30.4.15

[PRELIMINARY] VI TALITHA - AWAL DARI KEHANCURAN

VI TALITHA - AWAL DARI KEHANCURAN
Penulis: Lamiel


<1>

"Aww!"

Jatuh terduduk, pantat dan perutku terasa sakit sekali.

"Uuuuuh…"

Kepalaku juga terasa pening, seperti sehabis naik kapal yang terombang-ambing ombak karena badai besar. Mual sekali rasanya, membuatku refleks memegang dadaku seolah hanya dengan mekakukan itulah aku mampu menahannya. Ahhh, syukurlah terhenti. Malu juga kalau aku muntah sembari dilihat banyak orang seperti ini.


Eh? Banyak orang?

"Di mana ini?" gumamku penasaran.

Aku tidak ingat dengan apa yang baru saja terjadi. Setelah aku menerima undangan aneh itu, tiba-tiba saja aku merasakan pengalaman tak enak tadi. Ditambah, sekarang aku berada di tempat yang sangatlah asing.

Aku juga tak begitu yakin di mana ini karena lautan manusia dan beberapa makhluk aneh menghalangi pemandanganku. Tatapan mereka tertuju ke arah yang sama, seperti tengah melihat atau menyaksikan sesuatu. Oh, aku bisa mendengar seseorang berbicara, namun tidak begitu jelas karena kepalaku masih terasa pening.

Hmmm, sepertinya aku harus berdiri.

"Ah!"

Aduduh! Kenapa harus sekarang, sih?! Tadinya aku kira karena efek jatuh saja makanya perutku terasa sakit, tapi ternyata tidak. Uuuh, sakit sekali! Ini bukan sakit perut biasa, ini adalah mens—

"Pemenangnya akan mendapatkan apapun yang dia inginkan!"

Seraya memegangi perut, sekarang aku bisa mendengar jelas seorang wanita berkata demikian, nadanya sedikit ditekan. Membuatku teringat kembali kalau aku belum mengenakan sesuatu di bawah untuk menekan rembesan mens—

"Kalau aku mau cintamu boleh ngga mba?"

"Gak!"

Bisa kulihat seseorang yang mengenakan jas putih dan berambut ungu berjalan mundur dari barisan depan, wajahnya tampak suram. Membuatku teringat kembali kalau tidak buru-buru aku tahan, rok biruku pasti bakalan sepucat wajah orang itu. Karenanya, aku bergegas membuka ranselku dan mencari-cari pembalut yang ternyata lupa kumasukkan ke dalamnya.

"Aaaah! Cerobohnya aku!" seruku dalam hati.

Aku hanya bisa menghela napas, sedikit sebal. Bisa-bisanya aku lupa sama hal penting seperti ini! Sampai kapan aku harus duduk di sini? Ah, iya, sebaiknya aku minta tolong orang lain.

Melihat ke sekitar, aku menemukan seorang wanita yang mengenakan topeng berbulu merak. Dari semangat yang ada di matanya, aku merasa dia cukup periang dan optimis. Ya, mungkin dia juga baik hati dan mau menolongku.

"Maaf, Kak. Apa Kakak punya—"

Tapi sebelum aku sempat membuatnya menengok ke arahku, tiba-tiba saja suasana menjadi ramai. Orang-orang mulai berdesakan dan menjauhkan wanita bertopeng lucu itu dariku. Suaraku juga seperti ditelan oleh angin laut, membuatku hanya bisa menghela napas dalam rasa kecewa.

"A~ah! Andai saja ada yang punya pembalut," gerutuku kesal.

"Aku punya."

"Eh?"

Sebuah suara yang tercipta tepat di depanku berkata demikian. Membuatku menengadah. Melihat sesosok wanita serba putih yang tersenyum hangat padaku.

Bak malaikat yang jatuh dari surga.

Sang penyelamatku.

Pengabul harapanku.

Bagaikan lukisan indah yang menghiasi gereja, aku mampu membayangkan pertemuanku dengannya. Benar, layaknya aku tengah berada di kejauhan, melihat diriku yang terduduk mengangkat dagu dan menatap seorang dewi yang mengulurkan tangannya kepadaku. Berhiaskan cahaya mentari, berselimutkan angin lembut yang mulai terasa sejuk.

"A-Ah… Uuhh…"

Aku kehabisan kata-kata, sejenak tak mampu mengatakan apapun. Namun tanpa mengucap satu kalimatpun, wanita itu mendekatiku lalu berbisik. "Tapi jangan di sini, kamu pasti malu."

Aku bisa merasakan napas wanginya yang menggelikan telinga. Semerbak aroma buah persik yang manis menambah kesegaran dari dirinya keluar tiba-tiba ketika rambut berombaknya terayun ringan di hadapanku. Ahhh, rasanya enak sekali. Beruntungnya aku bertemu dengan orang baik dan indah seperti ini.

"Y-Ya," adalah yang bisa kukatakan dengan gugup.

'Ayo kubantu berdiri,' diucapkan lembut olehnya seraya perlahan mengangkatku dari belakang. Waaah, pengertian sekali dia. Tak hanya mau membantuku, tetapi juga menjagaku agar tidak malu. Sungguh baik sekali dia!

"Oke, biar aku aja yang urus," ujarnya meyakinkan. "Aku punya perban magis yang bisa jadi apa saja, termasuk pembalut. Jadi percayakan semuanya padaku!"

"Ya!" seruku senang.

Tanpa menengok, wanita itu tengah merapalkan sesuatu dari belakang. Bisa kulihat perlahan perban-perban bercahaya mulai mengelilingiku. Menumpuk dan saling mengikat, aku seperti dipenjarakan olehnya. Meskipun mulai muncul sedikit rasa ragu dan curiga, kehangatan yang kurasakan ini menenangkan pikiranku.

"Ah, aku baru ingat. Barusan kita disuruh panitia untuk membuat tim," kata wanita itu dari luar penjara perban yang mulai berputar ini. "Gimana kalau kita bentuk tim berdua?"

Tim? Berdua? Untuk apa?

"Hmmm, tak perlu berdua juga sih sebenarnya. Tapi kita bikin dulu saja, untuk ikut turnamen yang diadakan panitia. Mau?" jawabnya setelah aku mempertanyakan semua itu.

Turnamen, ya? Kalau harus membentuk tim, mungkin aku akan mengajak orang berambut ungu tadi. Dia terlihat cukup lemah lembut dan baik. Tapi karena sekarang aku tak melihatnya lagi, lebih baik aku menerima ajakan wanita ini.

Ah, justru aku ingin ikut dengannya. Dia baik dan pengertian, padahal aku orang asing baginya. Lambang palang merah di bajunya juga mirip denganku, kita cocok!

Karenanya aku berseru, "Ya! Dengan senang hati!"

"Oke, janji, ya!"

"Pasti!"

Dengan sebuah kata 'Bagus!', wanita itu membuat penjara perban yang berputar mulai mendekatiku dengan lembut. Aku bisa merasakan kehangatan yang lebih nyaman ketika perban itu menyentuh kulitku.

Rasanya seperti disembuhkan, sakit yang kurasa, lelah yang membebani perlahan menghilang. Lalu, perban-perban itu mulai membalut tubuhku layaknya mumi namun menyisakan celah di bagian mata hingga aku masih bisa melihat. Bisa kurasakan perban tersebut seperti bergerak dengan sendirinya di sekujur tubuhku. Seolah hendak menutupi hampir semua badanku dan perlahan melepas semua pakaian yang kukenakan.

"Eeeeeeeeeeeeh?!"

Bajuku… bajuku mau dibawa ke mana? Rokku, kenapa rok biruku dilepas?! Eh? Eeeeeh?!

"Ke-Kenapa bajuku dilepas?!"

"Kenapa kaget begitu?" balasnya yang malah tampak heran. "Baju ini nggak bisa dipakai lagi, kan?"

Wanita itu menunjukkan noda gelap pada rokku, begitu juga sobekan di bagian belakang blus favoritku itu. Sejak kapan? Saat terjatuh tadi? Aaaahhh, malu sekali rasanya!

"Se-Setidaknya jangan lepas syalku!" keluhku seraya menarik syal. "Dan tolong lepas perban di kepalaku!"

Wanita itu tersenyum lebar, seolah mengejekku. Lalu dia melepaskan prebannya dari kepalaku hingga leher. Mungkin bisa dibilang kalau aku seperti mumi berwajah manusia.

"Jadi," ujar wanita itu setelah melepaskan perbannya, "siapa namamu?"

"Err… telat banget tanyanya."

"Tak apa, kan? Toh, sekarang kita ini satu tim."

Aku menghela napas melihat tingkah orang yang jauh lebih tinggi dari aku ini. Apa dia benar-benar orang dewasa? Yah, setidaknya dia sudah menolongku. Tak ada salahnya memperkenalkan diri, kan?

"Clara, Clara Mermaida. Salam kenal," balasku tersenyum. "Kalau Kakak?"

"Ah, Clara. Nama yang bagus," komentarnya. "Aku Vi Talitha. Salam kenal!"

"Kak Vi, ya? Simpel dan lucu!"

Bisa kulihat dia tampak tersenyum malu. "Jangan kaku begitu, ah! Panggil saja Vi!"

"Umm, baiklah… Vi…"

"Nah gitu dong! Lebih nyaman seperti itu!"

Aku sependapat dengannya. Meskipun aku yakin dia lebih tua dariku, rasanya ada yang aneh kalau aku memanggilnya dengan imbuhan 'Kak' atau semacamnya. Bukan maksudku tidak menghormatinya. Tapi entah mengapa, aku merasa ingin memanggil Vi layaknya teman biasa.

Sesederhana itu.

"Jadi, Vi, turnamen apa yang diadakan panitia?" tanyaku penasaran.

"Benar juga, hmmm." Mendengarku, Vi menyilangkan tangannya, tampak berpikir. "Aku dengar tadi wanita di atas sana bilang 'petarung terbaik' atau semacamnya. Dugaanku, sih, sepertinya ini adalah turnamen bertarung."

"Bertarung?!"

"Kenapa kamu kaget begitu?"

"Bertarung, kan… pukul-pukulan gitu?"

"Terus?"

"Aku nggak mau ikut!"

"Eeeeeeeeehhh?!"

Kenapa aku harus ikut coba?

Dari awal, kenapa aku harus bertarung? Apa untungnya aku bertarung? Tak ada, tidak ada untungnya sama sekali. Malahan aku bisa melukai orang lain. Aku tak mau itu. Aku tidak ingin membuat seseorang terluka karenaku. Apapun alasannya…

"Pokoknya, aku nggak mau tarung!" jelasku tegas.

Melihatku, Vi yang tadinya mengerutkan alis mendadak tersenyum. "Tak apa. Kamu nggak akan tarung, kok!"

"Eh?"

"Iya, bukan kamu yang bertarung," ujarnya yang kemudian menambahi. "Aku hanya perlu bantuanmu saja!"

"Bantuanku? Aku bisa bantu ap—ah!"

"Nah, kamu sendiri tahu, tuh."

Meski aku tak mau ikut bertarung, aku punya kemampuan lain untuk membantu orang. Ya, aku bisa menyembuhkan orang lain. Bahkan aku punya beberapa obat-obatan. Apa itu yang Vi cari?

