30.4.15

[PRELIMINARY] RONNIE STACCATO - SEJAK KAPAN PENYERANG BISA MEMIMPIN?

RONNIE STACCATO - SEJAK KAPAN PENYERANG BISA MEMIMPIN?
Penulis: Adrienne Marsh




Aneh rasanya jikalau ada sosok yang layak disebut 'Tokoh Utama' di dalam dunia ini. Bocah lelaki imut berwajah muram? Ada. Pria Macho tampang garang? Ada. Gadis berpakaian aneh dan kekanak-kanakan wajahnya? Ada. Pegulat wanita? Ada. Kotak? Ada . Karena masing-masing sosok yang muncul dari balik cahaya itu serba ada, maka susah sekali mencari yang sebegitu mencoloknya untuk dijadikan tokoh maha utama.

"Selamat datang di Aflorea, wahai para petualang!"

Bukan, bukan juga wanita ini.


Ronnie Staccato berani sumpah demi iblis di dalam dirinya sendiri kalau sang wanita di atas balkon itu salah ucap. Dibacanya kembali tanda 'Selamat Datang Di Alforea' di balai kota.  Benar saja, berbagai macam pelayan berpakaian gaun hitam renda yang mengiringi ulah sang puteri tak membalas. Bahkan saat sebuah mikrofon muncul entah dari mana pun  tak ada dari mereka yang memrotes tingkahnya. Mungkin honor mereka sepadan dengan kebiasaan  si wanita yang mengaku Tamon Ruu itu.

"Kami mohon maaf atas kesalahan teknis barusan. Sekarang biar kujelaskan langsung alasan kenapa kalian ada di tempat ini!"Akhirnya ada juga yang mengusir perempuan tak kompeten itu, pikir sang pria berjas hijau zaitun. Tampaknya sang pengganti  lebih senior dalam hal ini, tak heran jika Ia sanggup mengusir wanita yang terlihat kikuk itu dan menggantikan perannya sebagai pembawa acara.

Seperti layaknya Perjanjian Lisensi Konsumen Akhir dalam produk kiriman, tiga per empat isi pidatonya tidak perlu didengar.  Saat ini sang lelaki berjas hijau zaitun sedang berada dalam sebuah game online berskala antar dimensi, di mana hal-hal yang berhubungan dengan dunia paralel merupakan urusan sehari-hari seorang penyihir di kampung halamannya. Battle of Realms namanya, dan pemenangnya boleh meminta apapun yang dia inginkan.

"Meskipun katanya ini game interaktif sih, tapi…" kilah Ronnie sambil mengibas-ibaskan tangannya ke sebarang arah. Tak kunjung muncul layar antarmuka sejenis menu utama, tabung hijau-merah penanda nyawa maupun angka-angka indikator.  Apa jangan-jangan ini bukan Mass Multiplayer Online Role Playing Game? Ah, barangkali mekanismenya seperti video game bertipe 'hajar-sana-sini'.

Sesaat kemudian lanjut sosok berperawakan tua yang menggantikan wanita di balkon itu menjelaskan, "Setiap peserta akan dikirimkan ke sebuah area khusus untuk babak penyisihan dalam kelompok. Setiap kelompok terdiri dari dua hingga empat orang." 

Wah, game keluarga rupanya.


***

Sekilat cahaya merobek angin hampa di tak jauh dari gemuruh seru di dataran hambar itu. Dari dalamnya, empat sosok manusia melangkah keluar. Meski berbeda-beda penampilan, namun di mata sang Ronnie Staccato semuanya  terasa sangat tak asing di dunianya sendiri. Tempat itu pun rasanya seperti gurun pasir pada umumnya meski hanya sedikit pasir yang menyelimuti tanah bebatuan itu. Belum lagi keramaian di balik gemuruh itu yang jelas-jelas adalah sebuah medan perang.

Dimulai dari Ronnie dan setelan hijau zaitunnya, pria berbadan tegap di sebelahnya memakai pakaian yang lebih mencolok lagi. Jubah hitam yang panjang nyaris melebihi kemeja dan celana panjang birunya berkibar mengibas debu yang menempel di bungkusan kain putih yang dipanggulnya. Kerudung jubah itu sedikit menyembunyikan wajahnya di gelap malam itu, menyisakan sisi rupawan berponi rambut hitam. Darimana rasanya Ronnie pernah melihat lelaki seperti itu? "Ah!" benar juga, dari novel fantasi yang booming di dunia Earnut akhir-akhir ini.

"Oh, lumayan juga selera  baju Tuan." Sahut lelaki dari ujung yang berlawanan. Seperti Ronnie, pria itu juga mengenakan setelan jas meski berbeda warna. Topi fedora yang coklat itu menutupi rambut ungunya yang panjang sependek. "Kenapa kita dikirim kemari, ya?" isi pikiran si rambut ungu pun terungkap menjadi pertanyaan klise nan wajib.

"Kau juga, err… uhh…" Jawab Ronnie yang mendadak termenung  memikirkan panggilan apa yang cocok bagi 'pemuda' yang menyahutnya itu. Suaranya sedikit feminim untuk ukuran laki-laki, namun terlalu maskulin bagi perempuan.

"Dyna saja cukup." Balas si fedora coklat sambil mengangkat topinya memberi salam.

Satu lagi sosok yang melangkah keluar dari portal cahaya itu memiliki kaki sekeras logam, mendengar dari kakinya yang bergemerincing bak mengenakan satu set baju zirah. "Sekarang kita sudah menginjak gurun ini. Permainan apakah yang akan kita hadapi?"

Sekejap pertanyaan itu dilontarkan si prajurit logam, seorang gadis keluar dari portal sebelum cahaya itu meredup, "Selamat datang, para kontestan." Sambut si gadis pelayan itu dengan wajah yang tampak ceria. "Seperti yang terjadi barusan, kalian berempat tak sempat mencari anggota kelompok… benar, kan?"

Wah, benar juga. Ronnie terlalu asyik mengetes macam-macam gestur sampai tak sadar berbagai macam makhluk yang kalang kabut mencari teman dan berangkat duluan. "Oh, kau yang sedari tadi tingkahnya aneh-aneh itu!" tunjuk si prajurit kaleng ke Ronnie, "Kebetulan,  baru saja aku ingin menghampirimu sebelum lomba keburu mulai." Mulutnya tak bergerak -- tak punya mulut malah -- namun nada bicaranya ramah sekali seperti lelaki kedai Pizza yang Ronnie kenal di dunia asalnya.

