27.4.15

[PRELIMINARY] STELLENE FORTRAND - MIDSUMMER NIGHT'S FLIGHT

[PRELIM] STELLENE FORTRAND - MIDSUMMER NIGHT'S FLIGHT
penulis : Clairine Cao

Membingungkan.


Tidak jauh berbeda dengan sosok-sosok di sekelilingnya, yang juga mengangkat tangan seperti yang sedang dilakukannya, Stellene Esperance Fortrand, usia 22 tahun, tidak mengerti kenapa dia berada di halaman kastil yang luas itu - apa, kenapa, bagaimana. Yang diingatnya terakhir, ketika kakinya masih berjejak di tanah benua kelahirannya Ar Licione, hanyalah surat misterius yang tidak banyak menjelaskan maksudnya - surat yang, omong-omong, sepertinya seharusnya menjelaskan lebih dari sekedar 'apakah kau ingin menguji keberuntunganmu', kalau melihat gelagat pemilik suara di depan mereka. 


…sungguh, melihat tingkah nona berparas menawan namun meragukan kredibilitasnya itu, Stella refleks mempertanyakan dalam benaknya kelangsungan nasib mereka di tanah yang disebut Alforea itu.




……percayalah ketika dia bilang dia tidak biasanya bersentimen negatif terhadap orang.


Namun terlepas dari itu, ketika mendengar tentang turnamen antar dimensi, harus diakuinya kalau dia sendiri sebenarnya tidak terlalu terkejut. Tidak ada kepastian hingga pemberitaan yang baru saja diberikan itu, tetapi dari perbincangan yang didengarnya selama menunggu di bulan Alkima, serta dari isi suratnya sendiri dan beberapa orang lain yang sempat ditangkapnya, Stella bisa merasakan adanya unsur pertarungan dalam rangkaian kejadian yang telah berlangsung. 


Segera setelah dugaannya itu terkonfirmasi, matanya bergerak menyusuri kerumunan, mematri dalam benaknya sosok-sosok yang terlihat kuat — astaga, dia bahkan bisa melihat anak kecil di tengah kerumunan. Dia bahkan tidak mampu memikirkan hal apa yang kira-kira membuat anak-anak itu berakhir di turnamen yang tidak terdengar seperti acara piknik di dataran berumput hijau ini. Dan di sisi lain, dia bisa melihat sosok-sosok berumur yang terlihat bisa terjatuh setiap saat. Apakah…


Apakah ini sungguh tempat yang tepat untuk mereka…?


"—jadi dengarkan baik-baik!" tiba-tiba terdengar sahutan keras dari depan, yang membuyarkan pikiran Stella dan memfokuskannya kembali ke arah kedua orang di depan. "Dari seratus satu orang yang ada di sini, hanya ada empat puluh delapan peserta terbaik yang akan terpilih untuk mengikuti turnamen yang sesungguhnya."


…sebentar, apa?


Sosok tua yang berdiri di depan itu meneruskan kata-katanya, dan kali ini Stella tidak berniat melewatkan satupun kata-katanya. "Setiap peserta akan dikirimkan ke sebuah area khusus untuk babak penyisihan dalam kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua hingga empat orang. Kalian bebas untuk memilih anggota kelompok kalian, dan begitu kalian sudah mendapatkan kelompok yang menurut kalian pas, maka kalian akan langsung dikirim ke tempat pertarungan oleh seorang maid yang akan menjelaskan misi—"


Belum tuntas penjelasan orang tua itu, beberapa orang di dekat Stella sudah mulai ramai mencari teman kelompok. Stella bahkan hampir terjerembab ketika salah satu peserta berbadan besar secara tidak sengaja menyenggolnya, kalau bukan karena uluran tangan seorang lain di dekatnya.


"Kau tidak apa?"


Stella sedikit mendongak dari posisi berlututnya, dan tanpa disadarinya sebuah hembusan napas lega keluar dari mulutnya ketika dia melihat wajah seorang Maida York di depannya. "Ya, aku tidak apa, Maida. Terima kasih." Stella kembali berdiri, dengan bantuan tangan Maida - orang pertama yang ditemuinya dan diajaknya bicara ketika dia pertama tiba di Alkima. Setelah tegap kembali, Stella melihat ke sekelilingnya.

"…pengumuman itu sungguh membuat orang-orang ini kelabakan, ya."

Maida tertawa mendengar simpulan singkat dari observasi Stella. "Ya, begitulah," ujar pemilik rambut biru yang sedikit lebih pendek dari Stella itu. "Bahkan tadi ada beberapa orang yang mulai berebut, kalau aku tidak salah lihat."


Stella ikut tertawa, walaupun tawanya lebih terdengar seperti tawa setengah hati, yang lebih mengekspresikan keheranan ketimbang kesenangan.  Sejenak kemudian, wajah Stella kembali lurus, dan benaknya mulai kembali berpikir. Menimbang-nimbang tentang Maida, yang baru dikenalnya kurang dari sehari, namun merupakan orang yang paling dikenalnya dalam radius sejauh pandangannya.


"Kau sendiri, Maida? Mau sekelompok denganku?"


Ya, diputuskannya akhinya kalau kenal kurang dari sehari pun cukup untuk menggandeng pengguna es itu melewati penyisihan ini. Maida pun akhirnya mengiyakan ajakannya untuk satu kelompok. Di sekitar mereka, satu demi satu kelompok dua, tiga hingga empat orang menghilang dalam pilar cahaya - dia dan Maida akan segera menyusul mereka, walaupun tidak satupun dari mereka tahu pasti apa yang akan harus mereka lakukan. Namun baru saja dia berniat untuk melaporkan kelompoknya ke salah satu maid yang berdiri di dekat mereka, seorang gadis berambut pirang berjalan - bukan, berlari, hampir - ke arahnya dan Maida.


"Kalian berdua saja?"


Begitu, kata-kata yang pertama terlontar dari mulut gadis itu. Sempat Stella dan Maida bertukar pandang sesaat, sebelum Stella mengangguk. Gadis bertubuh kecil itu tersenyum, dengan kilatan puas di matanya.


"Kalau begitu, aku ikut kalian!"


…begitu, katanya.


Mendengar deklarasi gadis yang bahkan belum menyebutkan namanya itu, Stella membuka mulutnya, berniat untuk protes. Namun bahkan belum sepatah hurufpun keluar, dia berpikir. Terdiam, dan mulutnya kembali menutup. Bahkan tanpa membalikkan badan pun dia bisa merasakan Maida menatapnya, menunggu keputusan darinya soal si gadis yang tiba-tiba muncul dan menuntut masuk ke kelompok kecil mereka. Pikirkan baik-baik, Stellene. Ini akan jadi pertarungan—walaupun kau belum tahu apa yang harus kau lakukan...


Jumlah. Jumlah itu teman.


"…baiklah." Begitulah akhirnya dia mengiyakan gadis muda itu. "Tapi hati-hatilah, oke?"


—apa gadis itu baru saja men…dengus?


Maid yang mencatat kelompok mereka tersenyum statis, seolah telah terprogram. "Baiklah, Stellene." Maid itu memasukkan kembali daftar yang baru saja ditulisinya. Bersamaan, seperti terjadi kepada kelompok-kelompok lainnya, seberkas cahaya putih mulai menyelimuti tubuh Stella, Maida dan si gadis yang masih misterius namanya itu. "Tim kalian empat anggota, dan penjelasan selanjutnya akan diberikan di wilayah misi."


"Sebentar, empat—?"


Belum sempat Stella memproses benar-benar angka yang disebutkan itu, berkas cahaya di sekitar mereka tiba-tiba semakin terang, dan dengan segera menelan mereka, membawa mereka pergi dengan hantaran kata-kata terprogram dari sang maid pencatat nama.

"Selamat berjuang, dan semoga beruntung!"

————————————

Ketika Stella akhinya kembali bisa melihat, pemandangan yang menyambutnya bukanlah lagi hamparan pilar-pilar pintu kastil ataupun kerumunan pemain lain. Langit yang tadinya masih cerah, kini gelap dan dipenuhi dengan konstelasi bintang yang jauh berbeda dari yang dikenalnya di Grand Earth. Dan dari atas tebing tempatnya berdiri, dia bisa melihat kaki langit, dimana terbentang hamparan luas padang pasir berpagar tebing, dan dia bisa melihat ratusan prajurit berseragam sewarna dengan prajurit-prajurit di kastil sebelumnya melawan ribuan makhluk — berbagai jenis, banyak diantaranya belum pernah dilihatnya sebelumnya.


