25.6.15

[ROUND 1 –TEAM H]: KII – PRIDE AND HONOR

KII – PRIDE AND HONOR
Penulis: [.Re]





Lirmeia mengibas rambutnya. Peluh sebesar biji jagung melintasi rambut hitam gadis muda itu. gaun putihnya yang tebal mulai membuatnya terasa gerah. Tidak, ia bukan gerah karena cuaca, melainkan karena memegang handuk panas sedari tadi.

Dengan telaten, Lirmeia mengusap kening seorang pria yang terbaring tak bergerak. Tidak terdengar deru napas. Tapi warna kulitnya belumlah memucat.  

Pria yang rebah ini dikenal sebagai Kii. Ia baru saja divonis mati oleh salah seorang tetua. Sekarang tubuh pria dengan rambut separuh beruban ini pasrah diusap oleh Meia.

Ia mengusap kepala pria yang masih terbaring tersebut dengan kain. Pandangannya tertuju pada dada pria. ia melirik kiri dan kanan lalu terdiam sebentar sebelum tangannya bergerak perlahan. Ia mengusapnya, tidak beralaskan kain, melainkan dengan telapak tangan telanjangnya.  Wajah gadis itu tersipu. Sekali lagi ia melirik kiri kanan sebelum akhirnya meletakkan pipinya di atas dada bidang tersebut.

Ia menghirup aroma yang masih bersemayam di tubuh sang pria. Matanya mulai menutup, menikmati sensasi yang merasuk dan membuat bulu kuduknya meremang. Ia mengambil tangan Kii dan meletakkannya di atas kepalanya. Perlahan tapi pasti, Meia membuat telapak tangan Kii mengusap kepalanya.


“Apa kau tidak malu?!”

Teriakan keras yang tiba-tiba itu menyentak Meia. Ia mengangkat kepalanya dan menjauh dari Kii dengan roman merah layaknya udang direbus. Romannya memucat saat menyadari siapa yang masuk ke balai.

“A-Ayah...”

Pria tua berrambut putih mengkilat itu melemparkan tatapan tajam. Meia dibuat menciut dan membuang pandangan karenanya.


“Kau adalah perawan pedang, seharusnya kau menjaga kelakuanmu!”

Meia menundukkan wajah.

“Apalagi yang kau sentuh itu adalah mayat.”

“Kii belum mati, ayah!” balas Meia. Pria tua itu sama sekali tidak menyangka gadis di hadapannya ini berani membalas ucapannya.

“Amana sudah tidak lagi bersemayam dalam tubuhnya! Dia sama dengan bangkai!”

“Aku masih merasakan denyut nadinya... walau hanya satu atau dua selama tiga hirup napas...”

Sang ayah menggelengkan kepalanya berulang kali “Jangan terilusi, Meia! Perannya sudah usai! Sekarang yang kau harus lakukan adalah menguburnya dan menunggu sampai kami mendapat pengganti Kii!”

“Aku tidak mau...” rintih Meia. “Aku tidak mau!” erangnya lagi.

“Jangan keras kepala! Memangnya kau tidak sadar dengan...”

Meia menitikkan air mata.

“Ck... ini dia repotnya berurusan dengan wanita...”


Sang ayah menggaruk kepalanya berkali-kali sembari terus berdecak.

“Baiklah! Aku memberimu waktu dua bulan! Pasti butuh waktu bagi kandidat lain untuk mencapai tiga puluh tebasan sekarang. Manfaatkan waktumu baik-baik dengan bangkai tersebut! Aku akan mencoba membujuk tetua lain.”

“Terima kasih, ayah...” ujar Meia seraya mengatupkan kedua tangannya dan menyentuhkannya ke dada. Mata gadis itu meneteskan air mata dan bibirnya terus bergetar.



***


 Kii membuka matanya. Ia menatap langit-langit berwarna putih. Bau rempah-rempah yang menyengat dengan segera menyergap hidungnya. Kii menghitung satu sampai sepuluh untuk mengafirmasi pikirannya masih tersambung dengan badan. Ia pun menggerakkan tangannya dan mendekatkannya ke wajah. Telapak tangannya dibuka-tutup. Dengan ini, ia yakin dirinya tidak mati.

Kii mengamati tubuhnya. Tidak ada luka yang fatal sama sekali. Paling hanya perban di bahu kanannya saja.kupingnya lantas mendengar dengkuran keras yang datang tak jauh dari kepalanya.


Ia menengokkan kepala ke samping dan mendapati seorang gadis berkepang kembar dengan  ikat rambut berbentuk paku sedang tertidur di kursi, lima langkah darinya. Kii mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi.

Tiba-tiba saja gadis itu tersentak dan mengulet. Ia terdiam sebentar saat pandangan matanya menumbuk Kii yang terdiammenatapnya. Dua detik berlalu –yang diputus oleh ucapan “Ah rupanya kau sudah terbangun,” dari si gadis.

Kii tak mengedipkan mata. Bukankah justru gadis itu yang baru saja terbangun?  Tapi terlepas dari itu, gadis itu dengan cepat bertingkah ceria dan melompat-lompat di tempat. Mata gadis itu berbinar-binar ceria. ia pun keluar ruangan.

“Tuan Garrand, dia sudah bangun nih,” teriak gadis itu. Lalu menarik masuk seseorang, pria besar dengan perisai emas memasuki ruangan dengan langkah tegap. Garrand, pria yang menjadi partner bertarung pada perang di padang pasir. Pria itu  tersenyum tipis “Syukurlah anda sudah sadar. Gadis ini panik saat melihatmu tidak sadarkan diri selama sehari penuh. Anda bahkan melewati prosesi pesta bagi yang selamat.”

