29.4.15

[PRELIMINARY] AHRAN - PETAPA YANG TIDAK BERTAPA

Chapter 0
Ahran – Petapa yang Tidak Bertapa
Penulis: N. Alfian

Giza, Bulan Ketiga tanggal 12, 1576

Aku, Ahran bin Yakub Kethuda, putra Neslihan bint Sultana. Tekadku yang besar dan bergelora, itulah yang selalu membawaku pada puncak kejayaan.

Kalian sudah terbiasa dengan kasih sayang orang tua yang lengkap, dan teman-teman yang banyak sekaligus akan membantu di kala kalian amat memerlukan. Tapi aku? Sejak lahir, kesialan telah menimpaku. Orang tua kandungku tidak menginginkanku. Dan sekali keberuntungan datang kepadaku, aku justru dibesarkan dalam lingkungan yang keras. Aku juga, tidak pernah benar-benar memiliki teman.

Aku paham kalian takkan percaya melihat penampilanku. Ya, aku tidak menyalahkan kalian atas hal itu. Tapi sesungguhnya, di luar yang terlihat, bahaya sudah mencengkeramku sejak kecil.


Aku seolah dibesarkan di kandang singa. Kamarku adalah dinding bata berjeruji. Pedang telah menjadi lenganku yang ketiga saat aku baru menginjak usia lima tahun. Anjing-anjing buas penghuni gua padang pasir, pasukan mayat hidup korban Kejatuhan Konstantinopel, dan kaum pengisap darah dari Rumania—mereka adalah keseharianku. Latihanku sebelum menghadapi musuh sesungguhnya, yaitu bangsa iblis. Benar, setiap malam aku membasmi iblis bersama pemburu iblis lain. Dan tidak diperkenankan kembali ke rumah sebelum makhluk-makhluk itu enyah dari tanah Edirne.

Apa? Kalian menyalahkan orang tuaku? Justru, mereka adalah sosok paling berjasa di dunia ini. Mereka mungkin menempaku dengan sedemikian rupa, tapi itu demi membuatku menjadi kuat menghadapi dunia yang kejam. Dan itu lebih baik daripada orang-orang yang hanya bisa mengucapkan simpati tanpa bertindak sedikit saja!

Sekarang, anggaplah penderitaanku sudah berakhir. Masa-masa pembasmian iblis telah usai.

Saat usiaku lima belas tahun, aku mendapat kesempatan bersekolah di Istanbul karena membantu seorang saudagar. Di sana, aku mulai mengenal alkimia, filsafat, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta bahasa orang-orang Barat. Karena kecerdasanku, aku kemudian ditawarkan bekerja di Pusat Penelitian Sihir pada usia dua puluh tiga tahun.

Mulanya, orang-orang di tempat itu menyukaiku. Mereka mengagumi usaha untuk mengubah nasib yang telah kulakukan. Tapi, semua berubah tatkala putra pejabat itu datang.

Siapa pun yang membaca tulisan ini, pasti sudah mengetahuinya. Namanya Rüstem bin Kutbeddin. Usianya enam tahun lebih muda dariku. Dia memasuki dunia penelitian sihir saat umurku nyaris menginjak kepala tiga. Tapi bukan masalah perbedaan usia yang akan kutegaskan.

Rüstem, pemuda itu memang cerdas. Namun juga, diimbangi dengan kelicikan dan sikap konservatif yang berlebihan. Dia menganggap bangsaku tidak layak turut dalam dunia ilmu pengetahuan. Menurutnya, aku lebih baik angkat kaki dan berkumpul saja dengan sesamaku di luar sana. Aku paham betul dari tatapan matanya begitu mengetahui latar belakangku. Lalu dia berdalih memusuhiku karena alasan status sosial. Semua orang di Pusat Penelitian Sihir pun perlahan mengamininya.

Yang kutulis di atas, masih belum apa-apa.

Rüstem tidak pernah berhenti, padahal dia telah mendapatkan apa yang sejak lama didambakannya: kedudukanku, serta para pendukungku. Saat aku terpuruk dan mencoba meraih apa yang seharusnya dengan membuat sebuah inovasi, Rüstem dan kroni-kroninya yang bermuka dua itu langsung bertindak untuk menjatuhkanku kian dalam. Mereka mempermalukanku, dengan mengubah susunan alkimia yang kubuat.

Berkat itu, ha-ha-ha, aku dicap penyembah iblis, pengikut Yang Tercerahkan, dan tuduhan lain yang bisa terbayangkan. Bahkan, ilmuwan Eropa juga ikut menyalahkan dan menghujatku habis-habisan. Alhasil aku diusir dari Istanbul, dibuang layaknya unta berpenyakit.

Ayahku meninggal akibat serangan jantung karena pemecatanku itu, dan ibuku menyusul tiga bulan kemudian. Seluruh hasil penelitianku selama bertahun-tahun pun dihancurkan, kekayaanku disita, dan aku terpaksa hidup di bantaran sungai Nil. Bersama sahabatku, orang terakhir yang mengakui keberadaanku, yang sekarang lenyap!

Banyak dari kalian yang mungkin berpikiran untuk mengakhiri hidup jika mengalami hal yang sama. Tapi, aku tidak. Keyakinan yang membuatku bertahan sampai napas ini. Suatu hari nanti, aku akan melenyapkan Rüstem, beserta keturunan dan orang-orang yang pernah mendukungnya. Aku tidak takut meski harus berurusan dengan ayahnya yang kini menjadi wazir, tak takut pada masyarakat Istanbul, termasuk Sultan Murad sekalipun. Bahkan jika aku harus berhadapan dengan seluruh dunia, aku akan melawannya!

***

Ahran menutup jurnal dengan lesu. Dari kemarin, dia sangat ingin menorehkan tinta di halaman berikutnya, namun selalu mengurungkan niat. Perkataan si pelayan beberapa pekan silam mengawang-awang di pikirannya.

"Ini Turnamen Antar Dimensi. Anda diharuskan bertarung satu sama lain dengan peserta dari berbagai dunia dan dimensi. Hanya ada satu pemenang, dan yang beruntung tersebut akan mendapatkan segala keinginannya."

Seharusnya pesan itu sudah lebih cukup untuk menyemangati Ahran. Sejak kecil, hidupnya selalu berteman dengan bermacam bahaya dan dia menyukainya. Dia bahkan pernah menjadi pemburu iblis, serta mengalahkan salah dua penyihir terhebat di Tanah Arab. Namun sekarang, perkataan si pelayan malah membuatnya semakin ciut saja.

Ini bukan Jazirah Arab, pikirnya. Musuh-musuhku bukan para pria berturban yang membawa pedang melengkung. Bukan pula iblis atau hewan buas penghuni gurun.

Baru sepekan berlalu saat dia berpapasan dengan lebih banyak peserta. Bukan hanya penampilan mereka yang mengintimidasi, kekuatan mereka pun sama.

Pada mulanya, kesombongan Ahran begitu besarnya sampai dia berani berjalan di Alkima Plaza dengan langkah menantang. Barulah di balai khusus latihan, dia menyadari kenyataan betapa kecil dan tidak bergunanya dirinya.

Dia mendapati para pemuda yang pertama-tama dianggapnya ingusan, sanggup menghancurkan gunung batu dengan sekali tinju atau rapalan mantra. Ada pula yang mampu memanggil makhluk raksasa. Dan lebih banyak lagi yang memiliki bakat sihir jauh lebih sakti di atas Ahran.

Bagaimana aku bisa membalas dunia? Ahran meratap dalam hati. Kalau aku saja masih sebegini lemah!

Renungannya putus ketika pintu kamarnya mendadak diketuk dengan keras. Suara wanita yang diduganya pelayan menyertai gangguan malam hari itu.

Ahran merespons, "Masuklah!"

Si pelayan membuka pintu, agak kasar. Dia berjalan tergopoh-gopoh. Setelan pakaian dan rambut pirangnya yang biasa dikuncir dua tampak berantakan.

"Di bumi, ada aturan untuk tidak berkunjung malam-malam," tegur Ahran galak. "Apalagi caranya seperti itu!"

Pelayan itu menundukan kepala. "Saya minta maaf atas kelancangan yang terjadi. Tapi saya punya alasan untuk tindakan ini."

Ahran mengangkat alisnya. "Apa itu?"

"Nyonya Tamon Ruu dan Tuan Hewanurma memanggil semua peserta ke Kastel Despera," lapornya. "Saya tidak ingin membuat mereka marah karena menunggu lama, makanya kita harus ke sana secepatnya."

Ahran memicingkan mata. Benaknya langsung dipenuhi perasaan mual luar biasa.

Tamon Ruu, sosok yang disebut-sebut sebagai penyelenggara Turnamen Antar Dimensi. Wanita jalang berambut putih itu tidak malu menunjukkan ciri kewanitaannya ke hadapan umum. Dan yang lebih membuat Ahran berang bukan main, dia punya kemampuan untuk menyihir orang-orang agar terpesona total pada apa yang disebutnya sebagai kecantikan.

Sialnya, Ahran juga ikut terpengaruh di pertemuan pertama dengan penyelenggara yang keterlaluan itu. Saat dia terbebas dari sihir itu, hidungnya mimisan dan liur memenuhi dagunya. Membuatnya tidak nafsu makan selama berhari-hari karena mengingat peristiwa tersebut.

Pria berjanggut putih bernama Hewanurma juga tidak ada bedanya. Kemisteriusan pria itu sama menyebalkan dengan 'Kutukan Aib' milik si Penyihir Sialan. Apalagi wajahnya mengingatkan Ahran pada seorang alkemis cerewet dari Hungaria.

Yang jelas, baginya dua orang bernama Tamon dan Hewanurma itu bukanlah tokoh yang tepat untuk menjadi penyelenggara Turnamen. Terlebih Tamon Ruu. Wanita itu tidak kompeten, Ahran bisa merasakannya. Dia punya firasat, penyihir wanita itu akan mempertemukan para peserta dengan ujian yang tidak masuk akal.

"Cepatlah, Tuan," desak si pelayan begitu menyadari Ahran melamun. "Nyonya Tamon dan Tuan Hewanurma bisa murka. Ini satu hal mendesak yang wajib Anda ketahui."

"Ya, ya," Ahran memberi isyarat dengan tangan. "Sekarang, tunggu di luar. Aku ingin berganti pakaian."

Ahran lekas-lekas mengganti pakaian tidur dengan baju favoritnya: kemeja dan celana tipis, rompi sederhana, serta sepatu dari bahan kulit. Di cermin, didapatinya juga penampilan berbeda. Rambutnya yang berantakan telah dipangkas sebagian, garis-garis hitam di bawah matanya berkurang berkat sesuatu yang diberikan pelayan. Secara keseluruhan, Ahran seperti kembali ke usia pertengahan dua puluh.

Dia dan pelayan lantas berlari menuruni rumah hibah milik Ahran yang terdiri dari tiga lantai. Si pelayan mohon diri begitu sampai di lantai paling bawah. Tubuhnya berubah menjadi kumpulan angka-angka, yang dalam beberapa detak jantung tercerai-berai. Sudah melihatnya puluhan kali, Ahran tidak kaget lagi.

Sementara di hadapannya kini, para peserta Turnamen berjalan serempak menuju Kastel Despera. Di antara kerumunan itu, Ahran melihat Mima. Dia adalah satu-satunya orang yang mengajak Ahran bergabung dalam tim saat pertama kali tiba di Alkima—jelas karena iba. Malahan dia pernah berkelakar, penampilan Ahran sangat memprihatinkan dan menyebabkan kasihan, tidak pantas berlaku arogan.

 Wanita ceria bertubuh bugar itu tampaknya juga menyadari keberadaan Ahran. Dia mendekat.

"Hei, hei," sapa Mima. "Kenapa diam saja di situ? Mr. Hewanurma dan Mrs. Tamon memanggil kita. Kaupaham kita tidak boleh terlambat, kan?" Dia menyikut lengan Ahran keras-keras.

Ahran memelototi Mima. "Setidaknya, jangan menyikutiku begini."

Mima mengangkat kedua tipisnya. "Maaf."

Mereka pun mengikuti rombongan menuju Kastel Despera. Dari jauh, bangunan raksasa di tengah-tengah kota Despera itu memancarkan cahaya putih yang memberi kesan megah. Arsitekturnya sendiri tidak jauh berbeda dari istana-istana di Eropa, dengan banyak bagian atap berbentuk kerucut serta jendela-jendela besar.