"Selamat datang di dataran Shoh'r!"


Stella menoleh ke si maid yang baru saja menyuarakan sambutannya ke kelompoknya. Maid berambut hitam pendek itu tersenyum ramah, memegang sebuah papan bertuliskan nama yang tidak berbeda dari yang dimiliki maid sebelumnya. "Kuharap perjalanan tadi tidak terlalu membuat kalian berempat mual."


Berempat, lagi katanya.


"Maaf," Maida lah yang pertama mengangkat suara, sebelum Stella sempat menyuarakan pertanyaannya sendiri. "Tapi kami hanya bertiga…kan?"

Maid itu terlihat bingung mendengar kata-kata Maida, lalu dia membuka kembali daftar nama di tangannya. Sambil menunggu, Stella sekali lagi melemparkan pandangannya ke pertarungan besar yang sedang terjadi di bawah tebing. Dari yang bisa dilihatnya, jumlah prajurit Alforea sepertinya tidak mencapai seribu. Apakah misi mereka adalah untuk membantu prajurit-prajurit itu melawan kerumunan makhluk yang mereka lawan itu…?

"Ada empat nama di sini." Pikiran Stella kembali teralih ketika maid berambut pendek itu akhirnya mengangkat suara kembali. "Stellene Fortrand, Maida York, Dominica Alta Orathivo…" Ah, jadi itu nama gadis itu, terbesit di benak Stella.

"…dan Yu Ching."

Hening.

"Yu…Ching?"

Maida dan Stella menoleh bersamaan ke Dominica, yang dengan segera menekuk wajahnya membentuk ekspresi sebal sambil menggelengkan kepala. Mereka bertiga menoleh ke sekeliling mereka, mencari sosok satu orang tambahan yang tidak terduga itu di sekitar mereka. Apakah dia bersembunyi? Atau jangan-jangan memang tidak terlihat—

"Dibawah sini, nyao."

Sahutan dari 'bawah' itu diiringi dengan sentuhan bulu halus yang bergesekan ringan dengan kaki Stella, membuat pengrajin batu itu nyaris melompat terkejut sebelum dia melihat ke bawah dan menemukan seekor…kucing hitam menatapnya dengan tekukan wajah yang mungkin bisa disebut dongkol. Mata ketiga orang satu kelompok itu membelalak lebar melihat kucing hitam bernama Yu Ching itu, yang hanya menjilat bulu kakinya sebagai respon terhadap kekagetan mereka. "Oh ayolah," ujar kucing itu, "Jangan bertingkah seperti kalian baru sekarang melihat kucing."


"Masalahnya ini baru pertama kalinya aku melihat kucing bicara!"


"Sama, aku juga tidak penah mendengar kucing bicara bahasa manusia, sebelumnya."


"Kucing darimana kau…"

Kucing itu kembali menjilat bulu kakinya. "Sesungguhnya, aku juga baru tahu manusia bisa berbicara dalam bahasaku, nyao." Tuturan kucing itu sesaat membuat Stella kebingungan, dan sebuah pertanyaan muncul di kepalanya kemudian. Benar juga—mungkin kucing berbicara terdengar terlalu aneh, namun bagaimana caranya Maida dan Dominica, yang keduanya sepertinya berasal dari tempat yang sangat berbeda dari tempat asalnya…bagaimana cara mereka…


"E-hem!" Dehaman keras dari sang maid berambut pendek kemudian menarik perhatian mereka kembali. "Baiklah, karena kalian berempat akhirnya sudah saling tahu satu sala lainnya, saya akan menjelaskan tugas kalian." Segera, dengan perhatian penuh keempat anggota kelompok tiba-tiba itu, maid itu mulai menjelaskan tugas mereka. Menghancurkan dua menara kristal di Utara bersamaan, menembus lautan monster yang tiada habisnya, dan juga menyegel Tamon Rah, sang makhluk api yang akan jatuh dari langit dalam waktu—


"DUA MENIT!?"


Barulah setelah pemberitahuan mendadak itu keempat orang satu kelompok itu menoleh ke arah langit lagi, melihat bulan Alkima yang sudah semakin runtuh.  Maid itu tertawa, walaupun dia sempat mengambil satu langkah mundur mendengar pekik panik tiga orang bersamaan. "Y-ya, tadinya sih lima menit, tapi kalian menghabiskan waktu cukup lama waktu mencari tuan Yu Ching—ah, semoga Anda tidak keberatan dipanggil tuan, tuan kucing!" Yu Ching terlihat menggelengkan kepalanya, membuat maid itu tertawa lagi sebelum melangkah mundur lagi. "Baiklah, bulan Alkima akan membuka dalam waktu kurang dari dua menit menit, jadi berjuanglah dan semoga beruntung!"


Setelah maid itu menghilang dalam gumpalan asap, mereka berempat menatap satu sama lainnya.


"Jadi…"


"…"


"Sekarang bagaimana…? Stella, Yu Ching…? Nona Domi…?"


"…purr."


Hening melingkupi mereka selama kurang lebih sepuluh detik. Stella kembali melihat hamparan padang pasir yang dipenuhi monster dan prajurit. Dia tidak bisa melihat dengan cukup jelas di bawah kegelapan langit malam, namun dari pengelihatannya yang terbatas pun dia bisa melihat bayangan sosok naga di tengah para monster. Naga, kaum manusia burung—bahkan dia cukup yakin dia melihat beberapa makhluk yang disangkanya hanya ada di daratan Ar Licione. Tangannya naik ke lehernya, memunculkan kebiasaannya menggaruk sisi lehernya ketika berpikir. Misi mereka pada dasarnya hanya menembus lautan musuh, mencapai kedua menara di Utara, dan menghancurkan menaranya—kan?

"Aku ingin bilang sebaiknya kita mulai dengan menembus dinding monster ini," Stella menoleh ke rekan-rekan satu kelompoknya, dengan tangannya masih menggaruk lehernya. "Namun aku tidak terlalu yakin kita punya kekuatan cukup untuk melakukannya…rasanya?" Matanya bergerak dari Maida, yang diketahuinya memiliki keterbatasan dalam menyerang, ke Dominica dan Yu Ching yang keduanya masih belum dikenalnya sama sekali.

Menangkap makna dibalik tatapan dan tuturan Stella, Dominica menyilangkan tangannya sebelum mulai berbicara. "Aku pemanipulasi kata-kata." Kedua ujung mulutnya sedikit berkedut turun ketika yang diterimanya sebagai balasan hanyalah tatapan kebingungan dari dua rekannya dan dengkuran acuh dari seekor kucing. "Apa yang aku katakan bisa menjadi kenyataan. Memunculkan barang, mensugesti kalian bisa terbang, bisa lari cepat, bisa melompat sepuluh meter, menghipnotis, semacam itu."


"Dan aku hanya kucing yang bisa menyembuhkan kalian, nyaw. Gesit dan punya cakar juga, nyao. Tentu aku bisa menyerang monster, namun jumlah sebanyak itu—kurasa tidak, mreow."


Stella memanggutkan kepalanya, sebelum kembali menggaruk sisi lehernya. Rekan kelompok yang kebetulan didapatnya bukan susunan ideal untuk misi seperti yang sedang mereka hadapi ini, kalau dia harus jujur. Mereka terlalu terspesialisasi, dan tidak ada cukup daya hancur di antara mereka berempat untuk bisa dengan efektif menembus lautan musuh yang menghadang mereka.


Lautan musuh…


Lautan…


"Oi, kacamata. Cepat sedikit berpikirnya." Sahutan dari Dominica tersuarakan bersamaan dengan munculnya sebuah ide di kepala Stella. Waktu mereka kurang dari satu menit, dan dalam satu menit lautan pasir di depan mereka kemungkinan akan berubah menjadi lautan api. Dalam standar pribadinya, rencana yang muncul di kepalanya itu lebih mirip rencana bunuh diri, namun di titik ini, tanpa daya hancur memadai, tidak banyak yang bisa dilakukannya…


"Baik, baik. Aku punya rencana—cukup mudah, tapi rencananya agak-agak mirip bunuh diri, kalau kalian tidak keberatan."

