi akan dijelaskan."

Minerva berdecak-decak.

"Sejak kapan kau jago berdiplomasi, dan mengatur strategi?"

"Siapa pun selalu bisa menjatuhkan pulau terapung," kata Eophi setelah jeda.

"Itu tidak menjawab soal diplomasi."

Eophi mengangkat bahu.

"Itu tadi ... memang bukan diplomasi."

"Lalu?"

"Takdir—nah, ini ruangannya. Ng, kalian semua, tolong jaga sikap. Beberapa tokoh penting mungkin ada di dalam." Eophi berkedip tanpa ekspresi. Ia membukakan pintu, masuk duluan.

"Yeah ... seakan ini waktu yang tepat untuk menjilat pantat tokoh penting di pemerintahan." Minerva memutar kedua bola matanya. Masuk mengikuti Eophi.

Di belakang mereka, Maida dan Avius bertukar pandang, baru masuk ke dalam.

Eophi benar, beberapa tokoh penting sudah berkumpul di ruang presiden.

Topik pertama yang mereka angkat adalah, adanya seorang tahanan yang melarikan diri dari penjara. Kriminal ini juga diduga sudah mencuri dokumen berisi informasi, dan beberapa benda penting kaum Armbell. Sampai saat ini, keberadaan kriminal itu belum tertangkap kamera pengawas mana pun.

Topik kedua yang mereka angkat adalah, upaya untuk mengevakuasi penduduk ke kapal induk.

Topik ketiga yang mereka angkat adalah, strategi terakhir. Di topik ini akhirnya ketiga peserta Battle of Realms terlibat. Dibahas juga tentang pasukan yang akan menyiapkan peledak pada inti pulau; tentang pasukan yang akan berdiri di garis depan. Lalu penjelasan tentang durasi: setelah inti pulau dihancurkan, perlahan pulau akan mulai jatuh ke bawah, dan setelah beberapa menit, ledakan besar akan mengakhiri semuanya.

"... maaf mengganggu," Avius memotong sambil menatap satu-satu wajah mereka yang berada di dalam ruangan. "Aku akan mengingatkan, kalau kita tidak memiliki banyak waktu." Ia menunjuk tabung generator di pinggangnya. "Kita harus pergi ke tengah pulau secepatnya untuk mengisi ulang energi."

Setelah Avius selesai, penjelasan strategi kembali dilanjutkan.

Mereka mendengarkan ....

"Cukup mudah," Maida menggumam. Rapat sudah selesai. Dan saat ini, ia, Eophi, dan Avius, sudah bersiap di tangga spiral menuju permukaan. "Inti tugas kita adalah membantu pasukan garis depan membawa sebanyak mungkin Anathema ke kota bawah tanah yang sudah kosong."

[ Armbell, hari ini, kita akan benar-benar pulang .... ]

Terdengar sampai ke tiap sudut kota, suara berat dan serak Presiden Alitrem mengiringi proses evakuasi penduduk kota yang tidak terlibat dalam perang terakhir.

Tidak lama kemudian, gerbang menuju salah satu gedung di permukaan bergetar, mulai bergeser.

Semakin besar gerbang itu terbuka, semakin jelas suara riuh di luar sana terdengar.

Ini dia, Phi. Siap? Hel terbang mengitari Eophi.

Eophi, berdiri di atas kasur. Ia memegang bantal di tangan kiri, guling di tangan kanan. Selimut terpasang di punggungnya seperti jubah.

... ya, aku siap, Hel.

Bersamaan dengan keributan yang menulikan pendengaran, gerbang terbuka sepenuhnya.

Eophi, Minerva, Maida, dan Avius, tiba di permukaan.

Arus kemerahan, lalu hujan petir dan bola api, menyambut mereka di luar gedung.

Sambil menghindari itu semua, mereka bergerak ke satu wilayah yang sudah ditentukan. Wilayah barat kompleks pembangunan. Di sana mereka menemukan pasukan garis depan yang berusaha sampai mati untuk memancing sebanyak mungkin Anathema ke dalam gerbang, menuju kota bawah tanah.

Mereka (kecuali Minerva, yang malah merokok) segera membantu.

Maida melempar bola-bola air, diikuti ornamen-ornamen bunga, pada tiap Anathema yang berada di jarak pandangnya.

Avius, meski masih belum pulih sepenuhnya, menyelamatkan banyak nyawa pasukan garis depan menggunakan sihir-sihirnya.

Eophi, dibantu Hel dan peralatan tidurnya, bersiap di dekat gerbang. Ia menahan sebagian besar serangan, memberikan kesempatan bagi para pasukan untuk fokus menyerang dan mendorong.


Kombinasi pasukan garis depan dan ketiga peserta Battle of Realms berhasil mendorong, memaksa, dua belas Anathema ke dalam gerbang.

Mengurung mereka di kota bawah tanah sesuai rencana.

Sorakan dan seruan kemenangan bersahutan dengan keributan yang ditimbulkan langit. Perayaan itu berlangsung singkat. Pasukan depan yang bertahan hidup, pamit setelah berterima kasih, mereka bersama-sama bergerak ke kapal induk untuk evakuasi.

Sementara ketiga peserta Battle of Realms, dan Minerva yang mengikuti di belakang mereka, langsung melesat ke tengah pulau.

Satu bar energi terakhir pada tabung generator masing-masing semakin memudar, nyaris menghilang.

Phi! Hel menjerit. Orang itu!

Eophi mengangguk, menghentikan laju kasur terbangnya.

Menyadari hal yang sama, Maida, yang berada cukup jauh di sebelah kiri Eophi, berhenti berlari.

Avius juga, berhenti. Posisinya berada jauh di sebelah kanan Eophi.

Mereka bertiga terhenti, di mana sebenarnya tidak ada waktu lagi untuk menunda.

Mereka terhenti, meski power generator untuk mengisi ulang energi pada tabung mereka, hanya tinggal beberapa meter di depan.

Terhenti, karena seseorang yang sekujur tubuhnya diselimuti oleh asap hitam, duduk bersandar di sana.

Nobuhisa.


***


Takdir selalu berjalan selangkah lebih maju dari keinginan. Suatu hal khusus yang sering menciptakan keraguan, kekecewaan, dan ketakutan awal karena optimis mendapatkan hasil akhir yang tidak diinginkan. Semua hasil pemikiran dari sisi negatif, yang, terkadang lupa, bahwa takdir sama seperti sejarah, memiliki banyak wajah.

Janji, adalah senjata lain untuk mengunci takdir. Suatu cara tersendiri untuk memikirkan hasil akhir dari sisi positif.

Kedua jalan itu, bertemu dalam suatu kejadian di suatu tempat, hari ini.

Pertengahan pulau terapung, Verdana Power Plant ....

