22.6.15

[ROUND 1 - TEAM F] LO DMUN FAYLIM - PELARIAN AKASH: TITISAN

 LO DMUN FAYLIM - PELARIAN AKASH: TITISAN

Penulis: Jfudo





Hening.

Semua diam setelah mendengarkan penjelasan dari RNG, penyambut kedatangan mereka.

RNG berdiri di balik sebuah meja panjang yang terbuat dari kayu, dengan rak besar di belakangnya berisi botol-botol yang terbuat dari kaca. Di samping kiri meja terdapat sebuah papan besar dengan berbagai kertas menempel di atasnya.

Ruangan itu sendiri seperti sebuah bar, dengan furnitur serba kayu. Penerangan yang minimalis di situ turut menambahkan kesan klasik di dalamnya. Sesekali lampu itu meredup, lalu terang kembali. Energi di sana sepertinya sedikit tidak stabil.

Ruangan itu penuh dengan orang. Ada sekitar lima puluh orang di dalamnya dan semua diam tertegun. Sedikit tak menyangka akan kejadian-kejadian yang ada di sana. Bahkan sebagian besar mungkin tidak tahu untuk apa awalnya mereka berada di sana.

RNG, gadis cebol dengan pakaian pelaut warna biru itu menggendong seekor kucing yang ditaruh di depan dadanya, membiarkan kaki belakangnya menggantung bebas. Saat itu ia telah habis memberikan mereka informasi terkait pertarungan yang akan datang. Pertarungan berikutnya bisa menjadi ajang saling bunuh, bagi dirinya maupun seluruh rekan setimnya.


"Baru sampai, dan aku mungkin harus bertempur dengan Adhy, Clara, dan Dyna?" bisik Lodun.

"Untuk detail misi akan dijelaskan oleh pemandu masing-masing tim sebelum berangkat ke tempat pertarungan, kalian punya waktu sampai besok pagi, jadi beristirahatlah yang cukup." sang pelayan berambut ungu melanjutkan, membubarkan keramaian.

Lodun bernafas lega. Setidaknya ada waktu bagi dirinya untuk mengambil waktu sejenak, meski sekedar untuk mencerna kembali kejadian hari itu.

"Lod," seseorang menepuk bahu, "seandainya kita bertempur nanti, jangan meremehkanku meski aku tanpa kekuatan ya?"

Lodun hanya tersenyum pada sosok itu, Adhy, yang kini menjadi salah seorang yang paling dipercayainya setelah sampai ke ranah Alforea. Di sebelahnya, seorang gadis kecil mengangguk setuju.

"A-aku juga kak Lodun. Aku akan bersemangat mengalahkan kakak!" katanya sambil mengacungkan tinjunya ke depan menunjukkan keseriusannya.

"Haha... Tapi tetap jangan memaksakan dirimu ya, Clara." seorang pria bertopi fedora mengacak rambut si gadis kecil, Clara, dengan gemas.

"Sudahlah, Dyna. Tadi itu semata-mata keteledoran kita dalam menjaga rekan setim kita bukan?" Adhy menengahi, "Yuk kita istirahat sekarang saja. Bisa jadi kita besok akan bertarung satu sama lain, jadi siapkan diri kalian!" terang Adhy bersemangat.

Lodun dan yang lain mengangguk mantap.

Ruangan tersebut kini mulai sepi. Para peserta telah melangkah menuju ke dalam penginapan. Ada yang di lantai atas, ada yang di lantai bawah. Beberapa peserta tampak dituntun oleh pelayan-pelayan cantik, takut akan tersesat dalam bangunan kayu tersebut.

Lodun dan yang lain kemudian berpamitan, hendak pergi ke kamar masing-masing yang telah disediakan. Namun ketika baru langkah pertama Lodun di injakan anak tangga, mendadak terdengar suara Clara memanggil.

"Kak Lodun!"

Lodun menoleh, melihat sosok biru kecil itu menghampirinya. Gadis kecil itu diam sebentar, mukanya tampak merah seperti menahan sesuatu.

"T-terima kasih kak!" kata gadis itu sembari membungkuk ke arahnya. Tampak wajahnya makin merah seperti kentang rebus ketika ia berdiri kembali.

Lodun diam, tak menjawab. Ia hanya menampakkan senyum terbaiknya untuk menanggapi Clara. Wajahnya tampak ceria ketika kemudian ia melangkah pergi meninggalkan Lodun. Lodun kemudian berbalik, menyusuri anak tangga itu untuk pergi ke kamarnya di lantai atas.

Tak disangka olehnya, sosok itu tak lagi akan dilihatnya.



BAGIAN I – AWAL


Bruakk!

"Ayaaaahhh! Ibuuuu! Lo takuuut..."

Lodun kecil tak kuasa menahan tangis. Beberapa pria berseragam militer yang tadi masuk dengan mendobrak pintu, memaksa membawanya. Mereka lalu menyeret bocah itu, menjauhkannya dari pelukan kedua insan yang membesarkannya. Sang bunda berteriak meraih-raih tangan Lodun kecil, tapi hampa.

Jarak Lodun dari ayah bundanya semakin terasa. Jauh dan semakin jauh. Jeritan ibu terkasih kini diiringi isak tangis tak teratur, meratapi ketidaksanggupannya untuk melawan.

Tidak disadari oleh Lodun, sebuah pusaran hitam muncul mengelilingi mereka, melenyapkan semua yang ada dan membiarkan Lodun kecil berdiri terpaku sendirian. Bahkan sang ibunda yang tengah tersedu, hilang tak berbekas.

Gelap.

Semua kosong.

"Ibundaaaaaa!"

Terang.

Segenap kegelapan laksana tersedot, terkumpul dalam sebuah bulatan yang berada jauh di balik punggung Lodun. Terkejut, Lodun menoleh ke belakang, mendapati bulatan tadi semakin hitam dan pekat. Bulatan hitam tersebut kemudian membentuk sesosok manusia. Kian lama kian jelas. Matanya tampak menyala putih, seram menyeringai. Lengannya yang hitam, memanjang cepat.

Jlebb!

Tangan hitam itu menusuk dada Lodun!

Tembus, memperlihatkan darah yang mengucur, menetes sedikit demi sedikit di atas kaus putihnya. Bagian kaki Lodun mendadak dialiri lautan merah, membiarkan mayat-mayat terbawa arus olehnya. Satu, dua, tiga. Beberapa mayat melewati kanan dan kiri Lodun. Satu mayat menabrak punggung Lodun dengan kepalanya, membuat bocah kecil itu menoleh takut.



Kak Lod, tolong...,



Clara!

===

Cip... cip...

Kicauan burung terdengar merdu dari balik daun jendela. Selambu warna hijau menjuntai indah di atasnya, menutupi sinar mentari yang hendak menembus kaca tembus pandang itu. Namun biarpun sedikit, celah-celah dinding kayu berhasil meloloskan sinar ultraviolet membentuk jalur yang menampakkan debu-debu indah berkilauan, beterbangan di dalam kamar.

Di atas sebuah kasur persegi panjang dengan ranjang terbuat dari kayu, Lodun terbangun. Dia lalu bangkit memosisikan dirinya untuk duduk. Telapak tangan kirinya digunakan untuk menutupi sebagian mukanya. Dari pelipisnya yang putih bersih mengalir peluh dingin membasahi pipi pertanda ketakutan yang amat sangat. Mimpi buruk.

Setelah itu dia buka selimutnya dan turun dari tempat tidur, menuju kamar mandi yang ada di sebelah kiri tempat tidurnya dan mencuci mukanya di wastafel. Dilihatnya cermin, tampak bayangan seorang bocah enam belas tahun yang sekilas seperti lebih tua dari umurnya. Garis mukanya menampakan gurat-gurat kesepian.

'Kenapa Clara?' batin Lodun.

Tidak lama setelah itu dikenakannya pakaian yang sama dengan yang kemarin melekat di tubuhnya dan berjalanlah ia keluar kamar, mendapati sapaan ramah dari seorang gadis yang mirip sekali dengan Diam, pelayan kerajaan yang dikenalinya dari pertempurannya kemarin.

"Bagaimana Tuan? Tidurnya nyenyak? Selimutnya lembut, pasti tidur Tuan nyenyak. Oh iya, Tuan sudah mencoba roti yang kami sediakan di meja sebelah kanan tempat tidur Tuan? Enak sekali loh, kami bangga dengan paduan madu dan teh almond buatan kami yang dijadikan campuran bahan roti tawar. Bahkan tanpa selai pun rasa rotinya sudah sangat menggiurkan. Tuan harus mencobanya!" cerocosnya dengan mempertahankan senyum dan wajah yang senantiasa cerah.

'Sudah pasti bukan Diam.' batin Lodun yakin selagi memandangi pelayan kerajaan itu. Pakaian yang dikenakannya memang jauh berbeda, kemeja putih cerah dengan celana hitam panjang dan vest abu-abu, seperti setelan pria. Di tangan kirinya tersampir kain putih seperti handuk, entah untuk apa. Diam tidak berpakaian seperti ini kemarin. Oh, bahkan Diam tidak banyak bercakap.

Lodun kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain dan mulai berjalan meninggalkannya, menyusuri lorong yang serba kayu. Mulai dari dinding, lantai, pintu-pintu kamar di lorong itu, sampai pegangan – atau pelindung – panjang yang menghalangi jatuhnya siapapun dari lantai dua paviliun tersebut. Pelayan itu pun mulai melangkah mengikuti Lodun, berusaha mengiringi di sebelahnya.

"Nama saya Tutur." lanjut gadis itu. "Tuan, bukankah pelayanan kami maksimal? Kapan lagi ada turnamen yang gratis, seluruh pesertanya diberi tempat tidur."

Lodun tidak peduli. Di telinganya hanya ada ketukan sepatu dan lantai yang bertemu, memperdengarkan bunyi langkah Lodun dan Tutur yang bersahutan.

"Tuan," Tutur meneruskan, tak acuh meski Lodun bertindak ibarat tunarungu, "sudah tahu kan kalau sebentar lagi babak kesatu akan dimulai? Battle of Realms ini hadiahnya keren loh Tuan, bisa mendapatkan apapun yang Tuan inginkan."

Lodun mendadak berhenti melangkah, tepat setelah Tutur menyebutkan kalimat terakhirnya. Tutur yang sudah terlanjur berjalan sedikit lebih jauh, berhenti dan membalikkan badannya ke arah Lodun, heran.

"Nona," Lodun menghela nafas sebelum melanjutkan, "aku hanya ingin tahu bagaimana cara kami kembali."

"Ya cukup selesaikan saja semua misi Tuan, nanti juga bisa pulang." jawab Tutur polos. Lodun menggaruk bagian belakang kepalanya meski tak gatal ketika mendengarnya.

 "Lalu sebenarnya apa tujuan kami dibawa kemari?"

"Untuk hadiah paling spektakuler di jagat Alforea, apa lagi?" Tutur menjawab sembari menunjukkan senyum termanisnya.

"Itu tujuan kami sebagai peserta." Tegas Lodun, "Lantas apa tujuan kalian? Apa yang kalian dapatkan dengan keikutsertaan kami?"

Tutur hanya terdiam, suara merdunya yang ramai tadi hilang ditelan sunyi. Satu lagi sunggingan senyum ditampakkan sebelum Tutur membalik badan, membuat Lodun hanya dapat melihat punggungnya. Tutur lalu sedikit menoleh ke kiri, menghadapkan pipinya yang kemerahan ke arah Lodun.

"Tahu atau tidak, bagi Tuan hanya ada satu pilihan bukan?" lanjut Tutur seraya meninggalkan Lodun sendirian, tak mengerti apa maksud gadis pelayan itu.

===

Tuk tuk.

"Ini apa ya?"

Seorang pria dengan kornea mata hijau sedang berjongkok di pinggir lorong paviliun. Jaket beskapnya yang berwarna coklat tua, tersampir rapih di badannya bersama dengan celana warna merah. Baju di balik jaket coklat tuanya serasi dengan warna rambutnya yang panjang, hijau.

Pria berkuncir kuda itu mengetuk-ngetuk sesuatu yang tergeletak di sudut, terpacu penasaran. Benda itu adalah tumpukan besi yang membentuk robot humanoid, dengan bagian kepala menyerupai helm. Kaca yang terdapat di kepalanya berwarna gelap, membentuk huruf V tumpul sebagai mata.

"Robot ya? Tapi kok mati?"

"Jangan main-main, Radith! Kamu tidak tahu itu apa, bukan?"

Sebuah suara penuh wibawa muncul dari belakang si hijau yang dipanggil Radith. Tiga buah tiruan manusia berdimensi dua – wayang – melayang-layang di balik kepala Radith. Mereka bergerak-gerak seolah hidup, bahkan mampu berkomunikasi dengan Radith maupun satu sama lain.

"Tenang saja, apa sih yang mungkin terjadi jika aku memainkan ini?"

"Kamu ceroboh. Kamu lupa tadi keluar berapa uang untuk membayar wanita berpakaian hitam ketat yang tidak sengaja kamu tabrak!?" teriak wayang lain yang bersuara lebih berat, "Kamu bahkan belum latihan untuk pertarungan berikutnya, bukan? Seriuslah sedikit jika ingin mengalahkan Ki Rogohjiwo!"

"Sudahlah Kakang Bima, biarkan dia menyimpan energinya untuk ronde berikutnya." jawab yang bersuara merdu.

"Tapi wanita tadi memang mencurigakan, mana mungkin tertabrak begitu saja dia butuh biaya pengobatan beratus-ratus ribu rupiah? Kita bahkan tidak perlu membayar pengobatan di semesta ini." yang bersuara paling berwibawa kembali angkat bicara.

Radith tertawa saja mengikuti percakapan boneka-boneka tipis di belakangnya. Dia lanjut, mencoba menyentuh-nyentuh beberapa bagian robot itu.

Whirrr...
BIP!

Mendadak mata kaca di kepala robot itu menyala, menyorotkan sinar merah terang ke wajah Radith. Terkejut, Radith terlonjak ke belakang, setengah melompat. Tiga wayang di belakangnya, tak siap atas ketiba-tibaan gerakan Radith, menubruk punggungnya dan melayang oleng di belakang Radith.

"Whirrr BIP! Renggo Sina, bersiap, BIP!"

===

"Reviss!"

Seorang pria dengan topeng yang menutupi seluruh wajah, diikuti seorang gadis muda nan cantik berambut pirang, muncul dari salah satu pintu masuk menuju ruangan utama paviliun. Pria itu mengenakan pakaian ala timur tengah, bertudung putih dengan baju serupa gamis yang indah, berhias motif rembulan. Celana warna putih sutra miliknya selaras dengan jubah hitam berrajut kilau emas. Sementara si gadis pirang mengenakan blazer biru yang menutupi kemeja putih di dalamnya, senada dengan rok kotak-kotak biru hitam miliknya yang pendek sepaha.

Saat itu di sudut ruangan terdapat seorang pria berambut coklat ikal pendek, dengan pakaian yang serba hitam, sedang duduk di balik salah satu meja bundar, menghadap dinding. Sarung tangan yang dikenakannya hanya sebelah, di kanan. Di punggung sarung tangannya terdapat kristal oval berwarna hitam. Sabuk yang dipakainya menggantungkan granat dan pistol, rapi bersama sebuah belati yang disampirkan mendatar di belakang.

Tampilan ruangan tersebut menyerupai kedai minuman, dengan kursi dan meja bundar yang tertata rapih. Furnitur serba kayu di situ memberikan aroma yang khas, bercampur dengan bau-bau alkohol yang tengik. Di tepi ruangan tampak sebuah meja panjang dengan seorang pelayan wanita berdiri di baliknya, siap sedia memberikan apapun minuman yang diminta. Di ruangan inilah, informasi terkait ronde berikutnya kemarin diberikan.

Pria bertopeng itu kemudian memanggil nama pria itu sekali lagi.

"Reviss Arspencer, jangan pura-pura tidak mendengarku! Aku dan Eri ingin menuntut sesuatu padamu!"

Reviss diam saja, malah lanjut menenggak minumannya di sebuah gelas kaca besar. Tidak sabar, pria bertopeng tadi menghampirinya dan meraih pundak Reviss, memaksanya untuk berhadap-hadapan. Wajah Eri – si pirang – yang berdiri di belakang si topeng tampak khawatir.

"Aku berbicara denganmu!"

"Apa maumu?" tanya Reviss. Mata hijaunya menatap si topeng, sinis meremehkan.

"K-kau!"

Meski tertutup topeng, siapapun yang mendengar suaranya pasti bisa tahu betapa murkanya pria tersebut. Ditariknya kerah baju Reviss dengan kedua tangan, mengisyaratkan bahwa si topeng ingin berkelahi dengan Reviss. Reviss terpaksa berdiri mengimbangi tarikan si pria bertopeng, dengan tangannya masih menggenggam gelas kaca besar tadi.

"Zhaahir, kekasihku, tenanglah sedikit." rayu Eri pada Zhaahir – si pria bertopeng, tak sanggup menatap lelaki yang dicintainya bersikap tak layaknya biasa.

"Apa maumu, kau bilang!?" teriak Zhaahir dengan masih menahan kerah bajunya, "Kau tinggalkan aku di sana, di celah Shohr'n! Kami bisa mati, kau tahu!? Aku bisa mati, menelantarkan Eri di semesta yang tak kami kenal ini!"

"Tapi kau hidup, jadi apa masalahnya?" balas Reviss dengan nada menyebalkan.

Mendengar itu, Zhaahir makin geram. Panas hati Zhaahir mengetahui pria busuk itu sama sekali tak merasa bersalah. Kepalan tangan kanannya ditarik ke belakang, hendak ditinjukan ke arah muka Reviss.

Praaang!

"Zhaahiiiir!"

Zhaahir tersungkur!

Reviss, tepat sebelum tinju Zhaahir mengenainya, membanting gelas kaca yang dibawanya sedari tadi ke bagian samping kepala Zhaahir. Darah mengucur, mengalirkan warna merah pada topeng perunggu yang dikenakannya. Eri yang panik segera mendekati Zhaahir yang pingsan di bawah sana sementara Reviss menepuk-nepuk pakaiannya, merapikannya.

"Kau tak melihat apa yang kulihat, Zhaahir Khavaro.

"Kau takut mati? Bersyukur karena hidup? Tak sadarkah kalian, kita tak lebih dari bidak catur dalam skema semesta yang lebih masif? Naif. Dalam turnamen ini, kita tidak akan lolos dalam kesederhanaan menang atau kalah, mati maupun hidup. Kejadian di Alforea terlalu nisbi untuk diterjemahkan dengan hal itu."

===

"Tahu atau tidak, bagi Tuan hanya ada satu pilihan bukan?"