Itu, atau dia sudah terlalu biasa dengan kelompok tukang merusak lingkungan.


————————————


Bulan yang perlahan turun dari langit itu mulai merekah, dan dari dalamnya, menyala kobaran api yang segera menjalar, memenuhi langit malam dengan jilatan lidah api. Jalaran api itu merambat menjauh dari titiknya muncul, lalu kembali ke pusatnya, membentuk sebuah pusaran api dari mana kemudian seekor kuda yang terbuat dari lidah api menerjang keluar dengan sebuah pesona yang mengerikan. Tamon Rah, nama makhluk itu, kuda api bersayap sebesar naga penjaga gunung Hevta Utara —yang tidak kecil sama sekali. Sesuai penjelasan panjang lebar dari maid petugas realita itu, dengan segera Tamon Rah terbang mengitari langit padang pasir itu, menembakkan aliran api yang membakar apapun tanpa pandang bulu. 


Dari atas tebing, dari balik beberapa susunan batu yang menjulang, Stella dan Yu Ching mengintip terbentuknya lautan api di tengah perang antara prajurit Alforea dan monster-monster gurun itu. Maida dan Dominica, dari balik batu juga, tertegun mengamati sosok Tamon Rah, yang masih terus menembakkan aliran api ke kedua pihak peperangan, membuat susunan kedua pihak dengan cepat rontok.


"Kau yakin kita akan sampai ke seberang Utara dengan selamat, kacamata?"


Pertanyaan Dominica membuat Stella sendiri menelan ludahnya. "Pertama, namaku Stella, bukan 'kacamata'. Dan…ya. Semoga kita semua selamat. Memang ini seperti bunuh diri sih, tapi hei, kita punya kemampuan untuk melakukannya." Jawaban dari Stella hanya menarik naikan bahu dari Dominica, yang kelihatannya tidak lagi peduli soal resiko rencana mereka.


"Asal kau dan nona York ini melaksanakan tugas kalian dengan baik, kan, katamu? Jadi lakukan saja pekerjaan kalian!"

Atau mungkin, daripada dikatakan tidak peduli soal resiko, lebih tidak peduli karena tanggung jawabnya bukan di tangannya. Mungkin.


Maida tertawa pelan. Stella menghela napas, dan bahkan Yu Ching pun ikut menggelengkan kepalanya. "Tapi dia benar, manusinyaw." Kucing hitam itu mulai bertutur kembali, tanpa lupa sedikit menanamkan cakarnya yang tajam di lipatan kain baju Stella untuk menekankan kekhawatirannya."Berhasil tidaknya rencana awalmu ini sungguh bergantung dengan kemampuan kalian berdua. Jangan ceroboh, nyow."


Tatapan mata Yu Ching yang sedikit menyala sekaligus menambahkan: Awas kau sampai airnya kena aku.


"Kami akan melakukan yang kami bisa." Bahkan senyuman Maida pun terlihat tidak sepenuhnya yakin, di mata Stella. Tidak mengherankan, sebenarnya, mengingat mereka berniat untuk berjalan langsung menembus lautan api yang seharusnya cukup bersih dari monster dengan bersama-sama menggunakan kemampuan tameng air Maida dan Safir miliknya. Maida seharusnya cukup mampu untuk membawa mereka selamat tanpa terbakar melewati kobaran api dari tubuh-tubuh dan tanaman gurun yang terbakar, sedangkan dia akan berperan sebagai pendukung Maida, menghalau api atau ancaman yang mungkin terlewatkan oleh kubah airnya nanti.


…mau dibilang tergantung dengan kemampuan mereka berdua pun, sesungguhnya, kunci keberhasilan rencana fase pertama mereka hampir sepenuhnya berada di tangan Maida.


Stella menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. "Siap?" Anggukan kolektif di sekitarnya menandakan bahwa mereka semua siap untuk menyambut ajal bersama. Kali ini Stella menggaruk pipinya, menyempatkan diri untuk satu kali berdeham sementara di depan mereka Tamon Rah masih terus membentuk lautan api di padang pasir Shoh'r. "Kalian tahu, walaupun kita hanya baru saling mengenal satu sama lain dalam beberapa menit terakhir, aku…"


"Jangan pidato seolah ini bakal jadi final mission kita bersama, heh!"


"Kau tidak pernah mendengar kalau kata-kata negatif membawa lebih banyak sial ketimbang jenisku, manusia?"


Stella tertawa. Gestur lambaiannya ke arah Utara menandai persiapan mereka untuk bergerak. Tamon Rah mulai terbang menjauh untuk membakar titik lain padang pasir gersang itu, memberi mereka momen waktu untuk bergerak ke titik pertama mereka tanpa terganggu. Secepat mungkin mereka beranjak, berlari untuk segera melompat menuruni tebing yang untungnya tidak terlalu curam itu.


"Oh bintang Utara, lindungilah kami…"


Gumaman Stella—nyaris tidak terdengar.


————————————


Mereka beruntung — ketika mereka tiba di titik pertama jalur yang telah mereka tentukan, tidak ada Tamon Rah di langit, dan semua monster yang mungkin menghadang mereka telah tekapar hangus di atas pasir yang masih tersulut lidah api. Tidak ada waktu untuk mereka menyampaikan bela sungkawa mereka kepada prajurit-prajurit Alforea yang ikut menjadi korban di dalam lautan api itu, jadi Stella mengangguk ke Maida, memintanya untuk segera membentuk kubah airnya setelah mereka semuanya merapat di satu titik.

Kubah air itu muncul, melingkupi mereka berempat dan—Stella menghembuskan napas lega yang cukup keras ketika melihatnya—sekaligus memadamkan semua lidah api yang menyentuh sisi luarnya. Yu Ching, yang duduk hinggap di pundak Stella, menganggukkan kepalanya puas ketika melihat api-api di sekitar mereka padam bersamaan.

"Baik, kita berjalan sekarang!" Dan kerja bagus, tambahnya dalam bentuk anggukan senang ke Maida. "Bilanglah kalau kau perlu bantuan, Maida—dan beri aku tiga detik untuk memanggil Undea. Walaupun…mungkin kita tidak akan terlalu membutuhkan Undea, ya?"

"Oh…aku juga ingin berharap kubah air ini saja cukup untuk mencegah ada api masuk, namun kalau ada api yang lolos, atau bahkan monster yang berhasil menyusup…"

"Ya, kami tahu. Matikan sebelum ada yang merusak kubahnya dari dalam, bukan?"

Maida mengiyakannya. Tanpa membuang waktu lagi, mereka berempat mulai berlari masuk, menembus hamparan padang pasir yang penuh dengan lidah dan menara-menara api itu. Sesekali muncul monster-monster kecil yang kebetulan muncul di dalam kubah, namun dengan cepat pukulan Polunocnica milik Stella mengembalikan mereka ke tanah. Ketika pukulan tongkat tidak cukup, pisau kecil milik Dominica yang bergerak. Setiap kobaran api yang menyentuh sisi dinding kubah air Maida segera padam, meninggalkan asap tipis yang naik dan menghilang di udara, dan selama beberapa saat, perjalanan untuk mencapai menara Utara terasa akan sangat lancar.

Terlalu lancar.

Tanpa mereka sadari, dan tanpa mereka ingat peringatan sang maid soal kemampuan sang kuda bertanduk, Tamon Rah telah mendeteksi pembentukan kubah air Maida, dan sementara mereka terus memperhatikan kobaran api di depan mereka, mereka telah melewatkan momen dimana kuda api itu kini berada di belakang mereka, dengan sayap terkepak kuat-kuat membentuk puluhan bola api di depannya. Tidak satupun dari mereka berempat yang menyadari keberadaan Tamon Rah di belakang mereka hingga tepat sebelum bola-bola api itu ditembakkan, dimana Yu Ching kebetulan melihatnya dan dengan segera mendesis keras.

"BOLA API DARI BELAKA—HISSSSSS!"

Mereka semua menoleh—dan segera merunduk. Kubah air yang kuat itu pun tergoncang menerima hujanan puluhan bola api itu, walaupun tidak semuanya mengenai kubah itu. Sementara Maida kembali menstabilkan kubah itu, Stella dengan cepat mengeluarkan satu batu Safir dari sakunya, menggenggamnya erat dan mengalirkan energi melewati batu itu. Bola-bola air yang cukup padat mulai bermunculan bergantian, menghantam Tamon Rah dan cukup mendistraksinya untuk membuat tembakan apinya meleset.

"Lari, lari, lari!"

"Gaaaaaaahh! Panas! Cepat selesaikan ini semua!"

Stella menyempatkan untuk membentuk satu lagi bola air yang cukup besar dan menghantamkannya ke kepala Tamon Rah sebelum bergegas mengikuti ketiga rekannya berlari mengikuti jalur mereka. Dari posisi mereka, puncak kedua menara kristal yang berdiri di depan reruntuhan kastil sudah bisa terlihat, namun tepat di belakang mereka Tamon Rah yang mengamuk masih terus mengejar mereka sambil menembakkan aliran api kemana-mana.

Tiba-tiba, Dominica yang berlari paling depan berhenti berlari, disusul oleh Maida yang juga berhenti berlari begitu mereka sampai di atas sebuah bukit pasir. Yu Ching, menyadari kedua anggota kelompok itu telah berhenti berlari, melompat turun dari pundak Stella untuk melihat apa yang menghentikan mereka, dan ketika dia melihatnya—

"Oh kau bercan-nyaw…"

Ratusan monster berdiri menghadang mereka. Ratusan monster, yang terlihat lebih pandai daripada yang mereka lihat melawan para prajurit Alforea, mencegah mereka untuk mencapai kedua menara yang sudah di depan mata mereka. Orc, Goblin pengendara Naga, bahkan serigala-serigala gurun dengan cakar besar dan mata mereka yang berbinar di bawah langit yang menyala merah. Jumlah mereka memang tidak sebanyak pasukan di balik bukit, namun apa yang mereka tidak miliki dalam jumlah, sepertinya telah merek kompensasikan dengan kualitas.

Tiba-tiba dari belakang Tamon Rah meringkik keras, menembakkan satu lagi pusaran api yang kuat tepat ke kubah air Maida dan menggoncangkannya cukup keras hingga mereka berempat terhempas ke pasir karena terkena gelombang dan semburan air dari kubah yang pecah. Entah apakah karena dia puas melihat gelembung air yang keras itu akhirnya pecah, sang kuda api meringkik keras sekali lagi, sebelum menjejak udara dan bergerak menjauh, membiarkan keempat petarung perang antar dimensi itu begitu saja tanpa menyerang mereka lagi.

Dan, terkapar di atas bukit pasir itu, sambil melihat langit, tiga dari mereka tertegun, sementara Yu Ching terkapar seakan tak bernyawa dalam kondisi basah.

Kucing malang.

"…menara itu tidak bisa kulempari bola api saja ya?"

"Kau tidak mendengarkan maid tadi, kacamata? Menara itu kebal semua serangan sihir, kan?"

"Haha, sayang sekali ya, Stella. Kalau bisa ini akan sangat cepat selesai…"


"Walaupun kalau cepat selesai jadi mencurigakan juga sih, haha."

Hening. Bintang-bintang di langit berkedip-kedip, seolah mencoba mengatakan sesuatu ke Stella. Dukungan? Cemooh? Melihat bintang dengan konstelasi yang sebegitu asingnya membuat Stella merasa sedih, sebenarnya. Di sekitar mereka, hujanan bola api dari sayap Tamon Rah kembali menghujam di dataran pasir itu—hanya keberuntungan semata, sepertinya, yang meluputkan mereka dari serangan membabi buta itu.

"…kalian tahu, walaupun kita hanya baru saling mengenal satu sama lain dalam beberapa menit terakhir, aku…aku senang sudah sempat bertemu dengan kalian, haha."


"…sama, nyaw. Walaupun kita sangat beruntung bisa sampai di sini, dengan rencana gilamyu itu, mrr."

Stella tertawa. Keberuntungan, ya. Bahkan di dunia dimana konstelasi bintang sama sekali berbeda dari yang dikenalinya, pun, sepertinya cahaya keberuntungan dari langit masih tetap tersenyum kepadanya, hm? Dia beranjak duduk dan tangannya bergerak menggaruk kepala Yu Ching sekali,  sambil menggumamkan sesuatu tentang bintang utara. Maida, yang dari sepengelihatan Stella masih tidak berniat menyerah, masih mencuri-curi pandang ke kerumunan monster yang melindungi menara. Namun Dominica, satu-satunya yang tidak secara langsung terlihat terancam oleh kerumunan monster itu, berdiri lalu menggumamkan sesuatu dengan pelan dan memunculkan wujud sebuah pedang yang belum pernah Stella lihat sebelumnya di tangannya, menarik perhatian ketiga rekannya yang lain.


"Kalau kalian tidak tertarik maju, aku saja yang maju." ujarnya, dengan nada dongkol. Pedangnya terhunus, dan tatapannya lurus menatap satu demi satu ketiga orang lainnya. "Aku kuat. Cukup kuat untuk melawan mereka semua, tanpa kalian sekalipun."


Diam.


Tamon Rah masih berlari di udara di kejauhan, tidak menganggap keberadaan keempat sosok yang berdiri di atas bukit pasir itu ataupun daerah di sekitar mereka, dimana beberapa monster besar yang tadinya sudah terbakar api Tamon Rah mulai kembali bermunculan.


Lalu tiba-tiba Stella tertawa.


"Apa yang lucu, kacamata?" 


Stella mengusap ujung matanya dengan jarinya, dan menggeleng ke arah Dominica. "Tidak, begini—" Dia menarik napas, menghentikan tawanya. "Dulu—bukan, sebenarnya, sampai sekarang pun, di dimensi asalku—"


"Ini bukan saatnya bernostalginya, manusinya."

"Beri aku sedikit waktu, Yu Ching. Aku tidak ingin setelah mati kalian menganggapku orang gila yang membuat strategi bunuh diri tanpa alasan bagus." Stella tersenyum, mencoba menahan tawanya. "Jadi, di dimensi asalku aku punya kelompok tersendiri, dan salah satu temanku…yah, dia…mirip denganmu barusan, Dominica."


"Ah, apakah ini tentang kepala tim-mu yang sering kau ceritakan itu?"


"Satu-satunya, Maida. Satu-satunya."


"…lalu?"


"…biasanya, kalau dia sudah bilang begitu, satu kelompok kami berakhir bersama-sama menerjang masuk ke sarang musuhnya."


"Oh." Dominica tidak terdengar terkesan, namun ekspresinya menunjukkan sedikit tertarik. Pedang di tangannya menghilang, dan gadis pirang itu menyilangkan tangannya. "Jadi kau berniat mengatakan kalau setelah ini kalian akan ikutan nekat dan menerjang turun menemaniku?" Stella menggaruk lehernya sesaat, lalu menoleh ke kedua anggota lainnya dengan tatapan bertanya. Dia tidak bisa membaca wajah seekor kucing, namun jelas terpampang sebuah senyuman di wajah Maida.


"Kau tahu, nona Domy," Maida kemudian mulai berbicara. "Aku tidak merasa satupun dari kita punya niat untuk menyerah." Dia menatap Stella, lalu Dominica, lalu Yu Ching. Mata birunya kemudian kembali bertemu dengan mata kelabu Stella, ketika mereka berdua sama-sama tersenyum jenaka. "Maksudku, kalau aku sih—sayang kan, sudah sampai di sini. Tujujan kita juga sudah di tepat di depan kita. Kalau kau, Stella?"

Stella menatap langit, seolah menimbang-nimbang kata-katanya dengan cengiran kecil di wajahnya. "Ya, mati diterjang gerombolan musuh kuat kedengarannya lebih bagus daripada mati jadi makanan kuda, kan? Dan…hmm." Kembali Stella menggaruk lehernya. "Lagipula, rasanya kita tidak perlu operasi bunuh diri juga—aku jadi dapat ide untuk menghancurkan dua menara itu."

Disebutnya kata kunci 'hancurnya dua menara' berhasil menarik kembali perhatian kelompok kecil mereka. Maida kembali melihat Stella dengan penasaran. Yu Ching pun, walaupun tidak jelas ekspresinya berarti apa, sudah kembali duduk di atas pasir dengan ekor bergoyang pelan. Stella menggaruk lehernya lagi, melihat kedua menara itu, lalu nyala Tamon Rah yang bisa terlihat di kejauhan, lalu ke gerombolan musuh elit yang masih belum bergerak di depan kedua menara.

"Ee…kali ini, aku perlu bantuan kalian, Yu Ching, Dominica."

————————————


"…jadi begini ternyata sifat aslimu, nya!?"


" E..ehehe."


"…ternyata aslinya kau kejam juga, kacamata."


"Tenang, kalian kubagi keberuntungan kok, jadi pasti tidak apa-apa, tidak apa-apa!"


"Tapi itu terlalu beresiko tidak sih, Stella…? Belum lagi—bagaimana kalau Tamon—"

"Tenang, aku juga tidak akan berdiam diri menonton kok. Kau juga, Maida."


"E-eh…?"


————————————


Kerumunan monster itu berdiri diam, sesekali senggol menyenggol antara satu dengan yang lainnya sambil menunggu keempat sosok di atas bukit pasir itu untuk turun minta disambut. Mereka mungkin bukanlah makhluk intelektual, namun bukan berarti mereka tidak bisa mengikuti perintah. Perintah siapa? Mereka sendiri tidak tahu—hanya saja dalam pikiran mereka, mereka tahu kalau posisi mereka adalah di sini, mempertahankan dua menara kristal di belakang mereka, yang terlihat kokoh namun sebenarnya lebih rapuh dari kaca.

Tapi tidak ada yang tahu itu, mereka yakin.

Tiba-tiba barisan orc bertelinga lebar di depan pasukan monster itu mengangkat telinga mereka, menangkap suara-suara langkah kaki yang cepat dan ringan menapak di pasir dengan mantap. Ketika mereka melihat ke atas salah satu sisi bukit, dari balik gundukan tinggi itu muncul dua dari empat sosok yang dari tadi mereka tunggu — seekor kucing hitam yang nyaris tidak terlihat kalau bukan karena cahaya berpendar dari obor-obor yang mereka bawa, dan seorang gadis kecil yang juga berlari, namun menjauh dari si kucing. Mereka berlari ke arah menara-menara di belakang mereka!

Menyadari hal itu, orc-orc bertelinga lebar itu mengangkat tangan, berniat untuk mensinyali rekan mereka di belakang untuk memulai penyerangan, namun tiba-tiba telinga lebar mereka menangkap satu, dua, sepuluh—banyak bunyi. Bunyi yang menapak pasir dan menapak bebatuan dengan cepat, dengan buru-buru, dengan berat. Skala suara yang datang berikutnya ini berbeda dengan langkah ringan kedua makhluk sebelumnya. Yang datang di belakang kedua makhluk itu—


"Demi Orchord—"


Adalah kata-kata terakhir seorang orc penjaga reruntuhan kastil Shoh'r, sebelum dia mati terinjak seekor naga tanah yang tidak bisa terbang.


Di depan kerumunan monster tanah yang mengamuk dan berlari menerjang ke arah menara itu, Yu Ching dan Dominica, Stella yakin, tengah mengutukinya. Ya, strategi menyedihkan inilah yang membuat Yu Ching sempat-sempatnya mencakar mukanya sekali sebelum menerima sugesti kecepatan lari dari Dominica. Keberuntungan? Dia percaya Bintang Utara akan terus mengawasi mereka, apalagi mereka sudah berada sedekat ini dengan tujuan mereka. Dimulai sejak serangan bola api Tamon Rah terakhir menghantam hampir seluruh padang pasir dan permukaan kubah air Maida, Stella telah menghitung mundur durasi lima menit. Sempat dia bertanya, ketika mereka akan menjalankan fase terakhir strategi dadakan mereka itu, apakah lima—bukan, tiga menit cukup untuk Dominica dan Yu Ching untuk menarik monster-monster besar yang telah muncul kembali di belakang mereka untuk berlari ke balik bukit.

"Menurutmu siapa aku, kacamata? Kekuatan sugestiku tidak selemah itu sampai berlari dalam jarak sependek ini saja tiga menit tidak cukup, hmph!"


—begitu jawaban dari Dominica.


Namun Dominica dan Yu Ching melakukan kerja yang bagus. Dengan kekuatan sugesti kegesitan dari Dominica, mereka berdua telah berhasil menarik perhatian (sekaligus amarah — entah apa yang dikeluarkan oleh Dominica hingga dia bisa membuat ledakan asap merah seperti yang tadi dilakukannya) beberapa monster besar, yang dengan mudah berlari tanpa peduli halangan untuk mencoba menginjak Domy dan si kucing hitam yang sudah memprovokasi mereka. Undea, yang dipanggilnya dengan segera begitu Domy dan Yu Ching mendekat kembali, diperhitungkannya akan cukup untuk melindungi mereka berdua dari serangan balik para Orc penjaga ataupun monster-monster garis depan lainnya.

Namun tentu, dimana banyak mangsa bermunculan, di situlah sang predator akan muncul. Tidak membutuhkan waktu lama untuk Tamon Rah menyadari kerumunan monster besar yang tiba-tiba bergerak dengan aneh, dan bahkan sebelum Domy dan Yu Ching melewati bukit tadi, sang kuda api telah bergerak ke arah mereka.


Dan itulah tugas Maida dan Stella.


"Maaf, Tamon Rah yang terpanas!" Satu serpihan Safir dikeluarkannya dari sakunya, dan segera diaktifkannya untuk menyerang Tamon Rah dengan sebuah bola air besar ketika makhluk api itu melaju melewati mereka.  Bola air itu berhasil mendistraksi Tamon Rah untuk sesaat, memberi Maida cukup waktu untuk menyelesaikan mantra Box of Water miliknya, yang kemudian dengan segera mengurung kepala Tamon Rah. Mereka bahkan tidak berniat untuk mengurung kuda api itu sepenuhnya — mereka tahu mereka tidak akan kuat mengalahkannya, itupun kalau dia bisa dijatuhkan. Tugas mereka hanyalah memberi Yu Ching dan Dominica cukup waktu untuk membawa monster-monster besar yang membabi buta itu ke arah yang tepat, dan dengan ini, tugas mereka telah selesai.


"Tapi sementara, tolong jangan mendekati kedua menara itu, terima kasih!"

Dari ujung matanya, Stella bisa melihat kedua menara mulai menembakkan projektil magis ke monster-monster yang datang. Satu, dua, tiga monster yang terus menerus tertembaki projektil mulai berjatuhan, namun ketika satu terjatuh, dari belakang mereka muncul dua ekor lagi, melangkahi saudara mereka yang hanya tinggal menyatu dengan tanah. Dia tidak terlalu mengkhawatirkan Yu Ching dan Dominica soal projektil itu—dengan sugesti Dominica, mereka lebih dari cukup gesit untuk menghindari interval tembakannya. Namun menghindari gerombolan monster yang sepertinya makin lama makin cepat dan banyak…


Di momen itulah, Stella memanjatkan doa dengan tegang, berharap bahwa Yu Ching dan Dominica memiliki cukup waktu dan jarak untuk bisa kabur dengan selamat dari gerombolan monster itu setelah mereka menyelesaikan bagian mereka. Menara-menara kristal yang terlihat kokoh namun rapuh itu tidak bisa menahan gelombang monster yang menabrak mereka dengan kekuatan penuh, dan dengan suara gemuruh dan suara pecahan yang menggema di seluruh padang pasir, menara kristal yang berkilau kebiruan itu pun jatuh bersamaan—


—diikuti dengan runtuhnya reruntuhan kastil di belakangnya, yang ikut terkena terjangan monster yang tidak mengenai menara.


"…oh kepiting suci."