Kii termenung sebentar sebelum menyadari “Bagaimana aku bisa selamat?”

Garrand menggaruk pipinya. “Tuan Garrand menyelamatkanmu tahu! Ia melempar perisainya dan membuatmu terhindar dari reruntuhan menara!” ucap si gadis berambut kepang kembar ini seraya melirik nakal dan menyikut Garrand.

“Tunggu, nona masih memintaku untuk melakukannya?” tanya Garrand, ketenangannya terlihat lenyap tergantikan kikuk tak wajar. Ia bahkan mengerenyitkan kening saat melihat anggukan cepat dari si gadis berambut kepang.

“Tampaknya aku harus menelan harga diriku sekali lagi,” ucapan tak jelas dari Garrand ini membuat Kii mengerenyitkan alis... dan ia makin mengerenyitkan alis oleh ulah pria ini.


 “Begini saja kan?”

Garrand lantas memeluk Kii. Si gadis berambut kepang menjerit girang, prisma hitam yang tiba-tiba berada di tangannya terus menerus mengeluarkan cahaya tanpa henti seolah menjadikan Kii dan Garrand bermandikan cahaya.

“Barusan untuk apa?” tanya Kii polos.

Garrand melepas pelukannya dengan tenang.

“Anggap saja sebagai salah satu upayaku membalas jasa pada seseorang.”

“Makasih makasih makasih! Koleksiku jadi bertambah satu lagi! KYAAA~” lalu dengan girangnya si gadis berambut kepang melesat keluar kamar.

“Maaf bila tindakanku menyebabkan anda tidak nyaman,” ujar Garrand setelah melepas pelukannya. “Nona itu mau membantu kita melawan Kuda raksasa tersebut setelah aku berjanji mematuhi keinginannya. Nona itu terpaksa merelakan paku terbangnya dilempar dan hancur. Mungkin anda tidak ingat itu.”

Kii mencoba merekonstruksi ingatannya. Ia terperangah saat mengingat adanya kejadian yang dimaksud. “Nona itu  merelakan dirinya diceramahi habis-habisan oleh panitia lain karena membantu kita. Dia menelan bulat seluruh cercaan dan hinaan. Jadi yang kulakukan barusan adalah membalas jasa yang telah dia lakukan. Aku harap anda bisa mengerti.”

Mengerti? Kii menelengkan kepalanya dan melempar pandangan ke langit-langit. Bahkan setelah Garrand meninggalkannya sendirian di ruangan pun ia mengulang kembali pertanyaan yang sama.

“Apa maksudnya dengan dia harus menelan harga dirinya karena melakukan itu?” tanya Kii yang makin tak mengerti.


***


Kii memandang sekelilingnya. Saat ini ia berdiri di hadapan dua bukit tinggi dengan satu lorong yang entah menuju ke mana. Di belakangnya terdapat sebuah batu besar, setinggi tiga lengan. Matahari  bersinar terik tepat di atas kepalanya tanpa sejengkal pun terlihat awan. Tanaman liar –termasuk rumput liar- absen di tempat ini. Padang gersang yang tandus cukup menjadi gambaran tepat.

Panas. Bahkan angin yang berhembus seakan menyayat dan mengeringkan kulit. Beruntunglah ia mengenakan baju berlengan panjang.

Ini kali ke dua Kii dipindahkan di tempat gersang. Ia mulai berpikir ada sebuah pesan yang mungkin saja hendak disampaikan orang yang mengundangnya.

 “Apa ini artinya hatiku masih gersang? Dan aku harus mencari sesuatu di sini?” monolog Kii. Tapi semakin dipikirkan, ia tidak menemukan jawabannya. Tidak seperti sebelumnya, Kii tiba-tiba saja dilempar ke tempat ini. Tanpa pemberitahuan. Ia bahkan baru saja selesai memakai baju saat menyadari dirinya tiba-tiba sudah berpindah tempat. Tapi ia menyadari sesuatu, berdasar dari pengalamannya.

Kii mengamati sekelilingnya. Ada sesuatu yang lain yang terbawa oleh angin kasar dan panas ini. Ia merasa angin ini membawa aroma kesepian... dan penuh dengan nafsu membunuh. Ya, kulitnya menyadari bahwa ada hawa membunuh yang besar sedang bermain. Hawa tersebut mampu membuat bulu kuduknya meremang. Ia sadar pedang yang disandang di punggungnya akan segera menemukan tempat berlabuh. Dingin. Baginya angin ini justru mendinginkan kulitnya.

Kii menarik napas pelan, menutup matanya dan menghitung satu sampai sepuluh. Ia berkonsentrasi mencari sumber nafsu pembunuh dengan perantara indra perasanya. Ia meraba angin, suara, bau dan apapun yang bisa penanda lokasi objek.  

Kii menarik pedang dari punggungnya. Ia mengawasi sekelilingnya sekali lagi.  ia kembali mengambil napas, kali ini panjang. Satu, dua, tiga!

Kii melesat menuju batu besar di belakangnya.

Jeritan melengking terdengar. Kii terkejut mendapati sasaran pedangnya adalah seorang gadis kecil. Tapi apa daya, tebasan sudah terlepas.