Tanpa harus lagi bertukar kata-kata, keempat peserta Battle of Realms yang berhasil bertahan sejauh ini, keempat peserta yang sempat bertarung bersama bersebelahan, kini bergerak dalam satu gerakan masing-masing.

Mereka sudah sangat tahu dan sangat siap, situasi ini akan tiba.

Tanpa harus lagi bertukar kata-kata ... keempat peserta itu saling menyerang, dengan masing-masing alasan untuk menang dan tetap hidup.

Nobuhisa, samurai yang dikuasai kegelapan pulau ini, melakukan serangan pertama.

Ia bergerak maju menggunakan kecepatan jauh di atas nalar.

Tubuhnya hanya terlihat seperti suatu bayangan yang mengabur selama sesaat, sampai, samurai itu tiba di depan targetnya, menggerakkan sebelah tangan untuk memosisikan arah tebasan.

Eophi, tanpa bantuan dari naga merah kecil yang mampu menginformasikan pergerakan lawan, mungkin tidak akan pernah tahu ke bagian mana Nobuhisa akan menyerang.

Tanpa bisa mengikuti gerakan samurai itu, Eophi cukup terkejut ketika melihat bilah pedang muncul di sebelah kirinya. Bilah yang sudah ia tahan menggunakan bantal.

Di kedua sisi yang lain, sementara Nobuhisa melakukan satu gerakan menyerang ke arah Eophi tadi, Maida dan Avius juga mulai bergerak.

Keduanya, tanpa melakukan kesepakatan sebelumnya atau melakukan kontak mata, sama-sama menyerang Nobuhisa.

Maida melempar banyak sekali ornamen dari setangkai bunga kuncup, lalu mundur. Menyiapkan suatu hal yang lain, mengetahui kecepatan lawannya tidak mungkin bisa ia imbangi.

"Forsan miseros meliora sequentur!"

Avius sendiri, melakukan hal menakjubkan hasil dari pengamatan pertarungan sebelumnya. Pengalaman yang ia dapat ketika melawan makhluk kegelapan yang sama, yang menguasai Yu Ching, memberinya satu keunggulan.

Meski ia sendiri tidak mengetahui alasan di balik itu, kenapa sihirnya memiliki efek yang bertolak belakang ketika diaplikasikan pada kegelapan pulau ini. Dari penyembuh, menjadi perusak.

Cahaya biru, terlepas dari kedua telapak tangannya.

Pertama, serangan-serangan ornamen dari Maida telak diterima Nobuhisa. Sebentuk bunga, seketika mekar ketika tangkai-tangkai itu menusuk tubuh dan leher.

Saat itu, Nobuhisa sedang melakukan tebasan keempat pada Eophi. Tebasan yang akhirnya terlambat untuk direspons.

Momen ketika Eophi terpental ke belakang, adalah momen yang sama ketika serangan Avius juga telak diterima Nobuhisa.

Cahaya biru itu membuat Nobuhisa berteriak setelah sebelumnya terdorong cukup jauh.

Tapi tidak seperti Eophi yang membutuhkan beberapa saat untuk bangkit, Nobuhisa kembali bergerak ke dalam posisi menyerang hampir seketika.

Hal-hal yang terjadi setelahnya, adalah hal-hal yang menyadarkan baik itu Eophi, Maida, atau Avius, bahwa kekuatan Nobuhisa berada jauh di atas mereka.

Samurai itu mengarahkan bilah pedangnya ke langit.

Seketika badai plasma, dan beberapa kehancuran yang pada saat ini masih terjebak di kompleks pembangunan, seolah terpanggil.

Semua kekacauan itu bergerak ke tengah pulau, terpusat di sana.

Diawali oleh satu teriakan Nobuhisa, arus petir turun dari langit, menyambar ujung pedangnya selama sesaat, lalu disalurkan menjadi satu tebasan melebar.

Menciptakan gelombang petir yang merusak.

Maida, selama sepersekian detik, berhasil bertahan di kubah air. Ia lalu menjerit kesakitan setelah kubah itu hancur, dan serangan bergelombang melewati dirinya.

Eophi bertahan menggunakan kasurnya sebagai dinding, juga hanya sesaat. Gelombang itu membuatnya terempas.

Hanya Avius yang harus menerima serangan itu secara telak, dan nyaris kehilangan kesadaran. Ia bersimpuh, menggigil, kepala menengadah dengan mulut sedikit terbuka. Tanpa jeda, Nobuhisa melesat ke arahnya.

Satu serangan menebas langsung ke arah leher—

"Maaf, aku harus melakukan ini," Apis berbisik.

—meleset.

Nobuhisa ditendang tepat di wajah oleh sosok cantik yang muncul dengan cepat di jalur serangan.

Memanfaatkan waktu yang sangat sedikit itu, Apis mencabut tabung generator di pinggang Avius, kemudian mencabut tabung generatornya sendiri. Ia lempar keduanya ke arah Maida yang pada saat ini berada paling dekat dekat power generator.

"Tidak ada waktu lagi!" Apis berseru. "Isi sekarang!"

Maida mengangguk, lalu beralih ke Eophi.

"Eophi!"

Anak berambut hijau itu mengerti. Ia cabut tabung generatornya, ia lempar juga ke arah Maida.

Maida berlari ke arah power generator untuk kemudian mengisi ulang energi, selama satu detik penuh, semua peserta merasakan sensasi membeku.

"Cepaaat!"

Bersamaan dengan selesainya kebekuan itu, Nobuhisa menyerang Apis.

Sambil berlari, samurai itu menarik satu lagi arus petir, memusatkannya pada satu serangan menusuk.

Apis bergerak cepat. Susah payah ia melompat dengan punggung menghadap ke tanah keras, dan bilah pedang beraliran listrik hanya beberapa senti di bawahnya.

Eophi maju, menggerakkan kasurnya secepat yang ia bisa ke arah pertarungan.

Maida juga, setelah menyimpan semua tabung generator dalam jarak aman pengisian, langsung berlari ke sana.

Tapi sebelum keduanya tiba ... Nobuhisa sudah berhasil mengalahkan Apis.

Sosok cantik itu gagal menghindari gabungan arus yang ditarik Nobuhisa dari langit. Ia terperangkap di dalam cahaya, yang bahkan mampu menekan tanah keras dan menciptakan satu lubang besar dan dalam setelahnya.

Eophi dan Maida berhenti bergerak.

Di satu sisi, Avius berhasil untuk kembali berdiri tegak.

Pertarungan seolah terhenti.

Dan di dalam satu sunyi yang hanya bertahan selama sesaat itu, satu sosok yang terlupakan, yang sampai saat ini hanya berdiri di jarak aman untuk menonton, buka suara.

Minerva.