————————————


Penyegelan kembali Tamon Rah berlangsung spektakuler. Dari langit, berkas-berkas cahaya bermunculan seperti tentakel yang melilit kaki-kaki, leher, tanduk dan sayap Tamon Rah, dan dengan paksa menariknya ke langit, di atas padang pasir yang masih menyala di beberapa tempat. Dengan satu lolongan—sejak kapan kuda melolong? Ah, entahlah…—Tamon Rah menyuarakan amarah terakhirnya, sebelum seluruh tubuhnya dilingkupi cahaya yang membentuk bola sempurna.


Alkima telah kembali.


….jadi, Alkima tempatnya datang di awal mula itu sebenarnya kandang kuda?

"Ah—Yu Ching! Dom!" Setelah Alkima kembali ke tempatnya semula, Stella dan Maida bersama-sama turun dari tebing tempat mereka menunggu Tamon Rah tadi. Mereka berjalan melewati bangkai-bangkai monster yang perlahan berdisintegrasi menjadi pasir di sekitar tempat dimana salah satu menara kristal berada, menuju sisa reruntuhan kastil yang kini telah sungguh menjadi reruntuhan. Beberapa lama mereka menyusuri reruntuhan itu, membalik batu-batu yang cukup ringan untuk mereka angkat sambil terus mencoba memanggil nama kedua rekan mereka.

"Stella, Stella!" Akhirnya terdengar suara Maida memanggil Stella, dan di tangannya, pengguna es itu membawa tubuh Yu Ching yang tergolek lemah dan bermandi debu. Mereka merapat, dan Maida menaruh Yu Ching di atas tanah dengan hati-hati. "Sepertinya salah satu batu reruntuhan melukainya…"

"T-tapi dia masih hidup—kan?" Stella merunduk, meletakkan jarinya di dekat mulut kucing hitam itu, lalu melepaskan napasnya dengan lega. "A-aku tidak tahu titik nadi kucing dimana, tapi sepertinya dia bernapas, walaupun lemah…" Lega? Ya tentu dia lega. Sambil dikeluarkannya batu amber yang kemudian diamplifikasinya dengan tongkatnya, Stella kembali menoleh ke Maida. "Kau tidak menemukan Dom—?"

Maida terdiam, lalu menggelengkan kepalanya dengan sedih.

"Dom…"

Cahaya kekuningan dari batu amber melingkupi Yu Ching, dan ekspresi dingin kucing itu mulai sedikit melunak. Dia menggeliat. Mengerjapkan matanya. Menggoyangkan ekornya pelan.

"Y-Yu Ching?" "Yu Ching!"

Kucing itu mengeong pelan—sesuatu yang ditranslasikan Stella seperti gerutuan manusia ketika dibangunkan dari tidur yang panjang. Hal pertama yang dikatakan kucing itu kemudian adalah permintaan untuk membawanya ke Dominica, yang kemudian mereka temukan di balik sebuah pilar, tersembunyi di bawah bayangannya yang gelap, memeluk lututnya sambil mengubur wajahnya dikedua lengannya. 

"Hei, nona cilik."

Tidak ada respon.

"Dom…? Hei—"

Kata-kata Stella terpotong ketika satu tinjuan dari tangan yang terlihat kecil itu melayang langsung ke wajahnya, membuatnya nyaris jatuh hingga kacamatanya terlontar. Maida dan Yu Ching yang dibawanya di tangannya terdiam kaku, sementara sang gadis terus menyampaikan kekesalannya sambil memukuli Stella. "Kacamata bodoh! Tukang strategi gagal! Payah!" Ketika Stella melihat wajah Dom, disangkanya wajah itu akan penuh air mata, namun justru satu-satunya yang bisa dibacanya dari wajah Dominica hanyalah amarah—yang bukannya tidak disangkanya juga, sebenarnya.

"Maaf, itu tadi—tidak kuperhitungkan."


"Tidak kuperhitungkan! Ya, tentu saja tidak! Apa kau memperhitungkan apapun ketika membuat rencana? Kau tahu betapa menakutkannya tadi itu!? Kau sadar tidak betapa berbahayanya tadi itu—sampai—"

"…maaf."

Dominica memandang Stella dengan geram, dan kedua tangannya terangkat, hampir saja mulai memukuli pemuda yang tidak melawan itu lagi. Namun gerakannya terhenti ketika Yu Ching tiba-tiba melompat menghalangi Dominica dari Stella.

"—Yu Ch—?"

"Cukup, Domininyan." Logat kekucingannya yang kental tidak menutupi nada kelegaan yang kali ini terdengar jelas dari si kucing. "Kita mennyang. Kerjamu bagus. nyao." Melihat Yu Ching, Dominica terdiam. Sesaat, mereka menyangka gadis itu hanya akan melampiaskan pukulannya ke target lain. Namun kemudian Dominica menurunkan tangannya dengan wajah merengut.

Stella tidak berani bertanya kenapa Dominica mau mendengarkan Yu Ching.

"Aku masih marah denganmu, kacamata."

"…maaf."

Kata maaf yang kedua kali diucapkannya itu terasa jauh lebih ringan daripada yang pertama. Dominica masih berwajah marah, namun tidak lagi terasa hawa-hawa negatif yang sebelumnya seolah terasa menguar dari tubuh yang kecil itu. Masih ada juga setitik perasaan tidak enak yang menggumpal di hati Stella, namun melihat sosok Dominica yang hanya terluka ringan dan Yu Ching yang sudah kembali bisa berjalan, Stella akhirnya bisa tersenyum lega.

"Maida?"

"Hm?"

Stella menggaruk pipinya,  lalu menatap Maida lurus-lurus. "Terima kasih, ya." Ucapan singkatnya memberikannya pandangan bertanya dari Maida, yang lalu diresponinya kembali dengan garukan di sisi lehernya. "Ng, bagaimana bilangnya ya. Kita tidak akan berhasil selamat begini kalau bukan karenamu sih, jadi ya, um, terima kasih saja sudah menjadi anggota tim yang baik?"

"…apakah kata-kata ini muncul karena kau merasa bersalah tidak menggubris peringatanku soal resiko?"

Stella sedikit tertunduk mendengar tuturan Maida, sebelum dia mengangguk pelan. "Memang pada akhirnya tidak satupun dari kita menjadi korban, namun—ketika kastil itu runtuh tadi…" Helaan napas panjang keluar dari mulut Stella sementara dia memperhatikan Dominica dan Yu Ching. "Ya, setelah kupikir-pikir, aku terlalu menganggap ringan resiko yang kau sebutkan itu. Jadi…maaf juga…?"


"Hm, semua orang belajar, kurasa." Maida membalas ringan dengan sebuah senyuman kecil. "Dan kau pun kurasa juga mempelajari sesuatu, walaupun mungkin bukan hakku untuk menunjuk apa yang kau pelajari juga. Tapi dengan alasan itu saja pun, kau sudah memenangkan sesuatu dari semua ini, kan?"

Setelah itu, Maida melangkah duluan, membiarkan Stella terpaku di tempatnya berdiri. Dia menatap lantai batu reruntuhan kastil yang kini sudah hancur, mencoba menelan kata-kata Maida. Mempelajari sesuatu—pun sudah bisa disebut memenangkan sesuatu…?

Sebuah senyuman merekah di wajah Stella, sebelum kemudian mengembang menjadi sebuah tawa pelan.


Ya, mungkin memang bisa dibilang begitu…


"Ayo, Maida, Yu Ching. Kita tinggal saja si kacamata di sini biar dia introspeksi diri sendiri."

"Apa—h-hei, tunggu aku dong! Hei!"


27 comments:

  1. Kayanya penulis seneng make elipsis ya...walau cuma di paruh awal cerita, sih

    Tulisannya lumayan rapi, dan somehow ngalir. Paling yang saya kritisin adalah saya masih kurang nangkep kemampuan atau karakter Stella dalam sekali baca entri ini (mungkin karena spotlightnya kebagi?), dan entah kenapa ga ada poin cerita yang bikin grip di saya. Kayak ada beberapa momen yang keliatannya diniatin drama atau epik, tapi kok masih ada perasaan nanggung, gitu, jadi kebacanya berasa sekedar lalu.