Kii tidak pernah menghentikan pedangnya, sekalipun tidak pernah. Walau targetnya adalah anak kecil atau perempuan sekalipun. Bahkan walau mereka tidak bersalah sekalipun. Ya, pedang adalah instrumen kejam. Benda ini tidak mengenal emosi apalagi sekedar harga diri dan moral.

Beruntunglah Kii masih memiliki kontrol atas pedangnya. Dengan cepat ia memuntir pergelangan tangannya. Sisi tajam pedang berputar tergantikan sisi penampang. Dari tebasan tajam jadi hantaman keras. Gadis kecil itu tak pelak menerima tamparan pedang dengan pipinya. Ia terpental tiga langkah dan mendarat dengan menyeret tanah.


“Maaf nona kecil.”

Ujar Kii datar. Pedangnya tidak disarungkan walau diturunkan. Ia mengamati gadis tersebut dengan sikap waspada.

Gadis kecil tersebut berambut ikal kuning sepinggul. Ia terlihat seperti gadis normal bagi Kii – baju putih dan rok kotak-kotak baginya tidak terlihat mengancam. Tidak terlihat senjata, hanya tas bulu domba saja.

“Sakit...” erang gadis kecil itu.

Tentu saja sakit. Untunglah itu baru tebasan pertama.

“SAKIT...” erang gadis kecil itu tambah keras.

“SAKIT TAHU!!” dan erangannya berubah menjadi teriakan penuh kekesalan. Ia berdiri dengan cepat dan menuding Kii.

“Kenapa om main pukul saja sih?! Om nggak pernah diajari orang tua ya?”

Kii menaikkan alisnya. Ia tidak merasakan sensasi membunuh yang mencekam dari gadis ini. Baginya teriakan kesal itu menunjukkan gadis itu normal.


“Tanggung jawab!” sentak gadis kecil itu. “Om sudah bikin Felly- aku terluka!” dengus gadis itu. “Bagaimana kalau nanti Fel- Aku, aku jadi cacat permanen?!”

“Kalau begitu mengapa adik kecil bersembunyi di tempat itu?” tanya Kii.

Si gadis kecil menurunkan alis kesal. Ia berjalan cepat ke arah “Aku punya nama. Namaku, Maria Fellas. Panggil aku puan Maria Fellas.”

“Puan... apa artinya itu?”

“Aku lupa kalau tempat ini dipenuhi Babun liar beda dunia. Puan itu adalah panggilan tertinggi bagi perempuan. Om seharusnya hormat kalau tahu ada puan lewat. Apalagi kalau puan sampai berdiri di depan muka.”

“Baik, apa yang harus kulakukan, puan Fellas?” tanya Kii pendek lagi datar. Ia tidak ingin berargumen dengan bocah.

Gadis itu makin mengerenyitkan alisnya. Ia kemudian meletakkan tangan di dagu dan menatap tak berkedip pada Kii. “Lurus banget jawaban om. Biasanya Felly dengar orang bakal jawab macem-macem kalau dengar.

“Felly itu siapa?” tanya Kii polos. 

“Eh? Puan Fellas. Maksudku Aku, iya, itu hanya julukan khusus yang bisa diberikan padaku selaku Puan.”

 “Minta darahmu.”

Kii menaikkan alisnya. Ia sedikit merasa adanya bahaya dari ucapan tersebut dan agak ragu untuk menyanggupi permintaan Fellas.  Tapi sebuah suara deru yang besar membuat konsentrasinya bocor. Deru besar itu datang dari perut Fellas.

“Ini... ini bukan karena aku lapar...”

Kii memandang sekeliling dan mendapati memang tidak ada apapun yang bisa dimakan. Ia menggoreskan pedang tersebut di lengan kirinya, cukup untuk membuat darah merembes keluar dari lengannya.

“Silakan.”

Sekali lagi, Kii sama sekali tidak merasakan adanya nafsu membunuh. Andai ia melihat seringai kecil Fellas.


***


Di lain tempat, dua orang, pemuda dan pemudi sedang bertatapan mata. Bila Kii melihat sosok ini, mungkin ia akan menganggap pemudi itu adalah bagian dari Kaum terbuang. Sisi kiri rambut pemudi yang dipangkas habis menjadi ciri khas kaum tersebut. tapi kuncir rambut di sisi kanan seakan menjadikannya bagian dari aristokrat di wilayah barat. Pakaian pemudi ini ketat dengan warna hitam pekat. Bahan yang sepertinya asing ini dipadukan pula dengan jubah warna hitam dan sabuk merah gelap.  Belum lagi tanduk di kepalanya. Dia seakan ingin mendikte kesan dengan aroma gelap.

“Serahkan biji kopimu padaku, bajingan,” ucapnya dengan nada keras lagi angkuh.

Yang pemuda memiliki perawakan kasar, codet di wajah, rahang yang lebar serta jambang dan jenggot tipis. Tubuhnya yang berotot lagigempal membuat kesan kuat. Pemuda ini menyilangkan tangan dan menaikkan dagunya saat membalas ucapan si pemudi.

“Hah, belajar dulu pakai popok sana, bocah kencur. Kalau tadi lu belajar bicara sopan pada yang lebih tua, gue bisa saja berbaik hati memberikanmu satu biji,” balas si pemuda dengan tenang.

“Satu?! Aku mau semua! Sekarang berikan padaku,” kalimat murahan itu muncul berbarengan dengan dikeluarkannya dua pucuk benda panjang –satu hitam, satu putih.  si pemuda sepertinya mengenali benda tersebut. Tangannya yang tadinya tersilang diturunkan.