"Benar," ujar Vi setelah aku mengatakannya, "aku lihat di bajumu ada tanda yang sama denganku. Jadi kupikir kamu bisa bantu aku tanpa harus bertarung. Bagaimana?"

"Lalu yang bertarung Vi, begitu?" tambahku.

"Tidak juga. Aku masih ingin mencari anggota lain. Petarung kalau bisa. Yah, bagaimanapun juga kemampuan dasarku bukanlah bertarung."

Kelihatan, sih.

Maksudku, dari awal orang yang bisa menyembuhkan bukanlah petarung, kan? Benar, kalau kulihat-lihat pakaian Vi tampak seperti seorang perawat dengan perban di bagian dalam bajunya—mirip sepertiku. Maka dari itu aku yakin dia juga tidak suka bertarung.

"Kalau bisa, sih, jangan ada yang bertarung."

"Hmmm, benar juga. Kalau bisa kita lari—"

"Maksudku bukan itu," potongku, membuat Vi diam. "Justru kalau bisa, tak perlu ada pertarungan dan konflik di dunia ini."

Ya, sebisa mungkin dunia haruslah damai. Jauh dari medan perang. Jauh dari kematian. Jauh dari penjajahan. Jauh dari kelaparan. Jauh dari kesengsaraan.

Aku ingin melihat dunia yang seperti itu.

"Aku mengerti apa yang ingin kamu sampaikan. Tapi bagaimanapun juga, kenyataannya tidak begitu."

Itulah mengapa, setidaknya aku sendiri tidak bertarung sama sekali. Sekuat tenaga menghindari konflik.

"Dan lagi, sekarang kita tidak sedang dalam situasi yang bisa seenaknya berkehendak. Ini di mana? Aku masih belum tahu itu. Mengapa kita di sini—tidak, mungkin lebih tepatnya, apa yang membuat kita berada di sini?" tambah Vi seraya melihat ke sekitar, pada orang-orang yang tengah beramai-ramai membuat tim.

"Kalau banyak orang dikirim ke suatu tempat menggunakan sihir, mungkin aku masih bisa memaklumi. Tapi bagaimana dengan banyak entitas yang dikirim ke tempat yang sama? Lain ceritanya," tambahnya.

"Banyak entitas?"

"Iya." Vi mendekat. Mengulurkan tangan, jari telunjuk Vi menekan dadaku seraya berkata. "Kamu bukan berasal dari dunia yang sama denganku, kan?"

Eh?

Kita… Kita bukan dari dunia yang sama? Jadi yang Vi maksud, aku, dia, dan orang-orang yang sedang berkumpul di sini berasal dari dunia yang berbeda?

"Ka-Kamu tahu dari mana?"

"Intuisi?" jawab Vi yang lalu tersenyum "Yah, setidaknya aku pernah membaca ensiklopedi tentang budaya, suku, dan bermacam-macam monster di akademi. Tapi aku—sebagai contohnya—belum pernah lihat syal magis seperti ini."

Vi menarik pelan syalku lalu mengusap-usapnya. "Ini penemuan yang bagus. Mungkin bisa kupakai untuk menyelesaikan tugas akhirku. Boleh kubawa pulang?"

"Jangan!" seruku seraya menarik kembali syalku. "Lagipula, bagaimana cara kita pulang?"

"Nah, itu dia yang aku bingungkan. Aku perhatikan kok nggak ada yang protes atau minta dipulangkan ke kampung halamannya. Normalnya begitu, kan? Kecuali kalau dari awal—"

"—mereka memang ingin berada di sini?" lanjutku.

"Benar, pintar juga kamu!" seru Vi sembari mengacak-acak rambutku. "Aku lupa kenapa bisa sampai di tempat ini. Tapi setelah mendengar hadiahnya, aku jadi tertarik. Bayangin aja, kita bisa minta apa aja! Ahhh, rasanya aku ingin skripsiku selesai."

Skripsi? Apa itu?

Belum sempat menanyakan itu, aku didekati oleh Vi lagi, yang berbisik kepadaku. "Kalau kamu?"

Yang kemudian seperti sengaja memberatkan suaranya.

"Apa yang kamu inginkan?" tambahnya.

Yang membuatku teringat kembali pada Paman, dan juga perdamaian dunia. Ya, aku masih ingat akan mimpi itu. Entah muncul dari lubuk hatiku yang paling dalam ataukah hanya ilusi semata, aku bisa melihatnya. Benar, aku bisa melihat keindahan alam di mana semua orang tersenyum tulus dan hangat. Langit cerah dengan pepohonan rindang. Kedamaian di mana aku melihat punggung Paman dan memanggilnya, mendapati Paman menyambutku lembut.

Itulah mengapa aku berada di sini.

Itulah kenapa aku harus mengikuti turnamen ini.

Karena itulah tujuan hidupku.

Mungkin kalau aku terbangun di pagi hari dan masih berada di tempat tidurku, aku akan menganggapnya sebagai mimpi saja. Namun kenyataannya tidak. Aku berada di sini, bernapas di sini. Bertemu dengan orang yang berasal dari dunia yang berbeda. Berdiri di tengah keramaian asing yang tak kukenali.

Oleh sebab itu, dengan yakin aku menjawab. "Aku ingin mengikuti turnamen ini."

Yang disambut oleh senyum lembut Vi.

"Kalau gitu, ayo kita cari anggota lain!" ajaknya.

"Ya!" balasku mantap.


<2>

Dan walaupun aku dengan semangatnya setuju untuk mencari anggota tim lain bersama Vi, sekarang aku merasa menyesal. Ya, meskipun ini demi perdamaian dunia. Sekalipun ini demi Paman. Tapi… Tapi…

"Kenapa bisa jadi begini ceritanya?!"

Saat ini aku sedang berada di tengah-tengah keramaian, semua mata tertuju padaku. Aku merasakan banyak pandangan dari mereka. Ada yang bersorak, ada yang tampak kagum, bahkan ada yang sudah mempersiapkan bunga—si rambut ungu tadi.

Bagaimana tidak?

Sekarang aku sedang menari-nari layaknya topeng monyet yang didalangi oleh Vi dengan perban magisnya! Terlebih, aku tidak mengenakan apa-apa selain balutan perban yang menggantikan baju sobek dan rok bernodaku. Uuuuh, malu sekali rasanya!

"Ahhh, jangan kaku begitu badanmu! Lepas aja! Rileks!"

"Uuuuhhh… Ahhn!"

Bagaimana caranya rileks?!

Malu sekali rasanya dilihat banyak orang-orang seperti ini. Apalagi aku disuruh menari dengan pakaian apa adanya begini. Apa tidak ada cara lain? Dari awal, kenapa perban magis Vi bisa mempengaruhiku? Apa karena tidak menyentuhku secara langsung?

"Cihuuy~ Cihuuy~ Dumangnya mba~!"

"Geulish pisan euy!"

"Dribble plis!"

"Mana bolanya? Gak ada! Wahahhahaha!"

Bisa kudengar banyak seruan dari orang-orang yang sama sekali tak kumengerti. Tapi melihat ekspresi dan tingkah mereka, sepertinya mereka mengejekku.

Uuuhh, menyebalkan!

"Vi!" panggilku yang berusaha menoleh ke belakang, melawan perban magisnya. "Tolong berhenti!"

Dari kejauhan, Vi seperti sama sekali tak mendengarku. Malahan, dia terlihat lebih bersemangat dan mempercepat tempo tarian yang sama sekali tak kupahami ini. Kakiku dipaksa berjinjit, lalu badanku dibuatnya menggelombang seperti ulat yang sedang berjalan.

"Uuuuu, hentikaaaan!"

"Ayo gabung bersama mumi menari ini!" seru Vi dari belakang. "Kapan lagi bisa setim bareng loli mumi imut? Ayo gabung, gabung!"

Jadi itu alasannya!

"Waah, bagus juga barangnya!"

Tiba-tiba, aku mendengar suara berat dan tegas seorang wanita yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Dia menatapku begitu lekat seolah sedang mencermati guci antik yang tengah digadaikan. Matanya yang hijau itu sangat fokus menelitiku dari bawah, lalu ke atas. Kemudian dia tersenyum puas.

"Ya, kan?" Dengan cepat, Vi sudah berada di sampingku juga, berlawanan dengan wanita ini. "Coba cermati lagi orisinalitasnya, luar biasa otentik! Mata nilakandi, kulit putih mulus, ditambah wajah masih imut dan lucu seperti anak-anak. Ini loli mumi langka!"

"Aku memang anak-anak tahu!"

"Whoa, dia bisa bicara. Super sekali."

"Ya, kan? Ya, kan? Makanya, pasti bakalan menarik setim denganku!"

Uuuuh, Vi menyebalkan! Memangnya aku ini barang dagangan apa?

"Sepertinya menarik!" balas wanita serba hijau itu. "Tadinya aku kesulitan cari tim setelah aku sedikit memukul seseorang yang mendorongku jatuh. Tapi kurasa sekarang tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi!"

"Sedikit pala lo peyang! Sampai moncrot tuh hidungnya!" bisa kudengar dari keramaian sana, namun tak bisa kulihat siapa yang bicara.

"Siapa yang teriak tadi? Dasar baji—" Belum sempat mengakhiri kalimatnya, suara wanita itu tiba-tiba berubah menjadi lebih tinggi dan imut. "Tunggu, tunggu! Tahan diri, tahan dirimu! Kamu mau dijauhi orang lagi?"

"Eh?"

Yang membuat aku dan Vi menganga lebar, kehabisan kata-kata. Melihat kami berdua, wanita itu melancarkan tenggorokan. Antara berat dan tinggi, bergantian seperti ada dua pita suara yang terpasang di lehernya.

Sebelum kemudian suara ramah yang mulai bicara. "Ah, ehm, namaku Effeth Scyceid, panggil saja F! Ng… sebenarnya aku punya dua kepribadian, jadi harap maklum kalau aku tiba-tiba jadi ga—"

"Perlu ya disebar-sebar seperti ini?" Tiba-tiba suaranya dipotong oleh suara beratnya. Yang kemudian beralih kembali menjadi tinggi. "Tak apa, kan? Toh, sudah ketahuan juga. Daripada…"

Tidak ada yang melanjutkan kalimat tersebut. Suara berat, suara tinggi, keduanya tidak diam. Namun tampak dari ekspresi wanita bernama F itu kalau mereka seperti sedang berbicara berdua di dalam hati. Hingga pada akhirnya, suara tinggi F mulai bicara kembali.

"Begitulah keadaannya. Jadi, salam kenal dan mohon kerja samanya!"

Aku melirik ke arah Vi—yang sedang tersenyum.

"Salam kenal! Namaku Vi Talitha, panggil saja Vi! Dan loli mumi ini namanya Clara. Ayo perkenalkan dirimu!" Yang lalu berseru demikian dengan ekspresi seolah berkata 'Ini bakalan menarik!'. Atau mungkin itu hanya imajinasiku saja.

"Umm, namaku Clara Mermaida. Salam kenal!"

"Kamu manis juga!" ujar F seraya menarik-narik kedua pipiku. "Aku bawa pulang boleh?"

"Eh, eh, aku duluan tahu!" seru Vi tak terima.