Seorang lelaki muda berambut putih terlihat diam berdiri ketika pelayan perempuan dengan setelan mirip pria meninggalkannya. Tampak bingung, dia hanya diam seolah habis ditolak cintanya oleh si pelayan. Tapi tak berapa lama kemudian, laki-laki muda itu beranjak pergi juga dari situ.

"Hmm, benar juga kata bocah putih itu. Tamon Ruu yang Mulia pasti punya agenda lain."

Seorang pria berambut merah tiba-tiba terlihat di dekat tempat lelaki putih tadi berdiri, samar-samar sedikit tembus pandang, mirip hantu. Pria itu mengenakan kemeja merah dengan garis-garis vertikal. Vest dan celana hitamnya terlihat apik menghiasi busana necis nan atraktif. Model rambutnya unik, tajam di dua sisi, membentuk seperti kuping kucing warna merah.

Tubuh pria itu bersinar merah, menampakkan aura di sekitar siluet fisiknya. Aura merah itu kemudian perlahan menghilang ketika tubuh tersebut kian jelas terlihat, menghilangkan kebeningannya sampai dinding kayu di balik punggungnya tak lagi tampak.

"Kau juga menyadarinya, Ernest?" seseorang muncul mengagetkan si rambut merah.

"Tidak ada untungnya bagi Tamon Ruu memanggil kita kemari, ke bumi Alforea yang bahkan tidak semua dari kita mengenalinya." lanjutnya, "Ruu jelas punya rencana tertentu."

Ernest menoleh, melihat seorang wanita berpakaian ketat dengan bahan lateks hitam. Model rambutnya aneh, botak habis di sisi kiri saja dengan kuncir kecil di pinggir kanan. Hidung dan bibirnya bertindik.

"Meredy," sahut Ernest, menyebut nama wanita itu, "kamu sendiri, apa rencanamu sebenarnya? Kamu tahu kan ada sesuatu yang terjadi dalam semesta Alforea?"

"Huhu, ahahaha...," wanita bernama Meredy itu tertawa dengan punggung tangan kiri menutup mulutnya, "sudah jelas kan? Aku ingin menguasai Alforea, tentu aku tahu kebenaran yang kalian tidak semua memahaminya."

Meredy lalu mendekat, berjalan hingga wajah mereka nyaris menempel. Ernest yang lebih tinggi malah terpojok. Punggungnya menempel ke dinding kayu di belakangnya.

Bakk!

Meredy membenturkan telapaknya ke sebelah kiri Ernest. Wajah mereka hanya berjarak seujung jari, semakin mengintimidasi Ernest. Ernest sendiri tetap menyeringai seperti biasa, meski dari wajahnya tampak semburat kesal. Didekatinya telinga Ernest, kemudian berbisiklah ia.

"Apapun yang terjadi, aku akan menjatuhkan Ruu. Cukup diam dan lihatlah, aku akan menunjukkannya padamu."

Meredy kemudian mundur, berjalan menjauhi Ernest. Ia berdiri berkacak pinggang, telunjuknya diarahkan ke ujung hidung Ernest.

"Jangan lupa, kau masih berhutang sejuta dollar padaku atas semalam. Aku hanya bisa mendapatkan ratusan ribu pagi ini, dan itu kurang! Menurutmu kenikmatan itu murah untuk kau raih!?" kata Meredy dengan senyum licik menjijikkan.

"Huh, dasar pemeras." Ernest merubah seringainya menjadi senyum meremehkan, "Lupakah wanita jalang semalam turut menikmati apa yang kuberikan? Munafik. Bukankah dirimu yang mabuk, berusaha melupakan pengkhianatan Reviss!?"

Pandangan Meredy berubah marah.

"Jangan ingatkan aku pada si brengsek itu!

"Dia masih berhutang tiga milyar dollar padaku, untuk peluru adrenalinku!"

===

Tim F.

Lodun sedang melihat daftar nama yang ditempelkan di sebuah papan kayu yang berdiri di dinding ruangan utama. Namanya berada di tabel paling kiri, sebelah atas. Di atas tabel tersebut tertulis nama tim yang diikutinya. Dia mencoba mencari nama yang dikenalinya, tapi dia tidak bisa menemukan nama Adhy. Clara juga entah di mana.

"Mencari apa Lod? Namaku ada di Tim E."

Lodun menoleh, pria flamboyan bertopi fedora tersenyum ke arahnya. Harum kasturi tercium dari tubuhnya, menyatu dengan udara yang terhirup Lodun. Jarinya menunjuk ke sebuah nama di tabel yang terletak di nomor dua dari kiri bawah. Ada delapan tabel, berarti ada delapan tim. Lodun masih belum memahami maksud dari pembagian tim itu, tapi pasti ada hubungannya dengan turnamen.

"Dyna," Lodun bergerak menghadap pria berambut ungu itu sebelum melanjutkan, "Clara dan Adhy, ke mana mereka? Bukankah mereka lolos bersama dengan kita?"

Raut wajah Dyna tiba-tiba berubah, heran. Ada kesan bingung di korneanya yang keemasan, mencolok saat bersanding dengan warna ungu rambutnya. Dyna mengerutkan alis, membentuk kernyit di dahinya.

"Adhy? Clara? Siapa yang kamu maksud?"

"Adhy, Clara, teman setim kita. Siapa lagi?"

"Teman setim? Kita kan setim dengan Ying Go dan Kazuki."

Lodun terkejut, sekarang tidak hanya Dyna yang memasang muka bingung.

"Kita kan berjuang melawan Tamon Rah bersama Clara dan Adhy, bagaimana mungkin kamu lupa, Dyna? Baru kemarin kita bertemu mereka dan kau sudah melupakannya? Kau aneh."

"Kamu yang aneh, Lod. Siapa memangnya yang kamu sebutkan itu? Nama Adhy dan Clara bahkan tidak ada dalam daftar peserta yang tidak lolos. Maksudmu apa? Rekan kita kan cuma Ying Go dan Kazuki."

Lodun terhenyak. Di ingatannya, Adhy dan Clara lah yang bersama dengan dia dan Dyna, bahu-membahu melawan Tamon Rah. Keduanya pun kembali bersama mereka dengan selamat. Bahkan, luka-luka hilang sesampainya mereka di paviliun itu. Semua bugar seolah tidak pernah ada Tamon Rah, tidak pernah ada pertempuran. Apalagi mereka berhasil menyelesaikan misi berkat Adhy.

 'Apa yang terjadi?'

Praaang!

Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca di sisi lain ruangan tersebut, membuyarkan kebingungan Dyna dan Lodun. Mereka berdua spontan menoleh ke sumber suara, memastikan apa gerangan yang meributkan kondisi. Mereka melihat tiga sosok di sana: seorang pria bertopeng, pria berpakaian hitam, dan seorang wanita pirang. Si topeng tersungkur dengan darah mengucur sementara si pirang terlihat panik.

NGIIIIIIIING



Battle commence, executing Loinnir.exe...




Sebuah suara bergema dalam kepala Lodun mengikuti denging panjang, memusingkan kepalanya. Tangan kiri Lodun berpegangan pada papan kayu tadi. Dia tertunduk, menahan sebelah kepalanya dengan tangan, pun Dyna. Bahkan pria busana hitam yang tadi berdiri di sebelah pria bertopeng itu juga sama. Semua kecuali si pirang tertunduk menahan kepala, seolah hendak runtuh.

"Lod, kau mendengarnya?"

Lodun mengangguk. Dia tampak pusing, menatap lantai di bawah kakinya. Kepalanya lalu didongakkan, bermaksud menatap Dyna. Namun, alangkah terkejutnya ketika dia tak menemukan sosok temannya saat menaikkan pandangan. Tak lama kemudian sosok si hitam juga lenyap. Si topeng juga. Lodun pun tak luput. Menyisakan si gadis berambut pirang di sudut ruangan, dengan raut penuh takut. Sendirian dalam ruangan bar.

Seorang wanita pelayan di balik meja panjang pemesanan tersenyum. Wajahnya mirip Tutur dan Diam, hanya garis mukanya lebih tegas. Tampak rambut ungunya dikuncir kuda ke belakang, menambahkan kesan tangguh pada wajah ayunya.

"Tenanglah, Nona Eri.

"Saya hanya mengaktifkan sistem turnamen."

===

Dingin.

Lodun tiba-tiba ada di tengah putih, menghampar sejauh mata memandang. Di gunung, di langit, bahkan angin-angin pun meniupkan putih. Bukit-bukit landai bisa ditemukan di beberapa titik, tak kalah putih. Lodun membuka telapak kirinya, menangkap sebutir putih yang turun dari awang-awang. Salju.

Lodun menyadari dirinya tengah berada di padang salju, putih dari titiknya berdiri sampai cakrawala. Bingung, Lodun menoleh ke sana kemari mencari sesuatu yang mungkin bisa menolongnya. Nihil. Dia terlalu sibuk dalam pikirannya sendiri, tak sadar sebuah gelang besar menempel di lengan kirinya.

"Tuan Lo Dmun Faylim, raihlah radar di atasmu."

Terdengar sebuah suara di dalam kepala Lodun, membuyarkan lamunannya. Lalu melihatlah ia ke atas, mendapati sesuatu yang bercahaya turun perlahan, menghampirinya. Ketika tangan Lodun mendekatinya, barulah ia sadar bahwa kilauan itu berasal dari sebuah bola kecil yang sedikit lebih besar dari kelereng. Lodun menangkapnya dan melihat sebuah simbol di dalamnya. Huruf V berwarna biru gelap di dalam sebuah bola warna akua.

Tepat lima detik setelah Lodun memegang bola kecil itu, sesosok wanita mencuat dari dalamnya. Sosoknya kecil dan samar, bahkan nyaris transparan. Wanita itu wujudnya sama persis dengan wanita di balik meja panjang dalam bar paviliun tadi, berambut ungu dan kuncir kuda. Lodun ingat bertemu dengannya ketika mereka tiba dari pertempuran melawan sembrani raksasa.

"Anastasia?"

"Selamat datang di tanah Los Soleim!

"Sekali lagi saya akan memperkenalkan diri, nama saya adalah Anastasia. Anda sekalian tengah membuka sistem komunikasi dalam radar. Wujud saya yang anda lihat ini adalah hologram. Kali ini saya akan menjadi pemandu untuk Tuan sekalian." sosok kecil yang samar tadi bersuara, menjelaskan.

"Anda akan bertarung dengan lima peserta lain yang tergabung dalam tim F yang tersebar acak di tanah Los Soleim. Anggotanya sudah Tuan saksikan di papan dalam ruangan bar. Arena ini adalah padang salju dan fasilitas yang Tuan dapatkan dari kami hanya radar ini.

"Kemenangan akan Tuan raih, jika berhasil mendapatkan semua radar peserta lain, yaitu bola kecil yang barusan Tuan terima.

"Dekatkan radar tersebut pada gelang di lengan Tuan, untuk mengaktifkan fungsi utamanya."

Lodun melihat lagi bulatan yang dibawanya, setengah tak percaya. Dicobalah yang diperintahkan oleh Anastasia, gadis pelayan hologram itu. Didekatkannya radar tadi ke pergelangan tangan kirinya perlahan.

Zzyuuut

Bola kecil tersebut tersedot, menempel tepat di tengah-tengah gelang kelabu itu dan tertanam dengan setengahnya masih terlihat. Lodun menggerak-gerakkan tangannya ke udara, melihati seluruh bagian gelang radar yang tampak mata. Uniknya, bagaimanapun Lodun menggerakkan tangannya, hologram Anastasia sama sekali tak berubah posisi, tegak lurus terhadap tanah pijakan Lodun.

"Radar ini memiliki tiga fungsi utama. Pertama, menyediakan pakaian hangat pada peserta. Kedua, memberikan lokasi peserta lain dalam radius seratus meter. Ketiga, menginformasikan status peserta lain dan radar yang berhasil direbut mereka.

"Fungsi radar ini hanya perlu diaktifkan dengan sentuhan. Pikirkan fungsi yang diinginkan untuk menjalankannya.

"Radar ini bisa dilepas jika diberi sentuhan tangan peserta yang berniat melepaskannya. Ketika peserta berhasil membebaskan radar dari gelang peserta lain, mereka bisa memindahkan radar tersebut ke gelang yang dimilikinya. Radar juga akan otomatis terlepas jika peserta tak sadarkan diri, atau terbunuh."

Lodun bergidik mendengar kata 'bunuh'.

"Jika dilepaskan dengan cara ini, bola radar akan otomatis terbang dan menempel di gelang peserta yang menjatuhkannya.

"Sekali lagi diingatkan, kemenangan bisa diraih jika anda berhasil mengumpulkan semua radar dari peserta lain. Tanah Los Soleim dikelilingi jurang yang lebar dan dalam. Jadi, kalian tidak akan bisa kabur sebelum kami menjemput.

"Ada pertanyaan?"



BAGIAN II – SALJU


Drap drap drap!
Zruuuug!

Lodun berlari di atas hamparan salju yang begitu luas, sesekali mendaki dan meluncur dari bukitan salju. Dingin, putih sejauh mata memandang. Dari tempat Lodun tampak gunung-gunung tinggi, menjulang gagah menyentuh awan. Salju yang berjatuhan terbawa angin, menambahkan kata indah dalam lukisan ketuhanan.

Mungkin Lodun juga akan menikmatinya jika tidak dalam poin ketakutan. Nafasnya terengah, memperlihatkan kepulan putih di tiap hembusannya. Jubah putih tebal yang menutupinya hanya berkuasa atas hawa dingin, tak mampu melindunginya dari kengerian. Sesekali ia menoleh, mengindikasikan kekuatiran akan pengejarnya.

Pengejar?

"Ha!"

Sesosok pria dengan busana rapi merah hitam, mendadak muncul dari ketiadaan, mengejutkan Lodun. Lodun benar-benar terperanjat sampai ia menjatuhkan dirinya ke belakang. Pria itu lalu membentangkan tangan kirinya, menunjukkan sinar merah yang berputar-putar dengan telapaknya sebagai poros. Lodun yang tadi terjatuh pun segera berbalik dan bangkit, berusaha kabur dari serbuan si merah.

"Pride Katana of Auro!"

Sebuah pedang dengan kombinasi warna merah gelap-terang termaterialisasi dari aura merah yang berputar tadi. Pedang bermata satu itu tipis panjang, lebih panjang dari lengan pria itu. Senyum seringai tampak dari pria itu, tampak siap menebas Lodun. Kemudian digenggamnya pedang itu dengan kedua tangan.

Zratt!

Pedang merah itu diayunnya vertikal, hendak membelah Lodun jadi dua. Lodun dengan gesit menghindar dengan berguling ke kiri. Tidak menyerah, pria dengan rambut merah unik yang membentuk telinga kucing itu segera menebaskannya dengan tangan kiri ke arah Lodun. Lodun yang tidak kalah tangkas, melompat dengan mendorong tanah salju di bawahnya.

"Haha, dasar belut!"

Pria merah itu mengayunkan pedangnya ke sana kemari, dengan niat membunuh yang pekat. Tapi refleks Lodun begitu bagus, gerakannya lincah ke sana kemari menghindari tebasan dari pria merah itu. Di sela-sela gerakannya yang begitu cepat itu, Lodun sekilas melihat sesuatu berwarna coklat gelap di salah satu permukaan salju.

Tanah!

Lodun segera melompat dan meraih tonjolan tanah yang membeku dingin itu, berusaha menyentuhnya dengan sekuat tenaga sambil menjauhi pria merah itu.

"Kau hendak kabur lagi?"

Pria merah itu spontan melangkah mengejarnya, hendak menjatuhkan mangsanya. Tapi Lodun berhasil menyentuh bagian tanah itu sebelum dekat.

"Snowy Apertis!"

Zruugh!

Pria merah itu kemudian terperosok jatuh ke dalam lubang, tapi hanya sebatas dada. Lodun kemudian melempar dua buah granat ke arah pria merah itu, berniat meledakkannya. Pria merah itu malah tersenyum lebar, menunjukkan gigi-giginya yang putih tertata rapih.

Hup!
Bum bum!

Pria merah itu melompat, cukup tinggi seperti sengaja memberitahukan bahwa lubang Lodun tak begitu dalam. Ledakan itu menjadi percuma, hanya menyerang tanah bersalju. Tapi taktik Lodun berhasil menjauhkan dirinya dari kejaran pria merah. Saat pria merah itu mendarat, tak didapatinya sosok Lodun.

"Sial! Bocah itu menghilang!"

Pria merah itu lalu menyentuh gelang di lengan kirinya dengan tangan kanan, mengaktifkan fungsi radarnya. Lingkaran datar warna hijau cerah yang sejajar dengan tanah pijakannya muncul. Tampilannya mirip seperti hologram Anastasia tadi. Di atasnya tergambar titik-titik kuning bertebaran. Satu titik berkelip di tengah, menunjukkan tempat dirinya sendiri berada. Dua titik bertulis lainnya berada agak jauh dari tempatnya berada meski berdekatan satu sama lain, jelas bukan Lodun.

'Lalu di mana dia?'

Zraaattt!

Lodun mendadak muncul dari bawah tanah, menghempaskan tumpukan salju di pijakan pria merah itu. Lodun menyabetkan sebilah pisaunya, vertikal ke atas. Pria merah itu sempat menghindar dengan melompat ke belakang. Namun, bagian depan vest yang dikenakannya tersayat, meniadakan manfaat kancing di pakaian rompi tersebut. Ia lalu bernafas cepat karena kagetnya.

"Nice try, Bocah! Tapi reflekku lebih cepat, haha."

Lodun lalu mendarat jongkok, memunggungi si pria merah setelah sebelumnya lompat memutar ke depan. Diperlihatkannya sebuah bola yang dijepit dengan telunjuk dan jari tengahnya, memamerkan keberhasilannya dengan senyum.

Radar berhasil direbut.

Terkejut, pria merah memastikan gelang yang dikenakannya. Kosong. Tak disangkanya Lodun berhasil merebut radar saat melompat tadi. Ia kembali melihat Lodun yang tersenyum penuh kemenangan.

Pria merah itu kemudian diam, menunduk. Entah kenapa, sejenak berikutnya dia malah tertawa terbahak-bahak. Dia sampai memegangi perutnya, berusaha menahan. Tawa itu terdengar janggal di tengah ributnya angin salju.

Lodun keheranan, tidak tahu kenapa ia tergelak. Radar di tangannya jelas memastikan keberhasilan taktiknya. Sampai ketika Lodun hendak memasang radar pria merah itu ke gelangnya, baru dia tersadar.

"Kau keren, kuakui itu. Tapi aku, Ernesto Boreas, jauh lebih keren!" katanya sambil menunjukkan sebuah bola berwarna akuatik di antara telunjuk dan jempol kanannya.

Radar Lodun juga berhasil direbut.

===

"Kavaleri Khavaro, Qorrum Sang Hitam!"

Sesosok pria bergamis terjun dari atas, berteriak melawan bising angin salju. Zhaahir. Seekor kuda hitam muncul dari ketiadaan tepat setelah kata 'hitam'. Zhaahir mendarat di atas kuda hitam tersebut, mengejutkan si legam yang mencolok di tengah keputihan lembah. Kaki depan kuda itu terangkat ke atas, lalu dengan sedikit sentakan dari Zhaahir, mereka melaju.

Derap langkah kuda itu menderu, meninggalkan jejak tapal. Hawa dingin tak mengapa, gamis dan jubah hitamnya telah dilapisi lagi oleh jaket tebal warna kuning keemasan memanjang ke bawah. Topeng perunggunya yang biasanya melindungi siapapun dari wajahnya yang mahatampan, kini turut melindunginya dari dingin yang menusuk.

Di belakang mereka tampak barisan makhluk-makhluk menyerupai rusa, mengejar. Rusa besar setinggi dua meter itu berbulu coklat keemasan, menebal di sekitar dada dan leher. Tanduknya tampak elok, melengkung-lengkung seperti ranting pohon berwarna gading dengan corak-corak merah darah terutama di ujungnya. Ekornya pendek, kakinya panjang. Sorot matanya buas, seolah siap membunuh siapapun dengan tanduknya yang gagah menawan.

"Wahai Qorrum, kudaku, bersiaplah.

"Ha!"

Satu ketukan setelahnya, Qorrum melaju makin cepat. Mereka berusaha menjauhi barisan rusa itu, merasa tak sanggup melawan langsung derap-derap agung tersebut. Seram menyerang, rusa-rusa itu masih kukuh menyerbu Zhaahir dan kudanya.

"Di sini padang salju, sudah barang tentu ada rusa. Tapi tak kusangka rusa di sini sebuas monster-monster Shohr'n." katanya pada diri sendiri.

Zhaahir kemudian merunduk, seperti tiarap di punggung Qorrum. Disentuhnya bola radar miliknya, mengaktifkan salah satu fungsinya. Sebuah hologram persegi tertampang vertikal di atas gelangnya, menunjukkan susunan huruf yang membentuk barisan nama. Di sebelah masing-masing nama terdapat titik berkelip biru muda, menunjukkan jumlah radar yang dibawa tiap peserta.


ZHAAHIR KAVARO III   ●
ERNESTO BOREAS        ●
RADITYA DAMIAN         ●
LO DMUN FAYLIM          ●
RENGGO SINA              ●
REVISS ARSPENCER      ●


"Masing-masing peserta masih memegang satu radar." bisik Zhaahir, "Bagus, jangan kalah dulu kau, Reviss!"

Drap drap drap

Zhaahir kemudian menoleh ke kanan kirinya, mengikuti arah suara langkah tersebut. Cukup cepat, ternyata beberapa ekor rusa sudah mengepungnya. Seekor dari mereka kemudian dalam sekejap menghentak merubah jalur, hendak menyeruduk Zhaahir dan kudanya yang gagah.

Hup!

"Kavaleri Khavaro, rubah haluan! Pedang Sabit dan Perisai Purnama!"

Zhaahir meloncat dari kudanya sebelum Qorrum menghilang, memudar dengan cepat. Tak berapa lama kemudian, dari tangan kirinya muncul sebuah perisai perak bundar dengan hiasan ukiran-ukiran spiral mengitari bulatan di tengahnya sementara dari tangan kanannya muncul sebilah pedang lengkung, berkilat tajam siap menebas.

Duakk!
Krak krak!

Olehnya, dipukulkan perisai itu tepat di atas kepala sang rusa yang menerjang, memingsankannya. Beberapa cabang tanduk terpatahkan, kalah dengan kekuatan dorong ke bawah dari Zhaahir.

Gaya reaksi dari pukulannya tersebut kemudian mengakibatkan tubuhnya sedikit terlontar, memperlama waktunya melayang di udara. Seekor rusa segera menyusul di belakangnya, hendak melumat hidup sang kesatria Khavaro. Zhaahir, masih melayang di udara, kemudian mengayunkan pedangnya lurus ke bawah sembari berputar dan mendarat di tubuh rusa yang tergeletak sebelumnya.

Puluhan rusa berikutnya menyusul, siap meremukkan nyawa sang pria bertopeng. Zhaahir siaga. Pengalaman bertarungnya seharusnya cukup untuk membuatnya sanggup menghabisi beberapa rusa di situ. Mereka tak ada apa-apanya dibanding seekor sembrani api yang ia kalahkan sebelumnya di padang Shohr'n.

Zhaahir menebasi tiap rusa yang menghampirinya, satu per satu. Seekor dibelah kepalanya secara diagonal, membunuhnya seketika. Perisai di tangan kirinya kemudian menghilang, berubah jadi sebuah tombak dua meter yang siap digunakan. Zhaahir menusuk leher salah satu rusa yang cukup dekat dengannya, menghabisinya.

Bergantian digunakanlah tombak menggantikan perisai, perisai mengganti pedang, pedang mengganti tombak, dan seterusnya hingga membentuk kombinasi-kombinasi serangan yang unik. Tiap tebasan, tusukan, dan pukulan Zhaahir berhasil menjatuhkan beberapa ekor rusa.

Ketika dirasa sudah cukup longgar, kedua senjata di lengannya dihilangkan, dan sekali lagi dimunculkanlah Qorrum. Zhaahir segera melompat menungganginya, berlari menjauhi wilayah rusa-rusa tersebut.

"Kavaleri Khavaro, Panah Dewa Pujangga!"

Sebuah busur, lengkap dengan tabung berisi anak-anak panah, muncul di atas Qorrum. Namun dalam sekejap seseorang melompat di atas Zhaahir, bersalto dengan kepala di bawah, menangkap seluruh busur dan anak panah mendahului Zhaahir. Zhaahir spontan terkaget.

Wajarnya, hanya butuh satu detik bagi Zhaahir untuk memunculkan sekaligus menangkap dan menggunakan senjatanya dari Fantasma Mulia Kavaleri Khavaro. Tapi ini lain, Panah Dewa Pujangga direbut seseorang itu seolah dia bisa menebak di mana letak Sang Panah akan muncul.

Syutt syutt syutt!

Selagi masih melayang, dilesatkanlah seluruh anak panah itu ke segala arah dalam sekali sentak. Kelihatan acak sekilas, tapi kenyataannya sungguh mencengangkan. Semua anak panah itu berhasil menembus dan menjatuhkan seluruh makhluk rusa yang ada!

Pria itu kemudian mendarat di atas tumpukan salju yang tak terlalu tinggi, masih menggenggam busur milik Zhaahir. Sementara Zhaahir hanya berdiri, geram melihat sosok pria berpakaian hitam itu.

"Reviss," kata Zhaahir memanggil nama pria itu, "beraninya kau muncul sendiri di hadapanku!"

===

Bum bum!

Puluhan ledakan di dua sisi, menjadikan Ernest targetnya. Ernest, si pria merah, melompat dan berguling, tak ingin tercampur hancur. Lincah, tak mengijinkan satu pun luput dihindarinya meski pijakan salju memperberat langkahnya, mempercepat lelahnya. Vest warna hitamnya masih berkibar-kibar ditera angin salju, membiarkan lubang kancingnya menggantung percuma.

"Swift shift!"

Ernest mendadak lenyap!

Zrattt!

Pedang di genggaman Ernest menebas. Ternyata bukan lenyap, melainkan gerak kilat. Mujur, dengan refleknya Lodun berhasil menghindar dengan melengkungkan punggung ke belakang. Bilah tajam tadi hampir menyentuh hidungnya, sukses memangkas sedikit ujung rambut putihnya.

Nyaris.

Lodun lalu menumpu pada kedua telapak, melakukan gerakan guling belakang sekalian menghindari tebasan berikutnya. Lodun segera bangkit berbalik dan berusaha kabur, berlari sejauh-jauhnya. Ditinggalkan granat-granat dalam larinya. Lemparan demi lemparan yang acak, kacau meledak-ledak.

Gerakan Ernest semakin cepat, dihindarinya seluruh ledakan sembari mengejar si bocah putih. Jarak semakin sempit, Ernest siap menghunus. Kedua tangan menggenggam gagang pedang di samping kirinya, hendak menusuk lurus.

Blurr...

"Cih, pas lima menit." gerutu Ernest tepat ketika mendadak pedangnya mulai menghablur, pelan bersatu dengan udara, dari ujung sampai gagang. Hilang. Refleks ia melihati telapak tangannya saat penghabluran.

Pandangan Ernest kembali lurus, menatap arah larinya. Namun, tepat saat itu ia menyadari ledakan-ledakan yang dibuat Lodun menipis, bahkan kini nol. Tiada granat, ledakan habis. Menyisakan Ernest yang menghentikan lari, tahu bahwa dirinya tak perlu lagi.

Ernest sadar Lodun hilang.

'Pasti di bawah tanah.' pikirnya.

Melihatlah ia ke sekeliling sambil bergerak-gerak, melompat-lompat. Dirinya tak mau lagi terkena efek kejut, seperti tadi ketika diserang dari bawah. Di sekitarnya, tampak ledakan menyisakan salju-salju yang tercecer indah, menampakkan tanah tak berumput di baliknya.

Lama.

Ernest menunggu, tapi tiada serangan dadakan. Ia berhenti dan berdiri, menoleh ke sana kemari mencari-cari. Ernest kesal mengepal, meluputkan kesadarannya bahwa ia sedang berada di kaki gunung. Menggerutu, dikiranya Lodun sudah kabur jauh.

 "Catastrophic Avalanche!"

BUM BUM BUM!
Gruduk gruduk gruduk...
BROLLLL...

Suara teriakan diikuti ledakan mengejutkan Ernest, tapi tak cuma itu. Tanah bergetar seolah gempa membuatnya sadar ia akan melihat neraka dunia. Didongakkannya kepala ke atas, menatap tumpukan salju yang bergulung-gulung siap runtuh ke bawah. Teriakan tadi bukan ancaman semu, melainkan bermakna literal. Bencana longsor. Longsor salju yang luar biasa.

"Oh &@$%!! Lari!!"

===

"Radith, hendak apa engkau?" tanya wayang berwibawa.

"Aku hanya ingin memastikan ranah Los Soleim ini seluas apa. Aku perlu melihat keseluruhannya." kata pria berambut hiijau, menjawab si berwibawa. "Siapa tahu aku bisa sekalian menemukan musuh di cerita kali ini."

"Jangan gegabah! Daerah ini belum benar-benar kita kenal, bukan!?" teriak wayang yang lebih tegas, mengingatkannya.

"Benar kata Kakang Bima, Radith." suara yang lembut ikut serta, "Ini tanah baru untuk kita, tak seharusnya engkau bertindak seenaknya."

"Benar, bukan? Arjuna saja bicara begitu!" jawab Bima, lagi-lagi suaranya keras menyentak.

"Tenanglah Ayahanda dan Pamanda dari Gatotkaca, aku tidak akan mendaki terlalu jauh." jawab Radith mendiamkan mereka bertiga.

Radith tampak berjalan setengah memanjat di lahan yang tak begitu curam, diagonal agak mendatar. Di belakangnya tiga wayang melayang-layang mengikuti. Di depannya hamparan putih dengan noda-noda coklat kehitaman apik tergambar, menambah elok julangan gunung. Awan pun berarak-arak menabrak puncak, mirip gula kapas yang sedang dibuat.

Tangan dan kaki Radith terus bergerak, menapak dan memanjat sampai kiranya cukup tinggi. Berhenti di satu titik, Radith mencari tempat untuk memandang lanskap alam. Dapat. Mata hijau Radith segera berbinar, kagum menyinari korneanya. Dirasakan olehnya dingin menusuk meski mantel coklatnya tebal menutup.

Gunung di sana jauh lebih banyak dibanding yang dikira, berjejer tak beraturan mengitari padang salju di antaranya. Gunung yang dipanjatnya ternyata masih tak terlalu tinggi, kerdil di antara barisan. Sebelah kanan terdapat padang salju yang luas, sebelah kiri terdapat jurang yang dalam, lebar memanjang sampai tak terlihat pandang Radith.

Radith menelan ludah, menatap bagian jurang. Dia tahu, jika jatuh hampir pasti mati. Seram.

Bum bum!

Radith mendengar suara ledakan, jauh di bawah. Tampak dua orang sedang bertempur, satu rambut merah dan satu rambut putih. Si putih tampak kabur dari si merah, berlarian ke sana kemari tak tentu arah.

"Itu dia lawanmu, Radith!" teriak Gatotkaca.

Radith segera memeriksa radar. Cakram horisontal muncul, memperlihatkan dua titik kuning berdekatan dengan titik di tengah. Ya, mereka musuh. Disentuhnya dua titik yang dekat itu satu per satu.

Sebuah hologram tiga dimensi mencuat dari masing-masing titik itu, memperlihatkan dua sosok pria yang berdiri tegak. Hologram itu berputar-putar perlahan, dengan untaian huruf di atas kepala. Satu bertulis 'Lo Dmun Faylim', satunya lagi 'Ernesto Boreas', menunjukkan nama mereka.

"Lo Dmun Faylim," kata Radith membaca nama si putih, "kutemukan kau."

BUM BUM BUM!
Gruduk gruduk gruduk...
BROLLLL...

Radith terkejut, tanah pijaknya bergetar. Ia berbalik dan mendongak, melihat dari atasnya salju-salju perlahan bergerak mendekati. Awalnya pelan, lambat laun semakin cepat.

Longsor!

"Radith, gunakan kami!"

"Berubah, VAJRA Satria Dalang!!!"

===

"Kavaleri Khavaro! Perisai purnama!"

Traaang!

Benturan antara pedang lengkung dan tameng bulat tak terelakkan. Mereka berdua lalu terlontar mundur.

"Pedang lengkung berbentuk seperti separuh bulan sabit, digunakan pertama kali 7 tahun yang lalu. Terbuat dari besi khusus dan merupakan bagian dari perlengkapan Kavaleri Pejuang milik Zhaahir Khavaro ketiga. Pedang bernama Sabit ini adalah warisan dari Khavaro yang pertama." Reviss merapal rincian pedang yang disentuhnya, menggunakan kemampuannya untuk membaca benda yang disentuh.

"Senjata yang bagus, terlalu bagus untukmu."

"Beraninya kau mengambil pusaka dinasti Khavaro, Reviss!" teriak Zhaahir, "Kavaleri Khavaro, pindah haluan! Tombak Pendekar! Qorrum Sang Hitam!"

Ia melompat bersamaan dengan hilangnya perisai, digantikan sebuah tombak sepanjang dua meter dengan ujung berbentuk mirip pedang, tajam dan runcing. Qorrum pun kembali, menerima pendaratan Zhaahir di punggungnya. Dia meringkik, pertanda kesiapannya menyerbu musuh.

"Maju!"

Sekali sentak, Qorrum melesak. Reviss berdiri saja di sana, seperti menunggu. Derap langkah Zhaahir mendekat, semakin dekat.

"Kau lupa kekuatanku, titisan Yunus?

"Jump!"

Zapp!

Reviss menghilang!

Buakk!

Zhaahir terjatuh dari pelana, tepat setelah Reviss mendadak muncul di sebelah atasnya dan menghajar pelipis dengan punggung tangan, tepat di kristal hitam oval di sarung tangannya. Topeng perunggunya lepas sesaat, sebelum cepat tertarik kembali memasang dirinya di muka sang pangeran bak magnet. Reviss sempat melihat wajahnya sekilas sebelum topeng membungkusnya kembali. Qorrum meringkih, bergerak mendekati Zhaahir.

"Benar-benar titisan Yunus, begitu tampan. Aku terlalu sibuk takut pada alterasi sampai lupa untuk iri dan marah ketika melihatmu."

Zhaahir berusaha berdiri, Reviss tahu ia murka walau topeng menutup muka. Ditatapnya Reviss yang berdiri di atas salju. Sementara Qorrum berdiri di belakang Zhaahir, menunggu perintah tuannya.

"Apa sebenarnya yang terjadi, Reviss? Setelah ditembak oleh peluru adrenalin Meredy sekali, kau bertingkah aneh. Sengaja mencuri senjatanya dan menembakkan ke diri sendiri, sampai overdosis. Bahkan engkau menggunakan jurus penggandaan kekuatanmu pada Avarice, pistol Meredy. Tidak hanya itu, kau juga berkhianat pada kami!"

"Kadang ketidaktahuan itu adalah anugerah, Zhaahir.

"Aku sudah bilang bukan? Aku bisa melihat apa yang tidak bisa kamu lihat."

"Aku tidak paham, dan aku tidak peduli!" amuk Zhaahir, bergerak maju dan mengayunkan tombaknya ke arah Reviss, diagonal.

Duk!
Dor dor dor!

Reviss diserang, ditahannya sabetan tombak dengan tangan kanan. Segera setelahnya, dia mencabut pistol di gantungan sabuk dengan tangan kiri, meluncurkan peluru ke arah dada. Zhaahir terpukul mundur, tapi masih tegak berdiri. Baju bagian dalamnya ternyata berlapis chainmail, zirah yang berbentuk mirip rantai-rantai kecil, tersambung kuat melindungi dirinya.

Reviss memasang muka tenang. Diamatinya Zhaahir yang memegangi bagian dadanya, merasakan efek percik dari benturan peluru dan besi.

"Kau tahu?

"Entitas yang kita temui di ranah Shohr'n kemarin adalah entitas hidup, namun tak hidup. Mereka berintelejensi, tapi tanpa nyawa. Mereka tak lebih dari ekstraksi kecerdasan yang lebih agung. Sempurna, tapi fana."

Zhaahir, jengah mendengar kata-kata Reviss, maju menyerbu. Tombak di genggaman kedua tangannya ditusuk-tusukkan ke depan, seperti pemain anggar. Reviss melanjutkan berbicara sambil mengelak dari serangan-serangan Zhaahir.

"Tentunya aku penasaran akan apa lagi yang bisa kubaca. Peluru Meredy membantuku mempercepat proses, melipatgandakan kemampuanku berkali-kali. Cukup sekali sentuh dan aku bisa membaca sesuatu yang tersembunyi dalam entitas tak bernyawa.

"Seluruh substansi yang ada di Alforea ini, tersambung dalam sebuah sistem yang kompleks. Semakin aku membaca, semakin aku ingin lebih mengetahuinya. Addicting.

"Maka aku mencurinya, merebut pistol Avarice. Dengan kemampuan senjata Meredy untuk menambah kekuatanku untuk membaca hal, ditambah kekuatan kristal di sarung tanganku yang mampu meningkatkan berat sekaligus efek serang senjata yang kupegang, aku mencoba menjawab keingintahuanku, hingga ke titik di mana aku terlalu tahu. Namun aku menyesal.

"Kau pasti tidak ingat dengan Neshara Amethyst, bukan?"

Zhaahir merasa seolah dipermainkan, kesal. Di tengah perbincangan panjang monolog itu pun, Reviss bisa menghindarinya. Tidak disadarinya bahwa kekuatan Reviss sedang aktif, kekuatan mata yang bisa membuatnya membaca segala arah serangan dari Zhaahir.

"Kau tidak akan mengerti perasaanku saat tahu aku melupakan Neshara!"

Zhaahir sama sekali tak mendengarkan. Deru angin salju juga membantunya mengabaikan kata-kata Reviss. Yang dipikirkannya hanya membalas Reviss, memuaskan bencinya. Ia lalu berhenti sejenak, kemudian diangkatnya tangan kanan ke atas, tinggi setinggi-tingginya selagi berteriak.

"Datanglah! Surat izin dari...,"

Buakk!

"Aku tahu semua kekuatanmu, Zhaahir." kata Reviss bergerak menyorongkan tendangan ke perut.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu?"

===

Grug...

Seorang pria berambut hijau dan bersinar-sinar kuning terang, muncul dari dalam tumpukan salju. Di sekitar tubuhnya mengalir prana listrik, memberikan kesan kuat dalam dirinya. Ia kemudian berdiri di atas tumpukan salju dengan gagah, tiada gentar tampak dalam keadaannya.

Di wajahnya menempel topeng merah-emas yang hanya menutupi kiri mukanya. Mantel coklatnya terbuka di tengah, memperlihatkan pelindung dada berwarna merah dengan bintang delapan sudut berwarna keemasan terukir di tengahnya. Di kedua lengannya terdapat dua buah gelang, satu gelang radar di lengan kiri dan gelang satunya tertaut di lengan kanan. Gelang itu terpasang di luar sarung tangan logam berwarna emas miliknya, dengan pergelangan memanjang sampai mendekati siku.

"Untunglah sempat.

"Menjadi Satria Dalang benar-benar bisa melindungiku." lanjutnya, "Untung Bima dan yang lain segera beralih ke wujud pusaka, merubahku menjadi Vajra."

"Ugh...,"

Vajra terperanjat. Dia menyadari ada seseorang yang lain di sana. Dilihatnya sumber suara, menampakkan sebuah sekop merah besar berbentuk mirip sendok raksasa menyembul dari tumpukan salju, disusul oleh sesosok pria dengan rambut berbentuk kuping kucing merah.

"S-seharusnya aku dari awal mengenakan mantel hangat." keluhnya menggigil, "Untung aku sempat membuat kubah hitam untuk melindungi diri dari longsoran salju."

Ia lalu menyentuhkan telunjuknya pada bola radar di lengan kiri, memberikan mantel bulu merah tebal ke badannya yang menggigil.

"Ernesto Boreas," panggil Vajra, "Si Bayang Merah."

Mendengar namanya disebut, ia menoleh. Ernest tertawa kecil, sebelum membuka mulutnya hendak berbicara. Ia masih sedikit menggosok-gosokkan kedua tangannya.

"Raditya Damian," kata Ernest, menyebut sebuah nama, "Bukan, bukan Radith. Dalam mode ini, aku seharusnya memanggilmu Satria Dalang, Vajra."

Vajra masih merasa aneh nama aslinya disebut. Tiap saat ia menumpas kejahatan, nama Vajra lah yang disandingnya.

"Hanya kau?" tanya Vajra, "Mana Faylim?"

"Kau mengincarnya juga? Haha, seorang lawan di depan matamu lah yang seharusnya kau khawatirkan!"

Ernest maju menyerbu. Tangannya membawa sekop besar yang tadi digunakannya, seperti pedang. Vajra turut bergerak. Ia melompat mundur sambil mengarahkan tangan kanannya ke depan, menunjuk Ernest dengan satu jari telunjuk.

"Gelang Gandiwa, Panah Petir Pasopati!"

Prana petir bergerak mengumpul di dekat lengan kanan, tepat di atas bulatan tempat simbol gelang merahnya. Percik petir itu cepat membentuk banyak anak panah, melayang sejajar jari telunjuknya. Lalu anak-anak panah itu melesat, mengarahkan dirinya ke yang ditunjuk, Ernest.

Syutt syutt!
Trang tang tang!

Dengan sekop raksasanya, ia mengacaukan arah luncuran anak-anak panah. Ditangkisnya semua peluru yang datang menggunakan mata sekop, tanpa peduli pada aliran listrik yang menyelimutinya.

"Elemen kegelapan." kata Vajra, "Kekuatan listrikku tidak akan semudah itu menembusnya."

Vajra mendarat, bersamaan dengan mendekatnya Ernest. Diayunkannya sekop itu seperti hendak menancapkan ujungnya ke kepala Vajra. Vajra cepat menghindar dengan bergerak maju, memasukkan dirinya di celah antara sekop dan tubuh Ernest.

"Meski kekuatanmu tak bisa diserang petir, tubuhmu pasti bisa.

"Zirah Antakusuma, Tinju Petir Brajamusti!"

Prana petir mengumpul di tangan, menyelimputi kepalan Vajra. Hendak ditinju dagu Ernest dari bawah, siap menjatuhkannya. Namun gesit, Ernest berhasil melepaskan sekop dan mundur menghindar sebelum serangan sampai. Vajra tak hilang akal, diayunkannya sebuah tendangan kaki berputar di udara. Dengan memutar kaki kanannya searah jarum jam, tendangan tumit itu menyarang di pundak kanan Ernest, menjauhkannya dari sekop aura merah miliknya.

"Cih, insting bertarungmu lumayan juga." nafas Ernest memburu, "Tapi tak akan kubiarkan kau mendapatkan incaranku!"

Di sisi lain, Lodun mengintip dari balik sebongkah batu besar dengan sedikit salju di atasnya.

'Kenapa mereka berdua menginginkanku?' bingungnya. Lodun mencoba mengingat, tapi ia tahu ia tak melakukan apapun yang membuat mereka dendam padanya.

Drap drap drap!

Lodun terkejut.

Ia bisa mendengar derap langkah mendekat, berkerumun di hamparan salju.

===

Zhaahir terperosok, membentuk jejak di atas salju. Reviss berdiri membetulkan letak sarung tangannya sementara Zhaahir membetulkan posisinya. Ia menatap wajah Reviss melalui lubang di topengnya, tajam.

"Menurutmu apa yang terjadi jika eksistensimu dihapus?"

Zapp!

Reviss bergerak, lalu hilang. Mendadak ia telah muncul di sebelah kiri Zhaahir.

Duakk!

"Apa yang terjadi bila dirimu tak pernah ada?" kata Reviss sehabis meluncurkan tendangan ke pelipisnya.

Syutt!

Hilang lagi!

Duakk!

"Lalu, apa sebenarnya yang lebih buruk dari mati?"

Dalam sekejap Reviss muncul di sebelah kanan Zhaahir, meninjunya sebelum lenyap lagi.

Zapp!

Duakk!

"Mati? Remeh! Sepele!"

Depan!

Kali ini Reviss menendang tepat di topengnya. Membuatnya terlempar ke belakang.

Syutt!

Hilang.

Duakk!
BUM!

Reviss tiba-tiba di belakang, kali ini membantingkan kedua kepalan tangannya yang disatukan ke kepala Zhaahir, menyebabkan suara gedebum yang keras saat tubuh Zhaahir terbanting ke tanah bersalju.

"Menurutmu bagaimana rasanya saat kita hilang? Saat keberadaan kita bahkan tak pernah tercantum? Saat eksistensi kita itu sendiri dipertanyakan?

"Mati itu masih jauh lebih baik, setidaknya memorimu hidup dalam benak mereka."

Zhaahir yang bertubi-tubi diserang, terbaring di bawah Reviss. Pingsan, mendapati kepalanya terbentur terus-menerus. Bola radar milik Zhaahir kemudian terlepas, lalu melayang. Seolah hidup, ia terbang dan menempelkan dirinya pada gelang milik Reviss. Bola radar Reviss sekarang ada dua buah.

Deg!

"Ugh...,"

Reviss mengerang. Sekujur tubuhnya merasakan sakit. Ia langsung jatuh dengan lutut kiri membentur permukaan salju. Dia memegangi bagian dada kiri yang tertutup mantel hitam tebal, merasa nyeri di seluruh bagian diri dan lelah yang luar biasa.

"Hahh... hahh..., semenjak itu, aku tak lagi peduli. Yang kuinginkan kini cuma mati dikenang, meski dengan dendam."

Drap drap drap

Reviss terkejut. Di saat dirinya didera sakit, rombongan rusa buas datang menghentak. Reviss segera berdiri dan bangkit, lalu kabur dari kejaran mereka. Diabaikannya Zhaahir tergeletak di sana, dengan darahnya yang mengucur dari balik topeng mengalir membasahi putih salju.

===

Druakk!
Gradak gradak!

Puluhan rusa menerjang, buas tak tentu arah. Bebatuan diserbu, gunung-gunung dihajar. Semua yang ada dalam jalur lari mereka diterobos saja, tak peduli. Seorang pria rambut coklat dengan pakaian hitam terlihat kabur dari mereka. Reviss. Wajahnya terlihat begitu lelah.

Lodun yang melihat kerumunan itu dari kejauhan jadi ketakutan. Ia turut kabur ketika kerumunan itu mulai mendekat. Sekejap saja ia sudah berada di sebelah Reviss, berlari bersama.

Reviss dan Lodun bertatapan, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Mereka terus kabur meski tahu sedang bersama lawan yang mungkin membunuhnya.

Ernest dan Vajra yang sedang bertarung, mendengar ribut di dekat mereka. Spontan mereka menoleh, melihat sosok rambut putih dan coklat muncul mendekat.

"Faylim!" teriak mereka bersamaan.

Drug drug drug!

Alangkah terkejutnya Vajra dan Ernest melihat Reviss dan Lodun diikuti kerumunan rusa liar, siap menghabisi mereka. Reviss tersandung, jatuh terbenam dalam salju. Lodun yang melihatnya langsung berbalik, melepaskan banyak bom ke arah gerombolan rusa itu.

Bum bum bum!

Sebagian rusa terjatuh dalam sekali ledak, tapi kebanyakan tidak berhenti. Mereka yang selamat malah makin buas, bahkan beberapa tidak berefek meski ledakan mengenai mereka.

Reviss segera berguling jadi telentang dan menekuk kakinya membentuk siku-siku. Kepalanya juga ditundukkan sehingga kini ia bisa melihat ke arah kerumunan rusa itu. Kedua tangannya cepat mencabut pistol dari kedua sisi sabuknya. Pelatuk ditarik, puluhan peluru meluncur.

Dor dor dor!
Bum bum!

Peluru-peluru itu melesat kencang, menembaki kepala rusa-rusa itu. Entah bagaimana, peluru dari pistol kanan Reviss lebih dahsyat menerjang. Semua yang tertembak dari peluru kanan, kepalanya tertembus. Aliran laju kerumunan rusa itu menjadi semakin kacau, terganggu bangkai kawan mereka yang bergelimpangan. Warna putih kini tercampur merah, bersimbah darah segar dari sang buas.

"Kesempatan!" bisik Ernest.

Ia lalu melangkahkan kakinya, siap bergerak.

"Swift Shift!"

Ernest bergerak secepat kilat, menghindari terjangan rusa-rusa itu. Sekilas seperti gerak acak, tapi jelas ia hanya mengincar satu nyawa, Lo Dmun Faylim.

"Big Knuckle of Auro!"

Duakk!

Lodun terlempar tinju, tepat setelah Ernest membentuk dua buah sarung tinju besar dengan aura merahnya. Tubuh Lodun melayang, lalu tertabrak serudukan salah seekor rusa.

"Aaakh!" teriak Lodun. Ia memegangi tanduk rusa itu dengan kedua tangannya, berpegangan agar tak jatuh.

JDERR!

Suara guntur menggelegar. Tembakan kilat menerjang bersamaan dengan bunyi itu dan mengarah menuju Ernest, tepat setelah dia memukul Lodun. Sayangnya Ernest sempat menghindar dengan melompat ke belakang sehingga tembakan kilat itu hanya menghanguskan seekor rusa buas di sana.

"Ernesto! Faylim adalah targetku!" teriak Vajra, kedua tangannya yang digenggamkan jadi satu.

Sementara itu, Lodun masih terdorong rusa. Tubuh kecilnya begitu mudah diangkat oleh rusa buas berbadan besar itu. Kemudian melompatlah ia, salto berputar ke arah punggung. Mendarat, Lodun berpegangan pada tanduknya dengan gaya seolah menunggang kuda. Lodun kemudian mengambil sebilah pisau dan menusukkannya pada leher samping, membunuhnya. Rusa itu melenguh keras, memperdengarkan suara pedih kesakitan.

Di sisi lain, Reviss yang telah kembali tegap segera menggerakkan kakinya untuk melangkah. Namun naas, ia melangkah tepat di jalur lari Vajra yang ingin memburu Lodun.

"Tinju Petir Brajamusti!"

BLARRR!

Sekepal tinju melayang.

Reviss segera menghindar dengan melompat mundur, menciptakan cekungan di titik yang terkena petir Vajra. Reviss lalu mengambil tiga batang besi hitam berujung runcing dari balik pakaiannya. Ia melempar besi yang menyerupai jarum besar itu ke arah tiga orang: Vajra, Lodun, dan Ernest.

Lodun segera melompat menghindar, membiarkan rusa yang ditungganginya tadi terperosok karena tusukan pisaunya. Ernest kena, tapi tepat di sarung tangan merah raksasanya, tak berefek. Vajra sendiri berhasil membiarkan sebatang besi itu menancap pada salah satu rusa di sana, melindungi dirinya.

Sebagian rusa itu kini tidak hanya bergerak satu arah, tapi bolak-balik. Mereka yang sudah melewati Lodun dan anggota Tim F kemudian berputar arah, berusaha menjadikan semua peserta turnamen sebagai target tetapnya. Rusa-rusa itu bergerak acak, dengan seluruh anggota Tim F yang ada di situ sebagai titik temu.

Sementara itu, Vajra yang melihat Lodun melayang di udara mengarahkan telunjuk dan jari tengahnya ke arah Lodun sementara sisa jarinya ditekuk. Tangan kirinya menahan pergelangan tangan kanan, menggenggamnya erat. Prana petir mengumpul di ujung jari disertai garis-garis listrik tak teratur di sekitar tangan kanannya, siap dikerahkan. Mata topengnya menyala, tanda jurus siap diluncurkan.

"Naga Petir Pancanaka!"

DUARRR!

Tembakan petir meluncur!

Lodun, masih di udara, segera memutar-mutar pisau yang terikat pada tali panjang yang dibawanya. Memanfaatkan gaya sentrifugal, Lodun melemparnya ke salah satu rusa buas di sana, melilitkannya pada rusa buas itu.

Syutt!

Lodun segera tertarik oleh tali, terbawa oleh rusa yang terlilit. Gerakan cepat Lodun itu mengakibatkan serangan Vajra meleset, membidik hampa.

"Sudah kuduga, prana Pancanaka milikku masih belum sempurna. Untuk melepaskannya saja butuh tenaga besar, lebih-lebih mengendalikannya." Bisik Vajra.

Reviss lalu cepat melompat, mencabut belati di belakang pinggangnya. Ia lalu memotong tali Lodun, memutuskannya. Lodun terjatuh terjerembab, berguling di atas salju. Berpuluh rusa melewatinya, menginjak-injak Lodun yang ada di jalurnya. Lodun berusaha melindungi dirinya dengan menyilangkan tangan ke depan, tapi percuma. Sakit injakan rusa-rusa itu tetap mempengaruhinya.

Reviss kemudian bergerak sambil menghindari rusa-rusa yang melaju dua arah, mendekati posisi Lodun. Gerakannya lembut, seperti menari. Ia menghindari rusa-rusa itu seperti tahu pasti arah dan tujuan mereka. Reviss selalu berhasil bergerak di tempat yang tidak akan terkena rusa sedikit pun.

Dalam sekejap Reviss sudah mendekat. Dia setelah itu membidik Lodun dengan satu pistol di tangan kanannya. Kristal oval di sarung tangannya berpendar-pendar, memperkuat senjata yang dibawanya.

Lodun kebingungan. Tebalnya salju membuatnya kesulitan menyentuh tanah langsung, mengurangi jangkauan kemampuannya.

Di tengah kepanikan itu, melihatlah ia ke sekitar. Tampak sebuah cekungan tanah hasil pukulan Brajamusti dari Vajra tepat di sebelahnya. Lodun segera meraih bagian cekung tersebut, mengetahui di bagian itu saljunya terburai ke sekitar.

Dor!
Brussh!

Lodun berhasil menghindari tembakan Reviss dengan menenggelamkan diri ke dalam tanah!

Reviss berdecak sekali ketika mendapati serangannya meleset. Ia lalu melompati punggung rusa-rusa itu sebelum mendarat ke padang salju.

"Shadow Stalk, Release!"

Buakk!

Belum sampai mendarat Reviss langsung terpukul di punggung, dengan serangan tak terlihat. Sekejap setelahnya sesosok pria dengan sarung tinju raksasa tampak muncul dari ketiadaan. Ernest. Ia menantang Reviss yang jatuh terjerembab.

"Jaring Petir, Dalangsukma!"

Vajra berteriak. Lalu dari ujung-ujung jemarinya yang sepuluh itu, mengalir listrik kuning menyala membentuk benang panjang. Berpangkal di ujung jemari, aliran listrik itu bergerak menempelkan diri pada beberapa rusa buas bertanduk noda-noda merah itu, menghentikan sesaat gerak mereka menampakkan kesan kejut saat tak bergerak.

"Wahai sang buas, wahai sang kijang angkara! Satria Dalang bertitah, DALANGSUKMA!!"      

Vajra menggerak-gerakkan jari dan tangannya, seolah konduktor yang memainkan simfoni musik beriringan. Seluruh rusa yang terhubung listrik itu bergerak, mengarah ke Ernest. Ernest siaga, mengerti bahwa rusa-rusa itu dikendalikan Vajra dan siap memburunya.

Bukk bakk buakk!

Ernest meninjui kepala rusa-rusa itu, sebagian patah tanduk sebagian patah leher. Sarung tinjunya sekeras baja, menghancurkan kekuatan rusa yang dikendalikan Vajra. Rusa yang mendatangi Ernest itu berjatuhan satu persatu, tak mampu mengalahkan kerasnya aura merah.

Gradak gradak...

Mendadak terdengar suara tanah bergetar disusul dengan puluhan rusa yang meraung-raung.

Zruuugh... Bum!

Zruuugh... Bum!

Zruuugh... Bum!