"Aku ada di sini karena satu hal khusus, jadi, pertarungan sampai mati dan drama kalian sebelumnya sama sekali bukan urusanku." Gadis berambut merah itu berjalan ke arah Nobuhisa. "Tapi aku memperhatikan kalian. Sebagian dari kalian, setidaknya. Favoritku adalah ketika laki-laki cantik tadi datang secara tiba-tiba, mengingatkan kalian pada batas energi yang tersisa, dan satu kehormatan yang harus dijaga. Ya.

"Kehormatan adalah apa yang dijunjung oleh tim bodoh ini dari awal.

"Jadi ... sekarang. Apa salah jika aku membantu semuanya untuk kembali ke sedia kala? Untuk memberikan pertarungan bagus dan kekalahan yang pantas, yang selalu kalian inginkan? Tidak. Meski bagiku persetan segala kehormatan, dan kematian apa pun harus diterima oleh mereka yang kalah, tapi tidak. Tidak ada salahnya.

"Aku akan membantu kebodohan ini untuk kembali ke jalurnya—"

Nobuhisa menarik berbagai arus dari langit, mengarahkan itu semua ke atas kepala Minerva.

Gadis berambut merah itu bergerak cepat, seolah menari di antara cabang cahaya, jalur-jalur petir, dan bola-bola api.

Pergerakannya sempurna.

Sampai, tiba satu momen di mana Nobuhisa menyergapnya dari belakang, kemudian melayangkan satu serangan yang tidak bisa dihindari.

Bilah pedang Nobuhisa terayun, dan kembali gagal untuk memotong targetnya.

"Kau terlalu banyak bicara tadi," bisik Eophi. Ia berdiri di samping Minerva, sambil menahan serangan Nobuhisa dengan bantal dan gulingnya.






Bawah Tanah
Rencana Bunuh Diri

​ 

Minerva menendang Nobuhisa tepat di perut, ketika samurai itu tidak bisa bergerak setelah serangannya ditahan Eophi.

Satu tendangan yang Eophi tahu efeknya.

Nobuhisa terlempar cukup jauh ke belakang oleh semacam energi.

"Itu pasti lumayan sakit," gumam Eophi.

Ia mendaratkan kasurnya.

"Aku bisa menahan serangan tadi!" Minerva cemberut. "Aku tidak akan bilang terima kasih."

Eophi membalasnya dengan tatapan yang-benar-saja.

Ia lalu melihat, Maida dan Avius yang berdiri tidak jauh darinya.

Keduanya terlihat lelah.

"... ini akan super merepotkan. Tapi ... aku akan fokus dulu untuk mengembalikan Nobuhisa ke sedia kala sebelum meladeni kalian," kata Eophi.

"Aku ikut. Tunggu." Maida berlari ke power generator, mengambil semua tabung milik peserta, kecuali milik Apis, lalu mengembalikannya. "Akan lebih aman jika kita membawa benda ini daripada meninggalkannya."

Eophi melihat, baru satu bar energi yang terisi.

"Nobuhisa terlalu kuat," Avius lalu berujar pelan. "Mungkin sebenarnya kita hanya mencari alasan di balik kerja sama ini untuk mengalahkannya lebih dulu?"

"Kembangkan perspektifmu sepuasnya." Minerva menepuk pundak Avius. "Dan bersiaplah. Dia datang."

Nobuhisa melayang di langit.

Beberapa arus hitam, bersama angin kali ini, menjaga samurai itu agar tetap berada di udara.

Semuanya memasang posisi siaga.

Serangan pertama dari Nobuhisa adalah angin topan.

Tiga angin topan terbentuk mengurung Eophi dan yang lainnya. Lalu turun setelahnya, arus kemerahan dan jalur-jalur petir.

Bola-bola api diakumulasikan, dibentuk menjadi kedua tangan raksasa yang keluar dari balik awan-awan hitam.

Pada saat yang bersamaan, turun hujan.

Bukan gerimis, tapi hujan besar, di mana tirai air benar-benar mengganggu jarak pandang.

Eophi, dan yang lainnya, terpencar.

"Ini konyol!" Minerva berseru sambil menghindari tinju api raksasa dari langit. "Api sebesar itu ketika hujan? Gila!"

"Ke sini!" Maida berseru pada Minerva. Setelah Minerva sudah cukup dekat, Maida menciptakan kubah air untuk melindungi mereka berdua. "Tekanan membuatnya semakin kuat," kata Maida. "Itu, dan tiga menara berbentuk cakar yang kulihat sebelum hujan turun."

"Menara?"

"Ya." Maida mengangguk. "Terdapat tiga menara berbentuk cakar di pulau ini. Di utara, barat, dan timur. Ketiga menara itu sudah bersinar ketika kita melihat Nobuhisa di langit."

"Baiklah, anggap saja ketiga menara itu yang menyuplai semua energi monster gondrong itu. Sekarang, kita harus kembali berkumpul. Cari Eophi dan pemuda satunya."

Minerva dan Maida bergerak.


***


Avius sudah berada di ambang kekuatannya, Eophi bisa melihat itu.

Mereka berdua saat ini berlindung di bawah kasur.

Serangan petir dan arus kemerahan di atas mereka tidak berhenti menggempur.

"Gawat, ya ... kita bahkan tidak bisa mengetahui di mana keberadaan Nobuhisa sekarang." Eophi membaringkan diri di tanah keras. "Aku ingin sekali tidur ...."

"Eophi," kata Avius pelan. "Kita harus terus bergerak."

"... istirahat saja dulu."

Tanah bergetar.

Sebentuk tangan api raksasa, menghantam permukaan tepat di sebelah kasur Eophi berada.

"Nyaris," kata Eophi. Tapi setelah mengatakan itu, ia berdiri.

"Avius, tetaplah di belakangku."

Di hadapannya saat ini, tepat di mana tinju api raksasa tadi menghantam, berdiri Nobuhisa.

"Aku punya rencana," kata Avius.

"Tidak. Tetaplah di belakangku."

"Eophi!"

Nobuhisa menyerang.

Tebasan dali kanan, Phi! Cepat!

Eophi memutar guling di tangan kanannya, memegang bagian ujung di depan.

Tebasan pertama Nobuhisa berhasil ditahan.

Kili, Phi!

Sedikit terlambat untuk menyeimbangkan pijakan pada tebasan kedua. Eophi terdorong, terseret. Tapi ia segera bangkit lagi. Menahan tebasan ketiga.

Sekali lagi pada tebasan keempat, serangan Nobuhisa berhasil masuk sebagian.

Segaris luka dangkal melintang di dada Eophi.

Samurai itu menunduk, sementara Eophi bahkan belum memijak setelah terdorong dari tebasan keempat, lalu menyerang lagi.

Cukup dalam sekarang luka tebasan di perut si anak berambut hijau, karena guling yang digunakan untuk menahan tidak terangkat cukup tinggi.