"Sudah dapat anggota baru, Aaron?" Mima memecah keheningan, tanpa berpaling dari menatap bulan. Aaron adalah panggilan dari Mima untuk Ahran, karena orang-orang di dunianya lebih terbiasa menyebutnya begitu.

Ahran melirik. "Harusnya aku yang bertanya," Dia menjawab gusar. "Kau sendiri?"

"Aku mendapatkan satu orang, sepertinya dia sudah lebih dulu sampai di kastel."

Samar-samar, Ahran bernapas lega. "Siapa nama orang itu?"

"Neeshma Fraun," Mima tersenyum tipis. "Julukannya si Pendeta Ombak."

Ahran manggut-manggut. Walaupun dia tidak mengenal orang yang bersangkutan.

Tanpa terasa, rombongan sudah sampai di halaman Kastel Despera. Para peserta Turnamen, yang menurut pelayan berjumlah seratus satu, kelihatannya telah berkumpul semua. Para pelayan juga berbaris rapi di satu sisi. Pelataran yang dikelilingi pepohonan mirip eru itu langsung riuh rendah begitu seseorang muncul di balkon.

Sepenggal dengusan meluncur dari hidung Ahran. Dia sontak menutup telinga dan memalingkan wajahnya. Kali ini, Tamon Ruu sepertinya tidak sedang melancarkan sihir, jadi dia bersyukur tidak perlu mendengarkan.

Yang jelas, wanita itu berbicara panjang lebar dan tidak penting. Ahran baru bersedia pasang telinga ketika partner Tamon Ruu yang lebih serius menampakkan diri. Setidaknya perkataan Hewanurma lebih berbobot bagi Ahran.

Dengan nada tegas dan serius, pria paruh baya itu mulai menjelaskan duduk perkara, "Kalian semua, adalah peserta Turnamen Antar Dimensi yang akan diadakan tidak lama lagi. Turnamen ini disebut Battle of Realms, dan hanya para petarung terbaik yang bisa mengikuti ajang unjuk kekuatan yang bergengsi ini!"

Mendengar pernyataan Hewanurma, pria berambut hitam gondrong menceletuk, "Itu, sih, sudah diberitahu maid!"

Protes senada juga diluncurkan peserta lainnya, termasuk Ahran. Bedanya, dia tidak menyuarakannya. Percuma berteriak, satu orang berpendapat realistis saja sudah lebih dari cukup. Orang-orang ini hanya membuang tenaga mereka.

"Diam dulu!" perintah Hewanurma dengan penekanan menyeramkan. Seantero lapangan sontak hening. "Bicaralah sepuasnya jika memang kuizinkan. Tunggulah pengumuman ini selesai!"

Si pria berjanggut tebal meneruskan, "Dari seratus satu orang yang ada di sini, hanya empat puluh delapan peserta terbaik yang akan terpilih untuk mengikuti turnamen yang sebenarnya. Setiap peserta akan dikirimkan ke sebuah area khusus untuk babak penyisihan," Dia menyeringai puas. "Setiap kelompok terdiri dari dua hingga empat orang. Kalian bebas untuk memilih anggota kelompok. Begitu kalian sudah membentuk kelompok yang sesuai, maka kalian dapat langsung dikirim ke medan pertarungan oleh seorang maid yang akan menjelaskan segala detail tentang misi."

Hewanurma menarik napas dalam-dalam. "Maka dengan ini, kunyatakan babak penyisihan Battle of Realms dimulai!"

Begitu Hewanurma mengakhiri penjelasan, seisi lapangan langsung ricuh bak pasar rempah. Masing-masing orang berlarian dan menggabung dalam tim. Sedangkan yang masih belum beruntung, berjalan terlunta-lunta tak tentu arah.

Ahran bertanya cemas pada Mima, "Mana orang yang bernama Neshma?"

"Neeshma," koreksi Mima. "Aku tidak tahu. Tapi, aku akan mencarinya sekarang juga. Kautunggu saja, Aaron!"

Wanita itu menghilang di antara orang-orang yang berlalu-lalang. Meninggalkan Ahran yang terpaku di tempat.

Setengah berharap datangnya kemujuran, Ahran melangkah santai. Diperhatikannya sekeliling, mencari-cari peserta nahas yang tak kunjung memiliki kelompok. Barangkali, ada seseorang yang cukup kuat dan cerdik, namun sedang dirundung kemalangan. Dan Ahran berharap, orang itu akan sama dengan dirinya, menyukai ilmu pengetahuan dan dunia penelitian. Dalam pikirannya, sudah terbayang diskusi seru soal filsafat.
           
Waktu berlalu lama dan kedua kaki Ahran serasa nyaris putus, namun dia tidak menemukan satu pun calon anggota yang tepat. Rupanya orang-orang malang yang mondar-mandir di sekitarnya memang amat pantas untuk tidak mendapatkan kelompok. Kalau bukan akibat dari kekuatan yang terlalu lemah, kepribadian mereka sangatlah tidak wajar. Ahran beberapa kali hampir babak belur hanya karena menegur sapa.

Ahran memutuskan untuk melipir ke pinggir lapangan. Duduk di bangku panjang yang disediakan sambil menunggu Mima dan si anggota baru. Diperhatikannya lapangan yang mulai sepi. Kira-kira tiga puluhan peserta masih berbincang-bincang atau berkeliaran. Sebab, kelompok yang sudah siap satu per satu terisap ke dalam semacam pusaran dan lenyap tanpa bekas.

Saat itulah, dia menemukan seseorang. Duduk sendirian tidak jauh darinya.

Ahran menyipitkan mata. Dia tidak ingat pernah bertemu wanita itu di Alkima Plaza. Wajahnya begitu teduh. Senyumnya menenangkan dan dia memancarkan keanggunan yang bahkan Tamon Ruu sekalipun tidak memilikinya. Pakaiannya terlampau sopan dan rapi. Kain putih lebar menutupi rambutnya, mengingatkan Ahran pada wanita Mesir.

Siapa pun wanita itu, secara mengejutkan dia telah membuat Ahran sesak napas. Jantungnya berdegup kencang. Dia belum pernah merasakan keadaan yang seperti ini seumur hidupnya. Dan entah bagaimana sebabnya, Ahran telah bergerak mendekati sang penyihir hatinya.

Wanita muda itu menyadari kehadiran Ahran. Dia berdiri dan tersenyum. "Sepertinya Mas kelihatan normal dibanding peserta lain," katanya ramah. "Hmm, apa semua peserta di sini memang benar-benar diwajibkan saling bertengkar, seperti tawuran?"

Suaranya begitu lembut dan santun. Ahran serasa melayang, dapat menggapai Alkima sekarang juga. Bahkan dia tidak peduli dirinya dipanggil dengan sejenis logam mulia.

"Maaf, Mas," Wanita itu mengeraskan suara. "Halo?"

Ahran berjengit. Dia berkedip-kedip, telinganya panas. "I-iya, tentu saja. Barusan Hewanurma menjabarkan soal arena pertarungan. Jadi kemungkinan besar memang ... seperti kerusuhan."

"Oh," Wanita itu tampak sedih. "Saya sendiri tidak pernah berurusan dengan perkelahian. Bagaimana dengan Mas?"

Ditanya begitu, kelebatan ingatan menari dalam benak Ahran. Iblis-iblis yang pernah dihancurkannya, wajah Musa, Rüstem, Davud, dan orang-orang yang pernah adu fisik dengannya, membayang-bayang.

Ahran menggeleng canggung. "Be-belum," dustanya. "Saya juga, p-pria normal."

Lawan bicaranya tersenyum. "Jangan bohong, Mas," tegurnya. "Itu dosa. Meskipun sepele, hukumannya di akhirat nanti akan sangat berat."

"Maafkan saya," sahut Ahran. Tidak ingin membuang kesempatan yang langka, dia bertanya, "Nama Nona siapa? Apa Nona ... sudah mendapat kelompok?"

"Kusumawardani, tapi saya biasa dipanggil Bu Mawar. Saya sendiri seorang guru, jadi dipanggil begitu," Bu Mawar menjelaskan. "Kebetulan, saya belum mendapat kelompok. Kalau Mas?"

Nona Mawar, seorang pembimbing yang lurus dan baik budi pekertinya, Ahran tersenyum. Perpaduan sempurna.

Ahran berdeham gembira. "Pertama-tama, nama saya Ahran. Saya alkemis dan kepala peneliti dari Istanbul," ujarnya dengan bangga.

"Istanbul, ibukota Turki," Bu Mawar terperangah. "Wah, bagus sekali! Apa Mas Ahran ini kenal pemain serial Abad Kejayaan? Kalau saya lihat-lihat Mas mirip sekali pemain Armin, lho. Atau jangan-jangan, memang ada hubungan darah?"

"Saya tidak mengerti," timpal Ahran. "Apa itu serial Abad Kejayaan? Saya lihat Anda tampaknya juga berasal dari masa depan, jadi maaf kalau saya tidak paham beberapa hal."

Tidak ingin membahas apa yang di luar pengetahuannya, Ahran mengalihkan topik, "Oh, ya, Bu Mawar, Anda bilang belum mendapatkan kelompok. Maukah ... Anda bergabung dengan tim saya?"

"Tentu," Bu Mawar mengangguk. "Saya lihat Mas orangnya ramah. Apa Mas sudah berkeluarga?"

Jikalau sedang makan, Ahran pasti tersedak dan terpaksa dilarikan ke balai pengobatan. Tadi itu pertanyaan yang sensitif, dan untuk pertama kali dalam hidupnya dia dicap orang yang ramah. Ahran pun menjawab dengan gemetar, "Saya ... ma-masih lajang."

"Semoga dapat segera dipertemukan dengan jodoh, ya." Bu Mawar menanggapi. Wajahnya yang tertimpa cahaya Alkima tampak semakin memesona saja. "Oh, ya, sebaiknya kita langsung ke tempat yang diceritakan Pak Hewanurma itu. Mana anggota kelompok Mas yang lain?"

Dua orang muncul dari balik pepohonan di lapangan kastel, Mima dan gadis berambut biru pucat. Keduanya tertawa geli.

"Aku menunggu saat yang tepat untuk keluar. Takut menganggu," kata Mima usil. "Ha-ha-ha. Rupanya pria Ottoman paling galak sekalipun bisa jadi ramah kalau—"

Ahran cepat-cepat melesat dan membungkam mulut Mima. "Bicara itu menghabiskan banyak tenaga, apalagi jika tidak penting. Hemat-hematlah dengan energi karena kita akan menghadapi pertempuran!" Lantas dia menjauhi Mima.

Gadis yang pasti bernama Neeshma mendengus. "Jadi kelompok kita ... tiga orang wanita dan satu pria. Aku mengendali air, Mima mengandalkan kekuatan fisik dan kalian, Ahran dengan?" Dia menatap Ahran dan Mawar bergantian.

"Bu Mawar," Sang Pembimbing tersenyum. "Saya tidak pernah terlibat baku hantam. Saya juga bukan pengguna kekuatan jenis apa pun, karena sihir memang dilarang agama."

Mima dan Neeshma saling berpandangan. Lalu mereka menilik Ahran, minta penjelasan.

"Kalau begitu aku yang akan menjaganya," Ahran memutuskan dengan mantap. "Kekuatannya adalah aku, demikian juga dengan pelindungnya."

Ahran agaknya mengharapkan respons yang bagus. Namun Bu Mawar hanya memandanginya dengan bingung. Bibirnya yang tipis terkatup rapat-rapat.

"Memangnya, kau sendiri apa?" tanya Neeshma.

Ahran membalas, "Aku alkemis dan pengendali api."

Gadis itu mendelik. Raut wajahnya berubah murka, tatapannya pada Ahran menjadi pandangan yang menyiratkan kesan jijik.

"Apa-apaan semua ini?" raungnya. "Anggota yang tidak bisa apa-apa dan pengendali api?"

Selagi gadis itu mendidih, Bu Mawar maju dan menyentuh bahunya. Dia berkata dengan tenang, "Dik, tidak baik membeda-bedakan orang lain. Keberhasilan bukanlah ditentukan dari kemampuan individual. Karena yang paling kita perlukan, adalah kerja sama. Kalau kita memiliki aspek itu, apa pun rintangannya, tim yang bagaimana pun akan mampu menanganinya."