"Wah, seaneh itu kah? Ya ampun, malu sekali rasanya." Ronnie tertawa kikuk sambil menghampiri serdadu logam berjubah compang-camping itu, "Ronnie Staccato, senang berkenalan dengan- "

Mendadak "Tunggu!" pun diserukan oleh si kaleng, begitu bongkah-bongkah bebatuan melayang ke arah mereka. Ronnie hanya menoleh sejenak, ketika batu-batu itu melewatinya dengan mulus sampai menjauhi mereka berlima. Meski demikian ada satu atau dua bongkah yang pecah oleh sebuah pedang yang tahu-tahu muncul ditangan lelaki bertudung. "Senang berkenalan dengan anda, tuan robot."

Sepasang mata kuning bercahaya dari sang serdadu kaleng itu berkedip-kedip seolah pemandangan barusan tampak keren di matanya, "Salam kenal juga, aku Zarid Al-Farabi."

"Bajingan… kau sudah tahu aku akan menangkisnya, bukan?" Si kerudung mengertakkan giginya, seolah-olah diperalat Ronnie sebagai tameng hidupnya. Jawabannya hanya jempol teracung dari tangan kanan si jas hijau.

Mungkin tingkah mereka yang asyik sendiri sudah membuat sang gadis pelayan naik darah. Sambil menginjak-injak tanah gurun sampai debu pun naik ke wajahnya, ia membentak kawanan lelaki itu, "Dengarkan aturan mainnya dulu!"

Malang, bentak kencang pelayan itu membuat seekor makhluk di antara riuh rendah kejauhan itu mendengarnya dan memancarkan secercah cahaya horizontal yang melesat tajam. "Awas!" tak sempat berlari mengejar, si lelaki tuduh mau tidak mau harus menyaksikan gadis jelita yang baru mereka kenal satu dua menit itu terpanggang bola mata hingga ubun-ubunnya.

"Ah, wasitnya mati. Padahal lumayan cakep…" Celetuk Dyna yang nyaris menghabiskan waktunya menonton kecelakaan singkat itu, "…jadi… kita harus ngapain?"

"Kalian…" tiga pasang mata menuju si kerudung yang tahu-tahu menatap nanar mereka. "…Apa kalian sadar ada gadis yang baru saja terbunuh di sini?"

Ketiga lawan bicaranya hanya menatap heran pemuda berpedang itu. "Benar juga sih," mata Ronnie kini tertuju pada jasad si pelayan yang tergeletak di tanah. Tak lama, mayat gadis itu pecah dengan sendirinya menjadi serpihan-serpihan cahaya dari kaki hingga kepala, "jadi, ada yang tahu aturan mainnya?"

"Persetan dengan kalian, orang-orang berjiwa busuk." kutuk si tudung berpedang yang berlari sendiri ke medan tempur.

Tak jauh dari mereka, sekawanan batalion prajurit berbaju zirah sedang berjuang keras bertempur melawan berbagai macam makhluk tak terkatakan. Lebih tepatnya, serdadu-serdadu itu sedang melindungi diri dari bahaya-bahaya yang tak lama lagi akan memusnahkan mereka. Dentuman meriam yang meledakkan gerombolan tengkorak, teriakan seorang manusia yang disambar jauh oleh seekor makhluk seperti burung, "Aiiiiieeeeee!!!" sampai lolongan parau salah satu tentara yang dilumat habis oleh para prajurit kapak berkepala babi.

"Heeaaaaa!!" lompatan sang satria berjubah putih bersamaan dengan teriakannya tentu saja mencolok diantara infanteri yang bertempur di sana. Belum lagi jubahnya yang berkibar menangkal macam-macam bola energi maupun semburan api yang tertuju padanya. Ada seekor ular naga besar yang melesat dan hampir mencabik tubuhnya di udara, hanya untuk dibekukan dan pecah dengan sendirinya oleh pancaran es dari tangan lelaki itu.

Pendaratan si lelaki tudung begitu spektakuler sampai tanah pun meledak akibat pedangnya yang menebas berbagai macam makhluk sekali putar. Bak angin ribut sedang mengamuk, dari kurcaci buruk rupa hingga raksasa bermata satu tumbang oleh terjangan pilar-pilar es yang dijatuhkannya dari langit tanpa membuang-buang waktu.

"Bala bantuan sudah datang!" sahut seorang prajurit yang disusul oleh sorak-sorai serdadu lainnya ketika melihat keberanian sang kerudung putih. Bahkan, mereka terlihat makin bersemangat ketika tiga peserta lainnya juga menyusul, meski tak terlihat sekalipun niat ketiganya untuk membantu petarung tunggal itu.

"Lumayan juga lho, si kerudung itu." puji Zarid yang berjalan bersama kedua kontestan lainnya sambil mengocok set kartu yang tahu-tahu sudah di tangannya. Ronnie hanya tertawa kecil. Masa muda memang penuh gejolak, pikirnya.

"Tuan-tuan pahlawan! Syukurlah kalian kemari!" Salah satu dari batalion menghampiri mereka bertiga, "Mungkin kami takkan selamat jikalau teman kalian bertiga tidak datang kemari!"

Dyna si rambut ungu memicingkan mata ke langit, memandang bulan raksasa yang membayangi medan perang. "Sebentar, bulan itu dekat sekali..." terlalu dekat malah, pikir Dyna. Pemandangan bulan sebesar itu di atas mereka membuatnya curiga sejenak…

…dan tentu saja, kecurigaannya terjawab dengan retakan yang mulai terbentuk di bulan itu. "Oh, sial. Ada yang akan meledak!"

Lantas, Ronnie dan Zarid pun ikut mendongak melihat bongkahan bundar yang meretak semakin luas. Seperti prediksi Dyna, luar biasa ledakannya. Hujan batu yang diakibatkannya tak mengenal kawan maupun lawan. Ada beberapa prajurit malang yang tertimpa, namun ada juga makhluk-makhluk asing yang tewas karenanya.

Ronnie sendiri mendapati salah satu bongkah batu melesat kencang menuju dirinya. Alih-alih gentar, lelaki itu justru memasang kuda-kuda dan menarik nafas dalam-dalam. Kalau benar ini adalah video game tentu hal sekecil ini tak masalah, pikirnya.

Seketika batu nyasar itu dekat di wajah Ronnie, "Hiat!" tapak sepatu kirinya membalas gempuran benda mati yang ukurannya dua kali lipat tubuhnya. "Wah, benar rupanya." ujar Ronnie di saat muncul gelombang angin yang sangat besar akibat kuatnya benturan dari kedua sisi yang berlawanan itu. Sisa bongkahan kecil di pusat tendangannya jatuh begitu saja ke tanah, sementara daerah lain di sekitarnya hancur menjadi serbuk. Ternyata unsur video game yang melebih-lebihkan sebuah serangan sepele masih ada di dunia ini, batin Ronnie lagi.