“Pistol. Mainan bocah. Cocok buat pecundang,” ujar si pemuda seraya mengambil sebutir biji kopi dari mata sabuknya yang tebal.

“Kita lihat saja apa congormu masih bawel habis makan timah,” ujar si pemudi seraya membuat benda bernama pistol tersebut berbunyi seperti terbukanya pintu lemari.


***
Kembali ke Kii. Pria itu sekarang terbaring lemas di tanah. Pandangan matanya nanar. Panas yang menderanya membuat ia semakin sulit bergerak. Atau lebih tepatnya, saat ini ia tidak boleh bergerak. Puan Maria Fellas saat ini sedang melilitkan perban di tangan pria tersebut.

“Om kok bego sih?” sembur Fellas. Ia membubuhkan cairan bening di perban lain. “Percaya aja sama orang nggak baik tahu,” tambahnya. Gadis kecil itu membalut lengan Kii dengan kasar. Pria berbadan besar itu diam saja dan tidak mengeluh, bahkan saat bekas lukanya ditampar oleh Fellas.

“Itu tadi permintaanmu,”

“Iya! Tapi masa nggak nanya lagi?”

“Kamu lapar kan? Tadi tidak ada apa-apa di sini selain ini,” kata Kii seraya menunjuk tangannya sendiri. Sehabis mengucap itu ganti perut Kii yang berderu. Maka dibukalah perban yang baru saja dililit. Ia pun menghisap darah yang masih segar merembes.

Fellas yang kesal menampar lengan Kii yang sedang membuka perban.

 “Mana mungkin ah cara ini bisa terus-terusan dipakai. Om ini nggak mikir ya?” seru Fellas sembari berkacak pinggang.

“Masa? Bukankah katanya darah selalu dibuat dalam badan?”

“Iya tapi ada batesnya juga dong, om. Kalau orang kayak om juga darahnya palingan cuma lima liter. Kalau kekurangan nanti malah pingsan terus mati deh,” sungut gadis cilik itu seraya mendenguskan hidungnya. 

“Hmmm,” Kii menautkan jempolnya di dagu. “Pengetahuan baru. Selama ini kupikir darah itu bisa terus ada makanya aku harus menebas di titik vital.”

“Om itu dong-dong ya.”

“Dong-dong itu apa?” tanya Kii.

“Euh,” Fellas menepuk kepalanya. “Dong-dong itu bodoh! Masa om nggak ngerti sih?” ujar Maria dengan cengiran panjang. ia menaikkan dagunya dan memandang Kii dari atas layaknya ratu yang memerintah.

Kii menggaruk kepalanya “Dong-dong ya... Meia juga biasa bilang seperti itu padaku sih,” ujar Kii dengan senyum sumringah.

“Meia itu siapa?” tanya Fellas setelah melihat roman Kii yang berubah.

“Tunangan. Kami seharusnya menikah dalam waktu dekat ini tapi aku menundanya sementara waktu,”

Begitu pembicaraan menyentuh aspek cinta-cintaan. Fellas membelalakkan matanya dan terkagum-kagum.  Ia baru mengubah ekspresinya saat Kii terdiam dan memandanginya. Dengan sigap gadis itu menurunkan alisnya dan memasang wajah sok keras. Kii tersenyum tipis saja dibuatnya.

Kii lantas menjelaskan  perihal Meia pada Fellas. Baginya mata gadis yang berbinar saat mendengar segala sesuatu tentang Fellas menyemangatkannya tuk terus bercerita padahal sebenarnya ia mulai merasa lemas. Tapi binar mata itu berubah dingin saat mendengar suara derik tak jauh dari posisi mereka. Bahkan gadis itu mendadak menoleh ke belakang cukup lama, sampai akhirnya ia bertanya.

 “Oh iya, kenapa om bisa ada di sini?” Tanya Fellas.

“Entah. Tiba-tiba saja aku dikirim ke sini...” balas Kii pendek. Ia mulai merasa tubuhnya kelelahan. Perban yang melilitnya makin memerah.

“Hmmm,” Fellas menutup matanya dan mengendus berkali-kali. Ia kemudian membuka matanya dan bertanya lagi “Om juga ikutan acara aneh juga?”

“Acara aneh?”

“Iya, acara dimana setiap orang diadu untuk saling mengalahkan,” nada suara Fellas terdengar berat. “Membunuh maksudku,” sungging Fellas ringan.

“Kalau kau mengeluarkan nafsu membunuh seperti itu, aku juga bisa bertindak,” balas Kii tanpa melihat. Ia menatap kosong. Sekarang ia mengerti keberadaannya di sini.

“Huh, memangnya sekarang om bisa apa? Badan saja sudah lemas kurang darah gitu.”

“Tergantung apa yang terjadi,” Kii meletakkan tangannya di pisau pinggangnya.

“Kalau begitu kenapa om tidak melakukannya sekarang? Mumpung darah om masih ada. Ayo, coba saja.”

“Tidak perlu,” Ujar Kii seraya membebatkan lilitan perban sampai membuat tangannya membiru.

“Oh kenapa? Merasa terlalu kuat?”

“Bukan. Karena sekarang ancaman utama bukan darimu,” Ia melempar pandangan ke sekelilingnya. “Nafsu membunuh yang begitu kuat tadi rupanya terbawa angin.”