Eophi terjatuh ke tanah keras.

Nobuhisa langsung melompat ke atasnya, bilah pedang mengarah ke bawah.

Hel menjerit. Mengetahui Eophi tidak mungkin bisa menghindar atau menahan lagi meski arah serangan sudah jelas diberitahukan.

"Vires acquirit eundo!" Avius meneriakkan kata itu sambil melepaskan banyak cahaya biru yang tersamar dari telapak tangannya.

Cahaya-cahaya itu menghantam Nobuhisa seperti peluru.

"KETEMU!"

Minerva melompat menembus tirai hujan, tepat ke depan Eophi. Menyusul di belakangnya, adalah Maida.

Pertarungan dilanjutkan.

Menggunakan tangan kosong yang dilapisi semacam energi transparan, Minerva menyerang Nobuhisa.

Mereka saling serang dalam satu level kecepatan yang hampir tidak bisa diikuti setiap pergerakannya.

"Aku bisa mengembalikan Nobuhisa, aku akan mencobanya," kata Avius pada Eophi dan Maida.

"Apa maksudmu?"

Avius menjelaskan pertarungannya dengan Yu Ching di pelataran menara.

"... baiklah." Eophi menyiapkan semua peralatan tidurnya. "Lebih baik punya rencana daripada tidak sama sekali. Ya, kan?"

Maida mengangguk.

"Kita akan memberi waktu. Persiapkan dirimu, Avius."

Avius memejamkan kedua matanya.

"Minerva! Buat jarak!" seru Eophi. "Kita punya rencana!"

Dentuman tercipta. Setelah itu, Minerva melesat ke samping Eophi, sementara Nobuhisa terpental agak jauh ke belakang.

"Apa?"

"Bertahan dalam barisan seperti ini," kata Maida. "Kita akan membuat Nobuhisa menyerang dalam satu garis lurus, lalu kita akan menghindar, dan menyerahkan sisanya pada Avius."

Minerva hanya mengangguk.

Nobuhisa di depan mereka kembali menyerang. Berbagai arus langit berkumpul di sekeliling tubuhnya.

"Dia adalah dewa selama dia bertarung di bawah langit ini," gumam Maida.

"Oke. Dia dewa. Terus?" tanya Minerva.

"Dia datang. Tutup mulut kalian." Eophi bersiap untuk menghindar ke samping.

"Avius?"

"Semua siap," pemuda itu menjawab.

Seperti ujung pedang pada dalam gelombang besar dari campuran berbagai elemen, Nobuhisa menyerang, mendekat.

Eophi, Maida, dan Minerva menghindar ke samping.

Tersisa Avius seorang diri berhadapan dengan gelombang itu—

"Vis ... Praesidium."

Perisai tak kasat mata tercipta di antara Avius dan Nobuhisa.

Beberapa arus serangan menghilang begitu saja ketika melewati perisai itu, tapi ...

"Avius!"

Perisai menghilang.

Meski semua arus yang mengelilingi Nobuhisa berhasil dilenyapkan, samurai itu sendiri masih bergerak.

Eophi, Maida, dan Minerva, bergerak secepatnya, bersamaan.

Mereka semua menyaksikan, Avius yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri, tertikam oleh satu serangan Nobuhisa.

Bilah pedang itu tepat sasaran. Menembus jantung target.

Minerva yang lebih dulu mendekat, tapi, tangan api raksasa turun di saat yang sama, telak menghantam gadis berambut merah itu.

Eophi dan Maida tiba bersamaan.

Nobuhisa mencabut pedangnya dari dada Avius, kemudian berteriak meminta bantuan langit.

Arus kemerahan, disertai angin kencang, menghantam Eophi dan Maida langsung di tempat.

Semuanya terjatuh.

Hanya Nobuhisa yang masih berdiri, mengangkat sebelah tangan ke udara, mengumpulkan bola api di ujung pedangnya.

Ia lalu berjalan ke depan Avius.

Pemuda sekarat itu sekuat tenaga membisikkan sesuatu—

"Amicitiae nostrae memoriam spero sempiternam fore ...." Tarikan napas terakhir dari Avius berembus bersamaan dengan suatu ketenangan.

—sebelum akhirnya Nobuhisa menghancurkan tubuhnya menggunakan satu tebasan yang meledak menjadi tiang api.






Verdana Power Plant
Badut Setengah Lingkaran


​ 


Eophi, meski sekujur tubuh penuh luka, berdiri.

Meski hujan mengganggu pandangannya, ia melihat Maida terbaring, sekarat. Ia juga melihat Minerva dalam kondisi yang sama.

Pandangannya berakhir pada Nobuhisa. Samurai itu masih berdiri di sana. Di antara sisa nyala api yang membakar tubuh Avius.

Hel, aku harus memanggil badut itu.

Ta-tapi, Phi ....

Nobuhisa kembali menarik beberapa arus dari langit.

HEL!

Aku tahu! Aku tahu dali awal ini yang kaulencanakan, Phi! Hel menjerit sedih. Menyebal semua senjata agal meleka lelah, agal meleka pasif! Kau juga tidak mengelualkan satu pun kemampuan! Kau menyiapkan ini semua untuk memanggil badut itu!

Sekarang, Hel, dengarkan aku

Nobuhisa menurunkan kumpulan arus ke arah Minerva.

—aku harus berubah sekarang, atau kita semua mati.

Hel menjerit.

Seketika naga merah itu meledakkan diri dan menghilang, tubuh Eophi diselimuti oleh cairan merah.

Dalam kondisi itu, Eophi berlari ke arah Minerva.


***


[ ... untuk teman-teman Empus.

[ Ini Binar.

[ Mewakili Ayah yang lebih memilih untuk tetap berada di ruangannya, Alitrem Wordbell, dan semua kaum Armbell di kapal induk ini, Binar mau bilang terima kasih.

[ Inti pulau sudah diledakkan. Semoga teman-teman Empus bisa selamat, dan kita semua bisa bertemu lagi. ]

Suara familier itu menghilang.

Kembali, hanya hujan dan segala jenis serangan langit yang bisa terdengar.

"Kau nggak apa-apa, kan?" tanya Eophi pada Minerva.

Minerva setengah membuka matanya.

"Eophi? Ada apa dengan wajahmu?"

"Ng, memangnya kenapa?"

"Seingatku wajahmu memang jelek, tapi tidak sejelek ini. Kau berdandan menjadi badut?"

"Ya ... penjelasannya panjang. Intinya, aku menggabungkan kekuatan Hel, sihir Myrdial, dan wujud De Soliant."

"Ngomong apa, sih?" Minerva cemberut. "Terus ... kita ada di mana?"

"Di atas bola. Di atas awan."