Bisa kulihat keduanya hendak menarik tangan kanan dan kiriku. Namun sebelum sempat melakukannya, aku melangkah mundur. Aku mencoba menghindari sengketa antara mereka berdua, lalu mengalihkannya pada hal lain dengan bertanya.

"F tahu caranya pulang?"

"Ah, eh? Tidak, aku tak tahu. Kenapa tanya begitu?" jawab F bersuara tinggi, lalu berganti ke suara berat. "Karena candaan kamu tadi tahu."

Dengan sebuah kata 'maaf', F suara tinggi beralih pada kami. "Jadi kalian tak tahu juga, ya?"

Aku mengangguk. Sedangkan Vi menghela napas dan menyilangkan tangan. "Sepertinya kita memang harus ikut turnamen ini," ujarnya.

"Kalau begitu, kita bisa cari satu anggota lagi," sahut F bersuara berat.

"Satu anggota?" sambungku yang baru tahu. "Jadi kita bisa cari satu orang lagi, ya?"

"Hmmm, kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya tidak perlu."

Kalimat Vi sama sekali tidak menjawabku. Malahan, dia seolah berkata bahwa informasi barusan kita lupakan saja. Meski aku tak melihatnya seperti sedang bercanda, aku perlu tahu juga alasannya. Lagi pula, semakin banyak anggota, tim kita akan semakin kuat. Kenapa—

"Kenapa tidak?" tanya F yang mendahuluiku. "Kita bisa cari orang yang tampak kuat untuk menahan serangan musuh. Yah, semacam tipe pelindung atau sejenisnya?"

Yang membuat wajah Vi tiba-tiba menjadi sedikit menakutkan.

"Pelindung? Kita tidak butuh itu!" Nadanya sedikit naik, seraya mengepalkan tangan. "Buat apa kita hidup kalau melindungi diri sendiri saja tidak bisa?"

Aku… tidak berani berkata apa-apa.

Matanya, kobaran api di mata Vi bisa kurasakan cukup panas. Kelembutannya menghilang, menguap ditelan udara. Dia tampak baru saja teringat akan sesuatu karena kata-kata F. Lalu meluapkannya begitu saja meski masih menahan diri.

Di sisi lain, F tampak tidak setuju. Diam F itu bisa kuartikan sebagai diskusi diri, kurasa karena sikap Vi yang berubah tiba-tiba. Mungkin dia merasa telah mengatakan hal yang salah atau semacamnya, sebelum kemudian F membalas kalimat Vi.

"Lalu kalau Clara butuh bantuan, memerlukan perlindungan. Apa yang akan kamu lakukan?"

Eeeeh? Kenapa aku? Aduh, sekarang Vi menatapku tajam! Yah, mungkin kalau melihat situasinya di sini, aku memang yang paling lemah. Tapi tidak harus seperti itu juga kan memberi contohnya?

Meski begitu, tentu saja aku tidak mengatakannya langsung. Dalam situasi seperti ini, aku hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah keduanya secara bergantian. Bisa kurasakan keringat meluncur dari pelipisku. Aku menelan ludah, seraya menunggu Vi yang akhirnya menghela napas, lalu membuka mulut.

"Kalau saat itu tiba, aku percaya Clara bisa melindungi dirinya sendiri," ujarnya yang kemudian mengacak-acak rambutku. "Begini-begini, dia mumi tahu! Jangan meremehkan!"

Dan kembali tersenyum seperti biasanya. Membuatku tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi, apa yang dipikirkan Vi. Barusan dia tampak seperti orang yang baik, kemudian mempermainkanku, selanjutnya tampak marah, dan diakhiri dengan senyum awalnya. Apakah tadi hanya emosi sesaatnya saja?

"Pokoknya, kita tidak butuh anggota lain!" tambah Vi memaksa.

"Heh, terserah!" ujar F dengan suara berat. "Kalau kamu dalam bahaya, aku tak sudi menolongmu!"

"Boleh!" tantang Vi. "Siapa takut?"

Lalu mereka berdua saling menatap tajam, seakan aku bisa melihat kobaran api membara di mata keduanya. Tapi setelah melihat ke sekitar, aku baru menyadari kalau ini bukanlah saatnya untuk berdebat atau semacamnya. Karena…

"Umm, maaf ganggu kalian bersenang-senang. Tapi sepertinya, hanya tinggal kita yang ada di sini."

… tidak ada lagi orang di halaman ini.

Sepi, tanpa suara.

Seolah kita bertigalah yang tinggal di dunia ini.

Yang membuat Vi dan F mulai kelabakan.

"Ahh, kita ketinggalan start!"

"Kamu, sih, ngajak berantem melulu!"

"Mau aku bunuh?"

"Sudah tahan dulu adu mulutnya!"

Rasanya cukup aneh, seperti melihat duo kembar melawan satu suster. Layaknya komedi murahan tanpa penonton di panggung terlantar. Kadang aku merasa ingin tersenyum, kadang juga tiba-tiba aku merasa khawatir melihatnya. Bagaimanapun juga, mereka bertiga memiliki kepribadian unik dan cukup meragukan. Tapi entah kenapa…

"Sudah saatnya kita pergi sekarang?"

Ya, entah kenapa…

"Ayo!"

… entah kenapa aku merasa aman dan nyaman berada di antara mereka.


<3>

Setelah berbicara kepada seorang maid, kami bertiga dikirim ke sebuah gurun gersang yang dipenuhi dengan batu. Berbeda dengan tempat tadi, di gurun ini gelap menyelimuti sekitar. Aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya aku, Vi, dan F bisa dikirim di tempat ini. Tapi kurasa, bukan saatnya aku memusingkan hal tersebut.

"Selamat datang di Indomaret, selamat berbelanja~" ujar maid yang mengantar kami secara tiba-tiba.

Yang membuat kami bertiga terdiam melihatnya.

"Ehem!" Maid itu melancarkan tenggorokan, sebelum kemudian melanjutkan. "Ng… di sini saya akan menjelaskan—"

"Woi, awas kena lisensi, woi!"

"Apa itu Indoma—"

"Kamu juga awas!"

Namun Vi dan F tidak bisa tinggal diam dan akhirnya berkomentar, membuatku menghela napas.

"Ini bukan saatnya bercanda, kan?" selaku.

"Iya, bener tuh! Kenapa kalian malah bercanda?!" sahut maid.

"Kamu kira ini salah siapa?!" seru Vi murka.

"Sudah, sudah, biarkan dia jelasin dulu aturan mainnya." Suara tinggi dan lembut F mulai menenangkan Vi. "Lho, kamu tahu dari mana kalo kita akan bermain?" yang dilanjutkan oleh suara berat F.

"Intuisi?" balas F bersuara tinggi. "Lagi pula ini turnamen, pastinya ada aturan tertentu, kan?

"Benar juga. Tapi kan—"

"Kenapa kamu jadi ngomong sendiri gitu?" sela maid yang dari tadi terabaikan.

"Maaf-maaf, silahkan lanjutkan penjelasannya!"

"Ehem!" Sekali lagi, maid itu berdehem. "Eee… Ini akan sangat panjang, jadi kalau salah satu atau dua dari kamu malas mendengarku, kamu bisa minta sinopsisnya dari teman setim yang mendengarkan."

Kemi bertiga mengangguk dalam harmoni.

"Oke. Dengarkan baik-baik. Pertama, bla bla bla bla. Lalu bla bla bla. Selanjutnya bla bla bla. Terakhir bla bla bal. Mengerti?"

"Penjelasan macam apa itu?!" seru F bersuara berat.

"Mana bisa diskip gitu!"

"Ini bukan anime tahu!"

"Siapa yang bilang anime tadi? Siapa?!"

"Kamu sendiri siapa?!"

"Berhenti bercandanyaaaaaaaaa!!"

Untuk yang kesekian kali, aku menghela napas melihat tingkah mereka yang lebih kekanak-kanakan dariku. Waktu serasa berjalan lambat meski baru kegiatan penjelasan turnamen saja yang dilakukan. Jadi untuk mempersingkat waktu, aku memberikan sinopsisnya kepada Vi dan F yang sama sekali tak mendengar maid tersebut.

Pada babak penyisihan ini, ada sebuah perang yang terjadi antara 500 prajurit Alforea—nama dunia di mana kami dikirim—melawan berbagai macam jenis monster yang tak terhitung jumlahnya. Kami bertiga berada di dalamnya, sehingga mau tak mau kami harus bisa bertahan hidup sampai akhir.

Tidak hanya itu, akan muncul juga sesosok monster besar bernama Tamon Rah. Wujudnya seperti kuda bersayap dengan serangan dan ukuran yang besar. Monster itu akan muncul setelah bulan Alforea, yaitu Alkima, perlahan mendekati gurun ini kurang dari lima menit.

Maid itu bilang kalau Tamon Rah abadi, tidak bisa mati sekalipun terluka parah. Karena itulah misi kami yang kedua—selain bertahan hidup—adalah menghancurkan dua menara kristal secara bersamaan. Menara tersebut berada di sebuah kastil yang berada jauh ke utara dari tempat ini. Kami harus menghancurkannya secara bersamaan untuk menyegel Tamon Rah dan menghancurkan seluruh monster di gurun ini.

Terdengar sangat sederhana, tapi aku tahu tak semudah itu juga.

"Singkatnya, bag big bug duar! Semuanya musnah, kan?"

"Hoo, simpel sekali jadinya. Aku paham!"

Kecuali Vi dan F yang kurasa tidak begitu mendengar penjelasanku dengan baik. Sejak kapan mereka jadi akur seperti ini? Apa aku kelewatan sesuatu?

"Uhhh, kalau kalian sepercaya diri itu, aku harap semuanya akan baik-baik saja," ujarku pasrah.

Vi dan F mengacungkan jempol secara bersamaan, seraya tersenyum seolah berkata 'Tenang saja!' dan 'Serahkan padaku!'. Aku hanya bisa tersenyum maklum kepada keduanya.

Meski begitu, kalau aku pikir lagi kami bertiga sama sekali belum memberi tahu kemampuan satu sama lain. Aku sama sekali tidak mengetahui apa yang bisa dilakukan Vi dalam pertarungan selain perban magis miliknya. Untuk F, aku bahkan tidak tahu tentangnya sama sekali kecuali kepribadian gandanya.

Karenanya aku bertanya. "Umm… Sebelum dimulai, ada baiknya kita buat strategi, kan?"

"Ah, benar juga. Kita juga belum tahu kemampuan masing-masing, kan?" ujar Vi yang ternyata menanggapiku.

"Aku bisa membunuh semua monster sebenarnya… tapi tak ada salahnya juga punya rencana," timpal F.

Waaah, tak disangka. Sebenarnya aku cukup ragu Vi dan F mau mendengarku setelah melihat tingkah mereka berdua tadi. Tapi mungkin kurasa, keduanya juga serius dalam mengikuti babak penyisihan ini. Jadi, kita semua sadar kalau hal sepenting itu sangat dibutuhkan dalam setiap masalah atau pertempuran.

"Bagus, dari awal kami memang harus bekerja sama seperti i—"

"Tapi kita bicarakan semuanya sambil jalan saja!" potong Vi tampak tak peduli.

"Eh?"

"Setuju. Aku sudah tidak sabar ingin membunuh sesuatu!" timpal F penuh semangat.

"Eeeeeeeeeeeeh?!"

