30.4.15

[PRELIMINARY] ZHAAHIR KHAVARO III - PERANG ANTARA CINTA MELAWAN KEBATILAN

ZHAAHIR KHAVARO III - PERANG ANTARA CINTA MELAWAN KEBATILAN
Penulis: Candle Light Dinner



Bab 1 – Kedatangan Dan Perkenalan

Zhaahir Khavaro III dan Sandhora Eri, sepasang muda-mudi yang tengah melakukan pelarian dari tanggung jawab terhadap orang tua, teman-teman, fans, dan negara. Di kala perang yang melibatkan dua kubu adidaya di bumi langit ketujuh akan terjadi, mereka memutuskan untuk tak terlibat di dalamnya. Karena itulah undangan ke Alforea menjadi sebuah tiket emas. Memangnya siapa yang bisa mengejar mereka hingga ke dimensi lain?

Dan sekarang, keduanya baru saja dipindahkan ke lapangan rumput luas di depan sebuah kastil. Bersama mereka adalah orang-orang – juga makhluk-makhluk – dengan penampilan yang sangat asing. Ada yang seluruh tubuhnya dilapisi logam, ada yang tubuh telanjang bagian atasnya ditumbuhi pohon, ada juga yang membawa binatang liar.


"Zhaahir," Eri mencubit lengan baju sang pangeran bertopeng perunggu, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dengan agak mengerutkan dahi, ia berucap, "Apa di tempat sedang diadakan pertunjukan cosplay?"

Zhaahir pernah mendengar istilah itu. Seingatnya, anak-anak muda di tempat asal sang gadis idola – Kekaisaran Yamato – tengah menggandrungi kegiatan 'bergaya seperti karakter dalam cerita fantasi'.

"Mungkin saja," jawabnya, "tapi karakter apa yang sedang mereka mainkan?"

"Entahlah... rasanya aku tidak pernah melihat cosplay karakter seperti ini di Habara."

"Kalau begitu nona," Zhaahir mengulurkan tangannya dengan telapak yang meminta. "Mau berkeliling untuk melihat-lihat?"

Eri agak salah tingkah, lalu meraih ajakan itu disertai senyum malu-malu. Keduanya pun mulai mengeksplorasi siapa saja yang ada di sana.

Tapi tiba-tiba terdengar suara lembut yang berkumandang dari balkon kastil. Tak hanya Zhaahir dan Eri, semua orang spontan melempar perhatian ke arah sana. Tampak sesosok dewi berpostur aduhai ditemani paman tua berjengot ubanan.

"Siapa mereka itu?" tanya Zhaahir sembari menggaruk bagian pipi permukaan topengnya.

"Mungkin pembawa acara pertunjukan cosplay ini," jawab Eri.

Namun ketika dua orang di balkon mulai bercerita sambil bercanda, semua menjadi jelas. Alforea bukanlah tempat diadakannya pertunjukan cosplay! Nyatanya di tempat ini justru sedang diadakan sebuah turnamen antar petarung yang disebut Battle of Realms. Tak lama lagi babak penyisihan akan dimulai. Kabar baiknya, sosok dewi berpostur aduhai berjanji akan memberikan apapun pada siapapun yang bisa memenangkan turnamen ini.

Setelah menjelaskan teknis babak penyisihan serta persyaratan pembentukan tim yang dibutuhkan, pasangan panitia turnamen itu kembali ke dalam kastil, meninggalkan seratus satu peserta dalam keadaan heboh. Semua langsung bergegas membentuk timnya masing-masing.

"Hei, kita sesama mafia, harusnya sudah paham dengan cara kerja masing-masing. Bagaimana kalau kita beraksi bersama?"
"Jurusmu mengandung petir, jurusku juga mengandung petir, kurasa petir kita akan luar biasa bila digabungkan!"
"Oi, sepertinya kamu anaknya asyik. Ayo kita bersenang-senang bareng!"

Tidak perlu waktu lama hingga jumlah peserta di lapangan mulai berkurang. Mereka yang sudah mendapatkan tim langsung dikirim ke arena pertarungan oleh para maid cantik.

Sementara itu, Zhaahir belum beranjak membentuk tim. Ia tengah menatap mata biru kekasihnya dalam-dalam.

"Eri, tunggulah di sini," ujarnya. "Firasatku berkata bahwa ini akan jadi sangat berbahaya."

"Kau mau meninggalkanku di sini?" balas gadis itu tajam.

"Bukan begitu maksudku!" sahut Zhaahir cepat-cepat. "Aku cuma tidak mau terjadi apa-apa padamu."

"Bukankah kau sudah berjanji akan selalu berada di sisiku untuk melindungiku?" Ekspresi Eri mulai berubah was-was. Tatapannya memandang curiga pada apa pun yang ada di sekelilingnya. "Lagipula tempat ini..."

Agaknya Zhaahir memahami kekhawatiran sang dara. Tanpa peringatan, ia meraih kedua tangan gadis tersebut lalu menangkupkannya erat. Dengan penuh keyakinan, ia mulai berkata-kata...

***

Mang Ujang adalah petani ikemen. Ia memiliki paras tampan dan postur tubuh menawan. Selain itu, ia juga memiliki pribadi yang luhur, selalu taat pada segala aturan yang ada. Karena itulah meski kebelet saat tiba-tiba dipindahkan ke halaman kastil Alforea, ia mengucapkan 'tidak' untuk buang air kecil sembarangan. Alhasil ia segera meninggalkan kerumunan guna mencari toilet.

Namun termyata arsitektur kastil tidaklah sederhana. Lorongnya berputar-putar dengan persilangan di banyak tempat tak terduga. Ditambah ingatan sang petani ikemen yang tidak begitu bagus, membuat lorong kastil tampak tak ada bedanya dari labirin raksasa.

"Duh anying... Aing di mana ini..." Beberapa kali ia melontarkan umpatan pada beberapa ekor binatang.

Keringat dingin pun bercucuran dari keningnya kala panggilan alam itu makin tak tertahankan. Ia bahkan sempat khilaf dengan berpikir untuk buang air di pot bunga. Untunglah hati nuraninya cukup kuat hingga ia tak jadi melakukannya. Dengan mata berkaca-kaca dan langkah tersendat, ia terus mencari.

Tiba-tiba muncul sosok yang berlari kecil dari balik tikungan. Nyaris saja Mang Ujang kebocoran saking kagetnya. Tapi Tuhan masih sayang, sehingga ia tidak sampai mempermalukan diri sendiri di hadapan seorang yang... bagaimana mengatakannya ya.

Sosok yang baru muncul tersebut memiliki wajah lembut. Secorak bulu unggas menempel di pipinya, namun justru membuatnya tampak menggemaskan. Ia memiliki rambut keperakan yang tergerai indah, menguarkan harum shampo. Intinya, Mang Ujang terpesona.

"Hai," ucap sosok itu agak keheranan. "Kau tampak pucat. Kau baik-baik saja?"

"A... aku..." sebenarnya Mang Ujang malu mengakui, tapi ia lebih malu jika mengompol seperti bocah. "Aku sedang mencari toilet."

"Kebetulan, aku juga sedang ingin ke toilet!"

Seperti dewi yang turun memberi pertolongan dari langit, ia mengantar Mang Ujang ke toilet. Sembari jalan ia memperkenalkan namanya : Apis. Nama yang cantik, pikir sang petani ikemen.

Beberapa saat kemudian mereka tiba di ujung sebuah lorong tempat toilet berada. Pintu kanan untuk pria, dan pintu kiri untuk wanita. Mang Ujang sudah tentu masuk ke yang kanan. Ia segera mengambil tempat di salah satu kloset berdiri, lalu menuntaskan hajat.

"Ahhh," ia mendesah lega. Yang ia rasa saat ini sungguhlah satu bentuk kenikmatan yang tak terlukis dengan kata-kata.

"Syukur ya," ucap seseorang sambil lalu sebelum masuk ke dalam salah satu bilik toilet duduk.

"Iya, untung saj – " kata-kata Mang Ujang terputus kala menyadarinya. Ia termenung sebentar, lalu menoleh dengan bibir gemetaran. "Ap-Ap-Apis, i-ini kan toilet pria – "

Terdengar suara air disiram, lalu sosok manis itu keluar dari bilik. Wajahnya agak memerah. Tatapannya dibuang sedikit ke bawah. "Ya... aku tahu ini toilet pria. Me-memangnya kenapa..?"

Mang Ujang pun terdiam kehabisan kata-kata.

***

Apis sang Wadana berjalan dengan agak-agak salah tingkah di samping Mang Ujang. Entah sudah berapa kali orang mengira bahwa ia adalah perempuan, namun ia masih saja tak terbiasa. Hal itu selalu membuatnya merasa tidak nyaman.

"Lho, di mana orang-orang?" celetuk Mang Ujang saat mereka tiba di lapangan yang sepi.