    Intinya, saya belum bisa ngeraba karakter Stella dan gaya bahasa penulisnya dengan ngebaca entri ini. Tapi mungkin ini pendapat subjektif aja sih

    Dari saya 7

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sesungguhnya saya baru merhatiin kalo saya seriiiing banget pake elipsis (nggak proper pula) setelah anda nyebut =)) Makasih sudah disebut! Soal karakter, saya nggak punya alibi buat pembelaan karena setelah saya sendiri baca lagi kok jatuhnya agak ngeraba-ngeraba aja huhu.

      Gaya penulis mungkin disebabkan setahun terakhir saya terlalu banyak nulis dalam bahasa lain, haha. Makasih, mas (mbak) Dyna!

      Delete
  2. Karena saya bacanya dr hp, mohon maaf kalo ga bisa terlalu mendetail.

    Pertama, bahasanya ngingetin sama Sastra Lama sekaligus cerita terjemahan. Mudah dimengerti, tp byk kalimat gak efektif.

    Kebanyakan pakai elipsis dan kadang jumlahnya gak sesuai (harusnya 3 di dalem kalimat, 4 di akhir dan itu jg harus dispasi dulu)

    Interaksinya belum ngena dan banyak pemilihan kata yg gak sesuai.

    So, nilai akhir: 7

    Saya pengarang Ahran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you! Nggak apa, nggak mendetail tapi cukup tersampaikan kok, terutama perihal jadi kayak terjemahan dan banyak nggak efektifnya itu, haha.

      Tentang elipsis, sebenernya setelah saya baca komen dari anda, saya jadi baca-baca soal penggunaan elipsis yang benar, dan walaupun memang bakunya (terutama di dokumen resmi) elipsis itu dispasi, pengunaannya untuk creative writing cenderung lebih longgar sih. Tapi makasih infonya =))

      Kalo sempat dan lagi ngga ada kerjaan lain(??), jelasin lebih lanjut dong soal pemilihan kata :'| #BERAT

      Delete
  3. Satu impresi yang pertama saya dapat di sini adalah kalimatnya panjang-panjang hingga butuh beberapa saat untuk mencernanya. Bagus sih pakai diksi-diksi, tapi kuharap dibuat lebih tepat sasaran.

    Secara plot dan alur cerita yah, well, good enough. Lumayan enak ngikuti ceritanya.

    Nilai: 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
  4. Eem ceritamu lebih dominan menggunakan narasi dan itu panjang. Harusnya beberapa dari penjelasan narasi bisa di buat lebih pendek tanpa mengurangi maksud dari narasi itu.

    Well secara keseluruhan good story meskipun actionnya agak kurang greget dan kemampuan karakternya terlihat kurang di eksplor terutama stella.

    Sekian.

    Nilai : 7

    -Khanza M. Swartika-

    ReplyDelete
  5. Bagaimana ya? Rapi sih.. Tapi kepadatannya bikin cerita ini susah ditelan. Lalu, diksi juga kaya, tapi banyak yang tidak efektif, dampaknya ke identitas karakter sama setting jadi agak buram.

    Soal cerita, yah....lumayan..

    Scoringnya.. 6 deh...

    -Fath`a Lir

    ReplyDelete
  6. Saya akan mengomentari... err elipsisi yg kurang efektif, diksi yg kaya namun kurang informasi membuat cerita ini sedikit membingungkan, mungkin butuh 2 sampai 3 kali membaca sebuah paragraf untuk mengetahui makna dari paragraf itu..... slow-pace yang kesanya lembut XD I like it, namun belum terlalu kena impact dari cerita ini....... nilai dari saya.... 7

    -Aria-

    ReplyDelete
  7. Aduh, tulisannya kecil sekali. Ibu mesti harus pakai kaca pembesar untuk membacanya.
    -
    Wahwah, ini lucu ... ada kucing yang diajak ikut bertarung. Penulisannya berunut dan tersusun baik, tetapi terkadang bahasanya terlalu dibuat ribet (seperti kata komentator lainnya). Kamu harus memikirkan bagaimana membuat cerita yang narasinya khas kamu tetapi masih nyaman diikuti oleh pembaca. Jadi ada titik temunya.

    Persoalan narasi ribet ini juga mempengaruhi keluwesan dalam adegan battle. Ingat lho kalau yang namanya battle itu biasanya bertempo cepat. Kalau diperlama narasinya dengan kata-kata yang tidak perlu justru malah membuat imajinasi pembaca terhambat. Dan kalau boros kata, maka semakin sedikit adegan yang bisa dimunculkan.
    -
    Kemudian kembali ke cerita. Ini Bu Guru masih belum terbayang tentang karakter-karakter yang dimunculkan dalam cerita ini. Misal, Stella dan Maida itu sebenarnya cowok atau cewek? Lalu Dominica? Bagaimana penampilan khas mereka bertiga, gaya bicara, ataupun sifat-sifat mereka. Belum begitu tergambarkan. Mungkin karena langsung muncul tiga karakter sekaligus, jadinya fokus pengembangan karakternya jadi terbagi. Beruntung masih ada satu kucing yang tidak terlalu sulit untuk digambarkan. Dialognya juga paling khas dari yang lain.
    -
    Pertempurannya sendiri terasa kurang intens. Dari awal tidak terasa sama sekali nuansa peperangannya. Prajurit Alforea tidak dibahas sama sekali. Bahkan akibat taktik kubah air itu, monster-monster juga jadi jarang mendapatkan kesempatan tampil. Dan di bagian akhir, Stella dan tim bisa selamat tanpa luka berarti. Apakah memang semudah itu settingan prelim yang diberikan panitia? Lalu di bagian pertempuran pun masih saja dipenuhi dialog. Padahal pembaca mungkin lebih menginginkan aksi.

    Kamu harus memberikan porsi lebih agar Stella bisa lebih bersinar.
    -
    Segitu aja komentar dari Bu Guru. Semoga bermanfaat.

    Ponten 7++

    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Bu Guru! Sangat bermanfaat! Saya nggak punya pembelaan terhadap gaya nulis yang cenderung rambling, jadi akan saya ingat dan saya tingkatkan terus! '^')9

      Soal cerita...konfirmasi sedikit sih, Stella cowok (dan bukan trap, bukan trap!), sedangkan walaupun Maida itu dasarnya cowok, sampai akhir preliminary Stella belum tahu sih. Karena saya pakai PoV orang ketiga non-omniscient (alias limited), jadinya selama nulis saya juga gundah soal gimana cara ngerefer ke Maida. Kayaknya dari situ jadi nyebar ke bagian lainnya, hehe...

      Terima kasih komentarnya lagi, Bu Mawar!

      Delete
  8. Tadi saya komentar kalau narasi tipis itu trouble, tapi saat baca narasi tebel ini saya merasa terlalu tebel juga gak bagus. Banyak kalimat yang bikin saya kudu baca dua kali dan mungkin saya perlu baca lagi buat paham kekuatan Stella itu gimana. Pemilihan karaktermu asik, namun mereka berasa bagi bagi spotlight dan monster serta prajurit ga terlalu keliatan


    Nama Karakter : Alayne Fiero
    Nilai Akhir : 7/10

    ReplyDelete
  9. Meski plot masih tersampaikan, tapi narasi masih banyak menggunakan kata-kata yang redundant. (Sebenarnya saya juga masih begini)
    Lalu penggunaan dialog tenang saat adegan aksi bikin suasana jadi bland.

    Nilai akhir: 7

    ~Effeth Scyceid

    ReplyDelete
  10. Kemampuan karakternya terlihat kurang di tonjolkan terutama stella.
    Banyak kalimat yang tidak tepat dengan diksinya
    Alur narasi mengalir enak dibaca namun butuh perhatian ekstra untuk memahaminya
    cara bertarung unik namun masih kurang sedikit bumbu aksi didalamnya.
    thanks you ^^
    point ; 7
    OC:Shizuka Lilith Moselle

    ReplyDelete
  11. Kesan yang saya dapat dalam membaca cerita ini adalah saya seperti membaca novel terjemahan, kata-kata yang padat dan berisi namun dapat dipahami. Sayangnya ada pilihan kata-kata kurang pas seperti 'Anggukan kolektif' yang menurut saya sedikit aneh.