"Maid, bisa kita mulai sekarang?"

Ah, masa bodoh deh!

"Baiklah. Selamat berjuang!"


<4>

Seingatku, sepertinya ini kali pertamanya aku berada di sebuah medan perang.

Gemuruh di gurun berbatu ini bukanlah karena awan mendung, melainkan ribuan besi yang saling bertemu. Seruan penuh semangat yang menyelimuti erangan penyayat hati seolah tidak ingin kalah dengan suara itu. Keduanya saling memburu hingga membuat jantungku berdebar-debar dalam perasaan yang bercampur aduk.

Di hadapanku, beberapa meter di depan sana sedang terjadi peperangan antara prajurit Alforea melawan monster yang tak bisa kuperkirakan jumlahnya. Bahkan, benar kata maid tadi, ukuran monster-monster itu bermacam-macam hingga yang tinggi dan besar serupa dengan naga pun ada. Aku hanya bisa menelan ludah ketika membayangkan diriku harus berada di tengah-tengah pertarungan itu.

Apa aku bisa melakukannya, ya?

"Waaah, banyak sekali."

Di samping kiriku, Vi juga melihat medan perang yang menyeramkan itu. Bagaimana tidak? Dari ujung ke ujung, hanya monster yang bisa kami lihat. Terkagum, atau setidaknya terkejut adalah ekspresi yang wajar bagi siapa saja.

"Apa kita bisa selamat?" tanya F bersuara tinggi dengan nada bergetar. "Tentu saja," lanjut yang suara berat yakin.

Aku yang ada di tengah-tengah mereka mau tak mau juga ikut merasakan keraguan itu. Logikanya, bagaimana cara tiga perempuan melewati medan peperangan itu dengan selamat? Mustahil—tidak. Dari awal, babak penyisihan ini benar-benar ditujukan untuk 'menyisihkan' banyak peserta. Dan ini, adalah salah satu cara efektifnya.

"Ummm, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyaku mencoba memastikan keyakinan Vi dan F.

"Tentu saja," balas Vi mantap, "ayo!"

"Maju?"

"Pulang lah!"

"Woi!" seru F seraya mengeplak kepala Vi.

"Sakit tahu!" keluh Vi yang memegangi kepala. "Kamu mau bunuh diri ya maju ke sana?!"

"Terus, gimana cara kita pulang coba?!"

"Ahh… itu…"

Vi tidak bisa menjawab. Begitu juga aku, dan bahkan F sendiri. Kami bertiga sedang dalam situasi tidak punya jalan keluar dan pilihan lain. Posisi yang sangat krusial. Kita tidak bisa pulang, dan kita akan kesulitan kalau maju. Tapi justru itulah, satu-satunya yang hanya bisa kami lakukan adalah…

"Apa boleh buat," kata Vi yang kini benar-benar yakin. "Seperti rencana awal, bag big bug, duar!"

"Eeeh? Jadi cuma itu rencananya?! Tunggu, itu bahkan bukanlah sebuah rencana!" seru F bersuara tinggi.

"Yah, cocok buatku! Simpel dan sederhana," lanjut F yang suaranya berat.

"Apakah kita akan baik-baik saja?" gumamku dalam hati.

"Ayo!"

Tak ada pilihan lain, kami bertiga berlari menuju ke medan perang. Dari sini aku bisa melihat perbedaan kemampuan fisikku, Vi, dan F. Tentu saja yang tertinggal adalah aku, dengan Vi berada di depanku, dan F yang paling dulu jauh di sana. Meski begitu, langkah kecilku masih mampu membawaku berlari dan sanggup mendengar Vi yang seperti sedang merapalkan sesuatu.

Lalu dia melirikku. "Kamu suka terbang?" tanyanya.

Dari punggungnya tumbuh perban-perban yang saling mengait, atau merajut, atau mengikat, dengan cepat membentuk menjadi sebuah sayap yang cukup besar. Dikepakkannya sayap tersebut seolah dari awal adalah salah satu dari bagian tubuhnya.

"Bagaimana? Tertarik?" tambahnya.

"Sepertinya asyik," balasku. "Tapi sayang sekali, sihir tidak mempan padaku."

"Tapi bajumu masih bisa terpengaruh sihir, kan? Apalagi perbanku, sudah aku tes sewaktu membalutmu tadi. Jangan khawatir, sihirku tidak akan hilang karenamu!"

Setelah mengatakan itu, Vi merapalkan sesuatu yang kemudian memunculkan sepasang sayap besar di punggungku. Tidak, mungkin lebih tepatnya adalah pada perban yang dia ekstensi dari balutan punggungku. Meski aku tak begitu mengerti di mana letak fokus sihirnya, ketika melompat sayap itu mengepak sesuai keinginanku.

"Sayap itu menggunakan kekuatan pikiranmu, jadi tidak harus menyatu dengan punggungmu," jelas Vi.

Melihat ke bawah, aku bertanya. "Bagaimana dengan F?"

"Kalau dia sih aku yakin jauh lebih kuat dari kita. Lagi pula, bukan berarti terbang itu aman. Ada banyak monster berbentuk naga dan burung di sana. Aku hanya ingin menghemat stamina dan menambah kecepatan gerak saja," jawab Vi.

Atau jangan-jangan dia tidak tega melihatku berlari dan tertinggal jauh? Kalau memang begitu, mungkin Vi sebenarnya adalah orang yang baik. Ya, dari awal dia membantuku, sekarang juga. Kenapa aku masih ragu?

Apa karena perkataannya tadi sebelum kami datang ke gurun ini?

Vi bahkan tidak mengatakan dengan jelas kalau dia mau melindungiku. Bukankah itu cukup mencurigakan? Maksudku, kami ada dalam satu tim, tapi aku tidak tahu pasti Vi memihak di mana. Jangan-jangan dia berniat untuk mengkhianati aku dan F?

Ahhh, apa yang kupikirkan?! Kenyataan bahwa Vi sudah beberapa kali membantuku itu adalah fakta yang sudah terjadi. Tidak baik ragu pada seseorang yang telah menolongmu, Clara! Ya, aku harus berhenti berpikir terlalu dalam.

"Lihat, tuh, F galak banget!"

Suara Vi menuntunku ke daratan gurun pasir berbatu yang dipenuhi oleh monster dan para prajurit. Di sana, F tengah berhadapan dengan sesosok makhluk berkepala kuda dan tubuh tanaman menjalar. Tangan F perlahan memanjang ke belakang, menjadi sangat kecil sebelum kemudian dia lemparkan ke depan seraya berteriak.

"Gomu gom—!"

"Awas lisensi woy!"

Menengok ke samping, aku melihat Vi yang berseru demikian. Dia lalu menarik perban magis yang entah di mana dia simpan dari tubuhnya, menggulungnya dalam kepalan tangan. Sebelum kemudian melemparkannya cepat ke arah F—

"Aw!"

—tepat menghantam kepalanya.

"Sakit tahu!" keluh F bersuara tinggi seraya mengusap kepala. "Ngajak berantem, nih!" lanjutnya dengan suara berat.

"Kamu tuh yang ngajak berantem! Kalau kena tuntut, gimana nasib cerita kita?!"

"Cerita ap—arrgh!"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, F terjatuh. Tidak hanya F, para prajurit dan monster itu pun juga ikut jatuh. Gurun di bawah sana tampak bergetar. Lalu tak lama kemudian aku juga bisa merasakan suatu gelombang yang mendorongku ke bawah.

"Ada apa ini?!" seru Vi yang juga terpengaruh.

Karenanya, aku menengadah.

"!!"

Menemukan sebuah bulan yang perlahan semakin membesar dan mendekat. Sangat tidak masuk akal kalau tiba-tiba aku tahu kalau itu bulan. Tapi kalau kuingat-ingat lagi, tadi sempat dijelaskan oleh maid itu. Sesuatu akan muncul dari ledakan Alkima—bulan Alforea—yang dijuluki sebagai…

"Kuda, kudanya datang!"

… Tamon Rah.

DUAAAAAAAAR!

Suara debuman yang amat keras membuatku tuli. Spontan aku langsung menutup telinga seolah hanya dengan melakukan itulah aku mampu bertahan hidup. Seakan nyawaku ditentukan oleh itu.

Tidak hanya itu. Setelah ledakan terjadi, pecahan-pecahan bulan mulai menyebar luas ke segala arah dan jatuh bagaikan meteor yang siap menghujani gurun pasir ini. Asap yang tebal mulai menambah kegelapan langit hitam, perlahan menampakkan sesosok kuda bersayap yang jauh lebih besar dari makhluk apapun yang pernah kulihat dalam hidupku.

"GRAAAAAAAAAAAAHHHH!"

Teriakannya mengguncang semesta, membuat seisi gurun diam dalam sekejap. Tapi hanya sesaat saja karena itu adalah momen menakjubkan yang sejenak membuat orang lupa akan nyawa sendiri. Termasuk aku.

"Awas, Clara!"

Mendengar Vi, aku kembali tersadar dan melihat sebuah pecahan Alkima di atas kepalaku. Aku masih tidak bisa bergerak meskipun sangat ingin. Aku hanya bisa memejamkan mata dan berharap keajaiban.

Apakah aku akan mati di sini?

Ini bohong, kan?

Bergerak… bergeraklah!

"Clara!"

Tiba-tiba, aku merasakan dorongan keras dari samping yang membuatku terlempar jatuh. Tidak hanya itu, kehangatan juga mulai menyelimutiku dari dinginnya angin kencang. Sebelum kemudian aku merasakan sesuatu yang lembut dan empuk menghantam kepalaku.

"Akhh!"

Membuka mata, aku hanya bisa melihat asap pasir yang bertebaran di udara. Membuatku terbatuk-batuk dan mencoba mengangkat tubuh. Seraya mengusap-usap mata, aku merasakan sesuatu yang empuk saat menyangga diri dengan tanganku yang satunya.

"Heh, kamu curi-curi kesempatan, ya?"

Melihat apa yang sedang kupegang, aku mendapati Vi meringis tampak kesakitan, sedang kududuki begitu saja.

"Ah, maaf!"

Spontan aku langsung melompat dan berlutut di samping Vi.

"Kamu tak apa? Ada bagian yang sakit?"

"Tidak, aku tidak apa-apa," balas Vi yang tengah memejamkan mata kirinya erat, tampak seperti menahan sakit. "Tapi bohong. Beri aku waktu sebentar untuk istirahat."

"Ah, dan juga," tambahnya cepat, "kalau bisa, jangan sembuhkan aku dengan sihir apapun! Kamu ingat? Kuda itu bisa mendatangimu kalau kamu tidak hati-hati."

"Untungnya, aku tak punya!"

"Itu cukup melegakan," balas Vi yang kemudian menghela napas. "Sayangnya, sayap kita hancur karena jatuh tadi. Tidak, aku rasa karena aku bertubrukan denganmu tadi. Tapi yang manapun itu, sepertinya kita dalam masalah besar."

"Eh?"

Benar kata Vi. Setelah melihat ke sekitar, ada banyak monster yang mulai berdatangan. Mulai dari singa bermata satu, dua bola hitam yang mengapit besi berlubang di tengahnya, landak berekor buaya, hingga bayi raksasa yang sedang membawa batu lonjong berduri.

Kami benar-benar berada dalam masalah.