Dada Apis langsung berdebar keras. Ia menjelaskan pada petani ikemen perihal panitia dan turnamen ini, juga babak penyisihan yang akan dimulai. Pada saat ia pergi ke toilet, orang-orang masih ramai. Ia sama sekali tak menyangka bila semua sudah berangkat secepat ini.

"Harusnya aku tidak usah ke toilet," ujarnya dengan senyum dipaksakan, lalu merunduk sedih. Ia tak yakin apa bisa melalui babak penyisihan tanpa kelompok yang lengkap.

Tapi tiba-tiba bahunya ditepuk mantap. Kala ia menoleh, ia mendapati Mang Ujang yang berkata tanpa berani menatap matanya. Wajah pemuda itu agak merah seperti udang rebus.

"Aku tak bisa membayangkan nasibku kalau kau tidak ke toilet. Aku berterima kasih untuk itu."

Apis pun tergelitik. Ia tak tahan, lalu sepotong tawa renyah keluar. Benar juga, setidaknya keputusan ke toilet telah membuat seseorang tertolong.

"Lagipula," lanjut Mang Ujang dengan senyuman cerah seperti kerlip bintang yang menghiasi malam ini. "Kita berdua masih bisa membentuk tim kan?"

"Iya," Apis mengangguk-angguk cepat.

"Dan lagi, masih ada orang di sana!" Mang Ujang mengangkat dagunya untuk menunjuk tiga sosok yang berdiri di tepi lapangan.

"Benar juga, aku baru menyadarinya!"

Tanpa membuang waktu mereka lekas menghampiri ketiga sosok itu. Ada seorang maid cantik berbando telinga kucing, serta manusia bertopeng yang tengah berpegangan tangan dengan gadis bermata biru.

"Sesungguhnya pergiku adalah tuk kembali. Jika memang Tuhan yang mengikatkan benang takdir kita berdua, Aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin, lalu kembali untuk menjemputmu," kata si manusia bertopeng. "Apabila selama aku pergi paman berjenggot ubanan itu berani macam-macam denganmu, kupastikan ia akan menerima siksa yang menyakitkan. Akan kucabuti jenggotnya satu persatu sampai botak."

Sang gadis bermata biru terkikik pelan, lalu tatapannya melunak. "Apa janjimu bisa dipegang?"

"Selama ini, pernahkah aku mengingkari janji kepadamu?"

Apis dan Mang Ujang hanya bertukar pandang lalu tetap diam menyaksikan pertunjukan drama ini.

"Baiklah, semua sudah fix?" potong maid yang sudah tidak sabaran. "Kalau begitu akan kukirim kalian bertiga ke arena pertarungan!"

Apis, Mang Ujang, dan manusia bertopeng tampak keheranan. "Bertiga?"