Minerva memperhatikan sekeliling. Meski berat untuknya membuka mata secara penuh, ia masih bisa melihat, saat ini, ia dikelilingi oleh awan-awan.

Bukan awan hitam di atas Verdana Power Plant yang gemar memuntahkan serangan-serangan berbahaya.

Tapi awan normal, berwarna putih terang.

Pemandangan di sekelilingnya saat ini adalah, pemandangan dari langit di suatu siang berawan.

"Kau melompat menggunakan bola ini?"

Eophi mengangguk.

"Bagaimana dengan Nobuhisa?"

"Nggak perlu khawatir." Eophi merapikan beberapa helai rambut Minerva yang terselip di sudut bibir. "Sebentar lagi kita turun. Aku mau ... kejujuran."

Minerva mengangguk.

"Memang sudah waktunya."

"Ya."

"Aku ke sini bukan karena suatu misi. Tapi karena ... aku penasaran ...."

Eophi sabar menunggu.

Minerva melanjutkan, "Kenapa kau menciumku?"

"Hanya itu?"

Minerva mengangguk.

"Karena ... aku pikir kau adalah sesuatu yang lain."

"Aku memang sesuatu yang lain," kata Minerva. "Aku hanya data. Karena itu aku bingung."

Bola bergaris yang diduduki Eophi dan Minerva mulai bergerak turun.

"Apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Eophi.

"Tentu. Selama kau berada di Alforea, kita bisa terus bertemu."

"Tapi ... tubuhmu—"

"Memudar?" Minerva memotong. Suaranya semakin pelan. "Ya. Serangan terakhir berhasil menghabisiku. Tapi tenang ... aku tidak apa-apa.
"Oh, iya, Eophi, jangan sampai kalah, ya? Hancurkan tiga menara cakar di sekitar pulau. Mungkin ... itu sumber kekuatan si monster gondrong."

Bola itu menembus awan hitam, kembali masuk ke area di mana hujan deras mengguyur.

Tidak lama kemudian, bola itu mendarat.

Eophi sendirian, berdiri di atas bola.


***


Jadi tadi ... setelah Eophi melompat ke arah Minerva, ia berubah.

Kini ia memiliki hidung merah bulat, riasan ala badut, rambut hijau yang memanjang dan terbentuk secara aneh di beberapa tempat.

Peralatan tidurnya juga menghilang.

Kini Eophi memiliki tombak hitam, bola bergaris, dua pedang kembar, dan rantai, sebagai senjata.

Sekarang, setelah mengucapkan apa yang harus diucapkan pada Minerva di atas awan sana, Eophi kembali ke medan pertempuran.

Di hadapannya, Nobuhisa masih terbelenggu. Karena sebelum Eophi melompat ke atas awan, ia menyerang Nobuhisa menggunakan rantainya.

"... kita selesaikan sekarang." Eophi menarik rantai yang mengikat Nobuhisa, kemudian melemparnya menjauh dari tengah pulau. "Dalam dua serangan."

Eophi mengikuti Nobuhisa.

Nobuhisa yang sudah terlepas, mencabut satu senjata yang berbeda dari pinggangnya.

Sebuah senapan.

Samurai itu menyerap hampir seluruh arus di langit, memadatkannya, mengumpulkannya di depan moncong senjata.

Eophi, memanfaatkan pantulan bola, melompat ke langit.

"Faceless," ia berbisik sambil mengunci pandangannya ke arah Nobuhisa. Kemudian dari kedua tangannya, ia merentangkan dua rantai.

Rantai-rantai itu terus memanjang seolah tidak memiliki batas, mengelilingi pulau, berhenti hanya untuk melilit di tiga menara hitam berbentuk cakar.

"Ayo, Nobuhisa."

Ketiga menara bersinar. Semua kekuatan dari sana seolah ditarik keluar. Cahaya-cahayanya tersalurkan ke rantai, lalu langsung terkirim ke Eophi.

Eophi memusatkan kekuatan itu pada dua pedang di tangannya, kemudian melemparnya ke bawah.

Dan di bawah sana, Nobuhisa membalas menembakkan kumpulan arus yang telah ia kumpulkan.


***


Kedua serangan itu bertabrakan di langit.

Menciptakan gelombang cahaya serupa aurora selama beberapa saat.

Eophi, memanfaatkan bola sebagai pijakan, melesat membelah awan hitam. Tombak hitamnya siap di tangan kanan.

Nobuhisa, mengandalkan ledakan besar dari beberapa arus di belakang kakinya, juga melesat. Pedangnya siap.

Sepersekian detik sebelum mereka berdua bertemu, jauh di bawah tanah sana ... inti pulau yang sudah dihancurkan menciptakan reaksi final.

Sebuah ledakan, membelah Verdana Power Plant menjadi beberapa bagian.

Pulau terapung ini jatuh.

Dan ... serangan final antara Eophi dan Nobuhisa, bertemu.

Menciptakan ledakan besar lainnya.






Verdana Power Plant
Ini Bukan Akhirnya


​ 


Bersamaan dengan hancurnya ketiga menara berbentuk cakar ... tirai pertarungan Eophi dan Nobuhisa ditutup.

Segala hal yang jahat dan gelap meninggalkan keberadaan Nobuhisa sepenuhnya.

Samurai itu terbaring memandangi awan hitam, tanpa ekspresi sama sekali.

"Apa yang terjadi, Eophi?" Nobuhisa bertanya. "Jelaskan dengan cepat."

Eophi yang sudah kembali ke sedia kala, terbaring agak jauh di samping samurai itu, menjawab, "Kau kalah."

Nobuhisa tersenyum.

"Aku merasa buruk sekali—"

"Jangan khawatir," Eophi mendengar suara Apis memotong. "Beristirahatlah dengan tenang sekarang, Nobuhisa Oga."

Terdengar suara kaca yang dipecahkan.

Tabung generator Nobuhisa baru saja dihancurkan Apis.

Eophi memaksakan tubuhnya yang menggigil hebat untuk bangkit.

"... Apis?"

Sosok cantik itu mengangguk.

"Nobuhisa tidak membunuhku. Serangan langitnya tidak bisa melukaiku. Karena aku memiliki batu ini." Apis memperlihatkan batuan biru di telapak tangannya. "Ini adalah batuan yang menjadi material utama zirah khusus pada makhluk kerdil itu. Aku mendapatkan batu ini setelah melewati berbagai perjuangan."

"Kau adalah tahanan yang lepas di bawah tanah," kata Eophi pelan.

Sosok cantik itu mengangguk lagi.

"Eophi, aku harus menang. Aku harus bertahan. Maaf jika caraku salah, tapi ketika melihat kekuatan Nobuhisa tadi ... aku bahkan hampir putus asa. Aku hampir berpikir, percuma saja memiliki batuan ini. Sampai ... aku melihatmu dalam wujud mengerikan itu, dan bertarung dengannya secara seimbang.
"Kau menang, Eophi ... tapi aku harus tetap hidup. Maaf."

