14.6.15

[ROUND 1-TEAM H] FATANIR - HAUS MANTAP

 FATANIR - HAUS MANTAP
Penulis: Po

1
Gurun Lagi

Tubuh Fata melayang menembus sebuah portal. Baru saja melewati peperangan yang melibatkan monster-monster serta kuda sembrani raksasa bernama Tamon Rah, dia sudah harus menjalani misi lainnya.

Seluruh pemandangan berganti rupa, dan mendadak saja pemuda keriting itu terhempas ke permukaan sebuah dataran...

Padang pasir. Padang pasir lagi. Hanya saja, kali ini siang hari.

"Bongkrek betul," Fata menggumam. Dia mulai berjalan di bawah terik. Tiap langkah menyebabkan sepatu pantovelnya terbenam pasir panas sampai mata kaki.

Yang diingatnya dari keterangan misi ini, adalah bahwa dia dan beberapa peserta lain akan ditempatkan di Gurun Bauhaus. Bau dan haus. Si Kribo terkekeh sendiri.


Dia terus berjalan ke arah timur, sampai dirasakannya bahwa setengah jam sudah lewat. Sebuah menara pasir tampak di depannya, dengan lubang-lubang seukuran tubuh bayi. Fata menjulurkan leher untuk mengintip bagian dalam menara.

Gelap. Lalu ada suara klik-klik-klik. Sesuatu terlihat bergerak-gerak di sana. Fata melotot saat mengetahui apa yang dia lihat.

"Jiah!" Si Kribo langsung batal mengintip lebih jauh. Dia kembali berjalan meninggalkan menara pasir tersebut dengan tubuh makin lemas.

---

Di pintu masuk sebuah gua karang, dua pria gagah bertemu. Pria yang satu berambut panjang awut-awutan, memegang sebilah pedang panjang serta menyandang pedang pendek di pinggang. Lelaki yang satunya mengenakan kaus dalam serta celana jins ketat. Kedua lengannya bertato tribal. Sebuah luka melintang di wajahnya.

Keduanya memiliki tubuh tinggi besar. Apa pun jenis pakaian yang membungkus tubuh mereka, tak sanggup menutupi kepadatan otot yang bagaikan terpahat di tubuh dua orang tersebut.

Dari penuturan Tamon Ruu, Hewanurma, serta staf pemandu, keduanya tahu bahwa mereka adalah lawan bagi satu sama lain. Maka selagi mereka masih segar, selagi hawa panas gurun ini belum mengikis kondisi tubuh, mereka sepakat tanpa perlu berbincang.

Mereka sepakat untuk bertarung.

Si rambut panjang menebaskan pedangnya dengan penuh tenaga. Si tato meninju badan pedang hingga genggaman si ahli pedang pun bergetar kuat. Tapi sang lawan tak mau kalah. Tangannya bergerak lentur mengalihkan berat tebasan ke arah yang berbeda.

Pasir beterbangan. Kedua pria besar itu bertarung sambil berpindah tempat. Bebatuan tinggi sampai terbelah berjatuhan akibat derasnya serangan si ahli pedang.

Pria bertato menendang rusuk si ahli pedang hingga terpental lima meter jauhnya. Napas si rambut panjang terasa nyeri sesaat, namun keseimbangannya yang tinggi membuatnya masih mampu melemparkan pedang pendek ke arah perut lawannya.

Pinggang si tato tertusuk. Darah mengucur dari sana, tapi si tato berteriak kencang sambil mengempiskan perutnya keras-keras. Pedang itu terpental keluar dari perutnya seperti terkena mekanisme pegas!

Si ahli pedang menangkap pedang pendek tersebut dan tanpa membuang waktu, memutar tubuhnya rendah dan melancarkan tebasan menyilang.

Si tato tahu, tebasan ini berkali-kali lipat lebih kuat dari sebelumnya. Maka dia pun menyiapkan jurus simpanan,

"Papatong..." kedua tinjunya dikepalkan lalu dihentakkan berkali-kali ke arah bilah pedang lawan, "Surabi Kachang!"

Ledakan hebat tercipta.

---

Sambil berjalan, pemuda keriting bernama Fata berpikir. Misi ini tak sama seperti sebelumnya. Semua...peserta, yang dikirim ke gurun ini, mendapatkan tugas individu yang sama. Yaitu, menjadi satu-satunya yang tersisa. Dengan kata lain, saling membunuh.

Tapi, jangankan membunuh, berjalan saja sudah sulit. Perutnya keroncongan, rongga mulutnya kering oleh panas matahari, rambut kribonya basah oleh keringat. Satu jam berlalu, dan langkah Fata menjadi sama lambatnya seperti kura-kura.

Si Kribo berhenti dan melihat ke bawah. Di depannya, ada jejak sepatu yang sama persis dengan jejak sepatunya. Fata langsung mengerang frustasi saat menyadari apa yang dilakukannya, "Jadi gue muter-muter doang dari tadi?"


---


Si ahli pedang terdorong mundur empat langkah. Si tato terdorong tiga langkah.

"Kau sangat tangguh, Jantan," ucap pria besar berambut panjang itu, menyarungkan pedangnya dan membungkuk hormat, "Namaku adalah Kii. Izinkan aku berlatih kembali agar bisa mengalahkanmu lain kesempatan, Wahai Jantan."

"Kau juga kuat sekali," ucap si tato tertantang sambil menyentuh luka panjang di wajahnya sendiri, "Namaku Asep Codet. Setelah kita membereskan semua lawan yang lain, aku akan menunggumu di depan gua ini."

Maka Asep dan Kii berjalan ke arah yang berbeda. Tubuh mereka seperti mesin mobil yang mulai panas. Mungkin mereka akan bertarung lagi, tapi biarlah itu jadi hidangan utama pada misi kali ini. Sebelumnya, banyak hidangan pembuka yang harus mereka santap.


---


2
Semut, Semut Kecil


Saking lapar dan hausnya, pemuda berkulit gelap bernama Fata, langsung terduduk lemas di atas pasir panas.

"Kau baik-baik saja, Anak?" sebuah suara serak berkata.

Fata melirik ke atas, ke sesosok pria besar berambut panjang yang mendadak sudah ada di depannya. Tubuh pria telanjang dada itu penuh luka, dan dia menyandang sebilah pedang lurus di punggung.

Fata malas menatap ke atas terlalu lama. Dia "Ada aer putih nggak, Bos?"

"Tidak ada."

Saat itu, puluhan meter di atas kepala mereka, lewatlah sebuah pesawat terbang. Jendela di perut pesawat itu bergeser membuka. Dari dalamnya, dua buah kotak besi jatuh ke udara bebas. Fata yang dapat berkomunikasi dengan setiap bentuk teknologi, segera mendapatkan informasi dari  dua kotak besi buatan mesin tersebut.

Air putih dingin, satu gelas.

Nasi liwet, satu bungkus.

Mendengar info top markotop itu, semangat Si Kribo langsung berkobar. Sekuat tenaga Fata melompat dan mengulurkan tangan ke arah dua kotak. Namun untuk setengah detik, hatinya bimbang. Dua kotak besi meluncur di udara agak berjauhan. Air atau nasi liwet. Ke manakah hatinya harus memilih?

Jawabannya segera datang. Dua tebasan lebar bertenaga memapas angin dengan suara keras.

"Makjang!"

Fata menunduk menyelamatkan batang lehernya. Tebasan itu membelah dua kotak besi di udara. Dari dalamnya, sebuah gelas plastik dan sebungkus nasi hangat pun terjatuh ke permukaan pasir.

"Woi, kira-kira kalo nebasin senjata! Gue yang pertama tau kalo itu makanan sama air!" Si Kribo memaki meski jantungnya tak karuan. Nyaris saja lehernya terpotong oleh orang barbar ini.

Tapi yang diteriaki malah memasang tampang datar seperti patung. Dia masih saja berdiri tegak sambil berkata, "Aku tidak tahu jika nyalimu begitu kecil, Anak. Untuk itu, aku minta maaf."

"Lu minta maap aja sambil bilang nyali gue kecil, Bangke lu." Fata memaki. Tapi dia tak bisa sembarangan. Pria ini memiliki pengalaman bertarung yang terlihat jelas. Namun pemuda keriting itu melihat gelagat bahwa pria berpedang tidak bermaksud buruk terhadapnya.

Hanya saja...

"Namaku adalah Kii," pria besar itu berucap formal seolah sedang rapat bagian manajemen, "Izinkanlah aku untuk makan dan minum terlebih dahulu. Setelah perutku terisi, aku akan membantumu mendapatkan makanan, Anak."

Fata tak mempercayainya. Orang ini bertampang bijaksana tapi kata-katanya tidak tahu malu. Saat Si Kribo hendak menjawab, seekor iguana gurun menyembulkan kepala dari dalam pasir.

Melihat hewan itu, Fata segera mengambil sesuatu dari saku celananya, dan memasang benda itu di leher. Benda itu adalah chip yang telah dia ciptakan pada misi sebelumnya.

Reptil seukuran lengan orang dewasa itu merayap pelan-pelan di dekat kaki pria berpedang, sampai melewati gelas plastik berisi air minum yang tergeletak. Pemuda keriting itu melirik ke arah jam sepuluh. Agak jauh, kira-kira lima ratus meter, terlihat menara pasir yang dilewatinya tadi.

Fata lekas membuat keputusan. Dia berseru kencang, "Ambil tempat air!"

Bagai prajurit menerima perintah atasan, mendadak saja iguana gurun itu merampas gelas air menggunakan mulutnya yang besar.

Kii terkejut, tak menduga bahwa benda di leher Fata adalah chip teknologi khusus. Dengan chip itu, suara Fata dapat memanipulasi pola aliran saraf dan perilaku  hewan dengan tingkat kecerdasan rendah.

"Kabur!" perintah Fata selanjutnya. Menerima komando biotransmisi dari Si Kribo, reptil itu segera berlari terbirit-birit menjauhi Kii. Sementara Fata mengambil sebuah batu cadas tajam di sela gundukan pasir.

"Hei! Berhenti!" Ekspresi pria besar itu berubah, mendadak ada kekesalan di sorot matanya. Pertarungan fisik adalah keahliannya, namun karena itulah pengeluaran energinya lebih besar. Dia baru saja bertarung dengan seorang lawan tangguh. Karena itu pula rasa haus dan lapar lebih menyiksanya.

Kii mulai berlari mengejar si reptil. Namun baru langkah kedua, pemuda kribo telah berlutut dan menghantamkan batu cadas yang dipegangnya ke batang tumit pria besar itu sekuat tenaga. Terdengar bunyi benturan kencang, dan langkah Kii langsung oleng akibat rasa nyeri dan tulang yang retak.