Kemudian mereka sudah pindah lokasi.

~~~

Bab 2 – Peperangan Dan Pelarian

Sebuah padang gurun terbentang luas di sepanjang mata memandang. Bebatuan hitam tampak berkilauan memantulkan cahaya bulan di atas sana. Temperatur udara sangat rendah, namun tak mematikan niat membunuh yang berapi-api dari dua kubu yang saat ini saling berhadapan.

Tampak barisan legiun manusia dengan zirah tempur lengkap. Lambang Alforea terukir di perisai mereka, juga di panji-panji yang berkibaran tertiup angin malam. Wajah-wajah mereka amat kaku. Bagaimana tidak, karena saat ini mereka tengah menatap kematian.

Di seberang sana, berdiri makhluk-makhluk yang wujudnya terjebak di antara dua alam. Berkepala kuda, berbadan manusia. Merekalah bangsa Tanubis, yang keberadaannya hanya membawa kehancuran dan penderitaan. Tak henti-hentinya mereka meringkik hingga busa meleleh dari sela-sela gigi yang besar, menyebarkan ancaman bagi siapa pun yang mendengar.

Namun teror yang sebenarnya bukanlah berasal dari ringkikan, melainkan dari makhluk peliharaan yang dibawa Tanubis ke medan perang. Makhluk-makhluk itu adalah apa yang dulunya dikenal sebagai 'manusia'. Tapi kini tapal besi dipakukan di telapak tangan dan kaki, memaksa mereka untuk merangkak seperti binatang jalang.

Kelopak mata mereka disobek, agar mata mereka terus memancarkan penderitaan abadi. Bibir mereka sudah tak ada, sehingga mereka tak lagi bisa tersenyum atau cemberut layaknya makhluk beradab. Luka bekas siksaan tampak di sekujur tubuh mereka. Tak lain luka itulah yang telah memberi trauma, yang mengubah makhluk berakal jadi senjata perang.

"Prajurit Alforea!" teriak komandan legiun manusia yang pemberani, Loeng Sang Pembantai Tanubis. "Lihat apa yang kuda-kuda itu perbuat pada saudara kita! Akankah kita diam? Ataukah kita menuntut balas, memenggal kepala-kepala kuda itu sampai tak bersisa?"

"Kita akan menuntut balas!" teriak para prajurit serempak.

"Kalau begitu kita serang mereka!" Loeng mengangkat pedangnya yang bercahaya terang. "Untuk Alforeaaa!!!"

"All For Real!!!"

Sangkakala ditiup. Serentak ratusan prajurit Alforea menerjang maju. Begitu pun para Tanubis, mereka menghadang dengan pedang melengkung dan tombak dari perunggu. Manusia bertapal besi pun ikut ambil bagian, mereka menghantam lawan-lawannya sesuai perintah dari majikan.

Seketika keadaan menjadi kacau. Darah merah dan hitam langsung membanjiri padang gurun seperti genangan hujan.

***

"Apa yang sedang terjadi?" ucap Zhaahir ngeri dari balik topengnya. Ia dan tiga orang lainnya tengah menyaksikan peperangan dari atas sebuah bukit.

"Saat ini prajurit Alforea tengah menyerang basis pertahanan kaum Tanubis yang suka memperbudak manusia," jelas maid berbando telinga kucing yang membawa ketiga peserta.

"Lalu untuk apa kita di sini?" sambar Mang Ujang.

"Kalian harus membantu para manusia mengalahkan Tanubis. Apa kalian lihat dua menara yang terletak di antara puing-puing kastil di sana?" maid menunjuk ke seberang medan pertempuran. "Kalian harus menghancurkan kedua tiang menara kristal pada saat bersamaan untuk menyegel segala kebatilan ini."

"Memangnya kenapa kalau dihancurkan satu persatu?" tanya Apis, tatapannya tak lepas dari pertempuran di bawah sana.

"Menaranya memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri kecuali dihancurkan bersamaan," jawab maid. "Nah, tugasku selesai. Akan kujemput kalian setelah kalian berhasil menyelesaikan misi ini. Oh ya, waspada terhadap Tamon Rah!"

Tiba-tiba maid itu menghilang tanpa memberi kesempatan pada tiga petarung untuk bertanya lebih jauh.

"Aieee apa yang harus kita lakukan sekarang?" Mang Ujang terlihat bingung. Agaknya situasi perang seperti ini adalah hal baru baginya.

"Kalau kata maid barusan, kita harus menghancurkan kedua tiang menara kristal," jawab Zhaahir. "Tapi bagaimana caranya kita melewati laut pertempuran ini?"

Mang Ujang mendesah, "Sebenarnya aku punya ilmu bagus untuk menyelinap di antara mereka, tapi cuma bisa bertahan selama tiga puluh detik."

"Tiga puluh detik? Apa itu cukup?"

"Hmm..."

"A-anu," cicit Apis seraya mengangkat tangan. Wajahnya terlihat pucat pasi. "Apa kita memang harus melewati medan peperangan?"

Mang Ujang mengerutkan dahi. "Memangnya bagaimana lagi cara kita lewat?"

"Kenapa tidak memutar saja lalu hancurkan tiang menaranya dari belakang?" ucap Apis dengan senyum yang dipaksakan.

Zhaahir dan Mang Ujang bertukar pandang. Alis sang petani ikemen terangkat tinggi seperti baru menerima pencerahan. Lalu keduanya menepuk bahu Apis secara bersamaan. "Ide bagus!"

Namun sebelum rencana sempat dijalankan, tiba-tiba terdengar ringkikan yang membahana. Ketiga orang itu lekas menengadah ke langit, ke asal suara tersebut. Bukan main, nampak sosok ilahiah yang kebesarannya tak perlu dipertanyakan lagi. Wujudnya berupa kuda hitam dengan urat-urat merah mencuat. Darah di dalamnya seperti lahar yang mengalir.

Sepasang sayap naga membentang dari punggungnya, tapi tidak digunakan untuk terbang. Sayap yang berkobar itu menembakkan bola-bola api ke sepanjang medan pertempuran. Panas yang dihasilkan sangat luar biasa, membakar semua makhluk tanpa pandang bulu.

Lalu untuk terbang itu sendiri, ia... Astaga! Ia tidak terbang, melainkan menggunakan tapal apinya untuk berlari di udara! Tidak hanya itu, jalur yang telah ia lalui serta merta berubah menjadi sungai api!

"Itu pasti Tamon Rah!" pekik Apis seraya menutup mulutnya sendiri dengan kedua telapak tangan.

"Maha besar Tamon Rah. Sayang kebesaran itu tak digunakan untuk suatu manfaat namun hanya membawa luka dan derita."

Selagi mereka mengagumi sosok sang kuda ilahiah, salah satu bola api datang meluncur. Dari jauh tampak kecil, tapi setelah dekat setidaknya terlihat ukurannya sebesar gerobak.

"Semuanya, selamatkan diri kalian masing-masing!" seru Zhaahir seraya berlari menuruni bukit.

Apis tersentak, lalu bersiap untuk melaju menggunakan ilmu Langkah Angin miliknya. Tapi kemudian ia menyadari reaksi Mang Ujang agak terlambat. Pemuda itu tak akan selamat bila dibiarkan begitu saja. Maka ia memutuskan untuk meraih lengan dan pinggang sang petani ikemen, lalu mendorongnya sekuat tenaga ke bawah.

"Aieee!!!"

Terdengar suara Mang Ujang yang terjungkal hingga ke dasar bukit, disusul bunyi ledakan dahsyat. Hempasan bola api yang dahsyat meningkatkan temperatur di sekitar hingga puluhan derajat celcius untuk sesaat.

"Adududuh," Zhaahir sempat terjatuh saat bukit berguncang di belakangnya. "Ya Tuhan mengerikan sekali serangan barusan," gumamnya, lalu beralih pada yang lain. "Apa semua baik-baik saja?"

Mang Ujang baru berusaha berdiri sambil memegangi kepalanya yang pusing tujuh keliling. Keseimbangannya agak bergoyang. Namun saat melihat Apis terkapar di dekatnya, ia langsung berlari dengan mata terbelalak. Akibatnya ia jatuh tersungkur tepat di samping tubuh sang Wadana.

"Pis, apa kau bisa mendengarku?" seru Mang Ujang panik sambil menepuk-nepuk pipi rekannya. Hanya mendapat reaksi berupa lenguhan perih, pemuda itu mengeratkan geligi. Ia segera mengeluarkan ramuan degan botolan lalu memapah kepala Apis di pangkuan pahanya. "Ini, minumlah!"

Dengan telaten Mang Ujang memegangi botol sementara Apis menyesap ramuan degan pelan-pelan. Luka-luka bakar yang diderita sang Wadana pun berangsur pulih secara ajaib. Melihat itu, barulah petani ikemen bisa merasa lega.

Tapi rupanya bahaya di tempat ini terus datang silih berganti. Sementara prajurit Alforea dan bangsa Tanubis saling beradu, ada satu manusia bertapal besi yang menyadari kehadiran tiga tamu tak diundang. Dengan merangkak seperti binatang buas, ia bergerak cepat mendekati Mang Ujang yang masih merawat Apis!

Tibalah saatnya Zhaahir unjuk gigi. Ia langsung mengambil posisi di jalur antara sang manusia bertapal besi dan kedua rekannya. Kemudian ia mengaktifkan salah satu dari Fantasma Mulia yang ia miliki : Kavaleri Pejuang. Ilmu ini memungkinkannya untuk mematerialisasi persenjataan lengkap seorang prajurit kavaleri Kekaisaran Khavaro, namun untuk kali ini cukup sebuah tombak yang ia ciptakan.

Pemuda itu memutar tombaknya tiga kali lalu melesatkannya tepat ketika manusia bertapal besi menerjang. Makhluk itu pun terhempas ke belakang dengan ujung tombak yang menembus dada. Makhluk itu meraung kesakitan, namun cepat sekali bangkit. Meski dengan senjata yang masih terpancang di tubuhnya, ia menyerang sekali lagi.

Zhaahir terkesiap, tapi hanya beberapa kejap. Ia segera mematerialisasi sebilah pedang, lalu menebaskannya tepat waktu ke arah tangan yang hendak mecengkramnya. Makhluk itu jatuh terguling. Darah segara mengalir dari dada dan tangannya yang terpotong. Tak ingin melihat penderitaannya lebih jauh, sang pangeran mendekat lalu memancung kepalanya dalam satu ayunan.

"Sungguh malang nasibmu menjadi budak para monster," ucap Zhaahir seraya mencabut tombaknya, lalu mendematerialisasi benda itu bersama tiupan angin. "Kuharap kematian ini bisa membawa ketenangan bagimu."

Sayangnya ketenangan belum akan datang pada ketiga petarung. Zhaahir mendengar ringkikan Tamon Rah, lalu melihat kuda ilahiah tersebut berlari ke arahnya. Baik manusia, Tanubis, mau pun manusia bertapal kuda, semua terbakar kala terinjak oleh kaki-kakinya yang bertapal api.

"Mang Ujang! Apa Apis sudah baikan?" serunya tanpa melepas pandangan dari sang kuda ilahiah.

"Kurasa!" jawab Mang Ujang seraya membantu Apis berdiri. Lalu ia berbisik. "Apa kau yakin sudah baikan?"

"Iya, kurasa begitu," jawab sang Wadana terenyum kaku. Tapi saat melihat sosok Tamon Rah, wajahnya yang pucat pasi tak bisa lagi memaksakan senyum.

"Sahabat, apa ada dari kalian yang memiliki kemampuan untuk menghentikan kuda itu?!" teriak Zhaahir gusar.

"Biar kucoba!" Meski seluruh tubuhnya sudah merinding, Apis memberanikan diri untuk maju. Kemudian menghentakkan kaki ke samping tepat sebelum Tamon Rah mencapai mereka. "Kencak!"

Tiba-tiba pergerakan sang kuda ilahiah terhenti, seolah ada paku raksasa tak kasat mata yang dipantekkan di keempat kakinya.

"Ilmu ini cuma bertahan dua detik, semuanya lari sekarang!" seru Apis.

Yah, apalah arti dua detik. Baru ketiga petarung kabur beberapa langkah, Tamon Rah sudah kembali mengejar mereka.

"Aku punya ide, kalian teruslah berlari!" Mendadak Zhaahir mengerem lajunya, lalu mematerialisasi selembar kertas yang sudah dibubuhi tanda tangan milik Kaisar Khavaro II di dalamnya. Itulah Fantasma Mulia – Surat Izin Dari Kaisar. Dengan sekuat tenaga ia berseru, "Izinkan aku untuk memintamu tidak mengejar kami!"

Dan lagi-lagi Tamon Rah terhenti. Meski mulutnya yang berbusa lahar terus meringkik, tetapi kakinya tak bisa digerakkan.

Ketiga petarung tak menyia-nyiakan kesempatan barang sedetik pun. Namun begitu sang kuda ilahiah terbebas dari efek Fantasma Mulia sepuluh detik kemudian, pelarian itu jadi sia-sia. Hanya dengan derap beberapa langkah, makhluk itu sudah menyusul. Lalu ia merentangkan sayapnya, bersiap meluncurkan hujan bola api.

"Matilah kitaaa!!!"

"Anying!" Tiba-tiba Mang Ujang berteriak kesal. "Aku baru ingat, aku masih punya ilmu simpanan!"

Secercah harapan segera timbul dalam benak Zhaahir dan Apis. Setelah menyaksikan jurus yang mereka gunakan tak begitu memberi pengaruh pada Tamon Rah, mereka berharap sang petani ikemen bisa memberikan hasil yang lebih baik.

"Wasweswos wasweswos," Mang Ujang mulai merapal mantra. Asap hitam menyembur dari tubuhnya lalu menyelubungi kedua rekannya yang lain. "Inilah dia warisan dari kakekku, Dematerialisasi!"

Sekejap tubuh ketiga orang itu menjadi tak kasat mata. Pada saat bersamaan, bola-bola api Tamon Rah menghujam dataran Alforea seperti hujan meteor. Ledakan dan panas pun bergumul membawa petaka bagi siapa pun yang terjebak di antaranya.

"Lari sejauh-jauhnya, jurus ini bisa bertahan hingga tiga puluh detik!" teriak Mang Ujang sambil terus berusaha menghindari ledakan. "Aieee!!!"

Dan ketika hujan bola api berakhir, Tamon Rah tak melihat ada satu mayat pun di permukaan. Maka ia berbalik, lalu kembali membuat kekacauan pada perang antara prajurit Alforea dan bangsa Tanubis.

~~~

Bab 3 – Keputusasaan Dan Resolusi

Zhaahir terbaring lemas di atas sebongkah batu besar. Dari sana ia memandangi peperangan yang masih berlangsung antar dua kubu. Lalu ia menatap kedua rekannya yang... berada dalam kondisi menyedihkan. Karena harus membagi dua botol ramuan degan yang tersisa untuk tiga orang, luka-luka yang mereka derita pun tidak bisa sembuh sepenuhnya.

