24.6.15

[ROUND 1 - TEAM G] WILDAN HARIZ - SURVIVING AS AWKWARD AS HUMANLY POSSIBLE

Wildan Hariz – Surviving As Awkward as Humanly Possible
Penulis: Wildan Hariz


[A/N: Main theme song of the fortress: Celeste – (S) {official free download}]


Sintas I
ELEGI BENTENG

Semuanya seakan membeku. Tidak ada satupun angin yang berani berembus di dalam benteng tak bernama ini. Konon, benteng berdinding batu - yang terasa dingin menusuk jika disentuh ini - adalah saksi bisu satu lagi perang besar dalam sejarah Alforea. Ya, perang yang menelurkan satu elegi sendu ciptaan seorang bard anonim. Elegi sendu yang mampu bertahan selama ratusan tahun; senantiasa terlantun pada aneka kesempatan dalam suasana duka.

Elegi itu berjudul Bellum Se Ipsum Alet.

Seberapa sendu-kah elegi itu?


Tak seorang pun yang mengharapkan nuansa sukacita di balik sejarah sebuah elegi. Melainkan - seperti pada elegi kebanyakan - dukacita. Dalam hal ini, dukacita atas gugurnya para pahlawan.

Pahlawan selalu membayar semuanya dengan darah.

Tidak terkecuali Sammeriil, sang Kesatria Kegelapan tersohor di Alforea. Ratusan tahun lalu, acapkali bunyi baju zirah dan sepatu boot-nya terdengar saat melintas lorong-lorong dalam benteng tak bernama ini.

Nama Sammeriil-lah yang membuat para kesatria sejawatnya membuka helm untuk menunjukkan rasa hormat. Nama Sammeriil-lah yang membuat para kadet dan pasukannya tertunduk takluk akan ketegasannya. Bahkan, nama Sammeriil-lah yang diakui masyarakat Alforea atas klaim harta karun McGuffin, harta legendaris tonggak dasar sejarah Alforea.

Bagaimanapun, setelah kematian berbisik di telinga sang kesatria. Sebuah nama hanyalah tinggal sebuah nama. Meski para orangtua sering bernasihat, "Jangan pernah lupakan sejarah," faktanya, sejarah sangat rentan terlupakan oleh banyak orang.

Seperti sekarang.

Mungkin hanya elegi dan benteng ini yang bisa menceritakan sejarah heroik Sammeriil. Tak lagi tercium amis tumpahan darah segar saat benteng ini mendapat serangan luar biasa besar di hari itu. Hari itulah kematian menagih jiwa Sammeriil dan para pasukan setianya.

Memang, harus diakui, tak ada yang gigih berusaha melarikan diri dari kematian seperti Sammeriil dan pasukannya. Namun apa daya. Serangan oleh pasukan Enkaeri pada benteng ini sangat matang secara taktis. Tak peduli apa langkah Sammeriil, pasukannya selalu mati langkah. Jebakan-jebakan dalam benteng tak mampu menghalau pasukan Enkaeri.

Pasukan Sammeriil dibabat habis. Lubang-lubang menganga sisa ledakan sihir berbekas pada benteng. Sammeriil tersudut ke dalam ruangannya sendiri, tempat biasa ia memberi komando di dalam benteng. Zirah magisnya tak mampu melindungi tubuhnya dari serangan bertubi-tubi. Habislah sudah. Ia menjadi yang terakhir dijemput oleh kematian.

Benteng ini rusak. Benteng ini luluh lantak. Benteng ini berhasil ditaklukan.

Pasukan Enkaeri kembali beranjak meninggalkan benteng beberapa hari setelahnya. Tentu saja setelah merayakan kemenangan. Seperti biasa. Pesta, minuman dan wanita. Semuanya dilakukan setelah menyingkirkan mayat-mayat. Tubuh-tubuh tak bernyawa itu dibuang ke dalam parit depan benteng. Terkunci oleh sihir. Terkubur dalam dasar parit.

Setelah puas, tak ada lagi alasan bagi mereka untuk tinggal di sini.

Hampir tak ada lagi yang tersisa di benteng ini.

Hampir.


[Loading data ….]


Sintas II
CAHAYA OBOR


Di sinilah Wildan Hariz. Dalam benteng gelap tak bernama. Dalam benteng sunyi yang tak terdengar barang sedikit pun bunyi tanda-tanda kehidupan. Bahkan kobaran api pada obor-obor yang menerangi lorong tempatnya berpijak tak tampak hidup. Wildan tak bisa merasakan apa-apa dari liukan api obor di kiri dan kanan dinding yang mengiringi langkahnya. Seakan obor-obor itu tak ada bedanya dengan dinding dingin benteng.

Pun Wildan membawa obor. Taka da dua sabit kembar di tangannya. Keduanya dia ikatkan ke punggung. Setidaknya, obor pemberian seorang pelayan bernama Anastasia itu cukup membantu menerangi ruangan-ruangan sebelum lorong yang ia lewati saat ini. Wildan hampir tidak percaya bahwa penerangan ruangan-ruangan benteng ini hanya bergantung pada lilin dan obor. Ini bahkan lebih buruk dari keadaan Desa Valtessa yang sekarang sudah sejahtera dengan penerangan listrik.

Ia lantas membatin, Apa-apaan benteng ini. Kali ini tempatnya seram sekali.

Sesuatu membuat Wildan bergidik. Padahal tak terasa embusan angin. Sensasi dingin yang mendera kulit Wildan bukan dingin pada umumnya. Itu merupakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang jahat. Api obor sama sekali tak terasa cukup menghangatkan Wildan di lorong itu.

Wildan mengangkat tangannya, lantas berbisik pada batu hijau yang tersemat di punggung tangannya, "Mao, Alva. Keluarlah."

Dua hewan yang selalu setia mendampingi Wildan kini berwujud di depannya. Harimau putih bernama Mao mendesis dengan mata yang bersinar dalam gelap. Sementara elang bernama Alva terlihat agak terkejut sebelum hinggap di lengan Wildan. Angin dari kepakan sayapnya berhasil membuat api obor bergoyang-goyang.

"Begini lebih baik," gumamnya pelan. "Ayo."

Satu lagi langkah diambil kaki telanjang Wildan untuk menyusuri lorong. Kali ini langkahnya sedikit lebih mantap. Untung saja ada Mao dan Alva. Setidaknya sekarang ia tak sendirian.

"…."

Kegelapan di hadapan Wildan sangat pekat. Ia bisa saja menggunakan cahaya gelombang kejutnya untuk melihat lebih baik. Tapi ia tak ingin buang tenaga. Toh masih ada obor. Semakin jauh Wildan melangkah, kepekatan itu berangsur pudar. Digantikan oleh warna oranye tanda tersedianya sebuah ruangan di depan sana. Wildan lantas mengendus. Bau amis darah menyeruak dari dalam.

Andai saja Tim Lightbringer juga di sini menemani Wildan seperti pada babak penyisihan.

Semua ini gara-gara RNG-sama.


[Loading data ….]


Kembali pada saat setelah Tim Lightbringer berhasil menyegel Tamon Rah. Meja-meja tertata rapi dalam ruangan luas berupa kedai. Dinding dan lantai kayunya kadang berdecit, menambah nuansa alami ruangan itu. Suasana di sana sangat ramai dengan puluhan orang. Mereka semua adalah peserta yang lolos babak penyisihan. Tim Lightbringer ada di antaranya, duduk-duduk mengitari salah satu meja.

"Tuan Wildan, Tuan Radith dan Tuan Bun, Anda bertiga diberi jamuan khusus."

Kathrine menghampiri meja dengan sebuah benda yang tertutup kain di tangannya. Padahal, meja dengan permukaan luas itu sudah hampir penuh dengan berbagai hidangan yang menggugah selera.

"Ini kendi sihir," lanjut sang pelayan sambil menyingkap kain. "Di dalamnya terdapat beras beraliran listrik. Sangat mujarab untuk memulihkan tenaga listrik."

"Wooooh!"

Sorot mata Wildan dan Bun terlihat antusias. Namun tidak dengan Radith, ia tidak terkejut melihat benda yang dibawa Kathrine. Bentuk benda itu berupa tabung bertutup dengan tombol dan lampu pada badannya.

"Kendi sihir? Itu kan hanya penanak nasi biasa," komentar Radith.

Kathrine kemudian mengeluarkan satu benda lagi. Bentuknya seperti termometer. Ia memasukannya ke dalam benda yang disebutnya kendi sihir,  layaknya seorang ibu hendak mengukur suhu demam anaknya melalui mulut.

Ajaib. Benda itu memancarkan cahaya saat dimasukkan ke dalamnya.