Ajaibnya, Neeshma tertunduk. Air matanya menetes. "Tapi, saya punya kenangan buruk dengan api."

Bu Mawar menggenggam tangan Neeshma. "Setidaknya, pengendali api ini tidak menyerangmu dengan kemampuannya. Dia bukan orang yang seperti itu."

Sekali lagi, Ahran seolah-olah melayang ke angkasa. Tapi Mima berdeham kencang dan membuatnya jatuh lagi ke tanah.

"Memang benar," sahut Neeshma kalem. "Tapi, saya tetap tidak bisa bekerja bersamaan dengan pengendali api. Itu akan menghambat saya." Di luar pengawasan Bu Mawar dia mengirimkan tatapan tajam, pada Ahran.

"Strategi bisa dipikirkan nanti," tukas Mima. "Saat ini kita harus lekas-lekas menuju tempat untuk babak penyisihan. Kemudian, melihat dari kepribadian satu-satunya pria di sini, kupikir akan lebih baik kalau aku yang berperan sebagai pemimpin."

"Benar," tambah Ahran dingin. "Aku akan jadi ahli taktik saja."

Mima menoleh. "Kau tidak keberatan, kan?"

Ahran mengangguk. Sejatinya dalam kebudayaannya, mengangguk artinya tidak. Memangnya siapa pria yang terima dipimpin oleh wanita?

Namun berikutnya, dia mengesampingkan harga diri. Dia mengerti tugas mengomando sama sekali bukan pekerjaan mudah, apalagi di medan tempur. Mengingat latar belakang Mima di bidang militer, jelas opsi inilah yang terbaik.

Neeshma angkat bicara. "Apa kita sudah bisa ke arena pertempuran?"

"Belum," sahut Ahran. "Ada banyak hal yang harus kubawa."

Mima juga sama.

***

Pelayan menyebut padang tandus untuk babak penyisihan itu dengan Padang Shohr'n. Yang di telinga Ahran lebih mirip she'ol—neraka. Dan rupanya, nama itu sangatlah cocok untuk menggambarkan segala hal yang terhampar di sana.

Dari piring terbang yang tersusun dari kaca transparan, Ahran dapat menyaksikan keadaan di bawahnya.

Padang Shohr'n benar-benar pantas disebut medan perang, dalam arti yang sesungguhnya. Ribuan monster—atau mungkin iblis—dari berbagai ukuran dan bentuk memorak-porandakan tempat itu. Saking banyaknya jenis musuh yang ada, Ahran sampai tidak mau menaksir kemungkinan selamat. Belum-belum, dia telah mendapati kelelawar raksasa sebesar layar kapal, raksasa warna-warni, pasukan mayat hidup, kelabang, dan makhluk mengerikan lain yang Ahran sendiri bingung menyebutnya bagaimana.

Di lain pihak, dia melihat ratusan tentara menyerupai manusia tengah mengadang monster-monster itu. Seragam putih mereka seperti perpaduan pakaian khas padang pasir, Eropa, dan Timur Jauh. Dengan panji-panji merah bersulam lambang yang asing. Pasukan itu terlihat tangguh dan pantang menyerah, ditambah perkakas perang yang Ahran tidak pernah lihat sebelumnya. Namun dia paham, apa pun yang mereka lakukan takkan mampu menutupi ketidakseimbangan pertempuran.

Neeshma mengeluh, "Apa kita harus membasmi semua monster di bawah?"

Ahran melirik gadis yang selalu tampak basah itu. Mukanya seputih kapas. Jiwanya seolah baru saja meninggalkan raga.

Sementara Bu Mawar, dia hanya memandang nanar ke Padang Shohr'n. Tak menunjukkan rasa gentar maupun bahasa tubuh yang terganggu. Ahran tidak bisa memastikan isi pikirannya.

"Saya tidak habis pikir, di bumi maupun di belahan dunia lain, pertumpahan darah selalu saja terjadi," Bu Mawar berkata, suaranya bergetar. "Apalagi, kabarnya murid-murid saya terjebak di sini. Saya ... tidak bisa membayangkan bagaimana mereka bisa bertahan. Mereka pasti ketakutan, menangis dan merindukan rumah."

Semua orang di dalam piring terbang mengalihkan fokusnya pada Bu Mawar, berikut tiga orang pelayan. Mima dan Neeshma lekas menghampiri Bu Mawar yang tengah terguncang, berusaha menenangkan.

Ahran merasa lega saat Bu Mawar pelan-pelan membaik karena mendapat perhatian dua orang. Dia segera membuka obrolan dengan seorang pelayan.

"Apa yang harus kita lakukan di bawah?" tanyanya.

Si pelayan memunculkan semacam gambar timbul yang berpendar di udara. Di dalam sana, Ahran dapat melihat Padang Shohr'n dalam ukuran yang lebih kecil namun lengkap, beserta makhluk-makhluk penghuninya yang bertebaran. Sebuah kastel yang lebih kecil dibanding Kastel Despera berdiri di penghujung medan. Terdapat menara janggal di sayap kanan dan kiri bangunan tersebut.

"Kalian harus bertahan dari peperangan yang berlangsung selama menggapai kastel ini," jelas si pelayan. "Dan tidak lama setelah ujian dimulai, Alkima akan mendekati wilayah ini. Berhati-hatilah, karena saat itu Tamon Rah akan menampakkan diri dari dalam bulan Alforea. Makhluk itu setinggi lima puluh meter dan berelemen api."

Ahran mengerutkan alis. Tamon Rah pasti merupakan peliharaan si Penyihir Sialan. Tapi perhatiannya lebih tertumbuk pada istilah yang baru ini, "Meter? Apa itu?"

Dengan sabar, si pelayan menggerakkan tangannya di udara dan terciptalah garis lurus cahaya. Garis itu setara panjang tombak standar yang berharga murah.

"Ini satu meter, Tuan."

Ahran terenyak. Membayangkan makhluk sebesar lima puluh tombak, elemen yang sama dengannya, ditambah terjangan perang, sama dengan mendapat tantangan untuk meminum seluruh air di Laut Mati.

Tapi Ahran tetap memaksakan senyum penghiburan diri. "Tugas kelompok ini ... hanya bertahan sampai tiba di kastel, kan?" tanyanya sambil menunjuk gambar.

Pelayan itu menggeleng. "Bukan. Kalian harus menyegel Tamon Rah dengan cara menghancurkan menara ini secara bersamaan. Namun hanya bisa dilakukan dengan kekuatan fisik. Selain itu, kedua menara ini akan menembakkan bola sihir pada siapa pun dalam radius lima meter. Tamon Rah juga dapat mendeteksi penggunaan kemampuan sihir dari jarak seratus meter serta langsung bergerak ke sumber kekuatan. Dan dia tidak bisa mati."

Dua kalimat terakhir mengguncang keempat peserta.

"Lantas bagaimana kita bisa bertahan?" jerit Neeshma. Dia mulai menangis. "Ini benar-benar ujian yang tidak wajar! Di bawah nyaris tidak ada airnya, bahkan ada penyihir api di sini! Kalian ... apa kalian semua masih punya hati?" Dilemparnya tatapan menuduh pada tiap pelayan.

Salah seorang pelayan berwajah angkuh mengambil dua langkah ke depan. "Tuan Hewanurma dan Nyonya Tamon Ruu memang hanya menghendaki peserta yang cukup tangguh dan benar-benar siap mental. Ini Turnamen Antar Dimensi. Jadi kalau Anda merasa keberatan, sebaiknya mundur dan pulanglah ke tempat asal!"

Pelayan yang lain menimpali. Dia bertutur dengan lebih tenang, "Tamon Rah memang tidak bisa mati, tapi bisa dilukai. Terutama oleh kekuatan sihir. Dalam banyak kasus, dia juga tidak menyerang target secara spesifik. Masih ada harapan bagi kalian. Gunakan itu dengan cerdas."

"Kalian baru akan turun begitu siap," imbuh pelayan di dekat gambar. "Jadi tidak perlu terlalu tegang."

Jika dibolehkan, sebenarnya Ahran ingin minta waktu persiapan selamanya.

***

Keempat peserta diturunkan di atas sebuah puncak tebing yang kosong. Menara yang menjadi target pencapaian misi terletak sangat jauh. Ahran hanya dapat melihat siluetnya yang kecil. Walau begitu, jarak tempuhnya tidak sampai memakan waktu berhari-hari.

"Sepertinya perjalanan kita akan menjadi amat berat dan lama," komentar Mima. Dia berbalik menatap Ahran. "Dan khusus untukmu, kau tidak hanya harus melindungi dirimu, tetapi juga wanita ini. Apa langkahmu untuk meminimalisir risiko yang mungkin terjadi?"

Ahran mengangkat dagu. "Kau memandangku seakan-akan akulah orang yang harus dilindungi," protesnya. "Tentu saja Bu Mawar akan selalu berada di sisiku. Takkan kubiarkan satu makhluk pun menyentuhnya!"

Ahran mencuri-curi kesempatan untuk mendekati Bu Mawar, tetapi sang pendidik keburu mengetahui niatnya dan perlahan-lahan menjauh. Betul-betul teguh keyakinannya itu, bahkan di saat genting seperti sekarang.

"Itu terserah kau saja, Aaron," balas Mima. "Tapi kalau kau celaka, kami tidak bisa berbuat banyak."

Neeshma menilik-nilik cemas ke medan perang. "Kita langsung turun?"

"Kapan lagi?" Mima tampak bersemangat. "Semakin cepat semakin baik, bukan? Yo, mari hadapi segala rintangan!"

Wanita itu mengeluarkan tali tambang dari ransel besarnya—pemberian dari para pelayan. Dia mengaitkan besi-besi kecil pada tali itu, lalu mengikat tambang pada tonjolan batu yang kokoh. Selesai mempersiapkan segala yang diperlukan, dia mengarahkan kelompoknya untuk turun satu per satu. Dimulai dari Ahran, disusul Bu Mawar, Neeshma, dan terakhir Mima.

Begitu Mima selesai membereskan perlengkapannya, bulan Alforea sudah sangat dekat. Beberapa kerjapan kemudian, benda itu hancur lebur. Suaranya menumpulkan pendengaran, meski tidak terlalu fatal. Sampai-sampai, perang di Padang Shohr'n terhenti selama beberapa saat.

Bu Mawar meneriakkan kalimat religius dengan histeris. "Jadi itu ... yang disebut Tamon Rah?" Dia pun berlindung di balik Mima dan Neeshma.

Dari langit di mana seharusnya Alkima bertengger, melayang seekor kuda hitam yang bersayap kobaran api. Tanduk tunggal merah menyala tumbuh di kepalanya. Keseraman tersebut masih dilengkapi dengan deret gigi taring dan ringkikan yang mendirikan bulu roma.

Tapi sesuatu yang meledak tak jauh dari mereka memutus keheranan semua orang. Ahran menoleh, langsung mendapati serangan. Sebatang tombak diluncurkan kepadanya. Dan dalam sekian tarikan napas yang sempit itu, seseorang menghalangi serangan tak terduga tersebut.

Ahran mendongak. Seorang prajurit berseragam putih—Tentara Suci Alforea—membelakanginya. Dia menghadapi tombak yang tertuju pada sang Pertapa dengan tameng. Bahan penyusun perisai itu pasti amatlah keras. Karena mampu menahan senjata yang dilemparkan secepat embusan angin.

"Kalian warga sipil, menyingkirlah dari sini," Si prajurit berpesan. "Apalagi para wanita. Kalau ingin selamat, lewati rute rahasia di –"

Prajurit itu takkan pernah menyelesaikan ucapannya. Makhluk berwujud lendir hijau bertangan banyak melompat ke wajahnya dan menggerogot. Belasan makhluk serupa merayap-rayap tidak jauh dari situ.

"Lari!" perintah Mima.

Empat peserta Turnamen itu berlarian terpontang-panting, kecuali Bu Mawar. Wanita itu dibopong Mima, yang sialnya telah meninggalkan ransel berisi bawaan vital seperti senjata dan ransum di bawah tebing. Meski tampak melelahkan, ingin sekali Ahran menggantikan posisi sang mantan anggota militer.