Eophi tidak merespons. Ia hanya mengangkat gulingnya.

Apis berjalan mendekat.

"Ini sudah selesai, Eophi. Biarkan aku menyelesaikannya dengan tenang. Serahkan tabung generatormu."

Eophi berjalan terhuyung-huyung ke depan. Ia benar-benar terlihat seperti boneka kendali yang kekurangan tali. Tidak seimbang dan tampak mati.

Apis bergerak cepat ke sampingnya, menarik keris, kemudian menikam pinggang Eophi.

Eophi mengejang, mengayun tangannya yang memegang guling dengan sangat menyedihkan untuk menyerang balik, tapi Apis sudah lebih dulu menendangnya.

Ia terempas ke samping Nobuhisa yang sudah memejamkan mata dan tampak sangat damai.

Lalu ia menoleh ke arah Hel yang tak sadarkan diri. Naga merah yang sudah banyak membantunya di pertarungan ini.

Mungkin ini memang akhirnya, pikir Eophi. Mencabut tabung generator di pinggang.

Ketika Apis mendekatinya lagi, Eophi sudah tidak melawan.

"Terima kasih, Eophi."

Apis mengambil tabung generator dari tangan Eophi, kemudian menikamnya pelan dengan keris.

"Selesai—"

Pada saat yang bersamaan, menggunakan patahan pedang Nobuhisa yang terserak di dekatnya, Eophi menikam tabung generator di pinggang Apis.

"Eophi—"

Apis tumbang, membawa tanda tanya pada kejadian terakhir itu ke tanah kematian.

Di tangannya, masih terpegang, satu tabung generator dengan ukiran bunga pada bagian belakang.

Sementara Eophi, anak berambut hijau itu menyeret langkahnya ke kasur, mengabaikan tubuhnya yang menggigil semakin hebat.

Ia berusaha untuk tetap sadar sebentar lagi, karena ada satu tempat yang harus ia datangi.


***


Eophi tiba di tengah pulau.

Ia turun dari kasur, berjalan susah payah menghampiri Maida yang sekarat.

Masih sempat ....

"Kenapa?" tanya Eophi.

Maida tersenyum.

"Menukar tabung generatormu? Tentu saja ... untuk menang. Pada saat itu, Avius sudah hampir kehabisan stamina. Akan mudah untuk mengalahkannya. Jadi pada saat itu ... kau adalah halangan nomer satu.
"Eophi?"

"Ya?"

"Bantu aku berdiri."

Bagian barat pulau meledak pada saat ini.

Eophi membantu Maida untuk berdiri, lalu menggenggam tangannya. Menjaganya agar tidak terjatuh.

"Jika ada kesempatan lain ... kita harus bertarung dalam keadaan yang seharusnya," Eophi menggumam, lalu terbatuk. Sebelah tangan yang ia gunakan untuk menutupi mulutnya, basah oleh darah.

"Ya," kata Maida.

Dan itu adalah terakhir kalinya Maida bersuara.

Ledakan besar, seperti seharusnya, mengakhiri berbagai tragedi di tempat ini.


***


Hanya sedikit yang tersisa dari Verdana Power Plant.

Sebagian besar benda-benda lama seperti tanah, besi, pipa, dan material lainnya, menghilang di dalam ledakan.

Eophi terbaring tanpa bisa bergerak sama sekali di atas kasurnya. Melayang-layang di kekosongan langit yang pada beberapa menit lalu masih ditempati oleh satu pulau terapung.

"Pertarungan yang sangat berantakan," kata satu suara. Eophi tidak bisa bangun untuk melihat siapa. Tapi di belakang kasurnya sekarang, berkumpul: seorang kesatria bersayap keemasan, seorang penyihir wanita di atas sapu terbang, seorang bocah pembawa busur yang menaiki balon terbang kecil, dan seekor kuda api bersayap.

"Sekarang kita harus mencari dari awal."

"Ya."

"Ayo, pulang."

"Membosankaaan."

Eophi bisa merasakan angin yang berembus, lalu kesunyian total setelahnya.




Epilog





Memori Eophi
Battle of Realms


​ 


Aku memimpikan suatu ingatan ... tentang pertempuran itu.

Ketika Etholin, Frerra, dan Unoas, menjadi tiga keberadaan pertama yang gagal untuk kulindungi.

Waktu itu kami bertarung melawan ribuan monster di sebuah gua, di wilayah De Soliant.

"Menjauh, Eophi!" Adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Etholin. Myrd paling berbulu yang pernah kukenal. Dia mengeluarkan darah yang sangat banyak, karena dia tewas setelah beberapa monster berwujud serangga memakan wajahnya.

"BERLINDUNG, EOPHI!" Adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Frerra. Myrd paling berisik yang pernah kukenal. Masih sering terdengar jeritan terakhirnya ketika aku melamun. Dia tewas setelah diledakkan oleh beberapa penyihir.

"Selamat tinggal, Eophi." Adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Unoas. Myrd paling sopan dan selalu terlihat rapi. Dia tewas bunuh diri. Beberapa parasit gua masuk ke dalam tubuhnya, dan mengendalikannya.

Aku selamat waktu itu.

Aku kembali ke Myrdial Abyss.

"Apa yang membuatmu pantas untuk selamat, sementara teman-temanmu mati, heh?" Beberapa senior mendorongku.

Tapi pertanyaannya bagus.

Kenapa aku bisa selamat? Jika kujawab ... "Badut itu yang menyelamatkanku." Pasti mereka tidak akan percaya.

Tapi apa aku pantas untuk diselamatkan?

Jawabannya, ada pada satu benda yang selalu kunyalakan setibanya aku di asrama.

Benda itu adalah tablet.

Peninggalan Bidriel.

Banyak video tentang kehidupan yang bisa kupelajari di dalamnya.

Salah satunya ... berjudul Battle of Realms.

"Apa itu Myrd?" Adalah pertanyaan dari Bidriel di awal video.

"Secara fisik, Myrd hampir sama seperti manusia. Tapi apa hanya itu saja?" tanya Bidriel lagi, sambil menjawab sendiri pertanyaannya yang pertama.

"Tidak. Myrd adalah ras yang akan selalu menjadi perisai semesta."

Begitulah. Bidriel menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Dia memang aneh.

"Dan tentang Battle of Realms," Bidriel melanjutkan. "Pergilah ke sana sendiri, dan cari tahu. Tempat itu adalah tempat para petualang."

Selanjutnya, gambar di layar menunjukkan pemandangan yang selalu bisa membawakan mimpi indah di tidurku.