    Penulis juga sepertinya sangat berfokus kepada narasi, yang mengakibatkan narasi menjadi ribet dipenuhi kata-kata yang sebenarnya tak terlalu dibutuhkan. Apalagi seharusnya cerita ini mementingkan adegan battle yang seru dan cepat.

    Penggambaran tokoh menurut saya kurang dari wataknya, ciri fisiknya, kemampuannya, dan aksinya. Apalagi Stella yang dengan kata lain adalah OC sang penulis sendiri.

    Nilai : 7

    - James Allard Jauhari

    ReplyDelete
  12. kesan pertama saya adalah 'font-nya terlalu kecil' lalu elipsis yang agak terlalu banyak dan sifat stella kurang menonjol

    tapi narasinya enak dibaca meskipun kurang bumbu aksi, tapi saya suka strateginya yang bisa dibilang unik dan tidak terpikirkan

    Nilai : 8
    OC : Izayoi Nakama

    ReplyDelete
  13. Narasinya cukup acceptable. Nggak istimewa, tapi nggak terlalu mengganggu jalan cerita juga. Flownya lumayan dan drama di bagian klimaksnya cukup terasa. Saya kasih ini 8 X)))

    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
  14. Narasinya enak, beneran. Tapi yang mengganjal mungkin justru feel kalo penulisannya masih rada kaku. Apa penulis terbiasa menerjemahkan kalimat dari bahasa inggris dahulu? Sebagai contoh dari bagian ini sih:

    "Itu, atau dia sudah terlalu biasa dengan kelompok tukang merusak lingkungan.
"

    [That, or she already used to environmental destroyer gangs] begitu. :3

    anyway biasa, tapi solid. Meski padat, tapi nggak bertele-tele juga. jadi nilai plus untuk entri ini.

    7/10 ya :>

    - Adrienne Marsh, atas permintaan Ronnie Staccato.

    ReplyDelete
  15. Ini juga keren banget tulisannye! aye beneran salut ini cara bikin narasinye top abiss,,, uda kayak bahasa puisi gitu deh,,,aye juga kagak paham puisi sih,,,tapi pokoknye mantep deh

    duelnya juga kayak benran dipikirin taktiknye,,,aye belom bisa bikin yang kayak begini,,,aye tambah salut deh,,, meskipun katanye kurang banyak aksi,,,tapi ini menurut aye udah pass banget, dramanye juga asik tuh,,ade kucing segala diikutin buat masuk tim

    aye kasih nilai 9
    karakter aye Kumirun

    ReplyDelete
  16. Ceritanya panjang tapi kurang seru klimaknya kurang dapat,aku agak kurang ngeh sma baagian awal tapi suka again tengahnya dan disini kekkuatan otak lebih diutamakan dari kekuatan otot itu yang saya suka.

    ReplyDelete
  17. Entri yang cukup solid di sini.

    Enjoyable, kalimat puitisnya (sepertinya) agak mirip tulisan saya (?)

    Karakternya, saya harap chemistry Stellene dan Maida bisa di-eksplor lebih jauh lagi.

    Gak terlalu banyak yang bisa saya komentari karena memang begitulah adanya

    Jadi nilainya 7.7/10 ya?

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
    Replies
    1. NOTE:

      Karena ternyata tidak bisa kasih nilai dengan koma,
      saya bulatkan jadi 8/10 @v@

      Delete
  18. Rupanya Stella lebih banyak menggunakan strategi dan keberuntungan dari pada menyerang. Perhancuran menggunakan sistem agro (mengumpulkan musuh untuk dimusnahkan). Di sini Yu Ching tidak menggunakan kemampuan healnya (T_T).
    Untuk penulisan terbilang rapi dan menurutku ringan untuk di cerna.
    Jangan lupa mampir di ceritaku ya di sana aku pinjam Stella juga.
    Nilai 8/10
    OC : Yu Ching

    ReplyDelete
  19. Hai Rae B)

    Karena saya sudah mendengar bagaimana Stella, saya sebagai penikmat murni memberi nilai awal 10. Tulisannya rapi, penggunaan bahasa dan kalimat memang rumit tapi masih bisa saya baca dan saya pahami. Saya lebih suka tulisan seperti ini, terkesan tak serius tapi plot tetap berjalan. Plot tentang monster sebagai penghancur menara itu unik, dan pendeskripsian dari cara bertarung dengan nama monster entah kenapa terkesan medieval sekali. Party Stella yang terdiri dari (yang saya lihat pada bacaan) orang-orang tanpa kemampuan fisik yg hebat juga menarik.


    Itu dari segi cerita

    Minusnya, intinya sama kaya yang di atas2 saya, kurangi kiasan. Banyak kata yang bisa dipersingkat. Dan IMO mungkin Rae banyak kiasan karena kebiasaan RP (yang saya akui) harus perpanjang kalimat biar bagus sehingga jadi bertele-tele? kalau saya bikin tulisan saya juga mungkin kaya gini sih orz. Coba dikurangi, dalam segi plot Stella ini menarik, walau masih belum ada titik terang alasan 'kuat' Stella ikut BoR itu apa, yah soal bahasa yang kaku bisa aku maklumi karena Rae juga sekarang di Aust jadi penggunaan bahasa jadi berbeda :3. Semoga kedepannya bisa diterangin ya!

    Akhir kata, kalau saya boleh menilai saya akan kasih nilai
    9/10.

    Salam, pembaca
    mataharikemalaman

    ReplyDelete
  20. Menggunakan monster untuk menyerang balik menara, sebuah ide yang kreatif menurutku. Cara menulisnyapun cukup rapi, untuk typo dan elipsis aku juga tidak mengerti banyak tentang itu XD
    Nilai 8/10
    OC : Izu Yavuhezid

    ReplyDelete
  21. Wow, Dominica & Yu Ching ketemu lagi di sini. Sama kayak di entry saya XD

    Tapi di entry ini lebih berasa karakterisasi mereka berdua. Dominica tampak kayak cewek bossy, dan Yu Ching dengan tambahan -nyaw, ini bagus banget lho.

    Narasinya lebih mirip POV1 daripada POV3, tapi jadinya enak dibaca. Alur ceritanya pas, strateginya agak dipaksakan sih, soalnya seperti meniadakan pasukan Alforea dan bergantung pada pancingan Dominica & Yu Ching. Tapi apapun itu, saya suka bacany ^_^

    Nilai 9

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  22. Wow, Dominica & Yu Ching ketemu lagi di sini. Sama kayak di entry saya XD

    Tapi di entry ini lebih berasa karakterisasi mereka berdua. Dominica tampak kayak cewek bossy, dan Yu Ching dengan tambahan -nyaw, ini bagus banget lho.

    Narasinya lebih mirip POV1 daripada POV3, tapi jadinya enak dibaca. Alur ceritanya pas, strateginya agak dipaksakan sih, soalnya seperti meniadakan pasukan Alforea dan bergantung pada pancingan Dominica & Yu Ching. Tapi apapun itu, saya suka bacany ^_^

    Nilai 9

    dLanjung (Asep Codet)

    ReplyDelete
  23. Hal yang saya kecewakan di sini, karakter yang lain jadi 'samar' sifatnya. Tapi bagusnya, kita jadi tahu Stella itu seperti apa. Untuk menonjolkan tokoh utama perlu, tapi agaknya tokoh-tokoh sampingan diberi 'porsi lebih', saya sendiri menangkap Maida di sini agak susah, kecuali jadi sosok Ibu buat Stella

    Momen saat mereka bertiga lihat Yu Ching itu ngena =)) =)) dan sedikit kecewa karena yu ching di sini jadi kaya 'maskot' sehingga perannya cuma ngoceh dan engga pakai kemampuannya.

    Ceritanya mengalir enak, sepertinya memang alur dan plot sudah disiapkan dari awal karena itu enggak ada yang ganjal. Momen Stella mengeluarkan 'ide'nya serasa kurang impact.

    Tapi bagusnya, kamu engga ada typo. Diksinya banyak (walau memang ada yang terlalu banyak dan bisa disingkat) jadi benar-benar seperti sudah membaca karya pro.

    Akhir kata dari nilai 10 minus 2 plus satu karena pakai Maida :D
    9/10
    (Maida York)

    ReplyDelete