"Pedes-pedes nikmat, Bos!" Fata masih sempet meledek sambil buru-buru merampas nasi bungkus dan potongan kotak besi di pasir, lalu berlari menyusul si reptil dengan suntikan semangat cap kaki tiga. Kii segera menghunus pedangnya dan mengejar secepat mungkin.

Tapi belum lagi setengah menit berlari, tenggorokannya seperti digoreng. Si Kribo memaksa berlari sampai di depannya terlihat menara pasir yang pernah dilewatinya. Hendak beristirahat sebentar, Fata membuka bungkusan nasi sambil terus berlari mendekati menara aneh di padang pasir itu.

Kesalahan fatal. Sebuah sabetan pedang dari Kii melengkung ke bawah dengan tenaga luar biasa. Fata berguling menghindar, tapi sabetan itu sangat kuat hingga menghancurkan menara pasir di belakang punggungnya.

"Ummffh!!" Pemuda keriting itu terkena hempasan angin yang sangat kuat. Dadanya bagai dipukul dengan palu, padahal itu hanya angin tebasan saja. Fata terjatuh. Rambutnya dipenuhi pasir, pandangannya perih dan silau.

Tumitnya udah dihajar pakai batu, tapi larinya masih secepat itu! Bongkrek betul! Tapi...

Debu sisa ledakan beterbangan menghalangi pandangan. Kii menerobos lapisan debu, tapi yang dia dapati adalah sosok pemuda kribo yang sudah kembali berlari menjauh darinya.

Fata berlari namun sambil mengunyah nasi bungkus. Dia berseru tersedak, "lempar tempat air padaku!"

Si iguana muncul dan berlari, melontarkan gelas plastik berisi air dari mulutnya ke udara. Masih tetap berlari Fata menangkap gelas itu, menggigit robek plastiknya dan langsung meneguk habis isinya. Fata mendesah puas sekalian mengejek, "Sueeggheeerrrr!"

"Licik sekali kau, Anak!" Kii semakin marah karena makanan dan minumannya dihabiskan oleh bocah sial ini. Karena kemarahan itu, langkahnya terhenti beberapa saat.Tapi Fata sudah kembali berlari sambil berteriak lepas, "Yang penting kenyang, Bos!"

Lalu kembali mengaktifkan chip biotransmisinya, Si Kribo kembali berseru entah pada siapa, "Serang manusia besar!"

Mendadak dari sisa-sisa menara pasir, keluarlah puluhan binatang yang masing-masing sebesar kucing. Semua berebut menyerang ahli pedang berambut panjang itu. Namun mereka sama sekali bukan kucing.

"Semut!?" pria kekar itu tak menduga, semut-semut sebesar kucing itu langsung melompat pendek, hinggap di kaki serta perutnya. Mereka menancapkan ujung-ujung kaki yang tajam ke kulit ahli pedang itu, juga menggigit pinggangnya menggunakan rahang berbentuk penjepit.

Konsentrasi Kii terpecah, gigitan para semut tak urung menimbulkan luka robekan di kulitnya. Dia tak sadar, Si Kribo memang memancingnya ke lokasi itu agar merusak menara semut.

Maap, Bos. Gue haus, itu doang. Makanya nggak usah bacok-bacok ngapa.

Dalam hatinya, Fata agak menyesal juga mencari musuh seperti ini. Tapi toh sudah terlanjur. Kalau dia tidak merampas isi kotak besi itu, mungkin dia sekarang sudah mati dehidrasi.

Memanfaatkan terhalangnya pergerakan Kii, pemuda jambul kribo kekinian itu terus berlari. Fata menangkap adanya sebuah kesadaran digital berbahaya. Kesadaran itu sangat canggih, memiliki kapasitas membunuh sangat kuat, dengan sumber berupa energi magnetik.

Kesadaran digital itu bernama Meredy Forgone.

Sambil berlari, Si Kribo merakit sesuatu dari pecahan wadah makanan berbahan besi yang dipegangnya. Dilepasnya beberapa komponen minor chip pengendali satwanya untuk membuat sesuatu yang baru dari lempeng besi persegi itu.

Fata berlari sampai napasnya ngos-ngosan dan betisnya pegal. Ke satu arah, dari mana sebentuk kesadaran komponen digital bernama Smart Bracer tengah berbicara padanya.


---


3
Felly dan Izu


Felly adalah seorang gadis kecil dengan kaus longgar. Dia selalu membawa tas berisi bermacam-macam barang, mulai dari alat pertolongan pertama sampai sikat rambut. Dan sekarang ini, dia terdampar di Gurun Bauhaus.

Untuk alasan tertentu, tempat ini aneh. Baru lima sampai sepuluh menit berjalan namun dia sudah merasa haus dan lapar luar biasa. Memang matahari bersinar seperti siang terus-menerus, tapi Felly baru saja makan banyak di sekitar Plaza Alkima, tempat berkumpulnya para petarung yang dimasukkan ke Alforea.

Setelah beberapa lama berjalan, sebuah bau tercium oleh hidungnya. Felly adalah hasil rekayasa genetika di planet asalnya, dalam tubuhnya mengalir kode genetik manusia namun juga DNA lintah.

Gadis cilik itu dapat mencium bau darah manusia dari jarak jauh, bahkan mengetahui manusia itu baik atau jahat, jujur atau pembohong, dan juga sifat lainnya.

"Bau darah ini... bersih...seperti lemon..." mengikuti penciumannya, Felly segera berjalan ke arah timur. Di sana, dia bertemu dengan sumber bau darah itu. Yaitu gadis bertubuh kecil berpakaian serba biru.

"Aku Felly..."

"Namaku Izu. Apa kau tahu, di mana kita bisa mendapatkan air?"

"Aku baru mau minta air kepadamu..."

Kebetulan sekali, saat itu sebuah pesawat melintasi udara, menjatuhkan dua kotak besi. Isinya roti lapis daging dan segelas air. Izu dan Felly saling tatap.

"Siapa yang dapat air, siapa yang dapat nasi?" Felly bertanya bingung.

Izu menjawab, "Kita bagi dua saja semuanya."

Begitulah, mereka sama-sama mendapat seteguk air dan dua gigit roti lapis. Tak cukup untuk mengganjal perut, tapi lumayan dari pada tak ada sama sekali.

Mereka melanjutkan perjalanan. Izu menyalakan komputer pada gelang  Smart Bracer untuk memperkirakan jadwal datangnya pesawat. Felly mengawasi sekeliling terhadap kemungkinan bahaya yang datang.

Sebagai sesama gadis, sama-sama bertubuh kecil pula, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk akrab. Terlebih lagi, Izu yang baik hati dan cerdas membuat Felly benar-benar percaya padanya.

Hanya saja, bahaya tengah mengintai. Saat Felly dan Izu memasuki celah di antara dua tebing tinggi, seseorang dengan cepat menyergap dari balik bayangan.

"Mnggff?!" Felly berusaha berontak, tapi tenaganya kalah kuat. Orang itu mengeluarkan sesuatu, membuat wajah Felly memucat.

"Pistol...?'

Felly sulit berbuat banyak. Izu hendak mengubah gelang Smart Bracernya menjadi senjata, namun orang itu menempelkan sepucuk pistol hitam ke pelipis Felly, "Coba saja kalau mau temanmu ini mati, Bodoh."

Orang itu adalah seorang wanita dewasa berpakaian lateks hitam di sekujur tubuh.

"Mulai sekarang, kalian adalah asistenku," wanita itu memberi tanda agar Izu mendekat, "Tugas kalian adalah mencari dua orang dan membuat mereka saling bunuh. Yang satu adalah Om-Om berambut panjang, badannya penuh luka sayatan, membawa pedang. Namanya: Kii. Yang satu lagi adalah laki-laki bertato, namanya Asep."

"Di gurun seluas ini, kami harus mencari dua orang...?" Izu tak yakin bagaimana cara mereka melakukan itu.

"Ada masalah?"

"Kami tak punya perbekalan," Felly menjawab ketus.

"Itu urusan kalian." jawab wanita itu enteng. Ketika melihat keduanya hendak protes, wanita itu menambahkan, "Kecuali kalau kalian tak keberatan kutembak mati sekarang juga. Jadi, mau yang mana?"

Felly mencium bau darah wanita itu. Pekat dan sangat anyir, membuatnya ingin muntah. Itu adalah tandanya. Felly memiliki kemampuan untuk mengenali sifat seseorang dari bau darahnya. Bau darah yang semakin kental, memberi kepastian bagi Felly akan busuknya hati nurani seseorang. Wanita ini sama sekali tak akan segan membunuh atau menyiksa.

Tapi kemudian teman barunya, Izu, menggangguk, "Baik. Segera setelah menemukan dua orang itu, kami akan lapor. Aku punya gelang Smart Bracer yang bisa jadi alat komunikasi--"

"Tidak perlu," wanita lateks hitam memotong, "Lakukan saja tugas kalian sebaik mungkin, Bodoh. Aku akan memantau kalian berdua."

Felly memastikan dengan gugup, "Untuk apa...kau melakukan itu?"

Wanita itu menjawab dengan wajah seolah tanpa dosa, "Keduanya adalah peserta terkuat di gurun ini. Bila keduanya saling bunuh, yang tersisa hanya peserta-peserta lemah seperti kalian, kan?"


---


Izu Yavuhezid adalah seorang gadis berambut biru, berbaju biru, roknya pun biru. Umurnya dua puluh lima tahun. Tapi sebuah kondisi genetik khusus mengakibatkan pertumbuhan fisiknya berhenti sejak umur belasan tahun.

Di planetnya, hampir semua manusia lahir dengan kondisi ini, sehingga sulit membedakan anak-anak dari orang dewasa. Namun hal ini membuatnya sering disangka sebagai anak kecil sejak pertama kali memasuki Alforea.

Bagaimanapun juga, dengan menggunakan kepintaran serta kemampuan tarungnya, Izu akhirnya lolos dari misi babak penyisihan yang ketat. Misi selanjutnya adalah bertahan hidup di padang pasir ini. Bahkan dia sudah memperoleh teman baru bernama Felly.

Hanya saja, wanita berbaju lateks mengancam mereka berdua. Izu agak penasaran, dari mana wanita itu mengetahui data-data peserta pertarungan, bahkan sampai bisa menentukan siapa saja petarung yang terkuat.

Bagaimanapun, Izu belum punya pilihan selain menurut pada apa saja yang wanita itu instruksikan padanya.

Dalam hal ini, gadis berambut biru itu diharuskan berpatroli sepanjang gurun untuk mencari seorang pria berpedang bernama Kii. Namun setelah beberapa lama berjalan dengan rasa lapar dan haus yang semakin berat, ada seseorang berlari menghampirinya dari kejauhan.

"Hee?" Izu mengernyit dan mencoba melihat sosok yang berlari itu lebih jelas. Semakin lama jarak mereka semakin dekat, dan Izu dapat melihat kulit wajah pemuda itu yang kecokelatan. Kemeja lengan panjang putih, celana panjang krem...