Di sisi lain, ketika Dyna juga sudah mengambil sikap kuda-kuda untuk menghajar masalahnya sendiri, sekumpulan bebatuan itu tahu-tahu hancur dengan sendirinya. Tak perlu memikirkan jawabannya terlalu lama jika jelas sekali siapa yang mencuri kesempatan uji coba serangannya sendiri, apalagi dengan lembaran kartu-kartu yang berserakan di sekitar bongkahan yang hancur. "Hei, bung! Jangan rusak percobaanku!" demikian perintah Dyna kepada sang pelaku, Zarid Al-Farabi.

Di sisi lain medan tempur itu sang pria kerudung baru saja menyeret seorang prajurit yang nyaris diserang kawanan serigala kelaparan, "Kuharap kalian bertemu dengan lawan yang seimbang…" Diangkatnya pedang yang kini berlumur ragam macam cair instan dari korbannya itu dan berseru "…Isa Bodhia!" sebelum kembali menarikan tarian kematian di tengah-tengah ratusan lawannya dengan wujud yang diselimuti aura kebiruan.

"Pemuda itu kuat sekali, bisa  maju sendirian membasmi para monster itu…" puji tentara yang menghampiri ketiga peserta itu. Tapi raut wajahnya yang penuh kekhawatiran menyimpan maksud belum tersampaikan kepada si kerudung, "…namun ia terlalu gelap mata akan tujuan sebenarnya Yang Mulia Tamon Ruu mengirim kami."

Seketika hujan bebatuan itu berhenti, lenyap pula energi sang lelaki bertudung putih. Tubuhnya mati rasa sampai-sampai bersandar di pedangnya yang tertancap ke tanah sendiri sudah beruntung rasanya. Syukurlah ia sudah cukup menghabisi para makhluk ganas untuk membuat mereka gentar mendekatinya. Bahkan, tentara lainnya pun langsung merangsek maju setelah melihat aksi kepahlawanan si pedang es. "Kalian…" senyum kemenangan pun tercermin di raut mukanya. Memang, tak ada yang lebih menenangkan hati dari  melindungi yang lemah.

"Terlambat, T-Tamon Rah sudah bangkit!"

Mendengar pengakuan serdadu di dekat mereka, Ronnie dan kedua kenalannya yang hanya jadi penonton itu justru tersenyum lebar karena alasan lain. Pada akhirnya tak mungkin mereka sampai harus berkelompok untuk hal sesepele ini, bukan? Batin Ronnie.

Sinar menyilaukan terpancar dari langit di mana bulan itu pecah. Hilang sudah senyuman yang semula terkembang di wajah si lelaki bertudung putih. Apa permainan sudah selesai? Apa kita akan dikirim kembali ke lapangan itu setelah menghabisi sebagian besar musuh di tanah gurun ini?

Ia yang maju sendirian lantas menerima jawabannya dalam wujud sebuah bola api. Malang, lelaki itu tak mampu menghindar bahkan mengutuk kedatangan bola api penuh ketiba-tibaan yang membakarnya. Hanya jubahnya yang tertinggal, tapi sekujur tubuhnya didera siksaan api yang tak kunjung padam. Hingga jasadnya hangus, yang tertinggal hanyalah jubahnya yang kebal api.

Habis sudah kontestan pertama, muncullah musuh baru lagi. "Ternyata kuda itu target sebenarnya.." Kuda, karena hewan itu yang paling dekat dengan apa yang terlihat di mata bercahaya Zarid Al-Farabi. Estimasi matanya mengukur lima puluh meter tinggi makhluk itu, jauh melebihi ukuran makhluk-makhluk di bawahnya. Kepalanya bertanduk satu. Dan keempat kakinya terlihat seperti menara berjalan, menginjak tentara bahkan makhluk yang dikira temannya itu tanpa pandang bulu. "Ada saran untuk pekerjaan kita, tuan prajurit? Tak mungkin kami bertiga harus menghadapi monster sebesar itu." Kesadaran bahwa mereka tak lama lagi akan hancur lebur oleh prediksi hujan selanjutnya membuat Ronnie cepat tanggap akan tugas sebenarnya yang menjadi tujuan kedatangan mereka kemari.

"T-tidak mungkin kalian bisa membunuh Tamon Rah! Segera hancurkan kedua menara di utara!" Ronnie tak menyalahkan jawaban si prajurit berwajah brewokan itu kalau ucapannya terbata-bata. Apalagi melihat taring-taring luar biasa besar si kuda raksasa yang memberangus teman-teman seperjuangannya, prajurit itu dilanda ketakutan yang amat sangat. "Tate, Rosso, pandu tuan-tuan ini ke tujuan kita!" teriaknya kepada sepasang infanteri yang berlari tunggang langgang ke arahnya.

"Tapi, Jenderal! Teman-teman kita yang lain..."

"Tak apa-apa! Kami akan menahan mereka disini!" Tangannya gemetar, namun prajurit yang dipanggil 'Jenderal' itu memberanikan diri menghunus pedangnya sebelum kembali berpaling kepada ketiga peserta, "Hanya kalian harapan kami, Tuan-tuan! Cepat, hancurkan menara itu untuk menyegel Tamon Rah!"

"Mungkin agak sulit, Tuan Jenderal. Jelas kami tak sekuat pemuda itu." Ujar Ronnie sementara Zarid melihat takjub ke senyumannya yang tak kunjung hilang sepanjang babak penyisihan itu, "…tapi kita coba. Barangkali tugas kami disini akan selesai pada waktunya." Lanjut si jas hijau sambil melirik ke serdadu kaleng yang berubah raut wajahnya, atau lebih tepatnya delikan matanya itu.

 Jadi, sekarang giliranku yang kau peralat? Pikir Zarid seraya mendenguskan uap dari kepalanya.

***

"Luar biasa, Ronnie. Dugaanmu benar."

"Tuh apa ku bilang." balas Ronnie yang mulai tertawa mendengar jawaban kagum dari Dyna si jas putih. Bola-bola api kini menghujani tanah yang mereka tinggalkan, dan terjadi persekutuan dadakan dari para makhluk asing dan tentara kerajaan dalam menghadapi Tamon Rah, kuda raksasa bertanduk besar itu.

"Kekuatanmu Proyeksi Bawah Sadar juga kah?" tanya Dyna lagi.