Tapi rupanya luka psikis yang dialami Apis jauh melampaui luka fisiknya. Wadana itu tengah duduk memeluk lutut dengan tubuh gemetaran. Wajahnya disembunyikan dalam lengan.

"Kuda naga... seram... seram..." Kata itulah yang samar-samar kerap terdengar darinya.

Sementara Mang Ujang, tatapannya kosong mengarah pada kegelapan malam. Mungkin ia lelah atau mengantuk. Kadang ia juga membisikkan sesuatu. "Kakek..."

Zhaahir mendesah. Memang mustahil menghadapi kuda ilahiah raksasa seperti Tamon Rah. Terlebih tak satu pun dari mereka yang memiliki serangan berdaya hancur tinggi.

Namun jika bicara mengenai kemustahilan, masih ada yang lebih mustahil ketimbang hanya mengalahkan Tamon Rah. Hal mustahil itu adalah kemungkinan bagi sang pangeran untuk menyerah. Biar sesulit apa pun rintangan yang menghadang, ia sudah janji akan kembali pada Eri.

"Wahai sahabatku," ujarnya. "Apa istirahatnya sudah cukup?"

Mang Ujang tersentak hingga kesadarannya kembali. Ia menoleh pada Zhaahir lalu mengangguk. Kemudian ia menatap Apis yang sayangnya masih meringkuk seperti anak ayam.

"Kita tak bisa melanjutkan jika seperti ini."

Mang Ujang mengangguk, lalu mendekati Apis. Ia berjongkok di depannya, berbisik lembut sembari menepuk lengannya. "Pis, kau baik-baik saja?"

Wadana itu tidak menjawab. Ia tetap meringkuk, mengurung diri dari dunia luar.

"Pis, kita harus melanjutkan misi ini," lanjut Mang Ujang hati-hati.

"Tidak mau... seram..." akhirnya terdengar balasan dari Apis. "Tamon Rah menyeramkan..."

"Ayolah, apa kau mau terjebak di sini selamanya?" bujuk Mang Ujang makin tidak sabaran. Tanpa sadar ia mencoba menarik lengan sang Wadana.

"Tidak!" Apis menepis sang petani ikemen hingga jatuh terjengkang ke belakang. Nampaklah wajahnya yang sudah berlinangan air mata. "Kau lakukan saja sendiri! Jangan paksa aku!"

Mang Ujang terkesiap. Untuk beberapa saat ia membiarkan dirinya terduduk di tanah. Tapi kemudian ia bangkit, lalu membingkai pipi Apis dengan kedua tangannya. Ia menarik kepalanya lalu menghantam dahi sang Wadana dengan dahinya sendiri. "Dengarkan aku!"

Zhaahir bisa mendengar suara tulang tengkorak bertemu tulang tengkorak yang amat keras. Ia sampai bisa ikut merasa ngilu lalu mengelus bagian dahi dari permukaan topengnya.

"Dengar," ulang Mang Ujang pada Apis yang kesadarannya hampir menghilang untuk sesaat. Ia membuat kontak mata yang tak putus. Kedua telapak tangannya masih berada di pipi sang Wadana. Lalu ia berucap perlahan. "Aku, kami, membutuhkanmu."

Serta merta kedua mata Apis terbelalak. Ia tak tahu kenapa, tapi dadanya yang berdebar keras mulai menghangat.

"Kami tak bisa melakukan ini berdua saja," lanjut Mang Ujang. "Kita mulai bertiga, berarti kita harus mengakhirinya bertiga juga. Sebagai tim."

"Tapi aku takut."

"Aku juga takut," kata Mang Ujang disertai senyuman kecut. "Tapi setidaknya kita tidak takut sendirian. Bersama, pasti ada jalan keluar dari peperangan ini."

Bagaikan tersihir oleh pesona sang petani ikemen, Apis pun mengangguk, lalu menyeka air matanya sendiri.

"Maaf," katanya sambil tertawa ringan. "Aku menyedihkan ya?" Sebuah senyum terkembang di bibirnya. Senyum yang membuat sang petani ikemen terbeliak.

"Indah sekali," gumam Mang Ujang. "Akhirnya aku melihat senyum ini. Senyum tanpa kepalsuan."

"A-apa maksudmu," ucap Apis salah tingkah seraya meninju ringan lengan pemuda itu.

"Eh-Em!" Tiba-tiba Zhaahir berdeham untuk menarik perhatian. "Apa semua sudah beres?"

Mang Ujang dan Apis dengan canggung mengiyakan.

"Kalau begitu ayo kita bicarakan strategi," ucap Zhaahir. "Selama menunggu tadi, aku berhasil memikirkan sesuatu."

***

Zhaahir, Mang Ujang, dan Apis berjongkok mengitari sepetak tanah yang digambari denah area gurun. Tampak posisi prajurit Alforea, bangsa Tanubis, juga menara kristal yang terpancang di kedua sisi puing-puing kastil.

"Tugas kita adalah menghancurkan dua menara ini," kata Zhaahir. "Kita lakukan sesuai rencana awal, yaitu mengendap-endap dari belakang kastil."

"Tapi ada banyak Tanubis yang berjaga di sekitar menara," ucap Mang Ujang. Ia menunjuk-nunjuk denah di tanah. "Belum lagi si Tamon Rah itu."

"Kalau soal Tamon Rah, sesungguhnya aku baru menyadari hal ini, wahai sahabat," jelas Zhaahir. "Kenapa kuda itu mengejar kita sebelumnya, dan kini mendiamkan kita terus di sini? Kurasa itu ada hubungannya dengan Fantasma Mulia yang kugunakan ataupun ilmu-ilmu yang kalian keluarkan. Jika aku tak salah ingat, kuda ilahiah pertama menyerang setekah aku mengaktifkan Kavaleri Pejuang."

"Dia bisa mendeteksi penggunaan ilmu ajian?"

"Sejauh ini itulah perkiraanku."

"Anu," panggil Apis seraya mengangkat tangan untuk bergabung dalam perbincangan. "Berarti kita hanya perlu mendekati menara diam-diam kan? Masalahnya, bagaimana cara menghancurkan dua menara kristal di saat bersamaan?"

Mang Ujang langsung menjentikkan jari seolah ia juga sedang memikirkan hal yang sama, lalu kembali berpaling pada sang pangeran.

"Aku juga sempat memikirkan itu," kata Zhaahir. "Tapi apa kita memang benar-benar harus menghancurkan kedua menara secara bersamaan? Kenapa begitu? Kenapa bila dihancurkan satu saja ia masih bisa memperbaiki diri? Apa hukum dunia yang mendasarinya? Persyaratan ini aneh, tidak masuk akal, terdengar seperti sesuatu yang hanya ada di cerita fiksi!"

Mang Ujang dan Apis hanya mengendikkan bahu.

"Kecuali jika kita memikirkannya seperti ini," lanjut Zhaahir sambil menggambar sesuatu di tanah. "Anggaplah ada dua kerajaan yang tinggal bersebelahan  – A dan B – yang memiliki sumber daya masing-masing. Jika suatu hari bangsa bar-bar menghancurkan kerajaan A, maka kerajaan B masih bisa menggunakan sumber dayanya untuk membangun kembali kerajaan B. Setelah itu jika setahun kemudian bangsa bar-bar menghancurkan kerajaan B, maka kerajaan A yang sudah diperbaiki bisa menggunakan sumber dayanya untuk membangun kembali kerajaan B. Kecuali bangsa bar-bar menghancurkan dua kerajaan secara bersamaan, mereka bisa terus saling memperbaiki diri."

"Apabila kita terapkan prinsip itu pada dua menara kristal, mungkin sesungguhnya menara yang satu dan yang lainnya bekerja dengan saling memperbaiki. Sementara yang namanya memperbaiki pasti butuh waktu, sama hal nya ketika kerajaan B membangun ulang kerajaan A. Karena jika tidak, itu tidak sesuai dengan hukum alam. Yang ingin kukatakan adalah, meski tak dihancurkan bersamaan, dua menara kristal tetap bisa dihancurkan asalkan menara kedua diserang dalam jeda yang tidak lama setelah rubuhnya menara pertama!"