Di sekeliling mereka berkumpul kalajengking yang memiliki bandul besar sebagai sungut. Dari bandul terdengar derik yang terus mengeras. Kii menghitung mereka satu persatu. Kurang lebih terdapat dua puluh dari mereka.Suara deriknya jelas memberi aroma yang menusuk. Bau kematian, sesuatu yang sangat familiar bagi Kii. 

“Rupanya om juga bisa merasakan kehadiran mereka,” ujar Fellas menyunggingkan senyum menyebalkan.

***


Kumpulan kalajengking dengan lonceng derik mendekat perlahan. Fellas menarik pisau dari tasnya.

“Mereka ini yang membunuh seorang lagi.”

“Mereka?” tanya Kii. Ia beringsut perlahan. Tubuhnya mulai gemetar karena kurang darah. Ia dengan gontai ia menghunuskan pedang di punggungnya. “Tidak lebih dari dua tebasan,” ujar Kii pendek. Fellas tidak mengerti racauan Kii.  Ekspresinya memperlihatkan kesan seakan “bisa apa pria yang sudah lemas ini?”


Salah satu dari kalajengking itu merayap pelan mendekati Kii. Kii menyambut dengan satu langkah dan tebasan pertama. Cairan hijau yang busuk lagi muncrat dari potongan tubuh makhluk rangka keras itu.

 Kii bersiap menyambut datangnya serangan kedua. Tapi herannya, kalajengking lain justru mengerubungi mayat teman mereka. Mereka berjalan dengan pelan dan sepertinya bahkan tidak mengeluarkan nafsu membunuh yang dingin lagi bagi Kii.

Dan tanpa tedeng aling mereka menginjak mayat membuat derik mereika terdengar makin kontras di antara suara-suara hancurnya rangka luar mayat. Yang lebih mengenaskan, kumpulan itu ternyata memakan bangkai mayat.

“Lari!” teriak Fellas seraya menarik tangan Kii.

“Temanmu yang seorang lagi... bagaimana dia mati?”

“Dia bukan temanku! Aku justru selamat karena dia hampir saja membunuhku. Hewan bau itu membokong cewek kurang ajar yang pakai pedang kembar.  Kalau tidak begitu, mana mungkin aku bisa ke sini.”

“Apa nafsu membunuhmu itu muncul karena melihatku dan menyangka aku akan membunuhmu?”
Fellas tidak menjawab.

“Kalau begitu pilihanku memang benar untuk tidak membunuhmu.”
“Eh?”

 “Andai kau datang dengan keinginan membunuh karena memang begitu adanya,maka pedangku takkan segan bergerak. Tapi bila keinginan membunuh itu datang karena ketakutan, aku yakin pedangku akan menjadi tumpul.”

“Om aneh.  Yang kutemui di sini sudah siap untuk bunuh-bunuhan apapun alasannya. Katanya itulah yang harus dilakukan agar keinginan terkabul.”

“Keinginan terkabul. Andai semuanya semudah menghilangkan nyawa maka seharusnya aku sudah menikah dengan Meia saat ini.”

“Hmpph suatu saat om akan menyesal karena sok punya harga diri seperti itu.”

“Tidak akan. Karena harga diri inilah aku merasa bisa hidup.”


Perkataan naif Kii itu sepertinya belum menemui ujian yang sesungguhnya dari tempat ini. Begitu perut mulai berbunyi dan nafsu mulai bergerak ke kepala barulah kalimat tersebut akan terbukti.


***

Di lain tempat, pemudi bertampilan Kaum terbuang tersebut duduk di atas dada pemuda yang baru saja menjadi mayat. Pemuda tersebut terlihat kering kerontang layaknya kekurangan cairan. Pipinya hampir tirus dan hanya beberapa bagian dari otot tubuhnya saja yang masih gempal berisi. Di tangannya tergenggam butiran biji kopi. Dengan satu tegukan ia menelan seluruhnya –tanpa  dikunyah.

“Tidak mengenyangkan. Bangsat satu ini menyusahkan saja. Dia cuma bikin tambah lapar saja,” gerutu pemudi itu. Decakannya makin keras tatkala lehernya berdeguk. Tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Pemudi itu terdiam melihat mayat si pemuda. Ia mengambil batu yang cukup tajam dan menoreh paha si pemuda. Darah yang hitam mengucur.  Ia menyeringai dan menjilat bibirnya.

“Hmmm, mari makan.”


***


Kii dan Fellas bersembunyi di bawah naugan batu besar yang berbentuk seperti jamur. Bayangan dari batu besar tersebut membuat panas setidaknya terhalang sejenak.

Kii menarik napas panjang. Ia baru pertama kali ini merasakan kehilangan darah yang cukup banyak. Tidak, ini pertama kalinya ia merasa darahnya tidak bisa berhenti merembes meski sudah dibebat sampai tangan biru.

Baik Fellas dan Kii sama-sama waspada mengamati sekelilingnya. Mereka tidak bersuara, sampai sebuah benda pipih yang terbuat dari besi melewati mereka.


“Ah, pesawat itu. Itu pesawat yang bawa makanan!”

Suara perut Kii beradu dengan suara perut Fellas. Keduanya saling berpandangan. “Pergilah.”

“Tidak mau. Fell-Aku ingin om ikut juga. Tadi Fell-aku hampir terbunuh karena berebut makanan dengan cewek sial itu. Dan bisa jadi kalajengking derik atau apalah itu datang tiba-tiba.”

“Jadi kau akan menyewaku?”

“Apa maksud om?”