"Siapa tahu? Mungkin kau benar." meski kurang memuaskan, tapi jawaban Ronnie cukup untuk membuat Dyna ikut tertawa. Beberapa orang tampak lebih menarik kalau dia penuh rahasia.

Tate dan Rosso yang memandu ekspedisi mereka bertiga hanya memandang heran akan ketenangan Ronnie. Mendengar nama Tamon Rah saja mereka sudah bergidik ngeri, apalagi ditawari misi bunuh diri seperti ini. Tapi mereka tak bisa menebak jalan pikir pria yang mereka tuntun ini dari raut wajahnya, seakan seribu satu rencana cadangan sudah tersedia untuk dipakainya kapan saja.

Tentu saja, bukan perlombaan namanya jikalau menghancurkan menara segampang ini. Meski tak ada Tamon Rah, yang kelima orang itu temukan justru medan tempur yang baru. Kali ini, tak ada bala bantuan yang sama sekali menolong mereka seperti para serdadu nun jauh di sana.

***

"Monster-monster ini tampaknya tak terkoordinir oleh Tamon Rah! Kita salah perhitungan, Jenderal!" Teriak salah seorang prajurit yang tak lama terlibas ekor Tamon Rah.

"Tampaknya para dewi berpihak pada kita! Ayo, jangan sampai makhluk ini mengejar pahlawan-pahlawan kita! Yeeeeaaaaaarrrrrtt!" Ayunan pedang sekuat tenaga dari sang jenderal ternyata sanggup menembus tulang kaki Tamon Rah dan membelahnya. Sekejap, ringkikan dari sang kuda raksasa yang memekakkan telinga seakan memecah langit gurun itu. Namun sorak gembira dari para tentara pun berhenti ketika mereka melihat sesuatu tumbuh dari punggung Tamon Rah.

"Oh, tidak…"

Tamon Rah memiliki sayap. Kakinya yang buntung pun tersambung lagi dalam sekejap.

***

"Maaf, kami hanya mampu mengantar Tuan-tuan sekalian sampai di sini." 'Sampai di sini' yang Rosso maksudkan ialah mayat berbagai macam makhluk tak terkatakan yang membentuk jalan menuju gerombolan monster yang jauh lebih banyak lagi. "Tampaknya kami takkan mampu menghabisi mereka semua, tapi hanya Tuan-tuan yang sanggup menghancurkan kedua menara itu dengan serempak." Tambah Tate sambil mengibas-ibaskan tangannya yang capai. Tak heran kalau kelima ratus serdadu itu mampu bertahan lama di medan tempur berbahaya seperti ini.

"Tak apa-apa. Aku bisa mengerti kalau kalian cuma tokoh pembantu." ujar Ronnie sambil mengeluarkan sebuah topi loper coklat untuk dikenakannya, "Kalau tidak ikut beraksi, levelku tak mungkin naik, bukan?"

"Topimu bagus juga." Puji Dyna.

"Aku lupa memuji fedoramu tadi." Balas Ronnie.

"Oh, di duniamu topi ini disebut fedora juga kah?"

"Mungkin dunia kita tak jauh berbeda!"

Tinjuan pertama Ronnie terbenam di wajah seekor infanteri kapak berkepala babi yang maju bersama teman-temannya. "Wow, video game ini luar biasa!" aku Dyna yang terlihat girang begitu tendangannya sendiri mampu mementalkan seekor prajurit babi yang lain.

"Kalian yang maju, aku bukan petarung jarak dekat!" seru Zarid seraya menyibakkan jubahnya. Senapan mesin enam laras dengan ajaibnya muncul berdiri dengan tumpuan kaki bersama dengan gemerincing selempang amunisi di atas tanah. Apa lagi kegunaannya jika bukan untuk menyapu berbagai macam makhluk di depan matanya dengan tembakan peluru-peluru kaliber berat yang tak mungkin dipakai melumpuhkan manusia biasa. Keterbatasan Dyna dan Ronnie yang tak mampu menangkap burung-burung berkepala ular di langit seratus persen diatasi berondongan senapan mesin sang tentara kaleng.

Ada lagi sepasang serigala yang mengepung Ronnie dari depan maupun belakang dengan tinggi yang sepantaran dengannya. Ketika mereka menerkam bersamaan, Ronnie menancapkan tinju kanannya ke rahang yang satu di depan. Dengan tangannya yang menancap langit-langit mulut kepala yang satu, bak godam Ronnie menggunakannya untuk menghantam serigala di belakang. Tak cukup dengan itu, ketika Ronnie melepas cakarnya ia menumbangkan monster di tangannya dengan serudukan lutut yang memecah tengkorak hewan itu.

Di sisi lain, Dyna masih berlari menyusul Ronnie yang sudah jauh menuju menara kristal yang satu dengan menggempur kawanan tengkorak di sisi lain. "Hei, kau yang namanya Zarid!" panggil Dyna.

"Apa?" meski tenggelam dalam penyapuan bersih para makhluk pengejar, Zarid mampu mendengar jelas teriakan si rambut ungu.

"Kau punya megafon atau sejenisnya!? Oper kemari!"

"Gampang!" sekali lagi Zarid menyibak jubahnya yang kali ini melemparkan sebuah megafon dan tepat sasaran ketika Dyna menangkapnya, "Untuk apa!? Aku hanya bisa mengeluarkan satu senjata acak lagi sekarang!"

"Lihat ini." Dyna yang melompat menangkap benda itu kini membidiknya ke kawanan tengkorak di bawah, "BUM!"

Gema "BUM" menyerakkan para tengkorak seperti debu di lantai yang sedang di sapu. Tak lama kemudian tinju Dyna kembali memberondong kawanan manusia ikan bersenjata gada hingga satu persatu senjata yang terayun justru direbut dan melumpuhkan pemiliknya sendiri.  

Ronnie sudah sampai di kaki menara lebih dulu sebelum Dyna. Kembali ia teringat akan pesan salah satu dari dua prajurit yang mengantar mereka,

"tapi hanya Tuan-tuan yang sanggup menghancurkan kedua menara itu dengan serempak"

"Begitu katanya…" lantas apa yang terjadi jika kuhancurkan lebih dulu? Ronnie pun mencoba menjawab pertanyaannya sendiri dengan serangkaian tinju dan tendangan biasa yang memecahkan menara di depannya. Meski monumen itu menembakkan sinar-sinar yang mementalkan setiap batu di sekitarnya, namun kecepatannya tak seberbahaya bola api Tamon Rah sehingga dengan mudah Ronnie menghindari semuanya. "Ternyata memang harus serempak." Ujar Ronnie sambil tersenyum begitu melihat menara kristal yang pecah itu kembali seperti sedia kala.