"Aku tidak yakin aku paham dengan penjelasanmu, tapi aku ikut saja denganmu," kata Mang Ujang terpukau, seakan baru saja mendapat siraman rohani. "Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Berdasarkan penjelasan panjang lebar yang kuberikan, aku memikirkan sebuah strategi untuk menembus barikade pertahanan lawan. Semoga bisa berhasil. Amin," kata Zhaahir sambil memperbaiki posisi topeng. "Begini ceritanya..."

~~~

Bab 4 – Penyerangan Dan Penghabisan

Ketiga petarung kini berada di padang bagian belakang puing-puing kastil. Di sisi berlainan, perang masih berkecamuk. Ternyata kekuatan antara kedua belah pihak sama besarnya hingga sulit menentukan pemenang.

"Ingat, setelah strategi dijalankan, tidak ada kata mundur atau semua menjadi sia-sia," kata Zhaahir yang berdiri paling kanan. "Kalian siap?"

"Ya!" jawab Mang Ujang dan Apis hampir berbarengan.

"Kalau begitu kita mulai tahap pertama!"

Apis pun memulai sebuah tarian kaum Wadana yang penuh hentakan tapi juga anggun. Tubuhnya berputar, hingga surai-surai rambutnya yang terbawa angin seperti ikut menari. Lalu cahaya putih berpendar dari tubuhnya, menyirami Zhaahir dan Mang Ujang yang berada di sisi kanan dan kirinya.

Itulah Remo, tarian yang mampu meningkatkan serangan, akurasi, dan juga pertahanan dari seluruh anggota tim.

Sesuai perkiraan, Tamon Rah bisa mendeteksi begitu ada ilmu yang digunakan oleh petarung. Kuda ilahiah itu pun meringkik lalu berlari membelah udara.

"Strategi tahap kedua!!!"

Zhaahir dan Mang Ujang berlari maju di saat bersamaan, tapi bukan ke arah Tamon Rah. Mereka lari menyebar, masing-masing ke arah kanan dan kiri puing-puing kastil. Lalu sang petani ikemen mengangkat sebuah golok ke udara.

"Aura Golok!" Muncullah aura hitam yang memancar dari senjatanya itu.

Lagi-lagi sesuai perkiraan, Tamon Rah akan mengejar siapa pun yang menggunakan ilmunya. Maka makhluk itu melakukan belokan tajam ke arah Mang Ujang.

Begitu Apis tak lagi dikejar, barulah ia berlari lurus secepat kilat ke arah puing-puing kastil. Keris giring-giring sudah siap tergenggam di tangannya. Karena kuda ilahiah sudah tak memperhatikannya, maka yang perlu ia hadapi hanyalah Tanubis-Tanubis yang menjaga menara.

"Kavaleri Pejuang!!!"

Di sisi lain, Zhaahir mengaktifkan Fantasma Mulia yang membuat tubuhnya terselimuti cahaya. Ketika sosoknya melompat keluar dari cahaya itu, ia tampak menunggangi Qorrum, kudanya yang setia. Tangan kirinya memegang busur, dan tangan kanannya mulai menembakkan anak-anak panah ke arah para Tanubis yang berjaga di sekitar menara kristal.

"Kemarilah!" Ia berseru untuk memprovokasi. "Kejar aku!"

Memang tembakannya lebih banyak yang meleset daripada yang kena, tapi itu sudah cukup. Para Tanubis yang marah segera mengejarnya, begitu juga Tamon Rah yang baru saja mendeteksi pengaktifan Fantasma Mulia. Celakanya, kedua sayap sang kuda ilahiah terentang lebar untuk menembakkan bola-bola api.

"Ya Tuhan," desis Zhaahir kemudian menarik tali kekang tunggangannya. "Qorrum, berpaculah secepat bintang jatuh!"

Mang Ujang yang melihat rekannya menjadi mangsa makhluk-makhluk buas tak bisa tinggal diam. Ia lekas menggunakan kedipan mata saktinya pada manusia bertapal besi yang kebetulan lewat. Hanya sebuah ilmu sepele, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian Tamon Rah dari Zhaahir.

"Aieee!" teriaknya kala menendang kepala manusia bertapal besi yang masih terpesona padanya sampai pingsan. Kemudian ia menatap ke wilayah kastil yang sudah hampir kosong. "Apis, ini kesempatanmu!"

Ya, tentu Apis tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kakinya yang amat ringan telah membawanya masuk ke kompleks puing-puing kastil. Hampir tidak ada yang berjaga kecuali dua sosok Tanubis yang berpedan dan bertombak.

Saat menyadari kehadiran Apis, Tanubis pertama langsung mengayunkan pedang perunggunya dari atas ke bawah. Namun Wadana itu dapat menangkisnya dengan mudah disertai gerakan berputar, yang dilanjutkan dengan tebasan dalam pada perut sang Tanubis. Efek Remo yang sedang ia aktifkan memang tidak main-main.

Tapi masih ada Tanubis kedua yang menusukkan tombak. Apis yang baru saja menghadapi lawan tidak sempat menghindar dengan baik sehingga lengannya terores cukup tajam. Hanya saja ia tak bisa berhenti sekarang. Tanpa mengindahkan rasa sakit, ia bergerak maju lalu membalas sang Tanubis dengan satu sayatan di leher.

Sementara berkepala kuda itu roboh dengan darah yang memancar seperti air mancur, Apis segera berlari menuju menara kristal di sebelah kiri. Menaranya kecil, hanya sedikit lebih besar dari tiang bendera, tapi dari pucuk atasnya melesat sinar-sinar sihir yang menembak seperti peluru. Untungnya ketepatan juga pertahanan sang Wadana sudah ditingkatkan. Ia bergerak lihai untuk menghindar, lalu melancarkan sebuah tebasan mantap.

Awalnya tebasan itu hanya menghasilkan luka sayat, sebelum lama-lama terdengar bunyi retakan dari dalam. Ketika suara retakannya melebar, menara kristal itu pun pecah menjadi potongan berkeping-keping.

"Berhas – " baru saja Apis berniat merayakan keberhasilan, ketika ia menyadari bahwa kini perhatian seluruh Tanubis yang ada di sekitar terpaku padanya.

Jelas saja, makhluk-makhluk itu tak akan membiarkan diri mereka tersegel. Ratusan Tanubis dan manusia bertapal besi segera berlarian mengelilinginya, seperi binatang lapar yang hendak memperebutkan sepotong daging. Sang Wadana terkepung, sementara itu pecahan menara kristal yang barusan dihancurkan mulai memperbaiki dirinya sendiri.

Tapi tentu semua belum berakhir, karena Zhaahir masih menyimpan satu trik lagi di balik kerahnya. Ia memacu Qorrum yang sudah berdarah-darah melintasi medan pertempuran. Tak jauh dari kedua menara, ia meletakkan telapak tangan pada topengnya.

"Wahai makhluk-makhluk biadab yang terjebak di antara dua alam, lihatlah ini!"

Sang pangeran membuka topengnya. Tiba-tiba cahaya menyilaukan terpancar dari wajah yang telah diberkati oleh para malaikat di surga langit ketujuh. Suatu ketampanan ilahiah yang akan menyihir wanita dalam cinta, pria dalam api cemburu, dan makhluk setengah manusia dalam nafsu untuk memburu.

Para Tanubis dan manusia bertapal besi yang melihat ke arah cahaya tersebut kini berhenti bergerak. Mereka memicingkan mata, seolah mengagumi keindahan yang belum pernah mereka lihat bahkan dalam mimpi terliar sekali pun. Sebelum pada detik berikutnya mereka ganti berlarian mengejar Zhaahir. Tamon Rah pun bereaksi pada Fantasma Mulia yang baru ia saja digunakan.

"Habislah aku," ucap sang pangeran. "Tapi tidak, kalianlah yang akan habis!" Ia memutar-mutar tombaknya dengan satu tangan, lalu melaju untuk perhelatan terakhir.

Sementara di tempat Apis, sudah tidak ada Tanubis yang menghalangi. Ia juga sudah mendapat pesan sebelumnya agar tidak ikut melihat wajah Zhaahir sehingga tak terpengaruh. Maka yang perlu ia lakukan hanya satu hal : menghancurkan menara kedua sebelum menara pertama tersusun ulang.

Ia pun berlari dengan Langkah Angin, berteriak, lalu menikamkan keris giring-giring dengan sekuat tenaga ke menara kristal.

Begitu bilah keris berkeluk lima itu membenam dalam tiang, menara itu pun hancur berkeping-keping. Menara pertama yang hampir selesai memperbaiki diri juga kembali hancur karena pasangannya sudah tidak ada lagi.

Lalu secara serentak, Tamon Rah dan para Tanubis meringkik pilu, sebelum tubuh mereka terseret tarikan dahsyat dari bulan Alkima. Mereka mengambang di udara seperti anai-anai lalu menghilang. Sementara manusia-manusia bertapal besi yang tak lagi terikat oleh perbudakan kini bisa menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.

"Tanubis-Tanubis itu sudah hancur!" seru salah seorang prajurit. "Hidup Alforeaaa!"
"All for real!!!"