"Ini adalah Nestpe, pengukur daya listrik," jelas Kathrine. "Seperti yang Anda lihat, karena beras dalam kendi sihir ini beraliram listrik, sangat dianjurkan hanya pengguna elemen listrik saja yang memakannya."

Kedua alis Radith terangkat. Ternyata perkataan Kathrine bukan isapan jempol. Beras itu memang memancarkan listrik. Padahal perasaan Radith biasanya cukup sensitif dengan pancaran listrik di sekitar. Bagaimanapun, Ia masih ragu apakah beras itu berbahaya atau tidak untuk dimasukkan ke mulutnya.

"Kat, boleh aku minta satu?" tanya Wildan. Matanya berbinar.

"Sayangnya tidak, Tuan. Ini adalah salah satu pusaka kastel Despera."

"Bagaimana denganku?" tanya gadis berambut merah yang sama-sama duduk di meja itu pada Kathrine. Di antara anggota Tim Lightbringer, hanya Liona yang tidak memiliki kemampuan listrik. "Jangan bilang kalau hanya mereka yang diberi jamuan khusus."

"Ah ya. Mao dan Alva juga butuh makan." Wildan memeriksa keadaan dua hewan itu di dalam pet container.

"Yah, asal jangan beras plastik, bagiku tak masalah," lanjut Liona.

"Anda dapat mengandalkan saya, Tuan, Nona."

Persegi panjang hologram muncul di atas telapak tangan Kathrine. Ia melihat-lihat isinya sejenak, "Mao dan Alva akan disediakan makanan langsung di dalam pet container. Sedangkan untuk Nona Liona—"

Tak lama kemudian Kathrine menekan sebuah tulisan di layar hologram. Dari layar itu keluar kendi bermotif bunga-bunga emas, lantas ditaruhnya kendi itu di hadapan Liona.

"Liwona dapat kendi juwga, bun~" seru Bun. Lagi-lagi ia bicara sambil makan. "Apwa isinya, bwun~?"

"Jangan bicara sambil makan, Bun!" perintah Liona. "Eh ya, apa isinya, Kat?"

"Beras cahaya."

"Beras juga?" Liona memutar bola matanya. Ia tampak sedikit kecewa. "Coba buka."

Tanpa diperintah dua kali, Kathrine membuka tutup kendi bermotif bunga itu. Cahaya putih menyilaukan keluar dari dalamnya. Liona sampai harus meminjam kaca mata hitam dari seorang gadis berpakaian kuning dan berambut cokelat sebahu yang duduk di dekatnya.

Wildan, Radith dan Bun tampak terkejut melihat pemandangan itu. Mereka refleks menggunakan tangan untuk melindungi mata mereka.

"Si-Silau sekali! Kalau ini cahayaku sendiri sih aku tak perlu repot untuk pinjam ini," ujar Liona. Ia mengembalikan kaca mata hitam pada si gadis berpakaian kuning. "Ini, terima kasih."

Cahaya dari dalam kendi bermotif bunga mulai meredup. Liona bisa melihat beras putih bersih dengan aroma yang menggoda penciumannya.

"Hei. Tidak buruk juga. Terima kasih, Kat," komentar Liona. "Dari mana sih kau dapat beras seperti ini?"

"Beras cahaya ini berasal dari Agarex, Nona." jawab Kathrine sambil tersenyum.

Wajah Liona menunjukkan ekspresi bahagia saat mendengarnya.

"I-Ini benar dari Agarex? Wah~ mari makaan~"


[Loading data ….]


Sintas III
WANITA PERKASA


Di ruangan tempat Wildan berada sekarang, kesunyian tak lagi menjadi hal yang perlu dikhawatirkan. Bunyi sesuatu yang jatuh, bunyi tembakan dan ledakan,  bahkan bunyi kobaran api samar-samar terdengar dalam ruangan luas memanjang.

Bagaimanapun, ruangan tetap saja redup. Wildan belum bisa melihat apa yang terjadi. Ia yakin pasti ada semacam pertarungan di sini. Baru saja ia bermaksud meletakkan obor yang ia bawa pada penyangga di dinding, sebuah tembakan melesat ke arahnya.

"Agh … apa …."

Darah bercucuran dari bagian kiri perutnya. Obornya jatuh, namun tangan kirinya masih cukup kuat untuk elangnya bertengger. Mata Wildan terbelalak. Tembakan itu berhasil menciptakan sebuah lubang berukuran sedang pada dinding di belakang Wildan. Beruntung, peluru tembakan hanya menyerempet perutnya. Siapapun yang ada di sana sudah mengetahui keberadaan Wildan.

Cepat-cepat Wildan menutup mata Mao. Harimau putih memang cukup sabar saat menyerang dalam gelap. Yang Wildan takutkan adalah pancaran mata harimau yang bersinar dalam gelap dapat membantu musuh menemukan posisinya dengan mudah, seperti saat ia memegang obor tadi. Wildan merasa sedang berhadapan dengan seorang pemburu.

"Siktir!" Ada suara yang terdengar setelah bunyi benda jatuh. Suara laki-laki. Nadanya seperti mengumpat. Wildan tak yakin apa artinya. Jika dipikir-pikir, sebelumnya belum pernah ia menemui kesulitan dalam memahami bahasa sejak dateng ke Alforea.

Bunyi ledakan dan benturan keras mengiringi setelahnya. Kini Wildan dapat melihat seorang pria tersungkur beberapa meter di hadapannya. Rambutnya hitam sebahu. Pakaiannya yang berbau asap merah lebih cocok dipakai para pengelana padang pasir.

"Masih berniat melanjutkan pertarungan?"

Seorang Wanita tinggi berjalan tegap ke arah sang pria. Gaya rambutnya mirip sang pria, hanya wajahnya berwarna putih tidak jelas. Pakaiannya seperti orang yang akan melakukan senam: minim nan ketat, membuat kaki dan tangan atletisnya siap dipamerkan ke mana-mana.

"…."

Tak ada jawaban dari sang pria yang tergolek. Mungkin ledakan tadi membuatnya pingsan. Sang wanita lantas melirik Wildan dari sudut mata. Apakah wanita ini yang menembakkan peluru ke arah Wildan tadi?

"Oh. Semakin banyak tamu yang datang. Ramai sekali. Mau nantang juga, ya?" tanya sang wanita.

"Alva, serang!"

Sontak Wildan meminta Alva untuk menyerang. Cakar elang menerjang wajah wanita itu. Hasilnya tidak terlalu fatal; sang wanita cukup gesit untuk berlindung dengan menyilangkan tangan agar wajahnya tak tergores cakar Alva. Darah mengalir sampai sikutnya.

Perlahan wanita itu menurunkan tangannya, menampilkan topeng putih dihiasi garis pendek di bawah mata.

Kejutan.

Baru satu kali ia mengambil napas sebelum Mao merangsek ke arahnya. Biasanya wanita bertopeng itu dapat menahan laju mobil sekalipun, dengan tubuh jangkung nan atletisnya. Tapi tidak kali ini. Ia lengah. Wanita itu 'bergulat' di lantai bersama sang harimau putih.

Dilihat dari cara mereka berguling-guling di lantai, keadaan wanita itu lebih menguntungkan. Ia lebih kuat. Bisa bertarung lebih dari imbang dengan seekor harimau menandakan ia bukan orang sembarangan.

Lady Steele, begitulah julukan wanita perkasa ini. Entah sudah berapa hari ia meninggalkan IFWL, kejuaraan gulat bergengsi di tempat asalnya. Yang pasti, ketahanan fisiknya meningkat drastis sejak datang ke Alforea.

"Gawat …."

Melihat Mao yang kewalahan oleh Lady Steele, dua sabit diambil Wildan dari balik punggungnya. Ia diajarkan untuk tidak ragu dalam menyerang meski memang selama ini Wildan lebih banyak bertarung dengan dark fiends dan makhluk-makhluk yang bukan manusia. Ia percaya ada alasan mengapa muncul keraguan saat melukai makhluk tertentu, sekalipun bukan manusia.

Sekarang bukan saatnya untuk ragu.

Bunyi dentingan bergema saat Wildan gagal mendaratkan sabitnya pada kulit Lady Steele. Wanita itu berguling. Ujung sabit Wildan membentur lantai. Ini lebih seperti pertaruhan. Wildan tak mau melukai Mao. Berkali-kali ujung sabitnya mendarat pada lantai. Tak mengenai tubuhnys pun, setidaknya Wildan sukses membuat wanita itu menjauh dari Mao.

Lady Steele bangkit. Tubuhnya sedikit membungkuk. Kuda-kuda gulatnya seolah menantang, "Majulah."

Tantangan diterima. Wildan masih belum puas melihat Lady Steele berhasil menghindari beberapa serangannya. Ya. Sebagian serangan tadi menorehkan sayatan-sayatan kecil pada lengan kiri Lady Steele. Sejumlah kecil helai rambut tipisnya pun terpotong.

"Kita lihat apa kau bisa juga menghindari yang ini," seringai Wildan.

Ia menyilangkan dua sabitnya di depan. Daya listrik menegang di kakinya. Di arah sebaliknya Lady Steele sedikit menekuk lutut, menyiapkan diri. Hentakan listrik di kaki Wildan membuatnya lekas menabrak Lady Steele.

"Siapa bilang aku akan menghindar."

Tepi tumpul sabit yang disiapkan Wildan untuk menabrak Lady Steele memang tidak dimaksudkan untuk menebas, namun seharusnya tabrakan itu membuat sang wanita perkasa terpelanting. Tolakan kaki itu sudah dilakukan Wildan sekuat tenaga.

Kenyataannya tak semudah itu. Lady Steele memang bukan sekedar wanita.

Seolah sayatan di lengannya tak terasa sakit, Lady Steele mencengkeram tepi tumpul kedua sabit. Pasti tindakan ini akan memberikan bekas garis di telapak tangannya. Bagaimanapun, Ia tak acuh dengan itu.

Wajah Wildan berangsur dapat terlihat oleh Lady Steele dengan jelas, lengkap dengan warna anak mata dan rambutnya yang cokelat kekuningan. Sorot mata terkejut tak bisa Wildan tutupi. Lady Steele dapat melihat jelas semuanya dari balik topeng. Namun tidak bagi Wildan, ia hanya bisa menerka Lady Steele tersenyum puas di balik topengnya karena sukses menahan serangannya.

Tangan Lady Steele mengendur. Sebuah tendangan telak berhasil mendarat di perut Wildan. Luka di perut kirinya kembali terbuka. Kekuatan perlahan hilang dari tekanan sabitnya. Lady Steele menyingkirkan dua sabit di hadapannya yang masih menempel pada tangan Wildan. Ia lantas mencekik leher Wildan dan mengangkatnya ke atas.

Lady Steele tak ingin mengambil resiko. Tangan Wildan masih bebas. Bisa saja Wildan menebas perutnya. Maka dari itu, ia langsung membanting tubuh Wildan ke tanah. Pemuda itu terlihat meringis kesakitan. Lady Steele pun tak ingin buang waktu. Melihat lawannya tumbang, ia  bermaksud menyudahi pertarungan dengan serangan berikutnya.

Tapi, ada sesuatu yang terlupakan oleh Lady Steele, yaitu keberadaan dua hewan yang sejak tadi tak terdengar kabarnya.

Tersisa Mao dan Alva yang menyerang Lady Steele. Alva lagi-lagi mengganggu kepala Lady Steele. Elang itu terbang ke sana ke mari. Ia menggunakan paruh dan cakarnya untuk menyerempet Lady Steele.

Aku tak punya waktu untuk ini, pikir wanita itu.

Lain lagi dengan Mao, ia lebih memilih satu lagi serangan kejutan dengan menerkam Lady Steele dari belakang. Tubuh Lady Steele terdorong jatuh ke depan.  Dagunya berdarah karena tabrakan dengan lantai.

"Apa ini? Kukira kau dan peliharaan-peliharaanmu masih hijau," komentar Lady Steele. Tubuhnya masih terbaring saat menoleh pada Wildan.

"Kh … hk … uhuk, uhuk …. Jangan remehkan Mao dan Alva."

Wildan bangkit. Perutnya ia pegangi, sakit bukan main. Mao dan Alva mendekatinya.

Hal yang sama dilakukan oleh seorang laki-laki berambut hitam sebahu yang tersungkur beberapa saat lalu. Wajahnya tersamar oleh rambut.

Keheranan Wildan melihatnya, "Kau siapa, Paman?"

"P-Paman!? Tidak sopan. Kau dulu yang perkenalkan dirimu."

"Aku Wildan Hariz."

"Namaku Aharon. Panggil saja Ahran." Pria bernama Ahran menatap Wildan tajam. Ia bukan lagi pria yang mudah percaya dengan orang lain seperti beberapa tahun lalu.

Lady Steele pun bangkit. Ia memegangi dagunya. Dua laki-laki di hadapannya bersiaga.

"Dua lawan satu, eh? Jantan sekali."

"Cih! Jangan salah sangka," sanggah Ahran. "Aku tak berniat bekerjasama dengan orang ini. Urusan satu-lawan-satu kita belum selesai."

"Heh!? Yah, terserah. Jangan salahkan aku kalau kau kalah lagi, Paman."

"Jangan panggil aku paman!"

Wildan mendengus, "Lagipula, kalian ini kenapa, sih? Apa yang terjadi sampai kalian bertarung?" Wajahnya benar-benar polos saat menanyakan hal itu.
"…."

"…."

Tak ada jawaban dari keduanya. Wildan lantas melanjutkan, "Kalau aku sih jelas, kau yang menyerangku duluan dengan tembakan tadi!" Telunjuknya ia arahkan pada Lady Steele.

"Ha? Aku tidak punya tembakan," sanggah Lady Steele.

"Jangan pura-pura!" sahut Wildan tak percaya. Penampilan Lady Steele memang sederhana. Ia bertangan kosong. Mana mungkin ia menyembunyikan senjata dalam pakaian ketatnya. Tonjolan janggal pasti akan ketahuan. Tapi tetap saja … "Kau pasti bisa mengeluarkan tembakan dari sihir atau semacam tenaga dalam, kan? Seperti Kame—"

"Tuut." Mulut Ahran bersuara, menirukan bunyi sensor ucapan yang biasa digunakan pada video. "Kalau kau melanjutkan ucapanmu tadi tulisan ini bisa dapat pelanggaran hak cipta, lho. Penggunaan istilah tanpa izin."

"Apaan sih? Cuma sedikit ini, kan."

"Yang benar saja. Sudah terlalu banyak lelucon lisensi sejak ronde satu dimulai, tahu! Dasar Tarz—"

"Berhenti di sana! Yang mau kau katakan itu juga terhitung pelanggaran, tahu!"

"Karya kuno begitu sudah jadi milik masyarakat. Nggak bakal kena pelanggaran hak cipta, Mas!"

"Kalian ini bicara apa?" Lady Steele hanya bisa melongo dalam topengnya saat melihat perilaku janggal dua laki-laki itu.

Bunyi tembakan terdengar lagi. Lebih keras dari sebelumnya. Darah pun kembali membasahi lantai benteng. Lady Steele ambruk. Tembakan itu pasti menembus tubuhnya. Entah di bagian apa. Bunyi lain mengikuti. Langit-langit ruangan ini runtuh. Tulang-tulang emas raksasa berjatuhan menimpa ruangan, mengenai Lady Steele, Wildan dan Ahran yang tak sempat berkutik.

Dua pasang cahaya hijau sekelebat muncul dan menghilang dalam kegelapan.

Bagaimanapun, di antara ketiga orang yang tertimpa reruntuhan di sana, Wildan-lah satu-satunya yang menyadari penampakan cahaya tersebut. Pandangannya sekarang terlanjur kabur di tengah remangnya pencahayaan ruangan. Reruntuhan batu akhirnya menutup pandangan.

Kesadarannya terlanjur pudar sebelum sempat memberitahu siapa-siapa.


 [Loading data ….]


Sintas IV
YANG MULIA PENCETUS ANGKA ACAK


"—saling bunuh hingga hanya tersisa satu orang yang tersisa …." Sesosok gadis berukuran mini yang tak bisa diam. Kaki dan pinggangnya entah mengapa bergoyang-goyang. Demikian pula kucing di sampingnya. Goyangan mereka seirama, seakan mereka adalah boneka yang sudah dibeli dalam satu paket tak terpisahkan. Ucapannya tadi ditujukan bagi para peserta Battle of Realms yang berkumpul di kedai.

Dialah yang disebut RNG-sama, panitia pengganti yang bertanggungjawab atas jalannya ronde pertama turnamen sementara Tamon Ruud dan Hewanurma absen dari hadapan peserta. Kata-katanya mengundang kontroversi di antara para peserta. Ada yang bertindak masa bodoh, kritis, maupun malah bersemangat mendengar ucapan RNG-sama.

Anastasia, pelayan yang mendampingi RNG-sama lekas memberikan klarifikasi. Yang dikatakan RNG-sama tak sepenuhnya benar. Layar-layar yang menampilkan arena dan kelompok untuk ronde pertama lebih menarik perhatian para peserta. Kelompok yang dimaksud bukanlah tim kerjasama aliansi seperti di babak penyisihan. Ini adalah kelompok peserta yang akan diadu untuk saling bunuh.

"Haah … padahal aku sudah bersemangat bersama tim ini," respon Wildan saat melihat senarai nama-nama dalam kelompok pada layar. "Kalian ditempatkan dimana? Aku di Sammeriil's Fortress."

"Managua Gem's Cave, bun~ Padahal baru saja kita makan, tapi besok harus jalan-jalan lagi ya, bun~"

"Hei Bun. Ini bukan sekedar jalan-jalan, kan …." Liona memperingatkan. "Kamu lupa sama Tamon Rah? Kalau ada yang begituan lagi gimana?"

"Sejujurnya aku juga khawatir. Apa kau akan baik-baik saja, Bun?" ucapan Radith senada dengan Liona. "Arena-ku di Los Soleil. Bagaimama denganmu, Liona?"

"Tidak, bun~ Bun kan punya sepupu-sepupu yang menemani Bun, bun~"

"Aku di Dodonge Deep Forest …. Kalian enak, ya. Semuanya ada yang menemani."

Benar juga. Wildan punya Mao dan Alva. Bun punya sepupu-sepupunya. Radith punya tiga wayang golek yang setia. Sementara Liona—tidak ada yang menemaninya. Entah ini bagus atau buruk, Liona tak yakin. Masing-masing anggota tim Lightbringer berada pada kelompok yang berbeda. Setidaknya mereka tidak harus bertarung satu sama lain di tempat yang sama.

Wildan tersenyum, "Ayolah, Liona. Aku yakin kau bisa menemukan teman dimanapun kau berada." Senyumnya optimis sekali. Yang lain pun jadi ikut merasa optimis.

Liona ikut tersenyum kemudia tertawa kecil, "Yah, semoga saja. Hehehe. Kita sama-sama punya tujuan sendiri sejak awal, kan."

"Benar. Dan kita pasti berhadapan satu sama lain cepat atau lambat," sambung Radith.

Bun menyemangati, "Semangat Liona, bun~ Semangat semuanya, bun~"

"Ya! Saling bertemu untuk bertarung nanti, jangan sungkan ya." Lagi-lagi Wildan tersenyum.

"Oke!" seru yang lain hamper serempak.

Penjelasan lebih lanjut akan dikemukakan oleh Anastasia esok harinya. Para peserta dipersilakan beristirahat malam itu. Terdapat banyak sekali kabin yang bisa mereka gunakan untuk tidur di kedai. Para pelayan mengantar para peserta ke kabin masing-masing.

Singkat cerita, esok pun tiba. Wildan terbangun oleh sebuah tarikan selimut. Pelakunya adalah Alva. Di samping Wildan, Mao mendekatkan tubuhnya. Bulu lembutnya hampir membuat Wildan malas beranjak dari tempat tidur.

"Selamat pagi, Mao, Alva."

"Selamat siang, Tuan Wildan."

Wildan terperanjat. Ia mendapati Kathrine sudah berada dekat tempat tidurnya.

"K-Kau … sejak kapan kau ada di situ!?"

"Sejak pagi … maksud saya, sejak tadi."

"….Ada perlu apa? Eh? Ini sudah siang, ya? Ahahaha."

"Saya ke sini untuk memberitahu Anda bahwa keberangkatan menuju Sammeriil's Fortress akan dilakukan nanti malam. Anastasia yang akan memandu Anda," jelas Kathrine.

"Itu saja?" Wildan menguap. "Bagiku tidak masalah."

"… kalau begiu saya permisi dulu."

"Eh, Kat, ini berarti aku bebas sampai malam, kan?"

"Tentu, Tuan."

"Hm, bagus."


[Loading data ….]


Akhirnya waktu berganti menjadi malam. Anastasia berdiri tegap di hadapan Wildan. Demikian pula RNG-sama dan kucingnya.

"Jadi kau yang bernama Wildan? Kau lucu juga," komentar RNG-sama.

"Cerewet. Yang lucu itu kau, tahu. Dimana Tamon Ruu?"

"Sudah kubilang mereka ada perlu. Aku yang akan meladenimu."

RNG-sama melambaikan tangan ke udara. Angka-angka satu dan nol yang keluar dari tangannya melingkar. Ia membuka sebuah portal dari angka-angka tersebut. Ini adalah salah satu kekuatan khusus RNG-sama. Kekuatannya berpusat pada manipulasi angka. Dialah yang mengacak angka yang digunakan untuk menentukan kelompok dan arena ronde pertama Battle of Realms ini.

Wildan kesulitan melihat apa yang ada di dalam portal. Hari sudah malam. Yang ada di dalam sana hanya warna hitam. Selebihnya ia hanya dapat melihat bingkai portal yang berwarna biru.

"Apa ini? Hanya ada warna hitam."

"Tentu saja. Di sana juga kan malam hari," sahut RNG-sama.

"… lalu hanya aku yang pergi ke sana?"

"Tentu saja tidak, bodoh. Yang lain juga pergi ke sana dengan cara yang sama. Kalian akan ditempatkan di berbagai titik pada benteng." Jawaban RNG-sama membuat Wildan sedikit kesal. "Ah ya. Anastasia, jangan lupa beritahu dia tentang obor, bonfire, dan masalah nyawa. Kuserahkan dia padamu. Pai pai~"

Detik berikutnya Wildan tak lagi dapat melihat RNG-sama dan kucingnya. Tubuh mereka hilang ditelan angka-angka. Saat Wildan berbalik fokus k arah portal, ia melihat Anastasia sudah membawa sebuah obor.

"Obor ini untuk Anda."

"Terima kasih."

"Sekarang akan saya jelaskan secara lebih terperinci," ujar Anastasia. "Benteng inimempunyai lorong berliku seperti labirin dan berbagai jebakan yang disiapkan untuk mencegah siapapun yang masuk untuk mencapai ruang utama tempat Sammeriil berada, namun karena telah lama ditinggalkan, benteng tak bernama ini sekarang hanyalah benteng tua terbengkalai yang hanya dihuni oleh hantu para prajurit yang mati dan makhluk-makhluk kegelapan."

"Tunggu. Siapa Sammeriil!? Lalu ada hantu dan … makhluk kegelapan? Maksudmu dark fiends?"

"Sammeriil adalah Kesatria Kegelapan Alforea. Soal dark fiends, saya tidak tahu. Tapi makhluk-makhluk kegelapan itu memang tinggal di sana."

"T-T-Tadi kau bilang ada hantu juga, kan … boleh aku pulang?"

"Tidak," jawab Anastasia singkat. "Dalam benteng ini terdapat banyak titik khusus yang di sebut 'BonFire' yang harus peserta nyalakan untuk menjadi tempat istirahat. Apabila peserta mati karena monster atau perangkap, peserta akan dihidupkan kembali di dekat bonfire yang telah dinyalakan."

"… jadi para peserta bisa hidup kembali? Baiklah, itu sedikit melegakan. Tapi tetap saja kedengaran seram."

"Dan ini yang terpenting," lanjut Anastasia, "bertahan hidup hingga sampai di ruangan Sammeriil ataupun membunuh lima peserta lain berarti kemenangan. Membuat mereka menyerah tidak dianggap menang."

"Oke. Oke." Wildan sudah siap dengan kedua sabitnya yang terikat di punggung. Dengan obor di tangan, ia pun melompat masuk de dalam portal. "Ayo pergi, Mao, Alva!"


[Loading data ….]


Sintas IV
STEEL HEART

Beberapa jam sebelumnya, Lady Steele disibukkan oleh makhluk-makhluk misterius dalam benteng yang mengganggunya. Sangat berbeda dengan para makhluk yang menghalangi jalannya pada saat babak penyisihan, makhluk di di benteng ini mempunyai aura yang lebih jahat. Wujudnya pun— lebih seram, mengerikan, menakutkan …. Pokoknya, bukan mengancam secara fisik, melainkan psikis. Mereka lebih cocok di sebut hantu atau arwah daripada sekedar monster.

Lady Steele tak peduli. Selama mereka masih bisa dihajar oleh pukulan, tendangan dan bantingannya. Apapun mereka tak jadi masalah.

Akan tetapi, tentu saja ada juga makhluk-makhluk yang tak mempan oleh serangan Lady Steele. Jika ia menemui yang seperti itu, Lady Steele tak punya pilihan lain selain menghindar sejauh mungkin. Sampai pada saat Lady Steele sedang berusaha menghindar, langkah kakinya menuntunnya ke sebuah ruangan luas.

"Ada bonfire setelah ruangan ini, F. Aku sudah menghitung interval munculnya bonfire. Kau harus bertahan."

"Hah … hah … tak kusangka setan rambut merah itu begitu kuat."

Ada dua orang di dalam ruangan. Yang satu seorang pria berambut hitam memakai rompi. Satunya lagi seorang gadis berambut merah memakai dress warna hijau, ia dibantu berjalan oleh si pria. Mata di balik topeng Lady Steele langsung mengkilat saat mendengar kata "bonfire" yang diucapkan si pria.

Ia memutuskan mengikuti mereka berdua. Langkah demi langkah Lady Steele mengikuti mereka. Namun baru beberapa menit, pria berambut hitam kelihatannya menyadari keberadaan Lady Steele.

"Siapa di sana!?"

Lengkungan aneh timbul di punggung F. Jika diperhatikan lebih dekat, itu adalah sebuah sayap. Bentuknya mirip sayap kelelawar. Ujung bawahnya mengkilap bagai pedang yang baru diasah.

Kemampuan F adalah merubah bentuk tubuhnya. Ia merubah tangannya menjadi cakar besar. Kuku-kukunya yang tajam ia arahkan pada Lady Steele.

"Uh. Beraninya kau menendang Paman Ahran!" Kepribadian F yang biasanya ceria pun kali ini mengungkapkan amarah.

"Menyerahlah. Pertarungan ini sudah jelas akhirnya," tandas Lady Steele.

"Maksudmu?" tanya F polos.

Ahran mendengus, "Heh, jangan seenaknya. Kalau belum bertarung sampai akhir, kita tidak akan tahu."

"Begitukah? Biar kubuktikan." Lady Steele menerjang Ahran. Tangan sang pengguna alkimia sedikit terangkat, bersiap menangkis serangan Lady Steele. Ahran mengira Lady Steele akan menyerangnya dengan semacam drop kick. Tapi ia salah. Lady Steele memang melompat dan meluruskan kakinya, namun kedua kakinya bukannya menendang, melainkan mengapit leher Ahran layaknya gunting manusia.

"Ukh—"

Sementara tangan Ahran mencengkeram kaki Lady Steele, sang wanita pegulat memfokuskan berat tubuhnya ke samping, memutari Ahran setengah lingkaran. Ini adalah teknik gulat yang sering digunakan oleh para pegulat yang mengandalkan kecepatan dan momentum. Gerakan Lady Steele terlihat sangat cantik dan mulus. Gelar Ratu IFWL memang pantas ia sandang.

"Uaarrrgh!"

Hal berikutnya yang Ahran tahu adalah dirinya telah terlempar menabrak dinding batu karena lemparan yang dilakukan Lady Steele. Lehernya terasa sangat pegal. Ia bahkan harus menahan sakit luar biasa hanya untuk mengangkat leher, agar dapat melihat lawan yang ada di hadapannya.

Ahran lantas mengumpat.

"Siktir!"

--






Burung hantu raksasa tak tinggal diam. Ia bereaksi saat Wildan berniat melewatinya. Sepertinya burung itu menyembumyikan sesuatu.

Wildan berpura-pura tak ingin tahu. Ia berbalik, seakan hendak beranjak pergi. Sang burung hantu meregangkan sayapnya. Saat itu juga, Wildan kembali berbalik ke arah sang burung hantu.

Seorang gadis berpakaian serba hitam terlihat dari balik sayap sang burung. Hanya pita rambut dan iris matanya yang berwarna merah.

"Sudahlah. Aku tahu ada orang di sana," tandas Wildan.

"…."

"Siapa kau? Kau bukan peserta, kan? Pergilah, di sini berbahaya, tahu."

Gadis berpenampilan serba hitam itu menunjukkan gelagat sedikit terkejut. Seakan, ia masih percaya bahwa seharusnya tak ada yang bisa menyadari keberadaannya. Ia menoleh pada burung hantu raksasa dengan tatapan yang mengharapkan perlindungan.

"… Fiero …"

"Fiero? Namaku Wildan. Aku mencari ruangan Sammeriil. Kau tahu dimana?"

Sang gadis bergeming.

"Heeei. Halooo! Aku tanya dimana ruangan Sammeriil!"

"…."

"Ah. Sepertinya taka da gunanya aku bicara."

Wildan kemudian menyalakan api pada tempat bernama Bonfire itu.



--
Wildan berbalik dan menaikan kedua tangannya. Ia melakukan peregangan.
"Yah. Yang manapun tak masalah bagiku. Dah!"

"Syukurlah. Sepertinya kau juga masih utuh," komentar Wildan saat melihat Nely. Ia tak sanggup menyahut. Gadis itu terlalu sibuk mengatur napasnya yang terengah. Ia tak yakin bisa melanjutkan pertarungan.

"Ini bisa dialiri listrik, kan?"

"Ya."

"Kupinjam sebentar, ya?"

"Ya."

"…."

Lagi-lagi Wildan harus berurusan dengan gadis yang bersikap dingin. Sebelumnya Aria, sekarang Nely. Berhubungan dengan gadis seperti ini mungkin tak akan berakhir baik. Yah, setidaknya yang ini cenderung lebih pasif, tak punya kata-kata menusuk seperti Aria.

Sedari tadi, gadis itu hanya berucap kata-kata singkat. Ekspresinya pun tak banyak berubah. Wildan merasa agak gemas terhadapnya. Tapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Lady Steele sudah merangsek ke arah mereka berdua.

--
Gauss rifle Nely disanggakan pada dinding. Ada perasaan aneh saat ia melihat pria berambut hitam. Ia merasa tertarik dengan rambut hitamnya. Penampilannya tak kalah aneh dari Wildan, dengan rompi dan kantong-kantong. Tunggu. Sejak kapan Nely memikirkan hal seperti ini? Seharusnya yang dipikirkannya saat ini adalah cara untuk mengungkap misteri turnamen. Tentunya dengan menghabisi target yang menghalanginya maju lebih jauh.


---


[Loading data ….]


"Sial sekali wanita bernama Neeshma Firaun itu. Namanya saja terdengar menyebalkan."

"Fraun, Paman Ahran. Fraun. Harus berapa kali kubilang," komentar gadis yang biasa dipanggil 'F' itu. Matanya terlihat bosan. Sesaat kemudian mulutnya berucap lagi dengan nada berbeda, "Hahaha. Paman Ahran payah dalam mengingat, ya!"

Kali ini nada bicara F terdengar ceria. Bahkan senyum tersungging di wajahnya. Begitulah ia. Gadis bernama lengkap Effeth Scyceid ini merupakan android yang mampu berubah bentuk tubuhnya. Ia berasal dari planet Alterra. Sesuatu di masa lalu membuatnya memiliki kepribadian ganda.

"Dan lagi, apa-apaan wajahnya yang hobi senyum-senyum itu!?"

"Hei. Dengarkan aku," ujar F dingin.

Omelan pria bernama Ahran itu berlanjut. Beberapa kali ia mengangkat tangannya ke udara untuk melampiaskan rasa tidak puasnya. F yang tak dihiraukan mengamati keadaan sekitar.

F dan Ahran kini berada di sebuah labirin.

"Hei F! F! Apa yang terjadi!?"

F tak sempat merespon. Lantai batu yang ia pijak terus meninggi, membawanya melewati langit-langit ke lantai atas benteng. Lubang di langit-langit tertutup. Ahran tertinggal di bawah.

---


[Loading data ….]


Semua baik-baik saja sejak tiga orang yang bertemu di salah satu titik bonfire memutuskan untuk menjelajah benteng bersama-sama. Pria berusia 30-an, gadis android berkepribadian ganda, dan gadis berambut biru yang terlihat seperti habis tercebur ke laut karena penampilannya yang selalu basah. Sejauh ini mereka dapat bekerjasama dengan baik dalam menghadapi makhluk-makhluk mengerikan yang menghalangi jalan mereka.

"F! Serang kepalanya!"

"Iya, iya. Aku tahu."

"Awas!"

"Ya! Begitu!"

"Jangan berdiri di situ, Neeshma."

"Ba-Baik!"

Si gadis android bernama Effeth Scyceid. Si pria bernama Ahran. Keduanya sudah bertemu lebih dulu karena sama-sama diserang oleh para makhluk mengerikan. Keduanya bisa selamat karena bekerjasama.

Gadis berambut biru-lah yang bernama Neeshma Fraun. Baru satu jam kira-kira F dan Ahran mengenalnya. Ia berjalan tanpa alas kaki. Nuansa spiritual terpancar dari penampilannya. Tubuh basah yang membuat kebanyakan orang – termasuk kedua 'teman' barunya – merasa keheranan bukanlah hal istimewa di tempat asalnya, tempat yang dihuni oleh sebuah suku bernama Maan.

"Ayo, Neeshma. Nanti kami tinggal loh," canda F. Ia penasaraan melihat gerak-gerik Neeshma yang terlalu asyik mengamati sekitar.

"Ahahaha. Maaf. Maaf." Neeshma hanya bisa tertawa sebelum menyusul kedua temannya di depan.

Sebagai seorang maan, terdapat tiga lingkaran tanda lahir di bawah mata kiri Neeshma. Suku maan yang kesemuanya bertubuh basah dapat mengendalikan air sesuka mereka. Air juga dapat mereka gunakan untuk saling menyembuhkan satu sama lain.

Tidak, tidak hanya menyembuhkan sesama maan, Neeshma juga dapat menyembuhkan makhluk lain. Hal ini telah terbukti dalam sebuah pertarungan melawan makhluk mengerikan, F dan Ahran bisa ia sembuhkan. Mereka tak harus repot menuju bonfire untuk memulihkan diri. Karena itulah Neeshma adalah dukungan yang bagus untuk misi pencarian ruangan Sammeriil.

Penjelajahan Ahran, F dan Neeshma berujung pada sebuah jalan buntu. Tidak, sebenarnya tidak sepenuhnya buntu. Ada semacam panggung menyerupai altar di hadapan mereka. Di atas panggung terdapat sebuah papan dan lubang tak terlalu dalam. Bentuknya persegi empat dikelilingi motif lingkaran sihir.

"Ck. Buntu," keluh Ahran.

"Sekarang bagaimana?" tanya F.

"Hei. Tunggu. Ada tulisan di papan ini." Ahran menunjuk papan berdebu yang ia lihat.

"Di sini tertulis, 'Labirin Setan'," ujar F. Ia melanjutkan membaca keterangan di bawahnya. "Labirin ini dijaga oleh dua setan. Setan pertama botak dan tinggi besar. Badannya kekar. Setan kedua sedikit lebih kecil dan kurus. Rambutnya merah panjang. Mereka yang tertangkap salah satu dari kedua setan ini akan mendapat siksaan yang teramat pedih atas kehendak Sammeriil."

"Begitukah?"

Sebuah seringai tersungging di wajah Neeshma.

"Aku mulai bosan mendengar nama Sammeriil," respon Ahran. "Ayo kita kembali. Pasti ada jalan lain."

"Demi Bakhara," ucap Neeshma sambil menutup mata. "Mungkin kita memang tidak seharusnya ada di tempat ini."

Dua gelombang air mendorong tubuh Ahran dan F. Keduanya terjerembab masuk ke dalam lubang berlingkaran sihir itu. Dengan ini mereka resmi menantang kedua setan yang ada di labirin. Cahaya merah mengekang mereka keluar.

"K-Kau … apa-apaan ini!?"

"Brengsek!"

Seringai Neeshma telah sirna tatkala Ahran dan F mampu berbalik untuk melihat ekspresinya. Sorot matanya datar. Yang bisa mereka dengar dari bibir mungil sang pengendali air adalah sebuah umpatan dingin.

"Menangis dan bergembiralah di sana, bangsat."

--

Dapat.

Ahran akhirnya dapat meraih leher Neeshma. Keduanya jatuh bertindihan.

Sudah 20 menit lebih ia membuntuti Neeshma dari jejak basah yang ia tinggalkan. Jalan yang Ahran lalui pun tidak mudah. Ia harus melewati jebakan-jebakan dalam benteng yang membuat pusing kepala. Ia telah melewati jebakan dinding gada, pisau bandul, bambu runcing, batu runcing, bahkan jembatan gantung.

Untung saja Ahran sangat pintar. Kalau tidak, ia pasti mati. Mendapatkan Neeshma pun ia sudah mengatur strategi penyergapan dengan kamuflase api obor sebelumnya, tentunya menggunakan sihir api yang ia kuasai.

Neeshma mengernyitkan alis, "Ma-Maafkan aku. Aku tidak menyangka akan membuat kalian kesulitan. Seorang pria bermata hitam … eh, maksudku berkacamata hitam memberitahuku kalau ini akan menghentikan pertikaian para peserta."

Ekspresi Neeshma yang dibuat-buat itu membuat Ahran mual. Kalau bukan untuk mengorek informasi, ia sudah mencekiknya sampai mati.

Ia menyerahkan semacam orb yang diberikan pria tersebut pada Ahran.

"Kau telah ditipu, Nona." Ahran menerima orb itu dengan kasar.

Jika ditekan, orb itu ternyata mampu menampilkan peta hologram berukuran sebesar papan tulis yang menunjukkan letak jebakan dalam benteng ini.

"Ditipu atau tidak, bagiku tak masalah." Nada bicara Neeshma berubah dingin. "Pertarungan ini tak ada artinya. Pulanglah kalian ke dunia masing-masing!"

Gelombang air muncul dari telapak tangan Neeshma. Sontak Ahran menghindar ke kiri. Gelombang lain datang mengincar kakinya, Ahran pun melompat. Belum selesai Ahran mendarat, gelombang lain melesat cepat menuju ke arahnya. Bagaimanapun, Ahran tak kalah cepat. Ia berhasil menghalau air itu dengan semburan api.

"Pulang? Itu bukan urusanmu."

"Manusia bodoh."

"Hei. Itu kan lagu—"

"DIAAM!"

"… itu kan iklan—"

Komentar Ahran terhenti tatkala ia mendapati kakinya sudah tergenang air menutup mata kaki. Ruangan sudah dibanjiri air. Sejak kapan ada air sebanyak ini di sini? pikirnya.

"Ha! Sudah lama aku menantikan ini, Pembawa Api. Setelah selesai denganmu akan kuhabisi gadis hijau yang hobi berbicara sendiri dan berganti nada bicara itu."

Neeshma bukanlah seorang maan biasa. Ia diangkat oleh sesamanya untuk menjadi Pendeta Ombak yang diberkati Dewi Bakhara. Itu adalah titel yang diberikan untuknya sebagai pemimpin kaum maan. Kekuatannya

"Heh, apimu membuatku muak."

"Takut kering?" tantang Ahran. Nada bicara dan napasnya sangat tenang. Ia sama sekali tak gentar melihat kemampuan air Neeshma yang mampu memadamkan api miliknya.

Tatapan Ahran mendelik.

--
Ada sesuatu bersuara berisik dari balik lorong. Sesuatu yang besar. Tulang belulang raksasa berwarna emas seakan baru terbangun dari tidurnya.

"I-I-Itu gajah!? Apa-apaan … gadingnya besar sekali!" seru Wildan.

"Lebih tepatnya itu adalah seekor mammoth," sahut Ahran.

Mereka berhasil menghindari gada-gada pada dinding. Satu lagi pintu besar berdiri di hadapan mereka.

"Hah … tidak buruk juga."

"Yah … selanjutnya, mari selesaikan urusan kita," sahut Wildan.

Pria itu tersenyum, "Semangat sekali kau. Baiklah. Ruangan di depan ini akan menjadi area pertarungan kita."

Ahran membuka pintu. Satu lagi ruangan luas memanjang hadir di hadapan mereka. Sepertinya memang ruangan-ruangan ini didesain sebagai arena pertarungan dalam benteng ini.

"Kau lagi," ujar Ahran dingin.

Di hadapan mereka, duduklah seorang wanita bergaun gaya Victoria warna merah. Tepat saat melihatnya, Ahran dan Wildan tahu bahwa ini tak akan mudah.

"Kau bisa memanggilku Lady Steele." Wanita itu merespon. Bahkan dalam balutan gaun indahnya pun, sang wanita perkasa masih saja memakai topeng.

Ahran dan Wildan menelisik penampilan Lady Steele. Tak ada luka atau cacat sedikitpun. Pasti Lady Steele telah menemukan bonfire dan memulihkan kebugaran tubuhnya. Tapi dari mana datangnya baju itu? Apakah dia tidak berniat bertarung?


Sintas X
(S)

Temaram lilin dan obor menerangi ruangan luas itu. Pintu sudah tertutup dengan sendirinya dari dalam. Wildan dan Nely berhasil memasuki ruangan walau dengan napas terengah.

Mereka mendapati seorang pria yang sedang duduk. Rambut hitamnya tersisir rapi. Ia bangkit saat melihat kedatangan Wildan dan Nely.

"Selamat datang," sambutnya dengan wajah tersamar bayangan.

Tanpa basa-basi Nely bertanya, "Kau. Siapa? Satpam?"

"Ha? Satpam itu apa?"

"Jadi, siapa?"

"Aku Sammeriil."

"Dia bukan Satpam, Nely. Dia Sammeriil … HAH!? SAMMERIIL!?"

Wildan bersiaga. Nely pun bersandar pada dinding pintu. Ia langsung membidik pria yang mengaku bernama Sammeriil itu.

Pakaian seragam kain sang pria berubah. Zirah magis berwarna ungu terpasang pada tubuhnya. Sebuah dentuman terdengar dari arah Nely, namun peluru gauss rifle-nya tak mampu menembus zirah itu, hanya terpantul lemah bagai kelereng mainan anak-anak.

Wildan pun tak mau kalah. Ia menerjang sang pria dengan dua sabitnya. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada satu pun tebasan yang mengenai Sammeriil.

Seorang wanita tiba-tiba muncul tak jauh dari Wildan dan Nely yang disibukkan oleh Sammeriil. Lengkungan leher pakaiannya berbentuk ular kobra. Ia hanya tertawa kecil di sana, layaknya seorang penonton teater menikmati pertunjukkan yang ada di depannya.

Ini gawat, Wildan dan Nely sama-sama membatin. Sammeriil saja sangat sulit diserang. Belum ada serangan yang mempan padanya sejak tadi. Ditambah wanita ini. Siapa yang tahu apa yang bisa wanita ini lakukan untuk memperburuk keadaan.

Keduanya terlihat sudah cukup lelah saat ini.

Ketika Wildan dan Nely mengambil jeda untuk menghentikan serangan, sang wanita berujar, "Ah Sammy. Main-mainmu kelihatan asyik sekali."

"Mereka yang memulai. Sungguh tidak sopan." Sammeriil membenarkan letak zirah penutup bagian kerahnya. "Dan berhenti memanggilku Sammy, Villyca. Aku tidak ingat pernah memberimu izin memanggil namaku seperti itu."

"Loh? Sebagai gantinya kan kau bisa memanggilku Villy," jawab wanita itu enteng. "Ayolah, Sammy~ Sudah sekian lama aku tak melihatmu senang dalam bertarung."

"Senang?" jawab Sammeriil dingin. Ekspresi wajahnya sama sekali jauh dari kata "senang". "Ini bahkan bukan pertarungan."

Wanita berambut kepang dua yang dipanggil Villyca itu melihat Wildan dengan tatapan geli dan berseringai aneh, menampilkan taring dalam mulutnya. Entah sesungguhnya itu taring vampir atau kobra. Yang jelas ukurannya terlihat lebih panjang dari taring Wildan.

Sammeriil menatap Wildan, "Hmph. Bocah. Terlalu cepat 500 tahun bagimu untuk bisa mengalahkan—"

"Heh, lagi-lagi kata-kata macam itu! Cukup Kanji saja yang bilang begitu saat melatihku dulu!" Dua sabit Wildan sudah siap kembali terhunus di kedua tangannya. "Ayo selesaikan ini, Sammy!"

"S-Sammy!? Beraninya kau …." Nada bicara sang Kesatria Kegelapan mulai meninggi. Jelas ia naik pitam mendengar si bocah seenaknya memanggil namanya.

Entah datang dari mana, ketegangan itu disela oleh kemunculan hologram-hologram dengan warna yang sudah tidak asing lagi: biru dan hitam. Tak mengherankan pula bagi Wildan saat melihat Kathrine keluar dari kumpulan hologram tersebut. Ia mulai terbiasa.

Namun ada sesuatu yang berbeda. Penampilan Kathrine kali ini lebih anggun dengan pakaian pelayan bergaya gothic lolita warna merah dan hitam. Rambut ikalnya dihiasi semacam tiara sederhana.

"Ka-Kathrine! Wow! Pakaianmu jadi keren begitu," komentar Wildan spontan.

Tidak ada reaksi yang berarti dari Nely. Pakaian seperti itu mungkin sudah tak asing baginya.

Seperti biasa, Kathrine tersenyum, "Selamat atas keberhasilan Anda sekalian, Tuan Wildan dan Nona Sanelia. Dengan ini Anda berdua telah sampai pada ruangan Tuan Sammeriil." Dua buah benda menyerupai terompet yang dipegang Kathrine meletup. Dua benda itu adalah party popper. Dari dalamnya keluar potongan-potongan benda menyerupai manik-manik dan kain warna warni.

Nely, Wildan, Sammeriil dan Villyca hanya bisa melongo melihat keluarnya benda warna-warni itu. Tidak—tentu saja Nely tidak benar-benar melongo. Ekspresinya tidak berubah banyak selain alis kanannya yang hanya terangkat tiga milimeter dari tempatnya semula.

Sekilas Kathrine menatap Sammeriil. Terdapat secercah cahaya hijau memancar dari retina Kathrine. Dalam sekejap kini ruangan itu seakan hanya diisi oleh Kathrine dan Sammeriil saja. Cahaya itu adalah sihir cahaya telepati yang disematkan Tamon Ruu pada Kathrine. Ini memungkinkan Kathrine dan Sammeriil berkomunikasi melalui pikiran tanpa terdengar orang lain.

["Maaf merepotkan Anda, Tuan Sammeriil."]

["Tak apa. Tentu Yang Mulia Tamon Ruu punya alasan yang kuat menjadikan benteng ini arena pertarungan turnamen. Bagaimana kabar beliau?"]

["Beliau baik-baik saja. Anda benar, beliau sedang memeriksa sesuatu. Beliau juga berpesan padaku untuk menanyakan pada Anda, sampai kapan Anda akan tinggal di sini? Apa arwah Anda tenang sekarang?"]

["… masih belum. Beberapa arwah pasukanku mungkin sudah tenang dalam pertarungan hari ini. Tapi aku, Villyca dan yang lainnya jelas belum bisa tenang."]

["Begitu. Semoga berhasil, Tuan."]

["Terima kasih. Si Tua Bangka bagaimana?"]

….

Komunikasi mereka terhenti. Suara berisik mengacaukan fokus mereka. Dari siapa lagi kalau bukan Wildan.

"Hei! Ayo, Sammy!"

"Tidak bisa, Tuan Wildan. Anda masih harus bertarung dengan Nona Sanelia."

"Hah!? Jadi aku masih harus bertarung dengan gadis ini?"

Kathrine mengangguk, "Hanya satu peserta yang akan menjadi pemengang ronde ini. Ialah yang akan mendapatkan kekuatan zirah magis Tuan Sammeriil dan maju ke ronde selanjutnya."

"Sayang sekali, bocah. Padahal pedangku sudah lama tak mencicipi darah manusia." Sammeriil memperlihatkan pedang hitamnya. Ukurannya fantastis. Panjangnya mungkin satu-setengah kali tubuh tinggi Sammeriil. Aura kegelapan terpancar darinya. Wildan sempat menelan ludah saat melihat pemandangan itu.

"Huh. Berisik!"

Sangat disayangkan, memang. Wildan tak bisa melawan sang Kesatria Kegelapan dalam sejarah. Namun, melawannya pun ia tak yakin bagaimana melukai tubuh manusia yang seharusnya sudah mati. Apalagi dengan zirah dan pedang hitam itu. Lagipula, ia teringat nasihat Kanji. "Di belahan dunia manapun, orang kuat pasti bertemu dengan orang yang lebih kuat," jadi ia tak perlu khawatir kehabisan persediaan lawan bertarung yang lebih kuat di dunia ini. Tak terkecuali di Alforea.

Kathrine mengulangi perkataan Anastasia saat masih di kedai, "Bertahan hidup hingga akhir ataupun membunuh lima peserta lain berarti kemenangan dan akan dikirim kembali ke kota. Membuat mereka menyerah tidak dianggap menang."

"…."

"…."

"Anda berdua bisa mulai kapan saja," lanjut Kathrine.

"Hei. Apa-apaan ini?" Sammeriil melangkah mendekati sebuah kursi. "Sampai kapan kalian mau berdiri di situ!? Ayo hadirkan pertunjukkan bagus untukku."

Sammeriil duduk di kursinya. Ia menjentikan jari. Tiba-tiba arena ruangan.


"Tidak semudah itu. Dasar pemburu ilegal," ujar Wildan.

"… di tempatku tak ada lagi harimau putih."

"Tak heran."

Gauss rifle Nely patah. Tekanan sabit Wildan melukai dadanya. Cepat-cepat Wildan menahan tangannya agar tak menebas Nely lebih dalam. Namun terlambat. Bukan hanya tajamnya sabit yang membahayakan nyawanya, tetapi juga aliran listrik Wildan.

Tubuh Nely tak kuat lagi. Aliran listrik asing sudah merusak organ dalam tubuhnya. Tubuhnya ambruk ke lantai. Semenit kemudian detak jantungnya menghilang. Sang sniper sudah lagi tak memiliki nyawa. Kematian telah mengambil apa yang sudah menjadi miliknya.

Sesaat itu juga, Kathrine mengumumkan, "Selamat, Tuan Wildan Hariz. Anda adalah pemenang ronde pertama"

Wujud ruangan kembali seperti sedia kala. Tak lama terdengar bunyi tepuk tangan lambat yang berasal dari Sammeriil. Ia dan Villyca tiba-tiba sudah muncul di dekat Wildan.

"Tidak diragukan lagi. Seperti yang diharapkan dari julukan 'warrior of lightning.' Pertunjukanmu boleh juga."

"…."

"Kenapa dia?" tanya Villyca.

"Hmm. Terbawa perasaan? Kau seharusnya senang sekarang. Kekuatan zirahku kupinjamkan padamu. Kembalikan saat kau cukup kuat untuk bertarung denganku."