"Oh, sial! Kuda itu datang kemari!" pandangan Ronnie dan Dyna yang baru sampai ke kristal yang satunya lagi teralihkan ke Zarid yang segera memutar senapan mesinnya ke belakang. Seperti misil pemburu sihir milik kemiliteran planet asal Ronnie, Tamon Rah terbang melesat kencang menuju mereka bertiga dan mengangakan mulutnya, "Jangan kira kau akan sempat menembakkan bola apimu itu!" reaksi Zarid yang lebih dulu menembakkan senjatanya berhasil melubangi mulut hingga kerongkongan Tamon Rah. Tamon Rah yang sejenak tampak akan roboh tiba-tiba kembali mengepakkan sayapnya sebelum tumbang ke tanah, "Hancurkan Kristal itu, kalian berdua! Peluruku juga terbatas!"

"HIAH!" Tinju Dyna mengeluarkan gelombang tak kasatmata yang hanya menyentuh permukaan kristal menara yang satunya lagi, "Hei, Ronnie! Seranganku tak mempan terhadap menara ini!"

"Tinjuku mampu menghancurkannya! Gunakan segenap kekuatan fisikmu!"

Namun tinjuan yang dilancarkan Dyna hanya  meretakkan setengah dari menara itu. "Tampaknya memang pukulanmu yang tak manusiawi, Ronnie!"

"Masih ada jalan lain! Menara ini hanya tumbang oleh kekuatan fisik! Kau pasti tahu apa yang kumaksud!" seru Ronnie yang masih melangkah menghindari setiap pancaran sinar yang ditembakkan menara wilayahnya sendiri.

"Ah, peluruku habis juga. Dyna! Ronnie! Sudah belum!?" panggil Zarid yang kini kabur menuju mereka di saat Tamon Rah tumbang untuk ketiga kalinya.

"Aku tak sanggup menghancurkan menara itu sendirian!" sahut Dyna yang kini berlari menghampiri Zarid melewati tumpukan mayat-mayat monster yang berserakan di bawah kakinya, "Mungkin kau lebih sanggup melakukan ini daripada a- tunggu sebentar…"  sosok bertopi itu kembali memandang Ronnie tak percaya begitu mengerti solusi yang dimaksud sang lelaki yang kini melepas jas hijaunya dan menyingsingkan lengan bajunya itu.

"Permainan itu ada untuk dinikmati, Dyna!" Ronnie kembali tertawa di saat Dyna mengerti rencananya.

"Benar juga!" Senyum Dyna Might berubah menjadi seringai begitu ia berlari melewati Zarid menuju target dari solusi Ronnie. "Se-sebentar, kau bercanda kan!? Tak mungkin kau akan menghabisi kuda itu sendirian!" Kalau saja Zarid punya mulut, mungkin mulutnya akan menganga besar sekali.

"Siapa bilang aku akan membunuh Tamon Rah yang maha hidup? Benar bukan, Ronnie?" Langkah Dyna semakin kencang dan tatapan matanya semakin yakin. Dengan bangkitnya Tamon Rah dan raut mukanya yang terlihat muka, kesempatan emas yang menentukan akhir pertempuran ini takkan ia sia-siakan.

Ronnie pun ikut berlari menyusul Dyna dengan kecepatan yang lebih superior. "Zarid, tembak matanya dalam hitunganku! satu…"

"Ah, terserah. Aku ikut saja!" sebuah tongkat besi yang berukuran semester diacungkan Zarid menuju kuda bertanduk yang nafasnya semakin memburu menerjang mereka itu. Tongkat itu sekilas terlihat seperti sebuah tombak, namun ujung bilahnya berbentuk runcing melengkung.

"Dua…"  Kini Ronnie yang lebih dahulu sampai di kaki Tamon Rah dan menjambak bulunya untuk memanjat sedikit demi sedikit hingga sampai di paha kuda itu. Sekejap Tamon Rah meronta di udara atas tamu tak diundang di atas kepalanya itu sampai kecepatan terbangnya pun melambat, namun genggaman tangan Ronnie sangat erat untuk mencegahnya terlempar dari kekuatan sang kuda gila Tamon Rah.

"Tiga!"

Bilah melengkung itu terbang lepas dari tongkat Zarid dan menancap bola mata Tamon Rah seketika mulutnya menganga lebar. Tak ayal, Zarid langsung melompat terjun ke samping dan nyaris terkena bola api dahsyat lawannya sampai-sampai terpental akibat tekanan tinggi yang dihasilkan dari ledakan bola api itu.

"Dyna, tancapkan tongkatnya ke menara sasaranmu!"

Tongkat yang melayang akibat ledakan itu dilontarkan melalui tinju gelombang tak kasatmata Dyna yang gagal menghancurkan menara barusan. Meski tidak mempan terhadap monumen yang kebal sihir itu, kekuatan gelombangnya mampu memperkuat tongkat kecil itu untuk menyeret kuda raksasa yang dikaitnya. "Sekarang, Ronnie!" seru Dyna.

Memanfaatkan momentum kencang Tamon Rah yang ditarik kail besar Zarid di udara,  Ronnie pun terjun dan melesat sekencang peluru menuju menara yang satunya lagi. Selagi menara kedua menembaki tubuh Tamon Rah tanpa pengaruh apa-apa, Ronnie yang meliuk-liuk di udara luput dari tembakan menara kristal tujuannya.

"Tuntas sudah." Ucap Ronnie begitu senyumnya ikut terkembang menjadi seringai mengerikan seperti Dyna.

Begitu tubuh Tamon Rah yang terlontar dari tongkat Zarid menabrak menara tempatnya tertancap, demikian pula roboh menara yang satunya lagi akibat tinjuan keras Ronnie Staccato. Kontras dengan menara kedua yang pecah, menara yang menerima pukulan Ronnie seakan berubah menjadi serbuk ketika ia menembus monumen itu. Habis tak bersisa.

Tanpa adanya parasut, Ronnie hanya merelakan dirinya yang terjatuh sambil menonton kuda raksasa yang merepotkan itu diselimuti bongkahan batu yang baru dan perlahan mengapung ke angkasa.

"Fiuh!"

Seakan ada angin yang menghambat kejatuhannya, Ronnie mendarat dengan mulus di atas serbuk-serbuk kristal yang hancur lebur. "Dimana jasku?" demikian ucap Ronnie yang memandang ke sekelilingnya. Oh ya, topiku juga tertiup angin… ya sudahlah, batinnya juga.

"Ini!" Ronnie menangkap setelan jasnya yang dilempar oleh Zarid.