Terdengar seruan-seruan berkumandang di medan pertempuran. Peperangan yang memakan banyak korban ini akhirnya berhasil dimenangkan.

Zhaahir pun ikut berseru dari atas kudanya yang meringkik dahsyat. Ia melambaikan tangan pada Apis, yang balas melambai padanya.

Tapi tiba-tiba keseimbangan sang Wadana goyah. Lelah dan shock yang terakumulasi membuat lututnya tak sanggup lagi menopang tubuh. Beruntung sesosok petani ikemen dengan sigap menangkapnya dalam pelukan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Mang Ujang dengan senyum lebar.

"Kau... sudah berapa kali kau menanyakan itu padaku..." Apis bersungut-sungut. Namun akhirnya ia tertawa. Mereka tertawa bersama.

Selesai sudah.

Zhaahir mendematerialisasi Qorrum, lalu berjalan dengan kedua kakinya sendiri. Langkahnya terhuyung-huyung namun mantap. Ia mendekati sosok maid yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Pelan-pelan lingkungan di sekitarnya pun berubah, dari padang gersang menjadi lapangan hijau di depan kastil Alforea. Eri sudah berada di sana menanti dirinya.

Awalnya gadis itu terlihat begitu khawatir, namun kebahagiaan jelas terpancar dari kedua matanya kala menerima sang pangeran pulang dengan utuh seperti sedia kala.

"Hai nona," ucap Zhaahir dari balik topengnya. "Aku kembali sesuai janji."

Akhirnya kedua insan yang sempat terpisah ruang dan waktu itu pun kini bersatu untuk kesekian kalinya.

62 comments:

  1. Kalau di saya sih, cerita ini punya mix yang bagus antara drama, action dan komedi. Sebenarnya pingin ngasih 9, tapi bagian akhir battle dan endingnya kurang nendang. jadi biar saya potong 1 jadi 8 yak.

    OC: Lady Steele

    ReplyDelete
  2. Sialan, kenapa rasanya setiap kalimat yang kamu tulis bisa aja bikin saya pengen ketawa.

    Tapi dibilang full komedi ataupun drama, masih ada kesan nanggung. Walau begitu ini entri beneran menghibur, jadi poin plus buat saya meski endingnya kurang greget.

    Nilai 8

    {OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah yha endingnya... Lama-lama kumenyesali endingnya mz... :'^))

      Heuheuheu da pa dengan si Alan...

      Delete
  3. Menurut saya, porsi drama dan dialog dalam entri ini lebih banyak daripada actionnya.

    Oke, dalam battle mungkin ada kesempatan untuk bermotivasi-ria dan pengembangan karakter. Namun mengingat situasinya yang kritis: Monster yang amat banyak dan nggak habis-habisnya, si kuda gila sebesar gedung, akan lebih berasa kalau ketegangan selalu mengintai setiap saat. No problem, saya anggap mungkin medan perangnya yang mendukung adanya "kesempatan wara-wiri" ini.

    Soal solusi di endingnya, andai saya jadi si biang kerok bertudung hitam yang suka minum Nescafe kalengan yang membuka segel Tamon Rah, menara kristal yang saya pasang pasti nggak bakal terlalu mudah dihancurkan, apalagi dengan 1 jurus saja. (Memangnya boleh dengan jurus tenaga dalam?).

    Hal yang paling saya suka adalah kepribadian Zhaahir yang selalu setia pada waifu-nya (so far), entah sebagai NPC atau summon. Saya jadi ingat tokoh Raja Yerusalem bertopeng emas di film Kingdom of Heaven. Jadi, hal positif inilah yang membuat saya dengan senang hati memberi nilai 8/10.

    "All for Real!" wkwkwkwk
    OC: Raditya "Vajra" Damian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm, ceritanya mereka lewat jalur memutar yang ga ada monsterya si. #plak

      Yha saya juga mikir gitu awalnya tapi setelah dipikir lagi di party ni ga da yang punya kekuatan hantem gede, jadi ya gitu dhe saya buat kristalnya bisa hancur sekali serang, huehuehuehue

      Wah, mas andry rupanya menyadari, sebagian referensi Zhaahir emang ngambil dari King Baldwin raja yerusalem.

      Delete
    2. Yeah, kebetulan saja saya nonton film itu (beberapa kali), jadi agak lebih meresapi karakter si Zhaahir :p

      Delete
  4. Bangkeeee... Apaan itu Tanubi? Hybrida Tamon dan ANUnyaBIS yah?

    Anjir enak bgt dialog dan kalimat2nya... Tapi sayang banget ini di medan peperangan kok pada ngobrol2 panjang kali lebar ampe si Ikemen memberikan moral ke si Apes(eh) dengan cara yang luar binasa hebatnya.

    Kukira Lulungnya muncul beberapa kali... Apaan inimah sekali doang... Ga asik... Ga kaci... Perjanjian dibatalkan...

    Nilai dari saya 9/10
    Karena sajian yang ruar binasa sekali.

    (Bun the Bubble)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaaa ini kan baru awal, jadi kemunculan Loengnya baru foreshadow kakaaa >__<

      Delete

  5. Wahaha.... Udah baca tadi siang tapi baru sempet komen sekarang...

    yang paling aku suka itu pembawaan karakter mang ujang yg gak OOC. Aieeee :D

    Semuanya OC kayanya kebagian porsi yang pas termasuk Apis dan tentu saja Zhaahir sendiri.

    Aku kasih nilai : 9 >.< untuk cerita yg sangat menghibur ini. Naisuu desuh.. (y)

    OC : Petani Ikemen - Mang Ujang 😉

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huhu, makasih uda mampir ya Mang Ujang ^^

      Delete
  6. pembawaanya ceritanya asik drama dicampur komedi, ato mungkin komedi dicampur drama. biarpun kurang di actionnya tapi tetap nyaman dibaca, yah mungkin di ending nya sih yang kurang berasa greget ato hype nya. karena entah kenapa kalo diibaratin dengan grafik, hype ceritanya naik turun di tengah dan datar di akhir.
    kasih nilai 8 dari 10 deh
    OC : Kyril the lost swordsman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huahahaha endingnya memang patut disesalkan.. uwu

      Makasi Kyril

      Delete
  7. Membaca cerita ini seperti menonton film apenjer, ada sisi drama romantisnya, komedi dan juga aksi. Plusnya, semua sisi ini nyaris seimbang dan narasinya asik.

    Minusnya, entah kenapa Zhaahir nggak kelihatan menonjol secara sifat dibanding karakter kyk Mang Ujang dan Apis yg sorotan fokusnya mnurutku lebih dominan. Apalagi ya...mgkn adegannya cenderung lebih lompat2 dan mendadak dibanding karya Candle biasanya.

    Nilai dariku 8.

    Po - Fatanir

    ReplyDelete
  8. hmmm, vaca funya cadel rasanya semfit sekali ruang diksi saya >.<
    alurnya enak, ga ada yang tersendat, meski narasi unik, tapi mudah divaca dan difahami. Saya kira vakal ada romens antara mang jajang sama mbak/mz/mbas? Afis, tafi ternyata tydac xD
    Ada sih drama dalam cerita ini, tafi karena unsur kevuru2an, yang saya fikir wajar karena divatasi jumlah katanya ini serasa kurang feelingnya. disamfing itu ada veverafa tyfo misal menara V memvangun menara V, atau tyfo minor lain.
    Overall cukuf memuaskan dan ringan vagi saya

    Skor: 8

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
  9. Kisah ini laksana munajat yang ditulis saat pujangganya tengah dimabuk ganja, aksara demi aksara yang hamba baca terasa sangat membahana.

    Oh, kisana... namun tatkala ada kata-kata yang tak seyogya, aksara yang khilaf tak terpahat atau sebaliknya, dan wacana yang sukar dicerna-- terutama untuk insan pembaca yang tak terbiasa.

    Akan tetapi seutuhnya, wahai Kisana, dongeng ini amatlah membuai. Maka ikhlaslah hamba berikan 8 sebagai nilainya.

    tl;dr nilai 8. <(")

    ~Effeth Scyceid

    ReplyDelete
    Replies
    1. kisanak, sungguh aku tak bisa langsung memahami tutur ucapmu hanya dalam sekali atau dua kali renungan, tapi kini aku mengerti

      terima kasih kisanak

      Delete
  10. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  11. Kayaknya Zhaahir ini emang kebawa kayak Mliit: penegak kebenaran yang naif. Justru itu jadi ciri khas ente. Ane sebenarnya suka gimana Zhaahir ini berkomunikasi, semacam baca firman atau hadist gitu.
    .
    "Di seberang sana, berdiri makhluk-makhluk yang wujudnya terjebak di antara dua alam. Berkepala kuda, berbadan manusia. Merekalah bangsa Tanubis, yang keberadaannya hanya membawa kehancuran dan penderitaan. Tak henti-hentinya mereka meringkik hingga busa meleleh dari sela-sela gigi yang besar, menyebarkan ancaman bagi siapa pun yang mendengar."