"Bagaimana ini, Vi?" tanyaku seraya mengguncang tubuh Vi. "Aku tak punya kemampuan berkelahi. Pengalamanku nol."

Tersenyum, Vi menjawab santai. "Tenang saja."

"Adakah alasan untuk kita tenang di situasi ini?!"

"Aku bilang tenang," ulangnya. "Dari buku cerita yang kubaca, dalam keadaan seperti ini pasti akan ada yang menolong kita."

"Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau setiap orang harus bisa menolong dirinya sendiri? Kenapa sekarang kamu mengharap pertolongan?!"

"Justru karena itulah," balas Vi, nadanya mendadak berat, dengan matanya yang menatapku serius. "Justru karena itulah, kamu harus menolong dirimu sendiri."

Kalimat Vi mengguncang hatiku.

Sakit.

Menusuk.

Itu artinya dia membiarkan aku lari sendirian, kan? Itu artinya dia menginginkanku meninggalkannya sendirian, kan? Itu artinya dia mengorbankan dirinya sendiri, kan? Itu artinya dia adalah orang yang…

"Dan aku bisa menolong diriku dengan menjadikanmu umpan berlari."

"EEEEEEEEHH?!"

… JAHAT!

"Cepat, lari sana! Aku akan pura-pura mati biar kamu yang dikejar!" paksa Vi sambil mendorongku berkali-kali.

"Nggak mau! Aku di sini saja biar kita mati sama-sama!"

"Jangan keras kepala! Kamu masih muda, dosamu belum banyak! Sedangkan aku, masih belum taubat sampai sekarang!"

"Nggak mau! Dadaku masih rata! Aku belum pernah jatuh cinta! Aku nggak mau mati!"

"Kenapa kamu jadi kontradiksi gitu?!"

"DIAAAAAAAAAAAAM!"

Seruan F dari jauh membungkam kami. Tiba-tiba saja ada sesuatu yang panjang, lonjong, dan kecil menusuk monster yang sudah mengelelingi kami bagaikan barbekyu bengkok. Percikan darah yang berbeda-beda warnanya muncrat ke segala arah, lalu dilemparnya monster-monster itu oleh benda lonjong yang menusuk mereka ke udara.

"F!" seruku senang ketika melihat sosok serba hijau dari kejauhan sana. "Kamu tak apa?!"

"Aman!" balasnya yakin dan tampak santai seraya berlari mendekat. "Bagaimana dengannya?"

"Kamu nggak bisa lihat sendiri?" balas Vi kesal. "Kamu kemana saja coba?"

"Kamu sudah ditolong nggak ada terima kasihnya sama sekali!" seru F dengan suara berat.

Yang membuat Vi terkekeh. "Hah! Kamu cuma mau menolong Clara, kan?"

Lalu F bersuara tinggi tertawa terbahak-bahak.

"Tuh, kan, aku bilang apa?" ujarnya sesaat kemudian. "Jangan sok keren gitu!" Lalu wajah F berubah masam, sembari meludah. "Cih!"

Aku masih belum terbiasa dengan F. Melihat sikap dan ekspresinya yang berubah-ubah itu cukup membuatku was-was. Meskipun dia baik, aku masih belum bisa merasa nyaman kalau tidak salah satu saja yang berbicara. Seolah sengaja membuatku tak bisa memahaminya.

"Yang penting sekarang, apa yang harus kita lakukan?"

Vi benar, yang terpenting sekarang adalah bagaimana menyelesaikan babak penyisihan ini. Tugas kami adalah bertahan hidup dan menyegel Tamon Rah beserta monster-monster di gurun ini. Artinya…

"Ummm, gimana kalau kita hancurkan dua menara kristal di kastil itu," saranku seraya menunjuk ke arah utara. "Ng… tapi banyak monsternya."

Dan di atas sana, ada Tamon Rah yang berjalan-jalan seolah langit sana adalah taman halamannya. Lima menit sekali dia akan melemparkan puluhan bola api dari sayapnya. Uhhh, dituasi kami dari awal sudah buruk sekali.

"Jadi kita harus menyeberangi kerumunan monster sambil menghindari serangan acak kuda lumping itu ya? Beruntung sekali hidupku!" ujar Vi sinis.

"Vi, kamu bisa jalan?" tanya F yang bersuara tinggi. "Tapi aku tak mau bantu kamu!"

"Ih, dasar tsundere," sindir Vi.

"Apa itu tsundere?"

"Nggak, bukan apa-apa," jawab Vi cepat. "Pokoknya, sekarang kita harus ke kastil itu, kan? F, kulihat tadi kamu bisa memanjangkan tanganmu. Kamu manusia karet, ya?"

"Kamu kira aku Luff—"

"—Ingat lisensi woy!" seru Vi memotong kalimat F.

"Bukan, sih. Lebih tepatnya, aku bisa mengatur kelenturan dan kepadatan tubuhku. Aku bisa berubah menjadi apa saja sesukaku. Skala kelenturan maksimal 0,01 dan skala kepadatan mak—"

"Kita nggak butuh matematika di sini," potong Vi. "Jadi, berikan aku sedikit waktu berpikir."

F tampak kecewa, mungkin karena tidak bisa menjelaskan semuanya seperti yang dia inginkan. Tapi kurasa F tidak memiliki ide yang bagus, karena itu dia mengikuti perkataan Vi. Wajar menurutku, sebab, aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana caranya bisa lolos dari keadaan kritis ini.

Jadi, aku hanya bisa berharap Vi mendapatkan ide yang bagus.

"Ah, dapat!"

Dan seolah sedang menjawab doaku, Vi dengan tersenyum puas dan kepercayaan diri yang kuat melanjutkan kalimatnya.

"Aku ada ide bagus."

Mantap.


<5>

"Apa kamu benar-benar yakin?"

"Seratus persen! Atau kamu mau seribu?"

"Uuuh, aku takut!"

Bagaimana tidak?

Tadinya kupikir 'Wah, Vi keren sekali dapet ide!' tapi beberapa detik kemudian, aku merasa kalau idenya sama sekali tak ada bedanya dengan situasi kami.

Di tengah-tengah hujan bola api, Vi menjelaskan cara menggabungkan kemampuan kami bertiga untuk bisa sampai di kastil dan menghancurkan kedua menara di sana. Idenya cukup bagus, tapi juga beresiko.

Itulah yang membuatku takut.

"Ada kata-kata terakhir?" celetuk Vi semakin membuatku takut.

"Clara, kalau kamu ada ide lain bilang saja," timpal F. "Sebelum semuanya terlambat."

Aaaah, masa bodoh, ah! Yang terjadi, terjadilah!

"Oke, kalau gitu semua sudah siap, ya?" tanya F bersuara tinggi, memastikan. "Kecuali Clara tentunya, ha!"

"Uuuuhhh!"

"Berangkat~!"

Dengan itu, formasi A dimulai.

F telungkup di atas pasir, lalu seperti mencairkan dirinya hingga berubah menjadi semacam papan. Vi yang masih terluka kubantu berjalan dan merebahkan tubuhnya di atas F. Setelah membantu Vi, aku langsung duduk di antara kaki Vi yang sedikit terbuka. F kemudian mengikat erat kami berdua agar tetap berada dalam posisi itu.

Yang tentu saja—membuat fokus Tamon Rah tertuju langsung pada kami.

"Saatnya meluncur~!" seru Vi memberi aba-aba.

"GRAAAAAAAAAAAAAAHHHH!"

Dengan cepatnya, F berjalan—atau mungkin lebih tepatnya berselancar—di gurun berbatu penuh lika-liku ini. Tamon Rah yang sudah mengunci posisi kami mulai mengejar dengan buasnya dari belakang. Tidak hanya itu, di depan kami juga sudah berdiri monster besar yang menghadang.

"Minggir minggir minggir!"

F menyerukan itu seraya mengubah bentuknya lagi, membentuk pisau sabit dan sesuatu seperti palu kecil. Kedua benda itu ada di sekitar tubuh F yang sekarang berupa papan selancar. Bagaikan cumi-cumi yang bentuknya kotak, menyerang dan menyingkirkan monster-monster yang hendak menghentikan kami.

Mekanismenya sangat simpel. Pisau yang F gunakan tentu untuk memotong monster dengan cepat. Sedangkan palu-palu itu dia gunakan untuk mendorong mereka. Ada kalanya monster tidak bisa dipotong, ada kalanya juga tidak bisa dipukul. Oleh sebab itu, Vi menyarankan untuk mengkombinasikan dua bentuk senjata tersebut.

"Uhh, sepertinya semakin mendekati kastil, monster-monster ini semakin keras saja," ujar F yang tampak kesulitan. "Ada yang bisa membantu? Serangan juga boleh, atau yang bisa memperkuat seranganku."

"Aku punya!" sahutku yang kemudian mengambil sebuah botol kecil. "Minumlah! Ini obat kuat!"

"Oi oi, yang benar saja? Kamu kecil-kecil sudah bawa-bawa obat kuat!" sela Vi.

Memang ada yang salah, ya?

"Ini ramuan hebat! Siapa saja akan menjadi kuat bila meminumnya. Paman juga bilang begitu!"

"Astaga… paman macam apa yang suka suruh anak-anak bawa obat kuat?"

"Jangan ejek Pa—"

"Buruan, sini obatnya!" potong F yang membuatku teringat lagi tujuan utamaku sekarang.

Menemukan sesuatu dari F yang tampak seperti mulut, aku membantunya meneguk obat kuat kebanggaanku ini. Setelah meminumnya habis, bisa kurasakan meski hanya sesaat tubuh F sedikit berdetak. Sebelum kemudian menjadi hangat dan laju meluncurnya semakin cepat.

"Wuhuu~! Ini hebat Clara!" seru F puas.

"Sepertinya cerita ini butuh tukang sensor memang," komentar Vi yang tak kumengerti.

Ya, dari pada menanggapi Vi, aku cukup kagum melihat kehebatan F yang ternyata di luar dugaanku. Dia bahkan mampu menyingkirkan monster bertubuh ikan besar dengan kepala kelinci sekali pukul. Menghancurkan bebatuan yang berjatuhan, menimpa monster-monster yang ada di bawahnya.

"GRAAAAAAAAAAAAAHHHH!"

Auman Tamon Rah mencuri perhatianku. Entah sedang mengamuk karena tidak bisa mengejar kami bertiga atau ada alasan lain yang hanya Tamon yang tahu, suaranya lebih kuat dari yang awal tadi. Gerakannya juga menjadi lebih buas dan cepat. Berulang kali Tamon Rah hampir menggigit punggungku dengan gigi ratanya.

"Aaaaah, mati akuuuu!"

"Semua dimulai dari Firman, Firman bersama Tuhan, dan Firman itu adalah Tuhan!"

"Woi kalian mau mati sungguhan?!" teriak F yang menyela jeritan keputusasaan kami. "Dari pada seperti itu, lebih baik kalian memberiku obat kuat lagi atau setidaknya yang bisa menambah kecepatanku!"

Kecepatan? Kalau tak salah—

"Vi! Vi punya sihir menambah kecepatan gerak!"

"Ah, iya, aku lupa."

"Jangan lupa sama hal penting semudah itu!"