"Dan tampaknya memang tujuan utama kita dibawa kemari untuk mengurus makhluk ini ya..." Dyna mengibas-ibas debu kristal yang juga menempel di bajunya, "Bukankah seharusnya kita dikirim kembali ke pusat kota itu?"

"Yang lebih membingungkanku…" kembali Ronnie memandang ke langit begitu tampak pilar-pilar cahaya yang turun menjemput mereka bertiga dan salah satu mayat hangus yang jauh dari mereka itu,

"…kenapa kalian bisa berbicara dalam bahasa Stallza?"

Mungkin pertanyaan Ronnie akan terjawab ketika mereka sampai ke lobi utama game online ini.

41 comments:

  1. Oh. Baru saja aku membaca Aragon dan ia bahkan tidak disebut namanya. -_- sudahlah. Tampilan teks masih kurang... dialog masih sedikit membingungkan menurut saya, dan ada masalah penggunaan huruf kapital di awal kalimat, baik setelah titik atau koma. saya masih agak kecewa dengan penggambaran karakter Aragon (yang agak jauh OOCnya) dan 'evilness' dari MCnya.. jadi saya beri anda nilai 6/10.

    -Aragon Ferden

    ReplyDelete
    Replies
    1. aa sumimasen deshitaaaa m(_ _)m tapi idealnya first half justru buat porsi seru-seruannya Aragon sebelum lilinnya redup :))) maaf kalo rada OOC ketika saya kelewat fokus sama apa yang dia ngga suka.

      Delete
  2. Ini tim komposisinya kayak 3 neutral evil dan 1 muscleheaded idiot ya #dihajar

    Yah, emang kasihan juga sih satu karakter bahkan ga disebut namanya sampe akhir dan terkesan mati tanpa kontribusi apa: ke plot... Tapi karena maid juga dapet nasib sama, rasanya kematian itu played for laugh aja di entri ini

    Ada perasaan beda sama tulisanmu yang full-komedi, mungkin pengen ngimbangin sama aksi juga ya di sini, tapi masih nanggung (saya ga bisa jelasin gimana). Kendati demikian, tulisan ini tetep satu dari beberapa yang gampang dan lancar dibaca buat saya.

    Seneng ngeliat Dyna sama Ronnie kayanya emang klop satu sama lain. Ronnie lebih keliatan kayak tipe yang snarky ya, sementara Dyna di kepala saya tipe yang masa bodo.

    Saya kasih entri ini 8, plus satu karena bisa ngolah Dyna in an acceptable way. Jadi nilai akhirnya 9

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, formatnya action-comedy sekaligus ga bisa nungguin ronde 1 buat ngejelasin karakternya Ronnie itu pastinya gimana. Atau mungkin karena unsur komedi yang rasanya ditenggelamkan oleh porsi aksi :3 . Dinamika Dyna dan Ronnie dapat ilham dari black lagoon, dimana penjahat beda faksi yang saling nggak ngurus pun bisa sama-sama kompak kalo urusannya sama. :)) makasi buat nilainya~

      Delete
  3. pake dunia game juga rupanya.

    Ini aku agak bingung bacanya, apa lagi pas perkenalan karakternya. cuma inget nama aja bukan tampilan si karakter. Dan terus itu satu OC kasian amat, dia yang maju duluan dan sampe akhir namanya gk di sebut. Bahkan di sini yang jadi fokusnya cuma 3 karakter itu aja.

    Sekilat cahaya merobek angin hampa di tak jauh dari gemuruh...
    Baca kalimat di atas, rasanya nggak perlu ditempatkan kata "di" di sana.

    ada satu typo kayaknya. tuduh, seharusnya tudungkan.

    Nilai 7

    ReplyDelete
    Replies
    1. OC-ku, Reviss Arspencer

      Delete
    2. IYA TYPO TUDUH ITU FFFUUUUUUUUUUUU

      di juga editan yang belum kehapus :'((((((( man masih ada yang kelewat rupanya.

      ah, kurang karakteristik unik masing-masing OC yaa....

      Delete
  4. hmmm, saya ngerti kenapa Ara bingung dengan perkenalan, dan mungkin narasinya juga. Secara yang saya rasakan juga kurang mulus, dibanding dengan tulisan H atau komedimu, nuansa yang kamu gunakan di sini beda (kebarat2an apa yha, saya ga begitu paham) dan kurang tereksekusi dengan baik. Alurmu kurang halus, deskripsinya juga, mereka serba tiba2 imo, tiba2 di sini, tiba2 begini, yah, emang saya sendiri jg kadang malas jelasin, tp menuntun pembaca itu salah satu tugas penulis, kan? Apa boleh bikin gitu deh pokoknya xD
    Secara karakter memang 3 OC itu yang tampak dominan, dan itu karena si Aragon mati duluan, makanya ga kena spotlight gede. Sebenarnya bisa kamu akali lagi perannya, mungkin dibikin jadi playable character alih2 auto-scene di mana dia maju nyerang, lihat kekerenannya, bawa 1 prajurit buat lanjutin plot, dan maju untuk mati. Well, not really matter tho, tapi sebenernya plot kamu bisa dikembangin lagi loh.
    Hmm, soal typo sama EYD bisa saya komentarin sih, tapi saya kasih buat yang di bawah ane aja (alias lagi males copas), pokoknya ada di bagian tanda titik koma di dialog tag.
    Overall sih lumayan, walaupun awalnya menyendat, tapi part terakhir lebih enak diikuti.

    Skor 7

    OC: Vi Talitha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uaarrrgghhhh Kung Fu tanda baca dan elipsis saya masih jadi misteri yang belum terpecahkan... semoga saya lebih hapal lagi akan penggunaanya.

      sankyu : 3

      Delete
  5. AIEEEEE!!!

    YEAAAAART!!!

    Sungguh, saya mengharapkan dua catchphrase ini lebih banyak dengan narasi ala pembegal. Saya baca narasi serius di sini rasanya jadi tanggung gimana gitu. #plak Tapi adegan pertarungannya masih terbilang seru sih.

    Nilai : 7

    OC aye : Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. AIYEEEEEEEEEEEEE saya gabakal senekat Pendekar Pembantai Begal laaaa mz. Berarti humor referensi yang tanggung juga hit and miss ya :3

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  6. Nyasu agak mengecewakan performanya. :s
    Padahal plot, pembawaan, dan kerapihan udah bagus.
    Tapi ada yang kerasa kurang... something.