    .
    Deskripsi ini mengingatkan ane pada buku siksa neraka dan kisah 25 nabi.
    .
    Tapi idem dengan beberapa komentator yang bilang nanggung. Emang iya sih. Ente rasanya kurang total. Semacam, "Sunoto bisa lebih dari ini loh!". Semoga lolos prelim dan ditunggu aksi Eri selanjutnya. *kok Eri?*
    .
    Nilai: 8
    OC: Romeo - Juliet

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku masi terpengaruh komiknya Fajar Sahrul. #emang ada hubunganny

      Huhu, iya semoga aku diberi kesempatan untuk memperbaiki diri..

      Makasi Lazu ditunggu Romeo-Julietnya...

      Delete
  12. Aiiwee!

    Haduh eta si Mang Ujang, lalaki geulis ge meuni kasengsem... >.<

    Eh iya ya ane juga baru kepikiran, Alforea -> All For Real
    O.o

    Btw, Terror Tamon Raah bikin nyali para entrant ciut ya...
    Tapi entah kenapa, cara penyampaian terror itu kurang terasa di saya. Entahlah, mungkin karena Mang Ujang sendiri yang terkesan angin-anginan dalam menghadapi situasi, sehingga scene yang seharusnya rada thiller, berubah jadi adventure ngakak lari-larian.

    Oh iya... scene Mang Ujang sama Apis itu... (terutama waktu Apis kena PTSD--Post Traumatic Syndrome Disorder)
    Entahlah.. ente cowok kan? Kok malah jadi kayak Fujoshi dih~
    =0=a

    .......

    Rapat darurat dalam Formasi Jongkok dipake lagi
    XD



    Point 8
    :D


    OC : Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yeeey makasi mas ichi mampir ke sini~ XD

      Allforea > All For Real itu awalnya dari aki sih pas di chat 8>_<8

      Huhuhu scene itu memang aku ga terlalu pengen fokusin ke thriller sih, jadi dibawa sante aja. #plak

      Hmm, aku kan mang fujo, mas ichi #plak lagih

      Ngihihi, yang rapat darurat jongkok itu aku ga kepikiran buat formasi yang lain lagi. ~(>.<)~

      Sekali lagi makasi ya uda mampir mas ichi dan sanelia, tunggu kunjunganku dan Zhaahir ke prelim mba sanelia yah~

      Delete
  13. "Tapi kini tapal besi dipakukan di telapak tangan dan kaki, memaksa mereka untuk merangkak seperti binatang jalang." Prosa ungu yang terlalu dipaksakan, atau setidaknya itu kesan yang saya tangkap dari kalimat tersebut.

    Kalau kau butuh penjelasan, itu karena karena pemakaian kata "jalang" yang tak terlalu lazim, disatukan dengan kata "dipakukan". Tapi kalau kau memang gaya menulisnya seperti itu, saya tidak akan protes. Kalau saya sih, saya akan lebih memilih untuk menggunakan kata "patri" atau "berangus" alih-alih "paku".

    Itu hanya salah satu contoh dari cukup banyak di entry ini. Tapi sudahlah, kita lanjut saja. Toh semua penulis sering mengalami kesulitan dalam pemilihan diksi, termasuk saya sendiri (sering).

    Fantasma Mulia... baiklah, ini komedi. Lupakan komentar saya yang sebelumnya.


    Meskipun begitu, komedinya gak kena ke saya. Lalu pas bagian Petani Ikemen kasih wejangan, entah saya senyum atau meringis bacanya... somewhere in between maybe...

    Selain itu, entry ini cukup ringan dan mudah diikuti, yeah, begitu juga dengan endingnya yang ringan.

    Nilai 8


    (OC: Caitlin ALsace)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmm, i see, criticts taken, thx for the visit.

      Delete
  14. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  15. Awal lebaeee, pertengahan dan akhir asik. Sense lebaeee-nya kerasa padam di akhir :^)

    nyaris tak ada komplain dengan tanda baca dan bahasa, tapi masi mengganjal perasaan yang datar itu.

    8/10

    - Adrienne Marsh, atas permintaan Ronnie Staccato

    ReplyDelete
  16. Kisah cinta yang mulia. Hamba tidak mampu berkata-kata karena kesucian cinta sang pangeran pada dewinya luar biasa.

    Kebathilan dalam hati saya hilang sedikit melihat murninya cinta Zhaahir dalam hikayat ini.

    8/10

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zhaahir Al-Farabi (Woi, Zarid woi)

    ReplyDelete
    Replies
    1. sungguh kehormatan lapak ini mendapat kunjungan dari sang pria besar, nantikanlah kunjunganku kembali.

      Delete
  17. "Gimana, Fell?"
    "Menurutmu sendiri, Umi?"
    "Ah, bilang aja kamu suka kan sama si Ikemen?" Umi menatap Felly dengan tatapan menggoda, lengannya sesekali menyikut pinggang Felly.
    "Bu-Bukan.. A-aku.. kak Zhaahir.. itu.." dan kini di depan Umi, Felly menyentuh-nyentuhkan secara perlahan kedua telunjuknya. Dengan bibir yang dimonyong-monnyongkan secara tak wajar.
    "K..kau!? Jangan bilang kau suka pada Zhaahir!?" Tak kuasa Umi meneriakkan kekagetannya.
    Dengan panik, Felly langsung menggeplak kepala authornya sambil berteriak, "UMI BODOH!"

    ***

    Holaaaa, sakit juga yah digeplak oc sendiri xD Lagian dia suka sama... ehmm.. sepertinya mending ga usah disebut, kok Umi merasakan hawa aneh kalau menyebut kalimat itu.

    Oke, hai Mba Candle XD Rasanya sudah lama sekali tidak membaca tulisanmu xD terakhir kali tulisan yang "Cinta Yang Tak Berkiblat", itu apa kabar? #dilempar

    Bagian pembentukan timnya kocak, ujug-ujug Apis sama Ikemen dateng langsung ditunjuk xD Kocak XD

    Jadi, Umi geli dengan kemesraan si Ikemen sama Apis yang agak... BORmance di cerita ini. Yah.. Walaupun Apis Trap sih :/ wkwkwk Favorit banget itu adegan jedukin kepala, sama lari-lari xD

    Teori menara-satu-hancur-lalu-terbentuk-kembali itu keren, Umi kok ga kepikiran yah :/ dan... Umi ga nangkep, Apis ngancurin menaranya sendirian?
    ***
    "Ti-tip salam buat kak Zhaahir ya Mba Candle "

    Maria Fellas lalu kaur kembali ke dalam kamarnya sambil sebelumnya menggetok kembali kepala sang Author dengan palu.

    "WOI kenapa gue di getok lagi!!!"
    ***

    The Fun : 4.0
    Karakterisasi : 3.0
    Alur : 2.0
    Total : 9.0

    ***

    -Maria Fellas-

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa ngancurin menaranya sendirian >.<

      ma'aciw ya kunjungannya mba umi dam mba fella...

      yang cinta tak berkiblat... kiblatnya sudah pindah entah ke mana >.<

      Delete
  18. di sini komedi lebih mendominasi ya? Setiap kalimat bikin saya ngakak, tapi bukan berarti porsi drama dan aksinya kurang. Semuanya pas seperti masakan ibu saya tapi nggak berasa maksa dalam memadukannya <3

    Cuma endingnya itu lho...!

    Nilai : 8
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
    Replies
    1. masakan ibunya mba ilyasviel pasti niqmad sekali :^)

      Delete
  19. endingnya kurang greget nih mas sun, jadi agak kecele stelah sekian lama ngakak baca isinya, meskipun awal-awalnya lebay.xD
    greget di tengah pertarungan bisa ceramah sampe ngaduin kepala tuh mang ujang. heleh2, hihi

    nilai:8

    jangan lupa mampir ke my enteri
    KHANZA

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhi makasi mas ady, ditunggu ya kunjungan dari zhaahir~

      Delete
  20. Ending ke epilognya singkat banget. Pas sih sama ceritanya yang ringan, tapi di sisi lain jadi terkesan kurang 'WAH'.

    Aku suka narasinya yang ngajak becanda secara sopan. Ini yang bikin ngehook baca dari di awal sampe sekitar pertengahan menuju akhir. Sayang pas di akhir jadi rada flat aja. Untung bahasa dan narasinya mulus abes.

    Sama satu lagi, Zhaahir kurang mencolok.

    Pengen ngasih 8-9 tapi aku kecewa sama endingnya yang datar dan rada antiklimaks. Jadi..

    Nilaiku : 7
    OCku : Alshain Kairos

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngajak becanda secara sopan :3 Aku tersanjung :3 Aku kena blunder nih tadinya emang pengen nyoba ratain peran tiap anggota party.

      Hihi, thx mas fu~

      Delete
  21. Ceritanya menghibur dan ringan xD
    tipe cerita yang ingin saya baca kalau lagi penat ww
    Perkenalannya asik, penokohannya juga guyon begitu
    dan, penting banget itu adjective ikemen =)) =))