Lagi-lagi, pelarian tidak berjalan mulus. Tamon Rah unjuk gigi. Sayapnya mengibas, mengirimkan puluhan bola api sebesar meriam ke segala arah. Mati-matian ketiga wanita dan sang Pertapa bergerak menghindari serangan dahsyat. Mereka berlarian di bawah kaki-kaki para monster yang saling bertubrukan, yang tidak terhindarkan dari serangan kuda setan. Setelah puas membuat makhluk-makhluk di daratan menderita, barulah Tamon Rah terbang ke arah lain.

Ahran gembira atas satu hal: pelayan benar. Makhluk raksasa itu tidak punya target khusus. Lendir-lendir hidup yang mengejar timnya tidak luput menjadi korban. Berikut iblis-iblis menyerupai manusia berkepala hewan yang mulai mencurahkan perhatian pada keempat peserta.

Kini di hadapan mereka hanya ada iblis-iblis yang akrab bagi Ahran. Puluhan mayat hidup yang melangkah terhuyung-huyung seperti bayi. Walau mereka membawa beragam senjata, Ahran tidak terlalu segentar sebelumnya.

Mima yang lebih dulu siaga. Dia memungut pedang dan tameng bundar yang tergeletak di tanah. Dia berbalik, langsung menggunakan senjata temuannya dengan menyerang lendir hidup yang hendak menghinggapinya.

"Mr. Hewanurma dan Mrs. Tamon memang nyentrik," Dia berpendapat. "Dunia ini sudah terlalu futuristik. Tapi senjatanya masih sangat kuno!"

Selagi itu, si Pengendali Air tidak mau ketinggalan. Dia menggerakkan air keluar dari galon besar yang dibawanya. Menciptakan piringan tebal yang melayang di atas kepala.

Ahran juga mencabut pedang lurus dari sarung. Senjata tersebut berbilah hitam mengilap.

Ra'ash, penghancur iblis sempurna. Itulah hadiah terbaik yang pernah ibunya berikan pada Ahran. Pada permukaannya, terukir mantra terkuat yang pernah diajarkan bangsa Nephilim kepada manusia. Menghindarkan pedang ini dari patah atau pun kehancuran.

Bu Mawar berkata, "Mas Ahran, maaf saya belum bisa berbuat apa-apa."

"Tidak masalah," jawab Ahran. "Anda di dalam tim ini saja, sudah cukup untuk menyemangati kami. Jangan bergerak jauh-jauh, ya!"

Wanita itu mengangguk.

"Jika memungkinkan, aku ingin meledakkan mereka dengan alkimia. Saat aku siap dengan serangan itu, sebaiknya kalian semua menyingkir sejauh mungkin!" Ahran menyuruh. "Ledakan alkimia bisa melukai siapa pun tanpa memandang kawan atau lawan. Ditambah Tamon Rah yang pastinya akan mendekat."

Sebelumnya wacana ini pernah dibahas di piring terbang. Sehingga tidak butuh waktu lama bagi Mima dan Neeshma untuk paham.

"Sekarang, aku dan Mima akan menyibukkan pasukan ini selagi Neeshma membuat segel," lanjut Ahran. "Bu Mawar, ikutlah dengan Neeshma. Kami akan berusaha sambil melindungi kalian!"

Semua peserta Turnamen itu mulai melakukan tugas masing-masing. Neeshma menggores tanah di sekeliling kumpulan mayat hidup dengan pedang temuan, sementara piringan air yang melayang di sekitarnya tidak henti-hentinya menghalau gelombang serangan iblis. Walau tidak cukup kuat untuk memenggal anggota tubuh, tabir air yang kecil itu cukup mampu untuk mengempaskan musuh. Dan karena pergerakan Neeshma tidak terlalu cepat, Bu Mawar dapat terus berlari mengikutinya.

Ahran dan Mima mendekat. Mereka menghadap arah berbeda sampai hampir bertemu punggung. Formasi ini mengingatkan Ahran pada pengalamannya membasmi iblis dulu.

"Kalau dalam beragam pertunjukkan di duniaku, kelemahan mayat hidup biasanya di kepala," Mima mengingatkan Ahran. "Kau punya usul?"

"Sama saja. Mayat hidup memang akan berhenti bergerak kalau-kalau kepalanya terpisah. Kepala adalah pusat yang mengendalikan anggota badan lain."

"Kau cerdas—"

"Harus," sahut Ahran. "Karena aku seorang ilmuwan!"

Mima menyeringai. "—untuk ukuran orang lama!"

Dia dan Mima melesat maju. Ahran mengayunkan Ra'ash secara melintang, yang mengirimkan sayatan panjang pada tiga mayat hidup. Mereka tumbang, Ahran sontak memanfaatkan momen itu untuk melancarkan serangan penghabisan. Tiga kepala pun terlontar di udara.

"Mayat-mayat hidup itu terlalu lamban," kata Mima bergairah. "Aku juga bisa!"

Wanita itu benar, namun Ahran mengabaikannya. Jangan sampai dalam situasi begini, malah keduanya yang saling berkelahi.

Mima memasang kuda-kuda hendak menerjang, namun urung. Ringkikan keras membelah langit malam, diiringi rentetan ledakan dan pekikan para monster.

"Bubar!" Mima memutuskan. "Rencana batal!"

Ahran dan Mima bergegas menuju Bu Mawar serta Neeshma. Tamon Rah terbang rendah di atas mereka. Sama seperti sebelumnya, kuda setan itu memelesatkan bola-bola api ke segala penjuru, mengenai siapa pun tak peduli status. Akan tetapi, sekarang serangannya lebih gencar. Kecepatan lontarannya bertambah dan jumlah bola sihirnya pun kian banyak.

"Serang!" Suara kumpulan manusia menyambung asa keempat peserta.

Sekitar belasan pelontar raksasa dengan roda, bergerak perlahan-lahan. Alat-alat itu bekerja lagi, merajamkan harpun pada Tamon Rah. Kuda jadi-jadian itu memekik kesakitan. Harpun setebal batang pohon menembus tubuhnya tanpa ampun. Kemarahannya langsung tersulut oleh pasukan penyelamat itu.

Seorang prajurit beratribut lebih lengkap terbang mendekati Ahran. "Kalian tidak boleh ada di sini," Lalu dia menunjuk sebuah bukit cadas. "Di baliknya ada jalur rahasia menuju tempat yang lebih aman. Pergilah ke sana sekarang juga! Kami semua akan menghalau monster-monster yang mengadang!"

"Terima kasih banyak, Pak." ucap Bu Mawar dengan suara sendu.

Rona merah terbit di wajah pria itu. Ahran sendiri amat terganggu melihatnya.

"Eclaus, kemarilah!" Dia berteriak lantang pada prajurit terdekat.

Satu prajurit datang lagi dengan terbang. "Ya, Komandan!"

"Berikan pedang laser padaku!"

"Siap!" Si Prajurit menyerahkan apa yang diminta dengan sikap formal pada sang atasan, sebelum kembali ke pos.

Sang Komandan tersenyum seraya memberikan seserahan pada Bu Mawar. "Ini untukmu. Aku permisi dulu." Beruntung pria itu tidak berlama-lama mencemari udara di sekitar Bu Mawar.

Senjata yang lebih mirip tongkat pemukul itu kedap-kedip sewaktu Bu Mawar mengibaskannya. "Wah, ada tombolnya!"

"Cepat bergegas ke jalur—" Refleks, Mima menghindari hantaman keras dari sosok sesuatu—makhluk setinggi dua puluhan tombak dan membawa kapak batu. Matanya juling, kulitnya merah.  Dia menggeram tak keruan.

"Troll!" Mima dan Neeshma mengenali jenis makhluk itu.

Nyatanya kelompok malang ini tetap berurusan dengan monster. Janji sang Komandan tidak terpenuhi. Dan memang, satu demi satu anak buahnya menjemput ajal karena Tamon Rah.

Makhluk yang dipanggil Troll mengayunkan senjata layaknya orang mabuk. Dia mengarahkan serangannya serampangan, namun tampaknya paling banyak ditujukan untuk Ahran. Menyebabkan sang Pertapa mengumpatkan berbagai makian. Syukurlah Bu Mawar tidak mendengarnya.

Ahran berseru saat si Troll mengendurkan pergerakan, "Kalian jangan bergeming di sini! Aku akan melenyapkan halangan ini!"

Namun, Bu Mawar malah maju menghampiri si Troll. Mima dan Neeshma sudah mencegahnya, tapi mereka tak cukup mampu. Ahran pun demikian.

"Saya tidak bisa diam terus," Bu Mawar memberikan penjelasannya. "Sekali-kali saya ingin mengerahkan apa yang saya bisa."

Mulanya Troll itu mengerutkan wajahnya yang buruk rupa begitu mendapati sang Pembimbing mendekatinya. Kapak batunya terangkat. Akan tetapi alih-alih menyerang, dia mengurungkan niatnya dan diam menunggu.

Ahran berkonsentrasi untuk mempersiapkan sihir. Jika iblis itu berani macam-macam, tubuhnya takkan selamat.

"Kita sama-sama makhluk Tuhan," Bu Mawar mulai memberi petuah. "Kita tidak boleh saling menumpahkan darah. Seharusnya sebagai sesama ciptaan, kita bahu-membahu menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Apalagi hakikatnya makhluk mengemban tugas—"

Kumpulan kalajengking sengat listrik menyerbu dari belakang Ahran. Jumlah mereka kurang lebih lima puluhan, dan di antaranya ada lendir hidup yang ikut menimbrung. Sihir yang tadinya dimaksudkan untuk melumat Troll, akhirnya dialihkan untuk memusnahkan makhluk-makhluk itu. Sigil bintang segi enam di bawah kaki Ahran bersinar lebih terang. Api menyelimuti dirinya, dengan cepat menguap dan membentuk sebuah bola tunggal di atas kepala.

Ahran merapal mantra dalam bahasa ibunya, sedangkan Neeshma menjauh.

Bola api berubah bentuk dan memanjang dengan cepat, menghunjam monster-monster kecil yang berada di hadapan. Dengan Ra'ash dalam genggaman Ahran, daya serang sihirnya naik menjadi dua kali lipat. Tak ayal, seluruh kalajengking langsung mati.

Nahasnya, dua lendir hidup berhasil lolos dan tahu-tahu sudah merayap ke dekat kaki Ahran.

Ahran begitu tertekan sampai tidak bisa bereaksi cepat. Kedua lendir hidup pun melompat ke lengan kiri bawah pria Turki itu. Mulai memakannya.

"Ahran!" Neeshma berlari untuk menyelamatkan anggota kelompoknya.

Tapi terlambat, panas luar biasa menjalari sekujur tangan Ahran. Rasanya seperti dicelupkan dalam bahan baku alkimia dengan tingkat keasaman tinggi. Bakteri dari lendir hidup mulai menjalar ke bagian tangan yang lain. Maka dengan berat hati, Ahran melakukan tindakan darurat. Ditebaskannya Ra'ash, memutus lengan bawahnya sendiri.

"Aaron!"

Mima segera bertindak. Dia melempar sesuatu seperti besi melengkung ke lendir hidup yang masih menikmati santapan. Senjata tersebut memburaikan mereka, sekaligus memotong puntung tangan Ahran menjadi dua.

"Jangan khawatir, akan kututup lukanya!" balas Neeshma. "Mima, tolong pastikan selama proses penyembuhan, tidak ada yang menyerang kami!"

Kesadaran Ahran kian menipis. Dia belum pernah mengalami yang seperti ini seumur hidupnya. Sama sekali, dia tidak pernah dilukai sedemikian parah dan merasa putus asa layaknya sekarang. Pikirnya, seluruh iblis dari penjuru gurun pasir jauh lebih baik daripada satu pun makhluk di tempat ini.

Ahran terhuyung. Tubuhnya jatuh bebas, yang kemudian dicegah Neeshma. Dia merebahkan Ahran di tanah pelan-pelan.

"Ke-kenapa?"

Neeshma mendengus. "Aku memang tidak menyukai manusia, apalagi pengendali api," terangnya sambil merentangan kedua tangan, dan memejamkan mata. "Tapi melihat kalian semua dapat bekerja sama, kuputuskan lebih baik ikut seperti itu. Apalagi dirimu. Mima sebelumnya cerita kau orang paling egois dan arogan yang pernah ditemuinya. Namun oleh karena suatu sebab, kau mengubah sikap. Kalau kau saja bisa berubah, aku juga harus! Jika aku menuruti egoku saja, maka aku tidak pantas disebut Pendeta Ombak!"