    Aku kasih 7, deh. :D

    ~Effeth Scyceid

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan jawaban yang sama, Tanggung :') semoga bisa ketemu dan dijelaskan lebih elaborate lagi. 39~

      Delete
  7. ngakak baca nih cerita *guling-guling,,
    ngenes banget tuh aragon sama maidnya, mereka udah bukan lagi tim namanya. cuma gerombolan player yang terpaksa kerjasama. hihi

    duuh bingung mau komentar apa lagi, udah baguslah untuk ceritanya.. tapi masih ada beberapa typo dan kurang rapihnya dalam pengetikan..
    terus agak bingung sama karakterisasinya juga sih ya bukan berarti gak nangkep kepribadian mereka gimana.

    kasih nilai : 7 aja deh , hehe

    -Khanza M.Swartika-

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu yang pengen dieksplor, gimana mimpinnya kalo timnya dibentuk dadakan sementara orang-orangnya cacat individualis pula. :)))))

      dalam karakterisasi juga mungkin jadi salah satu faktor mengganjal yang dimaksud sama temen-temen di atas kali ya :<

      Delete
  8. YAY!!!

    Ada yang bunuh si maid di awal pertandingan dan membiarkan para OC mencari tahu sendiri aturan mainnya!

    Itu sebuah revolusi Nyas! Revolusi!

    Tapi revolusi itu sayangnya kurang dilanjutkan di bagian-bagian berikutnya. Adegan battle yang 'terlalu ramai' karena fokusnya pindah-pindah dari Ronnie ke Dyna, lalu ke Zarid tanpa jeda. Lalu ... sebenarnya typonya minim sih hanya saja ada typo fatal seperti ini :
    "sebuah tongkat besi yang berukuran semester."

    Tadinya saya mau kasih nilai 9 tapi gara-gara typo fatal itu ... jadi 8 sajalah. >.<

    *PEACE!*
    OC : Tan Ying Go

    ReplyDelete
    Replies
    1. "Tongkat Enam Bulan" kayanya nama yang bagus buat jurus sakti :') siaul itu typo.

      Dari penilaian yang ini, kelihatan progress yang dirasa "tambah lesu" di akhir gitu ya :>

      Delete
    2. "Tongkat Enam Bulan" kayanya nama yang bagus buat jurus sakti :') siaul itu typo.

      Dari penilaian yang ini, kelihatan progress yang dirasa "tambah lesu" di akhir gitu ya :>

      Delete
  9. Seperti biasa, ada kalimat-kalimat panjang yang jadi deskripsi kejadian, tanpa koma, tanpa jeda, sampe bikin nafas habis bacanya. hahahahahah

    by the way:
    1. berapa kali mau nyebut jas hijau jas hijau jas hijau. variasi nyaaas. daripada begitu, rasanya lebih bagus pake nama langsung aja nyebutnya.
    2. jadi paham kenapa yang nulis aragon marah. hahahahahahaahahahah
    3. tate roso....rasanya pernah baca ini...dimana ya...
    4. fungsi zarid terpakai dengan jelas (y), ini harus lanjut jadi persahabatan antara ronnie and dyna biar plotnya mantep di ronde-ronde berikutnya.
    5. ga nyangka ada yang make ide "Buat bossnya menghancurkan benda pemanggilnya". aye pengen pake ituuuu.


    7/10 nyas! Bukan karena battle yang kurang, bukan karena typo, tapi karena dua hal yang ga banyak tergambar di sini, setting wilayah dan penokohannya terlalu sedikit.

    semoga lolos!

    _PITTA N. JUNIOR bertanya, siapa lelaki penjaga kedai Pizza di dunia Ronnie? _

    ReplyDelete
    Replies
    1. Penggambaran terlalu sempit untuk arena semegah 'perang' berarti ya. Karakterisasi juga :')

      Delete
    2. Penggambaran terlalu sempit untuk arena semegah 'perang' berarti ya. Karakterisasi juga :')

      Delete
  10. Wkwkwkwkwk, Si Ronie mengibas-ngibas lengannya buat nyari menu...
    Ini bukan SAO, bukan Accel World... dan yang jelasl bukan game keluarga :v

    Aiiieeee!!
    ini catchprhase ya? soalnya saya lihat di entry Sun juga begitu.
    ._.

    Dyna dan Ronnie di sini jadi sohib juga ya.. (saya abis baca entry Sam)

    btw, bahasa Stallza itu kayak gimana sih?
    ._.

    Awww... sepertinya ide buat membunuh maid, ngancurin menara pake si Tamon Raah udah keduluan sama Nyasu..
    :'D




    Point : 8

    Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kita kan juga tiba-tiba ngerti bahasa Stallza <(")

      (Bahasa Italinya dunia Ronnie sih, tapi terimakasih Tamon Ruu yang menerjemahkan)

      :D sankyu deh

      Delete
    2. Kita kan juga tiba-tiba ngerti bahasa Stallza <(")

      (Bahasa Italinya dunia Ronnie sih, tapi terimakasih Tamon Ruu yang menerjemahkan)

      :D sankyu deh

      Delete
  11. Pembukaannya bagus. Memasuki bagian berikutnya agak menyeret-nyeret
    "Topi fedora yang coklat itu menutupi rambut ungunya yang panjang sependek ..." uh, o-kay?
    Ada tombak sepanjang semester ... oke, ini seperti otokorek belum dimatikan :v

    Ceritanya lumayan padat dan fokus pada Ronnie-nya. Cukup bagus juga, sih. Cuma, ya, itu tadi. Naik turun kualitasnya.

    Nilai tambah pribadi dari saya karena ada kedai di sana :v

    Nilai akhir: 8

    OC: Geiger Schwarz.

    ReplyDelete
  12. Walaupun kau klaim ini action-comedy, ini terasa garing. Kecuali kalau itu memang tujuanmu, kau berhasil.

    Pertempuran di sini sekacau narasinya, jelas terlihat kalau ini dikerjakan dengan terburu-buru.

    Tata penulisannya juga agak berantakan, terutama saat dialog yang berlanjut ke dialogue tags.

    Meski begitu, saya cukup suka kerjasama antar Zarid, Dyna, dan Ronnie.

    Nilai 7

    Sincerely,

    Supreme Commander of Midgardian Starfleet, Duchess of Ostrogoth, Caitlin Alsace

    (OC created by Zoelkarnaen)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Rada kacau karena fokus pindah-pindah kah :')

      Delete
    2. Yep, juga karena kau kehilangan sense of setting milikmu sendiri di sini.

      Sebenernya fokus pindah-pindah pun tak masalah kalau kau mau menambah kesan chaos di cerita ini, tapi setidaknya lakukan dengan halus biar karakter yang tidak sedang dalam fokus bisa sesekali muncul dan bertindak. Jadi mereka yang tidak sedang dalam fokus tidak terkesan sedang dalam keadaan standstill dan menunggu giliran.