Wildan tak merespon. Ia masih melihat hologram-hologram menyelimuti tubuh Nely yang bersimbah darah.

"…."

"Sudah saatnya pergi, Tuan." Kathrine mengingatkan.

"Selanjutnya. Kemana?" Wildan akhirnya bersuara juga.

"Kota," balas Kathrine singkat. "RNG-sama menanti Anda."

"Ah, si goyang aneh itu. Aku ingin bertemu Tamon Ruu, Kat! Si Kakek Gondrong pun sama sekali tak kelihatan batang hidungnya saat pengumuman tadi! Mereka sedang apa, sih!?"

Protes Wildan tak terlalu dihiraukan oleh Kathrine. Sedari tadi sikapnya terasa lebih dingin daripada terakhir mereka bertemu. Apa ini pengaruh pakaian barunya?

Biarkan pertanyaan itu menjadi misteri untuk sekarang. Kathrine lantas membuka portal hologram yang lebih besar dibandingkan dengan yang ia pakai saat muncul di ruangan itu. Setelah Kathrine mempersilakan, Wildan tanpa ragu masuk ke dalamnya. Meninggalkan Sammeriil dan Villyca yang tersenyum, kemudian turut menghilang secara transparan perlahan.

Ruangan itu kosong seperti sedia kala. Seperti seharusnya.

Semuanya seakan membeku. Tidak ada satupun angin yang berani berembus di dalam benteng tak bernama ini.

10 comments:

  1. Eh bujug, McGuffin's treasure dibawa-bawa O.o

    Beras plastik juga dibawa-bawa O.o

    Dan... yassalaam, guyonan hak cipta kembali dilontarkan pemirsa~
    :O

    Terus, lirik lagu manusia bodoh~ ♫ sama DIAAAM!
    parodi euy :v

    Guyonan "Pemburu illegal" juga dimasukin, hahahaha :D

    Njrot, si Nely jadi menyeramkan gini di sini, wkwkwkwk.
    XD

    saya juga ngakak waktu Wildan dibikin garing pas coba ngobrol sama Nely, Kuudere-nya tergali dengan sukses :D


    Dan DEMI APA!? Mommy Lyca nongol di sini!?
    XD

    Sam sama VIlly jadi arwah gentayangan, wakakakaakak :D



    --------------------------

    ini alurnya maju mundur ya, bikin saya pause dulu sebelum lanjut membaca, karena harus bikin korelasi dengan scene sebelumnya. Terus keterangan [Loading data..] itu bini saya ngebayanginnya kayak lagi nonton potongan-potongan film setelah shooting yang harus diedit. :p


    Saya gagal paham sama hubungan Sintas X dengan chapter sebelumnya, itu tau-tau Nelly jadi akrab sama Wildan saya miss di bagian mananya...



    Akhir kata, ini keren. Pai-pai~ :D



    Point : 8

    OC Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah makasih san~ reading this made my day. Iya, itu loading data karena bosen pake tiga asterisks yang konvensional buat misahin adegan ;] Dan iya, itu emang ada salah teknis, ada beberapa adegan yg hilang di entri ini, dan salah satunya adegan Wildan sama Nely :[

      Nantikan kunbalku ke entri nely hohoho~

      Delete
  2. Berhubung udah lewat tengah malem blm berubah juga, saya komen dhe ....

    Saya nyium potensi cerita bagus di sini. OC2 yang ada banyak munculnya. Jadi gak sekadar Main OC sendiri - ketemu musuh - pvp - jalan lagi - pvp lagi sampe tamat.

    Narasinya bagus. Rapi. Favorit di sintas I. Kalo g salah McGuffin itu BoR 1 kan? Berati pas lah sm nama bentengnya. Toh the Dark Lord win XD

    Siktir XD Joke yg bertebaran bikin cengar-cengir. Sekalipun aneh jga yg ngucapin OC2 yg BG-nya ndeso kaya OC saya. Sukses lah, lumayan ngena. Lisensi lg XD

    Pantes waktu itu upload foto beras listrik. Di sini dibahas rupanya :D

    Ahran dewasa sekali. Dan ga OOC plus sesuai bayangan saya. Dia tipe menyebalkan luar dalam X'D

    Villyca? Sounds familiar~

    Babnya lompat2. Gak cuma sintas iv langsung ke x. Ternyata ide A bisa nyambung ke M terus balik ke D. Ini eror juga, kah?

    Jadi saya titip 8 yaw~

    OC: Ahran (wa sahran) XD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Ahran wa sahran. Thanks udah mampir~ XD Udah pasrah deh, ga sempet edit lagi soalnya o... TL Hahaha, Ah kan Ahran ilmuwan jadi sering baca2 dan punya banyak info lah, jadi dia yang saya jadiin sasaran buat sumber joke lisensi ;] Yep, sengaja masukin itu McGuffin hahaha. Villyca siapa hayoo tebak~ hahaha.

      Tunggu kunbal ke Ahran ya, udah slesai bacanya nih~

      Delete
  3. Wut, apa ini titledrop entri prelim Dyna?

    Uwaah, McGuffin juga sampe disinggung segala

    Apa ini, kok kamu jadi ketularan joke lisensi. Btw Wildan vs Steele di sini mungkin contoh battle yang ga saya skip sama sekali, enak ngikutinnya. Tensinya ilang begitu Ahran bangkit, dan ternyata pada berantem gini misunderstanding aja ya

    Ini alurnya beneran maju mundur terus ya sepanjang cerita? Saya kok agak miss sama alurnya selepas bagian RNG di tengah, di mana Ahran bareng Effeth dan Wildan bareng Nely. Btw, kalo objektifnya dari awal udah jelas ngalahin semua, kok di sini pada temenan gitu aja?

    Apa pula ini Sammy Villy numpang lewat...

    Dari saya 8

    [OC: Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huaha, ketularan itu karena sebelumnya baca entri neeshma, dia nyebut "tarzan" sementara tarzan itu kan karya fiksi orang lain juga, meski gaakan kena lisensi sebenernya XD

      Huhu iya nih maafkan kesalahan alurnya ya, saya yang nulis aja bingung #woy.

      Ah itu ide Villy muncul karena sering manggil Sammy ke Sam, Dan bisa disambung ke joke panggilan itu nantinya. Lagian settingnya pas. :D

      Delete
  4. Hehehe, senangnya ada juga yang ikut jejak saya melanjutkan canon Lightbringers :p Beras listriknya bener2 nyegerin buat Radith, makasih yah wkwkwkw... dijadiin gudeg pula.

    Ini lagi coba plot maju-mundur ya? Aku lagi coba juga tuh di novel terbaruku, tapi pas bagian prolognya aja - (battle conclusion), trus mundur di bab 1 (flashback), lalu bagian awal bab 2 nyambung ke prolog, terus kejadian abis prolog maju lagi di bab 2 akhir dan seterusnya linier.

    Dan terus-terang ini maju-mundurnya rada kebanyakan, dengan adegan2nya kepotong-potong di sana sini, seperti melihat puzzle yang ruwet dan harus disusun satu-persatu. Untung saya sudah rada biasa dengan trik seperti ini, jadi nggak masalah.

    Steele mungkin OC paling kuat di medan ini, dan Wildan bisa mengimbanginya dengan speed yang lebih. Ditambah si BOSS, yang pakai pedang McGuffin :p Mantap cuy. Oke deh, saya titip modal dulu skor: 8/10 buat awal. Satu teknik penulisan sudah dipakai, try another next time ya, bro? Salam dari Radith a.k.a. Vajra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yay! Saya ambil resiko pake teknik itu sih XD karena banyak juga OC yang terlibat~ dan semunanya dituntut battle. Seperti Radith, BoR ini ajang saya menempa diri. You bet! Tentu lain kali bakalan beda lagi penulisannya! :D Nantikan komenku di Vajra~

      Delete
  5. Kalo saya ngeliatnya ada beberapa proses yang saya gak nangkep. Gatau apa sayanya yang lemot barangkali yak :D

    Btw, Neeshma itu basic-nya baik. Beberapa hal yang ia alami yang bikin dia 'mendadak saiko' kek gitu XD Joke-nya bagus sih, cuma kok saya agak gak nyaman. Agak nggak pada tempatnya gitu.

    Tapi di bagian battle, apalagi di awal-awal pas baru ketemu Lady Steele itu bagus. Itu nutup beberapa hal tadi.

    Jadi ini 8 dari saya~


    Neeshma Fraun.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha iya nih. Setting udah serem2 ye kan, narasi juga udah diseremin, eh muncul joke begituan XD

      Ah saya lagi baca Neeshma. di entri aslinya lebih keren dan serem /o/
      saya cuma fokus ke kepribadian dinginnya sih, jadi dibuat pengkhianat, maap ya ^/\^

      Delete