"AiueoaieeEEEeeEE~~" sambil berlari, orang itu berteriak tidak jelas.

Jambulnya kribo bergoyang-goyang.

Izu menarik napas dan berkonsentrasi. Kristal di punggung sarung tangannya berubah menjadi pedang energi panas secerah neon. Hawa panas menimbulkan keringat di dahinya. Dia tak suka dengan apa yang harus dia lakukan. Tapi kalau tidak begini, nyawanya sendiri yang akan terancam.

Diacungkannya pedang sinar ke arah pemuda kribo yang semakin dekat. Sepuluh meter. Lima meter.

Gadis berpakaian biru itu berseru, "Berhenti sekarang juga! Serahkan semua makanan dan minuman yang kau bawa! Atau aku akan--"

Pemuda di depannya mendadak berbelok ke kanan. Dari belakang punggungnya, mendadak saja muncul sabetan pedang sangat kencang yang membawa angin. Kaget, Izu refleks mengangkat pedang sinarnya untuk menangkis sabetan itu.

"Kyaaahh!" kontan saja gadis bertubuh kecil itu terpelanting dua meter ke belakang, sama sekali tak mampu melawan tenaga penyerangnya yang ternyata merupakan seorang pria tinggi kekar dengan luka-luka pertarungan di tubuhnya.

Izu terperangah sejenak. Pria ini amat mirip dengan deskripsi wanita berbaju lateks itu. Izu sadar, pria itu adalah ahli pedamg bernama Kii.

Tiba-tiba dari samping ada tangan yang menarik paksa aksesoris di tangannya hingga terlepas. Pemuda berambut kribo! Izu mengayunkan pedang di tangannya untuk mencegah pencurian itu, tapi Si Kribo sudah melompat mundur sambil menenteng sebuah gelang Smart Bracer miliknya, lengkap dengan kristal ungu yang menjadi suplai energi gelang canggih itu.

"Mau apa kau!?" cetus Izu marah pada pemuda keriting, "Kembalikan gelang itu!"

Tapi Si Kribo tidak mendengarkan. Pandangannya lurus ke depan, membuat sang gadis juga mengalihkan pandangan. Dan sadarlah Izu bahwa keadaan sedang genting. Pria besar yang tadi menyerangnya, kini sedang menatap Si Kribo dengan nafsu membunuh yang sangat kentara.

Matahari semakin terik, si gadis serba salah. Ingin bertanya ada apa sebenarnya, tapi atmosfir antara dua lelaki di depannya tak memungkinkan.

Si Kribo seperti sedang mendengarkan sesuatu. Kemudian dia berkata, suaranya lembut dan terkesan akrab, "Izu, aku pinjam Smart Bracer kamu sebiji ya, biar bisa bikin pedang juga. Kita keroyok aja Om-Om ini."

Gadis serba biru tercengang. Kenapa pemuda ini tahu namanya? Kenapa dia tahu gelang itu bernama Smart Bracer? Kenapa dia tahu bahwa Smart Bracer bisa berubah bentuk menjadi pedang sinar berenergi panas?

"Hei--" Baru saja Izu akan menggeleng, pria besar itu langsung melirik berang padanya, "Jadi kalian ini komplotan? Hendak melawanku bersamaan?"

Izu dijebak. Dia diseret dalam pertarungan, padahal dia tak ada hubungannya. Izu melirik Si Kribo dengan geram. Si Kribo balas melirik tapi mulutnya nyengir kuda.

Kii Sang Pemecah Pedang melompat ganas ke arah mereka berdua, melancarkan jurus pedangnya yang telah memancung entah berapa ratus prajurit di belasan peperangan. Matanya seperti berisi api.

"Majulah!"

---

Pertarungan sungguh berjalan berat sebelah. Dua remaja,  sama-sama memegang sebilah senjata, tertimpa nasib naas karena harus berhadapan dengan seorang ahli pedang yang tengah gelap mata.

Kii mengayunkan pedang lurusnya secara melingkar setinggi pinggang. Izu dan Fata menahan sabetan itu dengan pedang laser di genggaman masing-masing. Tapi kuda-kuda mereka sangat lemah. Izu terdorong jauh sampai harus membungkuk untuk kembali menyerang. Fata lebih parah, satu tebasan itu membuat urat bahunya langsung terkilir dan sakit setiap bergerak.

Izu menyerang dari kanan. Melihatnya, Fata melirik tumit kaki kiri Kii yang cidera akibat hantaman batu. Fata mengarah ke sisi kiri tubuh Kii, lalu mengayunkan pedangnya menyerang seperti amatir atau lebih pantas disebut orang gila.

Si ahli pedang kekar tak terpengaruh. Dicabutnya pedang pendek di tangan kanan disusul oleh dua tusukan berurutan ke dua penyerangnya. Si Kribo dan gadis serba biru kepayahan menangkis dengan mengandalkan pedang energi panas masing-masing. Namun saat itu Kii melakukan tebasan horizontal berbalik yang menggegerkan area timur padang gurun.

"Uaaaakhh!!"

"Aaaaa!!"

Akibat jurus pedang itu, udara sekeliling mereka seperti meledak. Gadis serba biru dapat menghindar, tapi Fata langsung terjungkal mundur. Pemuda kribo itu batuk darah, dadanya seperti baru diinjak oleh seekor banteng.

Dengan tenaga sekuat itu, bahkan dikeroyok sepuluh orang pun tak akan menyulitkan orang ini. Kesulitan untuk maju, Fata hanya menyaksikan Izu susah-payah menahan serangan. Debu dan pasir beterbangan sepanjang menit-menit pertarungan yang berjalan timpang.

Tapi Si Kribo mengamati sesuatu. Bahwa kini, pria kekar bernama Kii itu justru tampak mulai tak tega karena harus menyerang Izu yang secara fisik masih bocah.

Kalau begini terus, Izu bakal sempet ngejelasin bahwa dia gak kenal gue, dung!

Fata segera mengaktifkan chip hipnotis hewan di lehernya. Tak seperti tadi di mana dia memang memancing Kii ke arah markas kawanan semut besar yang dia ketahui lokasinya, sekarang tak terlihat hewan apa pun di sekelilingnya, Tapi dia harus bertaruh. Mungkin jika suaranya cukup kencang, akan ada satwa yang menurutinya entah di mana..

Fata menarik napas dan mulai berteriak sekeras mungkin, "Para hewan! Turuti ak--"

Sebuah pedang pendek dilemparkan oleh pria besar itu menyamping. Menyayat daerah leher Fata, tepat di mana chip hipnotis itu terpasang.

Fata melotot panik dan menjatuhkan diri ke belakang. Lemparan pedang pendek itu tak menusuk lehernya. Tapi alat biotransmisinya tertikam pecah. Si Kribo terengah-engah, hampir saja dia mati seketika. Saat itu Kii mengayunkan pedangnya dengan sedikit menambah tenaga, dan pedang Izu terpental jauh ke permukaan pasir. Kemudian si pria besar menoleh ke Fata.

"Hanya pengecut yang minta tolong pada semut-semut," ujar ahli pedang itu dingin, "Hanya pengecut yang mengharapkan pertolongan dari seorang anak perempuan."

Fata menjawab sebisanya, "Bawel."


---


Felly berjalan dan terus berjalan. Dia tidak tahu berapa lama dia telah menyusuri gurun pasir ini. Cat rambutnya mulai luntur, cara berjalannya mulai membungkuk lemah. Tak mungkin dia dapat meloloskan diri dari wanita kejam itu, kecuali dia mencari bantuan.

Dia hanya mengandalkan penciumannya akan bau darah. Karena dia baru saja menemukan satu aroma darah lagi, yang mirip dengan bau darah Izu. Sebersih lemon. Namun aroma itu menunjukkan hawa keberadaan yang kuat. Sangat kuat.

Hingga Felly berpegang pada kekuatan itu. Dia percaya, pemilik darah ini mampu menolongnya. Melindunginya. Dia berlari. Aroma itu makin dekat.

"Tolong...." Felly berteriak sebisanya, dengan langkah yang gontai karena kelaparan.

"Kamu baik-baik sajah, Neng?" pemilik aroma darah itu telah berdiri di depannya. Tubuhnya pria berotot itu penuh tato. Tapi tak sedikit pun ekspresinya menunjukkan intimidasi, melainkan kebaikan yang kokoh.

"Tolong...aku...tolonglah Izu...tolong kami semua..."

Pria itu mengangguk pasti, tanpa prasangka namun penuh keyakinan. Dia akan melindungi siapa pun yang meminta tolong padanya.

Dialah Asep Codet.

"Hayu."


--


4
Gencatan Senjata


Kii menyerbu. Fata menahan dengan lempeng besi sisa kotak makanan. Si ahli pedang menjejak ke samping, hilang dari sudut mata Fata.

Tebasan horizontal. Dari kanan. Setingkat rusuk.

"Wuaaah!" Si Kribo meloncat mundur seadanya atas peringatan suara jiwa pedang milik Kii. Pijakannya tak seimbang. Namun Si Kribo memaksa merayap, menghindari dua-tiga tebasan miring yang membelah area pasir di dekatnya.

"Njiiir!"

Segera setelah itu Fata memalangkan lempeng besi di punggung, menahan tikaman yang siap menyate tubuhnya. Mendorongkan pedang itu ke samping dengan lempeng besi, Fata berguling ke arah sebaliknya lalu kembali berlari. Suara sabetan pedang itu memicu rasa takut Fata.

Tusukan. Dua kali ke arah muka.

Fata kabur-kaburan ke arah samping. Tapi tubuhnya sudah seperti siput. Dia butuh air. Dia butuh air.

Si ahli pedang mendengus heran. Bocah kribo ini lumayan mampu menebak arah teknik pedangnya. Nyatanya, senjata tajam pun merupakan teknologi, yaitu hasil proses penempaan. Maka Fata memang mampu memahami ke mana senjata itu akan bergerak. Setiap senjata adalah mesin. Ya, mesin pembunuh.

Berkali-kali benturan nyaring membuat lengan Si Kribo ngilu, tapi tak terluka pun sudah untung. Kii memutarkan lengannya yang berotot, meneruskan serangan dari arah sebaliknya. Fata buru-buru menunduk.

"Lambat!" Kii membelokkan gagang pedangnya, menohok punggung Fata yang terbuka lebar. Si Kribo langsung terhempas ke bawah. Namun sebelum mencapai pasir,  perutnya sudah menerima tendangan keras dari si ahli pedang. 

"Hooekk!" nasi yang baru Fata makan, langsung keluar lagi dalam bentuk muntahan. Tergolek lemas di permukaan gurun, siluet Kii yang berdiri di atasnya seolah menutup sinar matahari.

"Kau menyesal telah berurusan denganku, Anak?" ujar ahli pedang itu mengancam. Tangannya mengangkat pedang ke udara...