Dari telapak tangannya, terbit cahaya putih menyilaukan. Ahran terpejam, saat itulah dia merasakan ujung sisa lengannya semakin panas. Dia menjerit.

"Tamon Rah!" pekik Mima dari kejauhan.

Ahran membuka mata susah payah. Titik api timbul di antara gelap malam, kian membesar. Kuda setan itu hendak menukik ke arah timnya.

"Greg, tolong lindungi kami!"

Bersamaan dengan berakhirnya suara indah itu, Troll yang sebelumnya berniat menyerang segera pasang badan, menutupi Ahran dan yang lainnya. Ditariknya kaki kelelawar raksasa yang melintas di dekatnya, memutar-mutarnya, lalu melemparkannya pada Tamon Rah. Kuda jadi-jadian itu sampai terempas sejauh puluhan depa. Menimbulkan gempa ringan.

"Fokus pada penyembuhan!" Mima menyerukan. Sedangkan Bu Mawar mendekat padanya.

Neeshma tidak beranjak sedikit saja walau Tamon Rah menyerang bertubi-tubi. Kalau bukan karena perlindungan si Troll, bola api sudah pasti akan melumat keempat anggota kelompok.

"Relaks," pesan Neeshma. "Jangan khawatirkan situasi. Yakinlah pencipta kita masing-masing melindungi kelompok ini."

Tapi ketakutan yang merambati benak Ahran memaksanya terus memasang mata. Kemungkinan tim ini berakhir tamat bukan hanya sangatlah banyak. Tiap tarikan napas begitu berharga, dan dia tidak boleh terbuai dengan istilah 'keberuntungan'. Setidaknya, harus ada yang dilakukan untuk bisa selamat.

Di lain pihak, si Troll tampak makin menggila. Namun bukan semangat tarung yang timbul, melainkan depresi. Kulitnya memang sekuat baja. Sayangnya, itu belum cukup untuk menahan serangan bola-bola api. Wajah dan tubuhnya babak belur, kapaknya malah menyabet udara asal-asalan.

"Sebaiknya mundur, Greg!" Bu Mawar berteriak berulang-ulang. "Tamon Rah terlalu kuat! Nanti kamu bisa celaka, Nak!"

Troll itu menurut. Dia memindahkan Bu Mawar dan Mima ke dalam dekapannya. Berikutnya, Neeshma dan Ahran.

"Maaf, itu belum selesai," kata Neeshma. "Seharusnya proses penyembuhan berlangsung lebih lama lagi dan selagi itu aku tidak boleh bergerak. Apalagi, lukanya separah ini."

Ahran mengangguk sambil terus merintih. Selaput kulit tipis telah menutupi lukanya, menghalangi kucuran darah. Namun sakitnya belum hilang. Seluruh tulangnya ngilu tatkala teringat keadaan tangan sendiri.

"Tolong antar kami ke balik bukit, Greg!"

Si Troll menyanggupi, sontak mempercepat langkahnya yang menyiksa otak Ahran. Selama berjalan, Tamon Rah memberondong makhluk itu dengan bola-bola api. Kerap terdengar geram kesakitan, tapi keempat anggota Turnamen tetap melaju.

"Sedikit lagi, Nak!" Bu Mawar menyemangati si Troll. "Tetap semangat! Ayo, ayo, Ibu bangga padamu!"

Si Troll terhenti. "Maa ... aaagh ... Ghuuu Maahaaaarr ...."

Diturunkannya keempat peserta di tempat itu juga. Ahran lekas dipapah oleh Mima dan Neeshma. Kemudian mereka semua menoleh pada si Troll dan terbelalak.

Tanduk api Tamon Rah menembus jantungnya, mencipratkan darah ke mana-mana. Belum cukup, si kuda jadi-jadian terbang jauh ke atas, membawa serta Troll malang yang meregang nyawa. Sebelum mereka benar-benar menghilang, butiran air bening yang besar-besar jatuh ke padang gersang. Air mata si Troll.

***

Bangunan luas menyerupai kastel hadir di hadapan Ahran. Tingginya melebihi pilar-pilar yang mengelilingi Aya Sofya. Beberapa teropong terlihat di beberapa bagian atapnya. Dan banyak orang berlalu-lalang di halamannya yang ditumbuhi bunga-bunga tulip. Itulah Pusat Penelitian Bintang dan Sihir, atau Ahran lebih senang menyebutnya Pusat Penelitian Sihir saja.

"Hei, Bung!" Seseorang menyapa. "Kenapa melongo di sana?"

Ahran membalikkan badan dengan malas. Seorang pemuda berambut keemasan yang memanggilnya. Dari wajah dan caranya berpakaian, jelas dia putranya orang mampu.

"Ya?" Ahran mengangkat alis. "Apa kita saling kenal?"

Bocah itu agak terperangah. "Ke mana saja kau selama ini? Aku Rüstem, putra Kutbeddin Paşa."

Ahran terdiam. Tidak memedulikan kenyataan lawan bicaranya ini adalah putra seorang menteri terkenal—akan jasa-jasanya sekaligus kontroversinya yang sensasional. Dia langsung berputar, melengos pergi.

Dan tiba-tiba saja, jalanan di kaki Ahran retak. Seluruh dunia pecah bak cermin yang dibanting. Dia terperosok ke bawah bersama lungsuran tanah, ke dalam kegelapan yang abadi. Namun saat terjun bebas itulah, didapatinya Rüstem yang jauh lebih dewasa meluncur ke arahnya.

"Seluruh penderitaan yang menimpamu bukanlah salahku," desisnya. "Itu semua karena kau terlalu lemah dan bodoh!" Dia menghunus tombak, yang akhirnya melubangi leher Ahran.

Di waktu yang berbeda, Ahran sang Pertapa tersentak bangun. Keringat dingin bercucuran. Dia mengerjap, berdoa agar saat pandangannya jelas nanti, dia tengah terduduk. Dalam rumah kecilnya di pinggiran kota Giza. Mendapati Musa sudah menyiapkan sarapan pagi.

Pada kenyataaannya, Ahran salah. Dia sudah terlanjur terlibat begitu jauh pada sebuah turnamen asing. Tangan kirinya pun raib di babak penyisihan. Memalukan, pikirnya.

"Seharusnya kau jangan bangun dulu," tegur Neeshma. "Lukamu perlu disembuhkan sedikit lagi."

"Di mana ini?"

Mima yang menjawab, "Ini jalan darurat yang dimaksud para tentara Alforea. Masalahnya sekarang, kita tidak tahu ke mana lorong ini menuju. Bisa ke tujuan, bisa juga melenceng jauh."

"Kenapa tidak diikuti saja, Mbak?" Bu Mawar memberi masukan. "Bukannya lebih baik daripada diam saja? Siapa tahu lorong ini memang arahnya ke kastel."

Neeshma akhirnya selesai dengan ritualnya. Dia berdiri. "Tapi bagaimana dengan kemungkinan munculnya musuh di sepanjang lorong ini?" tanyanya. "Maksudku, harusnya kita bertemu tentara Alforea atau sekurang-kurangnya warga sipil yang lain."

Kebisuan melanda lorong. Tanah di atas mereka yang berdebum-debum, mengisi kecanggungan. Pasir, kerikil, dan serpih kayu berhamburan.

"Di sini maupun di luar sama saja. Bahaya pasti ada, maka kita bersiap-siaplah," Mima memalingkan matanya pada Ahran. "Aaron, apa kau sanggup meneruskan jalan?"

Ahran mengangguk. Neeshma membantunya bangkit.

"Bu Mawar," panggil Mima. "Sebaiknya lightsaber yang kaupegang itu, berikan saja padaku."

"Iya, Mbak."

Bu Mawar menyerahkan tongkat pemukul bersinar pada Mima. Mima lantas menggantungkan senjata baru itu di sabuknya, dan memberi isyarat pada yang lainnya untuk segera melanjutkan perjalanan.

Lorong yang mereka lalui tidak gelap. Pada dindingnya tersemat banyak bebatuan berpendar biru. Sesekali Ahran melihat tikus lewat atau kumbang pasir yang beterbangan.

Waktu telah berlalu lama dan mereka belum menemukan siapa-siapa. Tapi mendadak, terdengar kertakan. Ahran menoleh ke belakang, Bu Mawar menginjak sesuatu. Saat itulah, dia menyadari suara dan bau sesuatu yang mendekat.

Sialan. Benar-benar turnamen keparat!

"Lari!" teriak Ahran. "Kumpulan serangga sedang menuju kemari!"

"Dari mana kautahu?" tanya Mima.

Ahran tidak perlu menjawab. Bencana itu tak lama menunjukkan dirinya. Terdengar desingan keras. Aroma tidak sedap menguar. Udara menjadi tidak menyenangkan.

"Aku akan meledakkan lorong ini dengan alkimia!" Ahran mengumumkan. "Apa pun yang terjadi, cepatlah lari!"

"Mas Ahran ...." Untuk pertama kalinya, Bu Mawar menunjukkan perhatiannya. Setitik intan terbit di sudut matanya. "Apa Mas akan menyusul kami?"

Ahran mengangguk. Ingin sekali tersenyum namun tidak bisa.

"Aku alkemis dan penyihir terhebat di Istanbul," katanya lirih, meyakinkan dirinya. "Maka dari itu halangan kecil seperti ini takkan mampu membunuhku! Jangan diam saja di sini!"

Ketiga wanita itu tidak bertanya-tanya lagi. Mereka segera hilang dari pandangan.

Dengan satu tangan, Ahran menggoreskan segel alkimia menggunakan Ra'ash di atas tanah. Ratusan kumbang menerjang, beberapa sudah sampai di dekatnya. Diambilnya sebuah tabung berisi cairan merah dan dilemparkannya ke tengah segel persegi, lalu dia mengambil langkah seribu.

Ahran berlari sekencang-kencangnya, sembari membaca rajah di tangan kanannya. Mantra yang ada merupakan perpaduan dari berbagai bahasa semitik.

Pendarasan berakhir dan terdengarlah ledakan hebat.

Lorong di belakang Ahran mulai runtuh, kerusakannya bagaikan menjalari keseluruhan jalur bawah tanah itu. Dipercepatnya langkah. Semakin kencang dan jauh, melewati turunan dan undakan, sampai Ahran bertanya-tanya apakah kakinya akan putus setelah kejadian ini. Hingga pada akhirnya, ujung terowongan terlihat.

***

Kastel menjulang di atas bukit curam, yang setinggi Tamon Rah. Namun untungnya, dibuat anak-anak tangga untuk mencapai kastel. Penderitaan tim akan usai tidak lama lagi.

Ahran jatuh berlutut. Kedua kakinya kebas. Berserah pada kelelahan luar biasa, dia pun merebahkan diri. Menghadap langit yang gelap. Setelah sekian lama sengsara dan dihantui teror, waktu jeda tiba juga.

"Aaron!"

Belum apa-apa, Mima sudah menganggu. Ahran bangkit berdiri dan menyapu pandangan ke sekeliling. Astaga!

Ahran menggigit bibir bawahnya sampai berdarah sedikit. Keletihan pasti telah menumpulkan nalarnya. Mengapa dia begitu teledor sampai melupakan kelompoknya?

Mima, Neeshma dan Bu Mawar tengah menghadapi kepungan makhluk-makhluk yang sepintas menyerupai manusia, tetapi berwajah setan. Mima menjadi penyerang utama, sementara Neeshma melindungi Bu Mawar sekaligus menghalau musuh yang berdatangan.

Ahran baru dapat menyaksikan kemampuan Mima yang sesungguhnya. Wanita itu menyongsong serangan tiga monster sekaligus.

Dua musuh mengayunkan pedang, tetapi Mima dapat menahannya dengan perisai. Satu makhluk lagi menyerang dari belakang, dan disambut dengan hunjaman tongkat bersinar menembus leher. Setelah senjata dicabut, makhluk itu tumbang. Mima tidak menyia-nyiakan waktu. Selagi senjata musuh yang lain masih beradu dengan tamengnya, dia menebas kaki kedua lawan. Mengacaukan keseimbangan mereka sehingga dengan mudah Mima bisa memenggal keduanya. Perlawanan berlangsung selama kurang lebih lima tarikan napas saja.

"Jangan menonton terus, Aaron!"