Tak memedulikan keluhan F, Vi mulai merapalkan mantra yang sejenis dengan doanya tadi. Saking cepatnya, aku sampai tak bisa mengikuti apa yang sedang dia katakan. Namun tak lama kemudian, tumbuh sayap yang terbuat dari perban di bagian belakang F. Menjalar hingga membentuk sepasang sayap yang besar bak malaikat berselancar.

"Kibaskan saja kalau sudah siap," ujar Vi yang lalu menatapku. "Aku sarankan kamu menunduk."

BUUUUM!

Sedetik setelah aku mengikuti saran Vi, sayap besar itu seolah melempar jauh kami dalam sekali kibas. Tubuh F yang tadinya berupa pisau dan palu itu diubahnya menjadi semacam bor—menembus apapun yang dilewatinya.

Untungnya, percikan hasil mengebor F tidak mengenaiku dan Vi karena dia juga sedikit memperluas dasar bornya tersebut. Yang tanpa terasa sudah membawa kami berada di halaman kastil yang dipenuhi oleh monster. Masih mudah untuk F menerjangnya, sebelum kemudian kami menemui masalah yang lebih besar.

"Oi oi, ada gerbang logam di pintu kastilnya." Vi yang pertama kali menyadarinya. "Apa kamu baik-baik saja, F?"

"Sejujurnya, tidak. Aku yakin besi itu jauh lebih keras dari monster-monster ini. Ada ide?"

"Yah, mudah saja. Kamu bisa merubah bor itu menjadi palu. Lalu dengan satu kibasan sayap, kamu dorong satu monster besar ke gerbang itu untuk mengurangi kerusakanmu. Tapi nanti—"

"Ok!"

Tanpa memberi kesempatan Vi menyelesaikan kalimatnya—ditambah jarak kami yang sudah dekat dengan gerbang—tanpa basa-basi, F langsung mengibaskan sayap dengan sekuat tenaga. Aku bisa merasakan tekanan yang sangat kuat karenanya. Membuatku kesulitan melihat F yang mengubah bornya menjadi palu besar.

Setelah mendapati satu target monster yang tampak bingung dan ketakutan namun tak bisa bergerak, F menerjangnya tanpa ampun. Dengan satu debuman keras, monster berkaki kepala katak dan bermulut cicak itu terhantam keras pada gerbang kastil.

Sebelum kemudian dengan sekuat tenaga, F berteriak.

"Terbukalah!"

Tak ada satu detik palu F menekannya, monster itu tiba-tiba pecah dalam sekejap. Memuncratkan banyak cairan yang membasahiku, F, bahkan Vi yang tengah memejamkan mata. Seolah dia tahu dengan apa yang sedang terjadi sesaat yang lalu.

BRAKK!

Namun berkat itulah, pintu gerbang terbuka—dan kami terhempas, menabrak dinding kastil yang rapuh.


<6>

"Clara!"

Siapa?

"Clara, bangun!"

Paman?

"Oi, Clara, bangun woi!"

"Uuuh… Vi?"

"Syukurlah kamu masih hidup!"

Berusaha membuka mata, aku menemukan Vi yang tengah tersenyum lega melihatku. Membuatku teringat kembali kalau aku, Vi, dan F baru saja menerobos masuk kastil yang dijaga oleh banyak—

"Ah, ah! Di sini tidak aman!"

"Santai saja, Clara!" ujar Vi menenangkanku. "Kebetulan kita masuk ke dalam sebuah lubang kecil. Monster-monster itu tidak bisa mengejar kita. Bahkan aku sudah memasang perban berlapis-lapis agar mereka kesulitan untuk masuk ke dalam!"

"Perban magis? Nanti Tamon Rah—"

"Sssh! Tenang dulu makanya. Kamu lupa kalau kuda lumping itu tak bisa mendeteksi kemampuan kita di kastil ini?"

"Ah, iya! Tapi, Vi, bukannya di awal sebelum meluncur tadi F sempat menggunakan kemampuannya untuk menolong kita?"

"Yep, benar! Tapi F tadi cukup jauh dari kita—apalagi dari kuda lumping itu. Jadi wajar kalau kita tidak dikejar," jelas Vi, membuatku bernapas lega.

Mengingat F, aku langsung melihat ke kanan dan kiri. Tak kutemukan sosok serba hijau namun berambut merah itu di mana-mana. "Mana F?" tanyaku khawatir.

"Di sana," jawab Vi seraya menunjuk ke sudut langit-langit ruangan. "Dia tidak sadarkan diri. Jadi demi keamanan, aku mengikatnya di atas sana. Tentu aku juga menyembuhkan—dan mengganti bajunya."

"Baju?"

"Ya, baju. Kamu tak ingat tadi di gerbang kastil? Sungguh, bajuku sampai kotor sekali dan harus diganti. Dan sekarang kita jadi trio mumi! Haha!"

Vi tertawa puas, sampai aku sendiri tak paham di mana lucunya. Maksudku, ini situasi kritis, bukan?

"Dari awal keadaan kita tidak bagus," balas Vi setelah aku mengatakannya. "Jadi, tak ada salahnya kalau kita tertawa sejenak!"

Memang benar kalau aku tidak perlu sebegitunya menambahkan beban diri dengan keseriusan. Meski begitu—

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" adalah pertanyaan yang paling penting untuk saat ini.

Ya, tinggal satu langkah lagi dan kami bisa memenangkan babak penyelisihan ini. Namun bagaimanapun juga, kenyataan bahwa di luar sana masih ada banyak monster—terutama Tamon Rah—adalah fakta yang tak bisa kulihat sebelah mata. Ditambah, F sedang tak sadarkan diri di atas sana. Situasi ini lebih buruk dari sebelumnya.

Dan itulah yang harus kupikirkan sekarang, jika saja—

"Aku ada ide!"

—Vi tidak membalasku dengan kalimat itu.

Tidak ada keraguan lagi. Bukan waktunya untuk merasa bimbang. Aku juga tidak perlu mencurigai Vi. Ide yang dia berikan mungkin terdengar tak masuk akal, atau bisa kubilang cukup berantakan dan nekat. Meski begitu, aku sendiri tak yakin kalau menggunakan cara lain kami bisa sampai di sini dengan selamat atau tidak.

Karena itu…

Ya, karena itu…

"Mari kita gunakan rencanamu!"

… aku mempercayai Vi dengan sepenuh hati. Yang kemudian membuatnya tersenyum.

"Dengar baik-baik, ini akan jadi sangat panjang."

Aku mengangguk yakin. "Ya!"

"Bagus," balas Vi puas. "Begini, ideku bisa kita lakukan berdua. Biarkan F beristirahat dulu. Yah, bagiku tugas F sudah selesai di sini. Giliran kita beraksi!"

"Kita sudah tahu kalau kedua menara itu harus dihancurkan secara bersamaan. Artinya, kita harus berpisah. Di sini lah letak kesulitannya. Menara tersebut bisa menembakkan energi sihir dan hanya bisa diserang menggunakan serangan fisik."

"Untukmu, aku yakin semudah memukul bola dengan tongkat baseball. Sedangkan aku? Bahkan aku tak bisa menahan serangan sihir yang bertubi-tubi! Karena itulah aku menggunakan cara lain, yaitu memancing kuda lumping untuk menghancurkan menara itu!"

"Ba-Bagaimana caranya?"

"Mudah saja!" jawab Vi cepat. "Aku akan menggunakan sihir di balik menara. Pasti kuda lumping itu akan datang padaku penuh dengan cintah!"

Tamon Rah tidak bisa mendeteksi aktivasi kemampuan di dalam kastil. Artinya, selain di sini, Tamon Rah akan memburunya hingga ke ujung dunia—seperti kejadian tadi. Vi memanfaatkan itu untuk menghancurkan menara yang tidak bisa dia hancurkan sendiri. Tapi…

… apakah semudah itu?

"Bagaimana kalau nanti kamu malah ditubruk Tamon Rah atau kejatuhan puing menara?"

"Tenang saja! Aku tak selemah itu, kok! Aku masih punya banyak sihir!"

Meski begitu… meskipun begitu, aku tak bisa henti-hentinya mengkhawatirkan Vi. Bagaimana kalau dia terluka? Apakah aku bisa dengan cepat membantunya? Adakah cara lain yang lebih aman?

Namun seolah tahu apa yang sedang kupikirkan, Vi mengacak lembuk kepalaku. Terasa hangat. Aku jadi mengingat kembali Paman dan kampung halamanku. Seperti bernaung dalam secercah harapan di balik dinginnya hujan petaka. Aku cukup terselamatkan oleh itu.

Yang membuatku menengadah, menatap Vi yang tersenyum lembut kepadaku. Sekali lagi, sekali lagi aku akan coba memastikannya.

"Apa kamu akan baik-baik saja, Vi?"

Lalu dijawabnya dengan anggukan. "Tentu!"

"Kalau begitu, ayo!" ajakku dengan penuh keyakinan.

Vi mengeluarkan ibu jarinya, sebelum kemudian berkata. "Oh, aku lupa cara agar kamu bisa dengan aman sampai di menara sebelah."

"Dengar," lanjut Vi yang kemudian berdiri, "setelah membuka perban penutup ini, aku akan mengendalikan satu monster sebagai pancingan. Saat itulah kamu dengan cepat pergi ke menara sebelah kiri. Aku yakin tak akan ada yang punya kesempatan melihatmu diam-diam menyelinap seperti itu. Paham?"

"Ya, aku mengerti!"

"Bagus! Kalau begitu, sudah saatnya kita beraksi. Ah, dan ingat, kamu harus menghancurkan kristal menaranya bersamaan dengan amukan kuda lumping. Oke?"

"Oke!"

"Ah dan satu lagi!"

"Apa lagi?"

Vi mendekatkan mulutnya ke telingaku. Geli rasanya ketika napas Vi menyapu perlahan di bagian itu. Yang tak lama kemudian dia berbisik. "Lain kali jangan lupa bawa pembalut, ya?"

"Uuuh, jangan menggodaku!"

Lalu Vi tertawa puas. "Ayo!" ajaknya.

"Yha."

Setelah menarik semua perban magisnya, berbagai macam sosok monster mulai tampak tengah berdiri seperti sedang berjaga-jaga. Tanpa berucap, Vi mengisyaratkan aku untuk menyelinap, pergi ke menara kanan. Sementara itu, aku bisa mendengar sesosok monster yang sudah menjadi mumi mengaum dan mengamuk.

"GRAOOOOOOOOO!!"

Aku tak melihat apa yang monster itu lakukan. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya aku bisa sampai ke menara tanpa ketahuan.

Perlahan-lahan aku menaiki tangga dan mendengar suara langkah berat dari atas sana. Aku berhenti, beralih merangkak dan mengintip apa yang ada di ujung tangga setengah melingkar ini. Hingga pada akhirnya, aku menemukan seekor kadal berdiri tengah menyaksikan keributan di bawah sana.

Kadal tersebut berdiri di depan pintu yang terbuka. Di baliknya, bisa kulihat langit gelap yang masih sama seperti awal tadi. Kurasa, aku bisa pergi ke menara kalau sanggup melewatinya.

Oleh sebab itu, aku berusaha merayap mendekatinya. Sampai aku berada di sampingnya pun kadal itu masih belum menyadari kehadiranku. Karenanya, aku mencoba berteriak—

"BA!"