8 comments:

  1. anjir, panjang bener...tapi plotnya gak ngebosenin, asik diikutin lah. Seperti yang saya duga, Oc saya pasti jadi sasaran keroyokan para peserta lain karena cuma dia yang seorang attacker.

    oh ya, sedikit ada yang miss.. presiden ditulis Presiden, kecuali kalau kata itu hanya menggambarkan jabatan, tapi gak masalah..

    dan saya merasa cukup terhormat, Nobuhisa dikeroyok dalam 27k dan mati secara ksatria>.

    Nilai 9 dari Nobuhisa

    ReplyDelete
  2. Hehe, 1 lagi novelet (atau malah novel?) Dari Aesop-Eophi :p
    Walau aturan mainnya seharusnya saling mengeliminasi, tapi ini feel-nya seperti party 6 org di awal, baru sedikit2 ada yang "terpaksa" jadi musuh di tengah, lalu force majeure di akhir (BOOM!) Ya gpp deh, kayaknya 20+ribu kata emang cukup utk gambarin semua OC tim D dgn full karakterisasi. Ditambah Radith dan teman2 yg lolos prelim juga? Wow. 8/10 dari Vajra.

    ReplyDelete
  3. Aih saya butuh 2 hari untuk baca.

    Tapi saya salut, dialog lebih mendominasi daripada deskrip. Mungkin ini yg jadi ciri khas Aesoph. Walo saya akhirnya skim bagian2 yg bukan kejadian waktu R1 orz

    Aiyaa Maida kebagian Aesoph, dan demen banget gimana pengkarakterannya jadi lebih gloomy.

    Eh tunggu, jadi generator yang ditikam oleh Apis generator milik siapa?

    Maida?

    AAAAAAAAAAAAAAAAA [teriak]

    Sungguh, Endingnya bener-beer bagus ais. Di bagian Apis, saya ikut tanda tanya. Saya kira itu punya Nobuhisa, tapi ternyata orz

    Nilai plus karena Maida daat momen terindah sepanjang Battle of Realm. Saya jadi malu--sangat malu karena saya salah menyebut nama Eophi jadi Aesop orz (saya sudah edit di blog saya, tpi mau gimanapun nasi sudah menjadi bubur)

    nilai
    10/10

    Maida York

    ReplyDelete
  4. Entri ini panjangnya keterlaluan

    Saya masih belum nangkep importansinya manjangin beberapa scene. Di awal, saya ga keberatan cerita soal aftermath tim eaea. Tapi begitu di lounge ketemu semua karakter kok kayak berusaha ngejejelin semua lauk di piring di meja di rumah makan padang ya. Menurut saya pribadi kalo niatnya ngeflesh out karakter tim D sama bikin hubungan mereka kejalin sebelum pertandingan, sebenernya bisa dibuat lebih ringkas. Tapi lagi, ini mungkin pendapat saya aja yang terlanjur jadi ga sabaran bacanya

    Pun begitu saya salut karena begitu masuk ke stage Verdana, pembagian partnya jadi jelas, kestruktur, dan tiap karakter dapet jatah yang lumayan buat fokus masing". Saya kira harusnya kalo begini bisa aja ga perlu pake pendahuluan sebelumnya, tapi kebebasan penulis sih. Cuma karakter yang terlibat jadi banyak banget ya, karena Eophi jadi kayak bawa 4 oc lain sendiri. Sama kayak prelim, sepanjang setengah durasi battle juga karakter Eophi jadi berasa tipis banget karena dia ga ngapa"in. Tambah lagi plot di sini jadi bukan battle royale in a sense karena selain ada pihak di luar akhirannya juga malah cuma satu orang jadi target. Modifikasi peraturan masih oke, tapi kalo begini saya jadi ngerasa ini bukan battle dengan peraturan yang sama dengan yang saya kira. Kenapa mesti nunda pertarungan? Kenapa benda" magis Eophi malah disuruh lindungin sesama peserta? Hal" begitu malah miss buat nalar saya

    Poin terkuat entri ini style storytellingnya, yang udah keliatan dari prelim kalo make kalimat" pendek layaknya ngedongeng.

    Entah kenapa baru pas bagian Eophi-Maida saya nyaman lagi baca runut entri ini tanpa tergoda ngeskim. Tapi pas Minerva muncul lagi, saya lagi" gagal paham sama plot entri ini. Mau gencatan senjata sampe kapan? Kenapa harus masukin unsur pihak luar? Kalo ada rangkuman plot poinnya saya beneran pengen baca deh, kayanya bisa ngebantu ngasih general idea biar saya nangkep maksudnya apa sih ini entri pas baca

    Saya bakal baca ulang entri ini, tapi saya udah dapet nilai berapa yang mau saya kasih. Entri ini mungkin kuat in a way, tapi juga agak asing buat saya, dan malah berkesan ga ramah karena terlalu banyaknya unsur eksternal yang ga bikin ini berasa BoR. Entri lain yang nyiggung backstory OC sendiri atau karakter panitia masih lumayan acceptable, tapi saya lost baca ini

    Saya ga bisa ngasih ini lebih dari 7. Poin apresiasinya buat bikin plot besar dan tulisan panjang yang bener" keliatan niatnya.

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  5. Salut sama niatnya penulis dlm menggarap round I ini. Tapi jujur, banyak scene yang saya skip. Karena pas diperhatikan pun, sebenernya gak penting-penting amat buat dimasukin. Gak ngaruh juga ke plotnya. Kaya kerusuhan para OC itu <-- tapi di bagian ini terobati karena ada Ahran di sana #hei

    Terus waktu deskripsiin sesuatu ... misalnya sebuah tempat atau benda atau apa pun, rasanya terlalu detail. Menurut saya gak perlu-perlu amat kok. Pembaca bisa membayangkan sendiri gimana suasana atau rupa hal tsb.

    Tapi jujur, panjangnya entri ini sama dengan novel one-shot pertama saya. Panjangnya keterlaluan. 15 k words aja saya udah kewalahan. Ini dijejelin yg lebih dari 20 k.

    Meski begitu, narasinya enak. Namun sekali lagi, bukan tipe yang saya suka. Karena satu kalimat pendek udah enter aja. Jadi scroll ke bawah pun makin lama, hehe XD

    Di awal-awal mereka pada kaya temenan, itu saya rasa agak janggal aja. Belum lagi banyaknya benda-benda punya Eophi dan obrolannya yang lama banget, Tim pas prelim pun dibahas lagi. Tapi syukur, panjangnya entri ini jga berarti pendalaman karakternya jadi berasa maksimal.

    Andai entri ini dipangkas jadi 15 k aja misalnya, saya bakalan antusias untuk ngikutin terus entry Eophi. Tapi kalo begini terus ya .... begitulah.