"Kamu kalah, Bos," ujar Fata tiba-tiba. Kii membelalak. Sesuatu menyentuh lehernya dari belakang. Panasnya lebih dari terik siang hari.

"Pedang...sinar...?" Kii tahu benda apa yang siap menikam tengkuknya. Dia melirik. Gadis kecil serba biru berdiri sembilan langkah di sebelah kirinya. Lalu siapa yang memegang pedang di belakangnya ini?

"Nggak ada yang pegang  lha," Fata berkata seolah bisa membaca pikiran Kii. Si ahli pedang menoleh perlahan ke belakang.

Pedang energi panas milik Izu itu,

Melayang.

Ujung bilahnya menempel di tengkuk pria bertubuh besar tersebut.

Sorot mata Kii menunjukkan kekagetan yang jelas. Fata bangun pelan-pelan dan menepuk-nepuk pasir dari bajunya. Sebuah chip lain ada di genggaman tangannya. Fata memiringkan chip itu, dan pedang sinar melayang itu ikut bergerak miring ke kiri.

"Dari sebelum masuk gurun ini, aku udah bikin chip yang bisa ngendaliin gerakan logam apa aja pake prinsip medan magnet. Tinggal pencet tombol chip ini, riwayat kamu tamat dah, Bos."


---


Kii menyarungkan pedangnya. Dia menggeram, tapi tak berusaha mencari alasan, "Ilmu pedangku belum bisa mengalahkan siasatmu."

"Oke," Fata mengantongi chip miliknya, "Aku juga udah loyo ene."

Pedang sinar itu otomatis lenyap, kembali berubah wujud menjadi gelang Smart Bracer.

Kii terheran-heran, "Kau melepaskanku dari ancaman senjata, Anak? Tidak takut aku akan membunuhmu?"

"Dari gaya kamu," Fata duduk kecapekan di pasir sambil menyeka keringat, "Kayaknya kamu tipe-tipe ksatria yang bakal malu sampe dibawa mati gitu kalau pake cara-cara licik, Bos. Itu aja udah jadi jaminan buat aku."

"Setiap orang punya keunggulannya sendiri," si ahli pedang mengangguk pelan, seperti mendapat pemahaman yang baru setelah melihat tingkah bocah keriting ini.

Dengan kendali chip Fata, Smart Bracer melayang ke tangan Izu. Fata ingin mengembalikan senjata itu pada pemilik aslinya.Izu membuka telapak tangannya, hendak menerima aksesorisnya yang dikembalikan oleh Si Kribo.

Tapi mendadak kepalanya terasa berputar. Sebenarnya, pandangan gadis itu sudah berkunang-kunang sejak berusaha menahan jurus pedang Kii. Lututnya tak kuat menahan beban tubuh. Dia terlalu lama tidak makan dan minum sehingga tubuhnya semakin oleng kehilangan energi.

"Hei..." Kii, si ahli pedang, langsung menahan tubuh Izu yang terjatuh. Mengamati sejenak, pria bertubuh kekar itu berkata pada Fata, "Dia pingsan."

"Tck..." Fata menggaruk-garuk jambul kribonya yang lembab oleh keringat, lalu menghela napas, "Aku bisa cariin makanan buat kalian."

Wajah pria itu berubah, "Benarkah?"

"Kita cari tempat istirahat dolo."


---


5
Piknik


Kii memanggul Izu dengan satu tangan, menuju sebuah gua yang sempat menjadi tempat pertarungannya dengan Asep Codet. Berlindung di tempat yang cukup teduh, kondisi tubuh Izu mulai membaik. Napasnya kian teratur, dan wajahnya memerah segar.

Tak lama kemudian, gadis serba biru itu pelan-pelan membuka matanya. Namun...

"Kyaaah!" Izu berteriak kaget ketika tahu bahwa yang menggendongnya adalah pria ubanan berotot yang sempat menyerangnya.

Kii memberi tanda bahwa dia tak bermaksud buruk, "Tenanglah, Anak. Namaku adalah Kii. Julukanku adalah Pemecah Pedang. Aku berasal dari..."

"Kenapa kamu mengajak berkenalan?!" Izu menendang wajah Kii dengan histeris, "Tadi kau berniat membunuhku!"

"Aku hanya..." Kii melihat ke luar gua, menatap Fata yang sedang memejamkan mata sambil berdiri di tengah luasnya gurun, "...Lapar dan haus."

Lima menit. Sepuluh menit. Tak ada yang terjadi. Si ahli pedang terus menatap Si Kribo yang masih juga tegak terdiam. Si gadis serba biru ikutan melongok keluar, "Sedang apa dia? Tidak takut mati kehausankah?"

Mendadak ada bunyi mesin besar. Kii serta Izu mendongak. Sebuah pesawat yang sangat besar melintasi langit di atas kepala. Bentuknya didominasi rangka persegi berlapis logam yang tampak sangat kuat.

Kii dan Izu mengenali pesawat itu, yang sudah beberapa kali menjatuhkan kotak besi berisi sumber pangan mereka. Mendadak Si Kribo membuka mata dan mengacungkan sebuah chip di tangannya.

Pemuda berkulit gelap itu berteriak seperti mantra, "Kutakutikutekutukutik. Kutakutikutekutukutik."

Secara mengherankan, pesawat itu menjatuhkan sejumlah kotak besi tepat ke arah Si Kribo berdiri. Dan bukan hanya satu atau dua, tapi dua belas kotak besi. Enam kotak berisi makanan, enam kotak berisi minuman.

"Waaah! Luar biasaaa!" Izu berteriak girang menyaksikan hal tersebut. Bahkan pandangan Kii tampak berbinar. Pertarungan melawan Asep benar-benar menguras tenaga. Saat pesawat itu menjauh, cepat-cepat mereka berlari untuk membantu Fata membawa semua kotak besi itu ke dalam gua, membuka, lalu menyantap isinya.

"Roti panggang dagiiing!" seru Izu dengan menelan ludah.

"Air putiiiih!" seru Si Kribo menimpali.

"Satu kilogram kentang rebus..." ucap Kii datar.

"Nada bicara kamu kurang dramatis! Ulang lagiii!" Seru Si Kribo menimpali.

"Satu kilogram kentang rebuuus!" Kii berteriak dibuat-buat, "Horeee!"

"Holeeee!"

Begitulah, mereka piknik di dalam gua. Mereka makan sambil bercakap-cakap tentang masa lalu dan kegemaran mereka. Mungkin mereka baru saja bertarung satu sama lain. Tapi jika bukan karena ingin bertahan hidup, mereka mungkin tak harus saling bunuh. Mungkin mereka malah bisa jadi teman.

Apalagi, kini mereka mendapat tempat berteduh. Makanan, dan minuman. Yang namanya makan dan minum akan lebih enak jika bersama teman.


---


"Anak," begitu Kii memanggil Fata, "Bagaimana kau bisa membuat pesawat itu memberi banyak makanan padamu?"

Fata memonyongkan mulut, "Aku tahu, pesawat yang lewat itu ngebawa ratusan kotak makanan dan minuman."

"Dari mana kau tahu?"

"Aku bisa mendengar suara kesadaran mesin pesawat itu, semua kotak besi yang ada di dalamnya."

"Tapi itu tak menjelaskan kenapa pesawat itu menjatuhkan lebih dari satu porsi makan dan minum," timpal Izu, "Peraturan dari panitia kan, menjatuhkan cuma satu porsi setiap kali lewat.   Kenapa sekarang bisa lebih?"

"Chip yang kupakai buat ngendaliin pedang Smart Bracer kamu, kugunain buat narik kotak-kotak besi itu keluar dari badan pesawat. Pakai energi magnet. Besi kan ketarik sama energi magnet." Si Kribo menjelaskan.

"Jadi mantra kutukutakutek yang kamu ucapkan tadi itu apa?" Kii bertanya penasaran.

"Gaya-gayaan."

"Oh" Kii memasang wajah datar, bingung harus kagum atau frustasi.

"Tapi kristal sama Smart Bracer punya Izu itu lebih unik dari logam biasa, sih. Chip punyaku nggak bisa ngendaliin kristal itu dengan optimal." Fata menambahkan.

Gadis serba biru pun tersenyum bangga, "Aku bikin sendiri lho. Dan yang kulihat, kau sepertinya belum tahu cara harmonisasi antar logam. Padahal itu ilmu tingkat dasar, kalau di Akademi planet asalku."

"Harmonisasi?" Fata mulai tertarik. Apakah teknologi itu belum ditemukan di bumi? Atau dia yang semata-mata terlalu bodoh?

Izu mengaktifkan Smart Bracernya, membentuk sebuah layar yang dapat dicoret-coretnya dengan jari. Gadis itu menuliskan beberapa persamaan yang belum pernah Fata lihat sebelumnya. Dengan antusias, Fata meraih sebuah kentang rebus dan mengunyahnya sambil memperhatikan penjelasan Izu lekat-lekat.

Izu membawa konsep teknologi baru bagi Fata. Si Kribo segera menyerap semua teori asing itu, dan mencoba mengaplikasikannya untuk chip magnetik yang dia pegang.

"Kau suka prinsip magnetik?" tanya gadis serba biru pada Fata. Si Kribo terdiam sejenak, lalu mengungkapkan kekhawatirannya.

"Pas aku baru sampai di gurun ini, aku ngerasain sebuah kesadaran digital. Kesadaran digital itu punya senjata magnetik dan program spesial, yang kalau dikombinasiin bakal jadi sangat berbahaya."

"Berbahaya?" Kii mendekat ke arah mereka berdua. Pembicaraan tentang teknologi tak menarik untuknya, tapi berbeda dengan bahaya. Lawan yang berbahaya, justru membuatnya penasaran.

Fata masih sulit memahami keberadaan digital yang sempat dia rasakan itu. Tapi dia yakin akan satu hal, "Program itu...bisa meretas realita."


---


6
Forgone Girl


Sekonyong-konyong sebuah suara melengking di kepala Fata.

"Peluru!" Si Kribo berteriak panik menyadari kesadaran teknologi yang dia baru dengar, "Merunduk!"

Kii tak segera merespon, namun fatal akibatnya. Tiga buah letusan terdengar nyaring, nyaris bersamaan dengan itu tubuh Izu terguncang hebat beberapa kali.

"Anak!" Kii membalikkan posisi Izu. Di daerah dada kiri gadis itu, terdapat tiga buah lubang berdarah yang tembus hingga ke punggung. Sebuah siluet terlihat berlari cepat menjauhi gua tempat mereka berada.

Fata tahu. Itu adalah dia. Si kesadaran digital.

Si ahli pedang segera berlari mengejar, sementara Fata masih sempat menoleh sejenak ke gadis berpakaian biru yang sudah tergeletak tanpa nyawa di sudut gua. Iris matanya yang biru pucat. Wajahnya yang kehilangan rona. Jemarinya yang tak lagi bisa bergerak.

Fata tak punya hubungan keluarga dengan gadis ini. Disebut teman pun bukan. Mereka hanya baru saling kenal. Si Kribo tahu identitasnya hanya karena sempat membaca data dari kesadaran gelang Smart Bracer.

Tapi melihat seseorang dibunuh dalam sekejap di depan matanya...

Fata merasa muak. Dia jijik dan marah. Makhluk macam apa yang mengakhiri nyawa manusia lain tanpa ragu. Meskipun, Si Kribo tahu jawabannya.

Sebuah keberadaan digital mungkin tak terlalu tepat untuk disebut sebagai makhluk, melainkan data. Data tak punya hati nurani sendiri, dia hanya memiliki respon emosi sesuai programernya.

Maka Fata mengikuti, meski kalah cepat dengan ahli pedang bernama Kii. Si Kribo itu merasa, mungkin membunuh sebuah data juga tak butuh hati nurani.


---


Saat baru keluar dari gua, mata Kii memicing terkena perubahan kualitas cahaya mendadak. Empat-lima buah tembakan kembali terdengar. Peluru pertama mengenai bahunya, peluru kedua meleset, peluru ketiga menuju perutnya namun dapat dihindari.

Si ahli pedang memiliki tekadnya sendiri. Seluruh peperangan ini adalah ujian baginya. Dia tak perlu kembali dengan tubuh utuh, yang dia perlukan adalah mencapai tahap ilmu pedang yang lebih tinggi. Lebih tinggi lagi.

Seperti dunia yang berputar pada porosnya, pedang adalah poros bagi dunia yang Kii jalani.

Si Kribo tiba di sana, entah akan bisa membantu atau malah menyulitkan. Asal suara tembakan berpindah, tanda si penembak tengah mengubah posisi. Kali ini letusan terus-menerus. Kii segera menyilangkan pedang ke berbagai arah, menangkis peluru-peluru itu dengan kecepatan mencengangkan.

"Pengecut! Tunjukkan dirimu!"

Tapi si penembak misterius masih punya simpanan. Seberkas sinar menyilaukan terpancar dari barisan bebatuan di area barat. Sebuah peluru berkilat melintas cepat, namun melambat dan melambat saat semakin mendekati Fata dan Kii. Bersamaan dengan itu, peluru tersebut berdengung berat.

Si Kribo berkeringat dingin saat mendengar suara peluru berkilat itu.

Mekanisme Implosior.

Ini dia yang menghantuinya sejak awal. Senjata pembunuh ini.

"Minggir!!" Fata dengan panik mendorong si ahli pedang sekuat tenaga. Tenaganya tak cukup. Tubuh kekar pria itu hanya tergeser tiga langkah.

Fata menerima peluru berkilat itu dengan kedua telapak tangan terbuka yang ditumpuk, satu di belakang yang lain.

Saat itu, dari badan peluru tercipta ledakan magnetik biru-ungu terang. Semua objek dalam radius seperempat kilometer hancur tergulung.

Kii seolah melihat kilasan hidupnya sendiri di depan matanya. Peperangan tiada akhir di planetnya. Balai Seribu Pedang dan para Tetua Pedang yang meremehkan dia selama ini. Bayang-bayang reputasi ayahnya sendiri, Nuh sang legenda bahkan di antara para pembunuh tingkat tinggi.

Dan seseorang yang menunggunya.

Tubuh Kii dipaksa menampung gaya mekanik berputar yang setingkat dengan timpaan sebuah buldozer. Paru-paru dan jantungnya kolaps dalam empat hitungan. Kemudian, napas dan hidupnya terhenti sampai di situ.


---


Di barisan bebatuan. Peluru itu berasal dari sana. Sesosok bayangan memperlihatkan diri.

Seorang wanita berbaju lateks hitam ketat membawa sebuah pistol hitam di tangan kiri, dan bazooka magnetik di tangan kanan.

Wanita itu memeriksa hasil perbuatannya. Sebuah area gurun pasir menjadi kawah menganga dengan garis tengah lima ratus meter. Tampak mayat pria besar dengan tubuh hancur tergeletak di pasir, ada sisa pecahan pedang di dekatnya.

"Kii, Sang Pemecah Pedang," Wanita itu tertawa nyinyir, "Begitu saja rupanya."

Si baju lateks menyimpulkan dengan angkuh, "Tinggal Codet."

Lalu dia berhenti.Tadi bukan hanya ada Kii. Ada seorang bocah berjambul kribo. Tapi tak terlalu penting. Cepat atau lambat dia akan mati juga, pikir si wanita.

Memangnya siapa yang bisa melawannya? Dia adalah Meredy Forgone, personifikasi data murni yang berasal dari palung terdalam dunia data, SINS. Dia bahkan bukan manusia. Sistem Alforea mampu mengekangnya sehingga memiliki wujud, pergerakan, rasa sakit, organ dalam, serta emosi.

Konsekuensinya, dia masih bisa mati. Tapi, pengetahuannya jauh di atas manusia biasa. Dengan komputer khususnya, dia bahkan mampu mengunduh data dari Server planetnya, SINS, untuk memanipulasi realita di sekelilingnya.

Tenggorokannya terasa kering. Dibukanya sebuah layar hologram, ditekannya beberapa tombol di sana, dan tiba-tiba saja sebuah botol air minum muncul di genggamannya. Dengan rakus si wanita menenggak air tersebut, kemudian membuang botolnya.

Ya, dia akan menenggelamkan Alforea dalam kehancuran. Tak ada yang mampu menghentikannya.


---


7
Persiapan


Susah payah Fata melarikan diri ke arah gua. Untunglah dia telah mengetahui jenis implosi senjata wanita digital itu sejak awal. Chip di tangannya memang sengaja dibuatnya khusus untuk menyerap, menetralkan, dan memanipulasi energi magnetik. Karena itulah dia hanya cidera ringan menerima daya ledak barusan.

Tapi skala manipulasi chipnya terbatas. Buktinya, hanya medan magnet yang berkontak dengan tubuhnya saja yang mampu dinetralkan oleh chip tersebut. Bila wanita itu mampu membuat skala serangan yang lebih kuat lagi, chip itu tak mungkin bertahan. Hidupnya juga akan berakhir.

Jadi sambil kembali bersembunyi di mulut gua, Fata berpikir. Menatap ke arah mayat Izu. Menahan mual dan mengingat teori yang sempat diajarkan Izu padanya. Mencoba berkreasi pada chip magnetik miliknya.

Saat itu, dua sosok asing memasuki ruangan. Salah satunya langsung menghambur ke mayat gadis serba biru, "Izu! Izu!"

Sosok kecil berambut pirang kecoklatan itu menangis. Di belakangnya adalah seorang pria kekar bertato yang memancarkan aura yang sama seperti Kii.

"Maafkan aku, Izu..." gadis itu sesenggukan, "Aku terlambat..."

Si kekar bertato mendatangi Fata dengan tatapan ganas, "Kau yang membunuhnya?"

"Kagak," Fata menjawab seadanya. Tatapan pria besar itu malah bertambah mengerikan, "Kau berbohong padaku? Pada Asep Codet? Aku akan melumatmu, Bocah."

"Pan udah dibilang kagak, Bos."

---


"Hentikan, Tuan Asep." wanita itu berkata lirih.

"Neng Felly? Tapi..." Asep masih tak percaya pada Si Kribo.

 "Aku mampu membedakan jenis manusia dari bau darahnya. Tadi jelas-jelas Izu mati akibat peluru.Di peluru itu menempel darah yang berbau pekat anyir," Felly menjawab lalu menunjuk ke suatu arah di luar gua, "Persis dengan bau darah wanita berbaju hitam di sana."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi?" sahut Asep sambil melangkah keluar dan membunyikan ruas-ruas jarinya, "Hayu, Neng. Kita akan kasih pelajaran ke perempuan itu."

"Kau mau ikut, Bocah?" ujar si tato pada Fata. Si Kribo menggeleng sambil mengutak-atik chipnya, "Alatku belum beres, Bos."

Si tato mendengus dan hendak pergi. Tapi Si Kribo memanggilnya, "Bos! Cewek itu kuat banget. Dia punya senjata yang curang. Mending tungguin aku beres, supaya--"

Asep menjawab tanpa berpaling, "Bocah, seorang pria tak pernah menunda, jika lawan sudah di depan mata."

"Yha." sahut Fata seenak udel.

Gadis bernama Felly melirik pada Si Kribo, "Bau darahmu...tak bisa kutentukan baik atau jahat."

Fata setuju, "Labil juga yeah. Eh, sebentar, pakai gelang ini dong."

"Gelang apa ini?" sahut Felly.

"Namanya Smart Bracer, punya Izu. Buat kenang-kenangan."

Felly menatap gelang itu dengan pandangan antara sedih dan kesal. Dia bertekad akan membalas kematian Izu. Asep berlutut. Felly melompat ke punggungnya. Di mulut gua, Asep mengambil ancang-ancang, kemudian dia menyerbu!


---


8
Adrenaline


Meredy menoleh, melihat seorang pria bertato berlari sambil menggendong gadis kecil yang berteriak-teriak sambil menunjuknya. Namun tiba-tiba saja wajahnya sudah dihajar oleh sebuah kepalan tinju yang amat keras.

Wanita itu terjungkal jauh. Wajahnya mencium pasir. Pria bertato itu telah meloncat dari jarak lima belas tombak dalam sekejap dan meninjunya tanpa ampun. Gadis di pundak pria itu lari entah ke mana. Darah menetes dari mulut Meredy tanpa bisa dihentikan, dan pria itu mencekiknya hingga sesak napas.

Terdengar letusan berkali-kali di bawah langit yang seakan hanya mengenal siang. Wanita berbaju hitam baru saja menempelkan pistolnya pada lengan Asep dan menembak lengan itu terus-menerus.

"Ugh!!"

Memindahkan sasarannya, kali ini Meredy tak tanggung-tanggung lagi. Jantung Asep diincarnya. Pria bertato itu melompat ke samping dan melancarkan tinju dengan lengannya yang tertembak. Merasakan kekuatan tak terkira dalam kepalan itu, Meredy menghindar.

Tak sempurna. Pinggangnya melesak ke dalam akibat kekuatan tinju pembunuh Asep Codet. Kembali Meredy terpental jatuh ke pasir seperti boneka.

"Hahahah!" Meredy terbahak-bahak saat dia berusaha bangkit dengan darah bercucuran dari mulutnya, "Lenganmu kebal peluru?!"

Asep menatap lengannya sendiri. Darah pun bercucuran dari lengan itu. Tapi saat menerima tembakan sebelumnya, Asep refleks mengeraskan ototnya hingga tingkat maksimal. Hal itu membuat peluru pistol terpental keluar dari dagingnya, segera setelah sekian sentimeter memasuki otot. Pertahanan fisik pria itu sulit dicari bandingannya.

Asep melirik jasad bertubuh besar yang mati remuk. Dia mengenali pedang itu.

"Kau yang membunuh Kii?" tanya Asep marah.

"Iya. Lalu kenapa?"

"Dia kuat! Tak mungkin kau mampu mengalahkannya!" tukas Asep dengan kemarahan yang makin tinggi. Meredy hanya mengacungkan jari tengah, "Kau juga akan mati seperti dia, Bodoh."

Pertarungan pun bertambah sengit. Senjata api melawan kekuatan otot. Berbagai jurus Papatong Asep kerahkan, merusak gurun pasir serta tiang-tiang batu sisa peradaban yang lalu.

Tapi Asep tak memperhatikan, bahwa pistol Meredy kadang berubah warna saat dia menembak. Kadang hitam, kadang kelabu, kadang putih.

Asep hanya melakukan apa yang benar. Dia akan melindungi mereka yang butuh pertolongan. Dia akan mengenyahkan makhluk jahat ini. Selama ini, dia tak pernah menginginkan kekuasaan. Tapi kalangan preman di Bandung, tempat asalnya, begitu berharap padanya.

Meski banyak yang takut padanya, Asep tak pernah menodong, menjudi atau melakukan perbuatan pengecut lain. Dia hanya bertarung untuk menjaga keamanan sebuah daerah. Sama seperti saat ini.

Meredy menghindar dan terus menghindar sambil menembak. Tanpa disadari, jantung Asep memompa beberapa kali lipat lebih kencang dari biasa. Napasnya seperti terhimpit, urat-urat mulai bermunculan sepanjang tato lengannya.

Dia tak memperhatikan sekantung biji kopi miliknya yang tertembak koyak oleh peluru Meredy. Aliran darah di dalam kepalanya serasa ingin meledak.

Sampai pada akhirnya asap mengepul dari kulitnya. Tubuhnya tak bisa bergerak. Beberapa tembakan lagi dari Meredy menembus kulitnya, menyusupkan sebuah zat yang mendesak metabolisme jantungnya hingga melewati batas daya tahan, sehingga kehabisan oksigen dan tak mampu lagi memompakan darah ke tubuhnya.

Itulah Adrenaline Shot. Asep Codet mati dalam posisi berdiri, seperti arca membara dengan kepulan asap menguar dari tubuhnya.


---


10
Felly dan Fata


"Kau Meredy Forgone?" ujar seseorang di belakangnya. Wanita gimbal berbaju lateks ketat itu menoleh sambil tersenyum sinis pada pemuda kribo yang baru memanggil namanya.

"Well, well," Meredy tersenyum tapi juga penasaran, "Jambul Kribo. Ledakan magnetik beberapa saat lalu, tak melukaimu sama sekali? Kok bisa yah?"

"Kok bisa yah? Kok bisa yah?" Fata  menirukan suara dan gerakan burung beo, membuat dahi Meredy mulai berurat kesal.

Sebenarnya, atas semua kondisi dan pertarungan yang dialaminya dari tadi, pemuda keriting itu sudah kelelahan. Dia hanya sedang menunggu sesuatu. Namun Meredy tidak sabaran. Wujud aslinya adalah data yang tak butuh makan atau minum.

Karena itulah dia tak mau berlama-lama di ekosistem yang menyiksa sistem biologis yang menjadi wadah datanya sekarang. Tubuhnya tak terbiasa dengan sensasi fisik seperti lapar, haus, dan lelah seperti sekarang.

"Aku sudah membunuh tiga orang hari ini, Bocah."

"Apaan, sok iye banget lu," malah Fata yang menjawab cuek sambil mengupil, "Kamu mah ngumpet-ngumpet kabur sambil nembak piwpiwpiw doang. Kalau berantem hadap-hadapan sama Kii atau si tato itu, kamu udah jadi tomat penyet, Jalang."

"Apa katamu, Monyet Kribo?" emosi Meredy malah tersulut. Dia biasa merendahkan orang lain, tapi baru kali ini ada orang yang lebih mengesalkan dari dia.

Melihat pancingannya kena, kata-kata si pemuda keriting makin bebas, "Kalau tembakan magnet kayak yang tadi mah cetek, Pentil."

Sambil berkata begitu, Fata memperhatikan dengan jahil. Meredy melirik bazooka magnetiknya, yang dinamainya Avalon. Dia memeriksa pelatuknya. Tapi Fata tahu, masih lama sampai senjata implosi itu dapat ditembakkan kembali. Dia mendengarnya.

Avalon: dua puluh menit hingga pengisian energi magnetik sempurna.

Meredy  Fata mengangguk cepat entah pada siapa.

"Go!" dia berbisik. Tiba-tiba saja Meredy merasakan nyeri pada pangkal lehernya. Sesuatu yang tajam telah menembus baju lateks hitam yang dia kenakan, hingga lehernya berlubang mengucurkan darah.

"Siapa itu?!" Meredy mengibaskan pistolnya ke belakang, mencoba menghantam apapun yang barusan menggigitnya.

"Aaahh!" terdengar teriakan seorang gadis kecil tapi sosoknya tak terlihat. Sesaat kemudian sebuah selubung tak kasat mata memudar,  menampakkan sosok anak perempuan bernama Felly yang tengah tersungkur di lantai.

"Cloaking Device?" ujar Meredy. Dia melihat bahwa Felly sedang memakai salah satu Smart Bracer milik Izu, yang salah satu fungsinya adalah membuat selubung yang menjadikan pemakainya tak terlihat mata manusia. Ternyata Felly sedari tadi telah bersembunyi di balik bebatuan di belakang Meredy dan menunggu sinyal Fata untuk menyerang.

Tapi kenapa Felly mampu mengetahui cara mengaktifkan selubung canggih itu? Tentu saja bukan Felly, tapi Fata yang mengaktifkan alat itu dari jauh lewat komando chip magnetik miliknya.

Belum sempat berpikir lebih jauh, perut Meredy sudah menerima tendangan dari Felly. Mestinya dia tak apa-apa, yang menyerangnya hanya gadis kecil. Tapi badannya terasa lemas mendadak.

Sesuatu seperti mengalir keluar dari tubuhnya. Meredy menengok.

"Darah...darahku...tak berhenti mengucur...?"

Felly adalah persilangan manusia dan lintah. Dalam rongga mulut dan giginya, terkendung cairan antikoagulan yang mampu mencegah pembekuan darah pada proses penyembuhan luka.

Gadis kecil itu telah menggigit leher Meredy sekaligus menginfuskan zat antikoagulan dalam jumlah besar, membuat luka perdarahan yang tak kunjung berhenti. Ternyata gigitan gadis itu lebih mematikan dibanding tinju seorang Asep Codet sekalipun.

Karena wanita digital itu mengakhiri nyawa Izu, saru-satunya teman yang Felly miliki sejak tersesat di Alforea. Satu-satunya yang bisa mengalihkan kesedihan Felly atas dunianya yang kumuh, penuh kecaman dan kekejaman untuk bertahan hidup, dan kepalsuan.

Meredy harus membayar kematian Izu dengan harga yang layak.

Hanya saja, kemampuan biologis untuk membunuh itu, memiliki bayarannya. Hilangnya zat antikoagulan mulai memicu pengentalan darah dalam tubuh Felly, sehingga gadis itu kehilangan tenaga dan terjatuh lemas.

Target empuk bagi Meredy. Diacungkannya Avarice dengan penuh nafsu membunuh. Meski Si Kribo mendengar suara pistol itu, pandangannya sudah berbayang.

Tiga.

"Bangun woi!" Si Kribo panik, lekas berlari dan langsung membopong anak gadis itu di punggung. Tapi segalanya tampak berganda. Kedua tangan Fata sudah gemetaran. Hampir semua cairan dalam tubuhnya telah menguap.

Dua.

Sorot mata dan napas Felly semakin lemah, seperti mengantuk yang tak tertahan. Efek samping serangan menggigitnya terhadap Meredy membuat paru-parunya mengerut.

Satu.

Fata tak kuat menahan beban tubuh Felly, sehingga pergerakannya menjadi sangat lambat.

Sial, sial, sial!

Fata langsung mengaktifkan selubung pada Smart Bracer di tangan Felly. Tubuh keduanya menjadi tak lagi terlihat mata karena teknologi canggih milik Izu.

Fata ingin membingungkan Meredy agar bidikannya meleset. Tapi dalam waktu sesempit itu, responnya terlalu lambat. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada, dan peluru sudah terlanjur lepas dari laras hitam pistol bernama Avarice milik Meredy.

Peluru itu terus melaju sampai merobek otot di batang leher Felly, sampai akhirnya bersarang sekaligus mematahkan ruas vertebra gadis tersebut. Dalam momen itu aliran saraf pusat Felly terputus, menghentikan aktivitas otak dan organ dalamnya.

Seketika itu postur mungil Felly mengejang. Selubung tak kasat mata langsung pudar. Secara bersamaan tubuh  gadis itu kehilangan kontraksi otot secara total sehingga tersungkur lepas dari gendongan Si Kribo. Jasad itu telentang, matanya menatap Fata namun hampa. Fata langsung mual.

Aku harus ngulur...

"Cobain lagih gih, daripada muke lu keburu gue bikin jadi kerak jamban. Wakakakak!" Berusaha mempertahankan ekspresi monyongnya, Fata lanjut cekakakan sambil berlari memutar. Padahal perutnya seperti diaduk-aduk. Semurah itukah sebuah nyawa di tempat ini?

Sepuluh menit lagi. Tidak, tujuh menit.


---


11
Bauhaus Frontierland


Alforea merupakan planet yang memiliki berbagai ras, makhluk, peradaban dari berbagai ruang dan waktu. Mulai dari manusia yang pergi ke sekolah setiap hari, hingga kubus-kubus plasma yang hidup. Mulai dari lembah kristal sihir hingga taman melayang rimbun nan asri, semua itu ada di Alforea.

Karena itulah, sebuah planet bernama SINS ingin merampas Alforea untuk dijadikan properti para petingginya. SINS pernah menyelundupkan sejumlah agennya, semua berupa kesadaran digital, untuk memecah-belah seluruh pemerintahan Alforea.

Usaha ini tak berjalan mulus. Tamon Ruu mencium gelagat yang tak beres dari sejumlah titik konflik antar negara, dan berhasil mendeduksi bahwa pemicunya adalah organisme yang berupa data murni.

Peperangan hebat pun pecah tanpa bisa dihindari. SINS mengerahkan daya-upaya menjalin aliansi dengan beberapa kerajaan untuk mengkonfrontasi pasukan Tamon Ruu.

Peperangan menguras sumber daya serta kekayaan bumi bagian timur yang dikenal melimpah. Alhasil, dataran yang tadinya subur tersebut porak-poranda.