—lalu melempar botol yang berisi obat bius tepat ke dalam mulutnya yang menganga.

Jadi monster bisa terkejut juga, ya?

"Arrrghhhh…!!"

Setelah kadal itu lumpuh, aku bergegas melewatinya dan berjalan ke beranda kastil. Di ujung sana, aku bisa melihat kristal berwarna bitu yang menyala terang. Seolah-olah cahaya tersebut dari awal memang ditujukan agar mudah untuk dilacak.

Kalau begitu, kristal yang satunya pasti ada di belakangku.

"Di sana!"

Benar saja, kristal di sebelah sana juga mudah untuk dilacak. Karenanya, aku hanya perlu mencari cara untuk menghancurkannya. Apakah aku lebih baik menggunakan bantuan alam?

Tidak, cukup beresiko.

Aku sekarang berada di luar kastil, artinya Tamon Rah juga bisa menyerangku. Karena itu aku harus menggunakan cara lain—ah, ya! Aku bisa menggunakan senjata kadal tadi untuk menghancurkan kristal itu!

"Permisi…"

Kembali ke dalam kastil, aku bernapas lega ketika melihat kadal itu masih terlentang di lantai. Tanpa pikir panjang, aku mencoba mengambil sebilah pedang yang cukup berat. Dengan agak menyeretnya, aku membawa pedang itu keluar istana dan mendekati kristal yang menyerangku bertubi-tubi.

Rasanya aneh, seperti ketika kita yakin akan merasa sakit ketika dipukul, tapi pukulan tersebut tidak jadi mengenai kita. Tapi bukan saatnya aku memikirkan itu. Aku harus menemukan posisi Tamon Rah dul—

"GRAAAAAAAAAAAAAHHHH!"

—yang ternyata tak perlu kulakukan.

Malahan, Tamon Rah kini tampak buas dan terbang meluncur ke arah menara tempat Vi berada. Karena itu, aku berusaha sekuat tenaga mengangkat pedang ini dan menunggu saat yang tepat untuk mengayunkannya.

"…"

"GRAAAAAAAAAAAAAAHHH!!"

Sekarang!

Segera setelah aku berhasil membelah kristal itu menjadi dua, gelombang cahaya menyebar luas dari masing-masing kristal. Sejenak, waktu serasa berhenti. Kedua gelombang cahaya tersebut seakan-akan membelah ruang dan waktu dengan mudahnya.

Di langit sana mulai bermunculan ukiran-ukiran dengan pola yang bercampur dengan tulisan yang sama sekali tak bisa kubaca. Ukiran tersebut lalu bercahaya semakin terang, menciptakan bola-bola terang kecil yang berkumpul tepat di tengahnya.

Hingga pada akhirnya, kumpulan cahaya tersebut menembakkan bola-bola kecil layaknya bintang jatuh di malam hari. Setiap bola yang jatuh tepat mengenai satu monster dari yang kecil sampai yang besar. Sebelum kemudian sebuah bola cahaya yang paling besar menarik Tamon Rah dan membawanya kembali ke langit. Membentuk Alkima baru di atas sana.

"Fiuuh! Kurasa sudah selesai," gumamku lega.

Sedetik setelahnya, tiba-tiba muncul sebuah cahaya lain tepat di depanku. Aku bisa melihat sebuah tulisan yang bisa kubaca terpampang jelas pada cahaya tersebut.

[Selamat! Anda berhasil lolos ke babak selanjutnya!]

Masih ada beberapa tulisan lagi di bawahnya—dan menurutku, itulah tulisan paling penting dan membuatku tersenyum lebar.

[Jumlah Peserta : 3]

[Jumlah Peserta Selamat: 3]

[Silahkan masuk ke dalam portal ini atau Anda akan dikirim kembali secara paksa.]

[5]

Yang membuatku lebih lega—lebih lega dari sebelumnya.

[4]

[3]

[2]

[1]

Yang membuatku bisa kembali dengan hati ringan.

[0]

Terima kasih, Vi, F.


<7>

"Haaaaaah…"

Akhirnya selesai juga, ahhh, rasanya tubuhku berat sekali.

Merebahkan tubuhku, bisa kulihat sebuah cahaya muncul di depanku. Sedetik kemudian terukir beberapa tulisan yang bisa kubaca dengan jelas.

[Selamat! Anda berhasil lolos ke babak selanjutnya!]

[Jumlah Peserta : 3]

[Jumlah Peserta Selamat : 3]

"Heee, jadi F masih hidup, ya? Hahah! Rupanya dia sulit dibunuh juga!"

Yah, setidaknya aku bisa lolos ke babak selanjutnya.

Namun sepertinya aku terlalu memaksakan diri kali ini. Aku memang harus menang, tapi sebaiknya aku nanti tidak perlu lagi mengorbankan diri sendiri. Meskipun sebenarnya kalau aku tidak melakukannya, Clara dan F pasti akan mati, lalu aku akan gagal lolos ke babak selanjutnya.

Menyebalkan sekali babak penyisihan ini, dari awal sudah hard mode.

[Silahkan masuk ke dalam portal ini atau Anda akan dikirim kembali secara paksa.]

Mungkin lain kali, aku akan mencari anggota yang lebih kuat lagi.

[5]

[4]

Tapi setidaknya, untuk sekarang semua sudah berakhir.

[3]

[2]

[1]

[0]

Dan kuharap, semuanya akan berjalan sesuai keinginanku.

27 comments:

  1. Ini lumayan inovatif juga, pake pov1 tapi bukan dari sudut pandang si tokoh utama. Entah apa orang lain bakal protes atau ngga, tapi saya sendiri ga gitu masalahin ini karean toh sepanjang cerita bacanya lancar-lancar aja.

    Seperti biasa, monolog yang berisik sama dialog yang kadang ngalor-ngidul gini emang udah jadi ciri khasmu dari dulu, ya. Pov Clara di sini (yang secara plot sebenernya ga banyak berperan) jadi lebih kayak observer sekalgus komentator buat sepak terjang Vi sendiri yang ga bisa ditebak.

    Karena saya masih pengen ngeliat gimana kamu ngolah karakter ini di 48 besar, saya kasih nilai 10 buat modal maju ke babak selanjutnya.

    [OC : Dyna Might]

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha, itu dia. Bukan berarti ga sayang OC sendiri atau ga fokus dengan OC sendiri sih, kalo dilogika juga, tp justru saya ada kasih cara pandang lain untuk melihat tokoh lain atau bahkan tokoh utama, semacam PoV 3, namun beneran orang minor yg lihat. Yah, wajar sih, orang kebiasa PoV 1 Karakter Utama, tapi saya menyayangkan aja kalau teknik seperti ini dikambinghitamkan :DD
      .
      makasih sam buat komen+nilainya~

      Delete
  2. Diawal-awal udah disajikan dengan permasalahan wanita. dan ini povnya bukan dari OC mu, dan entah kenapa rasanya bagus kalau pov 1 kayak gini ya.

    ceritanya juga menarik dengan alur yang mengalir dan nggak dipaksakan

    nilainya 9

    Reviss Arspencer

    ReplyDelete
    Replies
    1. I see, awalnya saya juga agak ragu sih sampe di tengah2 cerita, tapi ketika saya inget karya serupa semacam Sherlock Holmes, saya makin semangat, sekalian belajar juga xD
      .
      makasih ra buat komen+nilainya~

      Delete
  3. Hiii lum apa-apa uda ada yang kena PMS...

    Permainan POV nya cukup baru, mungkin karena baru masi dalam tahap HiT or MiSS. Untuk ceritanya sendiri ngalir seperti bengawan solo.

    Nilai : 8

    OC aye ; Zhaahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkkwkwkw, drpd kena tentakel, mending sesuai dengan CS xD
      makasih nilai+komennya cadel~

      Delete
  4. 1. hilangkan dialog yang tidak memajukan plot.

    2. dialog basa-basi sebenarnya bisa diringkas dengan cara menyederhanakan urutan peristiwa menjadi 1-2 paragraf saja. Tujuannya apa? Pembaca tidak suka cerita yang bertele-tele.
    ex: Perbannya membungkus tubuhku, sementara pakaianku sebelumnya ia lepaskan. Aku sedikit kaget, tapi ia menunjukkan sobekan di baju belakang dan celanaku. Oke, aku mengerti. Beberapa menit kemudian aku mulai terbiasa dengan bungkusan perban sebagai pakaian baruku.

    "Clara Mermaida," aku memerkenalkan diri, "terima kasih atas pertolonganmu. Kondisiku bisa jadi lebih buruk tanpa bantuanmu." Walaupun agak telat, tapi aku harus menghargai pertolongannya.

    "Vi Thalita, panggil saja Vi," dia tersenyum sambil membalas jabat tanganku, "ngomong-ngomong turnamen ini perlu membentuk tim, maukah kamu satu tim denganku?"

    Aku belum tahu banyak soal pengumuman orang di atas panggung tadi, soal turnamen, dan soal tim sejak tidak sadarkan diri sebelumnya. Mungkin dia bisa menjelaskan kejadian yang kulewatkan tadi. "Baiklah, mohon kerjasamanya, Vi!"
    Blablabla blablabla blablabla

    3. Kalimat dalam paragrafnya sudah rapi, tapi perlu memerhatikan penempatan kalimat puitis di situasi tertentu. Misalnya puitis di situasi menegangkan justru mengurangi efek tegangnya.

    overall point: 6


    Tristan Gospell - peserta yang telat mendaftar (tehee~)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmm, sebenernya saya gunakan dialog itu untuk bermacam2 hal misalnya karakterisasi, secuil humor, interaksi, pendekatan antar karakter, dll. Meski saya tahu kalau keefektivitasan penulisan itu penting dan perlu, tapi saya tetep menyukai gaya penulisan seperti ini, atau mungkin, justru beginilah cara saya mengalirkan alur dan plot, toh dari situ bisa lanjut ceritanya :D
      Terimakasih saran+nilainya~

      Delete
  5. Sudut pandang orang pertama beneran jarang dipake pas prelim, ngeliat satu bikin ada perubahan.

    Penggunaan skill para karakter lumayan kreatif, kolaborasinya juga apik.

    Dari segi cerita juga asyik dan minim typo, meski aku merasa penggunaan sudut pandang orang pertama kurang maksimal.

    Aku kasih nilai 8, plus 1 karena karakterku dipake.

    Nilai akhir: 9

    ~Effeth Scyceid

    >mengharapkan referensi mahou shoujo dari tim all-girls padahal :'D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wahahha, saya emang kebiasaan PoV 1, dan mungkin baru saya aja yg posting jadi lumayan beruntung xD
      jujur saya ga begitu suka mahou shoujo jadi maaf ga pake referensinya xD
      Makasih komen+nilainya~

      Delete
  6. Wah, masih kecil sudah harus menderita karena PMS.
    -
    Saya agaknya setuju deh sama sebagian komentar Tristan Gospell. Ini cerita banyak sekali dialognya, jadi lumayan memusingkan dan melelahkan untuk dibaca. Di tengah battle pun masih juga banyak dialog.

    Kemudian suasana peperangannya belum terasa. Terutama di bagian para prajurit yang hampir tidak nampak keberadaan mereka, atau hawa kehadiran mereka bisa dikatakan sangat tipis di sini. Jadinya kurang seru.