    Fyi, sebenarnya keris dan giring-giring aka loncengnya Apis itu 2 item berbeda, kerisnya diselip di ikat pinggang sementara loncengnya di kaki
    [oot, sebenarnya efek stun nya 12 detik (ada alasannya) tapi karena saya typo dan nggak cek ulang, terpaksa kita jadi korban typo deh hahahaha orz]

    bonus poin sudah bikin Apis jadi moe >_<)b

    nilai: 9
    OC: Apis

    ReplyDelete
    Replies
    1. astaga aku salah paham, kirain giring-giring itu nama jurus XD watt stun 12 detik??? astaganagaaa XDD

      makasi da mampir mba kuso~

      Delete
  22. Apadinyana yang kakanda cerna untuk melukiskan keindahan di setiap hamparan monitor ini. Hamba, sunggunh tersanjung melihat keserasian yang terukir di halaman ini. Sungguh, hayati ini sempat kehilangan kata-kata setelah membaca tulisan ini..

    Sayangnya, ketampanan ilahiah Zhahiir kurang begitu ditampilkan. Akankah poin ini mengurangi kebaikan hati saya? Seandainya..

    Untukmu, seseorang yang sedang dimabuk rumpun ganja.. 420/10

    ...alas, 9/10

    -Mamanya Tata

    ReplyDelete
    Replies
    1. astaga, biarlah ketampanan ilahiah itu dieksploitasi pada ronde-ronde selanjutnya apabila sang pangeran memang bisa lolos ke babak selanjutnya, terima kasih atas kunjungannya yang amat berkesan ini adinda.

      Delete
  23. Aiieeeeh, kagak boleh itu cowok ama cowok mesra-mesraan! Kena kutuk kayak kaum Nabi Luth baru tau rasa deh! #tapi ikutan blushing >///<

    Ini lucu juga ada pangeran amburadul, ketemu petani yang terlampau ganteng #kyaah, juga penari banci~

    Ada pasukan Alforea di sana, tetapi kok aku ngerasanya mereka cuman muncul di awal dan teriak hore di akhir, ya? Di tengah-tengah, apaan kerjanya mereka? Malah penari banci yang ngancurin dua menara sendirian #payah kalian para cowok

    PONTEN 7++ karena gelutnya kurang seru nggak kayak sinetron Mahabrata, dan juga karena ngajarin homo-homoan. Nggak baik itu buat anak-anak, Mbakmas~

    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
  24. Wuhuu makasi uda mampir bu~ Jadi memang mereka lewat jalan memutar supaya ga usah ikut terlibat dalam tawuran antara prajurit alforea dan tanubis, soalnya ikut tawuran itu ngga baik bu. :> Duh ternyata ibu nonton mahabarata. Yaoi is cute bu, tapi penari itu bukan banci. >///<

    ReplyDelete
  25. aku kasian ama mang ujang yang jadi kek zorro di one piece *hiks-hiks

    tapi, menurutku mix antara komedi dengan dramanya udah menyentuh tapi sayang aksinya kurang ._. yah, mengesampingkan itu sejenak, cerita ini dan beberapa cerita lainnya bikin perasaan saya berimajinasi >_<

    overall : 8/10 (kesempurnaan hanyalah milik-Nya)

    -Dhaniy Islaviore/Masqurade

    ReplyDelete
    Replies
    1. Keren dong mang ujang kalo mirip zoro... badass :3

      Delete
    2. Jadi mikir, seandainya Zhaahir, Mang Ujang, Vajra dan Tan Ying Go satu tim dan serempak menggunakan kharisma mereka, bahkan Tamon Rahpun bisa jadi waras dan sejinak kuda poni :p wkwkwkwkw :p

      Delete
    3. Kayak zorro maksudnya pas bagian manya mas dhaniy?

      Hehe, tamon jadi kuda phoni jadi pink dan mengeluarkan pelangi dunk...

      Delete
  26. *baca*
    *ngakak tiap baca kalimatnya*
    *baca ending*
    *shock*

    HAH? UDAHAN? Maaf kak sun, datar endingnya.
    Saya ga suka yang data-datar. Saya maunya yang berisi

    Btw...
    Ini komedi kah kak sun? Kok ngalir gini. Kak sun mau ngalahin Alma bikin komedi? :'))

    Avis jadi Apis
    kue Lapis #bukan

    Zhaahir lucu juga mau diunyel xD

    Titip 8 ya kak sun...


    Kazuki Tsukishiro

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukankah glat is justice, kak dee? #eh #plak

      Soal komedinya mungkin masi bisa diperdebatkan, soalnya aku dari awal emang ga terlalu niat bikin komedi tapi ada yang bilang lucu ada juga yang bilang ga menemukan komedi. >///<

      Tapi itu memang Apis kaka namanya :3

      Pliss jangan unyel, makasih kak~

      Delete
  27. Waduh, satu lagi adegan kesuksesan trap setelah saya baca entri Maida York ;] Dan seperti di sana, pembentukan party-nya ngedadak. Malah, di sini mah ga sengaja, hahaha.

    Si mang ujang ternyata hobi swear word juga unyang anying, hahaha. Rada nggak nyangka. Dia juga kalau panik bilang "Aieeee!" ninja slayer XD

    Ada dua yang paling bikin ngakak. Kalimat "Maha besar Tamon Rah. Sayang kebesaran itu tak digunakan untuk suatu manfaat namun hanya membawa luka dan derita," walaupun kurang jelas itu siapa yang komentar, mungkin Apis atau Zhaahir. Yang kedua, drama Mang Ujang dan Apis, waktu Apis minder sampe bilang derita dan luka, hahaha. Bagusnya, ini bisa terhubung ke penyusunan strategi yang bisa ngejelasin hal2 teknis ke pembaca oleh pengamatan Zhaahir.

    Kripik lainnya paling penulisan wadana dan tanubis aja yang udah jadi nama jenis dan bukan proper noun, baiknya diawali huruf kecil.

    Gaya bahasa sudah menghanyutkan sejak cerita asli Zhaahir yang Tablet2 itu, dan tetap terlihat dipertahankan di entri ini baik di pembukaan maupun battle. Kalimat terakhir sebagai penutupnya saya suka.


    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ninja slayer lagi populer baget gan, banyak yang make referensi ini. >///< Hehehe kalau yang itu yang bilang Zhaahir...

      Wah iya, aku juga sempet ragu nulis nama ras itu dikapital apa ngga, jadi memang ga usah dikapital yah.

      Hihi, makasi gan dah mampir.

      Delete
  28. Ugh, setelah kemarin Claude-Claudia, sekarang ada Zhaahir-Eri, lovey dovey yang membuat iri pembaca, sialan X((
    Tapi mungkin gak bisa ngalahin percikan yang terjadi antara Mang Ujang dan Apis, hehe

    Seperti biasa, diksi Kang Sun itu kaya dan cenderung nakal; kuda ilahiah, maha besar, bikin ceritanya unik & enak dibaca. Intinya, gak ada keluhan soal tata bahasa ato gaya narasi. Saya jadi belajar banyak.

    Plotnya sendiri cukup realistis, di mana trio peserta harus mati-matian melarikan diri terlebih dahulu, terus sempet patah semangat, sebelum kemudian bangkit kembali.

    Nilai 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah lupa..

      dLanjung (Asep Codet)

      Delete
    2. Ah lupa..

      dLanjung (Asep Codet)

      Delete
    3. Iya Mang Ujang ma Apis parah ni malah mencuri spot lovey dovey >///<

      Waaa dapat 10 makasi kang mad dog #eh #kang dendi

      Delete
  29. Ugh, setelah kemarin Claude-Claudia, sekarang ada Zhaahir-Eri, lovey dovey yang membuat iri pembaca, sialan X((
    Tapi mungkin gak bisa ngalahin percikan yang terjadi antara Mang Ujang dan Apis, hehe

    Seperti biasa, diksi Kang Sun itu kaya dan cenderung nakal; kuda ilahiah, maha besar, bikin ceritanya unik & enak dibaca. Intinya, gak ada keluhan soal tata bahasa ato gaya narasi. Saya jadi belajar banyak.

    Plotnya sendiri cukup realistis, di mana trio peserta harus mati-matian melarikan diri terlebih dahulu, terus sempet patah semangat, sebelum kemudian bangkit kembali.

    Nilai 10

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ukh, dapat nilainya sampai dua kali >///<

      Delete
  30. ini lucu mz. tapi saya enggak sampai ketawa, cuma senyum-senyum sendiri aja pas kuliah.
    cuma pas ending ya itu, sama yang kaya disebutin komen lain. feelnya cuma "Lah? udah?"
    kurang nendang mz. tapi saya suka interaksi antar karakternya. ya itu, lucu.

    langsung aja deh mz, saya gasuka foreplay :> #eh

    FINAL VERDICT!
    ===
    Am i enjoy it? (5/5)

    Is this excite me? (4/5)

    Am i skim some part? (-1/-3)

    Extra point (1/1)

    total score: 9/10

    salam~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ingat mas, flat is justice, dan juga, ga enak kan klo pas lagi klimaks hot-hotnya tau-tau ditendang. #plak Tapi sesungguhnya aku juga menyesali ke-flat-an ini T_T

      Ukh, makasih kunjungannya ya mas yukino

      Delete