Suara ledakan bersahutan, sedikit-sedikit. Tiap sebelum terdengar ledakan, satu rusa terperosok dalam lubang kasat mata, tiba-tiba ada. Vajra, Ernest, dan Reviss hanya melihat sekeliling, tak percaya dengan apa yang terjadi. Sesekali mereka sendiri berlarian acak, bingung ingin menghindari ledakan atau amukan rusa. Lenguhan dan raungan rusa-rusa itu disertai ledakan yang bersahut-sahutan mengacaukan medan perang di sana.

Syutt!
Syutt!
Syutt!

Di tengah kekacauan itu, mendadak Lodun muncul!

Sosok Lodun terlihat berlari melewati masing-masing Ernest, Vajra, dan Reviss dengan cepat di saat konsentrasi mereka terpecah kacau. Ernest kaget, tak menyadari kedatangan Lodun. Vajra dan Reviss pun terkejut ketika mengetahui Lodun memanfaatkan keributan tersebut.

Tapi untuk apa?

Lodun menyeringai di tengah suara ledakan yang masih bertalu-talu. Diperlihatkannya empat buah bola radar di tangannya, dijepit di antara jemari kedua tangannya.

"Bagaimana, tuan Boreas? Sekarang siapa yang lebih keren?"

===

"Unggh...,"

Sementara itu di sudut lain, jauh dari tempat Lodun, Zhaahir telah terbangun tapi tubuhnya masih terbaring tengkurap. Dirinya berusaha bangkit, tapi berat sangat. Sekujur badannya sakit terinjak-injak rusa, bahkan tulang rusuknya mungkin patah sebagian. Ia hanya bisa mengerang, berharap pertolongan datang.

Di saat dirinya tak tahu lagi harus berbuat apa, bahkan merasa bahwa kematian akan datang menjemput, sosok putih kelabu berkilap menghampirinya. Geraknya lambat, berat seolah menyeret langkah. Tubuhnya yang besi mempersulit dirinya.

Di kepalanya yang bulat agak gepeng terdapat kaca merah yang berbentuk V tumpul dan retak sebelah, membentuk matanya. Di sekujur tubuhnya terdapat warna kuning keemasan yang mencuat-cuat seperti isi kabel yang terbuka, tembaga. Badannya besar dan tampak berat. Dirinya seperti membawa tas punggung berbentuk kubus hitam, dengan sabuk tas yang menyilang di depan. Sabuk tas yang juga terbuat dari besi itu memiliki sebuah bola mata mekanik di tengahnya, tepat di persilangan sabuk itu.

"Whirrr BIP!

"Zhaahir Kavaro Ketiga, BIP!"

Zhaahir tak bisa menoleh mendengar namanya disebut. Saat itu kepalanya tidak mengarah pada sumber suara, membuatnya tidak paham siapa yang memanggilnya.

"Cek status, Renggo!"

'Dua suara? Tapi langkah di sana hanya terdengar berasal dari satu orang.' heran Zhaahir.

Renggo, robot yang disebut namanya itu, memeriksa radar yang ada di gelangnya. Disentuhnya untuk memastikan kondisi gelang saat itu.


RENGGO SINA             ●
ZHAAHIR KAVARO III   x
ERNESTO BOREAS       x
RADITYA DAMIAN        x
LO DMUN FAYLIM        ●●●●●
REVISS ARSPENCER     x


"Ck, as expected dari orang yang kita cari." suara misterius tadi kembali berkata, "Berarti orang ini tidak kita butuhkan, Renggo! Bunuh saja!"

"T-tapi Opi, membunuh itu tidak boleh, BIP!"

Zhaahir agak lega mendengarnya.

"Hahh..., ini lagi? Kamu pikir sudah berapa kali aku membicarakan ini denganmu? Forced Command!"

Tiba-tiba visor – bagian mata robot – itu berubah warna, kelabu gelap seperti mati. Tidak ada suara, membuat Zhaahir bingung. Dirinya ketakutan karena tadi Opi memerintahkan Renggo untuk membunuhnya, di saat ia tak bisa berbuat apa-apa.

BUAKKK!

Renggo menghajar Zhaahir!

Buk buk!
Buakk!

Tinju besi Renggo bertubi-tubi menghabisi Zhaahir. Terus, dan terus. Darah terciprat ke mana-mana, mengindikasikan nyawa Zhaahir tidak akan lama lagi. Tubuh kelabu berhias merah, pekat oleh darah.

Dalam bayang Zhaahir hanya bersisa kenangannya akan Eri, kekasih yang akan ditinggalkannya. Bayang itu perlahan menghilang, seiring hilangnya kesadaran dari dirinya.

'Selamat jalan, kekasihku.

'Maafkan aku, engkau tak sempat menyandang nama Eri Khavaro.'

"Whirrr, BIP!

Apa yang terjadi, BIP!?"

Visor Renggo kembali berpendar merah, bersamaan dengan kembalinya suara. Ia melihati tubuhnya yang ternoda merah, berlukis darah Zhaahir.

"Whirrr, BIP!

"Aku membunuh lagi, BIP!"



BAGIAN III – BODOH


Padang salju dingin mencekam, putih menghampar.

Tidak disadari oleh mereka, jurang Los Soleim tinggal berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat berpijak. Dalam, menyampaikan kengerian pada siapapun yang mendatanginya. Seberang jurang memang tampak, tapi jauh. Tak akan selamat hanya dengan melompat.

Lodun, Vajra, Reviss, dan Ernest berdiri membentuk sudut persegi di atas tumpukan bangkai rusa yang tergeletak mati. Meski posisi saling menghadap, tapi semua mata tertuju pada Lodun yang telah memasang semua bola radar yang ada di sana ke gelangnya.

Medan perang barusan begitu kacau. Lubang lebar dan dalam di mana-mana. Salju di tumpukan tanah tersebar tak jelas karena ledakan, disertai noda merah darah yang berbau anyir membasahi tanah dan putih salju. Meski begitu, hawa dingin yang menusuk menutupi fokus mereka terhadap bau menjijikkan tersebut. Sebagian tanah tampak kehitaman, hangus tersambar petir Vajra.

Sarung tinju Ernest kini telah hilang, sementara prana Vajra masih berpercik menyelimuti tubuhnya yang berpendar kuning. Reviss tampak tengah mengisi ulang peluru dalam pistolnya.

Semua berdiri diam, saling menunggu ada yang bergerak.

Syut!
Dor dor dor!

Reviss mencabut pistolnya, menembak Lodun.

Lodun berhasil menghindar, gerakannya gesit berlari ke arah timur. Ernest, menyadari Lodun hendak kabur lagi, segera bersiap menyerang.

"Swift Shift!"

"Jaring Petir Dalaksukma! Jala Sang Lelaba!"

Vajra ternyata bergerak lebih cepat. Ia berhasil mengumpulkan prana petir di kakinya untuk berlari. Lalu dari telapak tangannya muncul jaring raksasa yang terbuat dari listrik, tepat menghalangi jalur lari Lodun.

Bzzzzt!

Lodun, telah menyadari bahwa ia diincar, segera merubah arah. Sedangkan Ernest yang terlanjur mengejarnya malah tertangkap jala, terkena efek kejut dari jala listrik Vajra. Setrumannya tidak terlalu kuat tapi cukup untuk menghentikan gerak siapapun dalam waktu sebentar.

Reviss menghalangi Lodun dengan belati menghunus di tangan kanannya. Kristal hitam berpendar, menambah daya rusak belati. Kemudian ditancapkannya belati tersebut ke tanah bersalju.

Zraaaash!

Reviss mengayunkan belatinya. Ayunan vertikal ke atas itu menebas apapun yang ada di jalurnya, membentuk angin tajam yang membelah salju dan menyingkirkannya ke samping. Lodun berhasil menghindar dengan berguling ke samping, tapi disambut oleh tinju berlapis petir dari Vajra.

JDURRR!

Lodun berhasil menghindar lagi, tapi nafasnya mulai terengah. Menghindari serangan bertubi dari tiga orang sekaligus itu membuatnya lelah.

"Lo Dmun Faylim!" Vajra berteriak menyebut namanya. Tangan kanan berpendar kuning, mengalirkan prana listrik yang mengumpul tepat di atas bulatan simbol di gelang Pasopati miliknya, membentuk panah-panah listrik yang melayang.

"Aku tidak ada dendam padamu.

"Tapi aku harus mengalahkanmu!"

---

Robot itu menyala!

Dia kemudian pergi, meninggalkan Radith yang terduduk kaget. Matanya berbinar kagum, seperti anak kecil. Robot. Robot itu benar-benar bergerak. Tampak di punggungnya seperti ransel, balok besi berwarna hitam. Sesekali listrik memercik di persendian, seolah robot itu sudah berumur cukup lama. Tapi yang terpenting, robot itu bisa bergerak!

"Nak Radith, penanggung nama Vajra, ada apa kamu duduk di bawah sana?"

Radith menoleh, bersamaan dengan hilangnya sosok si robot kelabu di tikungan lorong. Pria tua berjenggot putih muncul dari belakang. Rambutnya pun putih, menutupi sampai bahu. Ia mengenakan busana kaos abu dengan jubah putih, seperti milik dokter. Radith kemudian berdiri, meluruskan bajunya yang terlipat-lipat kusut.

"Oh Nurma, Sang Pengamat Bumi Alforea, ada apa gerangan?" kata wayang yang berwibawa, Gatotkaca.

"Benar, Tuan Nurma. Hendak apakah Tuan kemari sendiri menghampiri Raditya?" kata yang merdu, Arjuna.

Radith hanya diam mendengarkan mereka. Nurma melihati mereka dengan wajah yang lurus, tiada tampak canda. Garis mukanya begitu tegas, meski sudah terlihat renta. Serius menatap mata Radith, akan berkata sesuatu.

"Misimu kali ini adalah," Nurma berdehem sejenak sebelum melanjutkan, "aku ingin kamu menghabisi seseorang dalam timmu, usahakan agar dia tidak bisa lanjut ronde pertama. Jika perlu, bunuh."
"Bunuh?" Radith menyuarakan ketidaksukaan ketika mengulangi kata itu.

"Hanya jika diperlukan." tegas Nurma.

"Untuk apa aku melakukannya? Bukankah kalian sendiri punya otoritas untuk mengeluarkan pemain?"

"Entah kenapa, kami tidak bisa melakukan itu. Seseorang berhasil mengendalikan segala data yang kami miliki dari dalam, meretasnya dan membuat nama orang itu sebagai bagian dari core, peraturan turnamen paling mendasar.

"Bahkan, nama itu tidak termasuk dalam seratus peserta yang kami undang awalnya. Ya, seratus. Seharusnya peserta Battle of Realms kelima ini hanya seratus orang, tapi satu orang ini muncul dan menjadi core dalam cerita.

"Satu-satunya cara menyingkirkan bug yang disengaja ini adalah dengan menghancurkannya secara legal, dalam turnamen. Ada kemungkinan pihak tertentu sengaja memasukkannya, untuk alasan yang tidak kami ketahui.

"Apapun itu, pasti bukanlah alasan yang bagus."

Radith berpikir sejenak, menatap Nurma yang masih memasang muka serius.

"Memangnya siapa dia yang Tuan Nurma maksudkan?"

Nurma diam sejenak, menatap mata Vajra sebelum menjawab.

"Lo Dmun Faylim."

---

JDERRR!!

Tembakan petir dari kumpulan prana Vajra menerjang, muncul dari genggaman kedua tangannya yang disatukan. Lodun berhasil menghindar, melompat ke samping. Namun Vajra cepat bergerak, mendekati Lodun sebelum ia mendarat. Dengan prana petir yang terkumpul di kaki, dia berhasil mempersempit jarak.

Buakk!

Pukulan berlapis petir berhasil mengenai pipi Lodun, membuatnya terpelanting cukup jauh.

"Swift Shift!"

Zrattt!

Ernest mengayunkan tombak merah bentukan auronya, horisontal ke Vajra. Tombak itu berbentuk seperti tongkat dengan bagian besi tajam yang panjang berada di salah satu ujungnya.

Vajra beruntung, berhasil menghindari serangan Ernest dengan menunduk ke bawah. Vajra lalu mengumpulkan petir di pergelangan tangan kanannya, sekali lagi memunculkan Anak Panah Pasopati. Jari telunjuknya diarahkan lurus ke Ernest.

"Panah Petir Pasopati!"

Ernest berhasil mengelak dengan bergeser ke samping, membiarkan anak-anak panah itu mengenai kosong.

Tombak itu lalu diayunkan diagonal, mengenai tangan kiri Vajra yang menahannya. Karena tertahan, Ernest memutar tombaknya lalu memukulkan bagian tumpul tombak ke sebelah kanan Vajra, hanya untuk ditangkisnya lagi dengan kaki.

Serangan tersebut berulang kiri-kanan selama beberapa kali, dan begitu pula tiap gerakan ditangkis oleh Vajra. Ernest lalu mundur dan melakukan gerakan memutar dan mengayun tombak, memberikan gaya sentrifugal padanya untuk menambah daya.

Zratt!

Vajra melompat menghindari sabetan Ernest, membiarkannya lewat begitu saja. Prana petir Vajra kemudian mengalir dan mengumpul di kaki kiri.

Duakk!!

Tendangan telak di muka!

Ernest terlontar lumayan jauh, memberi jarak antara dirinya dan Vajra. Ia berhasil mendarat dengan posisi berjongkok. Mulutnya sedikit berdarah. Setidaknya satu-dua gigi lepas akibat tendangan kilat sedekat itu.

Sementara itu, Reviss mengejar Lodun yang tadi terjatuh. Ditaruhnya kedua pistol di pinggang, seperti hendak melakukan sesuatu. Ernest menyadarinya, ia berteriak tak ingin keduluan.

"Reviss! Dia milikku!"

Syutt!

Sosok Reviss tiba-tiba menghilang!

Buakk!

Reviss mendadak muncul dari atas Lodun dan memukul kepalanya hingga terbanting ke bawah. Ernest segera melempar tombaknya dari kejauhan, menjadikan Reviss sebagai sasaran.

"Jangan lupa aku juga memiliki memori tentangmu, Ernest."

Bukk!

Reviss memukul sisi tombak tersebut dengan punggung tangan kanannya yang mengepal, memberikan retakan sebelum membuat senjata aura merah itu menghablur, bersatu dengan udara.

"Aku tahu kelemahanmu. Sisi lain diriku tidak menginginkannya, tapi memori kekuatanmu masih tersimpan dalam benakku walau ingatanku sebenarnya telah muncul."

"Heh, ternyata sebagai pengkhianat, kamu tetap mengingat kekuatan teman setimmu."

"Jangan sebut dirimu setim denganku!"

Reviss tiba-tiba berteriak membentak, menanggapi pengakuan Ernest bahwa mereka adalah rekan setim.

"Dirimu tidak ada! Aku, Shikawa, Zhaahir, dan Neshara! Sama sekali tidak ada Ernesto Boreas dalam timku!

"Dirimu hanya muncul, bersama Meredy untuk menggantikan Shikawa dan Neshara!

"Kalian hanya pion nasib yang tak berpihak pada mereka! Miris, bahkan Zhaahir pun tak mengingat Neshara! Mereka hilang, bahkan histori pun melupakan mereka!"

Lodun yang dari tadi mengaduh kesakitan, tersentak mendengar pengakuan Reviss. Kondisi mereka sama, kehilangan teman setim dan tidak ada yang mengingatnya.

"Tuan Arspencer," Lodun angkat suara, "benarkah itu? Tuan juga mengalami kehilangan teman, dan tidak ada seorang pun yang mengingat mereka?"

Reviss merespon kaget saat mendengar kata 'juga'. Dirinya tak mengira bahwa anomali Alforea tak terjadi hanya padanya. Vajra terdiam tak mengerti, Ernest pun bingung.

"Whirrr, BIP! Teman kalian adalah korban alterasi, BIP!"

Tiba-tiba sesosok kelabu muncul dari satu sisi, mengejutkan mereka berempat. Langkahnya berat, menyeret menghasilkan jejak salju yang berbentuk dua garis panjang. Lodun segera memeriksa bola radarnya yang berjejer melingkar nyaris memenuhi gelang milik Lodun, memastikan sosok bertubuh besi tersebut.

Radar aktif, sebuah cakram horisontal muncul. Tampak lima titik di atasnya, berdekatan satu sama lain. Dia menyentuh satu yang paling jauh dari titiknya berada, memunculkan sosok kelabu tersebut dalam hologram dengan rangkaian kata di atasnya. Renggo Sina.

"Renggo Sina, petarung terakhir." bisik Reviss, mengetahui Zhaahir sudah dihabisinya.

"Apa maksudmu dengan korban alterasi?" tanya Vajra.

"Whirrr, BIP! Aku tidak tahu banyak, BIP! Tapi besar kemungkinan ada hubungannya dengan eksistensi pria itu."

Renggo lalu menunjuk Lodun, menggunakan gerakan yang agak tak luwes ala robot. Yang ditunjuk terkejut, tak tahu salahnya apa.

"Jadi begitu," Vajra menggosok hidungnya dengan jari telunjuk, "mungkinkah itu alasannya Tuan Nurma ingin membuatmu gugur di ronde ini?"

"Huh, aku tak peduli." Ernest menampakkan seringai meremehkan.

"Aku hanya ingin membunuhnya!"

---

Meredy tampak kesal.

Betapa ia membenci Reviss karena misi tim mereka dikacaukan. Mujur, Reviss tak mengganggu kesuksesan tim. Dirinya dan yang lain masih berhasil menang, walau tanpa Reviss dan peluru adrenalin yang dihabiskannya. Tapi tetap, ia merasa Reviss harus membayar atas peluru miliknya.

Meredy tampak menghela nafas. Ia kesal, tapi itu bukan tujuan utamanya di Alforea. Ia kembali angkat bicara begitu teringat akan maksudnya mendatangi Ernest.

"Omong-omong Ernest, kau setim dengan Lo Dmun Faylim, ya kan?"

"Hm," Ernest mengangguk, "dengan Reviss juga."

"Sudah kubilang, jangan sebut nama brengsek itu!"

Meredy membentak marah. Ernest hanya tertawa kecil.

"Yang terpenting, Lo Dmun Faylim. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku yakin ada sesuatu tentangnya yang bisa kumanfaatkan untuk menguasai Alforea. Setidaknya aku tahu, Ruu dan Nurma juga mengincarnya. Jika dia mati, sesuatu pasti terjadi di Alforea.

"Jadi Ernest," Meredy berhenti sejenak, "jika kau ingin hutang-hutangmu lunas, ada satu cara yang bisa kau lakukan.

"Bunuh dia."

"Heh, menarik." Ernest menyeringai, "Segitu berharganya pria kecil ini sampai kalian semua mengincarnya?"

Ernest lalu memukulkan tinjunya ke tangan kiri, menampilkan semangat yang mengisi dirinya.

"Bocah itu mangsaku!"

---

JEDERRR!

Petir menyambar. Tampak Vajra tersenyum lebar sambil tangannya menyatu, mengepal ke depan. Beruntunglah Lodun berhasil menghindar, efek waspada karena kesadaran bahwa dirinya diincar semua.

"Panah Petir Pasopati!"

Lagi, Vajra melesatkan panah-panah petir dari lengan kanannya, menuju Lodun. Lodun lincah bergerak, menghindari seluruh luncuran panah yang datang padanya.

"Aku tidak ingin membunuhmu.

"Tapi aku tidak akan bisa mengalahkanmu jika aku tak serius!" teriak Vajra bersemangat.

"Cih!"

Ernest ikut bergerak, ia maju mendekati Lodun yang mulai tampak kelelahan. Demi menghemat tenaga, Lodun tak punya pilihan lain selain menghadapinya langsung.

"Sick Sickle of Sixth Auro!"

Sebuah sabit raksasa merah muncul setelah aliran aura Ernest berputar dengan tangan kanannya sebagai poros. Digenggamnya sabit itu kemudian diayunkan seperti palu, mengarah ke dahi Lodun.

Zraaash!

Lodun berhasil bergerak mundur, tapi dadanya kena sedikit. Bagian depannya terluka, mengucurkan darah pada sayatan di bajunya. Lodun kemudian melemparkan dua dinamit ke Ernest.

Bum! Bum!

Serangan Lodun meleset, Ernest berhasil menghindar dengan cepat. Bersamaan dengan itu Lodun melihat sekeliling, mencari titik tanah yang bisa disentuhnya.

Dapat!

Lodun segera melompat dan menghilang dalam tanah, menjadikan diri layaknya tikus tanah. Ernest bingung, tak sempat mencegah. Dia tak lagi bisa melacak posisi Lodun jika ia berada di dalam tanah, apalagi tanpa radar. Ia hanya berlari tak tentu arah, hingga didengarnya suara ledakan di dekat Vajra.

Syutt, bum!

Syutt, bum!

Dari sekitar tanah berpijak Vajra, muncul lubang-lubang kecil yang cukup untuk Lodun melempari bom melewatinya, berkali-kali. Vajra panik, daya ledak mempengaruhi gerakannya. Ia hanya bisa melindungi diri dengan menyilangkan tangan dan mengumpulkan prana petir di lengan.

"Dia di sana!" teriak Ernest.

Vajra kemudian mengumpulkan prana petir dalam genggamannya, menyiapkan sebuah tinju listrik dengan kekuatan gigantik.

DEBUM!!!

Sekepal tinju dipukulkan ke bawah, mengakibatkan getaran tanah sesaat. Ledakan berhenti, membuat Vajra berpikir dirinya telah mengalahkan Lodun. Melihatnya, Ernest menggerutu. Ia juga berpikir Vajra mendahuluinya. Ernest hendak bergerak maju berniat menyerang Vajra, ketika tiba-tiba terdengar suara lompatan dari belakangnya.

"Ugh!"

Lodun muncul!

Dia belum mati, malah mengejutkan Ernest dengan mencekik dia dengan tali dari belakang. Ledakan-ledakan ke arah Vajra tadi ternyata hanya pengalih perhatian, memberinya kesempatan untuk memburu Ernest yang jelas lebih bernafsu untuk membunuhnya.

Ernest meronta sementara Lodun menunggu dirinya jatuh pingsan. Ernest segera membungkuk cepat, melontarkan Lodun ke depan agar jatuh dan melepaskan dirinya dari belenggu si rambut putih.

Lodun terjerembab. Ernest mengambil kembali sabitnya yang terjatuh lalu mengayunkannya melintang, membiarkan Lodun melompat menghindarinya. Tapi Ernest cerdik, ia segera memukulkan pegangan sabit tersebut ke samping badan Lodun, membuatnya kembali tersungkur ke tanah salju.

"Matilah!"

Dibantingnya sabit itu diagonal, mengarahkan ujungnya yang tajam melengkung ke Lodun.

Dor!

Reviss tampak berdiri dengan pistol teracung di tangan kanan. Ia menembak sabit itu, membuat senjata aura merah itu lagi-lagi membaur dengan udara ketika retak.

"Reviss! Kau lagi!"

"B-bukan, itu bukan aku!"

Suara Reviss. Itu datang bukan dari yang barusan menembak, melainkan dari seseorang yang berusaha berdiri dari posisinya yang telentang. Dari pundak kirinya mengalir darah, tampak mencolok di atas mantel hitamnya. Orang itu berambut coklat, sama seperti Reviss. Bahkan, mata hijau dan wajahnya juga menyerupai Reviss.

Ada dua Reviss!?

"Whirrr, BIP! Tugasku adalah melindungi Tuan Faylim, BIP!"

Reviss yang barusan menembak itu mengeluarkan suara meski mulutnya tertutup, membuat semua menyadari bahwa itu sebenarnya adalah Renggo Sina. Ia masih berdiri diam, membuat Lodun dan yang lainnya heran.

"Apa yang terjadi?" teriak Vajra.

"A-aku tidak tahu, yang kulakukan tadi hanya menembaknya." kata Reviss.

"Aku tadi mengincarnya karena dia memegang radar terakhir, tapi ketika peluruku mengenainya dia berubah jadi diriku."

"Whirrr, BIP! Executing Duel_Punch.exe.... Allow Ernesto Boreas as partner, yes or no?

"Yes."

Sosok Renggo 'Reviss gadungan' itu melayang, mengeluarkan cahaya kekuningan dari dalam dirinya. Ernest mendadak tersedot, tertarik melayang ke arah Renggo.

Di punggung Renggo kemudian muncul sebuah persegi warna jingga, besar berputar-putar menutupi pandangan Reviss yang ada di belakang robot peniru itu. Kemudian dari sisi-sisi persegi itu muncul persegi-persegi lain yang menempel padanya, hendak menutup membentuk kubus. Ernest yang ditarik oleh kubus oranye itu kemudian terkurung di dalamnya, bersama Renggo 'Reviss gadungan'.

"AAAAAAAGH!"

...

Tiba-tiba sunyi.

Hanya terdengar angin di sekitar mereka, membawa salju terbang ke mana-mana.

Lodun berdiri terpaku melihat sebuah kotak oranye di depan mereka, melayang diam di tempat. Warnanya seperti jeruk, mencolok di tengah putihnya salju.

Reviss terengah, berusaha berdiri dengan peluru menyarang di pundak kirinya. Ia bersyukur bukan lengan kanan yang kena, mengingat tangan kanannya adalah pusat kekuatan yang dimilikinya.

Vajra sendiri hanya bengong, dia benar-benar tak mengerti apa yang tengah terjadi. Tapi di tengah semua itu, setidaknya dia tahu satu hal.

Lodun masih di atas angin.

DUARR!

Reviss menembak, kali ini tembakannya menghasilkan pusaran yang kencang menerobos lautan salju dan menyibakkannya ke kanan dan ke kiri. Bisa ditebak, Lodun lah incaran peluru itu.

Lodun menghindar, tapi angin ledakan yang ditimbulkan peluru itu menghempaskannya ke samping. Hal ini kemudian dimanfaatkan Vajra. Ia mengumpulkan prana petir ke kakinya, dan bergerak kilat ke arah Lodun.

"Tinju Petir Brajamusti!"

JDUMMM!!

Tinju berlapis petir menghantam tanah, meleset. Lodun dengan tenaganya yang mulai menipis, masih lincah bergerak menghindari serangan. Tapi dengan kecepatan Vajra, Lodun tetap tak berkutik.

BUAKK!!

Sebuah tinju menyarang, menyusul serangan terakhir Vajra. Jarak yang cuma sejengkal, mengakibatkan daya rusak yang lebih dahsyat. Lodun terpental ke belakang, jauh hingga dirinya nyaris terjatuh ke jurang.

Jurang.

Sedari tadi mereka berhasil menjaga jarak dengan jurang, tapi kini pertarungan mulai mendekati wilayah berbahaya itu. Lodun beruntung dirinya masih di atas salju, tidak sampai terdorong jatuh ke kedalaman. 

Vajra segera menggunakan prana petirnya untuk berlari, berusaha mengecilkan jarak antara dirinya dan Lodun. Reviss pun ikut bergerak, siap menyerang lawan yang tersisa.

"Jump!"

Reviss mendadak lenyap, dan muncul kembali di sebelah kiri Vajra yang tengah berlari. Vajra terkejut, tidak siap atas kedatangan Reviss.

Jlebb!

Reviss menusukkan sebatang besi miliknya, ke bagian samping badan Vajra. Prana petir Vajra melemah, hilang perlahan. Ia segera berhenti berlari, seolah kelelahan. Kemudian ia jatuh berlutut di tanah salju, merasakan tubuhnya yang kian tak bertenaga.

"A-apa yang kau l-lakukan padaku, Rrreeviss!?" kata Vajra parau. Suaranya terdengar bergetar.

"Diamlah sejenak di sana, wahai Satria Dalang."

Deg!

"Agh!"

Bahu kiri Reviss makin terasa sakit, menahan langkahnya sejenak. Ia perlahan melangkah kembali, lalu berlari. Diterjangnya Lodun yang telah bersiap dengan pisau terhunus. Mengetahui itu, Reviss ikut mencabut belati di tangan kanannya.

Traaang!

Pisau Lodun dan belati Reviss berbenturan.

Mereka berusaha saling menyayat, tapi tangkisan selalu membentur. Gesit serangan demi serangan antara pisau dan belati menimbulkan dencangan yang bergema-gema.

"Kau tahu," Reviss berbicara di tengah pertempuran, "betapa aku sebenarnya mencintai Neshara, salah seorang temanku yang hilang? Teman-teman kita menjadi korban alterasi, lenyap tanpa bekas."

Trangg trang traang!

"Tak seorang pun mengingat mereka, kecuali kita.

"Tidakkah engkau takut, wahai yang berambut putih? Tidakkah engkau takut ketika mati, tidak akan ada yang mengingat dirimu?"

Kristal oval Reviss berpendar, menandakan kekuatannya aktif. Energinya membuat ketajaman belatinya berlipat ganda. Ia lalu mengayunkan belatinya ke Lodun yang siap menangkis seperti sebelumnya, tak menyadari bahwa belati itu telah bertambah tajam.

Zrattttt...
Traaang!

Pisau Lodun patah!

Lodun jatuh terduduk ke belakang, melihat Reviss yang tampak menyeramkan dengan noda darah yang telah membeku di mantel hitamnya.

"Kau bisa mengingat mereka yang hilang bukan?" tanya Reviss sembari mengacungkan belatinya ke Lodun. Lodun hanya diam, tapi anggukan gemetaran itu telah menjawabnya.

"Kalau begitu, ingatlah kisahku dan Neshara, jiwa yang saling mencinta. Biarkan kenangan kami hidup dalam dirimu yang kalah olehku, wahai pemuda pembuat liang. Aku ingin menyusulnya, menyusul dirinya yang lenyap tanpa nyawa.

"Saat ini, aku lebih ingin mati dalam ingatan seseorang."

Lodun bingung, tak mengerti apa-apa yang dihadapinya saat itu. Detik berikutnya ia melihat Reviss melangkah mundur, perlahan tapi pasti. Entah ia sadar atau tidak, di belakang Reviss adalah jurang.

Reviss melompat!

Lodun terkejut. Ia tak menyangka seorang yang berhasil menjatuhkannya, malah bunuh diri tepat di depan matanya. Lodun spontan melompat tanpa memikirkan apapun lagi, menangkap tangan Reviss yang terjatuh.

Reviss tertegun, Lodun tetap berusaha menyelamatkannya meski dirinya sendiri yang ingin mati. Namun naas, Lodun lupa berpijak sehingga dirinya melayang di udara dan ikut tertarik jatuh.

Hap!

Seseorang menangkap kaki Lodun!

"Bodoh! Kalian berdua ingin mati, hah!?" pria berambut hijau kuncir kuda muncul, menahan agar tidak jatuh.

"Untung aku berhasil melepaskan besi yang menancap sebelum kalian jatuh! Dasar bodoh!"

Vajra berteriak marah, tapi kedua tangannya terus menahan. Dari bagian samping badannya, tampak darah mengalir dari bekas besi Reviss. Prana petirnya belum utuh sempurna, sehingga kekuatannya juga tak maksimal. Perlahan kaki Vajra terseret, menimbulkan pergeseran dari titik sebelumnya.

Bahaya.

Vajra mulai panik, ia berteriak minta tolong. Kekuatannya belum cukup untuk menahan dua orang. Lodun sendiri masih teguh menahan tangan kanan Reviss, dia benar-benar tak ingin melepaskannya apapun yang terjadi.

"Lepaskan aku, bodoh! Jika tidak, kalian akan mati!" bentak Reviss.

"Tidak akan!" teriak Vajra dan Lodun bersamaan.

Reviss terbengong, tak disangkanya ada orang yang rela berbuat begitu pada orang lain. Reviss tersenyum di detik terakhirnya, berbisik.

"Lo, ingatlah aku."

Zratttt!

Dengan tangan kiri, ia menebas lengan kanannya tepat di pergelangan hingga putus. Ia lalu terjatuh ke dalam jurang, tenggelam dalam gelapnya. Kehilangan beban mendadak, Lodun terlontar ke belakang Vajra yang menariknya. Mereka berdua lalu jatuh terguling.

Mereka berdua segera melihat ke arah jurang, menatap kekosongan. Tak berapa lama kemudian keduanya mendapati bulir-bulir cahaya berwarna coklat terang, terbang dari dalam jurang ke atas langit bersatu dengan udara. Lodun lalu melihat tangan kanan Reviss yang bercucuran darah di genggamannya kini perlahan berubah menjadi debu-debu coklat, persis seperti yang barusan dilihatnya.

Vajra nampak begitu marah, ia memukuli tanah bersalju.

"Aku di sini,"

Bug bug buag!

"tapi tetap ada yang mati!"

Vajra terengah, kesal pada dirinya sendiri. Ia berusaha melampiaskan kemarahannya ke tanah salju yang tak bersalah. Sementara Lodun tampak gemetar, memegangi sarung tangan Reviss sebagai satu-satunya yang tersisa dari dirinya. Sedih, kesal, marah, bercampur jadi satu.

Tak disangkanya, ada orang yang begitu takutnya untuk dilupakan hingga memilih untuk mati dikenang.

"Yah," Vajra kemudian berdiri, menghadap ke arah Lodun, "setidaknya dengan ini aku yakin, kamu tidak sejahat kedengarannya."

"Lo Dmun," panggilnya lagi, kali ini dengan nama depannya, "engh, ribet. Namamu susah sekali disebut, bagaimana kalau kupanggil Lodun saja? Ya, sebaiknya Lodun saja!" Vajra berceloteh sok akrab sementara Lodun menggaruk-garuk kepalanya, Déjà vu.

"Namaku Raditya Damian, penyandang kekuatan dewata dan pemegang nama Satria Dalang, VAJRA! Perkenalkan!"

Vajra mengulurkan tangannya, tersenyum simpul pada Lodun. Lodun tak menyangka kejadian tersebut malah mengikat pertemanan di antara mereka. Lodun menjawab uluran tangan tersebut dengan menggapainya, hendak bersalaman.

Bzzzzt!

Tiba-tiba sosok Vajra menjadi kabur.

Tak lama kemudian tidak hanya Vajra, tapi juga seluruh yang dilihatnya di sana tampak buram, bergaris-garis. Dalam sekejap sekitar Lodun berubah menjadi hutan. Hutan yang sejuk, tenang menentramkan jiwa. Pepohonan melambai-lambai, rumput bergoyang-goyang, dan batu berlumut tampak asri diiringi ciap burung perkutut.

Sebentar kemudian, garis-garis itu muncul lagi. Ia segera melihat dirinya berada di depan sebuah benteng raksasa yang gelap mencekam. Megah, berdiri di atas sebuah bukit batu. Bayang-bayang putih melayang di sekitar benteng tersebut, seperti hantu.

Bzzzt!

Glup glup glup...

Tak lama tadi ia berada di depan benteng, kini dirinya tenggelam dalam air!

Ia tengah berada di antara puing-puing bangunan yang tenggelam. Airnya asin, berarti Lodun sedang di bawah laut. Lodun sempat panik tapi hanya sebentar karena sesaat setelahnya, entah bagaimana, Lodun kembali ke padang salju.

Padang salju Los Soleim, tenang mencekam.

Lodun melihat sekeliling, memastikan. Bangkai-bangkai rusa yang tadi mereka kalahkan masih di sana, beberapa meter dari tempatnya berdiri. Tangan kanan Reviss masih dibawanya. Bahkan kotak jingga itu masih melayang di atas tumpukan bangkai rusa, anyir karena darah. Lodun tak melihat banyak perubahan, kecuali satu.

Vajra menghilang.

Lodun terkejut bukan main. Ia seketika panik menyadari Vajra tak lagi di sana.

BUM!

Terdengar suara ledakan yang sangat keras dari kejauhan, tepatnya dari kotak jingga yang melayang itu. Sosok Ernest kemudian muncul dari dalam kotak jingga tersebut. Tapi aneh, mata Ernest itu tertutup hitam. Tidak hanya kornea tapi juga bagian putih dari mata itu tertutup oleh gelap. Bajunya yang merah, makin merah oleh darah yang membasahi sekujur tubuh membuat Lodun tercengang melihatnya.

Ia kemudian turun perlahan, bersamaan dengan hilangnya kubus warna jeruk itu. Ernest lalu melempar sesuatu ke Lodun dengan satu tangan, mendarat tepat beberapa meter di depannya. Lodun terkejut ketika tahu apa yang dilempar oleh Ernest, membuat yakin bahwa ia sebenarnya bukan Ernest melainkan Renggo.

Yang dilempar oleh sosok bertubuh tinggi dengan pakaian serba merah itu hangus oleh ledakan. Hampir sekujur tubuhnya merah, bukan karena busana tapi karena darah. Ya, ini Ernest yang asli.

"Whirrr BIP! Opi memaksaku membunuh lagi, BIP!" ucap Renggo setelah mata yang serba hitam itu kembali seperti mata Ernest yang biasa.

Tubuh Ernest kemudian menghablur, bersatu dengan udara. Tubuhnya berubah menjadi butiran-butiran kecil, berpendar kemerahan. Debu merah itu lalu terbang ke atas langit, menghilang di udara. Kejadian ini persis dengan apa yang dilihatnya barusan saat Reviss terjatuh dalam jurang. Mungkin memang seperti ini fenomena kematian di Alforea. Tak perlu penguburan, tak perlu kremasi. Hanya menyisakan busana yang dikenakan peserta.

"Lo Dmun Faylim."

Sebuah suara memanggilnya, bukan dari sang robot. Lodun mencarinya, tapi nihil. Tidak ada siapapun di sana selain mereka bertiga.

"Aku di sini, Lo Dmun Faylim!"

Lodun terhenyak, menatap pipa kecil melayang-layang di udara di dekat dirinya. Ternyata sebuah pipa melayang itu yang menyuarakan namanya.

"Aku adalah Operator dari Renggo Sina, panggil aku Opi.

"Kami di sini untuk memastikan kemenanganmu!"

"Ha?" tanya Lodun heran, "Untuk apa?"

Dia tak mengerti demi apa gerangan seorang petarung berjuang demi kemenangan dirinya. Namun sebelum Lodun bisa bertanya lebih jauh, Opi melanjutkan.

"Tapi sepertinya kau tak terlalu memerlukan kami. Well, setidaknya biarkan kami memberikan radar ini untukmu. Terimalah!"

Renggo kemudian kembali ke bentuk semula, robot kelabu dengan tas kubus. Bercak merah akibat darah di tubuhnya tetap ada, tak berubah. Ia lalu berjalan pelan ke arah Lodun, melepaskan radar di gelang kirinya untuk diserahkan pada Lodun.

Renggo mengulurkan tangan besinya ke arah Lodun, hendak memberikan bola radarnya. Lodun ragu-ragu. Ia tak percaya ada orang yang sukarela menyerahkan kemenangan padanya.

Namun sebelum Lodun meraih bola itu, langit tiba-tiba bersinar, terang menyilaukan.

"Surat izin dari Kaisar!"

Suara yang melengking tinggi, hampir mirip suara perempuan, terdengar berteriak. Badai salju berhenti, sementara angin tak bertiup. Lalu dari atas mereka tampak sebuah kertas yang turun perlahan, persegi panjang dengan tulisan di atasnya.



Izinkan Kaisar meminta radar milikmu untuk diserahkan pada utusannya,
wahai pejuang Alforea!

Kaisar Khavaro



Tulisan itu tampak jelas terbaca oleh Renggo, tujuan surat tersebut. Programnya seolah berubah, tak lagi sanggup menuruti kehendak Opi. Tangannya menutup, mengembalikan bola radar tadi dalam genggamannya. Ia kemudian berpindah arah, berbalik memunggungi Lodun.

"Bagus, perintah kaisar adalah absolut!" suara itu terdengar lagi.

"Berikan padaku sebagai utusan Sang Kaisar!"

Renggo menuruti sang suara, memberikan bola radar itu padanya. Tawa terdengar, menunjukkan kepuasan. Kedua tangan Renggo perlahan turun, seperti jatuh.

Syuuung...brak!

Tubuh Renggo mendadak terdorong jatuh ke belakang!

"Whirrr... BIP! Sumber energi tidak ditemukan, BIP!"

Bagian dada Renggo, tepatnya di bagian yang menjadi persilangan sabuk tas Renggo, hancur berlubang. Percikan listrik tampak menyetrum-nyetrum dari kabel dan tembaga yang mencuat-cuat di tubuhnya. Visor warna merahnya tampak mati-menyala beberapa kali sebelum akhirnya mati total.

Dari balik Renggo, tampak sesosok petarung bermantel warna hitam dengan kilau keemasan. Ia bertopeng, dengan tudung putih serupa dengan pakaian ala timur tengah. Tangan kirinya menggenggam sebuah tombak panjang, siaga menyerang siapapun yang mendekat. Ia membawa bola radar milik Renggo di tangannya, bulat sempurna dengan warna akua. Lodun mengenali sosok itu, ia tadi menemui pria itu di bar dan telah melihatnya di radar.

Zhaahir Kavaro ketiga.

"Lo Dmun Faylim!

"Sekarang hanya tinggal kau dan aku!"



BAGIAN IV – PEREMPUAN


Whuuuushhh...

Angin berhembus kencang di tengah padang salju. Angin itu terbang membawa bulir-bulir putih dan hawa dingin yang menusuk. Gunung-gunung pun tinggi menjulang menerobos sang awan. Sementara sang jurang tenang mencekam, membawa kengerian. Inilah Los Soleim, padang salju abadi yang siap memenjarakan siapapun yang terjebak di dalamnya.

Lodun dan Zhaahir berada di sana, di dekat jurang yang mengurung Los Soleim. Permukaan tanah tampak karena salju yang tersebar, efek berpuluh ledakan dari pertempuran sebelumnya.

Brekk brekk...

Lodun sedang merobek bagian jari-jari sarung tangan milik Reviss untuk dikenakannya. Kelima jemari Lodun terlihat dari bagian yang disobek, sengaja agar dirinya masih bisa menyentuh langsung apapun yang hendak disentuhnya.

"Faylim," Opi berbicara. Ia masih di sana dengan wujud pipanya meski Renggo telah habis dirusak.

"Aku baru saja menerima back-up memori Renggo tepat sebelum tubuhnya berubah menjadi butiran abu-abu, dan aku menemukan suatu keganjilan."

Lodun berdiri diam, mendengarkan.

"Seingatku, Renggo memang belum bertemu dengannya. Namun data optis Renggo menunjukkan bahwa beberapa saat yang lalu aku telah memerintahkan Renggo untuk membunuh orang ini.

"Tidak hanya itu, data Renggo juga menunjukkan bahwa di area ini seharusnya kalian bertarung dengan Raditya Damian alias Satria Dalang Vajra, tapi nyatanya Vajra telah lebih dulu dikalahkan oleh orang ini."

Lodun kaget. Berarti hilangnya Vajra tadi memang anomali.

"Tampaknya ada seseorang yang merubah kontinuitas kejadian di jagat Alforea ini. Beruntung, Renggo memiliki A.I. tingkat tinggi yang bahkan di duniaku tidak terjelaskan, membuatnya mampu mencegah alterasi mengubah programnya."

Lodun tak mendengarkan bagian itu. Ia sedang sibuk melihat gelangnya dan memastikan jumlah bola radar di sana. Satu, dua, tiga, empat. Hanya empat! Seingatnya, ia membawa lima buah bola radar dengan hanya satu yang tersisa yaitu milik Renggo.

"Kau sudah selesai?"

Zhaahir, pria yang tadi mengalahkan Renggo itu berbicara, melepaskan Lodun dari kebingungannya. Zhaahir tampak siaga, ia berdiri dengan tombak di tangan kiri. Lodun kemudian membetulkan letak sarung tangannya, bersiap melawan Zhaahir.

"Berarti radar Vajra dan Renggo yang dibawanya." lirih Lodun.

"Aku salut, ternyata engkau berhasil membunuh Reviss, pria muda. Tapi aku tidak akan kalah di sini! Aku akan membalas dendamku pada Reviss dengan melampiaskannya padamu!

"Kavaleri Khavaro, Qorrum Sang Hitam! Perisai Purnama!"

Seekor kuda muncul dari kehampaan, berdiri gagah di samping Zhaahir yang kemudian segera melompat ke atas pelananya. Tombak miliknya dipindah ke tangan kanan tepat sebelum sebuah perisai muncul di lengan kiri Zhaahir.

Qorrum meringkih pelan, siap menerima aba-aba.

"Maju!"

Qorrum menghentak bersamaan dengan tumit Zhaahir dibenturkan ke sisi tubuh hitamnya. Ia menerjang menyerang Lodun. Lodun sendiri berlari ke kiri, seakan tak ingin dirinya berhadapan langsung dengan pangeran berkuda.

Zhaahir tahu, Lodun akan mengincarnya dari samping. Ia segera membelokkan kudanya dan berpindah haluan menuju Lodun, mengejarnya. Zhaahir kemudian berdiri di atas pelana, lalu melompat ke arah Lodun. Ia menggenggam tombak dengan ujung tajamnya mengarah ke bawah, ingin menancapkannya ke arah Lodun.

Depp... krakk!!

Lodun mengelak. Ia lalu menangkis tombak Zhaahir ke arah luar dengan telapak tangan kiri, bersamaan dengan kekuatannya yang digunakan untuk melubangi bagian yang dekat dengan genggaman Zhaahir. Tekanan yang didapat dari tangkisan samping Lodun ditambah lubang buatannya yang cukup besar itu efektif memudahkan Lodun untuk mematahkan tombak tersebut sekali dorong. Semua itu terjadi dalam sekejap, membuat Zhaahir terpelanting dan terjatuh berguling ke depan.

Zhaahir yang terguling, berhenti dalam posisi jongkok. Ia lalu melemparkan perisainya seperti cakram, berputar ke arah Lodun. Ia segera menunduk menghindar, membiarkan perisai itu melewatinya. Tapi Zhaahir mendekat cepat, menebaskan pedangnya dari bawah. Lodun masih sempat melompat mundur, tapi ia sedikit terlambat. Pipinya berdarah.

"Ugh..."

Perisai itu berputar balik ke Zhaahir yang menangkapnya dan memasangnya kembali di lengan kirinya. Qorrum yang tadi ditinggalkan, mendekati tuannya, siap memburu mangsa.

"Tak kusangka engkau bisa mengalahkan Reviss. Sarung tangan itu, miliknya bukan?"

Lodun tak menjawab, dirinya masih bingung.

"Beruntunglah engkau, aku sudah menggunakan Fantasma Hisaria milikku pada Vajra. Aku harus memanfaatkan yang tersisa dari diriku untuk melawanmu.

"Surat izin dari Kaisar!"

Lagi, langit menjadi terang benderang. Zhaahir tampak menaikkan tangannya ke atas, seperti memanggil sang surat turun dari langit. Lodun ingat efek kekuatan itu pada Renggo, ingat apa yang bisa dilakukannya.

Baff!

Lodun melempar bom asap, mengacaukan penglihatan siapapun. Zhaahir terbatuk-batuk, topeng perunggunya tak melindungi diri dari kepulan asap hitam.

"Asalkan aku tidak membacanya, aku aman dari perintah Kaisar!"

Bum! BUM! Bum!

Lodun melempari Zhaahir dengan puluhan bom, sambil berlari mengitarinya. Kristal hitam oval di sarung tangan berpendar, menambahkan kekuatan ledakan dari bom yang dilempar Lodun. Zhaahir panik, ia segera menaiki Qorrum dan berlari pergi dari area itu. Qorrum kemudian membelok, diarahkan untuk mengejar Lodun.

"Hiiiihhh!"

Qorrum dihentikan geraknya oleh Zhaahir, menyadari Lodun telah hilang dari area itu. Ia melihat sekeliling, waspada terhadap setiap gerakan yang ada di sana.

Duarr!

Tiba-tiba sebelah kanan Zhaahir meledak, membuatnya hilang keseimbangan. Beruntung teknik berkudanya telah cukup terlatih, sehingga ia bisa kembali stabil di atas Qorrum. Dirinya makin waspada.

DUARRR!!

Mendadak muncul ledakan yang lebih dahsyat, kali ini dari belakang Zhaahir!

"&#%$! Dari mana Lodun menyerangku!?

"Heaaa!"

Zhaahir lalu memacu kudanya cepat, berniat kabur dari serangan diam-diam. Ia berkonsentrasi ke segala jangkauan penglihatannya, mencari Lodun. Tiba-tiba ia melihat sebuah lubang kecil yang hanya cukup dimasuki lengan orang dewasa. Sebuah bola hitam muncul dari sana, terlontar ke arah Zhaahir.

Bom!

"Jadi di bawah sana kau rupanya!"

DUARRR!!

Beruntung Zhaahir sempat menghindar. Ia terus memacu kudanya, sedikit menjauh dari serangan bom Lodun. Setidaknya ia kini tahu di mana lokasi bocah rambut putih itu.

"Kavaleri Khavaro! Panah Dewa Pujangga!"

Dalam sekejap Zhaahir telah memegang busur, bersiap membidik Lodun. Di atas kuda hitamnya, ia menarik tali busur dan berancang untuk melesatkan anak panah. Anehnya, mata anak panah yang digunakannya tidak tajam. Tumpul, bahkan bisa dibilang datar. Ujungnya berbentuk piringan yang tegak lurus dengan badan panah.

Zhaahir tampak siaga, melihat sekeliling mencari di mana titik bom akan muncul. Jeli melihat, awas terhadap setiap pergerakan.

Syut!

Sebuah lubang!

Kecil berbentuk tabung miring, lubang itu muncul di sebelah kiri Zhaahir. Lubang itu hanya bisa dimasuki oleh sekepal tangan tapi sangat cukup untuk dilewati anak panah. Satu lesatan anak panah meluncur menuju lubang.

Syuuuut...

Sebuah bom keluar dari lubang tersebut, hendak menuju Zhaahir. Tapi panah Zhaahir berhasil mendorongnya balik!

BUM!
DUARRR!!

Lodun terlontar ke atas!

Untungnya Lodun sempat membuat lubang di langit-langit gua yang dibuatnya sehingga dirinya tak perlu terjebak dalam ledakan di bawah tanah. Namun, Ledakan tersebut masih lumayan besar untuk membuat tubuh kecilnya terlempar, melayang di udara.

Zhaahir tak tinggal diam. Ia memanfaatkan kondisi Lodun tersebut dan membidiknya. Satu, dua, tiga, puluhan anak panah dilesatkan dan semuanya memiliki satu sasaran. Panah melesat cepat, tak ada jarak sejengkal antara satu dengan yang lainnya.

Bum! Bum! Bum!

Lodun melemparkan bom asap ke arah panah-panah itu, menggantikan dirinya sebagai target. Asap kelabu mengepul, mengacaukan bidikan Zhaahir. Seluruh area tertutup, melenyapkan pandangan atas apapun di sana, termasuk Lodun.

Zhaahir kemudian memasang langkah waspada begitu menyadari ia kehilangan Lodun lagi. Ia yakin Lodun akan menggunakan taktik serangan diam-diam seperti tadi untuk menyerangnya. Zhaahir melihat sekeliling, yakin bahwa Lodun akan menggunakan kekuatannya. Matanya mengamati sekitar, siaga penuh terhadap serangan yang akan datang.

Syuttt!

Lodun muncul dari atas!

Lodun melompat tinggi, mengejutkan Zhaahir yang terlanjur waspada akan kemunculannya dari bawah. Lodun kembali melempari Zhaahir dengan puluhan bom. Kristal oval berpendar, menambah efek ledakan. Zhaahir segera membawa kudanya menjauh dari daerah pengeboman Lodun.

"Equum Ruinam!"

Kaki depan Qorrum terjatuh ke dalam sebuah lubang bertepatan dengan teriakan Lodun barusan, menyebabkan kuda legam itu oleng. Dalam sekejap kuda itu jatuh, menyusul Zhaahir yang menungganginya. Zhaahir berputar di atas salju, mendarat dengan berguling.

Zhaahir diam sejenak. Ia lalu berdiri terengah, menatap Lodun yang telah mempermainkannya.

"Kavaleri Khavaro, padamkan bendera."

Perisai Zhaahir hilang, bersamaan dengan kuda hitamnya. Ia menyimpan seluruh energinya kembali ke dalam tubuhnya. Tampak Zhaahir ingin segera menyelesaikan pertempuran.

Lodun berdiri, tegak menanti apapun yang akan dilakukannya.

"Sebenarnya aku tak ingin melakukan ini, tapi aku harus segera membereskan pertarungan. Energiku telah mencapai batas, jadi ini adalah penentuan!"

Tangannya dibentangkan ke dua arah, perlahan menampakkan distorsi visual di kanan dan kirinya. Tanah berguncang, menggetarkan gunung-gunung. Daratan bergolak, menggerakkan padang salju di atasnya. Bulir-bulir di sekitar Zhaahir mencair, leleh merasakan panas. Angin yang berhembus, makin kencang berputar di sekitar Zhaahir.

Tempat yang tadinya dingin, kini menguapkan salju.

"Kecantikan tiada tara, perjuangan tiada akhir, dan romantisme yang abadi! Dengan seizin Kaisar tertinggi, bergabunglah di atas nama sembrani dan serahkanlah kemampuanmu pada sang fana!

"SHANDORA BERAPI!!"

Zhaahir mengatupkan kedua tangannya di depan dada, mempertemukan telapaknya. Angin yang tadi berhembus kencang lalu berputar-putar di atas kepala, membentuk pusaran hitam gelap yang menyeramkan. Pusaran itu menghadap ke Lodun, memperlihat kegelapan yang dalam mencekam seolah tembus ke dimensi lain.

"Energiku adalah api, jiwaku adalah suci! Tombak Pendekar!"

Dari dalam pusaran itu kemudian muncul puluhan tombak menyerupai yang dipatahkan Lodun tadi, namun kali ini diselimuti bara api. Tombak itu meluncur seperti hujan, menyerbu semua yang ada di depan Zhaahir.

"Perisai Purnama! Pedang Sabit!"

Serangan tombak kemudian disusul oleh perisai yang berputar-putar dan pedang lengkung yang menerjang lurus, juga terbakar oleh api. Mereka berjatuhan seperti hujan meteor. Lodun yang menjadi target hanya bisa berlarian menghindar. Tapi serangan yang intensitasnya tinggi itu menyulitkan dirinya.

Bum!
BLARRR!
Syuut...
Jrasssh!

"AAAGH!!"

Satu tombak kena!

Kaki kanan Lodun tergores. Langkahnya melambat, membuatnya jadi sasaran empuk senjata-senjata lain yang berjatuhan. Puluhan perisai dan pedang yang terbakar menyusul, menyerang Lodun dari berbagai sisi. Lodun mulai kesakitan, hampir seluruh bagian tubuhnya terkena serangan api.

DUAKKK!!

Lodun terjatuh. Satu perisai telak mengenai punggungnya.

"Akan kuakhiri sekarang. Jangan dendam padaku, hai Rambut Putih! Ini semua kulakukan demi suamiku!"

Lodun tak sanggup lagi mendengarkan, dirinya sibuk tersiksa fisik. Ia meringkuk di tanah membiarkan sekitarnya terbakar benturan sementara Zhaahir merapatkan tangannya, mengerahkan energi lebih dari sebelumnya.

"Kupanggil engkau dari Hisaria! Wahai Sang Legam, kerahkan jiwa apimu!"

Tepat setelahnya, sesosok kuda berukuran dua kali biasa muncul dari pusaran. Tampilannya seperti Qorrum, hanya matanya lebih buas dengan warna merah menyala. Seluruh tubuhnya hitam, bagai hangus. Surainya terbuat dari api, mengingatkan akan Tamon Rah.

Kuda itu bergerak maju bersamaan dengan hujan senjata api yang masih berjatuhan, menyerbu Lodun yang terbungkuk merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Lodun dalam ketakutannya mengarahkan tangan kanannya ke depan, seakan itu bisa menghentikan laju sang sembrani. Saat itu, si kuda buas kian mendekat.

Lodun terdesak.

"Aaaaaaahhh!"