      Inilah kenapa saya nulis pakai PoV 1, chaos dari PoV 3 itu susah, terutama kalau mau pindah-pindah fokus.

      Lalu soal sense of setting:

      Para karakter saling berteriak dari menara masing-masing di tengah peperangan, seolah mereka hanya terpisah jarak 5 meter. Bukankah kedua menara seharusnya di sayap kiri dan kanan kastil?

      Kecuali kalau mereka memiliki semacam radio, atau settingmu mengambil MMO-like game dengan party chat, long distance shout agak kurang masuk akal.

      Semoga penjelasan saya barusan masuk akal, karena saya memang tidak terlalu ahli dalam menjelaskan.

      Delete
  13. WALALALALAL ACTION

    Menumbalkan Aragon ini kesannya jadi inget entrinya Engkong Kumirun, tapi dengan porsi spotlight lebih banyak.

    Aksinya boleh lah, cuma seperti kata kawan-kawan, sepertinya tanggung. Mungkin antara action atau komedinya harus ada satu tingkat yang lebih dinaikkan biar kerasa.

    8/10, untuk penggunaan Zarid yang apik.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  14. Bentar saya mau ngakak dulu

    AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA

    Ciri khas nyasu masih keliatan, ini keren dan saya gabisa protes banyak. Cuma kaget aja karakter Ronnie beda dari yang saya bayangin. Saya mau ngasik rasa kasihan sama Aragon, tapi kok nggak bisa ya?

    Nilai : 10
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
  15. Ini ada dendam apa ya dengan Aragon? Hayo, yang jujur sama Ibu, dasar murid nakal~ #grin

    Secara penulisan, sudah lancar. Tetapi terbacanya agak sulit, kalau untuk Ibu. Dua tokoh, Dyna dan Ronnie, karakterisasinya agak tumpang tindih. Cenderung sama, sehingga agak sulit melihat perbedaan di antara mereka berdua, terutama dari dialog. Itu menurut Ibu.

    Penataan adegannya juga kurang mulus. Kurang fokus. Coba runutan aksinya lebih diperjelas lagi.

    Dan jangan minta Ibu untuk mengoreksi kesalahan EYD dan tata bahasa. Silakan konsultasi ke "orang yang lebih pantas", dan kamu akan mendapatkan segudang omelan.

    PONTEN 7

    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
  16. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. This comment has been removed by the author.

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete
  17. Mari melunasi janji review #whocaresanyway?

    Ng, paragrafnya banyaK yang panjang. Bukan kuantitas barisnya, tapi lebih ke ... paragraf itu bisa dipecah jadi beberapa paragraf. Terus pola kalimatnya ... yah, gitu deh. Saran saya, coba usahain kalimatnya jangan lebih dari 10. Dan lebih baik pake titik daripada koma.

    Bukannya terlalu sulit dicerna, tp mendingan kalimat sama paragrafnya dibuat pendek-pendek biar orang bacanya jangan lebih dari satu kali. Biar cepet paham. Karena dalam banyak kasus di entry ini, saya agak ribet mencerna.

    Yah, ini banyak aksinya--walau belum memberi kesan 'wow'. Saya menuntut lebih banyak drama yang menyentuh. Tapi bukan sejenis Aragon tewas sia-sia. He-he, saya nggak heran sih pengarangnya marah. Lha, disebut namanya aja nggak #Ahran pun akan marah kalau dibeginikan XD

    Oke ... akhirnya Ahran titip 7 buat Ronnie.

    -Dari Ahran-

    Setelah introspeksi, ternyata paragraf sendiri lebih panjang XD

    ReplyDelete
  18. Bruh... i don't even...

    I..ini.. Tata keasikan bacanya.. Tata kok jadi suka banget liat Ronnie baku hantam disini ya.. Ehh.. Ronnie apa cowok rambut violet ya? Tata agak bingung.. bodoamat ah yang penting ganteng..

    uuhh.. Tata gak sempet liat mukanya si cowok bertudung.. ganteng nggak? ganteng nggak?

    aaahh.. pengen ngasih 10.. Tapi karna papa Nyasu keknya masih giting gegara my immortal.. jadi saya kasih 9..

    Uuhh.. Tata pengen ketemu > , <

    -Fath'a Lir

    ReplyDelete
  19. Nyas, ane agak bingung ama karakter apa yang melakukan apa di awal. pas dibaca ulang setelah baca paksain ampe abis baru bisa nikmatin. jadinya banyak skim... kayaknya lebih enak udah perkenalan nama di awal jadi bisa gonta-ganti pake nama dan kata pengganti sih imo.

    tapi pembawaan cerita sama penulisannya kece sih, jadi bisa dinikmatin aja pas pertama baca walau bingung.

    knowing this is you, saya berharap lebih...
    and now, final verdict~
    ===
    Am i enjoy it? (5/5)

    Is this excite me? (4/5)

    Am i skim some part? (-2/-3)

    Extra point (1/1)

    total score: 8/10

    salam~

    Avius Solitarus

    ReplyDelete
  20. Anjir sumpah demi iblis. Itu first word yang secara subyektif bisa jadi nilai tambah XD

    Ada bagian Eula yang bikin sayang ngakak, kampret XD

    Game keluarga! XD

    panjang sependek < enggak ngerti, sumpah.

    Ummm…. Ini sering banget. Kepilih gegara alasan ‘lelet’.

    Blablablabla dan blah. Aduh, narasinya agak kacau ya, banyak beberapa penggalan kata yang berasa banget, yang cerita naratornya, bukan mengajak pembaca seakan menonton film tanpa narrator.

    Sebenarnya poin plus di sini ada di celetukan-celetukan naratornya. Untuk ide plot sendiri, kesegarannya masih 50%.

    Meski Dyna digarap dengan baik, tapi bahasanya agak nyeleneh, kayak ga ada bedanya sama Ronnie. Entah kenapa saya lebih suka Ronnie dan Dyna di entri Alayne (?)

    Satu yang bisa saya banggakan di sini adalah teamworknya.

    Endingnya kayak ada sfx “Doengg!” gitu. Aduh, Ronnie radarada lemot yak :v /

    (-1 karena saya skim beberapa kali)
    (-1 buat EYD dan tatabahasa)
    (-1 karena dari awal saya udah bingung, disebut 4 orang, tapi kok yang kerasa Cuma 3. Dan saya Cuma nemu 3 nama :3)
    Nilai : 7

    -Eumenides/Puppet-

    ReplyDelete