“Apa Puan Maria Fellas ingin menyewa pedang dan diriku?”

“Aku tidak tahu apa tujuanku dipindahkan ke tempat ini. Mungkin saja mereka memintaku membunuh sesuatu atau seseorang di sini tapi aku tidak tahu. Kupikir setidaknya akan lebih baik bila aku sementara ini tahu apa jalan yang harus kupilih... bila bersamamu,”

“Jadi aku harus menyewa om jadi pengawal?”

“Bukan pengawal. Pembunuh bayaran.”
“Sama saja ah. Ujung-ujungnya harus bunuh-bunuhan kan? Mau monster atau orang sama saja. Yang hilang nyawa ya dibilangnya mati.”

Kii hanya tersenyum kecut saja. Untuk hal ini ia setuju. Walau sebenarnya ia bisa saja mengatakan, perbedaan besar  di antara mereka adalah kode etik. Pedang bagi Kii bukanlah benda untuk melindungi, tidak seperti perisai Garrand.


***
“Om jangan lelet!”

Mudah bagi Fellas untuk berkata seperti itu. Kii mulai merasa kakinya makin sulit digerakkan. Ia bahkan melihat perbannya meneteskan cairan merah. Lengan kirinya sudah mati rasa dan Kii sadar, sedikit banyak napasnya mulai satu dua. Ia harus bisa menutup luka ini tapi entah dengan apa.

Selagi berlari, perutnya mulai kembali berbunyi. Suaranya sangat keras bahkan terdengar oleh Fellas yang sudah berada sejauh lima tombak darinya. “Om, ayo buruaaan! Sebentar lagi om bisa makan,”Dan setelahnya Fellas menghilang di balik undakan.

Kii mulai mendengar suara-suara aneh di kepalanya. Meia. Ia mendengar Meia memanggilnya. Ia bahkan mulai melihat tangan Meia yang mengusap wajahnya. Menyegarkan. Sejenak Kii merasa ia tidak perlu lagi berlari. Ia hampir saja berhenti melangkah andai tidak mendengar sesuatu.

Suara meriam. Bukan. Lebih seperti ledakan kecil. Lalu terdengar jeritan.

“AAH!”

Teriakan keras dari Fellas mengagetkan Kii.  Ia mengencangkan seluruh ototnya dan berlari sekuat yang ia bisa. Dan sesampainya di undakan, ia melihatnya.

Kerumunan kalajengking derik sedang mengepung seorang pria yang rebah di tanah. Kepala pria tersebut bersimbah darah.  Mayat adalah hal yang biasa, tapi mengapa Fellas berteriak? Saat itulah Kii merasakan kembali sensasi dingin di tengkuknya. Nafsu membunuh.


Suara ledakan kecil kembali terdengar. Kali ini seekor Kalajengking derik yang meledak berkeping-keping.

“Jangan mendekati makananku, bajingan!” si perempuan dengan kuncir terbuang itu terus menembaki Kalajengking yang berkerumun di sekitar pemuda. Setelah sepuluh mayat, barulah perhatian kalajengking itu berpindah pada tumpukan mayat.

Si pemudi menoleh pada Kii dan Fellas yang terpekur di tempat. Ia mengacungkan pistolnya  pada mereka. Sebuah letusan kecil terdengar, berikut desing di tanah. Fellas menjerit takut sementara Kii makin terpana. Ia tidak melihat benda apa yang keluar dari pistol. Ia hanya tahu benda itu berbahaya karena Fellas meringkuk ngeri.

“Jangan bergerak dari sana. Aku tidak akan membagi ini dengan kalian.”

Kii terdiam mengamati. Ia merasa pemudi ini memiliki ketangguhan sekitar tiga tebasan -maksimal. Tapi keberadaan benda yang terus diacungkannya membuat Kii merasa ia butuh sekitar lima tebasan untuk menghadapinya.  

Dan kelakuan dari si pemudi ini membuatnya merasa membutuhkan lebih dari sepuluh tebasan. Ia melihat sinar mata si pemudi tidak lagi normal. Yang ia lihat bukanlah bungkus makanan yang berada tak jauh dari kakinya, melainkan tubuh si pria.

Fellas mendadak muntah. Apa yang ia lihat juga membuat bulu kuduk Kii meremang. Pemudi itu menoreh dada si pria. Darah segar lantas muncrat membasahi wajahnya. Tubuh si pemudi bergetar. Perlahan ia terkekeh, pelan lalu semakin mengeras sampai akhirnya suara tawanya membuat Fellas menutup wajahnya dengan lutut.

“Orang gila, orang gila...”

“Kau mau aku membunuhnya?” Kii bertanya dengan dingin. Kepalanya mulai berdenging. Ia mual melihat pemandangan di hadapannya. Bukan, ia mulai gontai dan merasa ingin secepatnya saja membuat pedang di tangannya bergerak.

Tidak terdengar jawaban dari Fellas. Kii mengangkat kakinya, mendekat selangkah. Sebuah letusan kembali terdengar.

“Apa ibumu tidak pernah mengajarkan jangan mengganggu orang makan?”

Makan? Kii merasa tidak nyaman mendengar kata itu dari si pemudi. Apalagi dengan bola mata yang semakin tidak memperlihatkan kehidupan.

“Kenapa kalian pasang tampang begitu? Memangnya kalian tidak tahu kalau manusia itu lezat?”

Konon beberapa hewan seperti beruang memiliki kebiasaan untuk terus menyantap makanan tertentu begitu pertama kali merasakannya. Layaknya sabda ilahi yang tertanam dalam benak akibat menuruti hawa nafsu paling brutal: urusan perut.

Merasa tidak mendapat balasan, si pemudi lantas menancapkan giginya di mayat sang pria. Suara cecap dan decak silih berganti bersamaan dengan menguatnya aroma darah yang mengental.

“BUNUH DIA!” teriak Fellas.

Dan itulah teriakan terakhir Fellas. Tubuhnya melenting akibat ledakan keras yang berpusat tiga jengkal dari kirinya.

“Cih, meleset. Tapi setidaknya congornya diam dan lumayan... jadi ada makanan lagi.”


Kii mengabaikannya. Perintah sudah keluar. Sekarang baginya tidak ada alasan untuk menahan pedangnya. Meski pandangannya sudah mulai kabur, meski tangan kirinya makin mati rasa, meski ia tahu langkah kakinya mulai tidak stabil, bahkan meski ia mendengar suara letusan dan denging keras di telinganya dan meski ia merasa telinganya dingin lalu panas.

Kii tidak menghitung apapun, baik napasnya, baik jumlah kalajengking yang mulai bergerak pelan menuju si pemudi, tidak pula langkahnya, tidak pula jumlah letusan yang muncul dari pistol si pemudi yang membongkar hewan malang, tidak pula menghitung berapa kali angin panas menyapa wajahnya. Satu-satunya angka yang muncul dalam benaknya hanyalah satu. Satu tebasan.


Dan itulah yang berhasil dilakukannya.


Satu tebasan.

Kii tahu tebasannya masuk, tepat melintang di dada kanan. Tapi ia sulit menduga seberapa dalam tebasannya. Samar-samar ia mendengar makian keras dari si pemudi “FAK!” katanya. Dan ia merasa punggungnya mati rasa sejenak. Lalu ia merasakan sakit layaknya dicucuk panah api. Kii tidak lagi memiliki tenaga untuk menjerit- napasnya kadung habis untuk satu tebasan.

Kii rubuh. Sekali lagi ia merasa nuansa yang sama saat pertama kali ia dihadirkan di medan perang. Ia pasrah, bukan karena ia tidak lagi memiliki tenaga. Melainkan karena ia mendengar namanya dipanggil berkali-kali oleh suara yang mirip dengan Meia.


“Kii belum mati. Kii tidak akan mati.”


“Meia, maaf.”

Kalimat terakhirnya ditutup oleh suara teriakan keras lain. “BOCAH BANGSAT! JANGAN GIGIT AKU!” lalu terdengar letusan lain dan teriakan kecil. Dan Kii merasa ia ingin tidur. Ia ingin melupakan bahwa dirinya lapar. Ia ingin melupakan segalanya untuk sejenak.

***

“Tuan Kii! Tuan Kii!”

Suara melengking dan keras ini. Kii tahu siapa yang baru saja membangunkannya: gadis berkepang kembar dengan paku di kepala. “Ah, untunglah ia masih hidup! Tim medis cepat ke sini. Kita mendapatkan pemenang ronde ini. Kii menjadi satu-satunya yang selamat. Ayo cepat!”


Ah, Kii merasa dirinya sedang dirundung bunga tidur. Ia pun kembali memejamkan matanya. ia ingin kembali mendengar suara Meia. Tapi semakin ia berusaha, yang ia dapati hanyalah kesunyian. Dan ia merasa tubuhnya kembali dingin.

7 comments:

  1. pendekar pedang minim ekspresi tapi BGnya full drama..

    di sini kok Kiinya jadi bahan bullyan ama Felly.. dan battle Asep ama Meredy kurang nendang..namanya juga kagak disebutin.. dan mana Fatanir dan izu.. rasanya kurang lengkap kalau gak diungkap. paling gak ya dikasih hint keberadaan mereka gitu

    7 dari Nobuhisa

    ReplyDelete
  2. Secara bahasa sama narasi ini entri lunayab kuat lho. Langsung keciri banget karakter Kii ini, antara sifat ksatria campur lugu sama kaku. Pembawaannya juga ga berkesan rumit kayak karaktermu yang biasanya

    Cuma sayang, padahal ini PoV3, tapi karakter lain kurang keeksplor - bahkan untuk sekedar sebut nama. Siapa yang mati offscreen sebelum Felly ketemu Kii masih okelah, tapi Meredy porsinya lumayan, kenapa mesti terus pake kata ganti? Finishingnya juga agak kecepetan, tapi mungkin emang Kii mainannya gini ya sekali musuh kena tebas

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  3. Kii, the one-hit-wonder. So badass.

    Kebanyakan adegan dialog antara Kii dan Felly, padahal jatahnya bisa dibagi2 ke gimana kalahnya si Asep, Izu dan Fatanir. Minimal sebut nama gpp lah, setidaknya itu penghargaan dan kesopanan bilang "monggo" sama author2 yg OC2nya dibully di sini. Mungkin dgn tidak menyebut nama dan offscreen berarti kita nggak perlu repot2 menggerakkan oc-oc lain, mikirin gerakan dan cara menangnya dsb kan?

    Pengen sih adu badass antara Kii dan Vajra, tapi utk skrg maaf bro, 7/10 dulu yah buat komposisinya. OC: Vajra

    ReplyDelete
  4. Si kuncir terbuang.
    Best description everrrrrr!!!
    Eit, ini bukan sarkas lho. Aku beneran suka klo Meredy dipanggil si kuncir terbuang wwkwkwk.