Ahran pun bergabung dalam pertempuran. Satu musuh mengadang, namun Ra'ash dapat dengan mudah mengoyak perutnya. Tidak terima manusia bertangan satu mengalahkan rekan mereka, tiga monster yang lain sontak maju.

Ahran membutakan pandangan satu makhluk yang kelihatan paling tangguh dengan menyayat mata. Selama satu halangan itu tertunda, dia berputar. Gerakan kejutan itu rupanya tidak diperhitungkan lawan—yang memang kelihatannya tidak berotak. Terang saja, dengan cepat kehidupan meninggalkan mereka. Ahran memberi mereka titipan berupa luka dalam di dada, untuk disampaikan di neraka. Terakhir, dibereskannya makhluk buruk rupa yang masih mengerang karena kehilangan penglihatan.

Akan tetapi Ahran tiba-tiba merasakan pergerakan di belakangnya. Dia memalingkan wajah, dan tahu-tahu terdengar gedebuk berat. Beruntung, Mima membereskan sumber masalah sebelum sempat melukai Ahran. Wanita itu melempari si monster dengan tombak pendek.

"Ahran, Mima, bantu aku!"

Kedua orang yang dipanggil merespons. Mereka segera berlari menuju tempat Neeshma. Gadis itu, sambil melindungi Bu Mawar, disibukkan habis-habisan oleh kepungan para monster.

"Kaubereskan yang di sini!" perintah Mima.

"Kau saja." cibir Ahran.

Mima tidak mengindahkan. Makhluk-makhluk di sekitar Bu Mawar langsung ditamatkan riwayatnya. Ahran mengakui, soal stamina, kecepatan, serta efisiensi pertarungan, wanita itu jauh lebih baik darinya. Meski kenyataannya dia hanya manusia biasa. Kedua matanya betul-betul jeli melihat titik kelemahan, kekuatan fisiknya seakan tidak ada habisnya, bahkan tendangannya tampak mampu merobohkan dinding. Dalam sekejap saja, tujuh makhluk Shohr'n terkapar.

Sepenggal geraman menguar dari samping Ahran. Dua monster melompat tinggi, ke arahnya. Lagi-lagi, Mima menghentikan laju mereka dengan meluncurkan logam tipis, menembus ulu hati. Yang membuat Ahran makin merinding pada kemampuan wanita itu. Garpu?

Ahran terpaksa menelan keangkuhannya mentah-mentah. Dia sungguh-sungguh kalah, dari wanita biasa. Namun selanjutnya, dia mengabaikan hal itu. Yang penting misi ini selesai, itu dulu. Dan seiring dengan puji syukurnya karena lenyapnya makhluk-makhluk di bawah bukit, dia terjerembap.

"Mas Ahran!" Bu Mawar mendekatinya. "Mas tidak apa-apa, kan?"

Ahran menjawab sayup, "Ya. Saya hanya lelah ... sangat ...."

Bu Mawar menyebut nama penciptanya. "Saya benar-benar merepotkan kelompok ini. Dari awal saya tidak pernah berbuat apa-apa. Kalian semua sampai banyak berkorban, terluka dan kelelahan. Saya sungguh minta maaf, Mas, Mbak."

Ahran tersenyum. "Troll yang namanya Greg itu ... dia menyelamatkan kita karena Anda. Bu Mawar, jiwa Anda begitu murni ... dan tanpa sadar Anda telah diberkati oleh Tuhan. Mungkin berkat itulah yang masih menjaga nyawa kita semua sampai saat ini."

Neeshma membenarkan. "Ahran benar. Kalau bukan karena Anda, saya pasti sudah ikut dengan kelompok lain. Anda juga menyadarkan kita bahwa meski mungkin tak seberuntung tim lain dan tidak memiliki kemampuan spesial, niat sekalipun bisa mengatasi segala halangan. Ditambah dengan kerja sama."

Ahran dan Mima mengangguk penuh sukacita.

"Benarkah itu?" Bu Mawar kelihatan terharu. "Saya tidak menyangka. Syukurlah keberadaan saya di sini mempunyai manfaat."

Mima dan Neeshma mendekati tempat Ahran terbaring. Mereka duduk mengelilingi sang Pertapa, yang sesungguhnya sebatas sebutan belaka.

"Kalau kau tak sanggup naik, aku akan menggendongmu." kata Mima.

Ahran mengangguk lemah. Berikutnya, satu demi satu mulai memanjat. Mima lebih dulu, lalu Bu Mawar dan Neeshma paling akhir.

"Jadi, ini kastelnya?"

Dari dekat, kastel tujuan mereka lebih menyerupai Aya İrini di Istanbul. Tidak tinggi, melainkan luas dan tak sebesar Kastel Despera. Bedanya, ada dua menara dari kristal yang menempel di kastel tersebut. Di pelataran bangunan itu terdapat lima air mancur, dan lagi-lagi para monster. Neeshma menurunkan galonnya.

"Ini waktunya aku melancarkan serangan," ujar Neeshma. "Setelah ini kalian langsung bergegas menghancurkan menara!"

Dia mengayunkan tangannya. Seluruh air dari kelima pancuran bergerak ke arahnya, memciptakan dinding air raksasa. Kemudian dengan satu jentikan jari, sihir membentuk gelombang besar. Membersihkan jalan dari hambatan dan membanjiri halaman.

Ahran menengok ke bawah dari balik kepala Mima. Ingatan buruknya langsung terpicu. Di permukaan air itu, dia mendapati sosok yang dikenalinya. Pria berturban hitam, wajah panjang tirus, dengan kulit sepucat kapas.

"M-Mu ... Mu ... Mu ... SAAAA!"

"Ada apa lagi denganmu?" Mima mulai jengkel.

Ahran menjawab gemetar. "Air ... di air itu aku melihat ... orang."

Mima memutar mata. "Tukang sihir api, pasti fobia air. Kalau begitu kita ke dalam!"

Kenyataannya tidak semudah itu, sebab Neeshma—entah bagaimana sebabnya—tertawa janggal. Dia mengarahkan gelombang air pada rekan-rekannya sendiri. Mima, Ahran dan Bu Mawar hanyut terbawa air dengan hati bertanya-tanya.

"Kalian pikir kalian akan menang?" tanya Neeshma, suaranya berbeda. "Kalian, sekutu Tentara Suci Alforea, aku akan mengakhiri semuanya!"

Ahran bergidik, mengenali gejala kerasukan. Mata Neeshma yang sebiru samudera berubah merah. Senyum yang tidak manusiawi terkembang pada wajahnya. Sungguh sial nasib kelompok ini. Selangkah lagi saja untuk menunaikan babak penyisihan, mereka malah kembali dihambat.

Mima bangkit. "Neeshma dirasuki. Akan kulawan dia semampuku," Dia menegaskan. "Aaron, Bu Mawar, pergi dan hancurkan menara kembarnya. Aku minta dengan sangat, agar melakukan secepat yang bisa kalian lakukan, sebagaimana aku menghadapi Neeshma. Aku ... mungkin takkan menyusul, jadi kalian tuntaskan misi ini agar kita bisa kembali ke Alforea dengan selamat!"

Dia pun menyerahkan kembali tongkat bersinar pada pemilik seharusnya. Bu Mawar menerima dengan gugup, dan berat hati.

"Semoga beruntung," ucap Mima. "Senang menjadi satu tim dengan kalian."

Bu Mawar menarik Ahran dan memapahnya. "Ya. Hati-hati, Mbak. Kalau bisa jangan ada tumpah darah!" Lantas, mereka masuk ke dalam kastel.

"Jangan harap bisa lolos!" teriak Neeshma.

Tetapi tatkala Ahran dan Bu Mawar memasuki kastel lebih dalam, suara gadis pengendali air itu tidak terdengar lagi. Mima pasti sedang bertarung habis-habisan. Mengingat wanita itu hanya manusia biasa, ini berarti bencana besar. Mereka berpacu dengan waktu.

***

"Saya ingin sekali, secepatnya menemukan anak-anak," ujar Bu Mawar. "Walau harus menghadapi makhluk-makhluk ganas, asalkan mereka selamat .... Ah, yang jelas ini amanah," Suaranya makin menggetarkan hati. "Mas Ahran sendiri, apa yang membawa Anda kemari?"

Ahran menjelaskan sepadat mungkin soal kehidupannya sebagai alkemis di Istanbul, termasuk Rüstem bin Kutbeddin, tanpa menyertai dendam serta masa kecilnya yang kelam.

"Saya turut berduka," respons Bu Mawar. "Oh, ya, kalau saya boleh tahu, apa Mas seiman dengan saya?"

Ahran agak lama untuk menanggapi. Dan setelah menimbang cukup lama, dia menggeleng. "Tapi orang-orang di sekeliling saya, hampir semuanya sama dengan Anda. Termasuk sahabat terbaik saya, Musa."

"Padahal ...." Bu Mawar tampak ingin mengucapkan sesuatu yang penting, tetapi tertahan. Sebagai gantinya, dia berkata, "Ah, tidak apa-apa. Tapi, saya ingat kata Mbak Katrina di UFO. Menara harus dihancurkan bersamaan, bukan dengan tenaga dalam tetapi kekuatan fisik, dan menaranya juga menembakkan sesuatu dalam radius lima meter. Apa saran Mas?"

"Saya hanya terpikir satu hal, yaitu alkimia. Walau ini memakai mantra, itu hanya untuk membuka segel penghalangnya. Selain itu, alkimia bisa meruntuhkan bangunan ini. Kehancuran kastel akan memicu robohnya menara."

Obrolan mereka terputus. Sesuatu berkelebat dari kegelapan. Bocah-bocah bersayap kelelawar terbang ke arah mereka. Orang Barat menyebut makhluk seperti itu dengan imp.

"Tuhan menguji manusia dengan cobaan yang berat, semata-mata karena Dia menyayangi ciptaanNya," Bu Mawar tersenyum, kemudian melepaskan pegangannya dari Ahran. "Akan ada keberhasilan gemilang yang menunggu kita, percayalah!"

Bu Mawar menghunus tongkat bersinar. Ahran, dengan segenap kekuatan yang tersisa, bangkit dan mencabut Ra'ash dari sarungnya. Keduanya menyongsong imp-imp yang menerjang.

Ahran mengibaskan senjata, tepat memotong tiga imp secara berbarengan. Sementara itu, Bu Mawar terus-menerus meneriakkan nama sang Pencipta tiap kali mengayunkan tongkat. Secara mengejutkan, banyak juga imp yang bisa ditumbangkannya. Tak perlu waktu lama untuk mengosongkan koridor itu. Bangkai para imp berserakan di segala sudut.

"Anda ... luar biasa."

"Tadi saya menganggap makhluk-makhluk ini layaknya murid yang melanggar aturan," jawab Bu Mawar. "Yah, saya memang sering memberi hukuman selama proses mendidik, seperti memukul. Bedanya, yang saya pegang ini bukan rotan, tapi pedang laser. Dan tentu saja, semua ini tidak lepas dari pertolongan Tuhan."

Perjalanan diteruskan. Ahran dan Bu Mawar akhirnya sampai di ruangan kastel, semacam balairung. Yang Ahran duga, inilah pusatnya. Benar perkiraannya, salah satu sisi kedua menara terlihat dari lubang besar di ruangan tersebut. Dia pun berterima kasih sekali lagi sebab, jarak antara satu menara dengan menara lain cukup jauh. Ahran dan Bu Mawar berada di luar jangkauan serang menara.

"Tinggal sedikit lagi," Ahran memberitahu. Dia berada melangkah ke tengah ruangan dan sudah menyelesaikan segala syarat alkimia yang diperlukan, termasuk meletakkan enam tabung sekaligus. "Anda tunggu di sini, setelah itu kita lari dan ujian ini akan berakhir."

"Siapa bilang begitu?"

"Mbak Mima?" Bu Mawar berbalik. "Syukurlah Mbak menyusul—"

Mima meninju Bu Mawar keras-keras, menghantam pipinya dengan telak. Darah Ahran langsung menggelegak. Gelap mata, dia berlari ke arah mantan rekannya ini. Tetapi kedatangannya disambut Mima dengan tendangan di perut.

Ahran terpental beberapa hasta. Kepalanya membentur lantai balairung. Tenaganya nyaris kosong sama sekali, dan dia mengurasnya lagi dengan berkata, "Menghancurkan ... me-menara ... itu untuk menyegel Tamon ... R-Rah. Kuda itu ... tidak hanya ... me-menyerang pasukan Alforea, melainkan ... lawannya juga."

"Tapi itu pun akan menghilangkan kami!" raung seseorang yang menggunakan rupa Mima.

Ahran menatap sosok itu. Sekujur tubuh 'Mima' dipenuhi darah dan lumpur. Satu matanya hilang, beberapa garpu menancap di lehernya.

"Apa masalah kalian dengan kami?"

"Ini ... memang misinya!" bentak Ahran. "Sa-sadarlah kalian ... hanya boneka Tamon ... Ruu, dan Hewanurma!" Diliriknya ke samping, Bu Mawar melangkah pelan-pelan di belakang Mima, mengangkat tongkat bersinar.

"Apa maksudmu?" tanya Mima. "Kami berperang melawan Alforea sejak lama!"

"Dasar ... bodoh," ejek Ahran. "Kau sendiri yang mengatakan kalian akan menghilang. Dan sekarang ... kau benar-benar akan ... hilang!"

Mima segera menyadari maksudnya, namun terlambat. Dengan mata terpejam, Bu Mawar menghunjamkan senjata kuat-kuat.

"Maaf, Mbak!"

Bilah bersinar menembus dada Mima. Wanita itu memuntahkan banyak darah. Dan satu detak jantung kemudian, dia roboh ke tanah. Kabut hitam menyeruak keluar dari wajahnya, membentuk diri di udara dan hendak menuju Ahran. Sayangnya, makhluk itu keburu dihentikan dengan sihir api.

"Ma-mari, kita keluar," ucap Ahran dengan kesadaran kian tipis. "Tolong, aku ...."

Bu Mawar sontak memapahnya lagi. Keduanya, tanpa hambatan berarti, berhasil keluar dari kastel. Tiba di lapangan yang dipenuhi potongan tubuh dan air, terbata-bata, Ahran pun memulai mantranya. Tiga puluh detik berikutnya, terjadi letusan yang menandakan selesainya ujian berat ini.

"Kita berhasil."

Kastel meledak. Dalam sekejap bangunan itu melungsur ke bawah, luluh lantak bersama dua menara kristal. Bersamaan dengan makin terpuruknya reruntuhan kastel, monster-monster yang berkeliaran di langit menghilang. Ahran juga mendapati bulan yang terbelah, telah menyatu kembali.

Sebuah portal lantas terbentuk, mengisap dua peserta yang tersisa itu ke dalam cahaya.

Ahran betul-betul berada di ambang batasnya. Sebelum pingsan, dia terbayang wajah Tamon Ruu dan Hewanurma. Selain Rüstem bin Kutbeddin, rupanya masih ada dua orang yang minta dicekik. Suatu saat nanti, pria Turki—yang terkenal sebagai sang Pertapa yang tidak bertapa—ini mungkin akan sanggup menunaikannya. Walau hanya dengan satu tangan saja.

48 comments:

  1. Kyaahn, Kang Ahran~ #blush
    -
    Waduduh, ini cerita yang lumayan seru. Dan aku juga muncul di sini sebagai bintang tamu, hihi. Aku suka penggambaran diriku di sini yang inosen, lurus, pandai berceramah, anggun, dan bahkan mampu menjinakkan Troll. Keren banget diriku untuk ukuran janda, ya? #kedipkedip

    Aku juga suka interaksi antara setiap karakter yang ada di sini. Terutama malu-malunya Kang Ahsan kalau berada di dekatku #kedipkedip
    -
    Pertarungannya seru, teamworknya juga terasa. Hanya saja di bagian akhir seperti selesai begitu cepat. Agak terburu-buru. Dan keberadaan Tamon Rah seperti tidak terasa sama sekali di akhir-akhir cerita, padahal kan firehores itu lawan utama di arena ini. Kalaupun ada adegan ledak-meledak, masih kurang digambarkan secara dramatis. Misal saat Kang Ahran memakai alkimia untuk menahan serangan serangga di lorong, ataupun saat kastel hancur yang hanya dinarasikan dalam satu paragraf saja.
    -
    Aku suka penggambaran prajurit di cerita ini benar-benar terasa hidup, atau paling tidak ... terasa ada. Monster-monsternya pun dibuat tangguh dan menyusahkan, bahkan untuk ukuran monster jelly. Hanya saja, mengapa diriku digambarkan membunuh monster dan menusuk Mima di sini? :( Bisa-bisa, Dark Mawar bangkit dan [Kemulian Guru]-ku lenyap sama sekali :(
    -
    Tapi secara keseluruhan, cerita ini sudah amat baik.

    Ponten dariku 9, tetapi karena aku muncul di sini jadi kutambah +1

    PONTEN AKHIR 10

    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya, Bu Mawar :D

      Soal bagian pas akhir itu ... saya emang agak buru-buru. Yah, biar cepet2 nyelesain tugas-tugas yang lain. Maaf ya .... >_<

      Dan soal mainboss Tamon Rah itu, kayanya emang saya ada info yg kelewat. Harusnya dia emang muncul di kastel. Dan mengingat tim Ahran udah setengah mati ke sana, jd saya ilangin sekalian ... :')

      Delete
  2. Membaca tulisan ini sangat memuaskan, rapih, plotnya mengalir, karakter-karakter terasa memiliki jiwa sendiri-sendiri, pendeskripsian top, minim typo. (y)

    Tapi build up pas klimaks masih kerasa datar. <(")

    Saya kasih: 9

    ~Effeth Scyceid

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya ~

      Emang pas klimaks jga saya agak terburu-buru .... >_<

      Delete
  3. Po - Fatanir

    Narasinya sudah nyaman dibaca. Bagian awal secara alur dan storytelling sudah solid. Interaksinya juga cukup antar satu karakter dengan yg lainnya.

    Minusnya, Tamon Rah kurang dapat peran. Menaranya hancur terlalu cepat. Banyaknya drama dan konflik malah dengan rekan sendiri, sementara lika-liku dalam misinya sendiri agak kurang.

    Nilai 7.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya :)

      Soal Tamon Rah, emg kayanya saya agak terlewat. Dan karena OC saya sendiri udah mau pingsan, halangan-halangan emang saya mudahkan ~

      Delete
  4. Adegan pertarungannya begitu hidup dan narasinya begitu mengalir :)
    namun pada bagian klimaksnya masih belum greget

    Nilai : 9
    Thanks you
    OC: Shizuka Lilith Moselle

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya ~

      Emang pas ke akhir-akhir, saya agak terburu-buru. Mengingat banyak hal harus saya kerjain juga. Glad to see your comment :)

      Delete
  5. Wahahahahaha cinlok nih yee ;) #OI

    Duh saya suka banget adegan Ahran yang pelan-pelanj naruh hati sama Bu Mawar di sini. Pas baca di awal-awal saya gigling terus lihat kelakuan Ahran yang kayak remaja belasan tahun :)) Oh mungkin karena dia ada seorang Magician? Itu tuh, legenda kalau lelaki yang virgin sampai umur 30 tahun akan naik class menjadi Magician.

    #krik

    Ok masuk ke review. Ceritanya enak diikuti, narasinya mengalir, membuat saya tidak bosan membacanya. Penulisannya oke banget, sesuai EYD, saya juga tidak menemukan typo. Karaterisasinya dapet untuk setiap OC, walaupun mungkin porsi Bu Mawar sebagai OC karakter sampingan mendapat porsi lebih banyak daripada dua lainnya :))

    Pertarungannya tergambar dengan baik, saya bisa membayangkan situasinya dengan jelas. Walaupun porsi Tamon Rah di sini kurang terlihat ya? Skill Ahran untuk meledakan kastel pun kurang begitu jelas.

    Ok deh, saya kasih nilai: 9

    OC: Ernesto Boreas

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya ^_^

      Wah, saya kurang mudeng sama yg legenda penyihir itu #dasarauthorkurangriset

      Saya emang sengaja ngilangin Tamon Rah. Karena OC yg tersisa dah pada kecapean. Dan, apalagi monsternya 50 meter ... dah ga kebayang deh situasinya, hehe :)

      Delete
  6. I smell romance here... btw, narasinya dah bagus dan penggunaan font besar untuk memperjelas cerita ane jadikan nilai tambah buat mata ane yang dah pedih ngeliat pekerjaan di kantor (curhat) tapi, kayaknya alur yang agak terlalu cepat membuat cerita ini memiliki plothole dan beberapa pertanyaan trivial seperti

    "Loh, Tamon Rah-nya mana? Lagi main kartu ama monster lain mungkin." <--- abaikan :v

    yah... overall : 7+1(buat font besarnya) :v

    nilai : 8/10

    -Dhaniy Islaviore/Masqurade

    ReplyDelete
  7. Terima kasih reviewnya :)

    Tamon Rah main kartu? Bisa jadi ... sama si Troll itu ^_^

    Sbnernya sih kasian aja ama party yg ancur lebur gini. Jdi Tamon Rah saya ilangin. Anggap aja lg sibuk muter2 karena kalo OC dah sampe kastel, cast detectornya ga ada lagi. :D

    ReplyDelete
  8. Pemilihan diksi (hampir) bagus, tapi tetap cenderung bikin "rasa" deskripsi ceritanya terganggu. Ingat lho, pembaca ada banyak latar belakang, belum tentu istilah yang kamu tau sepemikiran dengan kami.

    Font. Kecilin napa? Gede gitu bikin kesulitan membaca cepat, karena baca lambat justru mengganggu jalannya adegan. minimal 9, maksimal 11 lah. Font yang kamu pake itu 18! (entah siapa yang salah ya, author atau petugas upload wkwk)

    overall point: 7

    Tristan Gospell - peserta yang telat mendaftar (tehee~)

    ReplyDelete
  9. Terima kasih reviewnya :)

    Font-nya klo di Ms. Word 12 (standar penulisan buat penerbit) ... ya mana saya tau di sini jd segede gini. Soal diksi ya, saya coba variatif sahaja :)

    Saya sendiri blm tau 'rasa' yg umum itu bagaimana. Saya sih enaknya gini ~

    ReplyDelete
  10. Teknisnya sudah memuaskan. Tadinya dikira ini bakal pakai narasi orang pertama, narasi di awal itu lumayan bagus X)))

    kekurangannya paling... bagian klimaks battle-nya kurang nendang. Biar saya kasihnya nilai 8.

    OC: Steele

    ReplyDelete
  11. Terima kasih reviewnya :3

    Yah, saya tau pasti byk yg ngeluh di akhir. Emg agak terburu-buru dan biar ga bejibun jml katanya :)

    ReplyDelete
  12. Doh ... di hp susah buat fitur 'reply' >_<

    ReplyDelete
  13. Ini fontnya berapa ya? Kok kayaknya gede amat

    Saya suka ini. Keliatan rapi banget, jadi secara teknis mungkin ga ada yang perlu dikomentarin. Entah kenapa karakter Ahran malah keliatan kayak pria lugu yang baru pertama kali ngerasai suka ke lawan jenis selama ngeliat dia sama Bu Mawar di sini #plak

    Sekalian, sama kayak yang lain, Tamon Rah-nya ke mana? Padahal berpotensi dimainin buat nambah drama

    Nilai plus lain karena BG si Ahran berasa sekali, bawa" setting Turki dan feel kayak film TV belakangan ini #apa

    Dari saya 8

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
  14. Terima kasih ~

    Yah memang saya sengaja soal romance itu :D

    BG Ahran ... ah, tepat sekali! Emang suka nonton sinet--maksudnya serial dr Turki, hehe :)

    ReplyDelete
  15. Ceritanya lumayan seru, penggambaran si "diriku" si Ahran bagus, alur ceritanya masuk,,,
    Interaksi antar karakternya juga udh klop/mantep,,,
    Tpi pas di antiklimaksnya msih kurang,,, si Tamon Rahnya kayak kagak ada, kmnain dia tuh? ^3^

    Tpi sisanya bguslah :)
    Itu yg bisa saya nilai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya :3

      Tamon Rah? Dia kesian ama Ahran. So, dia hilang sebentar #entahlah

      Oh ya, di sini harus kasih nilai pakai angka 1-10 ~

      Delete
    2. Oh iye lupa :D
      Nilai dri saya: 9/10 :D

      Delete
  16. Oh God... ini rapi banget... alurnya juga enak diikutin, dan beneran nyaman diikutin.
    minusnya hanya di ukuran font aja. kegedean. tapi ga jadi masalah besar XD

    Nilai dariku 9+++

    Bun The Bubble

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya :)

      Font besar itu ... kalo di Ms. Word sih 12, spasinya 1,5. Standar kalo ngirim naskah ke penerbit, hehe :D

      Delete
  17. Awalannya terlalu kepanjangan kak ('-')/ untuk cerita enak diikuti....

    NIlai 8

    OC : Sora Shirayuki

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya ~

      Soal awalan yg kepanjangan, emg disengaja. Ceritanya saya mau munculin sedikit drama di sini. Kalo di medan perang kan susah buat nampilin adegan drama, jd ya saya alihkan ke depan :D

      Delete
  18. Cerita udah mengalir dengan bagus........ well....... ukuran font perelu sedikit diperhatikan.. untuk EYD udah disikat habis sama om hewan >.> dan komentar2 lain juga sudah dicuri sama yang lainya... what the >.> mungkin kalo pertarungan dengan Tamon Rah yang kemudian entah hilang kemana itu sedikit dipanjankan, mungkin saya bisa punya bahan komen >.<

    point 7

    -Aria Maharani-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya ~

      Karena di atas saya udah jelasin alasannya ... saya cuma mau ngomong. Nanti saya akan baca dan mengulas prelim Anda ~

      Delete
  19. I actually appreciate the long opening!

    Narasi jurnal Ahran menarik dibaca, ngasih insight yang cukup berbobot buat ngintip masa lalu dia imo :') Narasinya rapi, flownya rapi, semuanya rapi, me likey! Bahkan drama yang sempat muncul di tengah pertarungan cukup enjoyable dan mengena, dan saya terutama terharu dengan interaksi...bu mawar sama Greg.

    #...

    Tapi Ahran sama Bu Mawar juga sweet kok, ehe.

    Minusnya saya agak ngebeo sama yang di atas sih. Tamon Rahnya menghilang, padahal kalo saya nggak salah baca penggunaan skill spesial juga nggak ditahan-tahan banget. Terus tindakannya Bu Mawar juga agak mengagetkan, tapi yah... =))

    Overall saya nggak banyak komplain buat Ahran. Ahran stay setronk dan semoga romansanya makin harum! 9/10 karena Tamon Rahnya main kartu #...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya :D

      Yah, memang cerita ini saya kumpulin terburu-buru. Bahkan saya males liatnya lagi karena udah kepepet SBM *curhat*

      Dan saya gak tau bakal munculin romansa atau nggak nanti-nantinya ~

      Delete
  20. Yup, ceritanya mengalir dengan asyik dan rasanya segalanya berjalan dengan alami... sampai Tamon Rah muncul. Oke, pengorbanan seseorang menunda dia sebentar, tapi setelah itu Rah sepertinya kebingungan sendiri seperti troll. She might be crazy, but she's no troll you know.

    Soal menara, yah sekali lagi ini termasuk cerita2 yang gambaran menaranya "diperlemah". Tapi overall, terlepas dari masalah-masalah teknis battle itu, karakter Ahran nampaknya cukup menarik untuk disimak sepak terjangnya di babak selanjutnya.

    Jadi, entah ini bisa mendukung atau tidak, skor realistisnya 7/10.
    Author: Andry Chang
    OC: Raditya "Vajra" Damian

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas ulasannya di salah satu kisah hidup saya ini :D

      Soal kesalahan teknis itu, yah, memang pengarang saya sengaja melakukannya. Saya sudah sangat, sangat di ambang batas waktu pertarungan ini. Mungkin jika iblis yang namanya Tamon Rah itu muncul sekali lagi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib saya jadinya. Bahkan saya menulis balasan ini, masih dalam keadaan tangan yang belum lengkap.

      Sekali lagi, terima kasih karena sudah membaca dan atas penilaiannya. Tanrı seni korusun~

      Delete
  21. Ahran sedap sekali ceriteranya, enak dibaca dari awal sampai habis. Hanya, penyelesaian konflik dirasa terlalu cepat. Padahal tidak apa-apa kalau di bagian menara masih diperpanjang lagi kesulitan dan solusinya.

    8/10

    - Ronnie Staccato

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya~

      Nanti saya balas berkunjung ^_^

      Delete
  22. Aaaaah, padahal sudah dikasih main course sama appetizer yang bagus!

    Penyelesaian yang terburu-buru jadi ingat sama entri saya sendiri orz

    Ya, saya sudah dapat insight yang bagus soal Ahran. Dan porsi karakter lainnya juga bagus.

    Overall, ini cerita yang solid dan memuaskan!

    8.9/10

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya~

      Ya emang buru2, waktu itu kebayang ujian dan udah takut kuota 10k-nya jebol. Alhasil, jadi begini :'(

      Oiya, terima kasih nilainya. Tp dibuletin aja jgn pake koma *kalo berkenan :D

      Delete
    2. Yep, karena ternyata tidak bisa kasih nilai dengan koma,
      saya bulatkan jadi 9/10 @v@

      Delete
  23. Penuturan rapih yang bikin cerita ini lancar dari awal sampai akhir, tanpa mengurangi suspense di bagian-bagian tertentu, terutama adegan pertarungan di gurun, dan beberapa adegan romance yang juga bikin saya degdegan alih-alih heart warming, contoh: pas Ahran lawan kumbang (dialog sama Ibu Mawar di bagian itu itungannya cemas-cemas cinta kan ya xD saya takut Ahran kenapa-napa di situ), = asal mula saya bakal kasih nilai perfek buat Ahran.

    Nilai saya 10 buat cerita ini.

    Tapi mungkin nanti, Ahran jangan buru-buru lagi. Soalnya sama kayak komenan di atas, ending kerasa lebih cepet dan gitu aja.

    Poin lain, soal karakterisasi, saya salut sama kemistri Ahran dan Ibu Mawar, Neeshma sama Mima juga pas porsinya.

    Adegan battle, nilai plus juga dari sini karena beberapa analogi unik yang dipakai.

    Oke, gitu aja. Inget, Ahran jangan buru-buru ke depannya, Ibu Mawar single kok #loooh xD

    Oc : Eophi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ulasannya, Eophi~

      Iya, nanti Pengarang saya janji mengusahakan setidaknya ada peningkatan di tulisan selanjutnya--jika lolos :D

      Delete
  24. AnonymousMay 13, 2015

    Ceritanya mengalir lancar. Sosok Ahran tampil elegan di antara 3 perempuan sebagai patnernya. Dan sepertinya Ahran jodoh yang tepat untuk Bu Mawar. Interaksi antar karakternya bagus dan adegan pertarungannya seru.

    Nilai: 8
    (OC: Tasya Freyona)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pertama, saya jodoh yang tepat untuk ... Bu Mawar? *bersemu--uhuk--tengak-tengok* XD

      (Lupakan saja)

      Omong-omong, terima kasih sudah mampir, Dik Tasya. ^_^

      Delete
  25. Sedikit cerita, saya dulu pernah sempet mau jadiin Ahran itu partner karena pengendalian apinya. Eh, ada yang sama kek prompt saya dengan 'mengadu' air dan api. Btw, saya gak tau loh Ahran fobia air ><

    Dapet sih karakter dari masing-masing karakter. Penulis pun sepertinya cukup riset terhadap masing-masing partnernya. Saya pendeskripsian Neeshma di sana. Saya juga suka pas dia kerasukan. Keren deh :3

    Tapi nganu, selain yang disebutin soal Boss Fight yang kependekan di atas itu, saya kok ngerasa scene Mima itu agak janggal, semoga hanya saya aja.
    Dia itu mirip Mima atau emang Mima.

    After all, great. Saya kasih 8. Oiya, satu lagi.

    Neeshma. Enggak. Bawa. Galon. =_=

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih reviewnya~

      Soal bawa2 galon itu ... abisan namanya padang pasir. Mana ada air? Kurang realitis kalo nemu mata air. So, saya akalin. Hehehe. Ternyata empunya OC agak protes xD

      Ya, kayanya Mima emang 'mirip Mima'. Saya jga ngerasa begitu.

      Thx dah mampir. Nanti saya mampir ~

      Delete
  26. Wah. Saya nggak nyangka Ahran seserius ini lho. Dibacanya Aharon? Karena bayangan saya hopeless romantic ngejar bu mawar, jadi kirain Ahran lebih flamboyan sedikit orangnya.

    Narasi show dan tell rapi. Backstory Ahran kerasa berarti lebih ke pembangunan karakter saat diceritain di awal yang pake sudut pandang ke satu, ditambah di tengah mendekati akhir cerita. Depresif juga ya.

    Strategi battlenya tertata. Ahran dibuat luka, jadi situasinya tambah mendesak. Si bu mawar ternyata ikut bertarung juga, ada pertaubatan(?) troll juga :]]] saran dikit, tulisan "troll" karena udah jadi nama jenis dan bukan proper noun jadi ga perlu pake awalan kapital.

    Khusus Mima manggil Aaron, dan langsung nyebut lightsaber ke pedang laser pemberian yang dipake bu mawar. Ini menarik. Mungkin karena emang di realm asal Mima pake bahasa inggris ya, jadi sulit nyebut ahran dan langsung bilang lightsaber. Si Mima sering ngegodain Ahran gitu ya :]]

    Satu lagi, saya suka penggambaran satuan meter oleh si maid. Jadi Ahran yang emang ga tau meter apaan, bisa ngebayangin tingginya Tamon Rah.

    Well done.

    8/10

    OC: Wildan Hariz

    ReplyDelete
  27. Terima kasih dah komen Kaka~

    Aharon itu nama aslinya. Kalo sama orang-orang di sekeliling dipanggilnya Ahran. Harusnya sih Harun, tp di zamannya kebanyakan Harun jadi dia ga mau namanya pasaran.

    Ahran emang serius, tragis, dan agak kaku. Dia tipe-tipe introvert, dan pernah jadi kepala peneliti. Jadi sifat flamboyan itu jauh sekali ._.

    Harusnya konflik dia di dunia sebelumnya gak dieksplor sekarang, maunya lebih ke battle. Tp syukur deh kalo memberi kesan tersendiri XD

    Saya pake kapital soalnya males ngitalic. Dan mungkin sarannya saya pake kalo lolos prelim dan ketemu monster baru Kaka ^^

    Hehe, makasih dah mampir ;)

    ReplyDelete
  28. Entri ini memikat sekali, saya suka penggambaran karakter Ahran.
    Interaksinya menarik, cara penulis menghubungkan asal-usul OC dan kosakata/nama juga jadi poin tambah.
    Agak kaget juga Bu Mawar bisa mengalahkan monster, saya pikir bisanya cuma melumpuhkan/menghalau saja, tapi mungkin monsternya yang lemah sih ya

    9

    OC. Apis

    ReplyDelete
  29. Selamat ya, Ahran lolos ke babak R1 :D

    ceritanya bagus, interaksinya dengan bu mawar unyu banget, walau menurutku interaksinya dengan yang lain agak kurang. apa ahran akan jadi mualaf untuk meminang bu mawar esoknya? :3
    battle-nya wah keren. tapi radak ga masuk akal aja sih, masa troll segede itu, bisa nahan serangan kometnya tamon lagi. ah, bagian terakhir waktu ngehancurin menara kenapa ga lebih dibuat detail lagi? apa karena prosesnya sama dengan saat ngehancurin goa serangga?

    ada beberapa typo, tapi dikit, jadi ga ngeganggu

    udah deh, nilaiku 8 (walau ini udah ga bakal diitung lagi sih)

    meong, Mike :3

    ReplyDelete
  30. Terima kasih untuk semua yang telah berkomentar dan memberi penilaian.

    Saran dan kritik yang ada telah diakumulasi oleh pengarang. Lantas, semua sedang diusahakan untuk terlaksana di babak selanjutnya.

    Maaf bila ada yang kurang berkenan dari kisah ini, terutama karena bagian akhir yang terlalu terburu-buru itu. Sewaktu pengarang menuangkan kisahku, dia sedang dibayangi ujian untuk masuk ke perguruan tinggi. Jadi beginilah adanya.

    Doakan saja agar ke depannya menjadi lebih baik dan berkembang. Akhir kata, salam hangat dan sejahtera~


    Dari Ahran, aku dipanggil Petapa namun sejujurnya aku nyaris tidak pernah bertapa

    ReplyDelete