Teriakan barusan tanpa sadar membuat Lodun mengerahkan tenaga di tangan kanannya. Kristal oval di sarung tangan Reviss berpendar, kelap-kelip. Makin lama kelip itu makin cepat hingga suatu ketika, akhirnya kristal oval tersebut berhenti berkedip dan menyala terang. Penggandaan energi, kini dalam titik maksimal.

Buff!

"H-hiiiihhhhh!"

Kuda itu mengerem sendiri, meringkih kesakitan. Kepalanya menggeleng-geleng, meronta seperti hewan yang hendak disembelih. Api di surainya mengecil, lalu padam. Semua senjata yang ada di sekitar kuda raksasa itu juga kehilangan baranya, padam entah kenapa.

Lodun tak menyangka dirinya selamat. Ia lalu menurunkan tangannya, membiarkan otot-ototnya terjatuh lemas. Tapi ketika ia kira dirinya bebas, bersamaan dengan itu api-api itu kembali!

Lodun terkejut mendengar sang kuda meringkih, kembali bergerak. Tapi untungnya, kini ia menyadari sesuatu. Ia melihat punggung tangan kanannya, terdapat kristal hitam oval dari Reviss. Secercah harapan terlihat. Ia segera mengarahkan tangan kanannya ke depan dengan tangan kiri menyangga lengan bawahnya.

"Terima kasih Reviss.

"Neo Apertis!!!"

Buff!

"HIIIIIIHHHHH!!!"

Sang kuda kembali meronta. Surainya yang terbakar, padam di beberapa tempat. Senjata-senjata yang terjun menghujani Lodun, kini tak membara. Beruntung ia berada tepat di depan kuda raksasa tersebut, sehingga senjata-senjata itu tak ada yang mencapai dirinya karena terpayungi oleh tubuh sembrani dewa.

Zhaahir terperangah, tak diduganya Lodun bisa menahan sang kuda. Zhaahir kemudian makin mempererat kedua tangannya, menambahkan seluruh energi yang tersisa miliknya. Sementara itu kristal oval Lodun juga menyala makin terang, menandakan kerahan tenaga yang digunakannya juga meningkat.

Keringat membasahi pelipis Lodun. Dari tangannya yang putih, tampak garis-garis urat nadi berwarna biru. Begitupun Zhaahir, tampak tangannya menyatu semakin erat seolah tak bisa lagi dilepaskan. Lodun dan Zhaahir sama-sama mengerahkan sisa kekuatannya untuk ini.

"HIAAAHHHH!!!!"

"Uuughh.... Maafkan aku, Tuan Khavaro.

"Solvo."

Syuuut... BAMMM!

BAMMM!

BAMMM!

BAMMM!

Ledakan terdengar di mana-mana, tapi tak ada asap. Kuda gigantik itu merasakan ledakan di berbagai sudut tubuhnya. Sang kuda terluka parah, memperlihatkan darah dan luka bakar di semua sisi. Kuda itu tak sanggup bertahan, oleng diikuti suara bedebum yang sangat keras.

Kuda itu tumbang.

Zhaahir yang melihatnya langsung lemas. Ia sama sekali tak mengira Lodun bisa menjatuhkan sang legam. Pandangan mata di balik topengnya menunjukkan rasa tak percaya. Lemas tubuhnya merasakan kekalahan membayang.

Akhirnya kedua tangan Zhaahir melemah, lalu dijatuhkan saja ke bawah. Ketika telapak terpisah, pusaran itu pun lenyap. Senjata-senjata yang ada di sana, menghilang begitu saja bersamaan dengan tubuh sang kuda.

"Hhhh... hhhh..., tak kusangka kau bisa menghabisi Qurrama."

Bruakk!

Zhaahir terjatuh dengan posisi berbaring menghadap samping. Tenaganya yang tersisa tak cukup bahkan untuk sekedar menopang tubuhnya. Lodun sendiri jatuh berlutut, tak menyangka dirinya menang.

Sepi.

Sekarang, semua sepi.

Angin berhembus kembali, kencang. Hawa panas bagai neraka yang baru dirasakan Lodun, tak lantas menghilangkan salju abadi dari padang Los Soleim. Salju kembali turun, tertiup angin yang makin kencang bagai badai.

"Selamat, Nak! Kau berhasil!"

Lodun menoleh, ia melihat sebuah pipa melayang di sebelahnya. Opi. Ia tak sanggup lagi untuk memikirkan ke mana saja dia selama pertempuran. Fisik dan mentalnya sudah terlalu lelah untuk itu.

Tak berapa lama kemudian bola radar milik Zhaahir terlepas, lalu meluncur terbang ke arah Lodun. Kedua bola itu langsung menempel ke gelang Lodun, bertemu dengan bola yang lain. Sekarang seluruh radar telah dibawanya.

Lodun bangkit, lalu mendekat ke arah Zhaahir. Bagaimanapun, ia sama sekali tak memiliki dendam pada pria itu. Lodun membaringkan tubuh Zhaahir telentang, bermaksud mempermudah nafasnya. Lodun menyibakkan sedikit tudung putihnya kemudian meraih topeng perunggunya, pelan ditarik dan dilepaskan.

Deg!

Lodun tertegun.

Deg!

Di hadapannya, terpampang wajah yang begitu indah bak malaikat.

Deg!

Kulitnya putih bersih, mulus tanpa cacat.

Deg!

Rambutnya kuning, indah secerah mentari.

Deg!

Lodun seperti hilang akal sehat. Ia tak kuasa untuk tak mendekat, mencium wanginya yang harum semerbak. Tangan Lodun menyentuh pipi, halus. Ia menurunkan mukanya perlahan, berniat mengecup keranuman yang terlukis di depannya.

Syuuut!

Topeng yang dipegang Lodun mendadak terlepas, meluncur menutupi wajah itu kembali.

Lodun langsung tersadar. Ia melonjak mundur dengan kagetnya, langsung terjatuh ke permukaan tanah. Nafasnya kini memburu cepat. Ia tak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya. Selama pertarungan ini, ia telah salah sangka.

Itu wajah perempuan.

===



Pria berjubah hitam tampak berdiri di sebuah ruangan, diam tanpa gerak. Ia seperti tengah menanti, tiada kata tiada suara. Kegelapan dalam ruangan itu menambah kesan suram dalam keheningannya.

Tak berapa lama, setitik cahaya muncul di ruangan tersebut. Perlahan, cercah cahaya mungil itu menyebar, menerangi seluruh ruangan. Semua yang disangka kosong, ternyata isi. Setelah terang, megah terpampang. Ruangan yang gelap itu menjelma laksana istana, mewah seperti di kerajaan.

Tampak janggal di antara kemegahan tahta istana, sebuah peti mati warna hitam berdiri kaku di tengah ruangan. Peti mati tersebut tersambung kabel-kabel yang memenuhi seluruh langit-langit ruangan.

"Apa harus seperti ini setiap kali engkau muncul?" terdengar suara dari peti tersebut.

"Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba tidak menyangka akan ada yang menyadari perubahan kontinuitas yang kubuat." kata pria jubah hitam itu sembari berlutut memberi hormat.

"Sejauh ini semua sesuai rencana. Hanya saja sekali mereka menyadari alterasi, maka akan berat bagi hamba untuk merubah kenyataan mereka.

"Tapi hamba telah memberikan sugesti kematian tanpa henti pada kesadarannya, membiarkannya jatuh dalam depresi. Setidaknya dengan ini dia tidak akan sempat mengganggu kita."

"Sudahlah tidak apa-apa, jalankan saja sesuai rencana awal." terdengar suara dari dalam peti mati tersebut.

"Siap!"

Pria berjubah hitam itu kemudian pergi, meninggalkan peti mati tersebut tegak sendiri. Kekelaman menyelimuti bersamaan dengan ditutupnya pintu keluar satu-satunya di sana.

"Heh, hahaha..." peti mati itu tiba-tiba bersuara kembali. Tawanya terdengar licik mengesalkan.

"Anak keluarga Faylim, ketahuilah...,



"titisan Akash tidak butuh teman!"



Pelarian Akash: END

13 comments:

  1. hohoho, lodun's here! Radith so happy.
    Yah, perposisiannya lumayan chaos, tadi kepala saya agak pusing pas baca. Yah emang kesannya jadi campur aduk, dan saya rada heran kenapa para peserta yg radarnya keambil terus nggak tersesat abis di los soleil. Biar Vajra bisa pakai radar prananya sendiripun dia juga pasti kesulitan cari yg lain2.

    Itu anomali2 virus si tukang minum kopi kalengan itu bikin battle tambah chaos. Dan Lodun kyknya memihak si tukang ngacau. Oki doki, this is weird. Tapi battlenya boljug lah, apalagi jurus powerup si Zaza keren juga. Di akhir, no, u can't stand the face, lodun, kecuali kamu ini paradoks.

    Maaf kalau saya agak ngaco, kepala saya masih pusing.
    Anyway, skor 8/10 dari OC Vajra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. KaChang cepet banget bacanya .___.

      Ini sejujurnya kepalaku aja campur aduk ngebayanginnya, agak berat memposisikan 6 karakter (ditambah beberapa cameo) dalam satu peta besar dengan masing2 memiliki cerita yg saling terkait
      Yah, ini kuanggep bahan belajar buat bikin cerita dalam satu arena raksasa, macem One Piece, tapi sayangnya masih agak berantakan kalo dituangkan dalam tulisan

      Btw itu mereka ga tersesat kan krna sejak kehilangan radar, mereka emang masih pada ngejer Lodun di lokasi yang sama .__.


      Soal Lodun mihak yang mana, nanti bakal ku-reveal di R2 rencananya, atau bisa jadi sekalian kalo lolos eliminasi berikutnya :3

      Terus yang akhir, aku kan bikin dia ga bisa nahan "kecantikan"-nya, tapi dia langsung tersadar begitu topeng kembali menutup. Anak kecil syahwatnya belum gede2 amat mz. Tapi sejujurnya aku ngerasa juga sih, ending cerita Lodun deskripsinya agak terburu-buru. Aku kurang panjang ceritain cantiknya "Zhaahir" ini, jadinya malah gaje.

      Anyway, makasih banyak udah dikomen, KaChang :D

      Delete
    2. Haha, gapapa. Maaf ya, saya tadi pusing gara2 makan siang tadi rada kurang fresh, jadi saya yang salah kalau kurang nangkap/ kurang pikir sampai jauh, makasih penjelasannya. Pokoknya overall ini bener2 asyik.

      Delete
  2. Diam, Tutur... ini maid yang ngasih nama siapa ya

    Kornea mata hijau? Bukannya iris?

    Introduksi tiap karakter disorot satu" lumayan juga ya... Pake deskripsi detil penampilan juga, tapi keliatannya penulis lumayan baca" entri prelim lain kalau ngeliat gimana kondisi tiap peserta dijelasin di awal sebelum masuk pertandingan

    Nah, ternyata plotnya sama kayak saya meski benturannya lebih kuat di sini - semua peserta inget versi yang beda" dari prelim mereka sendiri ya

    Haha, sfxnya belum hilang ternyata

    Aksinya keren, selain kegambar jelas juga enak diikutin - kayak Lodun-Ernest sama" berhasil curi radar satu sama lain

    Zhaahir ini kontradiksi. Bilang Reviss jangan kalah dulu begitu ketemu malah bilang berani amat Reviss muncul di depan dia#plak

    Di sini radar direbut ga langsung gugur toh? Lodun udah dapet lima malah jadi incaran semua ya. Btw saya baru ngeh ini alurnya ada maju mundur gitu ya

    Meski entri ini tergolong meriah saya ngerasa karakter Lodun agak flat dan kurang keekspos dibanding lawan"nya dan cuma jadi bahan inceran aja karena dia tokoh utama sementara semua antagonis. Atau gitulah yang saya tangkep

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang ngasih nama saya mz :"3

      Aduh, aku bingung bedain iris sama kornea. Sempet liat anatomi mata tapi tetep bingung :") kayaknya sih bener, yg berwarna itu iris. Next time kuganti kalo mau deskripsi deh.

      Aku nggak terlalu baca prelim, cuma sekilas2 biar bisa dapet sebaiknya gimana nyambungin semua karakter jadi satu cerita besar yang nyambung. Akhirnya malah dapet plot baru yang ngerubah besar2an rencana awalku di prelim :'3

      Ga semua, yg di situ yg punya ingatan yang ga bisa diubah-ubah cuma tiga .___. tapi intinya sama sih, beda ingatan.

      sfx ga sanggup ngehilangin soalnya aku ga ngerti gantinya gimana, udah jadi bagian dari caraku deskripsiin aksi :"

      yg Zhaahir lagi dilanda dendam, jadi dia ga bisa mikir jernih /plak /alesan lu fud

      Iya, kalo langsung gugur rasanya ga seru soalnya buat Lodun ngerebut radar doang itu gampang .___. di aturannya juga cuma bilang baru dikirim ke kota kalo semua radar dikumpulin, jadi aku asumsiin selama mereka belum nyerah, mati, atau pingsan, mereka belum dianggap kalah.

      Ouch..
      Basis karakternya Lodun kurang kuat sih. Aku bikin dia pendiam, tapi jatuhnya jadi terlalu pendiam untuk menjelaskan dirinya sendiri. :"D

      Maa ii ka

      Makasih Paman Sam~~~

      Delete
  3. Hrm... Setelah sekian kali membaca akhirnya saya paham juga! Ternyata "Keanehan" dalam cerita adalah bagian dari plot cerita ini, tapi sayangnya saya baru mengerti keanehan ini mendekati akhir cerita....

    Battle menarik, tapi agak terasa aneh karena peserta lain seakan ngincar Lodun terus.
    Tindakan Opi di sini berhasil menarik rasa penasaran saya...

    Nilai : 8
    Oc : Renggo Sina

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh berarti aku kurang jelas gambarinnya yah? Padahal udah dikasih contoh kasusnya Reviss sama Lodun sendiri .-.
      Gomen >< *bow

      Di situ Vajra sama Ernest kan emang dikasih lihat ngincer Lodun dan ada alesannya masing2, Reviss lalu jadi ikutan ngincer setelah semua radar akhirnya di tangan Lodun. Kasusnya Renggo malah kebalik, dia disuruh bantuin Lodun. Khusus Renggo belum pengen kukasih liat alesannya sih. "Zhaahir" di ending ikutan ngincer gara2 yg sisa kan emang dia doang .-.

      Tindakan Opi yang mana kak Mocha?

      Anyway makasih banyak kak komenny ^^

      Delete
  4. * Zhaahir ma Reviss kapan ketemunya? Di entri Reviss ato Zhaahir dua-duanya gak pernah ketemu loh. Ah ternyata jawaban ada di tengah cerita XD
    * Saya lama banget baca entri ini, mungkin karena gaya narasi Fudo yang overdetail bagi saya, tapi mungkin jg karena sy lagi gak fit XD.
    * Kadang pas jelasin satu karakter bisa ngabisin satu paragraf. Beda ma prelim yang padet, di R1 ini justru terasa panjang.
    * Setuju ma komentar atas, Lodun di sini kayak yang terombang ambing dalam kemelut karakter lain, sementara karakter Lodun sendiri tenggelam dan hanya bertahan & menyerang.
    * Ngomong-ngomong berapa sih jumlah bom/dinamit yang dibawa Lodun? ._.
    * Secara cerita banyak sekali info yang hadir, macam teori alterasi, battlenya sendiri cukup seru, mungkin sfx-nya kebanyakan ^_^
    NILAI: 9

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di kanon Lodun, mereka setim. For the sake of story :v

      Sengaja sih, manfaatin semaksimal mungkin ketiadaan batas kata. Jadi bisa puas ngejelasin detil sesuai yg kupengen.

      Iyap, Lodun belum di-reveal aja sih konflik sebenernya apaan. Aku belum punya ruang buat ngasih lihat konfliknya Lodun, R1 ini kebanyakan karakter sampe mau flashback takut makin bingung :s

      Sfx susah ngilangin, udah jadi bagian dari caraku narasi :|

      Anyway, makasih kang den ^^

      Delete
  5. lol “kapan lagi ada turnamen yang gratis, seluruh pesertanya diberi tempat tidur?”

    jadi lodun cuma pengin pulang ya? (belum sempet baca prelim lodun (._.))

    sampe di los soleim (soleil kan harusnya?), kesan dinginnya kerasa, tapi di tengah-tengah jadi kurang mungkin karena udah mulai battle ya?

    terus soal sfx yang dipake, ada beberapa yang kayanya over... mungkin dikurangi atau penempatannya diperbaiki

    soal battle. battle-nya full aksi, rame-rame dan urutannya pas lah. meski kadang saya blank sama banyaknya jual beli serangan itu, baca terus tapi ga ada yang ditangkep jadi harus scroll balik

    well, meski karakter lodun belum terlalu kental di r1 ini, poin plusnya ada di cara si pencerita yang bikin lodun diam-diam menghanyutkan (kaya pas lawan ernest di awal) sampe akhirnya jadi center di antara oc yang lain (dikejar banyakan karena jambret radar, terus pasca final battle sama zhaahir yang “buka-bukaan” lol)

    yoss, 8/10 nilaina

    oc : eophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ng.. to make long story short, di prolog pas prelim itu si Lodun lagi kabur dari kejaran, dia tau2 jadi buronan militer. Pas ada undangan ke Alforea, krna terpojok ya dia ga ada pilihan lain buat ikut aja demi bisa pergi dari situ. So far belum ku-reveal kenapa dia jadi buronan militer, sejauh ini dia ngikut alur aja.

      Udah mulai battle, anggep aja pikiran mereka udah ga fokus sama adem XD

      iya, untuk sfx kali ini kayaknya aku agak overabuse. Pas prelim udah agak imbang padahal XD

      Ini yang aku masih berusaha benerin, tukar serangnya selalu bejibun soalnya. Mau lebih detil ntar malah bosen dan ilang pace-nya, mau kurang detil malah ga seru krna ga jelas battle-nya kayak apa .-.

      Karakter lodun kubikin gampang diremehin sih, kekuatannya cuma bikin lubang soalnya :')

      Okay, makasih nilainya kak semangkaapokat (?) :D

      Delete
  6. wah, reviss bunuh diri ya
    ini pertarunngan antar reviss, lodun, vajra dan ernest terasa epic.
    seru gitu...

    btw, seharusnya reviss nggak perlu ngucap jump pas berpindah tempat.
    ah iya.... penasaran sya terjawab pas baca alasan lodun diincar banyak orang.

    keren deh ini cerita, nggak bosen juga bacanya

    nlai 8
    Reviss

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf banget karakternya kubunuh gitu aja, tapi itu demi cerita juga sih .__.

      Kukasih teriak jump cuma biar seru aja sih .___.)

      Komentar kak Ara ga banyak XD
      Yah, pokoknya makasih ya kak :D

      Delete