    Lalu pada bagian akhir, mungkin saya melewatkan sesuatu, tapi itu Clara hanya menghancurkan satu kristal dan semua langsung berakhir? Adegan timingnya (timing kedua menara hancur bersamaan) kurang detail, mungkin. Barangkali karena keterbatasan POV sendiri.

    Dan itu ... lawakan lisensinya garing banget, Mas. Udah pernah dipakai di cerita pembukaan prelim dari panitia, dan pada saat itu pun sudah terasa agak garing. Ini malah diulang-ulang sampai beberapa kali.

    Kalau dari segi cerita sih tak ada banyak masalah. Hanya lamban saja, di dialog, dan juga di narasi.

    PONTEN 7+

    -Bu Mawar-

    ReplyDelete
  7. Saya akan memberikan nilai +1 karena Vi Talitha memasukkan monster NEO ARMSTRONG CYCLONE JET ARMSTRONG CANNON yang menyelamatkan bumi saat perang besar di angkasa.

    mungkin ciri khasmu memakai dialog sebagai bagian besar dari kisah, tetapi... di dalam kisah vi ini dialogmu tidak meninggalkan apa-apa bahkan dengan sifat F dan Vi yang terkesan sama, makin susah dibedakan mana lagi ngomong apa.

    saya mengalami diabetes di awal-awal cerita :)

    dan... nilai akhir yang saya bisa berikan adalah 7+1 dari kehadiran monster ajaib tadi.

    Verdict: 8

    Dari Frost.

    ReplyDelete
  8. Astaga...

    Di saat saya merasa adegan pembuka Dyna itu udah epic banget, ternyata ada entry lain yang memiliki settingan pembuka yang jauh lebih Bizzare. Mens--- iya, Menstruasi!
    XD

    oi, Lisensi itu benar-benar menggangu ya..
    ._.

    ini dialognya asyik ya, interaksi antar karakternya hidup, becanda premannya juga kerasa feel-nya. Saya kurang sreg sama guyonan lisensi itu aja, (karena terus menerus diulang)

    point : 8



    Sanelia Nur Fiani

    ReplyDelete
  9. Ha, ok, sudah terlalu banyak disebut soal pembukanya, jadi saya skip saja soal ganti pembalut itu.

    PoV 1 dari sidekick ini cukup menarik, memberi sudut rasa lain dari Vi. Tapi dialognya terlampau rusuh dan bawel, kadang saya tidak tahu siapa pembicara dari beberapa dialog tertentu.

    Dari segi pertarungan cukup baik, yah, setidaknya saya jadi sadar bagaimana sifat dan perilaku Vi dalam kacaunya situasi pertempuran.

    Untuk segi komedi, masalah lisensi ini terlalu banyak digunakan, jadi garing. Kalau mau parodi, ya parodi saja, jangan terus-terusan ada karakter sok pinter yang terus-menerus namparin kata "lisensi" ke dia.

    Tapi selain hal-hal di atas, tulisan ini cukup menghibur saya.

    Nilai 9

    Sincerely,

    Supreme Commander of Midgardian Starfleet, Duchess of Ostrogoth, Caitlin Alsace

    (OC created by Zoelkarnaen)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Teknik komedi itu namanya teknik Manzai, dengan boke-tsukkomi-nya. Please learn your shits first, Cat. Google it, like I did just now...

      Tapi memang over-abuse itu masalah lisensi.

      Delete
    2. Zoel menegur Cat, mesranya :3

      Delete
  10. Helo dim.. saya datang berkunjung untuk melihat rumor yang beredar.

    Dan ho.....jadi ini tulisan dimdim

    Saya suka dim. Hahaha.. bener2 baru ya bikin pov1 dari sudut pandang bukan karakter utama.

    Saya ga nyangka dibalik kesuramanmu kemaren, tersembunyi tulisan yang enak dibaca. Saya baru ini baca hasil tulisan tanganmu (nasib anak baru). Tapi saya suka kok

    Oke battle-nya masih kebanyakan dialog, tapi saya rasa agak bagus juga buat menghidupkan suasana. Kamu jelas ingin menunjukkan Vi tapi kamu pakai pov 1 selain mcmu. Makanya di akhir kamu pakai pov nya vi.

    Titip 8 dong

    P.s ; saya ga percaya vi. Okesip //bisik

    『Kazuki Tsukishiro 』

    ReplyDelete
  11. Penggunaan sudut pandang orang pertama yang menarik bagi saya.

    Dari saya sih, untuk adegan parodi mungkin jangan terlalu banyak sebut soal "lisensi", lihat Deadpool dan Gintoki? Bahkan mereka udah gak mikirin soal lisensi lagi. Kalau mau parodi tabrak aja, gak usah nyerempet nanggung =))

    Nilai dari saya 8/10.

    Salam hangat dari Enryuumaru/Zarid Al-Farabi

    ReplyDelete
  12. Asyik ini, jarang-jarang ada yang pake POV 1 tapi bukan dari MC nya.
    kirain cuma di awal aja buat perkenalan, rupanya dipake sampe 90% cerita berjalan.

    Pengkarakterannya oke.
    Dialog juga asyik.
    Progress penghancuran kastilnya juga oke. beneran suka dengan ide jadiin F kendaraan.

    yang menganggu itu:
    - Joke lisensi.
    - maunya melibatkan para tentara...tapi memang fokus plotnya ke mereka bertiga saja sih ya...

    hmmm
    8/10.

    _PITTA N. JUNIOR_

    ReplyDelete
  13. Aduh ngakak saya bacanya. Situ berhasil menyajikan adegan kocak dari sudut pandang orang kedua dan menggabungkan antara OC anda dengan dua OC koplak lainnya. Pakai pembukaan masalah mens lagi >.< .

    Tapi ada sedikit gangguan di joke 'lisensi' yang dipakai berkali-kali.

    Nilai dari saya : 10/10
    OC : Tan Ying Go

    ReplyDelete
  14. Sejujurnya saya sempet kaget dan balik baca judul lagi. Ini Prelim siapa, kok pake PoV siapa. Tapi saya tetep suka karena kamu berhasil bikin cerita menarik. Kocaknya dapat dan kayaknya yang gini emang lebih 'kamu'.

    Joke PMS tadi sempet bikin saya ngrenyit , tapi mungkin itu cuma saya.

    Nilai : 9
    OC : Alayne Fiero

    ReplyDelete
  15. Oh nice, i lost my sides.

    sayang joke lisensi hanya lucu di bagian awal. ke belakang-belakang jadi kesannya jadi "Ini lagi? bosen lah. ganti napa."
    untungnya banyak variasi banyolan lain yang sukses menghibur buat saya. And surprisingly i read this without skim any part. Ngalir gitu aja.

    and now, final verdict!
    ===

    Am i enjoy it? (5/5)

    Is this excite me? (5/5)

    Am i skim some part? (0/-3)

    Extra point (0/1) you already got perfect score. so you won't need this

    total score: 10/10

    Salam~

    Avius solitarus.

    ps: mz... untuk ketiga kalinya saya nanya. Ini pake pov clara bukan gegara pengen eksplorasi adegan m- dan karena ga mungkin ganti pov tengah jalan diterusin aja kan? ( ͡° ͜ʖ ͡°)

    ReplyDelete
  16. "WAHHHHH Fell.. dia imut sekali!!"
    Felly hanya berdiam diri di sudut kamar.
    "Fell liat, kayak gini nih kalau jadi OC, nurut!"
    Terdengar sesenggukan sesekali.
    "Trus dia manis. Lembut. Lucu."
    "Kenapa ga dia aja jadi OC-mu!"
    Eh? Dia... cemburu?

    ***

    Kak Lamiel curhat skripsi xD

    Tadinya Umi kira, si Clara bakal nunjukin kelabilan emosinya akibat PMS, ternyata enggak xD malah dibanding Vi sama F dia lebih stabil.

    Kak Lamiek, Umi kok enggak bisa ngebayangin ya gimana bentuknya F pas udah jadi 'kendaraan' buat Vi sama Clara? Bentuknya gimana, ta?

    Kesan yang Umi dapet dari cerita kak Dim, Umi agak shock! Umi kira Clara benar-benar menguasai cerita seperti yang ada di obrolan chat. Nyatanya, Clara ini lebih jadi narator dibanding karakter utuh. Bantuan dia ndak muncul. Malah cenderung nyusahin. Kerjaan dia cuma ngelucu xD Malah dia lebih kayak observer dibanding karakter di mata Umi. Si Vi sama F malah pengambil cerita di sini.

    Umi suka dari awal sampe pertengahan akhir, ini ciri khas dirimu banget. Cuma beda gaya bahasa aja XD Cuma menjelang ending,Umi ga nangkep banyak hal, kok Clara ke atas menara? Cristal apa? Bentuknya gimana? Yah begitulah xD

    ***

    "Fell?"
    "... hiks"
    "Ya ampun, kamu nangis beneran?"
    "hik... hik... kamu lebih suka Clara dibanding aku, Mmi."
    "Enggak kok. Cuma..."
    "Kamu lebih sayang dia daripada aku."
    Aku tarik tubuhnya ke pelukanku. Ini anak memang beneran masih bocah. Kayaknya aku lain kali harus tahan komentar deh. hihihi. Lucunya xD

    ***

    The Fun : 3.0
    Karakterisasi : 3.0
    Alur : 2.0
    Total : 8.0

    ***
    Maria Fellas - Bocah yang sedang tersudut diam karena merasa kalah imut.

    ReplyDelete
  17. ini keren banget baang!!,,,ini nyang namaenye sudut padnagn orang pertama gitu, ye?? aye rada keder dikit soal siape nyang jadi tokoh utame di mari nih,,,tapi ini pemabawaaan ceritanye ude sedep banget deh pokoknye, paten abis! aye ngebacanye enak banget dari awal ampe akhir,,,seru bang,,pokoknye seru! interaksi karakter juga asik banget kayak mereka udah temenan lama gitu deh

    nilai 10 deh
    karakter aye Kumirun

    ReplyDelete
  18. Wah.. kakak baik banget... Semoga skripsinya lancar ya..

    Eh, yang diceritain disini Clara yang lagi bercerita tentang Vi ya? Wah.. ini... beda..

    Soal joke lisensi.. iya.. emang cuma di awalnya lucu.. Tapi banyak alternatifnya sih.. jadi ini bagus

    TAPI NGAPAIN MENS DICERITAIN JUGA ADUDU...

    Ikutan dedek Ilya ngasih 9 deh.. Saya pengen Kak Vi lanjut..

    -Fath'a Lir

    ReplyDelete
  19. Hm... unik juga penggunaan POV 1 dari sudut pandang Clara ini, aku sampai ngira salah masuk entri. Karakterisasi oke, narasi mengalir lancar, plot siph, jokenya meresap gurih di lidah, apalagi yang Clara kena PMS. Sayangnya joke tentang lisensi terlalu sering diulang - ulang, jadinya garing deh.

    Nilai : 9
    OC : Relima Krukru

    ReplyDelete
  20. sudut pandangnya greget :3 jd pengen coba kalo Dallas bisa masuk round 1 hehe :v
    kalo menurut saya alurnya enak diikutin, meski bukan dari pemikiran mbak Vi tapi tetep enak dah :D

    dari saya 8/10

    Dallas

    ReplyDelete