Hampir semua kehidupan di tempat itu tak mampu bertahan. Yang tersisa hanyalah sebuah gurun gersang, yang disebut Bauhaus Frontierland.

Tamon Ruu mengirimkan pesawat militernya setiap satu jam, untuk menjatuhkan kotak-kotak makanan. Pesawat militer itu juga digunakan untuk memonitor gurun tersebut kalau-kalau aktivitas mencurigakan. Baik itu dari SINS atau pengacau lain.

Bagaimanapun, SINS telah berhasil disingkirkan. Untuk sementara. Karena kini, SINS kembali mengutus salah satu agen pembunuhnya yang paling mematikan. Dialah Meredy Forgone.


---


12
Tarik-Menarik


Wanita digital terus menembak. Peluru-peluru berdesingan melubangi batu dan pasir. Tapi entah bagaimana, Fata seolah selalu tahu ke mana peluru akan Meredy bidikkan.

Fata berjalan seperti santai, namun sesaat kemudian berbelok tajam. Dua peluru melewati rancung kribonya. Pemuda itu lalu berguling dan melompat-lompat kaku. Namun semua lompatan itu berhasil membuat setiap tembakan Meredy sia-sia dan melewati celah antara dua kakinya, belakang lehernya, lipat sikunya.

Lebih dari sepuluh menit berlalu. Tidak bisa terus seperti ini. Akhirnya Meredy Forgone melewati batas kesabarannya. Sembari tetap menembak, dicabutnya senjata pamungkasnya.

Sebuah komputer rahasia dengan layar hologram.

Fata menekan chip di tangannya sambil menghentikan langkah. Mendadak sebuah kilatan melesat dari dalam gua dengan kecepatan tinggi.

Si wanita digital merasakan ancaman yang bukan main-main. Susah payah dia menunduk. Objek terbang itu memutuskan beberapa helai rambutnya saat melintas, lalu berbelok di udara seperti punya mata.

Dengan terkejut Meredy menyadari, bahwa benda berkilat adalah pedang energi panas milik Izu. Fata nyengir kuda dan sekali lagi membelokkan arah pedang sehingga menukik gesit ke arah punggung Meredy.

Tak punya pilihan, si wanita digital terpaksa menghindar dengan lompatan sekuatnya. Naas, sebilah pedang sinar menyambutnya di udara. Itulah pedang yang Fata kendalikan dari Smart Bracer di tangan mayat Felly. Pedang sinar kedua!

"Ukkh!!" Si wanita digital tak dapat mengelak lagi. Perutnya tersayat dalam. Sementara itu tembakan Meredy juga mengenai pergelangan kaki Fata sehingga dia jatuh terpincang-pincang, "Buangkaaai!"

Kondisi telah berubah sepenuhnya menjadi pertarungan jarak jauh. Meredy mendapat keunggulan jarak, kecepatan, serta pengalaman membidik yang superior. Kadang pelurunya mematikan secara langsung, kadang pelurunya merusak sistem hormon tubuh, dan kadang pelurunya mampu menghentikan pergerakan benda.

Namun mengendalikan pedang kembar peninggalan Izu dengan telekinesis dari chip magnetik, arah serangan Fata lebih sulit diprediksi. Secara bersamaan, Si Kribo lebih mampu melangkahi pola serangan Meredy lewat kemampuan pembacaan kesadaran digital miliknya.

Maka pertarungan semakin sengit. Rentetan tembakan berselang-seling dengan kilatan pedang, membuat gurun ini hidup. Hidup dengan warna kematian.

"Mati kamu, Anjing!" Wanita digital berteriak seperti serigala terluka. Sambil melancarkan tembakan, dia mengetikkan sesuatu di komputer mutakhirnya.

Tiga tembakan. Arah jam sepuluh, delapan, tujuh. Perut. Perut. Dada.

"Horee, dapet bocoran ujiaan!" Si Kribo sudah berlari berbelok-belok tiga detik sebelum jari Meredy menekan mulai menekan pelatuk. Baru saja dia menyaksikan orang-orang mati bergelimpangan di sekelilingnya, tapi entah kenapa saat ini Fata malah merasa suasana ini lucu sekali. Akhirnya dia bertemu sesama pemilik mulut pedas.

Walau begitu, diam-diam raut wajah Fata berubah tegang. Dia sedang menunggu sesuatu. Dia melompat bergulingan...

Meredy sudah membidik jantungnya dengan tepat. Dengan percikan mesiu, peluru itu melesat keluar dari selongsong hitam Avarice.

Peluru terakhir. Prediksi penetrasi ke arah jantung sembilan puluh empat persen.

Fata mengertakkan gigi. Napasnya tertahan. Jarinya menekan chip yang ada di tangannya. Mendadak saja dua pedang melesat cepat menghalangi laju peluru atas kendali magnetik Si Kribo.

"Pedang energi panas!" Meredy berteriak penuh kemarahan. Sementara itu napas Fata masih tertahan.

Penempatan titik benturan meleset! Tolol!

Bukannya hancur oleh bilah pedang sinar yang Fata kendalikan, peluru Meredy malah melesat menembus gagang kedua pedang yang mengandung kristal energi ungu dan Smart Bracer. Dalam percikan api, hancurlah semua komponen penting tersebut. Fata tak lagi bisa menggunakan sepasang senjata milik Izu.

Sementara Meredy akhirnya mengajukan permintaan pada planet SINS agar memberikannya akses untuk komando data terlarang,

"Anjing Kribo!"

"Tadi monyet, sekarang anjing..."

"Aku bukanlah manusia. Aku adalah data murni yang memiliki kecerdasan. Dengan terhubung dengan Server SINS, aku akan menenggelamkan Alforea seisinya ke dalam palung terdalam dunia data. Sampah sepertimu takkan mampu menghentikanku!"

"Yeh yeh yeh.."

"Aku mendapat dua pilihan akses terlarang dari SINS: memiliki regenerasi non-stop, atau pilihan kedua. Aku memilih pilihan kedua. Aku akan menghancurkanmu seperti anjing!"

[[ Forbidden Access Granted ]]

Sebuah suara melengking bagai ratusan binatang sekarat. Si pemuda keriting, dengan kemampuan komprehensi teknologinya, langsung terguncang melihat apa yang ada di balik dimulainya komando komputer mutakhir itu.

Dia melihat perangkat-perangkat digital raksasa yang hidup. Mereka duduk dengan pongah di atas singgasana, di dalam susunan labirin gigantik berupa wajah-wajah absurd tak berjiwa.

Hanya dengan melihat imaji itu selama satu detik, otak Fata mendidih. Proses berpikirnya sempat berhenti total. Pemahamannya tak sampai.

"Dunia macam apa itu?!" Si Kribo tercengang.

Itulah SINS, sebuah planet yang hanya terdiri dari server, sistem software dan data tergelap dan paling rahasia dalam realita ini. Dari sanalah Meredy Forgone berasal.

Dengan itu Meredy bersalto tinggi ke udara, seakan gravitasi tak mampu mengekangnya. Kemudian, bazooka magnetiknya teracung. Wajah wanita itu dipenuhi kegelapan.

Avalon: pengisian energi sempurna.

Peluru magnetik terakhir.

[[ Access Level Iota: Multiply ]]

Variabel materi peluru termultiplikasi seratus.

Wajah Fata memucat. Peluru magnetik terakhir dari Avalon telah meluncur ke udara, dan kemudian secara paralel muncullah sembilan puluh sembilan peluru magnetik yang serupa dari ketiadaan, membentuk formasi menyerupai globe di sekeliling Fata.

Meredy baru saja memodifikasi data pada pelurunya. Dengan sistem data, dia memodifikasi kenyataan. Dia mengubah satu peluru magnetik yang tersisa menjadi seratus peluru magnetik. Itu artinya...

Variabel energi magnetik total termultiplikasi seratus.

Itu artinya, serangan pamungkas ini seratus kali lipat lebih kuat dibandingkan ledakan implosi yang membunuh Kii serta Izu.

Maka Si Kribo meremas chip di tangannya, memakai seluruh input energi teknologi kreasinya itu untuk satu serangan maksimal. Dari langit, terdengar sebuah bunyi menderu.

Semua peluru dan keluaran energi magnetik Avalon dimaterialisasi dan dieksekusi simultan menuju satu titik: Fatanir.

"Inputkan seluruh daya untuk penarikan magnetik Bauhaus Frontier Shuttle" Si Kribo berseru sambil melangkah mundur, terus mundur. Bunyi menderu dari atas semakin dekat, dan sebuah objek besar menukik dari langit di atas Fata.

"Tebakanmu kurang jauh ke depan, Pentil! Dari awal, aku tahu persis fungsi bazooka di tangan kamu. Fungsi komputer milikmu yang terhubung dengan SINS. "

"Pe-pesawat...!!?" Meredy menengadah tak percaya. Dia menyaksikan pesawat persegi kokoh itu, pesawat induk militer dengan rangka logam putih Alforen, pesawat yang setiap satu jam melintas dan menjatuhkan kotak makanan dan air.

"Aku tahu persis pola dan fase implosi magnetik komando terlarangmu kayak apa, karena kesadaran digital mereka semua yang ngasih informasinya bahkan sejak aku belum ketemu kamu."

Pesawat itu, yang sanggup bertahan terhadap skala ledakan berbelas-belas megaton.  Sepasang sayap logamnya membelah udara bagaikan burung pemangsa seukuran menara puluhan tingkat.

"Aku tinggal bikin chip yang mampu mengendalikan pola energi magnetik dari kotak besi wadah makanan. Aku tinggal harmonisasikan frekuensi daya hancur Avalon pakai chip magnetik milikku..."

Pesawat itu menukik dengan pasti, ke titik yang akan menjadi pusat ledakan magnetik ciptaan Meredy.

Dan sesuatu yang sulit dipercaya terjadi. Bagai burung-burung elang, semua peluru berbelok-belok serentak, menyimpang dari titik sasaran awal mereka dan justru seperti berlomba menuju pesawat besar tersebut.

"Hasilnya, semua peluru magnetik kamu sama pesawat itu, kubikin saling tarik-menarik dengan sendirinya!" Fata melihat sorot mata Meredy yang sudah melewati tahap frustasi. Sorot mata itu menunjukkan kekalahan.

Fata tertawa seperti anak kecil, "Yang kayak begini mah cetek, Pentil!"

Peluru demi peluru magnetik berkontak dengan kokpit, sepanjang badan, serta ekor pesawat militer. Muncul titik-titik bersinar terang pada masing-masing titik benturan.

Meredy menutup matanya saat setiap butir pasir di gurun itu berkilau memantulkan cahaya terang. Karena saat itu terjadilah ledakan demi ledakan besar menyingkirkan lapisan awan. Melebihi gempa tektonik, sambung-menyambung seakan ingin membelah angkasa.


---


13
Haus Mantap


Pesawat besar itu hancur berkeping-keping. Namun ledakan magnetik pun telah usai.

Sesuatu dalam tubuh Meredy seperti korslet. Tubuhnya berkelojotan dan jatuh ke lantai. Hubungan antara otaknya, komputer mutakhirnya, dan dunia SINS, terputus untuk jangka waktu berjam-jam.

Fata terkekeh sambil mendatangi Meredy yang tergeletak, "Seluruh badan kamu lumpuh total dari leher ke bawah pan? Seluruh akses data kamu juga pan? Ini konsekuensi dari peretasan realita buat ngefotokopi peluru magnet balistik seratus biji tadi pan?"

Meredy hanya terdiam. Wajahnya merah seperti udang rebus. Tubuhnya adalah data. Konsekuensi terhadap penggunaan data terlarang, juga mempengaruhi tubuhnya yang merupakan data.

"Apa maumu?" tanya Meredy pada akhirnya. Si Kribo mengangkat bahu, "Belum tauk. Aku kekirim ke Alforea juga nggak sengaja."

"Bagaimana..." wanita itu berkata lirih, "Bagaimana bocah labil sepertimu bisa mengetahui semua kemungkinan akses dari SINS..."

"Aku kan mantap segar, Brew," ucap Fata seenaknya, "Okeh. Sekarang giliran aku yang nanya. Kamu mau kubikin matek atau nggak neh?"

"Ampuni aku..." Meredy memohon, "Aku adalah data organik, namun di Alforea ada sistem khusus yang menjadikan struktur tubuhku menjadi biologis, mirip manusia biasa..bila aku mati secara fisik, maka aku akan betul-betul mati...Server SINS akan mendaur ulang sisa data tubuhku..."

Si Kribo melonggarkan ikat pinggang di celananya, "Jadi kalau kamu kubikin mati, badan kamu nggak bakal bisa dikonversi jadi data organik lagi pan? Coba ulangin mohon-mohonnya gimana."

Meredy merasakan penghinaan frontal itu. Tapi  penghinaan apa pun lebih baik dibanding mati tanpa mendapat kesempatan berikutnya.

Maka dia tak peduli lagi pada harga dirinya, "Ampuni aku...aku akan lakukan apa pun...aku kehausan...aku kelaparan...selamatkan aku..."

"Okeh. Aku bakal ampunin kamu, tapi nggak gratis," Fata berlutut sedemikian rupa di pasir sehingga kedua lututnya mengapit kepala Meredy yang telentang, "Kamu haus kan, Kerak Jamban? Buka mulut kamu yang lebar."

Wanita itu membuka mulutnya, menganga. Matanya dipenuhi airmata. Dia tahu, apa yang akan Fata lakukan padanya. Sebagian dirinya ingin berontak, tapi tubuhnya tak bisa bergerak sedikit pun. Sebagian dirinya yang lain...entah kenapa, tunduk pasrah akan perlakuan yang akan dia terima.

"Keluarin lidah  kamu. Yang bener julurinnya, yang siap nampung air minum."

Meredy menjulurkan lidahnya yang merah basah, pasrah. Fata membuka resleting celananya. Dia berdebar-debar, melebihi ketegangannya saat bertarung tadi.

Air berwarna kuning pekat menyembur ke lidah Meredy Forgone dengan suara berkerucukan. Pahit, menimbulkan buih-buih yang sebagian encer dan sebagian kental, memenuhi rongga mulut, menetes-netes dari lidah hingga kerongkongan wanita itu.

"Minum."

Meredy menelan semua yang diterimanya dari Fata. Rasa hausnya hilang. Dan dia ingin lagi.

Fata mendesah lega, merekam itu semua dalam benaknya dengan kepuasan luar biasa. Dia memasang kembali resleting celana dan sabuknya. Dia mengambil serpihan logam tajam dari sisa rangka pesawat yang berserakan.

"Aku ngampunin kamu. Tapi semua yang kamu bunuh, belum tentu."

Fata menancapkan serpihan besi dari bawah tulang pipi Meredy Forgone, hingga menembus batok kepala belakangnya. Lalu serpihan besi itu dipegangnya kuat-kuat, dan dicabutnya sekaligus menggorok isi kepala si wanita.

Meredy menggelepar lalu mati.

Fata tak ambil pusing.


________


[Round 1] Fatanir - Haus Mantap (Selesai)






Link ke Facebook Thread

6 comments:

  1. Wah akhirnya ada yg ngepos dari grup ini juga. Langsung aku baca deh, soalnya penasaran sih, hehe.

    Review dimulai.

    Plot : Cukup asik buat diikuti. Pemanfaatan teknologinya berasa banget. Cuma ada beberapa istilah asing yg agak susah dimengerti, buatku nggak jadi masalah banget sih. Aku bisa ngira-ngira artinya.
    Twist di akhir mantap banget dah!

    Cuma aku agak aneh aja waktu Meredy maksa Izu sama Felly buat nyari Kii sama Asep. Seharusnya mereka setidaknya ngelawan mereka, nggak nurut gitu aja. Setelah mereka nggak bisa menang, baru nurut. Itu jadi sebuah plot hole buatku.


    ===

    Karakter : Hmm yang menonjol banget karakternya disini Fata sama Meredy, mungkin karena mirip jadi lebih mudah masuk ke karakternya. Utk Kii, aku sendiri juga ngalamin kesulitan buat masuk ke karakternya. Asep udah lumayan kerasa heroiknya. Sementara utk Izu dan Felly nggak banyak digali, tapi lumayan ada developmentnya juga terutama setelah Izu mati.

    Emang susah sih, soalnya ada 6 karakter sekaligus yg harus didalami satu2.

    ===

    Battle : Battlenya mulai terasa asik waktu Fata lawan Meredy. Sementara battle2 lainnya kurang terasa greget. Battle opening antara Kii dan Asep juga kurang dramatis buatku.
    Battle antara Kii sama Fata lumayan lucu sih, si kribo lari2 hahahahaha.

    Konsep SINS yang didaur ulang disini bener2 fresh, lalu Avalon dan rekayasa realita itu bener2 keren banget!

    Dariku 8/10
    +1 deh karena total humiliationnya Meredy di ending, that was sick!!

    9/10

    OC : Meredy Forgone

    ReplyDelete
  2. Kurang lebih komentarku sama kayak yang di atas. #plak Yang aku tekankan perseteruan antara Fatanir ma Meredynya aja, sok asik banget si Meredy. #plaklagi Seru ni jadi mainan teknologi dan data-data. Aku ga gitu ngerti ma penjelasannya tapi dibawa santay aja. Prediksiku ini entry Fata skalanya bakalan jadi megascience. Endingnya asik banget di kribo dikiranya mulut Meredy tu jamben ape. Dasar si pentil. >///<

    Nilai : 8

    OC : Zhaahir

    ReplyDelete

  3. Saya masih ga ngerti gimana ceritanya teknopath Fata jadinya bisa ngasih perintah ke binatang

    Di sini makin kerasa kalo pembawaan Fata ini beneran lepas, bikin lancar ngikutinnya. Semua karakter cukup dimainin - Felly-Izu duo gadis innocent, Kii-Asep duo pria gahar, dan Meredy-Fata duo brengsek suka-suka

    Agaknya karena baru baca r1 Zhaahir, saya ngerasa banyak banget paralel di sini. Mulai dari model pembagian part, fokus karakter ganti", peta hubungan 6 peserta, intrik battle yang datang terus silih berganti, dan satu OC jadi sosok final boss. Cuma bedanya Fata tipe orang masabodo

    Pak Po sempet wanti-wanti entri ini, tapi buat saya yang paling berkesan kayanya adegan terakhirnya aja. R1 ini saya juga coba" sesuatu yang borderline sih

    Btw, ini Fata ujung"nya pasti punya endgame selevel Altem Lazu lagi ya kalo begini

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  4. wanjeeer kerak jamban :V

    yang diharapkan dari fata: jenius, badass, dan foul mouth komplit!

    poin minus di sini, dan ini pasti cuma preferensi, fata kurang ngena karakternya, meski semua unsur tentang dia ada, tapi fata prelim bisa kasih kesan lebih lama setelah baca. imo, fata di prelim lebih manusiawi

    tapi coba buang itu, cerita ini bener-bener menghibur dari semua sisi. kematian asep ingetin saya sama shilohige, lumayan pecah itu (lupa jenis komedinya) pas dialog kii maksain senengnya dia sebelum makan-makan. terus bayangan dari dimensi sins yang ngena. pertarungan di sepanjang cerita? meski ada narasi selipan di tengah pertarungan kaya latar belakang asep, itu sama sekali ga ganggu. justru nambah emosi kalo menurut saya

    tapi jujur saya agak baca cepet di beberapa bagian

    well, meredy emang kuat banget, sneaky, kejam dan dikasih full peran bad guy di sini. adegan terakhir sama dia, cara penghabisannya, berasa ngepas jadi main event

    titip nilai 8, sir po!

    oc : eophi

    ReplyDelete
  5. Waktu mau baca udah diwanti2 kalo entry-nya kak Po ini ada kemprohnya. Dan emang kemproh. Untung engga disambi makan 0w0

    Full tarung dari awal sampe akhir dg intermezzo yg pas.
    Asik bacanya. Banyak lucunya (terutama umpatan-umpatannya Fata, penyet banget lah!) dan waktu tarung juga tetep ada suasana seriusnya.

    Kalau utk detail battle, teknologinya, tekniknya, dll aku gabisa komen yg aneh-aneh jadi ngikut yg atas aja deh XD

    Si Kribo kekinian kemproh pokoknya :3

    Point : 9/10 (tadinya mau kasih 10 tapi aku minus 1 poin karena Fata ewww banget)

    OC : Eelay Ghowl (??)

    ReplyDelete
  6. Ceritanya gak seberat cerita-cerita kakak pohan yang pernah aku baca yah. Ini ada lucunya yang bikin kerasa lebih ringan, gara-gara si Fatanya kampret bgt. Tapi gak tau kenapa aku malah tertarik sih sama si Fata, baru kali juga aku ngerasa tertarik sama karakter yang kakak bikin biasanya gitu doang cuma lewat aja.Plot ceritanya bisa aku ikutin tanpa ada nyisain pertanyaan, walo aku sebelumnya gak pernah ngerti sciencenya tetep bisa aku ikutin dengan mudah. Tapi gak tau kenapa berasa cepet aja mengeleminasi karakter-karakter lainnya sebelum nyisain mbak lateks. Mungkin karena kebanyakan kali yah karakter yang harus kalahnya. Atau emang sengaja biar pertarungan final kerasa wahnya??? Pertarungan Fatanya walo dia karakternya kampret gitu tapi dia tetep serius dan gak kerasa ngeremehin sekalipun dia ada ngeluarin kata-kata ngeremehin lawannya.

    9/10

    ReplyDelete