    Oke review dimulai.

    Plot : Sebenarnya berpotensi, tapi sayangnya dikerjakan terburu2. Sehingga nggak banyak karakter dan cerita yg bisa digali. Scene Meia itu menandakan bahwa kejadian di Alforea paralel dengan dunia nyata. Yang berarti, cuma rohnya Kii aja yg berkelana di Alforea. Ini konsepnya unik lho, nggak ada entry lain yg make konsep ini.

    Dan jujur, scene Meia itu jauh lebih menarik daripada scene Alforeanya sendiri. Seperti yg dikatakan diatas, BGnya full drama.

    ===

    Karakterisasi : Fata dan Izu mati offscreen, sementara karakter lain kurang digarap. Interaksi Felly dan Kii aku rasa udah pas banget, satunya keturunan ningrat, satunya pembunuh bayaran yg naif. Paralel sama canonnya Asep ya pairingnya.

    Meredy, seperti biasa, jadi antagonis disini. Namun sayang, karakternya kurang digali dan skill2nya nggak diperlihatkan. Aku agak kurang sreg klo Meredy dijadikan kanibal. Justru lebih sreg klo Felly yg jadi kanibal, krn memang ada kecenderungan kesana. Tapi karakternya Felly nggak terlalu kesana (well bisa diakalin sih)

    ===

    Battle : Kebanyakan mati offscreen, pembaca kecewa. Kii bahkan cuma sempet menebaskan satu tebasan.
    Harusnya bisa dijelaskan gimana matinya Izu dan Fata, pertarungan Felly dan Meredy, banyak banget deh.

    Ya namanya juga sibuk, aku maklum kok.

    Dariku 7/10
    +1 karena aku penasaran dengan drama yg melanda Meia.
    Apakah Meia akan dijodohkan dengan pria lain?
    Dapatkah Meia meyakinkan ayahnya bahwa Kii belum mati?
    Apakah Kii benar-benar mati?
    Saksikan di ronde selanjutnya.

    Kii, Sang Pemecah Pedang.

    8/10

    OC : Meredy Forgone

    ReplyDelete
  5. Umi di sini xD
    apa? Felly? dia abis mental ke tempat tidur abis ditembak sama Meredy :v

    Okee here is my point XD

    The Fun : 3.0
    Selain narasinya yang oke plus deskripsinya, Umi ndak nemu seseuatu yang lucu xD interaksinya Kii-Felly ini menarik banget xD bahkan se-entry ini yang kerasa beneran cuma interaksi Kii-Felly (yang sesama entrant, jangan tanya Meia, Meia bukan entrant soalnya) xD

    Meredy muncul biar jadi last boss XD

    Fata, Asep, Izu off screen. (bingung Izu, matinya kapan?)

    Karakterisasi : 2.0
    like you said before, IYA Felly-nya OOC banget :v
    tapi karena kesan (sok) keluarga ningratnya oke punya, Umi kasih plus-plus, lah xD

    dan demi apapun Kii-nya keren banget xD kesatria sungguh keren xD


    Alur : 2.0,
    Untuk Umi, alurnya bikin bingung. Umi ndak sadar kalo ini paralel sama dunia nyatanya Kii xD sama pas ending yang well, berasa DOR, udah xD
    wkwkwkwk

    anyway,

    Total : 7.0

    OC : Maria Fellas

    ReplyDelete
  6. umm sebenernya buat saya yang belum tau banyak tentang karakter-karakter ditim ini, mendeksripsikan karakter yang tewas offscreen membuat saya bingung sendiri. Siapa ini yang mati? *itu yang dipikiran saya.saya cuma bisa menebak yang bercodet saja,ya abah asep. Selebihnya saya masih gak engeh karena gak ada nama di pendeskripsiannya.

    untuk narasi dan plotnya cukup unik, penuh drama dan plot yang gak biasa. yaitu dimana sang karakter itu pergi ke alforea gak secara utuh, alias cuma jiwanya aja yang berada di sana. membaca ini mengingatkan saya pada sebuah manga yang sedang saya ikuti.
    dan saya penasaran bagaimana kelangsungan hidup meia tanpa kii di sisinya.

    Percakapan antara kii dan fellas juga menarik, lucu dibagian fellas yang selalu mengoreksi kata-katanya untuk menyebut dirinya sendiri.hihi

    Nilai :8

    Khanza

    *mampir2 yah ke lapak Khanza :3

    ReplyDelete
  7. Hmm ... mungkin karena saya belum baca prelim Kii, jadinya merasa agak aneh. Di sini, dari awal saja, Kii udah tampak begitu kelelahan, tidak vit. Padahal saya sewaktu membaca charsheet-nya membayangkan kalau Kii ini bakal seperti pemain pedang yang tebas, tebas, tebas, dan terus tebas sampai puluhan pedang patah pun tak peduli. Namun di sini tampak jauh dari kondisi primanya sama sekali. Jadinya agak mengecewakan.

    Karakterisasi yang bagus untuk OC musuh hanya terasa di Felly saja, karena dia berinteraksi langsung dengan Kii. Sementara yang lain? Agak blank. Dan Meredy malah jadi kanibal gendeng di sini.

    Duel akhirnya kurang waw. Masasih lebih seruan menebas kalajengking daripada momen klimaks?

    PONTEN 6
    OC: Kusumawardani, S.Pd.

    ReplyDelete