    Overall, saya titip 10 mengingat betapa niatnya penulis di entri ini. Tapi kalo ke depan panjangnya sekitaran ini lagi, atau mungkin lebih (jangan ya), blm tentu saya bisa kuat bacanya X'D

    OC: Ahran

    ReplyDelete
  6. Ehem.

    Ini tentang frontal. Yah. Lu tau? Kita musuh. Dan taktik berteman sebelum membunuh emang hebat banget.

    Tapiiii....

    Semua poin" yang mau gue bahas, ketinggalan di laptop. Makanya gue bakal bahas secara overall aja.

    Banyak kejadian yang dibikin penasaran, lalu dijelaskan hanya dalam satu kalimat. Tau, nggak, belum tentu semua orang bisa kayak gue--nemu jawaban nyempil di cerita-cerita itu.

    Kayak kak Sam di atas contohnya.

    Tapi berhubung gue janji buat liat semuanya dari kacamata awam, gue mau jelasin beberapa hal.

    -Cerita ini kayak engga punya kerangka. Semua fantasi dimasukkin ke sini, kayak makan nasi pake puluhan lauk, tapi masing" jenis lauknya cuma seiprit".
    -Peran para karakter di sini, mengingat itu 27k sih, udah MESTI lah ya digarap abis"an. Sayangnya, pengalihan fokus pada sesuatu yang enggak penting dan kemunculan banyak "nama" baru itu bikin gue mumet. Pengen banget siiih, nge skip, tapi ga adil kalo gue ga baca setitik komanya.

    Kelebihan dari cerita ini adalah narasi gula-gula. Tau maksudnya? Iya, narasi yang manis banget, enak diikutin, tapi ketika dijejelin kebanyakan, bikin diabetes.

    -Terus soal battle, masih aja ada bagian yang tersendat. Di Nobuhisa, contohnya. Itu banyak banget yang mesti gue ulang baca baru ngerti gimana kejadiannya.

    Terus berubah jadi badut teh skill baru? Ga inget ada di CS. ga inget juga dijelasin gimana cara dapetinnya.

    Yang terakhir. Yang paling ga logis ya 'naluri membunuh' itu kurang terasa di entri ini. Mungkin lo mau nge bait feel yha (?)

    Nah saatnya penilaian, maaf endag ada tambahan nilai buat sesuatu yg 'niat'.

    Nilai : 7/10

    -Eumenides/Puppet-

    Tyduck ada dendam di antara kita, karena baca ini entri jujur nyita waktu, jadi maaf banget, gue harus obyektif. <(")

    ReplyDelete
  7. makasih sebelumnya yang udah komen di sini atau di fp; kasih saran dan nilai. semua yang salah bakal saya coba perbaiki. dan maaf karena harus baca sepanjang ini ya. saya juga ikut baca ulang jadi saya tau orz

    ini mungkin poin-poin penting di r1 yang saya tulis di binder atau di word sebelum cerita utuh:

    - perpisahan buat tim prelim dan pemahaman canon eophi buat mereka yang gugur di bor; saran adhy buat semua senjata eophi; petunjuk tentang eophi yang bisa mengingat secara jelas kejadian di masa lalu (kalung bidriel)
    - adegan ribut di lantai satu penginapan sebenernya buat pengenalan minerva, dia manfaatin keributan sebagai pengalih perhatian. tadinya juga ga mau pake 48 peserta r1 tapi pas nulis kebablasan T_T
    - buat tim d, saya pake tema kehormatan dan ngambil beberapa unsur persahabatan. dimulai dari insiden di pesta, terus nobuhisa yang saranin tunda pertarungan di verdana, dan akhirnya mereka ketemu lagi di akhir setelah beberapa hal yang terjadi. sampai penutupan sendiri, sebenernya saya cuma tonjolin itu, bahkan setelah masing-masing dari peserta punya cara lain buat menang. buat ini, mungkin cara penyampaian saya yang masih kurang banget dan malah nekat
    - beberapa poin tambahan di sini: adanya penduduk di verdana, ini idenya mau lanjutin dari prelim. tadinya di canon eophi mau konsisten pake unsur begini (pribumi dan perang mereka sendiri). dan buat lengkapin itu, saya bikin karakter misterius kaya arthera, minerva, dan sebuah organisasi. rencananya nanti mau diimbangin sama canon panitia. tapi di r1 ini kebukti ga efektif, dan malah nutup inti cerita itu sendiri. mungkin nanti saya usahakan lebih diimbangi

    semoga poin-poin itu cukup bantu atau jawab pertanyaan. saya bakal coba hal lain yang lebih baik di r2 nanti

    2 skill poin eophi dari prelim ke r1 dijadiin kaya gini:

    gift [support-aktif]
    menggunakan kandungan memori tertentu yang berada di dalam kalung eksistensi bidriel, dan tingkat pertahanan bangsa myrd, eophi bisa mengubah dirinya
    untuk menggunakan kemampuan ini: semua senjata eophi harus berada dalam keadaan pasif, dan eophi tidak boleh menggunakan kemampuan aktif apa pun sebelumnya
    risiko menggunakan kemampuan ini tergantung pada perubahan apa yang eophi pilih

    jenis perubahan yang sudah ada:

    clown
    sosok badut eophi yang terbentuk dari hasil menggabungkan semua potensi kekuatan dari hel, ingatan tentang wujud bangsa de soliant, dan sihir myrd
    perubahan jenis ini akan mengubah: sifat pelindung eophi menjadi penyerang. elemen cahaya menjadi kegelapan. peningkatan kecepatan. gaya bertarung memanfaatkan mimikri (faceless)
    eophi hanya bertahan selama 10 menit dalam wujud ini
    risiko setelah menggunakan wujud ini: eophi seketika berada di dalam kondisi sekarat selama 10 menit, lalu koma
    butuh satu hari penuh untuk pemulihan
    tidak bisa disembuhkan oleh elixir atau kemampuan penyembuh apa pun

    supernova [ofensif-aktif]
    hel akan berubah menjadi meteor yang menyerang lawan

    ReplyDelete
  8. Ini ... akhirnya beres juga saya bacanya. Dan cuman nemu info penting tentang Eophi di bagian badutnya saja, di ujung-ujung cerita ._.

    Ini nama peralatan tidur Eophi (dan karakterisasi mereka) baru diciptakan di R1 ini, yak? Kayaknya pada prelim mereka cuman disebut dengan inisial em, el, eg, dsb, dan juga tak ada karakteristik menonjol di sifat.

    Komen soal entri:
    Ini plotnya sudah bagus. Tapi penggarapannya kepanjangan aja. Bisa dibuat lebih ringkas dan fokus. Lalu klimaks badutnya bisa dibuat lebih dramatis.

    Dan terakhir, paragraf 1 kalimatnya, kalau bukan narasi battle, jadinya malah bikin capek bacanya.

    Ponten enam
    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete